anchor
stringlengths
99
27.2k
positive
stringlengths
297
27.2k
negative
stringclasses
672 values
Judul: Model Pengembangan Inovasi Berbasis Jaringan Rantai Pasok dan Kapabilitas Organisasi Pembelajar (Studi Kasus Industri Pangan Olahan) Abstrak:Industri pangan olahan sebagai bagian dari industri makanan minuman (mamin) adalah salah satu sektor penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Selama periode 2013-2018, kinerja industri mamin secara konsisten tumbuh diatas 8-9% melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi. Penurunan laju pertumbuhan industri mamin yaitu sebesar 7.95% (Tahun 2019) dan sebesar 2.03% (kuartal II/2020) tetap berada diatas tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Industri pangan adalah industri yang padat pengetahuan, siklus produk umumnya pendek, permintaan konsumennya dinamis, dan nilai produksinya signifikan. Industri pangan membutuhkan inovasi yang lebih cepat dan tuntutan inovasi lebih tinggi dibandingkan industri lainnya. Bagaimana perusahaan di industri pangan olahan dapat memperbesar pencapaian inovasinya diharapkan dapat terjawab dari penelitian ini. Pada prakteknya, banyak perusahaan yang melakukan investasi besar-besaran dalam upaya pengembangan inovasinya, sehingga inovasi seringkali dipersepsikan sebagai proses yang mahal, memerlukan alokasi waktu dan sumber daya besar, serta memiliki risiko cukup tinggi. Berbagai studi dilakukan untuk dapat menggali sejauh mana perusahaan dapat memanfaatkan sumber dayanya baik eksternal maupun internal untuk pengembangan inovasinya. Mitra rantai pasok (pemasok dan pelanggan) ditengarai sebagai salah sumber daya eksternal yang dapat menjadi sumber sekaligus mitra dalam pengembangan inovasi melalui pola hubungan yang terjadi baik yang bersifat transaksional maupun kolaboratif. Pola hubungan transaksional menekankan pada aspek-aspek yang secara umum menjadi pertimbangan utama ketika seseorang bertransaksi (harga, volume, kualitas, kecepatan), menitikberatkan pada rasa puas - tidak puas, serta berorientasi jangka pendek. Sebaliknya pola hubungan kolaboratif lebih menekankan pada aspek-aspek yang orientasinya jangka panjang, berlandaskan kepercayaan, berhubungan dalam kerangka “kita” dan bukan “saya”, serta menitikberatkan pada konsep asah, asih, dan asuh. Perusahaan ditengarai harus memiliki kemampuan internal tertentu untuk dapat memperoleh manfaat lebih besar dari sumber daya strategis yang diperolehnya dari lingkungan eksternal perusahaan yaitu dari mitra rantai pasok. Sumber daya eksternal maupun internal, keduanya diharapkan dapat mendorong pengembangan inovasi di perusahaan. Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model pengembangan inovasi berbasis jaringan rantai pasok dan kapabilitas organisasi pembelajar yang dapat diimplementasi di industri pangan olahan di Indonesia. Beberapa pertanyaan penelitian diajukan untuk dapat mencapai tujuan penelitian tersebut yaitu (1) bagaimana pengaruh jaringan rantai pasok transaksional dan kolaboratif terhadap inovasi; (2) bagaimana pengaruh kapabilitas organisasi pembelajar terhadap inovasi; (3) apakah kapabilitas organisasi pembelajar mampu memediasi hubungan antara jaringan rantai pasok dan inovasi; dan (4) apa saja sub elemen kunci dari elemen kendala utama dan enabler dalam pengembangan inovasi di industri pangan olahan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan mengkombinasikan dua teknik análisis yaitu SEM (Structural Equation Modeling) dan ISM (Interpretative Structural Modeling) dalam membangun sebuah model. Teknik análisis SEM dilakukan untuk mengkonfirmasi hubungan kausal diantara semua variabel laten dalam penelitian yaitu variabel Jaringan Rantai Pasok Transaksional, Jaringan Rantai Pasok Kolaboratif, Kapabilitas Organisasi Pembelajar, Orientasi Inovasi, dan Inovasi, menghasilkan model persamaan struktural. Teknik análisis ISM dilakukan untuk mengkaji elemen kendala utama dan enabler, yaitu kedua elemen yang belum terakomodasi dalam pemodelan persamaan struktural. ISM menghasilkan model interpretasi struktural. Pengembangan model selanjutnya dilakukan menggunakan pendekatan Purposeful Activity Model (PAM) atau Human Activity Model (HAM). Pengembangan model menjadi model akhir dilakukan setelah diperoleh model persamaan struktural dan model interpretasi struktural. Pengembangan model dilakukan untuk memastikan model akhir yang dihasilkan dalam penelitian ini siap untuk diimplementasikan. Berdasarkan hasil penelitian, model pengembangan inovasi di industri pangan olahan di Indonesia dapat dilakukan melalui integrasi jaringan rantai pasok kolaboratif dan penguatan kapabilitas organisasi pembelajar, dengan memanfaatkan enabler dan memperhatikan kendala. Tiga sub elemen kunci dari elemen kendala utama inovasi yang berhasil diidentifikasi yaitu ketidakpastian ekonomi atau politik, tumpang tindih peraturan pemerintah, dan rendahnya komitmen organisasi terkait inovasi. Tiga sub elemen kunci terkait elemen enabler inovasi yaitu perkembangan teknologi informasi, perubahan ke arah gaya hidup sehat, dan peningkatan kebijakan terkait go green. Model pengembangan inovasi ini dilengkapi dengan serangkaian aktivitas yang harus dilakukan baik oleh pelaku usaha, asosiasi, maupun pemerintah pada setiap aspek yang terbukti menunjukkan kontribusi besar sesuai hasil penelitian. Jaringan rantai pasok kolaboratif dan transaksional, keduanya memiliki pengaruh positif signifikan terhadap inovasi, tetapi jaringan rantai pasok kolaboratif menunjukkan pengaruh lebih besar dibandingkan transaksional. Jaringan rantai pasok kolaboratif dengan pelanggan menunjukkan kontribusi lebih besar atau korelasi lebih kuat jika dibandingkan dengan jaringan rantai pasok kolaboratif dengan pemasok. Kapabilitas sebagai organisasi pembelajar terbukti mampu berperan sebagian dalam memediasi hubungan antara jaringan rantai pasok kolaboratif dan inovasi, tetapi sebaliknya tidak terbukti memediasi terhadap jaringan rantai pasok transaksional. Hasil ini tidak terlepas dari karakteristik dari hubungan kolaboratif dan transaksional. Lebih lanjut, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi stakeholder di industri pangan olahan dalam merumuskan strategi untuk mengembangkan inovasi melalui integrasi jaringan rantai pasok kolaboratif dan penguatan kapabilitas organisasi pembelajar dengan memanfaatkan enabler dan memperhatikan kendala. Hasil penelitian menjadi masukan bagi stakeholder di pemerintahan terkait berbagai kebijakan demi pemeliharaan kestabilan politik dan ekonomi serta berbagai regulasi yang ada sehingga dapat mendorong pengembangan inovasi. Keyword:industri pangan olahan, inovasi, jaringan rantai pasok kolaboratif, jaringan rantai pasok transaksional, kapabilitas organisasi pembelajar, orientasi inovasi
Judul: The Open Innovation Business Model in Indonesia Digital Technology-Based Industries Abstrak:Pergeseran paradigma dari inovasi yang bersifat tertutup menjadi terbuka telah diterapkan pada kolaborasi yang luas antar perusahaan besar dan kecil, pusat penelitian dan lembaga lainnya. Sebagai tambahan, aktivitas inovasi perusahaan yang saat ini muncul ke permukaan secara alami bersifat lebih tersebar, lintas disiplin, lintas batas, lintas lembaga, dan lintas waktu. Dengan kata lain, inovasi terbuka menjadi konsep kerjasama interdisplin yang terpadu, penciptaan nilai bersama, penanaman ekosistem inovasi, pelepasan teknologi yang sangat pesat dan fokus pada adopsi inovasi. Perusahaan digital harus mempertahankan keuntungan daya saing berkelanjutan selama era disrupsi. Pergeseran perilaku konsumen dan transformasi digital telah memaksa perubahan proses bisnis. Dengan demikian, tujuan penelitian kami adalah (1) menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kolaborasi inovasi terbuka antar perusahaan digital; (2) menganalisa kaitan antara strategi perusahaan dan aktivitas inovasi terbuka; (3) memformulasikan sebuah inovasi model bisnis sebagai strategi yang tepat untuk mengimplementasikan kolaborasi inovasi terbuka demi mempertahankan pertumbuhan perusahaan digital. Penelitian menggunakan metode gabungan kuantitatif (ISM, SD) dan kualitatif (SD) Model bisnis dinamik (DBM) antar perusahaan digital di Indonesia-sebagai model bisnis inovasi terbuka yang diusulkan merupakan kebaharuan yang signifikan pada penelitian ini, termasuk semua peubah yang divalidasi kepada pertimbangan pakar dan studi empirik. DBM memberikan pandangan sistematis untuk mengidentifikasi dan menganalisa hubungan sebab akibat antara elemen inti dari model bisnis yang dikaitkan dengan peubah-peubah kapabilitas dinamik dan inovasi terbuka. DBM juga mensimulasikan bagaimana peubah penting inovasi terbuka memperkuat kinerja perusahaan sepanjang waktu dengan membandingkan penghasilan perusahaan sebelum dan sesudah mengimplementasikan inovasi terbuka. DBM adalah model yang merepresentasikan inovasi terbuka dan model bisnis dalam konteks kapabilitas dinamik. DBM melibatkan empat faktor dari model bisnis dan inovasi terbuka. Faktor tersebut adalah penghasilan, proposisi nilai, mitra kunci, dan pembagian properti intelektual. Implementasi inovasi terbuka menunjukkan pertumbuhan penghasilan yang lebih signifikan dari simulasi DBM dibandingkan perusahaan tanpa implementasi inovasi terbuka. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada perusahaan yang menggunakan inovasi terbuka atau tidak selama tahap awal. Akan tetapi, kesuksesan inovasi terbuka membutuhkan waktu sampai dua atau tiga tahun untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dengan adanya transformasi budaya perusahaan. Indikator kinerja yang naik adalah pertumbuhan penghasilan secara eksponensial. Oleh karenanya, inovasi adalah faktor kunci bagi kelangsungan bisnis dan kekuatan penggerak utama bagi perkembangan bisnis berkelanjutan. Keyword:Inovasi Terbuka, ISM, Model Bisnis, SD
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Optimasi pemanfaatan wilayah pesisir berbasis daya dukung bagi pengembangan budidaya tambak udang di Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan Abstrak:The aims of this research are to study land suitability for development of intensive/semi intensive and traditional/traditional plus shrimp culture, to determine carrying capacity, and optimize of land utilization for shrimp culture development. The methods employed in the research include:(i) field survey for assessing the biophysics characteristics of the Mangara Bombang coastal area; (ii) Geographycal Information System (GIS) for suitability analysis; (iii) Carrying capacity analysis using 3 different technique, and (iv) dynamic modelling for optimization. Results of land suitability for intensive/semi intensive shrimp culture showed that 894,284 hectares are highly suitable (SS), 663.071 hectares are suitable (S), and 1517.649 hectares are less suitable (KS). While land suitability for traditional/traditional plus shrimp culture showed that 1148.478 hectares are highly suitable (SS), 1078.667 hectares are suitable (S), and 1031.941 hectares are less suitable (KS). The total water volume of shrimp culture is about 129 152 399.22 m3. The water’s carrying capacity to receive organic waste based on oxygen content about 826 947.02 kg of organic waste /day. Based on that carrying capacity analysis, the generated land allocation for intensive shrimp culture (126 shrimp/m2), intensive shrimp culture (50 shrimp/m2), semi intensive shrimp culture (25 shrimp/m2), and traditional plus shrimp culture (8 shrimp/m2) consecutively are as follow 89.61 hectares, 346.37 hectares, 715.79 hectares, and 1694.91 hectares. While for water’s carrying capacity based on biodegradation rate of organic waste, the generated land allocation for intensive shrimp culture (126 shrimp/m2), intensive shrimp culture (50 shrimp/m2), semi intensive shrimp culture (25 shrimp/m2), and traditional plus shrimp culture (8 shrimp/m2) consecutively are as follow 17.49 hectares, 454.13 hectares, 938.50 hectares, and 2222.25 hectares Waters’s carrying capacity based on assimilation capacity was 70.38 tons of N (1152.13 tons of shrimps) or 47.84 tons of P (2874.tons of shrimps). Based on simulation of dynamic modelling obtained which generated land allocation of high optimization are intensive shrimp culture (126 shrimp/m2) 26.62 hectares, intensive shrimp culture (50 shrimp/m2) 144.69 hectares, semi intensive shrimp culture (25 shrimp/m2) 282.36 hectares, and traditional plus (8 shrimp/m2) 503.43 hectares, with total production 2453.03 tons of shrimp. Optimization economic profit and actual labour are Rp 36 328 006 033 and 1753 people. After that, land allocation scenario 2 for second alternative are intensive shrimp culture (126 shrimp/m2) 12.48 hectares, intensive shrimp culture (50 shrimp/m2) 89.95 hectares, semi intensive shrimp culture (25 shrimp/m2) 168.11 hectares, and traditional plus (8 shrimp/m2) 236.12 hectares, with total production 1371.09 tons of shrimp. Optimization economic profit and actual labour are Rp 19 927 489 483 and 981 people. Keyword:
Judul: Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina (silvofishery) di Kawasan Pesisir Kabupaten Sinjai Abstrak:Kelurahan Samataring dan Desa Tongke Tongke Kecamatan Sinjai Timur mempunyai potensi ekosistem mangrove Kelurahan Samataring seluas 288,50 ha dan Desa Tongke Tongke seluas 350,50 ha sehingga total ekosistem mangrove pada kedua desa dan kelurahan mencapai luas 639,00 ha atau 47,28% dari total luas ekosistem mangrove yang dimiliki Kabupaten Sinjai yaitu seluas 1.351,50 ha. Agar keberadaan ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai tetap optimal dan bekelanjutan, maka perlu dibuat suatu konsep pengelolaan yang menyeimbangkan antara upaya pelestarian dan pemanfaatan. Salah salah satu konsep pengelolaan ekosistem mangrove untuk mewujudkan optimal dan berkelanjutan adalah model silvofishery yaitu suatu pendekatan yang memadukan dan mensinergikan aspek ekologi yang berorientasi pada pelestarian dan aspek ekonomi yang berorientasi pada pemanfaatan. Penentuan persentase rasio mangrove dan tambak pada pengelolaan silvofishery memerlukan analisis dan pengkajian untuk mendapatkan nilai optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis seberapa besar daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery, (2) menganalisis kelayakan usaha bagi pengelolaan silvofishery, (3) menganalisis korelasi antara persentase luas ekosistem mangrove per rasio tambak silvofishery dengan peningkatan produksi perikanan budidaya dan hasil tangkapan perikanan pesisir, dan (4) menentukan rasio optimal antara mangrove dan tambak pada pengelolaan silvofishery. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Samataring dan Desa Tongke Tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, selama satu tahun yaitu Januari sampai Desember 2011. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi; (1) pengukuran langsung di lapangan (insitu) beberapa parameter kualitas tanah dan air, pengukuran karakteristik ekosistem mangrove, dan kondisi konstruksi tambak silvofishery, (2) analisis kualitas tanah dan air, kandungan unsur hara yang terdapat pada serasah mangrove, dan (3) data produksi budidaya tambak silvofishery wawancara dengan pengelola. Sedangkan data sekunder meliputi; (1) data karakteristik petaai dan nelayan, (2) data kepemilikan lahan mangrove dan tambak, (3) data kelembagaan petani dan pengelola hutan mangrove, dan (4) data kondisi umum perikanan Kabupaten Sinjai. Data sekunder ini bersumber dari potensi desa, Statistik Kecamatan Sinjai Timur, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sinjai, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai. Analisis data yang digunakan dalam penelitian meliputi; (1) analisis supply dan demand unsur hara, (2) analisis benefit cost ratio, (3) analisis regresi, dan (4) Multi Criterium Decision Making Analysis (MCDMA)..dst Keyword:vegetasi mangove, kelestarian mangrove, ekosistem mangrove, perikanan tangkap/budidaya, ekowisata
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: The development of sustainable water resources of way betung watershed, Bandar Lampung city Abstrak:Way Betung watershed is one of the most potential watersheds as water supplier in Lampung Province and the most potential water resources for Bandar Lampung City particularly for potable water provided by regional water supplier company (PDAM). The ever increasing population and economic activities in Bandar Lampung City resulted in the increasing need of clean water. However, over time, the conditions of Way Betung watershed as water resources supplier have been declined. Therefore, to improve or to restore the conditions of Way Betung watershed, the forest and land rehabilitations programs are necessary. Thus research was aimed: (a) to study the impact of land use change in Way Betung watershed on its potential as water resources supplier of Bandar Lampung City, (b) to study the economic value of Way Betung water resources (c) to formulate sustainable water resources development plan of Way Betung watershed. The impact of land use change on the Way Betung water resources was analyzed by a regression method, and the annual economic value of water resources was analyzed by Willingness to Pay (WTP) method. The development plan of sustainable water resources of Way Betung watershed was arranged in five scenarios. To determine the best scenario, the simulations of the erosion level by the USLE method and the runoff volume by the SCS method were performed. The results showed that the land use change of Way Betung watershed (1991-2006) resulted in the increasing of the annual run off coefficient, the maximum daily discharge (Q max), and the decreasing of the daily minimum discharge (Q min), as well as the increasing of the river discharge fluctuation. The total annual economic value of water resources of Way Betung watershed was Rp101.1 billion/year and the total willingness to pay value for the rehabilitation of Way Betung watershed was Rp1.5 billion/year, which were derived from PDAM sector, tourism, water mineral companies, households and paddy field farmers in the upstream watershed. The best development of sustainable water resources of Way Betung watershed was the scenario-4 (the forest as much as 30% of watershed areas + alley cropping on mixed farms). Scenario-4 will reduce the erosion to lower than the tolerable soil loss (TSL), will decrease the fluctuation of monthly run off from 64.7 to 30.9, and the forest rehabilitation will be achieved in the best time (10 years with a scheme-B). Therefore, economically the water users community are willing to pay the rehabilitation costs (WTP) and socially it is accepted by the society. Keyword:
Judul: Study on the dynamic land use impact in Wanggu watershed to sedimentation to Kendary Bay in South East Sulawesi Abstrak:The dynamic of land use in Wanggu Watershed had been causing land degradation disruption of hydrological function of the watershed and sedimentation in Kendari Bay. These degradations were indicated by the increasing of river fluctuation and erosion was higher than the local tolerable soil losts. The impact of erosion had further decreased land productivity, farmer’s income, and also increasing sedimentation in Kendari Bay as well. The objectives of this research were 1) to identify the biophysical characteristics of Wanggu watershed. 2) to study the impact of land use dynamic on erosion, run off, river flow fluctuation and sedimentation in Kendari Bay, 3) to develope land use models and agrotechnologies that can increase soil infiltration capacity, decrease run off coefficient, river flow fluctuation, rate of erosion and sedimentation in Kendari Bay, 4) to formulate land use planning and agrotechnology model in Wanggu watershed to guarantee sustainable land management. This research was carried out in September 2009 to August 2010. The result of this research showed that forested land characteristics were much better than those with other land uses particularly the characteristics that related to hydrological function of watershed. There were a continuous decrease forest land (1.1% per year) and bushes land (0.8% per year) but on the other hand a continuous increase of mixed plantation land (1.1% per year), dry land use (0.4% per year) and settlement area (0.4% per year). These dynamic giving the impact to increase erosion rate (12.7 tons/ha), surface run off (262.7 mm), run off coeficient (0.13) since 1992-2010, and in turn increase sedimentation rate in Kendari Bay. The source of those sediment come from land erosion 104.000 m3 per year (9,3%), from waste 21.310 m3 per year (2%), and river bank erosion-infrastructure-landslide 954.000 m3 per year (88,7%), to make total sedimentation in Kendari Bay was 1.071.000 m3 per year. The existing land use of Wanggu watershed in 2010 could not guarantee sustainable land management. The alternative land use planning for sustainable Wanggu watershed management is 33 % forest, 44 % mixed plantation,9% dry field, 1% bush and 13% settlement. The land use management in mixced plantation should be under Agrosilvopastoral with perennial crops (cacao, pepper, citrut fruit, banana, teak, elephant grass+3 cows), and in dry field should be under multiple cropping system(corn + cassava + peanut) - (green beans + legume + tomato). To increase productivity of both systems, the using of chemical fertilizers, manure, and compost should be applied as necessary. Keyword:
Judul: Mechanism of virulence inhibition of enterophatogenic bacteria by ginger (Zingiber officinale Roscoe) rhizome extract Abstrak:Jahe segar merupakan bahan pemberi citarasa, yang biasanya ditambahkan dalam bahan pangan. Jahe berhngsi sebagai pengawet yang tidak toksik, dapat menstimulir, menghambat atau membunuh mikroba tergantung pada dosis yang digunakan. Senyawa utama pada jahe adalah senyawa minyak atsiri dan non volatil, yang mempunyai aktivitas antimikroba dan digunakan sebagai obat tradisional Keyword:
Judul: Hematological Status, Meat Quality and The Potensial Polymorphism for Gene DGAT1 of Garut Sheep which Produced According to The Principles of Organic Farming Abstrak:Domba Garut terutama tipe tangkas terkenal dengan harganya yang relatif tinggi, karena selain gagah, juga memiliki performa perdagingan yang baik. Namun demikian, harga yang mahal pada saat ternak hidup, tidak selalu diiringi harga daging yang tinggi. Setelah dikonversi menjadi daging, harga daging domba tangkas sama saja dengan harga daging domba pada umumnya. Salah satu upaya terobosan meningkatkan nilai jual adalah melalui sertifikasi organik. Menurut SNI 01-6729-2016, prinsip umum yang digunakan pada produk peternakan organik, adalah hewan ternak yang dipelihara untuk produksi organik harus menjadi bagian integral dari unit usaha tani organik dan dikelola sesuai dengan kaidah-kaidah serta syarat dan ketentuan produk organik. Selain itu pengelolaannya harus berdasarkan prinsip kesejahteraan ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hematologi serta produk daging yang dihasilkan ternak yang dipelihara menurut prinsip pertanian organik. Selain itu, penelitian juga ditujukan untuk mengidentifikasi keragaman genetik kandidat marker DGAT1 terhadap karakteristik karkas dan daging domba. Tahapan penelitian I mencakup evaluasi status hematologi dan metabolit darah. Sedangkan tahap II adalah mengevaluasi kualitas produk yang dihasilkan terutama pada kualitas fisik daging serta potongan komersial karkas. Selanjutnya hasil produk dibandingkan dengan berbagai macam rumpun domba yang ada di Indonesia. Pendekatan ekspresi gen yang terkait dengan kualitas daging dan karkas diwakili oleh gen DGAT1. Pengaruh pemberian akses ruang terbuka pada ternak dalam prinsip pertanian organik tidak secara menyeluruh menjamin kesejahteraan ternak. Faktor dominasi serta faktor “x” lainnya perlu ditelaah lebih lanjut. Demikian juga mengenai pakan organik yang diberikan, perlu perbaikan dalam hal kuantitas maupun kualitas. Status Hematologik menunjukkan perbedaan yang nyata, namun semua perlakuan berada di kisaran bawah batas normal. Rasio N/L telah menunjukkan gejala stress. Metabolit darah menunjukkan Nilai trigliserida pada perlakuan exercise nyata lebih rendah dibanding perlakuan non exercise, sedangkan nilai kolesterol, HDL, LDL belum menunjukkan beda nyata. Produk daging yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar perlakuan, baik keempukan, susut masak, daya menahan, warna daging dan warna lemak dengan pH ultimat daging mencapai 5.8. Hasil organoleptik menunjukkan daging yang dihasilkan lebih disukai konsumen terutama dalam hal rasa dan warna. Jika dibandingkan dengan rumpun lain, domba garut yang dipelihara dalam sistem organik ini juga menunjukkan hasil yang positif. Gen DGAT1 berasosiasi dengan bobot badan, bobot karkas dan potongan komersial, termasuk terhadap potongan dada, bagian tulang dan lemak subkutan. Genotipe CC dominan pada populasi domba Garut, domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Genotipe tipe TT tidak ditemukan dalam penelitian ini. Genotipe tipe CC ini yang memiliki pengaruh lebih tinggi dibanding Genotipe CT., performa Keyword:Domba Garut, perdagingan, performa
Judul: Functional Study of Candidate Genetic Markers Determining The Lamb Quality of Indonesian Sheep Abstrak:Upaya peningkatan produksi daging domba baik secara kuantitas maupun kualitas perlu dilakukan untuk membantu pemenuhan kebutuhan protein asal hewani khususnya bersumber dari daging. Salah satu langkah yang dapat dilakukan melalui program seleksi berbasis molekuler dengan marka genetik penentu kualitas daging domba. Hasil RNA sequencing yang dilakukan sebelumnya diperoleh beberapa kandidat marka genetik diantaranya gen dopa decarboxylase (DDC) dan cytochrome P450 family 2 subfamily E member 1 (CYP2E1) yang diduga memiliki peranan dalam kualitas daging domba. Penelitian ini bertujuan mengkaji secara fungsional kandidat marka genetik gen DDC dan CYP2E1 dari segi aspek genomik, transkriptomik, dan proteomik dalam peranannya terkait mekanisme kualitas daging domba Indonesia. Kajian fungsional meliputi identifikasi keragaman gen DDC dan CYP2E1, asosiasi keragaman gen DDC dan CYP2E1 dengan kualitas karkas dan daging, analisis ekspresi gen DDC dan CYP2E1, dan analisis protein CYP2E1. Identifikasi keragaman gen DDC dan CYP2E1 dilakukan pada 200 ekor domba Indonesia dari beberapa rumpun diantaranya domba ekor tipis (DET), domba ekor gemuk (DEG), domba Garut (DG), domba Jonggol (DJ), domba compass agrinak (DCA), domba barbados cross (DBC), dan domba komposit Garut agrinak (DKG). Keragaman gen DDC dan CYP2E1 diidentifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP). Hasil keragaman gen DDC dan CYP2E1 diasosiasikan dengan kualitas daging domba dengan analisis uji T. Tingkat ekspresi gen DDC dan CYP2E1 dari masing–masing genotipe dianalisis menggunakan metode quantitative Real Time-PCR (qRT-PCR). Analisis protein CYP2E1 dilakukan dengan pewarnaan imunohistokimia (IHK) dan hematoxylin-eosin (HE) menggunakan masing-masing tiga sampel kelompok tinggi dan rendah berdasarkan nilai pH daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SNP g. 5377439 G>A gen DDC dan SNP g. 50658168 T>C gen CYP2E1 bersifat polimorfik (beragam) pada populasi domba yang diamati dengan ditandai munculnya tiga genotipe berbeda pada masing-masing gen, yaitu GG, AG, dan AA pada gen DDC serta TT, CT, dan CC pada gen CYP2E1. Gen DDC memiliki pengaruh yang signifikan (P<0,05) pada sebagian besar sifat kualitas karkas domba, diantaranya karakteristik karkas meliputi bobot hidup, persentase karkas, panjang karkas, karkas hangat, dan karkas dingin, dan seluruh potongan komersil karkas kecuali shank dan neck. Selain itu gen DDC juga memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05) pada kualitas daging meliputi nilai pH, keempukan, dan daya mengikat air. Keragaman gen DDC juga memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05) dengan komposisi asam lemak meliputi konten lemak; asam lemak jenuh termasuk asam oktanoat (C8:0), asam kaprat (C10:0), asam palmitat (C16:0), asam heptadekanoat (C17:0), asam stearat (C18:0), asam arakidat (C20:0), dan asam henekosanoat (C21:0), asam behenat (C22:0), asam trikosanoat (C23:0), dan asam tetrakosanoat (C24:0). Selain itu, gen DDC juga berhubungan secara nyata (P<0,05) dengan asam lemak tak jenuh tunggal termasuk asam palmitoleat (C16:1), asam oleat (C18:1n9c), asam elaidik (C18:1n9t), dan asam nervonat (C24:1); serta asam tak jenuh ganda termasuk asam linolenat (C18:3n3), asam eikosidoneat (C20:2), asam homo y-linolenat (C20:3n6), dan asam arakidonat (C20:4n6). Akan tetapi, gen DDC tidak memiliki pengaruh yang signifikan (P>0,05) pada kandungan mineral daging. Secara umum genotipe AG pada gen DDC menunjukkan nilai kualitas daging yang paling tinggi dibandingkan genotipe AA dan GG. Tingkat ekspresi gen DDC secara signifikan berbeda nyata (P<0,05) dalam mempengaruhi kualitas daging. Hasil asosiasi gen CYP2E1 dengan parameter kualitas karkas menunjukkan adanya pengaruh keragaman genotipe yang signifikan (P<0,05) pada sifat kualitas karkas, diantaranya semua parameter karakteristik karkas meliputi bobot potong, persentase karkas, panjang karkas, karkas hangat, dan karkas dingin; potongan komersil karkas meliputi leg, shoulder, rack, breast, loin, flank, shank, dan neck. Keragaman gen CYP2E1 juga memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05) dengan komposisi asam lemak meliputi konten lemak, asam lemak jenuh, seperti asam palmitat (C16:0), asam margarat (C17 :0), asam stearat (C18:0), asam arakidat (C20:0), asam heneikosilat (C21:0), asam behenat (C22:0), asam trikosilat (C23:0), asam tetrakosanoat (C24:0). Selanjutnya, gen CYP2E1 juga memiliki hubungan yang signifikan dengan asam lemak tak jenuh tunggal, seperti asam miristoleat (C14:1), asam palmitoleat (C16:1), asam ginkgoleat (C17:1), asam oleat (C18:1n9c), asam elaidat (C18:1n9t), asam paullinat (C20:1), dan asam erusat (C22:1n9); dan beberapa parameter asam lemak tak jenuh ganda, seperti asam linoleat (C18:2n6c), asam y-linolenat (C18:3n6), asam dihomo-y-linolenat (C20:3n6), asam arakidonat (C20:4n6), dan asam eikosapentaenoat (C20:5n3); serta kandungan mineral, yaitu selenium (Se). Domba dengan genotipe CT memiliki nilai kualitas daging yang lebih baik dibandingkan genotipe CC dan TT pada gen CYP2E1. Analisis ekspresi gen CYP2E1 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antar genotipe dengan tingkat ekspresi tertinggi ada pada genotipe CT. Ekspresi gen DDC dan CYP2E1 berdasarkan analisis scatterplot menunjukkan bahwa kedua gen ini memiliki korelasi positif dalam mempengaruhi kualitas daging domba. Hasil analisis imunohistokimia menunjukkan bahwa protein CYP2E1 terdeteksi dalam sampel jaringan yang diamati. Berdasarkan pewarnaan HE didapatkan bahwa kelompok sampel dengan nilai pH tinggi memiliki luasan dan keliling area otot yang lebih besar dibandingkan kelompok sampel dengan nilai pH rendah. Pengaruh genotipe pada kualitas karkas dan potongan komersil, kualitas sifat fisik daging, dan komposisi asam lemak berbeda pada domba murni dan domba persilangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen DDC dan CYP2E1 dapat dijadikan kandidat marka yang potensial untuk melakukan seleksi domba yang memiliki nilai kualitas daging tinggi pada domba Indonesia. Keyword:domba, gen DDC, gen CYP2E1, kualitas daging, protein
Judul: Pemodelan spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami di Pantai Ciamis Jawa Barat Abstrak:This study describes a spatial modelling of tsunami destruction vulnerability in Ciamis coastal area. The characteristics of Ciamis coastal area were identified and analysed to develop the potential of destruction by tsunami. The specific objectives are: (1) to build up a spatial model of potential inundation of tsunami, (2) to identify factors which have roles in destruction by tsunami, (3) to build up the level of vulnerability of destruction by tsunami. The run up of 7.5 m had inundated 4% from whole study area. When the run up achieve 15 m and 30 m then the inundated areas would be approximately 36% and 57% respectively. It was found out that all factors show a pattern with the inundation area proportion but the stepwise regression shows that the factor of elevation is the chosen factor to build up the vulnerability model. It was found out that 20% of the village area of Ciamis coast belongs to very vulnerable class, while 28% of the area is vulnerable and 52% of the area is not vulnerable to destruction by tsunami. The information regarding the area of a very vulnerable dan vulnerable is useful for coastal area’s planning and zoning Keyword:
Judul: Characterization of chitosanase of bacillus licheniformis mb-2 isolated from manado hot spring water Abstrak:Chitosanase (EC 3.2.1.132) is an important enzyme in the production of chitosan oligomers. This research dealt with chitosanase of Indonesian origin, which was produced by chitinolytic bacteria isolated from Manado hot spring water, referred to as B. licheniformis MB-2. Specifically, the aims of the research were: (1) to produce and purify chitosanase from the bacteria, (2) analyze biochemical characteristics of the enzyme, (3) classify the enzyme based on biochemicd and preliminary bioinfmatics molecular study. The result showed that the optimum media for producing the enzyme were 0.24% chitosan, 0.25% casiton, 1% MgS04, 1.4% K2HP04, 0.02% CaC12.2H20, 0.002% FeS04.7H20. Enzyme harvested at the third day had an activity of 0.7 U/mL, while that harvested at the seventh day showed an activity of 0.8 U/mL Keyword:
Judul: Study on keratinase and disulphide reductase activity from Bacillus sp. MTS in keratin degradation Abstrak:Keratin is insoluble and very stable protein. The disulphide bonds, hydrogen bonds and hydrophobic interaction within the polypeptide gives mechanical strength and also resistance to some protease enzyme. The main objective of this research was to study degradation of native chicken feather by keratinolytic enzymes from Bacillus sp., that is the role of keratinase and disulphide reductase, and this was conducted in four steps. The first step was conducted to select Bacillus sp. which produced extracellular keratinase and disulphide reductase. The isolates used were B. licheniformis MB-2 and Bacillus sp. MTS. The first isolate was a thermophillic bacterium screened from hot springs water of Mount Tompaso-Manado and the latter was mesophillic bacterium from sulphuric soil of Mount Tangkuban Perahu- Bandung. The result showed that Bacillus sp.MTS was more effective than B.licheniformis MB-2 for chicken feather degradation. A minimum medium which contained mineral salts was the best medium for Bacillus sp.MTS to secrete disulphide reductase, while the best medium for keratinase production was minimum medium with addition of 0.02% tripton and 0.02% yeast extract. Bacillus sp.MTS was found to secrete intracellular and extracellular keratinase and disulphide reductase and it was selected for further study. The second step was conducted to characterize the crude keratinase and disulphide reductase of Bacillus sp.MTS . The optimum temperature for keratinase and disulphide reductase were 55oC and 28oC respectively. Optimum pHs for keratinase were 8.0, 10.0 and 11.0, and optimum pH for disulphide reductase was 9.0. SDS-PAGE analysis of the culture-free cell showed 17 – 60 kD protein bands. Zymography analysis of ammonium sulphate fraction (50% w/v) showed that Bacillus sp.MTS secreted multy fraction keratinases of 17, 25, 32, 53, 96 and > 97 kD. The 25 kD keratinase was the most stable enzyme at pH 8.0-11.0 and temperature 55-900 The third step was to purify keratinase and disulphide reductase. Purification with ammonium sulphate 50% (w/v), dialysis, Butyl sepharose FF chromatography dan Sephacryl S-200HR chromatography could increase keratinase and disulphide purities, and gave six active keratinase with specific activity of 10 to 37 U/mg and three active disulphide reductase with specific activity of 30 to 64 U/mg. SDS-PAGE analysis of the highest activities of keratinase fractions showed molecular weights of 53, 32 and 17 kD. The highest activities of disulphide reductase fractions showed of 29 and 17 kD molecular weight. The purified keratinase and disulphide reductase had optimum activity at alkaline pHs (8.0-12.0). C while the 32 and 53 kD fractions were found as unstable. In the fourth step the role of disulphide reductase, reducing agent (DTT and BMT) and urea in hydrolysis of native chicken feather and sheep wool and NaOH prehydrolized chicken feather were studied. The activity of purified keratinase was increased by the presence of purified disulphide reductase. Keyword:
Judul: Dampak komposisi belanja pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan Abstrak:Komposisi belanja pemerintah Indonesia setelah krisis ekonomi 1997 semakin didominasi oleh belanja rutin. Jika sebelum krisis rata-rata proporsi belanja rutin sebesar 60 persen dan belanja pembangunan 40 persen, namun pada tahun 2010 belanja rutin hampir mencapai 80 persen. Peningkatan porsi belanja rutin tersebut, awalnya merupakan konsekuensi dampak dari krisis. Sebagaimana diketahui, krisis telah mengakibatkan tingginya inflasi, tingkat suku bunga dan depresiasi nilai tukar. Pada tahun 1998 inflasi mencapai 77 persen, suku bunga SBI 3 bulan mencapai 50 persen dan Rupiah terdepresiasi hingga berada pada level Rp9 875 per dollar (235 persen). Instabilitas sektor moneter tersebut tentunya berpengaruh pada belanja rutin Pemerintah, utamanya untuk belanja gaji pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang. Selama enam (6) tahun terakhir kondisi makro ekonomi Indonesia relatif berada dalam kondisi yang stabil. Selama 2006-2010 rata-rata tingkat inflasi sudah kembali berada pada kisaran 6.8 persen, suku bunga SBI 3 bulan sekitar 8.7 persen dan nilai tukar relatif stabil berada pada kisaran Rp9 499 per dolar. Namun demikian porsi belanja rutin Pemerintah tetap terus mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar pada belanja subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. Selama 2006-2010, belanja subsidi rata-rata meningkat sebesar 19.7%, terutama untuk subsidi BBM. Kenaikkan subsidi BBM disebabkan oleh peningkatan konsumsi BBM rata-rata 5 persen per tahun. Pada tahun 2010 konsumsi BBM Indonesia sekitar 1.3 juta barel per hari. Sementara produksi kilang minyak Indonesia rata-rata hanya mencapai sekitar 700 ribu barel per hari. Indonesia merupakan negara importer neto BBM, sementara harga BBM ditentukan oleh Pemerintah (administered Price). Akibatnya ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia kebutuhan subsidi menjadi membengkak. Demikian juga belanja pegawai rata-rata meningkat sebesar 22.48 persen. Peningkatan ini disamping dipicu oleh inflasi juga didorong adanya kebijakan pemekaran wilayah sehingga jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengalami peningkatan drastis. Disisi lain defisit anggaran yang dibiayai dengan utang, telah berdampak pada meningkatnya akumulasi utang pemerintah, sehingga porsi beban pembayaran bunga utang mencapai 14.7 persen dari total belanja pusat. Tingginya beban belanja rutin tersebut berakibat belanja modal hanya mendapatkan porsi sekitar 12.5 persen, sehingga sangat terbatas untuk dapat membiayai pembangunan infrastruktur. Proporsi belanja modal tersebut jelas tidak ideal, apalagi jika dibandingkan dengan proporsi belanja modal negara-negara lain. Malaysia mempunyai porsi belanja modal mencapai 31 persen, Thailand 20.2 persen, dan Vietnam 28.4 persen. Kondisi ini menyebabkan ruang fiskal hanya berkisar 4-5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rendahnya ruang..dst Keyword:kebijakan fiskal, keseimbangan fiskal, dampak ekonomi, pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah
Judul: Responses of productivity and milk quality on suplementation of mineral soap, organic minerals and roasted soybeans in ruminant diets Abstrak:Milk production and quality are limited by feed quality either macronutrient or micronutrient. The objectives of this study were to protect essential fatty acids from degradation of rumen microbes, increase ruminant productivity, increase CLA and omega-3 content of milk. The experiment was divided into 3 parts. The first experiment was supplement production. The second experiment was evaluation of the productivity response of sheep to supplements. Thirty two Garut sheep (initial body weight of 22.38±3.56 kg) were assigned into a randomized complete block design with 8 treaments. Body weight was used as a block (4 blocks). Eight rations evaluated in this trial were FO: basal diet + fish oil, CO: basal diet + corn oil, CaFO: basal diet + calcium soap of fish oil, CaCO: basal diet + calcium soap of corn oil, ZnFO: basal diet + zinc soap of fish oil, ZnCO: basal diet + zinc soap of corn oil, RS: basal diet + roasted soybeans, MM: basal diet + mineral mix. The experimental diets were offered for 8 weeks. The third experiment was designed to measure milk yield and quality responses of dairy cattle to supplement. Twenty lactating Frisian Holstein cows (initial weight of 361.4 ± 40.39 kg) were assigned into a randomized complete block design with 5 treatments and 4 block. The treatments were B: basal diet, RS: B + roasted soybeans, MM: RS + mineral mix (organic-Zn, Cu, Cr, Se), CaCO: MM + calcium soap of corn oil, CaFO: MM + calcium soap of fish oil. The experimental diets were offered for 2 weeks preliminary and 9 weeks of observations period. Keyword:
Judul: Reproductive Performance And Lambs Survival Of Prolific Sheep Withaddition Of Sunflower Oil (Helianthus Annus) As A Source Of Linoleic Acid Abstrak:Garut sheep genetically is prolific, it gave birth two or more lambs, adaptability to environment. In fact the national productivity of local sheep still need to be improved. One of the efforts improvements that feeding strategy. Generally ration for livestock reproduction had calculated availability of macro nutrients such as protein and energy. Elements of micro minerals and vitamins that support the process of reproduction, however the availability of micro element such as essential fatty acids not yet to be considered and assessed extensively. The essential fatty acids such as linoleic isvery important in the diet, because the body can not synthesizes it. It can prepare with enrichment ration base on local feed with manipulation of fatty acid composition derived from sunflower oil (Helianthus annus Linn). This study has three main objectives: (1) toevaluate ration with different levels of sunflower oil on the reproductive performance of garut sheep, (2) to evaluate the increased levels of energy ration, with fat-rich unsaturated fatty acids from sunflower oil on the nutrient intake, rumen fermentability, performance and quality of ewes milk. and (3) to evaluate the performance pre-weaning lambs which were born from ewes fed rich linoleic diet. The experiment was conducted from May 2012 to February 2013, at Laboratory Analysis of Meat and Draught Animal Nutrition Science ,Faculty of Animal Science, Lab. Physiology and MicrobiologyLaboratory. Faculty of Veterinary Medicine and IPB Integrated Laboratory. The First study were used 32 ewes garut primaparous (initial body weight 22.12 ±1.69 kg), and 4 rams with the same fertility treatmentsconsisted of four ration with different levels of sunflower oil.Levels of sunflower oil were added based on the maintenance level of linoleic acid. M0=without sunflower oil, M1=2% sunflower oil, M2= 4% sunflower oil and M3=6% sunflower oil. Completely Randomized Design (CRD) was used in the study. Parameters measured werethe feed intake and digestibility of nutrients, reproductive parameters, the synthesis of the progesteronehormone, blood metabolites in different phases, andthe growth of ewes and lambs. Data were analyzed by ANOVA and Chi Square (χ2). Duncan test was used if significant difference. Some variables analysed descriptively, the relationship between variables was tested with simple regression. The first studyresults showed that the treatments did not significantly affect consumption of dry matter, protein and TDN, but significantly affect consumption of fat, linoleic acid and Beta-N (p<0.05).The treatments did not affect the digestibility of dry matter, crude protein, beta-N, calcium and phosphorus, but crude fiber and crude fat was significantly affected by the treatments (p<0.05). Levels of glucose, cholesterol,progesteron, the percentage of pregnancy, number of embryos. Litter size and the sex ratio of lambs was high significantly affected (p<0.01) by treatments. In the second study were Sixteen ewes 1.5 years old used, first lactation and caged individually with lambs. Experimental design using a completely randomized design with different replications.The treatments consisted ration with different levels of sunflower oil, i.e. R1= ration with 0% sunflower oil addition, R2= ration with 4% sunflower oil addition, R3=ration with 6% sunflower oil addition. The treatmentsof feed,were given before mating until weaning. The variables measured were dry matter intake, consumption of nutrients, ewe performances (birth weight, weaning weight, shrinkage of body weight), levels of total and partial VFA, the ratio of acetate: propionate, methane production, protozoa population,production and quality of colostrum and milk.Data were analyzed statisticallyand descriptively. The results showed that the treatments did not influence dry matter intake, crude protein, crude fiber, calcium, phosphorus, but highly significant influence the consumption of fat. The treatmentsdid not significantly affect rumen fermentability and ewes performances,however reduces shrinkage of body weight,improve the ewes productivity and quality of milkeven though no statistical significant. Twenty four new birth lambs were used inthe third observation. Completely randomized design with different replications used in the study. Data were anakyzed variance (ANOVA) and continued with Duncan test. Fatty acid composition of milk, lamb mortality at birth were analyzed descriptively.The treatments consisted of diet by different levels of linoleic acid, namely Lhp= linoleate for maintenance, L2hp= 2 times linoleate maintenance, L3hp= 3 times linoleate maintenance.The parameters measured include: fatty acid composition of milk, birth weight, weaning weight, body weight gain, IgGlevels of colostral, ewes serum and lamb serum, behaviours of lambs, lamb mortality, and survival of lambs. The results showed that the addition of linoleic acid in the diet could improve the composition of unsaturated fatty acids ewe's milk.There were arachidonic acid (AA), gamma linoleic acid (GLA) and docosahexaeonic fatty acid (DHA) that important as a precursor of prostaglandin synthesis. Linoleic concentration in milk increase along with the levels of linoleic in ration .Birth weight, weaning weight and body weight gain 0 to 56 days of age were not significantly different, but the twins weight and body weight gain at the age of 0 to 28 days significantly affected (p<0.05). IgG concentration of colostrum, ewesserum and lamb serum both single and twins were not influenced. The treatments could improve behavour lambs.Birth mortality of Lhp,L2hp,L3hp was 0%,22.2%,16.7%, respectively. It is concluded that the addition of sunflower oil to 6% (linoleic acid to 3 times maintenance level) improve synthesis of steroid hormone, ovulation rate, multiple embryo and male sex ratio. It can improve ewesbody condition, acceleratedbody weight recovery, improving the quality of colostrum and milk produced.Improve fatty acid composition of ewesmilk and positively affect the performance and survival of prolific lambs. Keyword:garut sheep, linoleic acid, prolific, reproductive, sunflower oil, survival
Judul: Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa Abstrak:Pendekatan pembangunan yang banyak diterima para ahli adalah pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang berarti bahwa dalam pembangunan diperlukan keikutsertaan rakyat. Keikutsertaan tidak hanya pada tahap merencanakan pembangunan, akan tetapi juga ikut dalam melaksanakan, bahkan sampai pada menilai hasil-hasil pembangunan (Cohen dan Uphoe 1977; Dusseldorp, 1981; Slamet, 1993). Agar rakyat yang berhimpun dalam kelompok-kelompok dapat ikut serta, mereka harus memiliki sejumlah kualifikasi yang diperlukan untuk itu. Keyword:
Judul: Study of Genetic Markers, Performance, Testosterone Hormone Profile and Semen Quality of Pasundan Bulls Abstrak:Sapi pasundan salah satu plasma nutfah sapi lokal Indonesia yang perlu dikembangkan dan dilestarikan. Sapi pasundan merupakan hasil persilangan antara Bos javanicus (sapi bali) dan Bos indicus (sapi ongole dan sapi madura). Perbaikan mutu genetik sapi pasundan diupayakan oleh pemerintah melalui program inseminasi buatan (IB) menggunakan semen beku. Pemilihan pejantan unggul melalui breeding soundness examination (BSE) mensyaratkan kualitas semen baik. Kualitas semen ditentukan oleh usia ketika hewan tersebut telah mencapai pubertas. Prediksi fertilitas pejantan belum cukup akurat berdasarkan penilaian kualitas semen menggunakan parameter konvensional. Pengujian secara molekuler menjadi salah satu upaya dalam mendeteksi kualitas sperma. Teknik seleksi secara genomik terhadap kualitas semen yang cepat, tepat, dan akurat belum dikembangkan. Gen yang diekspresikan terkait dengan kualitas semen belum banyak dilaporkan dan perlu dilakukan konfirmasi, khususnya sapi pasundan belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan metode deteksi molekular dalam penilaian kualitas semen sapi pejantan. Penelitian terdiri atas 4 bagian. Penelitian bagian pertama bertujuan untuk melakukan kajian terhadap morfometrik tubuh serta korelasinya dengan konsentrasi testosteron pada kelompok sapi jantan prepubertas berumur <6 bulan (I), peri-pubertas berumur 6-12 bulan (II), post-pubertas (III) dan pejantan (IV) sapi pasundan berumur >12 bulan. Hasil penelitian menunjukkan lebar dada, tinggi panggul, panjang kepala, dan lebar kepala berbeda (P<0,05) antara kelompok I dengan II. Parameter morfomotrik seluruhnya berbeda nyata (P<0,05) pada kelompok III dan IV. Persentase peningkatan rerata morfometrik tubuh sebesar 59,05% (fase prepubertas ke peri-pubertas) dan 71,38% (fase peri-pubertas ke post-pubertas). Indeks morfometrik height slope, length index (2), depth index, dan foreleg length berbeda (P<0,05) antara III dengan IV. Rerata konsentrasi hormon testosteron berbeda (P<0,05) antara kelompok I (3,25±0,76 ng ml-1), II (9,13±0,85 ng ml-1) dan III (12,16±0,40 ng ml-1). Umur berkorelasi (P<0,05) dengan lingkar skrotum pada fase prepubertas (R² = 0,9973) dan post-pubertas (R² = 0,4150), tetapi tidak dapat dijadikan sebagai penentu kadar testosteron. Penelitian bagian kedua bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik tubuh, libido, dan konsentrasi testosteron serta korelasinya antar parameter pada sapi jantan pasundan. Sapi pasundan dikelompokkan berdasarkan motilitas sperma semen segar ke dalam kelompok A (70-79%) dan B (80-89%). Hasil penelitian menunjukkan fenotipik dan umur tidak berbeda (P>0,05) antara kelompok A dan B. Perbedaan morfometrik (P<0,05) dijumpai pada lebar kepala (A: 23,04±0,24 cm dan B: 21,60±0,60 cm). Rerata konsentrasi testosteron sebesar 13,38±0,21 ng ml-1. Waktu consummation kelompok A (108,20±20,16 sa) lebih cepat (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok B (184,60±26,66 sa). Panjang badan berkorelasi dengan waktu courtship sebesar (R2=0,9596) dan consummation (R2=0,9487) pada kelompok A. Disimpulkan bahwa konsentrasi testosteron, umur, dan lingkar skrotum tidak dapat digunakan untuk menduga motilitas sperma. Penelitian ketiga bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik semen dan potensi produksi semen beku pejantan sapi pasundan. Hasil penelitian menunjukkan pH semen segar kelompok B lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok A. Konsentrasi sperma per ejakulat pada kedua kelompok tidak berbeda (P>0,05) dengan kisaran 4312,36x106 - 6303,52 x106 sperma. Abnormalitas, viabilitas dan keutuhan DNA sperma semen segar tidak berbeda (P>0,05) antara kelompok A (9,41±1,21%; 84,41±0,99%; 91,19±0,79%) dan kelompok B (10,22±0,66%; 86,35±2,16%; 92,58±0,35%). Keutuhan DNA sperma semen beku kelompok B (89,81±1,18%) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok A (86,83±0,60%). Motilitas sperma semen beku kelompok A (<40%) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok B. Parameter kinematik motilitas sperma yaitu curvilinear velocity (VCL), straight-line velocity (VSL), average pathway velocity (VAP), amplitude of lateral displacement (ALH), dan beat cross frequency (BCF) tidak berbeda (P<0,05) antara kelompok A dan B. Produksi semen beku pejantan pasundan antara 144,18 sampai 191,29 straw/ejakulat. Penelitian disimpulkan bahwa kelompok B memenuhi syarat sebagai sumber semen untuk dibekukan dan digunakan dalam IB. Penelitian bagian keempat bertujuan mengisolasi RNA dari sperma serta mempelajari profil ekspresi gen protamin 1 (PRM1), protamin 2 (PRM2) dan deleted in azoospermia-like (DAZL). Hasil transkrip PRM1, PRM2, DAZL, dan ß-Actine (ACTB) diperlihatkan dalam sperma menggunakan primer PCR yang sesuai. Ekspresi gen PRM1, PRM2, dan DAZL dievaluasi menggunakan qRT-PCR dan ACTB digunakan sebagai kontrol. Motilitas progresif sperma semen segar 80-89% memperlihatkan tingkat ekspresi mRNA PRM1 dan PRM2 secara signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan motilitas progresif sperma 70-79%. Hal ini menunjukkan adanya peran gen terhadap parameter motilitas progresif sperma. Hasil kajian penanda genetik mampu menjelaskan gen yang berperan dalam kualitas sperma. Gen yang dikaji merupakan penanda genetik spesifik dan metode akurat untuk seleksi pejantan. Ekspresi gen PRM1 dan PRM2 dengan tingkat ekspresi relative >1,0 dapat digunakan sebagai parameter biomulekular dalam seleksi pejantan unggul sapi pasundan., Pasundan cattle are one of the Indonesian domestic resources of genetic bull that need to be developed and conserved. Pasundan cattle initially came from crossbreeding between Bos javanicus (Bali cattle) and Bos indicus (Ongole and Madura cattle). The government is trying to improve the genetic quality of Pasundan cattle through an artificial insemination (AI) program using frozen semen. Bull’s selection through breeding soundness examination (BSE) requires good quality of semen. Semen quality is determined by males when they reach puberty. Prediction of bulls fertility is not accurate enough based on quality assessment of semen using conventional parameters. Molecular testing is an effort to detect sperm quality. The rapidly precision and accuracy of genomic selection techniques in semen quality is limited. Genes expression related to semen quality have not been widely reported and need to be confirmed, especially in Pasundan cattle. This study aimed to develop a molecular detection method for assessing semen quality in Pasundan bulls. This study consists of 4 experiments. The first experiment aims to study the morfometric characteristics of body measurements and their relationship with testosterone concentration in pre at <6 months of age (I), peri at 6-12 months of age (II), post-pubertal at >12 months of age (III) and Pasundan mature bulls at >12 months of age (IV). The results showed that hearth girth, rumpt height, and head were significantly different (P<0.05) between group I and II. All morphometric parameters were significantly different (P<0.05) between group III and IV. Body morphometric increases from prepubertal to peri-puberty phase was 59.05% and from peri-puberty to postpuberty phase was 71.38%. Morphometric index height slope, length index (2), depth index, and foreleg length was significantly different (P<0.05) between group III and IV. The value of testosterone concentration was significantly different (P<0.05) between groups I (3.25±0.76 ng ml-1), II (9.13±0.85 ng ml-1) and III (12.16±0.40 ng ml-1). Age had correlation (P<0.05) with scrotal circumference in prepubertal (R² = 0.9973) and post-pubertal (R² = 0.4150) phase, however, cannot use as testosterone levels determine. The second experiment aimed to evaluate phenotypic, morphometric, libido, and concentration of testosterone and their relationship between parameters in Pasundan bulls. Pasundan bulls were divided into two groups based on their sperm motilities into group A (70-79%) and group B (80-89%). The results showed that phenotype and age did not different (P>0.05) between groups A and B. The morphometric variations were significantly different (P<0.05) on face width (A: 23.04±0.24 cm and B: 21.60±0.60 cm). The value of testosterone concentration was 13.38±0.21 ng ml-1. Consummation time in group A (108.20±20.16 sa) was faster (P<0.05) than group B (184.60±26.66 sa). Body length was correlated with courtship (R2=0.9596) and consummation time (R2=0.9487) in group A. In conclusion, testosterone concentration, age, and scrotal circumference can not used for predicting of sperm motility. The third experiment aimed to evaluate the sperm characteristics and frozen semen production potential in Pasundan bulls. The results showed that the fresh semen pH in group B was lower (p<0.05) than group A. Sperm concentration per ejaculate showed no difference (p>0.05) with a range of 4312.36x106 to 6303.52x106. The viability and DNA integrity of fresh semen were not different (p>0.05) between group A (84.41±0.99%; 91.19±0.79%) and group B (86.35±2.16%; 92.58±0.35%). DNA integrity of frozen semen of group B (89.81±1.18%) was higher (p<0.05) than group A (86.83±0.60%). The frozen semen sperm motility in group A (<40%) was lower than group B. However, the sperm motility kinematic parameters of curvilinear velocity (VCL), straight-line velocity (VSL), average pathway velocity (VAP), amplitude of lateral displacement (ALH), and beat cross frequency (BCF) were not different (p<0.05) between two groups. The frozen semen production of Pasundan bulls were between 144.18 to 191.29 straws/ejaculate. In conclusion, group B are eligible to be used as a semen source for freezing to be use in AI program. The fourth experiment aimed to isolate RNA from mature sperm and to monitor the expression profile of protamine 1 (PRM1), protamine 2 (PRM2) and deleted in azoospermia-like (DAZL) gene. The results showed that the levels of PRM1 and PRM2 mRNA expression in progressive motility of fresh semen 80-89% was higher (P<0.05) than progressive motility of fresh semen 70-79%. This indicates the role of genes in semen quality parameters. The results of the genetic markers study can explain the genes that play a role in sperm quality. The analysis of genes was a specific genetic marker and accurate method for the selection of bulls. The expression of PRM1 and PRM2 genes with relative expression levels > 1.0 could use as biomolecular parameters for selecting pasundan bulls. Keyword:Pasundan bulls, gene expression, body morphometrics, sperm characteristics
Judul: Identification of polymorphism of follicle-stimulating hormone sub-beta unit gene, follicle-stimulating hormone receptor and growth hormon gene for sperm abnormalities marker in bali cattle Abstrak:The use of markers linked to genes of interest in breeding programmes is more intensive, thus shiffing from phenotype based towards genotype-based selection, have been obvious for many decades. However, realization of this potential has been limited by the lack of markers. With the advent of DNA-based genetic markers in the late 1970s, the situation changed and researchers could, for the first time, begin to identify large numbers of markers dispersed throughout the genetic materials of any species of interest and use the markers to detect associations with traits of interest, thus allowing marker assited selection (MAS) finally to become a reality. The study was conducted to identify polymorphism of Follicle-Stimulating Hormone Sub-beta Unit Gene (FSH beta-sub unit), Follicle- Stimulating Hormone Receptor (FSH receptor) and Growth Hormon (GH) gene had been explored for Sperm Abnormalities Marker in Bali Cattle. A total of 195 samples for association studied from several AI centre of Indonesia and 301 samples for population studied from cattle development area were collected. The objective of this study was to found genetic marker sperm abnormalities in Bali Cattle using DNA polymorphism tools. This study devided in four parts, the first part was study using PCR-RFLP to identify the polymorphism FSH beta-sub unit, the second study using PCR-SSCP, the third study using PCR-RFLP to identify the polymorphism FSH receptor gene, and the fourth study using the PCR-RFLP to identify GH gene. The result in show that Bali cattle was monomorphic that different from other breeds (FH, Brahman, Simmental and Limousin) that were polymorphic. The highest observed heterozygosity was found in Limousin (0.318) and the highest expected heterozygosity was found in Simmental (0.420). Chisquare value was significantly in FH, Brahman and Simmental. The highest incidence of sperm abnormalities were found in Simmental, Limousin and Brahman, while the lowest was found in FH and Bali. In the secondly study, amplification FSH beta-sub unit gene using PCR-SSCP produced allele A and B, also AA, AB and BB genotypes, but in Bali cattle only allele B and BB genotype were found. The highest of observed and expected herezygosity were found in Simmental (0.372), (0.420) respectively. Chi-square values were significant in Brahman, FH and Limousin. The amplification of FSH receptor in the thirdly study using PCR-RFLP with restriction enzym AluI found polymorphism for all breeds. The highest observed heterozygosity was found in Brahman (0.356) and highest expected heterozygosity was found in Simmental (0.420). The chi-square values were significant in all breeds. PCR RFLP with restriction enzym MspI were used to amplify GH gene in fourth study. Results in gene GH|MspI analysis show that only B allele and BB genotype were found in Bali cattle, these indicate that the gene is monomorphic. The diversity of allele frequencies and genotype GH gene indicate that the frequency of allele A was the highest in Simmental (0.750) and lowest in Bali cattle (0.000), allele B was the highest in Bali cattle ii (1,000) and lowest in Simmental (0.250). The highest observed heterozygosity value was found in Simmental (0.500) and the lowest in Bali cattle (0.000), Chisquare value was significant only in FH. Result in association sperm abnormalities indicate lower abnormality in AB genotype when compared to BB and AA genotypes. Keyword:
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Spatial planning system of coastal area: Lampung Bay case study Abstrak:Penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh kekhasan wlayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang. Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demikian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan Pendekatan sistem dapat memberikan pemahaman fenomena dunia nyata secara komprehensif. Wilayah pesisir yang kompleks, dapat dipandang sebagai suatu sistem, dengan komponen utama terdiri dari populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan penggunaan ruang. Melalui pemodelan sistem, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut. Dengan demikian, melalui intervensi terhadap sistem, dapat dihasilkan perencanaan tata ruang terpadu, komprehensif, dan akomodatif terhadap kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders). Sebagai wilayah pesisir yang kompleks dengan beragam aktivitas, Teluk Lampung dipilih sebagai lokasi penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif. Pendekatan penelitian melalui sistem dinamik dengan pemodelan deterministik, yang mampu mengkaji sistem kompleks. Pemetaan kebutuhan para pemangku kepentingan menggunakan analisis prospektif partispatif, dan penyajian spasial menggunakan sistem informasi geografis. Keyword:
Judul: Spatial palnning model for coastal area. case study: Kabupaten Bekasi North Coastal Area. Abstrak:The propose of the study is to purposes as spatial planning model for coastal areas, integrating land and marine aspect. The comp lexity of issues in coastal areas such as heterogentiy of life, potentials of economi c resources, and tobe explored and developed. Coastal areas as the basic matrix for development i s dynamic, difficult for clear and exact delineation, and do not have clear manage ment boundaries. The approach employed to formulate the spatial plan ning model for coastal areas is a descriptive method both quantitative and quali tative. The dynamics taking place in coastal areas require different planning approach from a land based spatial planning, and the main indicators are its carrying capacity, land suitability and economic value of each land utilitation. These indicators also be app lied in the coastal zone spatial planning model purposed in this study, with the n ecessary modification as appropriate in coastal zone. Keyword:Land Carrying Capacity, Coastal Zone Land Utilization, Coastal Zone Characteristics
Judul: Cytotoxicity and Green Fluorescent Protein labeling of Cronobacter spp. to study its behaviour during corn drying Abstrak:Cronobacter spp. (previously known as Enterobacter sakazakii) is a group of Gram-negative bacteria consisted of six species, including Cronobacter sakazakii and Cronobacter muytjensii (Iversen et al. 2008). Cronobacter spp. is regarded as an emerging foodborne pathogen that causes meningitis, bacteremia and necrotizing enterocolitis in certain groups of infants as a consequence of contaminated infant formulae consumption. Pathogenesis of Cronobacter is caused by several virulence factors, including its toxins. Medium free cells of Cronobacter spp. have been reported to cause alteration of Vero cells morphology due to its cytotoxic activity. In Indonesia, Cronobacter spp. have been isolated (Estuningsih et al. 2006, Meutia et al. 2008, Gitapratiwi et al. 2012 and Hamdani 2012). All of the isolates were obtained from dried food products; i.e powdered infant formula, weaning food, rice flour, tapioca, cornstarch, sugar, cocoa powder and dried spices, suggesting that they were able to survive drying. The data reported by FAO-WHO (2004) showed that the ingredient added through dry mixing process was one of the sources of Cronobacter spp. contaminant in powder infant formulae. Current researches supported this issue, Dewanti-Hariyadi et al. (2010) have isolated Cronobacter spp. from cornstarch and Fiegen (2010) have isolated the pathogen form cornstarch and other ingredients (lecithin, potato starch, rice starch and wheat starch). It is important to understand Cronobacter spp. survival during drying due to its presence in dried food products. Maize was chosen as a food model in this study due to its widespread use as raw materials for dried food products. For specific detection and enumeration, a Green Fluorescent Protein (GFP) was introduced into Cronobacter cells as a marker. GFP is a protein from jellyfish (Aequorea Victoria) which can fluoresce and its gene has been inserted into a plasmid (pGFP) as a vector. The pGFPuv is a GFP variant plasmid having fluorescence signal 45-fold greater than a standard pGFP and this was achieved by DNA shuffling. The mutant can grow in ampicillin containing medium and was seen as a green fluorescents colony. The objectives of this study were to evaluate cytotoxic activity of food originated isolates of C. sakazakii and C. muytjensii and to evaluate their survival, colonization and penetration during maize drying. This research was conducted in three steps: 1. In Vitro analysis of cytotoxic activity of C. sakazakii and C. muytjensii using Vero cell and haemolytic activity on blood agar medium; 2. Construction of GFP-labeled C. sakazakii and C. muytjensii, study of their stability and growth characteristics; 3. Use of the mutant to study the survival, colonization and penetration of C. sakazakii during maize drying. As much as nineteen C. sakazakii isolates dan one C. muytjensii isolate obtained from previous research were used for this study originated from cornstarch, tapioca, flour, infant milk formulae, weaning food and powder dried spices. Twenty isolates of C. sakazakii and C. muytjensii originated from food have different cytotoxic activity of their toxins. Thirteen out of 20 isolates (65% samples) were confirmed as cytotoxic positive including one isolate C. muytjensii while 7 isolates were grouped as nontoxic. Five isolates with the highest cytotoxic activity were C. sakazakii FWHb6, E2, FWHb15, FWHc3 and FWHd16 (80%, 78%, 76%, 73% and 70% respectively relative to control Salmonella Typhimurium 100%), while C. muytjensii FWHd11 belong to moderate group. Haematoxylin Eosin staining showed that a number of Vero cells experienced cytoplasm degradation due to cell degeneration and some of underwent nucleic matter condensation due to the cell death. All isolates showed haemolytic activity after 72 h incubation. C. sakazakii and C. muytjensii isolates took up gfp-containing plasmid into their cell and expressed this gene, except for the ampicillin resistant isolate. Analysis of plasmid stability showed that all of mutants could maintain the plasmid for ca. 20 generations without negatively affecting the growth rates. C. sakazakii FWHd16 mutant was the most stable. Both of C. sakazakii and C. muytjensii mutants showed nearly identical growth curves as compared to the wild type parental isolates in lag, log and stationary phases. The bacterial growth rates (μmax) of mutants and their parental isolates were similar. From this study, the labeled Cronobacter (YRt2a and FWHd16 isolates) were found stable can be applied for studying its survival, colonization and penetration during maize drying. The mutants were easy to be detected and differentiated from ampicillin resistant micro flora due to its ability to fluoresce under UV light. The population of both isolates decreased during drying. The toxic isolate FWHd16 showed better survival than the non-toxic isolate YRt2a for all temperatures, and were still presence after drying. Microscope examination showed colonization of both isolates on maize surface. These mutants were able to penetrate to the inner side of the grain by entering injured surface or pores at the tip cap of the maize. Keyword:C. sakazakii, C. muytjensii, Green Fluorescent Protein, cytotoxicity, maize
Judul: Kajian produktivitas dan sifat-kimia daging sapi brahman cross pada ransum yang berbeda Abstrak:Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh tiga jenis ransum berbeda terhadap produksi potongan komersial karkas, produksi komponen non karkas, pertumbuhan allometrik potongan komersil karkas terhadap bobot total daging dan bobot karkas, pengaruh bobot hidup terhadap produksi · potongan komersial karkas dan produksi komponen non karkas, pertumbuhan allometrik komponen non karkas terhadap bobot total non karkas dan bobot hidup, sifat fisik dan kimia daging, kualitas daging serta harga jual produksi ternak. Dalam penelitian ini digunakan 149 ekor sapi Brahman Cross jantan kebiri (steer) dari PT. Great Giant Livestock Co. (GGLC) Lampung 50 ekor, PT. Kariyana Gita Utama (KGU) Cicurug Sukabumi 50 ekor dan PT. Suntoryfood Corporation Lampung 49 ekor. Penggemukan sapi di PT. GGLC memakai ransum dengan komposisi:konsentrat 11-15% dan hijauan kulit nenas 85-89%, di PT.KGU 50.8% konsentrat dan 49.2% rumput raja dan PT.Suntory konsentrat 93% dan silase daun jagung 7%. Ketiga ransum tersebut masing-masing disebut sebagai Ransum A, B dan C dengan kandungan protein dan energi yang hampir sama, yaitu protein kasar 12.30-..dst Keyword:sapi brahman; karkas; non karkas; kimia daging
Judul: Aplikasi Stimulator Mekanis Rumen terhadap Performa Sapi Brahman Cross pada Penggemukan Tiga Bulan Abstrak:Perlakuan pemberian serat buatan dengan nama produk rumen reticulator, pot scrubber dan rumen mechanical stimulating brush atau stimulator mekanis rumen diintroduksi untuk mengurangi resiko asidosis yang ditimbulkan dari praktek pemberian pakan konsentrat tinggi. Penelitian ini adalah penelitian pertama di Indonesia yang menggunakan stimulator mekanis rumen untuk meminimalisir dampak negatif pakan konsentrat tinggi terhadap homeostasis rumen. Penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok pengamatan yaitu: (i) Pengaruh penggunaan stimulator mekanis rumen (SMR) terhadap tingkah laku makan, konsumsi dan kecernan pakan sapi brahman cross. (ii) Gambaran papila dan histologi rumen, hematologi, metabolit darah dan IgG sapi brahman cross dengan aplikasi stimulator mekanis rumen. (iii) Pengukuran parameter performa produksi, sifat-sifat karkas, sifat fisika dan kimia daging, dan komposisi asam lemak daging longissimus dorsi pada sapi brahman cross yang diberi perlakuan SMR. Pengamatan pertama bertujuan mengevaluasi pengaruh penggunaan SMR terhadap tingkah laku makan, konsumsi dan kecernaan bahan kering pakan. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi brahman cross dengan rataan berat 267.50±3.456 kg sebanyak 20 ekor. Sapi dibagi ke dalam dua perlakuan yaitu kontrol (tanpa SMR) dan kelompok SMR. Prosedur penelitian dan penggunaan hewan percobaan pada penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Bioetik Institut Pertanian Bogor (No. 01/2015/IPB). Stimulator mekanis rumen adalah alat mekanis veteriner dengan merek dagang Rumenfibe®. Instalasi SMR dilakukan mengikuti prosedur sesuai panduan instalasi Meiwa-sangyo.co Ltd, oleh tenaga profesional. Semua sapi mendapatkan pakan yang sama terdiri dari konsentrat 94.5% dan hijauan 5.5% dengan kandungan serat kasar 18.2 % dan protein kasar 12.24%. Pakan yang diberikan dihitung berdasarkan 3% berat badan. Konsumsi pakan diukur dengan mengurangi jumlah pakan yang diberikan pada pagi hari dengan sisa pakan pada keesokan paginya. Sampel konsentrat, hijauan dan feses diambil untuk analisis kecernaan dengan metode acid insoluble ash (AIA) menurut metode van Keulen (1977). Pengamatan tingkah laku makan meliputi durasi, frekuensi dan persentase makan, minum, berdiri, istirahat dan ruminasi dilakukan 24 jam selama 28 hari melalui rekaman video. Aplikasi SMR meningkatkan durasi, frekuensi dan persentase ruminasi (P<0.05). Durasi dan persentase istirahat pada SMR lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0.05) Konsumsi pakan dan kecernaan pakan tidak dipengaruhi oleh perlakuan SMR (P>0.05). Pengamatan kedua bertujuan mempelajari pengaruh aplikasi SMR terhadap gambaran papila, deskripsi histologi rumen, hematologi, metabolit darah dan IgG sapi brahman cross. Sampel darah diambil melalui vena coccygea pada akhir penelitian dengan menggunakan syringe 5 ml. Pengukuran gambaran darah mencakup hemoglobin, jumlah eritrosit dan leukosit, hematokrit dan diferensiasi sel darah putih. Perhitungan diferensiasi sel darah putih dilakukan dengan menggunakan preparat ulas. Parameter metabolit darah yang diukur adalah total iii glukosa dengan metode Barham dan Trinder (1972), total protein dengan metode Weichselbaum et al. (1946) dan trigliserida menggunakan metode Trinder (1969). Serum IgG diukur dengan metode Burgess (1988). Penyembelihan dilakukan diakhir penelitian sesuai prosedur penyembelihan halal. Selanjutnya retikulorumen dibersihkan dan difoto untuk tampilan makroskopik. Histologi jaringan rumen dibuat untuk penghitungan jumlah papila dan selanjutnya dilakukan pengukuran luas permukaan mukosa papila dengan menggunakan software ImageJ. Hasil pengamatan gross anatomi rumen menunjukkan rumen dalam kondisi sehat, bentuk papilla yang relatif seragam dan tidak mengalami atropi sesuai dengan hasil pengamatan histologi rumen. Perhitungan jumlah papila menunjukkan perlakuan SMR meningkatkan jumlah papila (P<0.05) meskipun tidak terdapat perbedaan pada luas permukaan mukosa rumen (P>0.05). Aplikasi SMR mempengaruhi persentase neutrofil dan rasio neutrofil : limfosit (P<0.05) yang mengindikasikan stres pada sapi meskipun nilainya masih berada pada kategori normal. Metabolit darah dan IgG tidak dipengaruhi oleh perlakuan aplikasi SMR (P>0.05). Pengamatan ketiga mengukur parameter performa produksi, sifat-sifat karkas, sifat fisika dan kimia daging, dan komposisi asam lemak otot longissimus dorsi. Ternak ditimbang setiap bulan untuk mengetahui pertambahan berat badan. Pertambahan berat badan harian dilakukan dengan membagi total pertambahan berat badan dengan jumlah hari pemeliharaan tiap bulan. Setelah sapi disembelih dilakukan pemisahan dan pengukuran bagian karkas dan non karkas. Tebal lemak punggung diukur pada rusuk 9/10 dan luas urat daging mata rusuk (udamaru) diukur dari gambar udamaru pada plastik mika dengan menggunakan planimeter. Selanjutnya sampel otot longisimus dorsi diambil untuk pengukuran sifat fisik yang mencakup pH, keempukan daging, warna daging, persentase susut masak dan daya mengikat air. Aplikasi SMR tidak mempengaruhi performa produksi, persentase karkas tetapi dapat menurunkan tebal lemak punggung (P<0.05). Pengukuran kimia dan komposisi asam lemak otot longissimus dorsi pada sapi brahman cross yang diberi perlakuan stimulator mekanis rumen tidak berbeda nyata dibandingkan kelompok kontrol. Kesimpulan penelitian ini adalah stimulasi mekanis oleh aplikasi SMR dapat meningkatkan durasi ruminasi tanpa pengaruh pada konsumsi dan kecernaan bahan kering pakan. Aplikasi ini menyebabkan peningkatan jumlah papila rumen, proporsi netrofil dan rasio netrofil:limfosit. Aplikasi SMR dapat menurunkan tebal lemak punggung meskipun tidak mempengaruhi performa produksi. Keyword:stimulator mekanis rumen, sapi brahman cross, tingkah laku makan, performa produksi, kualitas daging
Judul: Peran Pemuda dalam Pembangunan Masayarakat Pedesaan (Kasus Penelitian Desa-desa Wilayah Perkotaan, Pinggiran dan Pedesaan Kabupaten Malang Jawa Timur) Abstrak:Peran adalah perilaku yang diharapkan sesuai dengan hngsi atau kedudukannya. Perilaku yang dilakukan pemuda adalah belajar dan berlatih serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Belajar dan berlatih adalah proses pengembangan diri. Partisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat pedesaan merupakan proses pematangan diri. Dengan cara demikian diharapkan mereka (pemuda) kelak menjadi matang dalam menghadapi berbagai gerak pembangunan masyarakat pedesaan di desanya. Keyword:
Judul: Pengaruh metode pemasakan terhadap kandungan vitamin dan profil asam lemak pada daging sapi lokal, sapi impor dan kerbau Abstrak:Daging merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan tubuh manusia untuk pertumbuhan dan kesehatan, sehingga mempunyai peran cukup besar dalam konteks ketahanan pangan. Daging disamping sebagai sumber protein, juga mengandung asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh (UFA), Conjugated Linoleic Acids (CLA), vitamin, mineral (Fe, Zn, Se) yang diperlukan untuk mendapatkan kebutuhan zat gizi. Peningkatan konsumsi daging perlu diikuti dengan peningkatan kualitas yang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu keamanan, kualitas gizi dan palatability (Montgomery & Leheska 2008), namun dalam pemeriksaan kualitas daging biasanya ditentukan oleh parameter penampilan, rasa, keempukan, dan aroma (Lawrie & Ledward 2006). Kualitas daging dapat dipengaruhi antara lain oleh faktor spesies, ras (breed), jenis kelamin, umur, status nutrisi (Lawrie 1998) dan metode pemasakan untuk daging yang dimasak atau diolah. Penelitian kualitas daging sapi perlu dilakukan terutama daging yang biasa dikonsumsi masyarakat, baik sapi lokal maupun sapi impor. Selama ini belum banyak ditelitit tentang kualitas daging sapi lokal termasuk daging kerbau ditinjau dari aspek gizi, keamanan dan rasa. Sapi lokal Indonesia diantaranya adalah sapi bali, sapi madura, sapi aceh, galekan, sapi Peranakan Ongole (PO) dengan variasi kombinasi spesies (Kusdiantoro et al. 2009). Selain sapi, kerbau (Bubalus bubalis) merupakan hewan ternak yang biasa dikonsumsi di beberapa daerah. Sapi dan kerbau umumnya dipelihara secara sederhana dan tradisional oleh masyarakat Indonesia dengan mengandalkan pakan hijauan rumput dari tegalan, pematang dan lapangan/lahan kosong. Dalam upaya pemanfaatan limbah industri pertanian, sapi diberi pakan wet distiller’s grains plus soluble (WDGS). WDGS adalah salah satu pakan yang diperoleh dari jagung, merupakan produk samping dari industri etanol dengan metode fermentasi. WDGS mengandung energi, protein, dan fosfor yang tinggi, yakni tiga kali lipat lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan dengan jagung non-fermentasi (Lardy 2007, Erickson et al. 2007). Pemanasan pada proses pemasakan daging selain memberikan rasa lezat, empuk, aman juga dapat menyebabkan kehilangan zat gizi. Metode pemasakan daging adalah hal yang sangat penting untuk mendapatkan rasa yang lezat dan keamanan produk (Tornberg 2005). Metode masak juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap bervariasinya kandungan zat gizi diantaranya adalah vitamin dan asam lemak pada daging masak. Kehilangan zat gizi ini dapat bervariasi tergantung dengan temperatur, waktu dan metode pemasakan (Bender & Zia 1976). ...dst Keyword:vitamin B1, vitamin B6, vitamin E, asam lemak, retensi
Judul: Kajian Keragaman Gen MSTN, ADIPOQ, FTO dan EDG1 sebagai Marka Genetik Kualitas Daging pada Sapi Pedaging Indonesia Abstrak:Indonesia memiliki Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) yang melimpah, dimana terdapat empat bangsa sapi yaitu: sapi Bali (Bos javanicus), Zebu (Bos indicus), Taurine (Bos taurus), dan sapi silangan. Bangsa sapi tersebut dibudidayakan sebagai penghasil daging, susu, kulit, dan sebagai ternak kerja. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang telah didomestikasi dari banteng liar (Bibos banteng) di Jawa dan Bali selama ratusan tahun. Zebu diperkenalkan oleh orang India pada awal abad pertama. Beberapa sapi Bos taurus diimpor pada awal abad ke-18 untuk digunakan sebagai sapi perah. Indonesia telah menetapkan 9 bangsa sapi pedaging antara lain: sapi Bali, Madura, Aceh, Sumbawa, Pesisir, Peranakan Ongole (PO), Jabres, dan Sumba Ongole (SO), dan Brahman. Kekayaan SDGT ini perlu dilestarikan, dikembangkan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan demi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak serta memperkuat ketahanan pangan nasional. Kebijakan pengelolaan SDGT yang berkelanjutan merujuk kepada tiga pendekatan, yaitu: Pemurnian dan konservasi ternak, persilangan ternak dan pengembangan bangsa baru. Sapi pedaging Indonesia berpotensi untuk dikembangkan menjadi sapi pedaging unggul melalui proses seleksi dan persilangan. Dewasa ini telah berkembang seleksi berdasarkan marka genetik atau disebut marker assisted selection (MAS) yang hasilnya lebih akurat, efektif dan efisien. Proses seleksi dapat dilakukan pada kandidat gen-gen yang berasosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging. Beberapa gen yang potensial untuk diseleksi antara lain: gen myostatin (MSTN), gen adiponectin (ADIPOQ), gen fat mass and obesity associated (FTO), dan gen endothelial differentiation sphingolipid G-proteincoupled receptor 1 (EDG1) yang telah banyak dilaporkan pada bangsa sapi Bos taurus maupun Bos indicus. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi keragaman SNP gen MSTN, ADIPOQ, FTO dan EDG1 pada sapi pedaging Indonesia. 2) Memvalidasi keragaman SNP baru yang ditemukan pada sapi pedaging Indonesia. 3) Mengasosiasikan keragaman SNP baru yang polimorfik dengan peubah pertumbuhan dan kualitas daging pada sapi pedaging Indonesia. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yaitu mengidentifikasi keragaman gen MSTN, ADIPOQ, FTO dan EDG1 pada bangsa sapi pedaging Indonesia. Penelitian tahap pertama dilakukan dengan metode polymerase chain reaction-resticted fragment length polymorphism (PCR-RFLP) dan direct sequencing. Tahap kedua yaitu memvalidasi dan mengasosiasikan gen-gen yang polimorfik dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging pada sapi Bali. Data sifat pertumbuhan diperoleh dari hasil recording dan pengukuran langsung. Data kualitas daging diperoleh dengan metode estimasi menggunakan alat ultrasonografi. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa keragaman SNP g.- 371T>A gen MSTN di bagian promotor bersifat polimorfik pada sapi Katingan, sapi Sumba Ongole (SO) dan sapi Simmental dengan ditemukan tiga genotipe (TT, TA, AA) dan dua alel T dan A. Sedangkan pada sapi Pasundan, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Brahman, sapi Limousin dan sapi Bali bersifat monomorfik hanya bergenotipe TT dan alel T. Keragaman SNP indel g.81 966 364D>I gen ADIPOQ di bagian promotor bersifat monomorfik pada semua bangsa sapi pedaging Indonesia, hanya ditemukan satu genotipe DD dan satu alel D. Keragaman SNP g.125 550A>T di ekson 3 gen FTO bersifat polimorfik pada sapi Madura, Pesisir, Katingan, PO, Pasundan, SO, Brahman, Simmental dan Limousin dengan ditemukan tiga genotipe (AA, AT, TT) dan dua alel (A dan T). Sedangkan pada sapi Bali bersifat monomorfik bergenotipe AA dan alel A. Keragaman SNP c.-312A>G gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Madura, sapi Pasundan, sapi Pesisir, sapi Limousin, sapi Brahman dengan ditemukan dua genotipe (AA dan AG) dan dua alel A dan G. Sementara pada sapi Simmental, sapi PO, sapi Katingan, sapi SO dan sapi Bali bersifat monomorfik bergenotipe AA dan alel A. Hasil direct sequencing sapi Bali ditemukan 3 kandidat SNP baru (novel SNP) yaitu: c.-399C>T, c.-326C>G dan c.-273C>G gen EDG1 di bagian 5’UTR. Ketiga SNP tersebut diidentifikasi keragamannya dan dilanjutkan ke tahap asosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging jika bersifat polimorfik. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa keragaman SNP c.- 399C>T gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Bali dengan ditemukan dua genotipe CC dan CT dan dua alel C dan T. Sedangkan pada sapi PO, sapi Brahman dan sapi Limousin bersifat monomorfik bergenotipe TT dan beralel T. keragaman SNP c.-326C>G gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Bali dengan ditemukan dua genotipe CC dan CG dan dua alel C dan G. Sedangkan pada sapi PO, sapi Brahman dan sapi Limousin bersifat monomorfik bergenotipe CC dan beralel C. keragaman SNP c.-273C>G gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Bali dengan ditemukan tiga genotipe (CC, CG dan GG), dua alel C dan G. Sedangkan pada sapi PO, sapi Brahman dan sapi Limousin bersifat monomorfik bergenotipe GG dan beralel G. Hasil analisis asosiasi SNP c.-399C>T dan c.-326C>G tidak berasosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging sapi Bali. Sedangkan SNP c.-273C>G memiliki asosiasi yang signifikan (P<0.05) dengan tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskular sapi Bali. Sapi yang bergenotipe GG memiliki tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskuler yang lebih tinggi dibanding yang bergenotipe CC dan CG. Kesimpulan penelitian ini yaitu SNP g.-371T>A gen MSTN di bagian promotor bersifat polimorfik pada sapi Katingan, sapi SO dan sapi Simmental. SNP indel g.81 966 364D>I Gen ADIPOQ di bagian promotor bersifat monomorfik pada sapi potong Indonesia. SNP c.-312A>G gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Madura, sapi Pasundan, sapi Pesisir, sapi Limousin, sapi Brahman. SNP g.125 550A>T di ekson 3 gen FTO bersifat polimorfik pada sapi Sapi Madura, Pesisir, Katingan, PO, Pasundan, SO, Brahman, Simmental dan Limousin. Pada sapi Bali ditemukan 3 kandidat SNP baru di posisi c.-399C>T, c.- 326C>G dan c.-273C>G gen EDG1 di bagian 5’UTR yang bersifat polimorfik. SNP c.-273C>G berpengaruh signifikan terhadap tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskular sapi Bali. Sapi Bali yang bergenotipe GG memiliki tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskular yang lebih tinggi dibanding yang bergenotipe CC dan CG. SNP c.-273C>G gen EDG1 bagian 5’UTR berpotensi sebagai kandidat penciri genetik sifat tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskular pada sapi Bali. Keyword:Sapi Bali, kualitas daging, lemak intramuskular, SNP c.-273C>G gen EDG1
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Development Lamp of Light Emitting Diode (LED) as Artificial Lighting on Petepete Liftnet in South Sulawesi. Abstrak:Development of lights-equipped fishing gears in Indonesia has been growing rapidly and even more significant in recent years. The use of boat liftnet as fishing gears, which applying light lamps to attract fish has increased from 12,520 units in 2008 to 13,120 units in 2010, statistically. This growth have been increasing the percentage of boat liftnet operation in South Sulawesi within the period of 2011-2012 for 5.95%. This statistic data showed the amount of energy used to produce light during the operation liftnet, not including lights operated on purse seiner which also uses light in its operations. In Barru District, the fishing technique with boat liftnet (‘bagan petepete’ is the local name) still use the mercury lamps to attract the fish. This lights has been considered unfriendly environmental criteria due to the fact that it relatively required a huge amount of energy (electricity), short lifetime, and contains heavy metal in its raw material. Thus, an alternative technology to reduce consumption of electricity energy for boat liftnet fisheries is urgently needed. One of alternative solution is to applying an energy-saving, longer lifetime, lower heat radiation and shock resistance type of light lamps, which is called Light Emitting Diode (LED) technology. This LED technology is still developing for further used and is expected to be used widely, including fishing gears technology. The main objective of this research is to: (1) analyze the current system of petepete boat liftnet fisheries in Barru district; (2) analyze the feasibility of LED lamps for boat liftnet petepete fisheris in Barru district; and (3) develop a grand strategy in applying LED lamps technology to petepete liftnet fisheries in South Sulawesi waters. Fishing operation of the petepete liftnet was carried out in Barru district waters, as part of Makassar Strait, South Sulawesi. Two units of boat liftnet petepete was operated at 4o22'48.7" to 4°33'47.8" South and 119° 25'05.0" to 119°33'42.7" East. Both liftnet were operated at 25-50 meters water depth with distance of 3-11.5 nautical mile from the Barru coastal lines. There were 50 trips of fishing conducted from October to September 2012 and April to May 2013 during this study. There were some different operating techniques between petepete liftnet compared to other bigger boat liftnet (e.g. “Bagan Rambo” the local name) as following. First, the setting in petepete boat lifnet was conducted before the external lights were dimmed, while the bagan Rambo is contrary technique.. Second, the bagan rambo cannot move individually to find shelter during the bad weather condition or simply to find new fishing ground when the catch of previous hauling is not satisfactory. The petepete liftnet was equipped with 20 units LED and each unit has a 80-watt and able to penetrate into 15 meters water depth with 5 lux of intensities. Both lamps have similar result of fish caught and no protected or endangered biota being caught during this study. Although the fishing gear equipped with mercury lamps v resulted more caught then LED, however it was economically not significantly different. The Return Cost Ratio (R/C Ratio) was 1.26, meaning that for each one Rupiah spending, resulting in products that worth IDR 1.26. The Return of Investment (ROI) value was 39.71 which indicated that for every investment of IDR100 will return back profit of IDR 39.71. The indicator of Payback Period (PP) was 2.52, mean that the capital being invested can be fully paid back in 2.52 years. Overall the use of LED lamp for petepete liftnet was considered environmental friendly. Sustainability of the use of the petepete liftnet was assessed as “sustained” fishing since all sustainability criteria has been fulfilled. LED lamp is evaluate feasible in term of fishing technic, economy, sustainability, and environment parameters as fish attracting device for liftnet petepete fisheries. Technically it was more efficient than mercury lamp of 48% and 26% financially. The parameter of sustainability and environmental friendly were indicated a sustainability criteria with score of 24 and 15, respectively. LED lamp was feasible and fulfill all the criteria to apply for liftnet petepete fisheries. In order to introduces and disseminate this LED technology to fishermen some programs need to be done previously, such as socialization to fishermen, related government agencies, NGOs (Non-Government Organizations), particularly about technical aspect of LED lamp as supporting equipment for liftnet fishing gear of petepete. It was also suggested that a program to apply LED lamp in liftnet boat should be include a training program to fishermen on its proper application. Also a support system should be developed to help fishermen to easily access the provision of LED lamps and its spare parts through a cooperative management system and available funding facility and technology support in applying LED lamp to the liftnet boat fisheries. Keyword:feasibility of LED lamp, fishing gears, petepete boat liftnet
Judul: Pengembangan Teknologi Pencahayaan untuk Perikanan Lift Net yang Hemat Energi dan Ramah Lingkungan Abstrak:Lift net merupakan salah satu teknologi penangkapan ikan dengan alat bantu cahaya (light fishing) yang tersebar di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Adanya anggapan bahwa semakin terang cahaya yang digunakan akan meningkatkan hasil tangkapan telah mendorong nelayan menggunakan lampu dengan jumlah dan daya yang besar sehingga meningkatkan biaya operasional penangkapan. Padahal setiap ikan memiliki preferensi dan sensitivitas berbeda terhadap rangsangan cahaya yang diterimanya. Belum tersedianya lampu pemikat ikan (fishing lamp) yang khusus dirancang untuk perikanan bagan menyebabkan lampu fluorescent (neon) masih menjadi pilihan utama, meskipun tingkat konsumsi BBM dan energinya tinggi serta memiliki umur teknis yang singkat. Perkembangan teknologi light emitting diode (LED) telah mendorong berbagai penelitian untuk menghasilkan fishing lamp yang lebih efektif, efisien dan ramah lingkungan untuk perikanan bagan. Lampu LED hanya membutuhkan daya rendah sehingga dapat dikombinasikan dengan sumber energi terbarukan, salah satunya dengan baterai air laut. Namun pemanfaatan baterai air laut pada penangkapan ikan belum dilakukan, karena tingginya harga elektrode dan ketersediaannya terbatas. Penelitian penggunaan LED pada perikanan bagan selama ini hanya menggunakan aspek bobot hasil tangkapan sebagai tolok ukur efektivitas. Selain itu, aspek respons, tingkah laku, adaptasi fisiologis retina, kesetaraan sebaran intensitas cahaya yang digunakan serta rekayasa desain lampu yang dihasilkan juga belum diperhatikan, sehingga kesimpulan yang diperoleh kurang relevan. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan teknologi pencahayaan berupa LED fishing lamp dengan sumber energi dari baterai air laut yang efektif, efisien dan ramah lingkungan untuk perikanan bagan di Teluk Banten. Rekayasa desain baterai air laut dilakukan melalui uji coba laboratorium untuk menentukan jenis dan kinerja bahan elektrode yang dikembangkan. Pengamatan respons, tingkah laku dan adaptasi fisiologis mata ikan target dilakukan di laboratorium, karamba penelitian dan uji coba penangkapan dengan bagan tancap. Pengamatan respons tingkah laku ikan pada karamba penelitian dan bagan tancap dilakukan menggunakan 360° imaging sonar dan side scan sonar. Adaptasi fisiologis retina mata ikan target ditentukan berdasarkan nilai indeks kon yang dihitung dari hasil histologi mata ikan sampel. Image analysis digunakan untuk menentukan sebaran dan proporsi kelompok ikan zona pada pencahayaan yang berbeda dan selanjutnya menjadi parameter untuk menentukan tingkat efektivitas masing-masing lampu yang digunakan. Rekayasa desain menghasilkan rancangan LED fishing lamp terbaik dengan panjang penampang utama 600 mm yang dipasang dengan konfigurasi sejajar, sehingga sebaran intensitas cahayanya dapat menjangkau catchable area bagan. Baterai air laut dengan elektrode Cu-Zn yang disusun spiral memiliki kinerja teknis yang lebih baik sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi LED fishing lamp. Hasil penelitian menunjukkan susunan 5 sel baterai air laut mampu menghasilkan listrik yang konstan dengan tegangan rata-rata 4.01 V dan arus keluaran 646.92 mA. Nilai intensitas LED fishing lamp dengan energi dari baterai air laut selama dua jam rata-rata sebesar 8 μW/cm². Respons ikan terhadap LED fishing lamp warna hijau lebih cepat, lebih stabil dan lebih konsisten baik pada skala laboratorium, karamba penelitian maupun saat uji coba penangkapan dengan bagan tancap. Penggunaan LED hijau juga menyebabkan waktu untuk mengkonsentrasikan ikan pada main zone lebih singkat dibandingkan lampu lainnya. Efektivitas LED hijau juga ditunjukkan oleh kondisi adaptasi fisiologis retina mata ikan yang lebih tinggi yaitu 92% untuk ikan tembang, 91% pada ikan pepetek, 83% pada ikan selar, 33% untuk ikan belanak dan 13% pada cumi-cumi. Hasil uji coba penangkapan menunjukkan bahwa penggunaan LED fishing lamp pada bagan tancap memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan lampu neon. Respons ikan lebih cepat dan ikan yang telah terkonsentrasi pada main zone bertahan dengan pola tingkah laku renang yang stabil dan konsisten terutama pada LED hijau. Produktivitas penangkapan dengan LED fishing lamp juga lebih tinggi dibandingkan lampu neon. Nilai produktivitas LED warna putih, biru dan hijau masing-masing 1 754 g/W; 1 532 g/w dan 2 155 g/W sedangkan untuk lampu neon sebesar 65 g/W. Pengukuran Technology Readiness Level (TRL) terhadap baterai air laut dan LED fishing lamp menunjukkan bahwa baterai air laut berada pada TRL 5, sedangkan LED fishing lamp memiliki nilai TRL 6. Artinya teknologi baterai air laut dan LED fishing lamp masih membutuhkan uji terap pada lingkungan sebenarnya dengan jumlah pengulangan yang lebih banyak. Uji terap dilakukan untuk proses verifikasi dan validasi terhadap aspek teknis dan kinerja teknologi pencahayaan yang dihasilkan sehingga pada digunakan pada perikanan bagan tancap. Keyword:bagan, baterai air laut, efektivitas, fishing lamp,, espons, tingkah laku ikan
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Efektivitas Model Edukasi Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak secara Intensif (KPMBA-I) dalam Meningkatkan Kinerja Konseling Kader Posyandu. Abstrak:Kegiatan edukasi di Posyandu yang belum dilakukan oleh kader menyebabkan ibu yang memiliki bayi dan anak usia 0-2 tahun tidak memperoleh informasi tentang kondisi dan cara mengatasi masalah kesehatan bayi atau anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas model edukasi konseling pemberian makan bayi dan anak secara intensif (KPMBA-I) terhadap kinerja konseling kader Posyandu. Penelitian dilaksanakan di Ciomas Bogor Jawa Barat pada bulan Mei sampai Desember 2017. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, menggunakan desain kualitatif pada tahap satu dan dua, pada tahapan penelitian ketiga menggunakan desain eksperimen semu. Populasi target dalam penelitian ini adalah kader yang bekerja dan berada di Kecamatan Ciomas Bogor. Subjek dalam penelitian ini adalah kader yang berasal dari dua desa yaitu Desa Pagelaran dan Desa Ciomas Rahayu di Kecamatan Ciomas Bogor dengan jumlah 55 orang. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah 1) bersedia mengikuti penelitian sampai selesai dengan menandatangani inform consent, 2) Sehat, 3) sebagai kader aktif (hadir setiap bulan kegiatan posyandu), 4) Usia antara 20-55 tahun, 5) sudah menikah, 6) lama bekerja sebagai kader minimal 2 tahun, sedangkan kriteria eksklusi adalah kader yang sakit dan tidak bisa mengikuti penelitian sampai selesai. Kader kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan modul kader standar dan kader kelompok intervensi mendapatkan edukasi konseling PMBA intensif (KPMBA-I). Data yang dianalisis meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan selain kader, pernah tidaknya mendapat pelatihan, lama menjadi kader, pengetahuan, sikap, motivasi dan kinerja konseling PMBA. Data keterampilan konseling kader diperoleh dengan cara observasi selama pendampingan. Data praktik pemberian makan bayi dan anak diperoleh dari hasil konseling kader kepada ibu/pengasuh dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan kader tidak secara rutin memberikan penyuluhan/edukasi gizi dan kesehatan di Posyandu. Edukasi dilakukan secara informal, tidak ada pedoman penyuluhan yang dikuti dan tidak menggunakan alat bantu. Tokoh masyarakat dan petugas kesehatan mendukung kader untuk dapat melaksanakan tugas nya dengan baik. Masyarakat pengguna posyandu juga berharap, ada peningkatan keterampilan kader khususnya keterampilan konseling. Kader berharap mendapat pelatihan yang tepat dan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan konseling yang dapat dipraktikkan di masyarakat. Hasil penelitian tahap dua diperoleh model edukasi konseling PMBA intensif (KPMBA-I) berupa modul modifikasi konseling PMBA dengan penambahan jam praktik konseling dan proses pendampingan. Sebagian (56%) kader berada pada usia produktif yaitu usia 35-45 tahun. Sebanyak 64% kader memiliki pendidikan yang tinggi yaitu tingkat SMA. Selain menjadi kader posyandu, sebagian besar (80%) bekerja sebagai ibu rumah tangga, berstatus sudah menikah dan selama menjalankan tugasnya sebagai kader, hampir seluruhnya (95%) mendapat dukungan dari keluarga khususnya suami. Dalam satu tahun terakhir, terdapat kader yang belum pernah mendapat pelatihan (35%), pernah mendapat pelatihan satu kali (31%) dan pelatihan dua kali atau lebih (34%). Lama dan pengalaman menjadi kader posyandu sebagian besar adalah 2 sampai 5 tahun (71%). Tidak terdapat perbedaan signifikan antara karakteristik kader kelompok intervensi dan kontrol (p>0.05) sehingga tidak mempengaruhi hasil intervensi. Hasil uji paired t-test menunjukkan perbedaan signifikan nilai pengetahuan, sikap dan motivasi kader kelompok intervensi sebelum dan setelah pelatihan (p<0.05). Hasil uji independent t-test menunjukkan perbedaan yang signifikan nilai pengetahuan kedua kelompok setelah mendapat pelatihan (p<0.05) namun nilai sikap dan motivasi tidak menunjukkan perbedaan (p>0.05). Hasil uji paired t-test menunjukkan perbedaan nilai kinerja kader kelompok intervensi sebelum dan setelah pelatihan (p<0.05). Hasil uji independent t-test menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai kinerja kedua kelompok setelah mendapat pelatihan (p<0.05). Skor dari empat indikator kinerja konseling yaitu kuantitas, kualitas, kepedulian dan karakter menunjukkan peningkatan secara signifikan pada kelompok kader yang diberi edukasi KPMBA-I. Hasil analisis ANCOVA menunjukkan secara simultan pengetahuan, sikap kader, pernah mendapat pelatihan dan model edukasi berpengaruh terhadap kinerja konseling kader (p<0.05) dengan nilai R Squared = 0.447. Evaluasi proses pendampingan dilakukan selama kader melakukan praktik konseling kepada ibu bayi dan anak usia 0-24 bulan sebanyak 8 kali. Hasil analisis menunjukkan nilai p= 0.001 yang berarti proses pendampingan memberikan pengaruh terhadap keterampilan konseling kader berdasarkan tahap pendampingan. Jumlah pendampingan yang efisien dan efektif meningkatkan keterampilan konseling kader adalah 3 kali pendampingan. Evaluasi proses praktik konseling kader kepada ibu/pengasuh bayi dan anak usia 0-24 bulan memberikan hasil pada perubahan praktik PMBA ibu/pengasuh. Terjadi peningkatan praktik pemberian makan bayi dan anak usia 6-24 bulan oleh ibu/pengasuh berdasarkan kategori (p= 0.001) dan nilai rerata praktik (p= 0.003). Praktik yang mengalami peningkatan adalah konsumsi lauk hewani, bentuk/kekentalan dan variasi makanan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:(1) Model edukasi KPMBA-I efektif meningkatkan pengetahuan, sikap dan motivasi kader. (2) Model edukasi KPMBA-I efektif meningkatkan kinerja konseling kader dengan indikator kuantitas, kualitas, kepedulian dan karakter. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kinerja konseling adalah model edukasi, pengetahuan, sikap dan pernah tidaknya kader mendapat pelatihan. (3) Proses pendampingan efektif meningkatkan keterampilan konseling PMBA kader. (4) Praktik konseling PMBA kader kepada ibu/pengasuh dapat meningkatkan praktik PMBA usia 6-24 bulan. Untuk itu perlu dilakukan 1) pendampingan rutin dan terstruktur oleh bidan desa maupun petugas gizi untuk mempertahankan keterampilan konseling kader dengan menggunakan alat ukur penilaian keterampilan konseling, 2) peningkatan kapasitas kader secara kontinyu seperti refreshing /penyegaran misalnya dalam pertemuan bulanan kader, 3) peningkatan dukungan dari aparat desa dan tokoh masyarakat agar praktik konseling PMBA kader dapat dilakukan secara rutin. Keyword:kader, kinerja, konseling, pendampingan, PMBA
Judul: Efektivitas Model Edukasi Gizi dengan Kartu Monitoring Makanan dan Biskuit MP-ASI terhadap Pertumbuhan dan Status Anemia pada Anak Gizi Kurang Usia 6-23 bulan di Aceh. Abstrak:Gangguan pertumbuhan dan defisiensi gizi mikro pada anak usia 6-23 bulan masih menjadi permasalahan di Indonesia terutama di Provinsi Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas model edukasi gizi dengan kartu monitoring makanan dan Biskuit MP-ASI terhadap pertumbuhan dan status anemia pada anak gizi kurang usia 6-23 bulan, dilaksanakan pada bulan Mei 2016 sampai Mei 2017 di Kabupaten Aceh Besar provinsi Aceh. Desain cross-sectional dengan jumlah sampel 392 anak usia 6-23 bulan dilakukan untuk studi formatif dan desain Cluster Randomized Control Trial terhadap 166 sampel untuk studi intevensi. Hasil studi formatif menunjukkan praktik pemberian MP-ASI pada anak usia 6-23 bulan masih sangat rendah. Berdasarkan indikator infant and young child feeding (IYCF) (WHO 2012), hanya 39.0% anak diberi ASI ekslusif, 49.7% diberi MP-ASI tepat waktu (timely introduction of CF), 74.4% memenuhi standar minimum meal frequency (MMF), 49.7% memenuhi standar minimum dietary diversity (MDD) serta hanya 39.8% yang memenuhi kriteria minimum acceptable diet (MAD). Hasil penelitian ini juga menunjukkan hanya sebagian kecil ibu yang mempunyai pengetahuan, sikap dan motivasi tentang praktik pemberian MP-ASI dengan kategori baik, yaitu 20.2%, 8.7% dan 33.3%. Prevalensi anemia, defisiensi besi pada anak gizi kurang usia 6-23 bulan sangat tinggi, yaitu 50.7% anemia, 27.3% menderita iron deficiency dan 19.7% menderita iron deficiency anemia (IDA). Hasil penelitian studi intervensi didapatkan rata-rata persentase kepatuhan konsumsi biskuit adalah 75.7±19.9%, kepatuhan ibu mengisi kartu monitoring makanan sebagai alat evaluasi praktik pemberian MP-ASI 95.9±9.9% serta skor praktik pemberian makanan menggunakan KMM didapatkan rata-rata 9.2±1.5 dari 12 skor maksimal selama intervensi. Hasil studi implementasi terdapat perbedaan rerata skor pengetahuan sikap dan motivasi, norma sosial, persepsi kontrol perilaku, niat ibu untuk berperilaku setelah intervensi (p=0.029, p=0.019, p=0.000, p=0.001, p=0.001, p=0.000). Hasil analisis uji lanjut dengan post hoc test menunjukkan edukasi gizi efektif meningkatkan pengetahuan sikap dan motivasi, norma sosial, persepsi kontrol perilaku, niat ibu untuk berperilaku. Hasil penelitian ini juga didapatkan peningkatan signifikan indikator frekuensi konsumsi pada bulan ke 3 sampai ke 6, keragaman pada bulan kedua intervensi dan indikator minimum acceptable diet pada bulan ke 6 intervensi. Terjadi penurunan prevalensi defisiensi besi yang signifikan setelah intervensi (p=0.003) pada anak gizi kurang yang menderita defisiensi, penurunan defisiensi besi tertinggi pada kelompok intervensi biskuit (MNB), yaitu 100%, diikuti kelompok kombinasi edukasi dan biskuit MP-ASI (KMM+MNB), yaitu 60.0% dan kontrol 40,0% penurunan terkecil pada kelompok edukasi saja (KMM), yaitu 28.6%. Demikian juga hasil analisis pada sampel yang menderita anemia sebelum intervensi (pre-test) menunjukkan terjadi penurunan prevalensi anemia pada semua kelompok intervensi, penurunan tertinggi pada kelompok intervensi biskuit saja (MNB), yaitu 64.3%, diikuti kelompok kontrol (40.6%), kelompok KMM+MNB (35.0%) dan kelompok KMM (18.2%) akan tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan (p=0.120). Artinya intervensi biskuit MP-ASI efektif menurunkan prevalensi defisiensi pada anak yang menderita defisiensi sebelum intervensi tetapi tidak signifikan terhadap penurunan prevalensi anemia. Hasil penelitian didapatkan terjadi penurunan signifikan prevalensi gizi kurang dari 100% pada awal intervensi (baseline) menjadi 45.2% pada kelompok KMM+MNB, 63.3% pada kelompok KMM, 64.5% pada kelompok MNB dan 69.0% pada kelompok kontrol, artinya terjadi perubahan status gizi dari gizi kurang menjadi gizi baik 36.7% (kelompok KMM), 54.8% (KMM+MNB), 35.5% (MNB) dan 31.0% (kontrol). Penurunan gizi kurang tertinggi terjadi pada kelompok intervensi kombinasi edukasi gizi dan biskuit (KMM+MNB). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut; (1) Praktik pemberian MP-ASI pada anak usia 6-23 bulan masih rendah terutama indikator praktik ASI ekslusif, pemberian MP-ASI tepat waktu, minimum dietary diversity dan minimum acceptable diet, (2) Pengetahuan ibu tentang praktik pemberian MP-ASI sesuai rekomendasi masih rendah, semantara sikap dan motivasi ibu sebagian besar sudah pada kategori sedang, (3) Model edukasi gizi dengan KMM dapat digunakan sebagai media edukasi dan evaluasi praktik pemberian makanan pada anak usia 6-23 bulan, (4) Intervensi edukasi gizi dengan KMM efektif meningkatkan pengetahuan sikap motivasi, norma sosial, persepsi kontrol perilaku dan niat ibu untuk berperilaku, serta meningkatkan praktik pemberian MP-ASI, (5) Intervensi biskuit MP-ASI dan kombinasi KMM+MNB lebih efektif menurunkan prevalensi defisiensi pada anak gizi kurang dengan status defisiensi besi, sementara intervensi biskuits MP-ASI juga lebih efektif menurunkan prevalensi anemia, (6) Intervensi edukasi dan biskuit (KMM+MNB) lebih efektif menurunkan prevalensi gizi kurang. Untuk itu diperlukan; (1) Intervensi edukasi gizi yang berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan motivasi ibu melalui program edukasi yang spesifik dan terstruktur oleh petugas kesehatan, (2) Perlu aplikasi lebih lanjut model edukasi dengan KMM sebagai salah satu alternatif strategi edukasi gizi di Puskesmas/posyandu atau keluarga, (3) Perlu penelitian lanjut untuk aplikasi edukasi KMM sebagai alat monitoring dan menilai praktik pemberian makanan melalui kegiatan posyandu sebagai edukasi bersifat preventif pencegahan gizi kurang pada anak usia 6-23 bulan serta folow up studi untuk mengetahui dampak intervensi terhadap praktik pemberian makanan, pertumbuhan, status anemia pada usia balita, (4) Perlu pengembangan KMM menjadi KMM digital menggunakan aplikasi komputer dan aplikasi media sosial untuk mempermudah penggunaan dan memperluas sasaran edukasi, (5) Perlu integrasi edukasi gizi dengan edukasi pencegahan penyakit infeksi untuk meningkatkan efektivitas intervensi gizi dalam pencegahan dan penanggulangan gizi kurang. Keyword:Anemia, Biskuit MP-ASI, defisiensi besi, gizi kurang, kartu monitoring makanan, pertumbuhan, praktik pemberian MP-ASI
Judul: Infeksi buatan white spot syndrome virus (WSSV) dan variasi genotipe lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) Abstrak:Viruses are very abundant in sea water and therefore diseases caused by viruses are common in marine organisms. Viral diseases create major problem for the commercial farming of crustaceans. One of the most common and most devastating viral pathogen threatening the shrimp farming industry is White Spot Syndrome Virus (WSSV), which is spreading around the world and also infecting many different species of crustaceans including unnatural host as freshwater crayfish. Redclaw, like other invertebrates, rely instead on innate immune responses, which is mediated by haemocytes and that mechanisms are very efficient and complex. The infecti vity of white spot syndrome virus (WSSV) to redclaw (Cherax quadricarinatus) was artificially tested by immersion challenge and intramuscular injection along with hemogram analysis. The redclaw was found to be susceptible to White Spot Syndrome Virus (WSSV). The immersion method have the same impact as effective as intramuscular injection. Histopathological observations of various tissues of WSSV­infected redclaw showed similar symptoms to those from WSSV-infected penaeid shrimp. When redclaw still alive, the virus inclusion body only appearance in hepatopancreatocytes. For 24 h incubation period, the number of granulocytes by intramuscular injection was significantly higher than by immersion method as great as 58.08% and 43.31 % respectively. On the contrary, the number of hyalinocytes by immersion method was significantly higher than by intramuscular injection as big as 53.45% and 38.75%, respectively. These results indicate that WSSV has a significant effect to the population of redclaw haemocytes, where granulocytes are more resistant to and may interact by some means with the virus. Prawn Infective Doseso (PIDso) to kill 50% of the challenge redclaw was found on 10-2 virus fold dilution. DNA analysis with RFLP-mtDNA using HaeIII, Hind6I, HindlII, Rsal and Sacll restriction enzyme did not show genotype difference between the live and the dead ones. Keyword:lobster tawar, Haemocytes, variasi genotipe, kualitas air
Judul: Non-Pathogenic Phyllosphere Bacteria Producing Bioactive Compounds as Biological Control Agent of Xanthomonas oryzae pv. oryzae Abstrak:Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) merupakan penyebab penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) pada tanaman padi. Bakteri patogen ini menginfeksi tanaman melalui luka atau lubang alami pada daun. Kerusakan terberat terjadi ketika patogen menyerang tanaman rentan sehingga menimbulkan gejala kresek dan hawar daun yang menyebabkan kematian padi. Penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimia berbahaya pada saat ini mulai ditinggalkan karena tidak ramah terhadap lingkungan. Perkembangan bioteknologi telah mendorong berkembangnya penelitian tentang penggunaan mikroorganisme sebagai agen biokontrol. Pemanfaatan bakteri filosfer padi sebagai agen biokontrol merupakan salah satu strategi alternatif untuk mengendalikan Xoo. Penelitian ini bertujuan untuk mencari potensi bakteri filosfer padi yang memiliki kemampuan antagonis terhadap Xoo dan bersifat non-patogenik terhadap tanaman, serta mempelajari kemampuan penghambatan isolat potensial tersebut terhadap bakteri Xoo, penyebab penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi, di rumah kaca., Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) is a causative agent of bacterial leaf blight (BLB) disease in rice plant. These pathogenic bacteria infect the plants through wounds or natural openings on the leaves. The severest damage occurs when the pathogens invade susceptible plants which cause blight symptoms and affect to the death of the rice. The use of pesticides and chemicals that are harmful for environment are reduced nowadays. The development of biotechnology has pushed the research focus on the use of microorganisms as a bio-control agent. Utilization of rice phylosphere bacteria as bio-control agent is one alternative strategy for controlling Xoo. This study aimed to explore the potencies of phyllosphere bacteria as antagonistic agent to Xoo which non-pathogenic to plants, and study the inhibitory potencies of isolates to Xoo causing bacterial leaf blight in rice plants in greenhouse condition Keyword:phyllosphere bacteria, bioactive compound, Xoo, biocontrol agent
Judul: Potensi Bakteri Endofit Dan Asam Salisilat Sebagai Penginduksi Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Xathomonas Oryzae Pv. Oryzae Abstrak:Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan salah satu masalah utama produksi padi di Indonesia. Berbagai upaya pengendalian penyakit ini sudah dilakukan namun hasilnya belum optimal. Alternatif pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan induksi resistensi. Aplikasi induksi ketahanan secara biotik dan abiotik sudah banyak dilakukan, namun kombinasi agens penginduksi ketahanan biotik dan abiotik belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kombinasi bakteri endofit dan asam salisilat yang efektif sebagai agens penginduksi ketahanan tanaman padi terhadap penyakit HDB. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman dan Laboratorium BIORIN PAU IPB, serta Rumah Kaca Cikabayan, IPB mulai berlangsung dari bulan Juni 2013 sampai Desember 2014. Bakteri endofit yang digunakan merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan. Isolat bakteri Xathomonas oryzae patotipe IV dan VIII diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan yaitu aplikasi bakteri endofit, asam salisilat, dan kombinasi bakteri endofit ED1 63 dan asam salisilat. Penelitian tahap satu mengkaji berbagai strain bakteri endofit yaitu EA2 154, EB4 451, dan ED1 63. Penelitian tahap dua mengkaji berbagai konsentrasi asam salisilat (0, 5, 10, dan 15 mM); sedangkan penelitian tahap ketiga mengombinasikan strain bakteri terpilih dan konsentrasi asam salisilat optimal sebagai penginduksi ketahanan tanaman padi terhadap penyakit HDB. Ketiga penelitian ini dirancang dengan menggunakan percobaan faktorial tiga faktor dalam Rancangan Acak Lengkap dan diulang sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strain bakteri endofit ED1 63 secara tunggal efektif dalam menginduksi ketahanan tanaman padi terhadap penyakit HDB. Bakteri endofit ini juga mampu menginduksi ketahanan varietas padi untuk menekan patotipe X. oryzae pv. oryzae IV dan VIII. Bakteri endofit ED1 63 juga dapat berperan dalam memacu peningkatan pertumbuhan tanaman dan pencapaian produksi padi. Pemberian asam salisilat 10 mM efektif dalam menginduksi ketahanan varietas Conde dan Ciherang terhadap penyakit HDB. Asam salisilat mampu menginduksi ketahanan tanaman padi terhadap patotipe X. oryzae pv. oryzae IV dan VIII. Kombinasi bakteri endofit ED1 63 dan asam salisilat 10 mM saangat efektif dalam menginduksi ketahanan tiga varietas padi terhadap penyakit HDB. Demikian juga bakteri endofit tersebut dapat memacu peningkatan pertumbuhan tanaman padi. Bakteri endofit dapat meningkatkan aktivitas enzim peroksidase, polifenoloksidase, dan PAL pada varietas Conde dan Ciherang. Demikian juga asam salisilat meningkatkan aktivitas enzim polifenoloksidase dan β-1,3-glukanase pada varietas Ciherang. Kombinasi bakteri endofit ED1 63 dan asam salisilat meningkatkan aktivitas enzim peroksidase, polifenoloksidase, PAL dan β-1,3-glukanase pada varietas IR64 dan Ciherang. Manfaat dari penelitian adalah menyediakan teknologi induksi resistensi dalam menginduksi ketahanan tiga varietas padi terhadap X. oryzae pv. oryzae patotipe IV dan VIII. Hasil penelitian menunjukkan terjadi sinergisme antara bakteri endofit dan asam salisilat dalam menginduksi ketahanan tiga varietas padi terhadap penyakit HDB maupun dalam memacu pertumbuhan tanaman padi. Keyword:asam salisilat, bakteri endofit, induksi ketahanan, Xanthomonas oryzae pv. oryzae.
Judul: Mixed effect models for high –dimensional longitudinal data with latent variables Abstrak:A set of data that consist of repeated measurements on a large number of outcomes and covariates are known as high-dimensional longitudinal data. The high-dimensional longitudinal data may consist of several effects of interest that cannot be directly measured, known as latent factors or latent variables. During the last decade, the multivariate responses or high-dimensional in longitudinal data have been a big issue. The analysis of high-dimensional longitudinal data is complicated due to its complex correlation structures between outcomes. To understand changes over time of outcome variables, having correlations in individuals with explanatory variables is not enough. Hence, complex correlation structures between outcomes need to be considered. One approach that is commonly used to overcome high-dimensional longitudinal data is simultaneous equation modeling. A well-known simultaneous equation modeling method is the structural equation model (SEM). This approach has several appealing modeling abilities and can be used for high-dimensional longitudinal data. Under the SEM framework, the continuous time SEM is developed to avoid some issues associated with autoregressive and cross-lagged problems in SEM. Another simultaneous equation modeling method is by combining factor analysis and multivariate analysis methods to overcome high dimensional longitudinal data, namely latent factor linear mixed model (LFLMM). The factor analysis is used to reduce the high-dimensional outcomes, and the multivariate linear mixed model is used to study the longitudinal trends of several latent factors. One example of high-dimensional longitudinal data is the General Election Study. This study is carried out repeatedly to observe tendencies towards political attitudes and behavior over time in Belgium. The data contain political information, knowledge, perceptions, and preferences of a political party and the level of participation in politics. One of the most interesting things to study from the data is to analyze the change of political attitudes and behavior of respondents over time. Also, the relationship of changes in these outcomes is important to analyze. The General Election Study in Belgium was designed to include a representative sample of the target population under the Belgian electorate, so accurate estimates about the population could be made. This sampling design was created by the Institute for Social and Political Opinion (ISPO) and the Inter-university Center for Political Opinion Research (PIOP). The Belgian data set contained three subsamples, the Flemish (Dutch-speaking), the Walloon (French-speaking), and the Brussels Capital Region (Dutch and French-speaking). Several studies conducted on the Belgium data are carried out to understand the relationships between the latent variables Individualism (I), Ethnocentrism (E), and Authoritarianism (A) in Flanders. Cross-sectional or a longitudinal studies have also been carried out. In such cases, it is critical to capture the trend of the latent variables over time and, more importantly, whether there is any association or relationships between the development of nationalism (N), ethnocentrism (E), individualism (I), and authoritarianism (A) in Belgium. An empirical analysis of CT-SEM has been done to present the interdependencies among the four latent variables mentioned above on the basis of the General Election Studies for Belgium in 1991, 1995, and 1999 (Interuniversitair steunpunt politieke-opinieonderzoek, 1991, 1995, 1999). Although the four variables have been the subject of several studies in Flanders, a longitudinal analysis of all four concepts using CT analysis and their relationships has not been performed. Reciprocal effects between A and E and between E and I as well as a unidirectional effect from A on I were found in the CT-SEM analysis. The finding also revealed relatively small but significant, effects from both I and E on N, but no effect from A on N or from N on any of the other variables. Similar to the CT-SEM method, the latent factor linear mixed model (LFLMM) is also a common method used to analyze the change in highdimensional longitudinal data. Analysis of change from several previously mentioned latent variables I, N, E, and A in Flanders, Belgium, is interesting as Belgium is feared to fall apart as a nation. Two stages of modeling have been carried out. The first stage involved modeling Individualism (I), Nationalism (N), and Ethnocentrism (E), and in the next step, Authoritarianism (A) was added to the model. The results showed that I, N, and A increased over time while E decreased over time. The correlation of random effects in LFLMM has geared several exciting findings, including positive correlations between E and A; I and E; and I and A. Apart from advantages of the LFLMM method, disadvantages related to assumptions and performance of the EM algorithm used to estimate the model parameters were identified. One disadvantage is that the EM algorithm cannot automatically produce the calculation of standard errors. This dissertation extended the EM algorithm called the Supplemented EM algorithm and used a simulation study to investigate the computational aspects of the algorithm in the latent factor linear mixed model (LFLMM) to produce the standard errors of the estimator of fixed variables. We also calculate the variance matrix of beta using the second moment as a benchmark to compare with the asymptotic variance matrix of beta of Supplemented EM. Both the second moment and Supplemented EM produce symmetrical results, the variance estimates of beta are getting smaller when number of subjects in the simulation increases. The algorithm was implemented to analyze the data on political attitudes and behavior in Flanders-Belgium. This algorithm was also implemented on Belgian data involving cohorts from Flanders and Wallonia. It was found that all latent are positively correlated over time as indicated by the correlation matrix of random effects. Keyword:Belgium, CT-SEM, high-dimensional longitudinal data, LFLMM, Supplemented EM Algorithm
Judul: Model Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan Hutan Rakyat di Daerah Tangkapan Air Waduk Jatigede Abstrak:Hutan rakyat memberikan berbagai manfaat baik manfaat lingkungan maupun ekonomi. Manfaat lingkungan hutan rakyat dalam suatu daerah aliran sungai, seperti hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede, diantaranya sebagai pengendali ketersediaan air. Air merupakan public good sehingga keberadaan hutan rakyat memberikan manfaat kepada publik. Saat ini hutan rakyat cenderung baru ditujukan untuk manfaat ekonomi seperti produksi kayu dimana hasilnya dapat di klaim. Lahan hutan rakyat merupakan private property sehingga berimplikasi pada independensi dalam pengambilan keputusan pengelolaan pemiliknya. Independensi tidak hanya berpengaruh pada pengaturan waktu penebangan, tetapi juga berpengaruh terhadap keputusan jenis komoditas yang diusahakan, dan keputusan mempertahankan hutan rakyat atau tidak. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap fungsi hidrologisnya. Agar fungsi hidrologisnya dapat tetap terjaga, maka diperlukan insentif bagi pemilik hutan rakyat. Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh adalah skema pembayaran jasa lingkungan dengan tujuan agar hutan rakyat tetap dipertahankan keberadaannya sekaligus memberikan insentif bagi pemiliknya. Tujuan umum dari penelitian adalah terbangunnya model skema insentif pembayaran jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede. Tujuan tersebut dijabarkan dalam beberapa kajian yaitu 1) menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap fungsi hidrologis di daerah tangkapan air Waduk Jatigede dengan luarannya adalah peran hutan rakyat dan penggunaan lahan lainnya, 2) menganalisis karakteristik kepemilikan lahan dalam kaitannya dengan tingkat kelayakan usaha hutan rakyat dan usaha berbasis lahan, persepsi terhadap hutan rakyat serta ketergantungan masyarakat terhadap lahan. Luarannya adalah tingkat kelayakan usaha hutan rakyat, persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan, dan 3) menganalisis modal sosial masyarakat dan potensi aksi kolektif dengan luarannya adalah tingkat modal sosial masyarakat. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif berdasarkan kebutuhan masing-masing kajian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, semakin sedikit lahan yang tertutupi tanaman, maka semakin besar debit air sungai yang terjadi. Simulasi terhadap penurunan luas hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede telah menyebabkan terjadinya peningkatan debit air, peningkatan surface runoff dan penurunan groundwater. Hal sebaliknya terjadi dimana peningkatan luas hutan rakyat dapat menurunkan jumlah debit air, menurunkan surface runoff dan meningkatkan groundwater. Hal ini menunjukkan bahwa hutan rakyat memiliki peranan dalam mengendalikan ketersediaan air. Bentuk pengelolaan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah lahan khusus ditanami kayu dan lahan pola agroforestry. Bentuk pengelolaan lahan lainnya adalah pola pengelolaan sawah, dan khusus palawija. Semua bentuk iii pengelolaan lahan menguntungkan dan layak untuk diusahakan (NPV > 0, BCR>1 dan IRR > dari tingkat suku bunga yang diharapkan). Perbedaan bentuk pengelolaan mengakibatkan perbedaan nilai parameter kelayakan finansial. Secara umum, nilai parameter NPV meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan dari produk yang dihasilkan. Parameter tingkat bunga pengembalian atas investasi (IRR) tertinggi adalah lahan sawah. Sedangkan parameter BCR menunjukkan bahwa pengelolaan lahan hutan rakyat dengan pola khusus kayu memberikan nilai yang paling tinggi. Meskipun hutan rakyat layak secara finansial dan dalam persepsi masyarakat memiliki manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial, namun kondisi tersebut belum menjamin tidak akan terjadi alih bentuk pengelolaan. Faktor pendorong alih bentuk pengelolaan hutan rakyat diantaranya nilai finansial yang lebih baik pada bentuk pengelolaan lahan lain serta jaminan pasar dari jenis kayu yang ditanam. Mayoritas pemilik hutan rakyat di lokasi penelitian akan tetap mempertahankan hutannya, serta respon masyarakat terhadap kemungkinan insentif jasa lingkungan dimana dapat mengubah keputusan pengelolaan lahan, telah memberikan gambaran bahwa skema insentif jasa lingkungan memiliki peluang untuk diterapkan. Pemberian insentif hendaknya lebih diarahkan pada penghargaan atas upaya masyarakat dalam mengelola hutannya. Penerapan skema pembayaran jasa lingkungan memerlukan aksi kolektif termasuk dari masyarakat pemilik hutan. Aksi kolektif akan lebih mudah dilaksanakan pada masyarakat yang telah memiliki modal sosial yang baik. Modal sosial (trust, norma, jaringan) di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tokoh masyarakat, yaitu tokoh agama atau yang dituakan, adalah pihak yang sangat dipercaya masyarakat. Dalam interaksinya, masyarakat memiliki norma-norma yang menjadi acuan dalam beraktivitas. Interaksi masyarakat dengan sumberdaya alam seperti lahan/hutan diantaranya mengacu pada norma perlindungan terhadap sumber mata air yaitu melakukan penanaman pohon-pohon di sekitarnya. Dalam praktiknya, norma tidak tertulis lebih dipahami masyarakat dibandingkan dengan norma tertulis. Sedangkan perwujudan dari interaksi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lain diantaranya terbentuknya kelompok tani. Kelompok tani sebagai cerminan potensi aksi kolektif dapat diberdayakan dan diperkuat untuk mendukung implementasi skema pembayaran jasa lingkungan Pendekatan yang tepat untuk skema pembayaran jasa lingkungan hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede adalah pendekatan hybrid PES. Pendekatan ini penting mengingat jasa lingkungan yang merupakan public good dalam penyediaannya memerlukan keterlibatan dari pemerintah dan partisipasi dari pihak private secara voluntary. Pendekatan ini juga diperlukan dalam membangun kepercayaan antara penyedia jasa dan pembeli jasa serta penyelarasan dengan peraturan/kebijakan yang berlaku. Dalam implementasinya, keterlibatan stakeholder secara aktif merupakan syarat penting agar skema pembayaran jasa lingkungan dapat berjalan secara efektif. Faktor penting lainnya yang harus dipertimbangkan adalah bentuk pengelolaan lahan yang diijinkan serta payung hukum pelaksanaan skema. Keyword:hutan rakyat, Jatigede, kelembagaan, modal sosial, pembayaran jasa lingkungan
Judul: Tata Kelola Sumberdaya Air untuk Mendorong Kebijakan System of Rice Intensification Abstrak:Potensi defisit air di beberapa wilayah memerlukan pengelolaan sumberdaya air dengan mempertimbangkan satu kesatuan hidrologi melalui kerjasama antar wilayah dan antar pengguna (pertanian, domestik dan industri). Tata kelola sumberdaya air yang kurang tepat akan berakibat krisis sumberdaya air dan berdampak terhadap ketahanan pangan. Sekitar 80% produksi padi dihasilkan sawah beririgasi sehingga pemenuhan ketersediaan air menjadi aspek penting. Oleh karena itu dibutuhkan tata kelola sumberdaya air yang mampu merancang kebijakan publik yang dapat diterima dan pelaksanaannya efektif oleh aktor/stakeholder. Lokasi penelitian di Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur dengan wilayah sampling Kabupaten Karawang yang memiliki lahan sawah irigasi terluas dan DKI Jakarta sebagai wilayah pemanfaat air untuk keperluan domestik dan industri. Tujuan umum penelitian adalah tersusunnya model dan mekanisme tata kelola sumberdaya air untuk mendorong kebijakan penerapan intensifikasi padi metode SRI. Secara khusus penelitian bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan menjelaskan kebijakan pengelolaan sumberdaya air terkait kebijakan intensifikasi padi metode SRI (2) mengidentifikasi dan menguraikan potensi dan pemanfaatan air DI Jatiluhur bagi penggunaan irigasi, domestik (rumah tangga) dan industri; (3). menganalisis hubungan agency, besarnya biaya transaksi ekonomi dan faktor determinan keberlanjutan penerapan intensifikasi padi metode SRI dan (4) menyusun skema tata kelola sumberdaya, strategi dan skenario kebijakan mendorong intensifikasi padi metode SRI di Daerah Irigasi Jatiluhur. Metode analisis penelitian menggunakan analisis diskripsi kelembagaan di tingkat makro dan meso. Digunakan analisis trend terhadap ketersediaan (supply) Waduk Jatiluhur dan penggunaan air baku di Tarum Utara untuk wilayah Karawang dan Tarum Barat untuk wilayah Jakarta. Pola kelembagaan petani di tingkat mikro menggunakan metode analisis Principal- Agent dan identifikasi biaya transaksi ekonomi/TCE (Transaction Cost Economics) yang dilanjutkan analisis regresi Logit menggunakan perangkat lunak STATA 10. Perumusan model dan kebijakan menggunakan analisis game theory dan analisis dinamik menggunakan perangkat lunak Powersim Studio 5. Hasil penelitian tentang kelembagaan tata kelola sumberdaya air menunjukkan bahwa peran stakeholder terkait regulasi ditingkat nasional adalah Bappenas dan Dirjen Sumberdaya Air Kementrian Pekerjaan Umum. Peran sebagai regulator sekaligus operator adalah BBWS Citarum ditingkat nasional dan ditingkat provinsi/kabupaten adalah Dinas PSDA dan PJT II di bawah 5 koordinasi kementrian BUMN dan kementrian PU. Pengguna sumberdaya air terkait kebutuhan tanaman pangan adalah Kementrian Pertanian Ditjen PSP/Prasarana dan Sarana Pertanian ditingkat nasional dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan ditingkat kabupaten. Pengguna sektor perkotaan adalah PD PAM Jaya DKI Jakarta melalui rekanan PT Palyja dan PT Aetra. Tata kelola sumberdaya air melibatkan multi stakeholder yang berperan sebagai regulator, operator dan user (pengguna). Terdapat beberapa stakeholder dengan peran ganda sehingga memungkinkan terjadi benturan kepentingan. Belum ada kelembagaan sebagai wadah koordinasi pengelolaan sumberdaya air yang mengakomodasi berbagai kepentingan dengan biaya transaksi rendah. Sumberdaya air dari waduk Jatiluhur ke Bendung Curug untuk dialirkan ke masing-masing wilayah menunjukkan variasi suplai namun cenderung menurun Alokasi untuk keperluan pertanian cenderung tetap dan terukur sedangkan penggunaan air untuk non pertanian meningkat. Suplai air waduk Jatiluhur ke Tarum Utara dan Tarum Barat memberikan gejala penurunan, sehingga alokasi air untuk pengguna harus disesuaikan. Kebutuhan air non pertanian cenderung meningkat terutama kebutuhan air baku untuk DKI Jakarta. Penerapan tata kelola sumberdaya air di tingkat mikro terkait penggunaan air irigasi melibatkan peran hubungan agency komunitas petani. Biaya agency yang rendah di tingkat petani menentukan keberhasilan penerapan metode SRI. Kerjasama pengelolaan lahan pola bagi hasil banyak dipilih salah satunya karena sharing resiko dan biaya transaksi yang moderat/sedang. Penerapan intensifikasi padi metode SRI memerlukan sejumlah biaya transaksi yang nilainya lebih tinggi pada awal penerapan (ex ante) daripada pengeluaran ex post.. Faktor determinan keberlanjutan aplikasi SRI adalah mekanisme hubungan agency antara pemilik sumberdaya dan penggarap, pendapatan diluar usahatani padi, peningkatan produksi dan faktor biaya transaksi ekonomi. Tata kelola sumberdaya air untuk mendorong intensifikasi padi metode SRI menggunakan skema pembayaran jasa lingkungan transfer air baku antara petani, PJT II dan PAM Jaya. Alternatif yang digunakan dapat menggunakan skema kemitraan masyarakat, swasta dan pemerintah (KPS). Strategi optimal untuk mengurangi free rider dan mewujudkan imbal jasa lingkungan transfer air adalah melalui kerjasama dengan jaminan penegakan aturan yang kredibel melalui tahapan fase-fase adaptasi. Luas tanam SRI akan bertambah sejalan dengan peningkatan profit margin antara penerapan metode SRI dan konvensional, sistem insentif SRI yang fair dan penurunan risiko penerapan SRI. Perluasan lahan SRI jika menggunakan skema pembayaran jasa lingkungan (skenario 3), perbedaan harga gabah (skenario 2) dan kenaikan harga air baku (skenario 5) akan menambah laju perluasan lahan sawah SRI lebih tinggi daripada tanpa insentif (skenario 1) dan bantuan sosial tanpa jasa lingkungan (skenario 4). Keyword:tata kelola, sumberdaya air, system of rice intensification
Judul: Chrysantheum B carlavirus (CVB) that infected Chrysanthemum in Indonesia: characterization and development of detection methode Abstrak:Infection of chrysantheum B carlavirus (CVB) in chrysanthemum has reported from many countries where the plants were cultivated. In a survey of chrysanthemum growing fields (and greenhouse) in Cianjur regency, West Java, Indonesia, some chrysanthemum cultivars exhibited a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves; and color breaking of flowers. Keyword:biological characters, molecular characters, serological technique, electron microscopy analysis, West java
Judul: Estimation model of basin water yield of five main rivers in Aceh Province, Estimation model of basin water yield of five main rivers in Aceh province Abstrak:The design of hydrologic model may vary depend on some influencing factors, such as size, slope, river network and land use of the watershed. All these factors will affect the water yield. This research will study the estimation model of water yield of five main rivers in Aceh. The objectives of this research are : (1) present the characteristic of watershed of five main rivers in Aceh (2) present the variation of water yield estimates of the different watersheds and what are the influences of the different factors, (3) present water yield analysis and simulate the effect of rehabilitation and land use conservation for water yield in five watershed in Aceh Province with three subsequent models: H2U (Hydrogramme Unitaire Universel) model, Integration models between NRCS (Natural Resources Conservation Service) and baseflow and Mock Model. H2U model interpreted the Unit Hydrograph as the travel time probability density function (pdf) to the watershed outlet. Each flow path is characterized by the probability that a water drop follows it, its length and the pdf of its travel time. NRCS-TR 55 uses the runoff curve number (CN) method to estimate runoff from storm rainfall. Determination of CN depends on the watershed’s soil and cover conditions, which the model represents as hydrologic soil group, cover type, treatment, and hydrologic condition. Mock Model aims at a preliminary assessment of the available water resources in three main forms: precipitation; surface water and ground water. H2U model is able to simulate flood discharge at watershed in Aceh Province with efficiency coeficient 92 % compared to discharge measured. Integration models between NRCS and baseflow, capable to simulate water yield in Aceh Province with Nash-Sutcliffe efficiency coeficient 79.05 % compared to discharge measured. Mock model that used in this research capable to estimate of monthly discharge with efficiency coeficient 86.8 percentage, average yearly water yield in Aceh Province is 62.9 x 109 m3/year. Rehabilitation and land use conservation by reforestation at five watersheds in Aceh to result in stable water yield in a whole year and capable to lower runoff and increase baseflow. Keyword:
Judul: The development of sustainable water resources of way betung watershed, Bandar Lampung city Abstrak:Way Betung watershed is one of the most potential watersheds as water supplier in Lampung Province and the most potential water resources for Bandar Lampung City particularly for potable water provided by regional water supplier company (PDAM). The ever increasing population and economic activities in Bandar Lampung City resulted in the increasing need of clean water. However, over time, the conditions of Way Betung watershed as water resources supplier have been declined. Therefore, to improve or to restore the conditions of Way Betung watershed, the forest and land rehabilitations programs are necessary. Thus research was aimed: (a) to study the impact of land use change in Way Betung watershed on its potential as water resources supplier of Bandar Lampung City, (b) to study the economic value of Way Betung water resources (c) to formulate sustainable water resources development plan of Way Betung watershed. The impact of land use change on the Way Betung water resources was analyzed by a regression method, and the annual economic value of water resources was analyzed by Willingness to Pay (WTP) method. The development plan of sustainable water resources of Way Betung watershed was arranged in five scenarios. To determine the best scenario, the simulations of the erosion level by the USLE method and the runoff volume by the SCS method were performed. The results showed that the land use change of Way Betung watershed (1991-2006) resulted in the increasing of the annual run off coefficient, the maximum daily discharge (Q max), and the decreasing of the daily minimum discharge (Q min), as well as the increasing of the river discharge fluctuation. The total annual economic value of water resources of Way Betung watershed was Rp101.1 billion/year and the total willingness to pay value for the rehabilitation of Way Betung watershed was Rp1.5 billion/year, which were derived from PDAM sector, tourism, water mineral companies, households and paddy field farmers in the upstream watershed. The best development of sustainable water resources of Way Betung watershed was the scenario-4 (the forest as much as 30% of watershed areas + alley cropping on mixed farms). Scenario-4 will reduce the erosion to lower than the tolerable soil loss (TSL), will decrease the fluctuation of monthly run off from 64.7 to 30.9, and the forest rehabilitation will be achieved in the best time (10 years with a scheme-B). Therefore, economically the water users community are willing to pay the rehabilitation costs (WTP) and socially it is accepted by the society. Keyword:
Judul: Metazoan parasites from the narrow-barred Spanish mackerel, Scomberomorus commerson (Lacepede, 1800) around Sulawesi waters Abstrak:Ikan tenggiri adalah salah satu ikan ekonomis penting yang dijual untuk memenuhi pasaran lokal dan salah satu komoditi ekspor. Untuk menjaga kualitas ikan tersebut, maka perlu dik etahui tentang stok dan parasitnya. Studi parasit merupakan salah satu informasi penting dalam bidang ekologi seperti peranan parasit pada suatu ekosistem dan informasi dasar bagi industri perikanan dalam menjaga kualitas ikan, dan dalam bidang manajemen, kemungkinan dapat juga digunakan sebagai indikator stok populasi ikan. Keyword:
Judul: Process design and scale up of the biological extraction of chitin from shrimp shells Abstrak:Biologically chitin extraction was conducted by mic robial process for deproteinization and demineralization. Lactobacillus acidophilus FNCC 116 was used for demineralization and Bacillus licheniformis F11.1 for deproteinization. The aim of the experiment was to design the biologi cal extraction process of chitin from shrimp shells and to obtain the best sc aling up criteria for the biological chitin extraction. The result of design of the biologically chitin extraction process from shrimp shells was as follow : The Shrimp shells was ground into pieces of 5 – 10 mm and followed by dem ineralization that was conducted by subsequent batch fermentation., Biologically chitin extraction was conducted by mic robial process for deproteinization and demineralization. Lactobacillus acidophilus FNCC 116 was used for demineralization and Bacillus licheniformis F11.1 for deproteinization. The aim of the experiment was to design the biologi cal extraction process of chitin from shrimp shells and to obtain the best sc aling up criteria for the biological chitin extraction. The result of design of the biologically chitin extraction process from shrimp shells was as follow : The Shrimp shells was ground into pieces of 5 – 10 mm and followed by dem ineralization that was conducted by subsequent batch fermentation. Keyword:microbial process, deproteinization and demineralization, Lactobacillus acidophilus FNCC 116, chitin content
Judul: Characterization of chitosanase of bacillus licheniformis mb-2 isolated from manado hot spring water Abstrak:Chitosanase (EC 3.2.1.132) is an important enzyme in the production of chitosan oligomers. This research dealt with chitosanase of Indonesian origin, which was produced by chitinolytic bacteria isolated from Manado hot spring water, referred to as B. licheniformis MB-2. Specifically, the aims of the research were: (1) to produce and purify chitosanase from the bacteria, (2) analyze biochemical characteristics of the enzyme, (3) classify the enzyme based on biochemicd and preliminary bioinfmatics molecular study. The result showed that the optimum media for producing the enzyme were 0.24% chitosan, 0.25% casiton, 1% MgS04, 1.4% K2HP04, 0.02% CaC12.2H20, 0.002% FeS04.7H20. Enzyme harvested at the third day had an activity of 0.7 U/mL, while that harvested at the seventh day showed an activity of 0.8 U/mL Keyword:
Judul: Eksistensi Nikah Siri di Masyarakat dan Posisi Perempuan Abstrak:Nikah siri bukanlah merupakan fenomena baru di Indonesia, namun sudah ada sejak puluhan tahun silam, sebelum ada pencatatan pernikahan maka nikah siri adalah pernikahan yang sah menurut agama dan masyarakat, karena moda sosial ekonomi dan strategi nafkah berubah maka hak civil juga berubah dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh nikah siri terutama bagi perempuan dan anak. Secara umum penelitian ini untuk mengungkap : (1) Tipologi nikah siri yang ada di Desa Warurejo dan aktor-aktor yang terlibat, fungsi manifes dan laten nikah siri pada masyarakat dan aktor-aktor yang menikmati fungsi manifes dan laten nikah siri. (2) Sistem nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat, mengungkap pengaruh struktur terhadap posisi perempuan yang menikah siri, mendiskripsikan pemahaman agama Islam oleh masyarakat dan individu terhadap nikah siri. Pandangan individu, tokoh agama Islam, budaya, sosial dan masyarakat secara umum terhadap nikah siri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) terdapat empat tipologi nikah siri pada masyarakat Warurejo, yaitu: perjodohan antar kerabat, perjodohan oleh orangtua dan broker, menikah siri dengan batuan broker dan menikah siri atas kemauan sendiri. Nikah siri tidak hanya berdampak negatif tetapi memiliki fungsi positif yaitu mampu meningkatkan kehidupan ekonomi individu, jaringan nikah siri, Kyai dan infra struktur masyarakat. Pernikahan siri merupakan mekanisme untuk meringankan beban ekonomi orangtua. Mengawinkan anak dibawah umur walaupun dengan cara siri berarti pula meringankan beban ekonomi keluarga. Anak perempuan yang sudah menikah bukan lagi tanggungjawab orangtua, namun tanggungjawab seorang suami. Struktur berpengaruh terhadap posisi perempuan nikah siri, perempuan yang menikah walaupun siri, lebih dihormati dan dihargai dalam masyarakat daripada perempuan janda atau perawan yang belum menikah walaupun cukup umur. Selain itu, Kyai memiliki kekuasaan untuk menginterpretasikan hukum Islam untuk merasionalisasikan dan melegitimasi nikah siri, daripada melakukan perbuatan yang dilarang agama yaitu berzina dan berdosa. Interpretasi hukum agama disosialisasikan oleh Kyai bahwa sahnya suatu pernikahan dalam hukum Islam ditandai oleh adanya ijab qobul, sedangkan perayaannya merupakan sunnah yang boleh saja tidak dilaksanakan. Karena hukum agama Islam, memperbolehkan seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu, sehingga terbentuk pola berupa aturan-aturan dan norma-norma untuk melegalkan nikah siri. Keyword:Nikah siri actors, nikah siri network, economy, religious norms
Judul: Pengembangan sistem pembersih gas untuk menurunkan kandungan tar hasil gasifikasi tandan kosong kelapa sawit Abstrak:Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu jenis limbah dari pengolahan kepala sawit dengan jumlah yang besar. TKKS dapat dikonversi menjadi energi melalui proses termokimia, atau gasifikasi, yang menghasilkan gas-gas mampu bakar seperti H2 dan CO. Akan tetapi, gas-gas mampu bakar hasil gasifikasi tersebut mengandung tar dan partikulat pengotor lainnya yang menjadi kendala dalam pemanfaatannya pada motor pembakaran di dalam (Internal Combustion Engine; ICE). Tar merupakan sekumpulan senyawa hidrokarbon ringan dan berat (aromatik), yang dapat terkondensasi dan mengendap sehingga menyebabkan pengotoran dan penyumbatan pada motor. Jenis dan karakteristik tar yang terbentuk selama proses gasifikasi dipengaruhi jenis biomassa yang di gasifikasi, yang selanjutnya mempengaruhi proses dan peralatan untuk pemisahan tar tersebut dari gas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik tar yang terbentuk pada proses gasifikasi tandan kosong kelapa sawit dan peralatan yang diperlukan pembersihan tar dari gas hasil gasifikasi. Penelitian dilakukan secara eksperimental dalam tiga tahap, yaitu mengidentifikasi jenis tar dan menganalisis suhu dan tekanan kondensasi tar dalam gas hasil pirolisis TKKS; melakukan kajian kinerja siklon pemisah berdasarkan temperatur kondensasi gas-gas dari TKKS yang digunakan; dan mengkaji kinerja penggunaan wet scrubber aliran gelembung dalam menangkap tar dan meningkatkan kualitas syngas. Uji pirolisis terhadap tiga sampel TKKS (sampel A, B dan C) pada suhu 400 oC menunjukkan bahwa senyawa tar yang teridentifikasi berupa senyawa phenol, guaicol, acetic dan syringol dengan jumlah konsentrasi mencapai 86,54–1523,05 mg Nm–3. Berdasarkan jenis senyawa dan konsentrasi tersebut, dapat ditentukan suhu kondensasinya, yaitu 122,43–275,05 oC. Parameter ini merupakan acuan untuk mengevaluasi penggunaan peralatan pembersih yang dikembangkan, seperti siklon dan wet scrubber. Analisis kinerja siklon dilakukan pada suhu kondensasi tar tersebut, yaitu 200–600 oC, serta pada data eksperimen 30–70 oC, dan divalidasi dengan pengukuran residu yang terkumpul. Kinerja siklon pada suhu eksperimen (30–70 oC) adalah 98,12 % dengan diameter partikel berukuran 0,76–5,0 m, sedangkan pada suhu prediksi (200–600 oC) sebesar 95,64 % dengan diameter partikel 0,95–5,0 m. Kinerja wet scrubber dipengaruhi suhu, laju aliran gas, sifat fisik cairan dan karakteristik pembentukan gelembung. Konsentrasi syngas sesudah wet scrubber terukur sebesar 8,50 %, 7,26 %, 2,79 %, dan 0,65 %, masing-masing untuk gas CO, CO2, CH4 dan H2. Keyword:Tar, suhu kondensasi, konsentrasi syngas, kinerja siklon, kinerja wet scrubber
Judul: Engineering of palm oil empty fruit bunches utilization as adsorbent in the integrated waste treatment of palm oil industries Abstrak:Industri kelapa sawit memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Produksi CPO tahun 2023 sebanyak 48,24 juta ton, nilai produksi CPO ini mengalami peningkatan sebanyak 5,5% dari tahun 2022. Selain CPO industri kelapa sawit juga menghasilkan limbah dalam jumlah yang cukup besar. Air limbah pabrik kelapa sawit (ALPKS) yang dihasilkan dari setiap ton produksi CPO berkisar 2,5-3,0 m3. Pengolahan ALPKS di industri kelapa sawit yaitu penanganan secara biologis dengan kolam anaerobik terbuka (open deep lagoon) atau unit biogas reaktor dilanjutkan dengan pengolahan secara aerobik. Namun metode tersebut memiliki beberapa kekurangan. Efluen Unit Biogas (Palm Oil Mill Secondary Effluent/POMSE) masih sering belum memenuhi standar mutu buangan industri CPO (sebagian besar sulit terdegradasi secara biologis, sehingga unit proses atau kombinasi unit proses non-biologis diperlukan untuk mengeliminasi polutan tersebut). Selain ALPKS, industri kelapa sawit juga menghasilkan limbah padat. Limbah padat industri kelapa sawit terdiri atas tandan buah kosong, serat perasan buah, bungkil inti sawit, cangkang, dan limbah padat lain. Industri kelapa sawit umumnya memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebagai mulsa. Pemanfaatan TKKS sebagai mulsa kurang menguntungkan karena proses degradasi berjalan sangat lambat dan menimbulkan masalah lain seperti menjadi inang kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros). Pemanfaatan TKKS lainnya dapat dilakukan dengan mengolah bersama ALPKS menjadi kompos (co-composting). Pengelolaan ALPKS dan TKKS secara terintegrasi berpotensi memberi berbagai manfaat, baik secara finansial maupun manfaat lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi proses pengolahan limbah pabrik kelapa sawit secara terintegrasi menuju penerapan konsep nir limbah (zero-waste). Inovasi ini menjadi solusi saling menguntungkan bagi pemecahan masalah pencemaran lingkungan dan masalah keterbatasan finansial untuk pengelolaan lingkungan industri kelapa sawit. Proses aktivasi dilakukan dengan perlakuan pretreatment dan aktivasi secara post treatment dengan cara memanaskan TKKS menggunakan autoclave selama 90 menit. Selanjutnya dilakukan perendaman menggunakan NaOH atau KOH dengan konsentrasi 0%, 4%, 8% dan 12% selama 3 jam. Analisis daya serap iodin menggunakan metode titrimetri sedangkan uji daya serap metilen biru menggunakan metode spektrofotometri. Hasil daya serap iodin biochar dari TKKS berkisar antara 199,42-613,06 mg/g dan metilen biru sebesar 70,83-80,21 mg/g. Kemampuan biochar dalam menyerap iodin tidak memenuhi SNI yaitu minimal 750 mg/g. Daya serap metilen biru hasil penelitian ini adalah 62,53-81,11mg/g, Biochar aktif yang dihasilkan memenuhi standar SNI yaitu 60 mg/g. Proses aktivasi menyebabkan terjadinya perubahan gugus fungsi yaitu terbentuknya O-H (ikatan monomer/fenol), amina sekunder, regangan CN, dan komponen NH. Hasil analisis SEM menunjukkan ukuran pori biochar antara 2-10 µm. Biochar memiliki kandungan berupa C, O, P, K, dan Ca masing-masing sebesar 75,51%, 12,59%, 5,52%, 5,42%, dan 0,95%. Luas permukaan pori biochar pretreatment KOH 12% dan post treatment NaOH 8% masing-masing sebesar 8,2 m2/g dan 24,2 m2/g. Hasil analisis kebutuhan energi biochar pretreatment sebesar 19,66 MJ/kg, sedangkan untuk menghasilkan 1 kg biochar post treatment membutuhkan energi sebesar 8,17 MJ. Net energi rasio (NER) biochar pretreatment sebesar 3,73 dan biochar post treatment sebesar 12,22. Net energi value (NEV) biochar pretreatment lebih rendah dibandingkan biochar post treatment, masing-masing sebesar 53,82 dan 91,75. Harga produksi biochar pirolisis tanpa perlakuan sebesar Rp. 4.768/kg, biochar pretreatment sebesar Rp. 80.667/kg, dan biochar post treatment sebesar Rp. 21.474/kg. Proses elektrokoagulasi dilakukan dengan sistem batch menggunakan reaktor dari rangkaian power supply, voltmeter, gelas piala, batang elektroda aluminium, dan magnetic strirrer. Elektroda yang digunakan adalah aluminium berukuran 12x2 cm2 dengan ketebalan lempeng 2 mm, disusun secara bipolar dengan jarak 1 cm antara elektroda. Variasi tegangan yang digunakan adalah 15, 20, dan 25 volt dengan waktu kontak selama 30, 60, dan 90 menit. Perlakuan terbaik didapat pada tegangan 15 volt selama 30 menit dengan efisiensi penyisihan COD, TSS, kekeruhan dan warna masing-masing sebesar 49,69%, 92,55%, 92,69% dan 75,77%. Elektrokoagulasi merupakan teknologi yang tergolong murah, kebutuhan energi 7,47 kWh/m3, kebutuhan elektroda sebesar 335,7 g/m3 dan biaya operasional yang diperlukan adalah Rp.24.068/m3 Proses adsorpsi dilakukan menggunakan biochar teraktivasi dengan konsentrasi 0, 40, 80, dan 120 g/L. Waktu tunggu yang digunakan adalah 1, 3, dan 5 jam. Air limbah yang digunakan adalah efluen hasil proses elektrokoagulasi dengan tegangan 15 volt selama 30 menit. Efisiensi penjerapan biochar terhadap COD sebesar 82,29-95,74%, kekeruhan sebesar 74,96-93,89% dan warna sebesar 19.67-46.45%. Luas permukaan pori biochar mencapai 24.19 m2/g. Proses adsorpsi terbaik didapat pada biochar post treatment dengan dosis 40g/L selama 1 jam. Efisiensi penurunan maksimum konsentrasi COD sebesar 86,5%, Kekeruhan 90,4% dan warna sebesar 46,5%. Hasil SEM-EDX menunjukkan pada biochar jenuh, terdapat senyawa Al dan Mg. Kombinasi proses elektrokoagulasi dan adsorpsi dapat meningkatkan efektivitas yang dimiliki setiap metode dalam proses pengolahan POMSE. Efisiensi COD, kekeruhan, dan penghilangan warna masing-masing sebesar 97,99%, 99,22%, dan 90,50%. Keyword:adsorben, biochar, elektrokoagulasi, pengolahan limbah terintegrasi, pirolisis, TKKS
Judul: Pengembangan kekekaran Model Additive Main Effect – Multiplicative Interaction (AMMI) Abstrak:AMMI model for interactions in two-way table provide the major mean for studying stability and adaptability through GEI, which modeled by full interaction model. Eligibility of AMMI model depends on the assumption of normally independent distributed error with a constant variance. Nowadays, AMMI models have been developed for any condition of MET data i.e the violence of normality and homegeneity assumptions. We can mention in this class of modelling as MAMMI for Mixed AMMI model and GAMMI for Generalized AMMI model. GAMMI model handles non-normality i.e categorical response variables using an algorithm of alternating regression. While handling the non-homogeneity in mixed-models sense, one may use a model called factor analytic multiplicative for a MAMMI models. Outlier might be found in the data coincides with non-homogeneity variance. A method of handling outlier in additive and multiplicative modeling by applying Robust Alternating Regression (RAR) in FANOVA model. RAR FANOVA model was downweighting outlying scores and loadings in the k-dimensional spaces of scores and loadings, and robust estimator will be minimized under the constraints that are consistent with robust approach of the median of parameters. Application of GAMMI was found in several distribution of exponential family. The most interesting here is Poisson distribution which it has a unique property of equal mean and variance. Many zero observations make some dificulties and fatal consequence in Poisson modeling. We consider to facilitates an analysis of two-way tables of count with many zero observations in AMMI model. We develop GAMMI model for Poisson with zeroes problem, by a statistical framework of RCAM. Some link function apply to the mean of a cell equalling a row effect plus a column effect plus interaction terms are modelled as a reduced-rank regression with rank of 2, then it will be visualized by Biplot through SVD reparameterization. The ZIP-GAMMI model handle the excess-zero and also the overdispersion at once. The interaction structures are extracted from the non-zero cell. ZIP model provide us the probability become zero and the fitted value of the Poisson. The modelling scheme involves two important things: (1) the distribution (and link-function) and (2) the rank of model. Both are confounded, especially if there is overdispersion or excess-zero. Best-model fit can be provided by proper link function with respect to data’s distribution, at the same time it’s also possible by the rank of the model in decomposing the interaction terms. In this case the likelihood ratio test provides us the hypothesis testing. Keyword:
Judul: Disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan : Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur. Abstrak:Perlawanan komunitas Talangsari/tragedi Talangsari adalah sebuah perlawanan yang menuntut adanya keadilan agraria pada masa kekuasaan rezim Orde Baru, akan tetapi perlawanan tersebut distigma sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Stigma negatif ini sebagai bentuk upaya rezim Orde Baru dalam meminggirkan peran Islam politik dalam pentas politik nasional. Pada masa reformasi telah dilakukan upaya untuk menghilangkan stigma negatif tersebut, akan tetapi sampai saat ini stigma sebagai komunitas pengacau keamanan tetap disandangnya. Masalahnya adalah : Mengapa di dalam struktur politik yang terbuka di era demokratisasi saat ini stigmatisasi terhadap perlawanan komunitas Talangsari tidak mampu dihilangkan secara substansif ?. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan : (1) kondisi-kondisi hubungan agraria yang menjadi pemicu utama terjadinya perlawanan komunitas Talangsari, (2) saling keterkaitan di antara unsur-unsur yang mendukung dilancarkannya aksi perlawanan komunitas petani Talangsari, (3) menjelaskan proses stigmatisasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunitas Talangsari, (4) Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan) lainnya ? Penelitian ini sengaja dilakukan di komunitas Talangsari berdasarkan kreteria tertentu, menggunakan paradigma kritis, dengan desain studi kasus terhadap komunitas Talangsari, sebagai konsekuensinya adalah digunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam, dokumentasi, observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari komunitas Talangsari yang masih hidup dan berdomisili di dusun Talangsari, instansi pemerintah. Prosesdan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, selanjutnya dibuat hubungan antar konsep. Setelah komunitas petani Talangsari melakukan perlawanan pada tahun 1989 yang memakan korban kurang lebih 246 jiwa, negara membangun (mengkonstruk wacana) bahwa perlawanan yang dilakukan oleh komunitas petani Talangsari adalah gerombolan pengacau keamanan. Gerombolan pengacau keamanan tersebut merupakan bentuk nyata ancaman bahaya laten bagi bangsa Indonesia dari kekuatan kanan (Islam) yang menggunakan ideologi jihad sebagai basis gerakan dengan tujuan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Pelabelan (stigma negatif) terhadap komunitas Talangsari melalui dua cara; pertama pelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma yang berlaku, sedangkan yang kedua, pelabelan juga dapat dilakukan dengan melakukan intervensi dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu dalam kamus politik rezim Orde Baru, upaya stigmatisasi terhadap kekuatan Islam politik adalah dengan memunculkan kasus melalui program operasi khusus (Opsus). Adapun yang menjadi tujuan rezim Orde Baru adalah agar kekuatan Islam politik tidak muncul dalam pentas politik nasional, Islam hanya sebatas ritual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, adanya ketegangan struktural antara petani dengan otoritas kawasan hutan register 38 Gunung balak, yang merupakan prakondisi utama munculnya perlawanan komunitas petani Talangsari. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak responsif terhadap kepentingan petani. Kedua, adanya aktor supra lokal yang ikut berperan menggerakkan petani untuk melakukan perlawanan, aktor supra lokal yang dimaksud adalah kekuatan di luar komunitas Warsidi tetapi mempunyai agenda lain yang tujuan jangka panjangnya untuk melemahkan posisi Islam politik di pentas politik nasional. Ketiga, adanya pelabelan komunitas petani Talangsari sebagai Gerombolan Pengacau Keamananan yang menggunakan ideologi Islam (Jihad) sebagai basis gerakan yang berhasil melumpuhkan kolektivitas gerakan petani. Keempat, Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari adalah gerakan yang muncul atas dasar kepentingan ekonomi, yang dilabel sebagai gerakan keagamaan yang menjadikan ideologi jihad sebagai basis gerakan, sedangkan perlawanan komunitas Moro di Filipina adalah gerakan perlawanan yang menuntut kemerdekaan politik (politik Islam) dalam bentuk negara merdeka. Keyword:perlawanan, petani, agraria, stigmatisasi
Judul: Conflict, Articulation, and Patron-Client Relations in the Contemporary Peasant Social Movement Abstrak:Gerakan sosial sering kali dikategorikan sebagai perlawanan kolektif untuk menggugat suatu ketidakadilan atau untuk merebut kembali sumber-sumber yang diyakini sebagai miliknya.. Terdapat dua alasan utama mengapa saat ini topik tentang gerakan sosial yang berkaitan dengan konflik lahan sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas secara lebih mendalam. Yang pertama adalah tingginya eskalasi konflik agraria yang dibarengi dengan tindakan kolektif gerakan sosial petani, dan hal ini memerlukan penyelesaian secara legitimate. Yang kedua adalah situasi politik yang memberikan angin segar pada terciptanya perubahan sosial yang lebih berpihak pada petani. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika gerakan sosial petani (prakondisi, pembentukan, kelembagaan, proses organisasi, strategi dan taktik serta bentuk tindakan kolektif, posisi dan peran aktor, morfogenesis gerakan dan artikulasi dalam arena politik. Secara lebih rinci dapat dirumuskan: (1) Menganalisis relasi agraria yang menjadi prakondisi munculnya gerakan sosial petani pedesaan yang kemudian memunculkan sebuah gerakan sosial petani. (2) Menganalisis struktur mobilisasi dan perlawanan petani dalam bingkai jaringan hubungan politik para aktor gerakan. (3) Menganalisis artikulasi gerakan sosial petani saat ini aras lokal, supra lokal dan nasional pada kesempatan politik yang ada. (4) Menganalisis hubungan-hubungan yang terjadi diantara organisasi gerakan dalam proses artikulasi kepentingan petani dan menggambarkan pola hubungan tersebut. Berdasar pada rumusan masalah dan tujuan penelitian sebelumnya, maka paradigma yang digunakan tidak bersifat tunggal, tetapi multi-paradigma yakni paradigma kritis dan konstruktivisme, dengan pendekatan kualitatif. pengumpulan data, berupa wawancara mendalam, dokumentasi, observasi dan data sekunder. Pemilihan kasus yang paling relevan adalah organisasi gerakan sosial petani wilayah Jawa Barat yang menjadi representasi gerakan sosial petani. Gerakan sosial petani yang akan di analisis meliputi periode sebelum orde baru dan pasca orde baru (orde reformasi). Kasus perjuangan kolektif petani yang terjadi pada masa orde baru diposisikan sebagai bagian dari prakondisi yang mendorong munculnya gerakan sosial petani dan dalam penelitian ini diposisikan sebagai proses internal gerakan. Hasil penelitian menunjukkan konflik disebabkan (a) Relasi agraria yang timpang karena eksploitasi kapitalisme di pedesaan, (b) Kemiskinan terjadi karena tiadanya akses dan penguasaan atas sumber daya oleh masyarakat lokal. Kemudian Struktur mobilisasi sumber daya terjadi pada individu-individu di level lokal yang langsung berhadapan dengan kuasa kapitalistik perkebunan, dan terjadi pada jaringan aktivis perkotaan yang berhadapan otoritas lokal, supra lokal maupun nasional. hadirnya kesempatan politik sejak terjadinya perubahan sistem rezim politik pasca orde baru dari kondisi tertutup yang kemudian mengalami keterbukaan. Artikulasi kepentingan petani terjadi secara bertingkat dengan memunculkan adanya “broker” atau “mediator” yang menjadi penghubung organisasi tani lokal ke otoritas lokal maupun supra lokal, dan nasional. Proses artikulasi tersebut kemudian memunculkan adanya hubungan patron-klien baru diantara masyarakat petani dengan aktivis perkotaan yang diwakili oleh Serikat Petani Pasundan. sebagai implikasi kebijakan kedepan penting kirnya untuk dilakukan Pertama, Pemerintah yang memiliki kewenangan atas tanah eks-perkebunan, harus segera melakukan langkah-langkah penyelesaian secara terstruktur. Kemudian, pemerintah seharusnya juga senantiasa bertindak secepatnya jika ada rakyat yang menempati atau menduduki tanah yang bukan hak mereka. Jika kesalahan itu dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai turun generasi ke generasi, maka persoalannya akan semakin menjadi akut dan sulit diselesaikan secara baik-baik. Kedepan harus ada agenda khusus untuk merumuskan kebijakan HGU berbasis rakyat melalui model Bumdes /Koperasi di tingkat lokal. Kedua, Berdasarkan pengalaman atas aksi-aksi reklaiming yang berhasil sampai pada mendapatkan pengakuan hak atas tanah (sertifikat), maka gerakan petani lokal dituntut untuk mengembangkan kembali organisasi, dan kapasitas serta kompetensi para anggotanya, selain itu perlu membangun jaringan komunikasinya secara efektif sehingga akan mendapatkan jaringan dukungan yang lebih baik dari organisasi-organisasi politik lebih luas. Dengan demikian petani akan memiliki bergaining position yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah konflik lahan yang dihadapinya. Keyword:conflict, articulation, patron-client, peasant movement
Judul: Blood Bicchemistry Profile of Pregnant Women Consumed Fortified Cookies with Iron (Fe), Folic Acid, Vitamin A, Vitamin C, Zinc (Zn), and Iodine Abstrak:The aim of this study was to analyze the effect of fortified cookies on blood biochemistry profile of pregnant women. For this purposed, an experimental study design was applied among 269 physically healthy pregnant women in Leuwiliang and Cibungbulang, Bogor for four treatment groups (I, 11, 111, IV) and control group (V), which given one type of formula cookies for each. The five type of formula are: (1) formula A, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A and vitamin C; (2) formula B, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, and Zn; (3) formula C, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A, vitamin C, and iodium; (4) formula D, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, Zn, and iodium; (5) formula E, was not fortified (control). The different formula were given to different group of women every two days during gestation period. Keyword:
Judul: Karakteristik Pengeringan Gabah Dan Mutu Beras Dari Berbagai Tingkat Malai. Abstrak:Penelitian yang dilakukan bertujuan menentukan model dari kurva laju pengisian gabah untuk tingkat malai gabah yang berbeda, terkait dengan terjadinya peningkatan bobot gabah dan bertambahnya waktu pengisian gabah setelah anthesis (pembungaan). Penelitian ini menggunakan tiga model pertumbuhan yaitu model eksponensial, model logistik dan model Gompertz menggunakan bobot 1000 butir gabah dalam menentukan laju pengisian gabah dari tingkat malai yang berbeda untuk varietas Sintanur dan IPB-4S. Pemilihan model dilakukan dengan uji kesesuaian menggunakan koefisien determinasi (R2), Root mean square error (RMSE) dan Aikake’s Information Criterion (AIC). Penelitian ini menghasilkan nilai R2, RMSE dan AIC untuk model Gompertz secara berturut-turut 0.999, 0.224, -9.949 (gabah dari malai primer varietas Sintanur), 0.997, 0.353, -4.512 (gabah dari malai sekunder varietas Sintanur); 1.000, 0.131, -16.376 (gabah dari malai primer varietas IPB-4S); 0.999, 0.266, - 7.877 (gabah dari malai sekunder varietas IPB-4S), dan menunjukkan bahwa model Gompertz sebagai model yang terbaik untuk menentukan laju pengisian bobot seribu butir gabah dari malai primer dan sekunder di kedua varietas Sintanur dan IPB-4S . Lebih lanjut penelitian ini juga melaporkan karakteristik pengeringan lapisan tipis gabah dari malai primer dan sekunder di kedua varietas Sintanur dan IPB-4S. Kondisi percobaan lapisan tipis gabah pada suhu 35oC, 45oC, 55oC dengan RH 45%, 50%, 55% dengan kecepatan aliran udara konstan 1 m/s. Beberapa model digunakan untuk menjelaskan kesesuaian model terhadap data pengeringan lapisan tipis gabah yaitu model Lewis, model Henderson-Pabis dan model Page. Penentuan model terbaik digunakan kriteria R2 dan (SE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model matematis pengeringan lapisan tipis gabah dari malai primer dan sekunder di kedua varietas Sintanur dan IPB-4S mengikuti model Page. Penelitian ini selanjutnya juga melakukan perbandingan karakteristik fisikkimia dan mutu giling gabah dari malai primer dan sekunder di kedua varietas Sintanur dan IPB-4S. Tanaman padi di kedua varietas tersebut ditanam dan gabah yang dihasilkan pada saat panen dilakukan analisis mengenai karakteristik fisik, komposisi kimia dan mutu giling gabah dari malai primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik fisik-kimia dan mutu giling yang meliputi ukuran, volume, bobot 1000 butir, densitas, kadar air, kadar lemak kasar, kadar protein kasar, kadar serat, beras kepala, beras patah dan menir serta kekerasan memiliki perbedaan nyata dari malai primer dan sekunder di kedua varietas Sintanur dan IPB-4S, tetapi tidak terdapat perbedaan pada bentuk gabah, kadar abu dan derajat putih dari malai primer dan sekunder di kedua varietas tersebut. Keyword:gabah, malai, model, mutu, pengeringan
Judul: The Improvement of Wheat (triticum aestivum L.) Adaptability To Tropical Environment By Putrescine Application Abstrak:Penanaman gandum (Triticum aestivum L.) di agro-ekosistem tropis seperti Indonesia umumnya menghadapi cekaman suhu tinggi karena suhu rata-rata harian di daerah tropis yang lebih tinggi dibanding suhu rata-rata harian di daerah subtropis. Peningkatan luas penanaman gandum memiliki peran penting dalam upaya menurunkan ketergantungan Indonesia terhadap impor tepung terigu. Indonesia merupakan negara tropis dengan tingkat variasi topografi yang tinggi. Suhu harian di dataran tinggi (>1000 m dpl) Indonesia sangat mirip dengan suhu harian dari sebagian besar daerah subtropis pada musim semi. Namun budidaya gandum di dataran tinggi bersaing dengan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dari gandum (Handoko 2007). Di dataran rendah hingga menengah, rata-rata suhu harian lebih tinggi dari rata-rata suhu harian di dataran tinggi, sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan gandum yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil. Oleh karena itu upaya pengembangan gandum di Indonesia dapat diarahkan pada pengembangan varietas gandum yang adaptif terhadap lingkungan dataran rendah sampai menengah pada agroekosistem tropis Indonesia serta peningkatan adaptabilitas genotipe gandum introduksi yang dikombinasikan dengan aplikasi zat pengatur tumbuh atau sejenisnya untuk mendapatkan genotipe gandum yang potensial pada agro-ekosistem tropis dataran rendah sampai menengah di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mempelajari adaptasi dari 16 genotipe gandum introduksi terhadap cekaman lingkungan suhu tinggi di dataran rendah, 2. Mempelajari pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap karakter morfologi dan fisiologi dari enam genotipe gandum introduksi yang tumbuh di dua ketinggian tempat yang berbeda, 3. Mempelajari respon pertumbuhan dan perkembangan enam genotipe gandum introduksi terhadap aplikasi putresin pada dua ketinggian yang berbeda di agro-ekosistem tropis Indonesia. Percobaan pertama dilakukan di dua lokasi, yaitu pada ketinggian 1100 m dpl di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias, Cipanas dan ketinggian 176 m dpl di kebun Percobaan IPB Leuwikopo, Bogor Jawa Barat. Bahan tanaman yang digunakan adalah enam belas genotipe gandum, yaitu Munal, Sbr, Sbd*D, Cndo, Waxwing, Ymh, Astreb/Cbr dan Astreb/Ningma, yang berasal dari Pusat Pengembangan Jagung dan Gandum (CIMMYT) dan H-20, S-03, S-08, S-09, Jarisa yang berasal dari Republik Slovakia serta varietas nasional Selayar, Nias dan Dewata sebagai pembanding. Pada tiap lokasi percobaan dirancang sesuai dengan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan dan varietas sebagai perlakuan. Peubah pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil diamati selama percobaan. Nilai heritabilitas dihitung terhadap karakter-karakter gandum. Indek sensitifitas suhu digunakan sebagai karakter untuk memilih genotipe yang adaptif terhadap lingkungan dataran rendah (cekaman suhu tinggi). Percobaan kedua dilakukan di dua ketinggian, yaitu: ketinggian 1100 m dpl di daerah Cipanas dan ketinggian 600 m dpl di daerah Cisarua, Jawa Barat untuk mempelajari respon morfo-fisiologi enam genotipe gandum terhadap lingkungan dataran tinggi dan menengah. Percobaan ini dilakukan dengan rancangan acak kelompok dengan satu faktor terdiri dari enam genotipe yaitu; Sbr, Astreb dan Nias (toleran terhadap cekaman suhu tinggi), Munal, S03 dan Dewata (sensitif terhadap cekaman suhu tinggi). Percobaan ketiga dilaksanakan untuk mempelajari respon pertumbuhan dan perkembangan enam genotipe gandum terhadap aplikasi putresin di dua ketinggian yang berbeda pada agro-ekosistem Indonesia. Percobaan dirancang sesuai rancangan acak kelompok lengkap dengan tiga faktor, yaitu (1) perlakuan putresin (0, 1,25 dan 2,5 mM), (2) enam genotipe gandum dan (3) dua ketinggian tempat (600 dan 1100 m dpl). Putresin disemprotkan pada tajuk tanaman satu minggu sebelum bunting (heading) dan satu minggu setelah antesis. Karakter-karakter morfologi, fisiologi dan komponen hasil serta hasil diamati dan dianalisis. Hasil Percobaan I menunjukkan bahwa sebagian besar karakter-karakter pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil secara signifikan menurun di dataran rendah pada sebagian besar genotipe dibandingkan dengan yang ditanam di dataran tinggi karena suhu yang meningkat. Terdapat variasi antar genotipe untuk karakter-karakter tersebut. Berdasarkan indeks sensitifitas suhu, enam genotipe, yaitu Sbr*D, Ymh, Astreb*2/Cbrd, Astreb*2/Ningma, H-20 dan Nias dikarakterisasi sebagai genotipe toleran terhadap suhu tinggi. Indeks sensitifitas suhu tinggi adalah ukuran stabilitas hasil dan merepresentasikan ukuran potensi hasil genotipe di bawah cekaman suhu tinggi. Nilai heritabilitas tinggi ditunjukkan pada karakter-karakter umur berbunga, growing degree days dan umur panen, sedangkan karakter-karakter dengan heritabilitas sedang yaitu; kandungan klorofil (nilai SPAD), luas daun bendera dan periode pengisian biji. Hasil percobaan II tentang respon morfologis dan fisiologis pada genotipe toleran dan sensitif suhu tinggi terhadap perbedaan ketinggian tempat menunjukkan bahwa suhu tinggi pada dataran menengah menurunkan tinggi tanaman dan jumlah anakan. Kandungan MDA (malondialdehid) meningkat pada sebagian besar genotipe gandum di dataran menengah. Kandungan MDA pada genotipe yang sensitif suhu tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe toleran suhu tinggi. Cekaman suhu tinggi pada dataran menengah menurunkan aktivitas SOD, kadar air relatif dan gula total terlarut pada genotipe yang sensitif suhu tinggi dibandingkan dengan genotip yang toleran suhu tinggi. Berdasarkan hasil sebelumnya terdapat variasi respon antar genotipe yang toleran suhu tinggi terhadap cekaman suhu tinggi di dataran menengah. Oleh karena itu, peningkatan adaptabilitas genotipe gandum introduksi yang dikombinasikan dengan aplikasi zat pengatur tumbuh tanaman, seperti putresin, dapat menjadi cara untuk mendapatkan genotipe gandum potensial yang dapat digunakan untuk mengembangkan varietas baru yang beradaptasi pada dataran menengah di Indonesia. Hasil Percobaan III mengenai respon pertumbuhan dan perkembangan gandum terhadap aplikasi putresin menunjukkan bahwa sebagian besar karakter pertumbuhan sangat dihambat oleh suhu tinggi di dataran menengah, tetapi aplikasi putresin menginduksi peningkatan pertumbuhan tanaman secara signifikan di kedua ketinggian, kecuali karakter tinggi tanaman pada dataran menengah. Aplikasi putresin meningkatkan fotosintesis daun dan menurunkan konsentrasi CO2 interseluler. Pada dataran menengah, suhu tinggi meningkatkan suhu daun bendera, kandungan MDA dan menurunkan aktivitas SOD. Putresin dapat menurunkan suhu daun bendera, kandungan MDA dan meningkatan aktivitas SOD di dataran menengah. Kadar air daun relatif dipengaruhi oleh ketinggian lokasi dan genotipe. Hasil dan komponen hasil menurun secara signifikan pada dataran menengah pada sebagian besar genotipe. Genotipe-genotipe gandum menunjukkan perbedaan respon terhadap aplikasi putresin. Perlakuan putresin meningkatkan bobot biji per malai pada dataran menengah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa putresin mampu meningkatkan pertumbuhan dan adaptabilitas gandum yang ditanam di dataran menengah di wilayah tropis. Berdasarkan analisis korelasi karakter–karakter fisiologi dan agronomi untuk gandum yang ditanam di dataran tinggi dan menengah, terdapat variasi nilai korelasi antar karakter- karakter terhadap bobot biji per tanaman. Bobot biji per tanaman memiliki nilai korelasi negatif dan signifikan terhadap MDA dan bernilai positif dengan gula total di kedua lokasi. Bobot biji per tanaman memiliki korelasi positif dan tidak signifkan dengan SOD di dataran menengah. Komponen hasil bervariasi dalam korelasinya dengan bobot biji per tanaman. Jumlah spikelet hampa memiliki korelasi yang negatif dan tidak signifikan dengan bobot biji per tanaman di kedua lokasi. Hal yang juga ditunjukkan bahwa jumlah biji per tanaman dan bobot biji per malai memiliki korelasi positif dan signifikan dengan bobot biji per tanaman di kedua lokasi. Hasil analisis sidik lintas menunjukan bahwa karakter bobot biji per malai memiliki pengaruh langsung di kedua lokasi terhadap bobot biji per tanaman sementara karakter jumlah biji per tanaman dan jumlah biji per malai memiliki pengaruh langsung dan bervariasi di masing – masing lokasi terhadap bobot biji per tanaman. Keyword:Gandum, putresin, heritabilitas, indeks sensitifitas suhu, dataran menengah tropis
Judul: Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa Abstrak:Pendekatan pembangunan yang banyak diterima para ahli adalah pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang berarti bahwa dalam pembangunan diperlukan keikutsertaan rakyat. Keikutsertaan tidak hanya pada tahap merencanakan pembangunan, akan tetapi juga ikut dalam melaksanakan, bahkan sampai pada menilai hasil-hasil pembangunan (Cohen dan Uphoe 1977; Dusseldorp, 1981; Slamet, 1993). Agar rakyat yang berhimpun dalam kelompok-kelompok dapat ikut serta, mereka harus memiliki sejumlah kualifikasi yang diperlukan untuk itu. Keyword:
Judul: Deteksi, Identifikasi, dan Elimimsi Clavibaeter Michigattensis Su Bs P. Michigmensis (Smith) Penyebab Penyakit Kanker Bakteri pada Tomat yang Ditularkan Melalui Benih Abstrak:Healthy seed and resistance variety are the major and old concept in pest management. Effective seed health managenet is needed in order to produce healthy seed. Since germplasm exchange among countries are common practices in plant breeding for resistance variety development, seed health management for imported seeds and germplasm exchanges is necessary Keyword:
Judul: Distribution and molecular characterization of clavibacter michiganensis subsp. michiganensis (Smith) and Cmm elimination using seed treatments in tomato Abstrak:Clavibacter michiganesis subsp. michiganensis (Cmm), causal agents of bacterial canker is tomato's important disease in the world. In indonesia, incident of suspected Cmm infection is newly reported. Based on the occurrences of typical symtoms of Cmm infection in tomato, the incidence of suspected Cmm infection range from 1-20%. Keyword:Seed Borne Cmm, Plant Breeding
Judul: Sintesis Lipida Kaya 1,3-Dioleoyl-2-Palmitoyl-Glycerol (OPO) dari Hard Palm Stearin Abstrak:Human milk fat (HMF) merupakan lemak yang terkandung pada air susu ibu, yang mengandung 20–30% asam palmitat, dimana 60–70% asam palmitat terdistribusi pada posisi stereospesific number (sn)-2 dalam struktur triasilgliserol (TAG). Human milk fat substitute (HMFS) merupakan lipida terstruktur menyerupai HMF, yang disintesis melalui interesterifikasi enzimatis minyak atau lemak. Karakter utama HMFS adalah asam palmitat terletak pada posisi sn-2 dan asam lemak tak jenuh terletak pada posisi sn-1,3. HMFS yang umum disintesis adalah 1,3-dioleoyl-2-palmitoyl-glycerol (OPO), yang merupakan TAG utama pada HMF. TAG tersebut bermanfaat untuk bayi karena dapat membantu penyerapan lemak dan kalsium secara efektif. Hard palm stearin (HPS) merupakan fraksi padat hasil fraksinasi palm stearin (PS), yang secara alami mengandung asam palmitat dan tripalmitin (PPP) tinggi. Selain memiliki jumlah PPP yang tinggi, HPS juga mengandung TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2. TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2 diasidolisis dengan asam oleat menggunakan lipase spesifik sn-1,3 akan menghasilkan triolein (OOO), yang bukan produk target dalam sintesis HMFS. Oleh karena itu, rute sintesis HMFS menggunakan HPS harus dimulai dengan peningkatan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2. Kemudian, asam lemak pada posisi sn-1,3 dari fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 HPS diganti dengan donor asil tertentu seperti asil oleat melalui asidolisis atau transesterifikasi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mensintesis lipida kaya OPO berbahan baku HPS. Tujuan umum tersebut dicapai dengan beberapa tahapan penelitian antara lain: (1) peningkatan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 HPS melalui fraksinasi aseton dan interesterifikasi enzimatis menggunakan donor palmitat, seperti asam palmitat atau etil palmitat dalam sistem bebas pelarut; (2) penentuan kondisi reaksi optimum pada sintesis OPO melalui transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat dalam sistem bebas pelarut; dan (3) peningkatan lipida kaya OPO melalui fraksinasi produk transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat. Disertasi ini disusun secara sistematik sesuai tahapan penelitian. Pada bagian awal mengulas sintesis HMFS secara komprehensif. Pada bagian kedua, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS ditingkatkan melalui fraksinasi aseton HPS. Pada bagian ketiga, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 ditingkatkan melalui asidolisis HPS dengan asam palmitat atau transesterifikasi HPS dengan etil palmitat. Pada bagian keempat, sintesis OPO dilakukan melalui transesterifikasi antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat. Pada bagian terakhir, produk transesterifikasi antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat difraksinasi untuk meningkatkan lipida kaya OPO. Pada fraksinasi aseton HPS diperoleh fraksi padat yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 (PPP dan PPS) yang meningkat. Peningkatan rasio aseton terhadap HPS dan suhu fraksinasi meningkatkan kadar PPP+PPS namun menurunkan rendemen PPP+PPS. Kondisi fraksinasi optimum untuk menghasilkan lipida kaya PPP+PPS adalah pada rasio HPS terhadap aseton 1:5 (g/ml) dan suhu fraksinasi 30 °C selama 3 jam. Pada kondisi tersebut, lipida yang diperoleh memiliki kadar dan rendemen PPP+PPS masing-masing lebih dari 91% dan 59%. Lipida yang diperoleh terdiri dari asam palmitat 91,32% dan pada posisi sn-2 88,13%. Pada interesterifikasi enzimatis HPS dihasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 tertinggi pada rasio mol HPS terhadap donor palmitat 1:3, suhu 65 °C, Novozyme 435 10% dari berat substrat, dan waktu reaksi selama 4 jam. Etil palmitat merupakan donor palmitat yang menghasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan kadar asam palmitat pada posisi sn-2 (88,44%) tertinggi dibandingkan asam palmitat (83,92%). Peningkatan lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 melalui fraksinasi aseton HPS dan transesterifikasi enzimatis antara HPS dan etil palmitat menghasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan kadar asam palmitat pada posisi sn-2 pada tingkat yang sama yaitu lebih dari 88%. Namun, produk transesterifikasi mengandung kadar asam lemak bebas (ALB) dan diasilgliserol (DAG) yang lebih tinggi dibandingkan produk fraksinasi. Kadar DAG yang tinggi dapat menyebabkan migrasi asil pada interesterifikasi enzimatis yang dapat memengaruhi produk target (OPO) yang akan dihasilkan. Sehingga diperlukan proses purifikasi produk transesterifikasi untuk menghilangkan ALB dan DAG, yang dapat menyebabkan peningkatan biaya produksi. Dengan demikian, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 yang dihasilkan melalui fraksinasi aseton dipilih sebagai substrat dalam sintesis lipida kaya OPO. Pada transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada sn-2 dari HPS dengan etil oleat diperoleh lipida terstruktur yang mengandung OPO+POO sebagai TAG utama. Peningkatan rasio mol etil oleat terhadap fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan waktu reaksi menurunkan kadar PPP dan PPS. Pada rasio mol fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS terhadap etil oleat sebesar 1:6, suhu 60 °C dan waktu reaksi 2 jam menghasilkan lipida terstruktur mengandung OPO+POO 41,13%, dengan asam palmitat total 51,09%, asam palmitat pada posisi sn-2 75,76%, asam oleat total 44,48%, dan asam oleat pada posisi sn-1,3 58,77%. Pada fraksinasi produk transesterifikasi dihasilkan fraksi cair dengan kadar OPO+POO dan PPO+POP yang meningkat. Fraksinasi pada 10 °C selama 3 jam menghasilkan fraksi cair mengandung OPO+POO 43,72% dan PPO+POP 51,03%. Pada kondisi tersebut, lipida yang diperoleh memiliki kadar asam palmitat pada posisi sn-2 dan asam oleat pada posisi sn-1,3 masing-masing sebesar 79,57% dan 68,93%, dengan kadar relatif asam palmitat pada posisi sn-2 sebesar 59,07%., Human milk fat (HMF) is fat contained in breast milk, which contains 20–30% palmitic acid, 60–70% palmitic acid is distributed at the stereospecific number (sn)-2 position in the triacylglycerol (TAG). Human milk fat substitute (HMFS) is a structured lipid similar to HMF, synthesized by enzymatic interesterification of oils or fats. The main character of HMFS is that palmitic acid is located at the sn-2 position, and unsaturated fatty acids are located at the sn-1,3 positions. The most commonly synthesized HMFS is 1,3-dioleoyl-2-palmitoyl-glycerol (OPO), which is the main TAG of HMF. OPO is beneficial for babies because it can help in the effective absorption of fat and calcium. Hard palm stearin (HPS) is a solid fraction resulting from the fractionation of palm stearin (PS), which naturally contains high palmitic acid and tripalmitin (PPP). In addition to having a high amount of PPP, HPS also contains TAG with oleic acid at the sn-2 position. TAG with oleic acid at the sn-2 position is acidolyzed with oleic acid using sn-1,3 specific lipase produces triolein (OOO), which is not the target product in HMFS synthesis. Thus, the HMFS synthesis route using HPS should be initiated by increasing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position. Then, fatty acids at sn-1,3 positions of the TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS are replaced with a specific acyl donor such as acyl oleic by acidolysis or transesterification. The main objective of this study was to synthesize lipids rich in OPO using HPS. This general goal was achieved by several stages of research, including (1) increasing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS by acetone fractionation and enzymatic interesterification using palmitic donors, such as palmitic acid or ethyl palmitate in a solvent-free system; (2) determination of the optimum reaction conditions in the synthesis of OPO by enzymatic transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate in a solvent-free system; and (3) increase lipids rich in OPO by fractionation of enzymatic transesterification product between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate. This dissertation is arranged systematically to follow the research stages. In the first chapter, the comprehensive review of HMFS synthesis. In the second chapter, TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS was enhanced by HPS acetone fractionation. The third chapter enhanced TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS by acidolysis of HPS with palmitic acid or transesterification of HPS with ethyl palmitate. In the fourth chapter, OPO synthesis was carried out by transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate. In the last chapter, the transesterified product between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate was fractionated to increase lipids rich in OPO. In HPS acetone fractionation, the solid fraction containing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position (PPP and PPS) increased. The increase in the ratio of HPS to acetone and the fractionation temperature increased the contents of PPP+PPS but decreased the yield of PPP+PPS. The optimum fractionation conditions to produce lipids rich in PPP+PPS were at a ratio of HPS to acetone of 1:5 (g/ml) and a fractionation temperature of 30 °C for 3 h. With these conditions, lipids obtained had PPP+PPS content and yield of more than 91% and 59%, respectively. Lipids obtained consisted of palmitic acid 91.32% and at sn-2 position 88.13%. In HPS enzymatic interesterification, TAG-rich lipid fraction with the highest palmitic acid at sn-2 position was produced at a mole ratio of HPS to palmitate donor of 1:3, the temperature of 65 °C, Novozyme 435 10% by weight of the substrate, and time reaction for 4 h. Ethyl palmitate was a palmitic donor that produced a TAG-rich lipid fraction with the highest palmitic acid content at sn-2 position (88.44%) compared to palmitic acid (83.92%). The increase in TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position through the fractionation of HPS acetone and enzymatic transesterification between HPS and ethyl palmitate resulted in TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position at the same level of more than 88%. However, the transesterification product contained higher free fatty acid (FFA) and diacylglycerol (DAG) than the fractionated product. High levels of DAG can cause acyl migration in enzymatic interesterification, which can affect the target product (OPO) that will be produced. Therefore, a transesterification product purification process is needed to remove FFA and DAG, increasing production costs. Thus, TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position generated by acetone fractionation was chosen as a substrate in synthesizing OPO-rich lipids. In enzymatic transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position and ethyl oleate, a structured lipid was obtained containing OPO+POO as the main TAG. Increasing the substrate mole ratio of ethyl oleate to TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and reaction time decreased the contents of PPP and PPS. At a mole ratio of TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS to ethyl oleate of 1:6, a temperature of 60 °C, and a reaction time of 2 h resulted in structured lipids containing 41.13% OPO+POO, with total palmitic acid of 51.09%, palmitic acid at sn-2 position of 75.76%, total oleic acid of 44.48%, and oleic acid at sn-1,3 positions of 58.77%. In the fractionation of the transesterification product, a liquid fraction was produced with increased contents of OPO+POO and PPO+POP. Fractionation at 10 °C for 3 h resulted in a liquid fraction containing 43.72% OPO+POO and 51.03% PPO+POP. With these conditions, the lipid obtained consisted of palmitic acid at sn-2 position and oleic acid at sn-1,3 positions contents of 79.57 % and 68.93%, respectively, with a relative content of palmitic acid at sn-2 position of 59.07%. Keyword:acidolysis, fractionation, hard palm stearin, human milk fat substitute, transesterification
Judul: Perkembangan tegakan pada hutan alam produksi dalam sistem silvikultur TPTII. Abstrak:Sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun di sisi lain dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi kemudian dipertanyakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya, menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya dan mengidentifikasi kualitas tanah pada pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan. Penelitian dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat. Pengambilan data primer dilakukan pada areal hutan TPTII yang berumur 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun yang terletak pada blok tebangan TPTII tahun 2010 (TPTI 1983), 2009, 2008, 2007, 2006, dan 2005. Pengambilan data primer pada blok KPPN (Kawasan Konservasi Plasma Nutfah) merupakan areal representasi dari Virgin Forest. Data sekunder untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen. Riap diameter Shorea leprosula pada umur 5 tahun mencapai 0,77 cm/th, dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur. Pada umur umur 25 tahun riap diameter diprediksi akan mencapai 1,67cm/th. Daur pertama tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII akan diperoleh pada umur 25 tahun, dengan rata-rata diameter tanaman 41,83 cm. Potensi tegakan tanaman Shorea leprosula pada daur pertama tersebut akan mencapai 91,79 m3/ha. Struktur tegakan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII membentuk struktur tegakan yang lebih menyerupai hutan tanaman seumur dengan kurva diameter menyebar berbentuk lonceng. Keyword:
Judul: Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di Areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) Abstrak:Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) sebagai salah satu contoh selective system atau selective logging merupakan sistem pengelolaan hutan alam produksi yang kini menjadi salah satu alternatif yang patut dipertimbangkan untuk memperbaiki kualitas hutan alam yang rusak melalui penanaman dengan sistem jalur. Dalam sistem ini batas diameter tebang diturunkan menjadi 40 cm sehingga produksi kayu per ha menjadi lebih besar. Namun, disisi lain sebagai akibat dari penurunan tersebut terjadi perubahan pada komposisi dan struktur vegetasi serta iklim mikro yang lebih luas sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perubahan kualitas tanah yang cukup besar pada areal penebangan tersebut. Untuk itu maka kajian tentang perubahan ekosistem merupakan studi yang sangat penting dalam praktek system TPTJ yang selama ini belum banyak dibahas. Keyword:
Judul: Blood Bicchemistry Profile of Pregnant Women Consumed Fortified Cookies with Iron (Fe), Folic Acid, Vitamin A, Vitamin C, Zinc (Zn), and Iodine Abstrak:The aim of this study was to analyze the effect of fortified cookies on blood biochemistry profile of pregnant women. For this purposed, an experimental study design was applied among 269 physically healthy pregnant women in Leuwiliang and Cibungbulang, Bogor for four treatment groups (I, 11, 111, IV) and control group (V), which given one type of formula cookies for each. The five type of formula are: (1) formula A, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A and vitamin C; (2) formula B, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, and Zn; (3) formula C, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A, vitamin C, and iodium; (4) formula D, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, Zn, and iodium; (5) formula E, was not fortified (control). The different formula were given to different group of women every two days during gestation period. Keyword:
Judul: Analisis Genetik Isolat Corynespora Cassiicola Dan Plasma Nutfah Karet Serta Identifikasi Quantitative Trait Loci (Qtl) Yang Terpaut Ketahanan Penyakit Gugur Daun Corynespora Abstrak:Pengembangan budi daya tanaman karet di Indonesia dan negara-negara utama penghasil karet alam di dunia menghadapi kendala serangan penyakit gugur daun Corynespora (PGDC) yang secara signifikan menurunkan produksi lateks tanaman karet. Penyakit gugur daun yang disebabkan oleh cendawan Corynespora cassiicola merupakan salah satu penyakit penting yang sudah tersebar di hampir seluruh sentra perkebunan karet di dunia dan penyebarannya sangat sulit dikendalikan. Penggunaan klon-klon karet tahan sebagai bahan tanam merupakan salah satu solusi pengendalian PGDC secara efektif dan ekonomis. Program pemuliaan tanaman karet untuk menghasilkan klon-klon unggul yang tahan terhadap PGDC seringkali terkendala dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk proses seleksi, sehingga kemajuan dibidang biologi molekuler melupakan peluang untuk mengatasi hal tersebut. Serangkaian kegiatan penelitian dilakukan bertujuan untuk : 1) mengidentifikasi keragaman tingkat patogenisitas, sekuen ITS-rDNA dan gen penyandi cassiicolline pada isolat C. cassiicola asal perkebunan karet di Indonesia, 2) mengevaluasi tingkat ketahanan plasma nutfah karet terhadap penyakit gugur daun Corynespora, 3) menganalisis keragaman genetik dan struktur populasi plasma nutfah karet berdasarkan marka EST-SSR, serta 4) menyusun peta pautan genetik dan mengidentifikasi marka SSR yang terkait dengan PGDC pada tanaman karet. Penelitian diawali dengan uji virulensi 23 isolat C. cassiicola yang terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah 6 isolat yang diisolasi dari klon yang sama (GT 1) pada 6 perkebunan karet berbeda yaitu dari Provinsi Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan, sedangkan kelompok kedua adalah 17 isolat yang diisolasi dari 17 klon karet berbeda di lokasi yang sama. Uji virulensi dilakukan berdasarkan aktivitas toksin isolat pada daun 6 klon karet yaitu BPM 1, RRIC 100, BPM 24, PB 260, GT 1 dan RRIM 600 yang memiliki tingkat ketahanan berbeda terhadap PGDC. Hasil analisis virulensi menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara isolat dengan klon karet yang menghasilkan perbedaan tingkat virulensi masing-masing isolat terhadap enam klon karet uji. Daerah dan jenis klon inang asal isolat diisolasi berpengaruh terhadap kemampuan virulensi dan keragaman sekuen ITS-rDNA isolat C.cassiicola yang dianalisis. Analisis keragaman sekuen ITS-rDNA 23 isolat C. cassiicola menggunakan kombinasi primer ITS1F/ITS4 menunjukkan bahwa terdapat tiga titik SNP yang membagi isolat menjadi 5 haplotipe berbeda dan sebagian besar isolat tergolong ke dalam haplotipe 1. Analisis menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara sekuen ITS-rDNA dengan kemampuan virulensi, dimana perubahan basa pada titik SNP mengakibatkan terjadinya perubahan tingkat virulensi isolat. Identifikasi gen cas menunjukkan bahwa isolat C. cassiicola asal tanaman karet Indonesia tergolong kepada kelompok cas4 yang diduga terkait dengan virulensi tinggi. iv Percobaan selanjutnya adalah uji ketahanan 56 plasma nutfah karet yang terdiri dari 50 aksesi populasi IRRDB 1981 dan 6 klon karet populasi Wickham terhadap empat isolat C. cassiicola (CC-01, CC-20, CC-22, dan CC-23) yang tergolong sangat virulen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12 aksesi tergolong sangat tahan, 13 aksesi tahan, 23 aksesi rentan dan 8 aksesi tergolong sangat rentan terhadap PGDC. Terdapat tiga aksesi dari populasi IRRDB 1981 yang memiliki tingkat ketahanan lebih baik dari populasi Wickham yaitu PN 451, PN 494 dan PN 604. Analisis keragaman genetik plasma nutfah karet menggunakan 15 primer EST-SSR menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik yang cukup tinggi pada populasi yang dianalisis. Analisis filogenetik menunjukkan terdapat tiga kelompok plasma nutfah karet, dimana populasi Wickham berada terpisah dari populasi IRRDB 1981 yang menandakan bahwa terdapat jarak genetik yang cukup jauh antara populasi Wickham dengan IRRDB 1981, serta populasi IRRDB 1981 terpisah lagi menjadi dua kelompok berdasarkan asal geografis dari masing-masing subpopulasi dengan sedikit pencampuran antar subpopulasi. Analisis struktur populasi menggunakan program STRUCTURE menunjukkan bahwa pencampuran yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh adanya aliran gen melalui hibridisasi antar populasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh pada percobaan diatas telah dilakukan pemilihan klon-klon yang memiliki sifat ketahanan yang sangat kontras sebagai tetua persilangan. Sebagai tetua betina dipilih klon tahan BPM 1 dan tetua jantan dipilih klon rentan RRIM 600 untuk menghasilkan populasi pemetaan. Dari persilangan kedua klon tetua diperoleh 30 tanaman dan 74 embrio F1. Tanaman F1 yang diperoleh selanjutnya di uji tingkat ketahanannya terhadap PGDC menggunakan dua isolat C. cassiicola yaitu CC-06 yang berasal dari klon GT 1 dan CC-22 yang berasal dari klon RRIM 600. Uji ketahanan menunjukkan bahwa tingkat ketahanan tanaman F1 terhadap kedua isolat bervariasi dengan kisaran 5.2 – 33.4% pada isolat CC-06 dan 3.5–36.4% pada isolat CC-22. Untuk menyusun peta pautan genetik maka telah dilakukan seleksi 135 lokus SSR pada kedua klon tetua untuk memilih lokus-lokus yang polimorfik. 30 lokus terseleksi selanjutnya digunakan untuk mengamplifikasi 104 individu populasi pemetaan dan hanya primer yang bersegregasi 1:1 yang digunakan dalam penyusunan peta pautan genetik. Analisis pautan menggunakan program MAPMAKER/EXP menunjukkan bahwa pada LOD 3 terbentuk 4 kelompok dengan total 8 lokus terpaut, sedangkan pada LOD 2 terbentuk 2 kelompok pautan dengan total 11 lokus terpaut. QTL yang terkait PGDC belum berhasil diidentifikasi pada peta pautan tersebut, namun berdasarkan analisis marka tunggal diketahui bahwa empat lokus (EHB 70, EHB 081, EHBp 18 dan SSRH 548) berasosiasi dengan kedua isolat (CC-06 dan CC-22). Selain itu juga diperoleh satu lokus (HB 68) yang hanya berasosiasi dengan isolat CC-06 dan lima lokus lainnya (gSSR 165, HBE 329, SSRH 103, HB 78 dan gSSR 212) berasosiasi hanya dengan isolat CC-22. Informasi yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan langkah awal dalam pengembangan Marker Assisted Selection (MAS) ketahanan terhadap PGDC pada tanaman karet. Keyword:Hevea brasiliensis, Corynespora cassiicola, ITS-rDNA, keragaman genetik, peta pautan genetik, asosiasi marka
Judul: Produksi dan Inaktivitas In Vitro Toksin Isolat Corynespora cassiicola (Berk.&Curt.) Wei Asal Daun Karet Abstrak:Penyakit Gugur Daun Corynespora pada tanaman karet yang disebabkan oleh Corynespora cassiicola [Berk. & Curt.] Wei telah menjadi ancaman bagi produksi karet di Indonesia. Cendawan patogenik tersebut menghasilkan toksin yang dinamakan cassiicoloa yang berperan penting dalam patogenisitasnya. Hingga saat ini masih belum diketahui strategi pengendalian yang efektif dan efisien untuk mencegah epidemi penyakit tersebut Keyword:
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Performa anak domba lokal kembar yang mendapat suplementasi kobalt dan konsorsium bakteri rumen selama periode prasapih Abstrak:Bakteri rumen membutuhkan kobalt (Co) untuk pertumbuhan dan sintesis vitamin B12, dan konsentrasinya dalam media pertumbuhan merupakan faktor pembatas untuk produksi vitamin B12. Meskipun demikian, Co dalam konsentrasi tinggi juga menimbulkan efek merugikan bagi pertumbuhan bakteri. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji toleransi konsorsium bakteri rumen yang ditumbuhkan dalam media berkadar Co tinggi dan menentukan kemampuannya dalam mensintesis vitamin B12. Tahapan penelitian adalah: 1) penentuan pola pertumbuhan isolat bakteri rumen, 2) penentuan pola pertumbuhan dan populasi konsorsium bakteri rumen, dan 3) kajian adaptasi konsorsium bakteri rumen dalam media berkadar Co tinggi dan kemampuan sintesis vitamin B12. Isolat bakteri rumen yang digunakan merupakan koleksi Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB. Dosis Co dalam media adalah 100, 200, 300, 400 dan 500 ppm. Peubah yang diamati adalah pola pertumbuhan 6 isolat bakteri, pH media, bahan kering (BK), populasi konsorsium bakteri rumen dan kadar vitamin B12. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penambahan Co dengan konsentrasi mencapai 500 ppm masih toleran bagi pertumbuhan bakteri rumen tetapi belum mampu meningkatkan sintesis vitamin B12. Keyword:bakteri rumen, kobalt, vitamin B12
Judul: Efek suplementasi asam lemak volatil bercabang dan kapsul lisin serta treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein Abstrak:Dilakukan serangkaian penelitian yang bertujuan untuk memadukan teknologi suplementasi nutrien untuk optimasi bioproses di dalam rumen dan teknologi pasokan asam amino esensial ke pasca rumen melalui kapsulasi yang tahan degradasi rumen. Percobaan pertama bertujuan untuk manipulasi bioproses di dalam rumen, menggunakan 5 ekor sapi jantan Holstein dengan bobot awal 348 + 29 kg, dan rancangan Bujur Sangkar Latin 5 x 5. Ransum dasar yang digunakan terdiri dari rumput gajah tumbuh liar 55 persen dan 45 persen konsentrat dengan kandungan energi 10.5 MJ ME dan 15 persen protein kasar. Lima jenis pakan perlakuan yaitu A = ransum kontrol, B = A + urea (139 mg/kg W 0.75), C = B + kalsium sulfat (28 mg/kg W0.75), D = C + isobutirat dan b-metilbutirat (masing-masing 0.05 mmol), dan E = D + a-metilbutirat (0.05 mmol). periode pemeliharaan selama 30 hari, terdiri dari periode adaptasi ransum selama 20 hari, kemudian dilakukan pengamatan pertumbuhan selama 10 hari. Koleksi total dilakukan selama 5 hari terakhir dari periode pengamatan. Hasil percobaan I menunjukkan bahwa konsumsi nutrien tidak memperlihatkan respon yang nyata pada masing-masing ransum perlakuan. Terdapat indikasi bahwa suplementasi yang diberikan mempengaruhi fermentasi dalam rumen, terutama profil asam lemak volatil (VFA) baik total, yaitu A = 103, B = 102, C = 98.2, D = 99.3 dan E = 95.6 mM maupun VFA individual, yaitu nilai rataan konsentrasi asetat adalah A = 65.2, B = 61.4, C = 60.2, D = 60.1 dan E = 60.5 mM. Nilai rataan konsentrasi propionat adalah A = 27.3, B = 27.3 , C = 24.6, D = 27.1, dan E = 25.8 mM, sedangkan nilai rataan konsentrasi butirat adalah A = 4.86, B = 4.66, C = 4.75, D = 4.75 dan E = 4.02 mM. Mulai perlakuan C (suplementasi kalsium sulfat) terdapat indikasi bahwa alantoin urin, populasi bakteri maupun pertumbuhan sapi percobaan memberikan respon menurun. Pada perlakuan D dan E (suplementasi isoacid) pertambahan bobot badan nyata menurun (P < 0.05). Percobaan ke dua bertujuan memanipulasi sistem absorpsi pasca rumen, menggunakan 5 ekor sapi betina Holstein dengan bobt awal 160 + 43 kg, dengan rancangan Bujur Sangkar Latin 5 x 5. ransum dasar terdiri dari 45 persen rumput gajah dan 55 persen konsentrat ( Kandungan energi =10.5 MJ ME dan 15 persen Protein kasar). Hasil percobaan 2 menunjukkan bahwa konsumsi nutrien tidak memperlihatkan respon yang nyata pada masing-masing ransum perlakuan. Konsentrasi VFA total terdapat dalam kissaran yang ideal untuk pertumbuhan mikroba rumen yaitu 110 mM. Dari percobaan 1 dapat disimpulkan bahwa proses fermentasi dalam rumen dapat dimanipulasi dengan menambah nutrien bagi pertumbuhan mikroba rumen yaitu suplementasi urea dan isoacid sedangkan dari percobaan dua dapat disimpulkan bahwa suplementasi minyak jagung bermanfaat untuk mengurangi pengaruh negatif yang ditimbulkan kalsium sulfat. Keyword:Treonin; Asam lemak volatil;
Judul: Freycinetia (pandanaceae) of Sumatra Abstrak:Freycinetia Gaud is one of four extant genera of Pandanaceae. The genus consists of approximately 200 species, in which almost all are climbers. The genus is distributed from Sri Lanka through the mainland of South East Asia and Malesia florictic region to northern Australia (Queensland) and New Zealand, there it is the only member of Pandanaceae existed. Keyword:Morphological Study, Anatomical Study, Spatial Modelling
Judul: Metodologi Pemantauan Perubahan Pola Tanam Padi Sawah Berbasis Citra MODIS. Abstrak:Ketersediaan bahan pangan pokok seperti padi, jagung, dan kedelai wajib dipertahankan untuk memenuhi ketersediaan pangan nasional. Budidaya padi di seluruh daerah di Indonesia pada dasarnya dipantau oleh dinas pertanian setempat melalui pencatatan luas lahan tanam untuk setiap musim tanam oleh petugas pertanian. Beberapa dinas pertanian telah mengembangkan sistem pencatatan dan pemantauan budidaya tanaman pangan agar dapat memperoleh kondisi terkini dari budidaya. Namun dalam pelaksanaannya, pencatatan yang dilakukan oleh petugas belum menyeluruh dan umumnya ditujukan pada lokasi pengamatan yang sudah dipilih. Selain itu data yang didapat berupa data statistik luas tanam tanpa informasi lokasi sawah dalam bentuk informasi spasial. Sehingga untuk memperoleh hasil pemantauan yang menyeluruh, objektif, terkini, dan berkelanjutan dibutuhkan pengembangan dari sistem pemantauan budidaya padi melalui pengindraan jauh (remote sensing) berbasis citra satelit MODIS time-series. Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode pemantauan pola tanam melalui analisis pola dan dinamika vegetasi pada lahan sawah menggunakan citra MODIS. Penelitian ini juga mengembangkan metode identifikasi pola budidaya tanaman padi sawah berdasarkan dinamika indeks vegetasi pada citra MODIS time-series. Tahapan dalam penelitian ini meliputi: 1) Pengembangan metode rekonstruksi dan pembersihan noise pada data spatiotemporal citra indeks vegetasi MODIS untuk ekstraksi pola tanam padi sawah, 2) Pengembangan metode klasifikasi dan identifikasi pola tanam padi sawah dan, 3) Pengembangan sistem pemantauan perubahan pola tanam padi. Keluaran dari penelitian ini adalah metode pengolahan citra satelit MODIS yang mampu mendeteksi deteksi pola tanam dengan akurasi 55% dan deteksi intensitas tanam padi dengan akurasi 72%. Kombinasi ini dapat menggambarkan jumlah pola tanam tertinggi (26 pola) yang mencakup empat jenis sistem tanam padi (yaitu tanam non-padi, 1x tanam padi, 2x tanam padi, dan 3x tanam padi). Teknik yang dihasilkan ini dapat digunakan untuk menghitung luas tanam padi tahunan. Keyword:citra MODIS, metode, padi sawah, pemantauan, pola tanam
Judul: Metode deteksi degradasi hutan menggunakan citra satelit landsat di Hutan Lahan Kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak Abstrak:Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai laju deforestasi yang tinggi yaitu 1,1 juta Ha/th (Dephut 2008). Indonesia telah mengakomodasi pentingnya pengurangan degradasi hutan untuk mengurangi emisi melalui Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sejak tahun 2009. Deteksi degradasi hutan menggunakan teknologi penginderaan jauh masih menjadi masalah yang krusial untuk mendukung prosedur operasional monitoring, reporting and verification (MRV) REDD. Deteksi degradasi belum mempunyai metode standar klasifikasi perubahan kelas tutupan hutan pada citra maupun keadaan di lapangan. Berkenaan dengan hal tersebut maka pada penelitian ini dikaji beberapa metode klasifikasi berbasis piksel serta kelas-kelas degradasi hutan yang terukur dilapangan untuk deteksi degradasi hutan. Tujuan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi metode dan membangun prosedur yang tepat untuk deteksi degradasi hutan. Tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi peubah yang dapat digunakan sebagai indikator degradasi hutan di lapangan, 2) mengevaluasi tingkat akurasi klasifikasi kerapatan hutan menggunakan metode FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief-dempster shafer, 3) mengevaluasi tingkat akurasi deteksi degradasi hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Metode deteksi degradasi hutan yang diuji adalah metode berbasis piksel dengan menggunakan metode post classification comparison (PCC). Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah forest canopy density, maximum likelihood, fuzzy dan belief –dempster shafer. Metode identifikasi peubah kelas degradasi hutan dilapangan adalah dengan menggunakan analisis korelasi antara indikator tegakan yaitu volume, lbds dan kerapatan tegakan dengan indikator tajuk yaitu Crown Size Index (CDI), Crown Damage Index (CDI), Visual Crown Rating (VCR) dan Leaf Area Index (LAI) dan kerapatan tajuk. Uji hasil klasifikasi kerapatan hutan dan degradasi hutan menggunakan overall accuracy dan analisis Kappa. Hasil analisis regresi antara indikator tajuk dengan luas bidang dasar dan volume mempunyai koefisien determinasi yang rendah. Hasil analisis regresi antara indikator tajuk dengan kerapatan tegakan mempunyai koefisien determinasi yang lebih baik sehingga indikator kerapatan tegakan terpilih sebagai indikator deteksi degradasi hutan dilapangan. Keyword:
Judul: Respons hormonal dan imunologis wanita premenopause terhadap minuman fungsional berbahan dasar susu skim yang disuplementasi dengan isoflavon kedelai dan Zn Abstrak:The decrease of ovarian estrogen level in women causes various menopaused systems of premenopausal women. Along with the decrease of estrogen production, immune system also declines causing degenerative diseases to occur. Keyword:
Judul: Penguatan Peran Kelembagaan Petani Dalam Peningkatan Kapabilitas Petani Mengelola Inovasi Berbasis Teknologi Informasi Abstrak:Penguatan peran kelembagaan petani dalam peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi berbasis teknologi informasi pada dasarnya ditujukan guna menghadapi isu daya saing produk hortikultura khususnya sayuran/globalilisasi ekonomi, meminimalkan ketergantungan petani terhadap informasi saluran formal, efektivitas layanan informasi bagi petani, memecah kebuntuan/stagnasi informasi, menjembatani petani yang berakses lemah informasi, optimalisasi realisasi UU Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Nomor 16 Tahun 2006, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013, PerMentan No:82/Permentan/OT.140/8/2013 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Secara spesifik, penguatan peran kelembagaan juga penting dalam menghadapi kompleksitas peluang dan tantangan pembangunan pertanian ke depan, kemajuan teknologi informasi, konvergensi komunikasi, inovasi masa depan, akses terhadap pasar, akses terhadap sumberdaya produktif, penyuluhan cafetaria, daya saing lembaga petani. Kelembagaan petani yang dinamis dan adaptif yang mampu mengaplikasi teknologi informasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan informasi serta akses pada sumber informasi secara global merupakan salah satu jawaban yang patut diperhitungkan untuk menangkap peluang perkembangan teknologi informasi dan komunikasi/TIK bagi peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis peran kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi berbasis teknologi informasi di dataran tinggi Jawa Barat; (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kelembagaan petani dalam proses peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi berbasis teknologi informasi di dataran tinggi Jawa Barat; (3) merumuskan strategi penguatan peran kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi berbasis teknologi informasi di dataran tinggi Jawa Barat. Penelitian dilakukan di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat dan di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat yang merupakan dua sentra penghasil sayuran dengan ragam dan jenis produk inovatif terbanyak di Jawa Barat. Selain itu, penentuan daerah penelitian didasarkan pada pertimbangan antara lain jumlah petani yang mengembangkan produk inovatif komoditas sayuran banyak, tipologi geografis dataran tinggi, serta banyaknya petani dan kelembagaan petani yang telah memanfaatkan informasi melalui jaringan internet (internetworking). Sampel penelitian berjumlah 243 orang (114 orang petani di Kabupaten Bandung Barat dan 129 orang petani di Kabupaten Cianjur). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei, studi literatur dan wawancara. Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan, survey terstruktur dengan kuesioner, wawancara mendalam (in-depth interview) dan fokus grup diskusi/FGD. Data sekunder diperoleh dari dokumentasi laporan dari berbagai instansi terkait. Strategi penguatan peran kelembagaan petani menggunakan dasar hasil analisis Structural Equational Moddelling/SEM. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya penguatan peran kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi melalui peran mengelola informasi, mediasi informasi, edukasi insan informasi, wahana kerjasama dan unit usaha yang didukung oleh penguatan karakteristik individu anggota kelembagaan petani, dinamisasi kelembagaaan petani, perbaikan kualitas informasi dan dukungan kelembagaan eksternal (lembaga penyuluhan, penelitian, lembaga pendidikan dan latihan, lembaga input/output, lembaga kebijakan dan dukungan jaringan sarana prasarana teknologi informasi komunikasi/ICT). Secara simultan peran kelembagaan petani di Jawa Barat telah memiliki peran yang cukup baik di lihat dari nilai validitas perananya mengelola informasi (0.91), mediasi informasi (0.81), edukasi insan informasi (0.64), wadah kerjasama (0.63) dan unit usaha/peningkatan nilai tambah (0.64). Penguatan peran kelembagaan petani sangat bergantung pada karakteristik individu anggota (thitung5.89), kualitas informasi (thitung1.20), dinamika kelompok (thitung10.21) dan dukungan kelembagaan eksternal (thitung1.21). Model matematik dari faktor-faktor yang berpengaruh pada peran kelembagaan petani adalah: Y1 = 0.25*X1 + 0.042*X2 + 0.65*X3 + 0.095*X4, errorvar = 0.23 dan R2 = 0.77. Nilai R menunjukkan bahwa 77% varian dari peran kelembagaan petani dipengaruhi 25% oleh karakteristik individu, 4.2% oleh kualitas informasi, 65% oleh kedinamisan kelompok dan 9.5% oleh dukungan kelembagaan eksternal sisanya 23% pengaruhi faktor lain. Peran kelembagaan berpengaruh nyata (thitung8.59 > 1.96), karakteristik petani (thitung6.68 > 1.96), kualitas informasi (thitung9.56 > 1.96) terhadap peningkatan kapabilitas inovasi petani. Tingkat kapabilitas petani sayuran dataran tinggi Jawa Barat masih rendah. Berdasarkan hasil pengukuran validitas dengan menggunakan Confirmatory Faktor Analysis (CFA) pengukuran kapabilitas inovasi individu petani dapat dilakukan dengan indikator: (1) kemampuan beradaptasi dengan inovasi (0.89); (2) kemampuan menyaring inovasi (0.97); (3) kemampuan komitmen terhadap inovasi (0.92); (4) perilaku mengelola sumberdaya yang ada (0.89); dan (5) kemampuan melaksanakan inovasi (0.91). Rumusan strategi peningkatan kapabilitas inovasi petani sayuran di dataran tinggi Jawa Barat berbasis teknologi informasi dilakukan melalui empat pendekatan. Pertama, perbaikan terhadap intern kelembagaan kelompoktani; kedua, perbaikan terhadap karakteristik perilaku inovasi individu petani; ketiga, perbaikan terhadap kualitas informasi; dan keempat, tingkatkan dukungan eksternal kelembagaan kelompok tani. Keyword:kapabilitas petani mengelola inovasi, peran kelembagaan petani, teknologi informasi dan komunikasi
Judul: Kemandirian Petani dalam Pen ambilan Keputusan Adopsi lnovasi (Kasus Petani Sayuran di Provinsi Jawa Barat) Abstrak:The research was carried out in West Java Province, and it has been designed to 􀀁n,􀀂i"!r several problems, namely: the farmers autonomy on decision-making of the on of innovation and factors influencing the decision, and empowerment strategy to Jl􀁓J'a.se the farmers autonomy on decision making of the adoption of innovation. The bjective of this research are: (1) to study the level of the farmers autonomy on si n-making of the adoption of innovation and to determine factors related to the armers autonomy, and (2) to formulate effective strategic approach and empowerment ode to increase the farmers autonomy on decision-making of the adoption of innovation The number of sample are 270 people, consist of two strata, stratum I: 60 rogr ssive farmers, stratum II: 210 developing farmers. Those respondents were selected y S atified Random Sampling Method. The data were collected by interview and bse ation. The quantitative data had been analyzed using statistical Spearman orre ation and Structural Equation Model (SEM). The result of the research showed that: (1·) in general, there are cultural changes of egetable farmers from cultivated orientation to the market driven; (2) the level of the arm rs autonomy are in the middle scale, but the level of the farmers autonomy on ecis on-making of the adoption ;0f innovation at progressive farmers are heighter than deve oping farmers; (3) the farmers self-needs-awarness has positive correlation to the fann rs autonomy on decision-making of the adoption of innovation in all of farmers t􀂲l gy, therefore, the future empowerment led to the improvement of the farmer self­need -awarness; and (4) Empowerment with general approach was not effective because of di ferent conditions, problems, and real needs of each farmers tipology, therefore, it need the improvement of strategy and tipology empowerment model oriented to the local ty and client type. Keyword:Adoption; Decision making; Vegetables farmer;
Judul: Blood Bicchemistry Profile of Pregnant Women Consumed Fortified Cookies with Iron (Fe), Folic Acid, Vitamin A, Vitamin C, Zinc (Zn), and Iodine Abstrak:The aim of this study was to analyze the effect of fortified cookies on blood biochemistry profile of pregnant women. For this purposed, an experimental study design was applied among 269 physically healthy pregnant women in Leuwiliang and Cibungbulang, Bogor for four treatment groups (I, 11, 111, IV) and control group (V), which given one type of formula cookies for each. The five type of formula are: (1) formula A, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A and vitamin C; (2) formula B, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, and Zn; (3) formula C, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A, vitamin C, and iodium; (4) formula D, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, Zn, and iodium; (5) formula E, was not fortified (control). The different formula were given to different group of women every two days during gestation period. Keyword:
Judul: Evaluasi biji kapuk (Ceiba petandra Gaertn) berdasar kecernaan, enzimatik, gambaran darah, histologi dan kinerja pertumbuhan sebagai alternatif bahan baku pakan ikan mas (Cyprinus carpio L) Abstrak:This research was conducted to evaluate kapook seed (Ceiba petandra Gaertn) as plant feedstuff on digestibility, enzymatic activity, blood parameter, histology and growth performance of common carp, Cyprinus carpio L. This experiment was conducted at three stages. The first stage of the research was done to known the digestibility of kapook seed meal in vitro. Kapook seed meal (KSM) at the levels of 0%, 7%, 28%, 50%, 72%, 93% and 100% was used as substrates, and pure enzymes of protease 34.5 IU, lipase 10 IU, and amylase 14.4 IU were used as hydrolyzer. The substrate was incubated for one hour at the temperature of 37 oC. The results of in vitro experiment showed that the digestibilty rate of protein, lipid and carbohydrate was reach to a maximum level at the KSM concentration of 50%, and the digestibility rate of protein, lipid and carbohydrate was reduced to the level of 37.57%, 46.15%, and 65.78% when KSM concentration was increased from 50 to 100%. It is concluded that the maximum concentration of KSM without any reduction effect on digestibility rate was 50%. The second experiment was conducted to evaluate the digestibility and enzyme activity of common carp fed diet containing different levels of kapook seed meal, either 0% , 10, 20, 30, 40, and 50% KSM, respectively. For indirect digestibilty measurement, 0.5% of Cr2O3 was used as a tracer. The results showed that the digestibility of total, energy, protein, lipid and carbohydrate decreased along with the increasing of KSM levels in the diets. The activity of amylase was higher compared to protease and lipase activities in all KSM levels in the diets, but its rate was reduced along with the increasing of KSM levels in the diet. The third experiment was conducted to evaluate the effect of different level of kapook seed on histology, blood parameters, accumulation anti nutritional factors in liver and kidney, and growth performance of common carp. All the methods of this experiment were the same as those on the second experiment. The result showed that the increasing of KSM levels in the diets increased the concentration of gossypol (FG) and cyclopropenic acid (ALS) in blood and organs increased as the KSM levels in the diet were increased. The desaturation of unsaturated fatty acid was found in all fish fed KSM diets. All growth performance indicators such as feed consumption, feed convertion ratio, protein and lipid retention, survival rates, and daily growth rate were decreased as a consequence of the inclusion of KSM in the diets. It is concluded that KSM contained 0.32% of FG and 1.57% of ALS can not be used as raw materials for stomachless fish like common carp. Keyword:
Judul: Perbaikan Kinerja Pertumbuhan dan Kualitas Daging Ikan Patin Pangasianodon hypophthalmus yang Diberi Suplemen Sinamaldehid dan L-karnitin Abstrak:Ikan patin Pangasianodon hypophthalmus merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang popular baik dipasar lokal maupun global. Budidaya ikan patin dihadapkan pada dua permasalahan utama, yaitu rendahnya margin yang didapat dan kualitas daging. Permasalahan tersebut disebabkan oleh adaptasi fisiologis ikan patin yang secara alami memiliki kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat kurang optimal. Sehingga solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan peningkatan pemanfaatan karbohidrat dan lemak melalui proses protein-sparing effect. Bahan aditif Sinamaldehid (CIN) dan L-karnitin (LC) dilaporkan memiliki potensi dalam proses peningkatan pemanfaatan karbohidrat dan lemak, ini akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan dan efisiensi pakan serta penurunan deposit lemak, serta peningkatan kualitas daging. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran CIN dan LC terhadap kinerja protein-sparing effect, metabolisme pemanfaatan karbohidrat dan lemak, kualitas daging ikan patin. Rangkaian penelitian ini dilakukan empat tahap. Tahap pertama adalah bertujuan untuk mengevaluasi peran CIN dalam tubuh ikan patin. Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan dan 4 ulangan, yakni pakan komersial berkadar protein 28% ditambah CIN sebanyak 0, 0.5, 1.0, 1.5, dan 2 g kg-1 pakan. Ikan patin berat awal 5.57 ± 0.02 g dipelihara pada hapa ukuran 2x1x1 m3 selama 60 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CIN dapat meningkatkan aktivitas enzim amilase dan lipase, serta kemampuan uptake glukosa tampak pada hasil glucose tolerance test pada jam ke-3 dan 4. Up-regulated gen insulin signaling (insulin receptor), glikolisis (hexokinase), dan lipolisis (hormone-sensitive lipase). Pemberian CIN meningkatkan protein plasma dan high-density lipoprotein, serta menurunkan trigliserida dan kolesterol. Bahan aditif CIN dapat meningkatkan kapasitas antioksidan dengan meningkatkan nilai superoxide dismutase dan glutathione peroxide serta menurunkan malondialdehyde. Suplementasi CIN dosis 1.5 g kg-1 merupakan dosis terbaik dalam meningkatkan kinerja pertumbuhan (bobot akhir, laju pertumbuhan harian), efisiensi pakan (feed conversion ratio), dan protein efisiensi rasio. Bahan aditif CIN juga berpengaruh dalam peningkatan protein daging serta penurunan lemak di daging dan hati. Berdasarkan analisis polinomial ortogonal, dosis CIN optimal untuk ikan patin yaitu 1.2 g kg-1. Tahap kedua mengevaluasi suplementasi CIN, LC dan kombinasinya terhadap pemanfaatan karbohidrat dan lemak, pertumbuhan dan komposisi kimia tubuh. Penelitian ini menggunakan lima perlakuan dan empat ulangan, yang terdiri dari pakan komersial tanpa suplementasi (Kontrol), suplementasi CIN 1.2 g kg-1 (CIN), LC 0.2 g kg-1 (LC), kombinasi CIN 0.6 g kg-1 dan LC 0.1 g kg-1 (CIN-LC1), dan kombinasi CIN 1.2 g kg-1 dan LC 0.2 g kg-1 (CIN-LC2). Ikan dengan bobot 5.57 ± 0.02 g dipelihara di hapa (2 m x 1 m x 1 m) selama 60 hari. Hasil menunjukkan CIN-LC1 meningkatkan biokimia darah dan up-regulated ekspresi gen metabolisme karbohidrat dan lemak. CIN-LC1 juga menunjukkan kinerja pertumbuhan yang paling baik. Tahap ketiga bertujuan untuk mengevaluasi penurunan protein dari 28% menjadi 25% pada level rasio E:P berbeda dengan penambahan CIN terhadap biokimia darah, pertumbuhan dan komposisi kimia tubuh ikan patin. Terdapat lima perlakuan pakan dan empat ulangan, yang terdiri dari 28:13-C0 (protein 28%, E:P rasio 13 dan CIN 0 g kg-1), 25:14-C1 (protein 25%, E:P rasio 14 dan CIN 1.2 g kg-1), 25:14-C2 (Protein 25%, E:P rasio 14 dan CIN 1.7 g kg-1), 25:15-C1 (Protein 25 %, E:P rasio 15 dan CIN 1.2 g kg-1), 25:15-C2 (Protein 25%, E:P rasio 15, dan CIN 1.7 g kg-1). Ikan patin berukuran 28.06 ± 0.19 g dipelihara di hapa (2 x 1 x 1 m3) dengan kepadatan 25 ekor per hapa selama 60 hari. Hasil perlakuan 25:15-C2 menunjukkan total protein tertinggi dan trigliserida terendah dan perlakuan 25:14-C2, 25:15-C1 dan 25:15-C2 menunjukkan albumin tertinggi dan kolesterol terendah. Perlakuan 28:13-C0, 25:14-C2, 25:15-C1, dan 25:15-C2 menunjukkan nilai yang sama tingginya pada bobot akhir dan FCR. PER perlakuan 25:15-C1 dan 25:15-C2 menunjukkan nilai tertinggi dan RP pada perlakuan 25:14-C2. Nilai HSI juga menunjukkan nilai tertinggi pada perlakuan 25:14-C1, 25:14-C2, dan 25:15-C1. Lemak tubuh paling tinggi ditemukan pada perlakuan 25:15-C1, sedangkan lemak daging pada perlakuan 25:14-C2 dan 25:15-C1 menunjukkan lemak daging terendah. Tahap keempat bertujuan untuk mengevaluasi pemberian sinamaldehid pada kualitas daging ikan patin yang dipelihara dengan blue-green algae dan diberi pakan tinggi karotenoid. Penelitian ini terdiri dari empat perlakuan dengan ulangan individu, yaitu pergantian air diberi pakan kontrol (WE-CON), pergantian air diberi pakan CIN (WE-CIN), media blue-green algae diberi pakan kontrol (BGA-CON), dan media blue-green algae diberi pakan CIN (BGA-CIN). Lima puluh ikan patin ukuran konsumsi (413 ± 33 g) dipelihara pada empat bak terpal bulat dengan diameter 3 m, dan kedalaman 1 m selama 30 hari. Pemberian CIN dapat menurunkan intensitas kekuningan daging (b) pada perlakuan BGA. Nilai hardness paling tinggi diperoleh pada perlakuan BGA-CIN dan WE-CIN, sebesar 981.16 gf dan 925.20 gf. BGA-CON menghasilkan geosmin paling tinggi, 1434 ng g-1. Pada penelitian ini pemberian CIN mampu menurunkan geosmin daging Hasil seluruh tahapan penelitian ini menunjukkan bahwa Sinamaldehid dan L-karnitin dapat meningkatkan proses protein sparing effect, melalui peningkatan pemanfaatan karbohidrat dan lemak, sehingga meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan kualitas daging ikan patin Pangasianodon hypophthalmus. Saran dari penelitian ini yaitu pengembangan CIN feed grade perlu diuji coba pada skala produksi atau lapang untuk melihat nilai ekonomisnya. Keyword:cinnamaldehyde, growth, L-carnitine, meat quality, striped catfish
Judul: Strategi Komunikasi Konflik di Ruang Publik Virtual pada Fenomena Aksi Bela Islam Abstrak:Peristiwa Aksi Bela Islam menarik perhatian publik Indonesia baik secara luring maupun daring. Platform digital dijadikan sebagai ruang publik virtual pada peristiwa Aksi Bela Islam seperti media Twitter, Facebook, Instagram dan Google, untuk membentuk dan membagikan wacana yang mendukung atau menolak Aksi Bela Islam. Beragam wacana tersebut membentuk suatu pola konflik di ruang publik virtual atas fenomena Aksi Bela Islam. Analisa dilakukan menggunakan tiga dimensi yang diperkenalkan oleh Dahlgren (1995, 2005, 2018): struktural, representasi dan interaksi, sebuah konsep untuk menggambarkan suatu ruang publik virtual. Penelitian ini membandingkan ruang publik online media sosial Twitter dan media google trends untuk menguji konsep tersebut. Deskriptif analisis data kualitatif dilakukan pada akun-akun yang berinteraksi, membentuk wacana dan komunitas di media sosial Twitter dan pada data pencarian yang terekam di Google trends, sehingga membentuk suatu pola interaksi sosial. Penelitian ini menghasilkan bahwa pada media sosial Twitter, struktur media yang memungkinkan keterlibatan pengguna dalam mengeksplorasi fitur-fitur yang disediakan oleh Twitter, memegang peran kunci pada terbentuknya interaksi sosial yang bersifat menyebar sehingga tercapai representasi dan interaksi yang sehat di ruang publik virtual. Pengguna Twitter mengeksploitasi fitur hashtag dan fitur trending topic, agar media sosial Twitter memiliki struktur media yang memungkinkan terjadinya kebebasan akses, kebebasan berpendapat dan berserikat yang berdampak pada terpenuhinya representasi dan interaksi di ruang publik virtual sebagaimana konsep Dahlgren. Sedangkan pada media virtual Google trends terjadi hegemoni akses melalui fitur kata kunci yang disediakan oleh media virtual Google yang mengakibatkan interaksi bersifat terpusat, sehingga tidak tercapainya representasi dan interaksi meskipun tersedia ruang bagi keterbukaan akses dan interaksi. Keyword:Communication Convergency, Conflict Communication Strategy
Judul: Development model of fresh fish marketing system in the region of Central Maluku Abstrak:Fishery products are perishable and its production centers scattered as well as far from the center of consumption. As seasonal is one of its characteristics while the consumption is relatively stable, it requires special treatment in marketing in order to maintain the quality. The study was carried out in May to October 2011 and located in some selected fresh fish markets in the Region of Central Maluku. The aims of this study were to: (1) analyze the fresh fish marketing, (2) analyze the integration degree of fresh fish markets, (3) develop some strategies and scenarios of fresh fish marketing, and (4) develop a model of fresh fish marketing system in the Region of Central Maluku. Data analysis methods for achieving the aims of this research were: Market Structure-Conduct-Performance analysis, Ravallion model and Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats analysis. The result indicated that market concentration (CR4) was 34.44% and HHI value 556.71, implying that the fresh fish market structure was loose oligopoly and competitive relatively. Five fresh fish marketing channels in this area were (1) Fishermen – Consumers, (2) Fishermen – Retailers – Consumers, (3) Fishermen – Wholesalers – Retailers – Consumers, (4) Fishermen – Wholesalers – Cold Storage – Retailers – Consumers and (5) Fishermen – Wholesalers – Cold Storage – Agents. The all marketing agencies in each channel conducted the functions of selling, risk, costing and market information. The retailers undertook the whole marketing function while others only some. The sellers‟ strategies to attract buyers were reducing the selling price, adding one or two fish to the buyer, disposing the heads and entrails of fish (specifically for Rastrelliger sp), composing the fish on top of the bamboo or pieces of styrofoam (for Selaroides sp and Decapterus sp) and giving cut off services (especially for Katsuwonus pelamis and Thunnus sp and so on). Fishermen received a larger part in a short marketing channel, so the marketing margin was small. Instead, a long marketing channel could lead to the small revenue of the fishermen. The price of fish was fluctuated over time, however the fish price integrated only between markets of Binaya (District of Central Maluku) and Piru (District of Western Seram). Strategies offered to develop fresh fish marketing system are developing a friendly ecosystem of capture fisheries, developing handling and marketing infrastructures, increasing processors‟ skills of handling and processing, enhancing the cooperation with financial institutions in providing capital and facilitating access of fishermen in order to get credit to expand their business, creating an institution that has mandate to stabilize fisheries products prices, integrating surveillance with local communities and prohibition of fish imports, and tightening the mechanism and function of supervision. Keyword:
Judul: The model of capture fisheries management in the area of Bali Strait Abstrak:The fisheries activity was being prime mover (around 80%) of the fishermen and the society economic in the area of Bali Strait. However, it would be very much trivial if the potency was not well managed and unable to give the prosperity for the fishermen society. The research purposes were to determine the level of fishermen prosperity, to forecast the production of major catch of fishes, to determine the level of fisheries business feasibility, to formulate the management of the capacity building for strategy of fisheries resources, and to build the management model of the area that guarantees the sustainability of fisheries development. The method used consisted of the level of prosperity analysis, forecasting analysis, business feasibility analysis, strategy analysis by using AHP, and model analysis by using SEM. The results of analysis showed that the level of fishermen prosperity in the area of Bali Strait was ‘moderate’ (total score=25.80). The production of lemuru tended to increase within the last several years and at the year of 2010 was forecasted to decrease 44,899.13 tonnes. The production of tongkol tended to decrease, and at the year of 2010 was forecasted to reach 2,035.30 tonnes. The production of layang also tended to decrease, and at the year of 2010 was forecasted to reach 1,967.01 tonnes. As the dominant fisheries business, purse seine one boat system (OBS), purse seine two boat system (TBS), gill net and ‘payang’ were very feasible to be developed in the area indicatively the values, NPV>1, IRR>6.25, ROI>1, and B/C Ratio>1. The development managed by the spesific institution establised by local governments (RK=0.284) was the right strategy of capacity building in order to manage the fisheries resources in the area. This specific institution roled to organize the fisheries resources conservation programs, to regulate the exploitation of fisheries resources based on local governments policy (SKB), to supervise selling price and fishing gears operation periodically, to provide the information centre of job opportunity and the vocational centre, and to facilitate the local revenue planning of the sector of fisheries. The management model of the area developed could fit some criteria such as goodness of fit (Chi-square, signifance probability, RMSEA, GFI, AGFI, CMIN/DF, TLI, dan CFII). The results of analysis of the model showed that some concerned components for sustainability guarantee of fisheries development in the area required were local market performance, export market performance, product supply of processing industry to the market, biodiversity, prosperity of fishermen, work force absorption of capture fisheries business and industry, growth of capture fisheries business, income of processing industry and tax. Keyword:
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Impact of government and tourist expenditure towards performance of Bali economy: social accounting matrix approach Abstrak:Pembangunan di propinsi Bali di letakkan pada bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian dalam arti luas, pengembangan sektor pariwisata dengan karakter kebudayaan Bali yang di jiwai oleh agama Hindu, serta sektor industri dan kerajinan terutama yang berkaitan dengan sektor pertanian dan sektor pariwisata., Bali’s economic development is focused on agriculture, tourism and industry as the first priority. While other part of the Indonesia economy were suffering severely due to economic down turn since the middle of 1997, Bali’s economy seems less affected. The performance of Bali’s was analysed employing 1996 social accounting matrix (SAM); constructed based on 55 accounts. It is assumed that this 1996 SAM could represent the present situation of Bali’s economy. Keyword:
Judul: Agriculture and tourism in Balinese Economy: Analysis of the role and intersectoral linka ges Abstrak:Perkembangan ekonomi Provinsi Bali yang didominasi oleh sektor pariwisata, tidak terlepas dari statusnya seba gai tujuan wisata dunia ba hwa Bali merupakan destinasi utama, yang memiliki keindahan alam yang termasyur di dunia serta diimbangi dengan agama dan budayanya. Berkembangnya ekonomi provinsi Bali didorong oleh sektor pariwisata, dan sektor pertanian yang mendorong sektor pariwisata itu sendiri, sehingga dapat menciptakan pembangunan antar kelompok masyarakat melalui output, lapangan kerja dan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi Bali yang mengalami percepatan selama periode krisis keamanan yaitu bom Bali diawali oleh besarnya kontribusi sektor, meliputi sektor pertanian, sektor pariwisata dan sektor-sektor lainnya. Perubahan ekonomi tersebut membawa perubahan mendasar baik bagi kesempatan kerja dan pemerataan ekonomi lainnya. Adanya perubahan ekonomi tersebut akan memberikan dampak terhadap struktur perekonomian lainnya yang meliputi struktur permintaan akhir barang dan jasa, struktur ekspor dan impor, struktur ketenagakerjaan, baik manurut sektor dan lapangan usaha dan distribusi pendapatan. Keyword:
Judul: Study on Controlled Intercrossing among Coffee Species of Arabica, Robusta, and Liberica Abstrak:Koeksistensi tiga spesies kopi, Coffea arabica, C. canephora, dan C. liberica di lokasi yang sama atau berdekatan dapat mendorong penyerbukan antar spesies secara alami. Namun, informasi mengenai perbandingan fenologi pembungaan dan struktur bunga ketiga spesies kopi tersebut masih relatif sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan fenologi pembungaan dan karakter morfometrik bunga C. arabica, C. canephora, dan C. liberica. Fenologi pembungaan tiga spesies kopi diamati setiap hari pada bulan Juli hingga Oktober 2020 di dua lokasi yang terdapat populasi ketiganya dengan posisi saling berdekatan. Karakter morfometrik bunga, meliputi panjang tabung bunga, diameter bunga, panjang petala, lebar petala, jumlah petala, panjang antera, jumlah antera, dan panjang stilus, diukur pada periode puncak pembungaan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat periode bunga mekar bersamaan antar ketiga spesies kopi, meskipun C. liberica mulai berbunga lebih awal, diikuti C. canephora dan terakhir C. arabica. Kondisi tersebut berkaitan dengan ketidakseragaman fase perkembangan bunga dalam satu dompol maupun antar dompol dalam satu cabang. Implikasinya adalah kegiatan persilangan buatan antar spesies dapat lebih mudah dilakukan pada periode pembungaan maksimum, tanpa diperlukan penyimpanan polen. Di sisi lain, C. liberica memiliki ukuran bunga paling besar, sedangkan C. arabica merupakan yang terkecil. Dua varietas botani dalam spesies C. liberica, yaitu C. liberica var. liberica dan C. liberica var. dewevrei dapat dibedakan secara jelas berdasarkan karakter tinggi tabung mahkota bunga, jumlah petala, dan jumlah antera. Kedua varietas Liberoid tersebut mengelompok terpisah meskipun posisinya masih relatif berdekatan dibandingkan dengan jarak keduanya terhadap kelompok C. arabica dan C. canephora. Dengan demikian, meskipun isolasi temporal dapat dipatahkan, hambatan pra-zigotik masih berpeluang terjadi secara alami akibat adanya keragaman morfologi bunga antar spesies kopi. Sebagian besar persilangan buatan antara spesies kopi Arabika dan Robusta dilakukan dengan arah Coffea arabica × C. canephora (ekses tetua betina) karena dinilai lebih berhasil dibandingkan dengan arah sebaliknya (ekses tetua jantan). Namun, informasi ilmiah terkait hambatan pasca-zigotik pada kombinasi dengan ekses tetua jantan masih sangat jarang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi derajat keberhasilan hibridisasi antar spesies dengan ekses tetua jantan antara spesies C. canephora diploid dan C. arabica tetraploid. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pakuwon, Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) dari bulan Agustus 2019 hingga Maret 2022. C. canephora “Sidodadi” (C1) sebagai tetua betina diserbuki dengan tangan menggunakan polen dari C. arabica “Mangening” (A1) dan C. arabica “AGK” (A2). Sebagai perbandingan, juga dilakukan persilangan homoploid dalam dan antar spesies menggunakan polen dari C. canephora “Kriting” (C2) dan C. liberica var. liberica (L1). Persentase pembentukan buah (fruit set) hasil persilangan dicatat pada 3 bulan setelah antesis (months after pollination = MAP) dan 6 MAP. Karakter morfometrik buah dan biji diukur pada saat panen. Jumlah biji abnormal dengan endosperma gagal terbentuk (biji kopong) juga dicatat. Biji normal yang diperoleh kemudian disemai untuk mengamati persentase perkecambahan dan pertumbuhan bibit. Hasil penelitian menunjukkan kegagalan pembentukan buah dan biji sangat tinggi pada semua kombinasi persilangan antar spesies, baik dengan ekses tetua jantan (C1×A1 dan C1×A2) maupun tanpa ekses tetua jantan (C1×L1). Di sisi lain, kombinasi C1×A1 dan C1×A2 menghasilkan buah dan biji berukuran lebih panjang, sedangkan kombinasi C1×L1 menghasilkan buah dan biji berukuran lebih kecil dibandingkan kombinasi C1×C2. Hal tersebut berbanding lurus dengan perkecambahan dan pertumbuhan bibit dalam polibag. Kombinasi persilangan Coffea arabica (2n = 4x = 44) × C. canephora (2n = 2x = 22) dan resiproknya dilaporkan menghasilkan sejumlah kecil individu hibrida F1 dengan taraf ploidi triploid (2n = 3x = 33). Belum pernah dilaporkan adanya taraf ploidi yang berbeda antar individu hibrida F1. Penelitian ini bertujuan untuk menduga taraf ploidi masing-masing individu hibrida F1 kombinasi C. canephora (2n = 2x = 22) × C. arabica (2n = 4x = 44). Pendugaan menggunakan karakter morfometrik, yaitu ukuran polen dan kerapatan stomata. Sebanyak 300 polen sampel diambil dari 8 individu hibrida F1 (H4, H5, H6-1, H6-2, H9-1, H9-2, H13-2, dan H15) pada saat antesis, sesaat setelah antera pecah. Sampel cetakan epidermis sisi bawah daun dibuat menggunakan teknik usapan cat kuku bening. Sampel polen dan cetakan epidermis kemudian diamati di bawah mikroskop yang terintegrasi dengan kamera digital. Ukuran polen ditentukan berdasarkan diameter polar (DP), diameter equatorial (DE), serta luas tampak polen (LP), sedangkan kerapatan stomata merupakan jumlah stomata per mm2. Sebaran data ukuran polen divisualisasikan dalam bentuk boxplot, sedangkan data kerapatan stomata digambarkan dalam format whisker plot. Nilai median masing-masing individu dibandingkan terhadap kedua tetuanya berdasarkan analisis Mann-Whitney U test. Hasil penelitian menujukkan hanya H5 yang memiliki ukuran polen serupa dengan tetua jantannya. Tujuh individu lainnya serupa dengan tetua betinanya, minimal pada variabel LP. Sejalan dengan karakter ukuran polen, hanya kerapatan stomata H5 yang serupa dengan tetua jantan. Di sisi lain, kerapatan stomata H6-2 dan H15 berada di antara tetua jantan dan tetua betina. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan H5 merupakan tetraploid putatif, sedangkan H6-2 dan H15 merupakan triploid putatif. Selebihnya, yaitu H4, H6-1, H9-1, H9-2, dan H13-2 merupakan diploid putatif. Keyword:hambatan pra-zigotik, hambatan pasca-zigotik, interploidi, interspesifik
Judul: Peran burung air liar dalam penyebaran virus avian influenza subtipe H5N1 di Cagar Alam Pulau Dua Abstrak:Waterfowls such as ducks, muscovy, and swans are natural reservoir of influenza virus subtype H5N1. In natural reservoir, the AI virus is Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Instead of domestic waterfowls, wild waterbird species could also have a role in spreading AI subtype H5N1 virus. So far LPAI have been isolated from 105 species of wild birds, most of them were from Anseriformes and Charadiiformes order. Presumption that wild birds and migratory birds have a role in spreading AI virus, has not been proven until now because the intensive research has not been done. The mortality rate of wild waterbirds that reported in several countries, had not clearly explained the cause of death. The objectives of this research were (1) to estimate the seroprevalence of AI virus subtype H5N1 from residence wild waterbirds, in Pulau Dua Nature Reverse; (2) to identify the Mx gene as resistant anti viral gene from AI virus in wild waterbirds; (3) to identify the presence of AI virus subtype H5N1 on residence waterbirds in Pulau Dua Nature Reverse, also to observe the potential of wild waterbirds as reservoir for spreading AI virus subtype H5N1 The serological test to detect the presence of antibody antiviral AI virus subtype H5N1 was used to determine the exposure of AI virus subtype H5N1 among wild waterbirds in CAPD. Since antibody is the substance that appear in individual exposed when they are exposed by the strange antigen. The serosurveillans from wild waterbirds in CPAD had been done in 2008, 2010 and 2011. Serological test by Haemagglutinin-inhibition (HI) showed that six from nine species of residence wild waterbirds in CPAD produced antibody AI virus H5N1. It is explain that that those species were exposed by AI virus subtype H5N1 with low antibody titer. The low antibody titer can be caused by several factors such as AI virus exposure occurring indirectly, there was a small number of virus that exposure to wild waterbirds, the exposure time was very short, and the virus was low pathogenic. Indirect transmission occurred through the water as the source of drinking water for wild and domestic waterbirds, through saliva and nasal secretions and feces. Water as a media for transmission virus where there were interactions between wild waterbirds, waterfowls and domestic birds. Mx protein as part of dynamin super family (GTP ase) is a part of the innate immune system. Mx proteins were known to have the ability to inhibit the replication of various viruses. Mx protein coded by Mx genes that specifically anti-viral influenza in several animals. Mx gene was the one of the several genes that regulated myxovirus resistance. DNA of eight wild waterbirds species and three domestic birds (chicken, duck and Muscovy) around CAPD were examined by PCR using NE-F2 and NER2/ R primer obtaining PCR product with a length of 100 bp band. It indicated that most birds could have 100 bp band. These results explained that the Mx gene in residence wild waterbirds from CAPD could be the same as in the chicken, muscovy and duck. The results of PCR-RFLP in wild waterbirds and domestic waterfowls using the restriction enzyme RsaI showed band in 73 bp length (only have GG genotype). It informed that there was no polymorphism because all fragments display only one band (73bp ) in wild waterbirds and domestic waterfowls (muscovy and duck) around CAPD showed. In chickens, the 73 bp fragment (GG genotype) showed low antivirus activity because it has sensitive Mx gene (allele Mx-) and responsive to AI virus subtype H5N1 attack. This is not happened to ducks, muscovy, and wild waterbirds, although they have only one band (Mx- alleles). It was not caused death or clinical symptoms by the exposure of AI virus subtype H5N1. The virus identification by RT-PCR with primer used in identification of HA subtypes H5. Forward primers was H5 Kha-1 and reverse H5 Kha-3primer pair. The identification results of HA subtypes H5 in residence wild waterbirds in CAPD showed that the H5 subtype was not detected in these wild waterbirds. This was showed by the absence of positive bands that indicate the presence of the AI virus subtypes H5 in wild waterbirds. The absence of AI virus subtype H5N1 in nine species of residence wild waterbirds including Ciconiformes and Pelecaniformes order showed that these birds do not have the potential as a reservoir for AI virus subtype H5N1. It gives the information that birds are not a suitable host for the cultured AI virus subtype H5N1, so that there were no viral shedding into the environment from residence wild waterbirds. Keyword:
Judul: The phenotypic and genetic characterization of alabio duck (Anas platyrhynchos Borneo) in South Kalimantan for it’s conservation and sustainable use Abstrak:Alabio ducks is one of the local duck in South Kalimantan as egg producers which characterized by high productivity of eggs. The study was carried out in order to describe the phenotypic and genetic characterization of Alabio duck being kept by smallholder farmers. The study was conducted in Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST) and Hulu Sungai Utara (HSU), South Kalimantan, animal breeding and genetic laboratory and feed technology and nutrition laboratory, Faculty of Animal Science IPB Bogor. Six hundreds (75 males and 525 females) of Alabio ducks were used in this study with ages ranged from 5.5 to 5 months old, 144 of whole blood samples (71 blood plasma and 72 red blood cells) were collected from HSS, HST and HSU. The observed parameters were quantitative and qualitative traits of Alabio duck, genetic variability and nutrition composition. The quantitative traits (body measurement) and genetic polymorphisms of blood protein were analyzed using principal component analysis (PCA) and descriptive analyses. The results showed that for body size measurement of Alabio ducks from HSS, HST and HSU such as length of back, neck, head and depth head as well as body length could be used as variables discriminantor factor. The blood protein polymorphisms of Alabio duck from HSS, HST and HSU displayed six of genotypes i.e. AA, AB, AC, BB, BC and CC with genes frequencies ranged from 0.2917 to 0.7667, heterozigosity value ranged from 0.407±0.120 to 0.661±0.135 and average heterozigocity value of HSS was 0.643±0.232, HST was 0.638±0.219 and HSU was 0.660±0.209. The genetic distances analysis demonstrated that of Alabio duck from HST had relatively closer distance with HSU (0.0148) when compared to HSS (0.2193). The Alabio duck from three locations (HSS, HST and HSU) have different plumage color. The dominant colors of male and famale duck were grayish brown, grayish black, grayish white, blue-green and black. The features of plumage male and female duck were brown spotted, black, blue green and plain. Male and female Alabio duck plumages have the glint of silver and shiny bluegreen. The color of bill, feet and shank of male and female duck were lite yellow, bright orange, pale yellow and black. The average five months eggs production was 67.11%±2.75 (HSS), 75.55%±3.87 (HST) and 76.48%±3.13 (HSU). The feeding duration was 14.99±0.24 minute/hour, feeding frequencies was 2.88±036 time/our and duration of drinking was 2.77±0.50 minutes/hour and moving from feeder to drinker places was 5.99 ±0.23 time/hour. The capability of male duck to mate female were 8.14±0.11bird/male (morning), 6.28±0.18 bird/male (afternoon) and 7.13 ±0.24 bird/male (evening). Keyword:
Judul: Design of strategic management model of snack’s micro and small enterprises performance evaluation Abstrak:Competitiveness of Micro and Small Enterprises (MSE) depends on total business performance. Those performance could be managed effectively and efficiently if it was supported by an optimal performance evaluation process, that was consisted of measurement and improvement model. The performance evaluation model was developed through strategic management system approach, where experts knowledge were acquired by brainstorming and in depth interview methods. Some of technique utilized were validity and reliability test, Ordered Weighted Averaging (OWA) Operators, Fuzzy Analytic Hierarchy Process, Balanced Score card (BSC), Quality Function Deployment (QFD), and Neural Network. Keyword:expert management system, strategic management system, bussines performance, balanced scorecard
Judul: Somatic Cells Manipulation of Moringa oleifera on in vitro Culture to Produce Prominent Clones Tolerance to Aluminum Stress Abstrak:Tanaman kelor (Moringa oleifera Linn.) merupakan tanaman yang memiliki banyak potensi diantaranya sebagai sumber pangan alternatif fungsional, pakan ternak maupun sebagai tanaman obat. Perbanyakan konvensional pada tanaman kelor memiliki beberapa kendala diantaranya: terbatasnya sumber tanaman induk, lambatnya pertumbuhan akar, serta rentan serangan hama dan penyakit. Perbanyakan melalui kultur in vitro memiliki beberapa keunggulan antara lain mampu menghasilkan bibit yang seragam, bebas hama dan penyakit, tidak tergantung musim dan dapat diproduksi dalam waktu relatif singkat. Menurunnya luas lahan subur di Indonesia karena industrialisasi dan alih fungsi lahan menjadi tantangan dalam pengembangan tanaman kelor. Pemanfaatan lahan suboptimal bisa menjadi alternatif dalam pengembangan tanaman kelor di masa depan. Namun demikian, pemanfaatan lahan suboptimal ini dibatasi beberapa faktor abiotik, diantaranya pH tanah yang rendah serta kejenuhan Alumunium (Al) yang tinggi sehingga menyebabkan, proses fotosintesis dan pertumbuhan tanaman terhambat yang pada akhirnya mengurangi hasil panen tanaman kelor. Pemanfaatan lahan suboptimal dapat dilakukan dengan menanam klon kelor unggul yang toleran terhadap cekaman abiotik. Untuk mendapatkan tanaman kelor unggul tersebut dapat dilakukan melalui seleksi dari berbagai genotipe tanaman kelor. Keragaman genetik pada tanaman M. oleifera dapat dihasilkan melalui introduksi, hibridisasi serta manipulasi sel somatik secara in vitro dengan iradiasi sinar Gamma. Perubahan genetik yang terjadi pada kultur M. oleifera yang telah diradiasi dapat di deteksi menggunakan marka ISSR. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan keragaman genetik tanaman kelor melalui introduksi beberapa aksesi tanaman M. oleifera serta melalui iradiasi sinar gamma pada beberapa dosis radiasi sehingga didapatkan nilai LD50. Konfirmasi terjadinya mutasi dilakukan dengan marka molekular ISSR. Seleksi aksesi dan kandidat mutan yang toleran terhadap aluminium dilakukan secara in vitro dengan pemberian AlCl3 dalam media kultur. Seleksi dilakukan untuk memilih kandidat aksesi dan kandidat mutan unggul dengan hasil tinggi dalam kondisi lingkungan tercekam Al. Kultur tanaman yg toleran dapat dilihat dari peubah pengamatan serta kandungan asam organik yang dihasilkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menghasilkan kandidat aksesi dan mutan kelor unggul yang toleran terhadap cekaman AlCl3, sehingga ke depan, lahan suboptimal tanah masam yang masih potensial dapat dimanfaatkan sebagai lahan pengembangan tanaman M. oleifera. Jenis dan kadar sitokinin mempengaruhi pertumbuhan tunas M. oleifera yang dikultur secara in vitro pada media DKW. Demikian pula jenis dan kadar auksin juga mempengaruhi pembentukan akarnya. Medium yang diberi tambahan Kinetin 1 mg L-1 merupakan media terbaik untuk pertumbuhan tunas, jumlah tunas dan jumlah tangkai daun. Auksin IAA sebesar 1,0 dan 2,0 mg L-1 menghasilkan jumlah akar dan panjang akar terbanyak. Penggunaan Temporary Immersion System (TIS) dengan media DKW dengan penambahan 200 mg L-1 asam amino proline dapat meningkatkan proliferasi kalus embrio somatic M. oleifera dengan hasil bobot kalus dan volume kalus tiga kali lipat daripada media padat dan sepuluh kali lipat dibandingkan dengan media cair. Aksesi Bogor dan Blora relatif lebih toleran terhadap perlakuan AlCl3, hal ini ditunjukkan dengan jumlah tunas yang lebih tinggi meskipun mendapatkan perlakuan 100–250 mg L-1 AlCl3, dan tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan AlCl3). Hasil analisa Py-GCMS menunjukkan bahwa terdapat 21 metabolit yang mempunyai korelasi positif dengan asam asetat yang 8 diantaranya menunjukkan korelasi yang sangat tinggi. Iradiasi sinar Gamma pada kultur tunas kelor menghasilkan keragaman baru yang terlihat dari dendrogram marka molekular ISSR dimana perlakuan 10 dan 20 Gy memiliki keragaaman genetik yang berbeda dengan wildtypenya. Nilai LD50 kultur M. oleifera yang diradiasi dengan sinar Gamma terdapat pada dosis 15,38 Gy dan berada pada 1 klaster genotype yang sama pada dosis 10-20 Gy. Iradiasi sinar Gamma pada dosis 10 dan 20 Gy dapat menghasilkan mutan yang toleran terhadap perlakuan cekaman 100 dan 250 mg L-1 AlCl3 yang terlihat dari nilai peubah pengamatan dan kandungan asam organiknya. Kandungan asam sitrat, dan asam asetat yang tinggi pada kultur M. oleifera hasil iradiasi sinar gamma dapat digunakan sebagai penciri terhadap toleransi AlCl3, The drumstick plant (Moringa oleifera Linn.) has a lot of potential, including as a functional alternative food source, a provender, and a medicinal plant. Conventional propagation of Moringa plants has several obstacles, such as limited explant, lethargic growth, and susceptibility to various pests and diseases. Propagation through in vitro culture has numerous advantages, including the ability to generate uniforms that are free of pests and diseases, do not depend on the season, and can be produced in a relatively short timeframe. The declining arable land in Indonesia due to industrialization and conversion has become a challenge in cultivating Moringa plants. Suboptimal land could be an alternative to developing Moringa plants in the future. However, suboptimal land is limited by several abiotic factors, including low-pH soil and high aluminum (Al) saturation, that inhibit the photosynthesis process and plant growth, ultimately reducing the yield of Moringa plants. Suboptimal land can be used for cultivating prominent Moringa clones that are tolerant to abiotic stress. To obtain prominent Moringa plants, it can be done through selection from various genotypes of Moringa plants. Genetic diversity in M. oleifera plants can be generated through the introduction, hybridization, and manipulation of somatic cells in in vitro culture using gamma-ray irradiation. Genetic alterations that occur in M. oleifera cultures when irradiated can be detected using ISSR markers. This research was carried out to obtain the genetic diversity of Moringa plants through the introduction of several M. oleifera plant accessions and through gamma ray irradiation at several radiation doses so that the LD50 value could be obtained. Confirmation of the mutation was carried out using the ISSR marker. Selection of accessions and candidate mutants that are tolerant to aluminum was carried out in vitro by adding AlCl3 to the culture medium. Selection was carried out to select accession candidates and prominent mutant candidates with high yields in Al-stressed conditions. Tolerant plant cultures can be seen from the observed variables and the organic acid content produced. The results of this research will be useful for producing prominent Moringa accession and mutant candidates that are tolerant to AlCl3 stress. In the future, suboptimal land with acidic soils can be used for developing M. oleifera plants. The type and concentration of cytokinins influence the growth of M. oleifera shoots in vitro cultured on DKW medium. On the other hand, the type and level of auxin also affect root formation. Medium supplemented with 1 mg L-1 Kinetin is the best medium for shoot growth, number of shoots, and number of petioles. Auxin IAA, at 1.0 and 2.0 mg L-1, produced the highest number of roots and root length. The application of the Temporary Immersion System (TIS) with DKW media supplemented with 200 mg L-1 of proline increased the proliferation of the M. oleifera somatic embryo callus. The callus weight and volume produced were three times higher than in solid media and ten times higher than in liquid media. The Bogor and Blora accessions were relatively tolerant to AlCl3, as indicated by a higher number of shoots even though they were cultured on medium with 100–250 mg L-1 AlCl3 treatment. These variable values were not significantly different from the control media (without AlCl3 treatment). The Py-GCMS analysis results show that there are 21 metabolites that have a positive correlation with acetic acid, of which 8 indicate a high correlation. Gamma-ray irradiation on M. oleifera shoot cultures produced new genetic diversity that was represented by the ISSR marker dendrogram, which showed the 10 and 20 Gy had different genetic cluster from the wild type. The LD50 value of M. oleifera culture irradiated with gamma rays was 15.38 Gy, which was in the same genotype cluster as 10–20 Gy. Gamma-ray irradiation at doses of 10 and 20 Gy can produce candidate mutants that are tolerant to 100 and 250 mg L-1 AlCl3, as seen from the observed variable values and organic acid content. The high content of citric acid and acetic acid in M. oleifera cultures resulting from gamma irradiation can be used as an indicator of AlCl3 tolerance. Keyword:AlCl3, organic acid, abiotic stress, gamma ray radiation
Judul: Morpho-physiological Adaptation of Tropical Forest Seedlings to Aluminum Stress Abstrak:7. Revegetasi merupakan salah satu kegiatan lanjutan dari proses reklamasi di lahan pasca tambang. Kegiatan revegetasi dilaksanakan untuk mengembalikan kualitas dan fungsi lahan pasca tambang menuju ekosistem yang lestari. Kualitas tanah yang turun akibat kegiatan pertambangan menjadi tantangan bagi proses revegetasi lahan pasca tambang. Revegetasi di lahan pasca tambang umumnya mengalami kendala terhadap tingkat kesuburan tanah yang rendah, kemasaman tanah yang tinggi, rendahnya aktivitas mikroorganisme tanah dan tingginya kelarutan logam berat seperti Al di dalam tanah. Oleh karena itu, keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan pasca tambang dapat ditingkatkan dengan melakukan pemilihan jenis pohon hutan yang tahan dan mampu beradaptasi terhadap cekaman Al dan pH tanah yang rendah. Namun demikian informasi mengenai karakter morfo-fisiologis jenis-jenis tanaman hutan tropis yang tahan Al dan mampu beradaptasi terhadap cekaman Al masih belum banyak diketahui. Terutama jenis-jenis pohon hutan yang tumbuh di Indonesia. Penelitian ini terdiri dari tiga aspek yaitu melakukan seleksi jenis, mempelajari karakter morfologi dan fisiologi tanaman hutan terhadap cekaman Al, serta mempelajari respon tanaman hutan terhadap inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan abu sekam padi (ASP) pada media tanah dari pasca tambang silika dengan kandungan Al yang tinggi di rumah kaca. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengevaluasi jenis-jenis tanaman hutan sensitif dan toleran terhadap cekaman Al; 2) Menganalisis pengaruh cekaman Al pada karakter morfo-fisiologi pada semai toleran dan sensitif terhadap Al; 3) Menjelaskan mekanisme adaptasi semai tanaman hutan sensitif dan toleran dengan eksudasi asam organik; dan 4) Menganalisis respon performa pertumbuhan tanaman yang sensitif dan toleran cekaman Al terhadap perlakuan bahan amelioran ASP dan FMA. Penelitian pertama dilaksanakan dengan mengamati pertumbuhan tanaman dan karakter fisiologis sembilan semai tanaman hutan jenis legum dan jenis daun lebar pada berbagai tingkat konsentrasi Al (0; 0,5; 1; 2; 4; 6; 8; 10; dan 12 mM) di hidroponik. Hasil penelitian satu menunjukkan variasi respon karakter morfologi dan pertumbuhan tanaman terhadap cekaman Al. Konsentrasi 4 mM Al merupakan konsentrasi batas ambang bagi karakter pemanjangan akar. Akar mengalami penurunan pemanjangan hingga lebih dari 50%. Hasil analisis Principal Component Analisys (PCA) dan analisis klaster berdasarkan karakter panjang akar, jumlah akar, berat kering akar dan berat kering tajuk relatif. Ketahanan tanaman dikelompokkan menjadi dua yaitu: kelompok toleran: Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum), Saga (Adenanthera pavonina), Nyamplung (Callophyllum inophyllum), Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan kelompok sensitif : Gmelina (Gmelina arborea), Balsa (Ochroma grandiflora), Ki Bolong (Cecropia peltata), Kecrutan (Spathodea campanulata) dan Trembesi (Samanea saman). Penelitian kedua dilaksanakan dengan menggunakan empat jenis tanaman hasil seleksi penelitian tahap pertama yaitu mewakili sifat toleran (C. inophyllum dan C. calothyrsus) dan sensitif (O. grandiflora dan S. saman). Tanaman kemudian diberikan cekaman Al pada konsentrasi 4 mM. Hasil penelitian menunjukkan jenis C. inophyllum lebih tahan terhadap cekaman Al. Pertumbuhan vegetatif C. inophyllum menunjukkan peningkatan terhadap kontrol dan konsentrasi Al di tajuk lebih kecil dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya. Sebaliknya, jenis O. grandiflora menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap cekaman Al, ditandai dengan pertumbuhan yang sangat tertekan, konsentrasi klorofil turun, dan terjadi peningkatan stres peroksida lipid baik di akar maupun di daun. Penelitian ketiga menggunakan empat jenis tanaman hutan yang mewakili sifat toleran (C. inophyllum dan C. calothyrsus) dan sifat sensitif (O. grandiflora dan S. saman). Tanaman diberi perlakuan cekaman AlCl3 1 mM selama dua hari di media cair CaCl2. Hasilnya menunjukkan cekaman Al menginduksi peningkatan eksudasi asam sitrat dan asam malat paling tinggi pada C. calothyrsus, asam sitrat pada O. grandiflora dan S. saman, dan asam oksalat pada S. saman. Sementara itu, eksudasi asam organik dari akar C. inophyllum menunjukkan jumlah eksudasi yang lebih rendah dari kontrol. Penelitian keempat menggunakan empat jenis tanaman yang mewakili jenis toleran (C. inophyllum dan C. calothyrsus), dan sensitif terhadap Al (O. grandiflora dan S. saman). Tanaman diinokulasi dengan mikoriza arbuscular (FMA) dan dengan menambahkan abu sekam padi (RHA). Hasil penelitian menunjukkan respon tanaman bervariasi terhadap cekaman Al. Sinergi inokulasi FMA di perakaran tanaman dan penambahan ASP ke dalam tanah meningkatkan daya adaptabilitas tanaman terhadap cekaman Al terutama pada jenis O. grandiflora dan S. saman. FMA dan ASP meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memperbaiki karakteristik kimia tanah (P dd, Ca, C organik) dan menurunkan Al di dalam tanah. FMA dan ASP meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap hara (P, Ca, Mg, dan Si), dan meningkatkan kemampuan tanaman untuk mendetoksifikasi Al secara internal. FMA dan ASP meningkatkan kemampuan tanaman jenis sensitif Al (O. grandiflora) menghambat Al masuk lebih jauh ke dalam jaringan tajuk dengan menahan Al di akar dalam jumlah tinggi. C. calothyrsus cenderung dapat menekan stress oksidatif dan meningkatkan konsentrasi klorofil dan karotenoid di daun. Konsentrasi Si meningkat dibandingkan kontrol di jaringan akar dan tajuk pada semua jenis tanaman. Persentase konsentrasi serapan Al turun pada semua tanaman setelah diberi perlakuan ASP dan inokulasi FMA, tertinggi pada tanaman O. grandiflora. Hasil penelitian menunjukkan derajat kolonisasi FMA pada semua jenis tanaman tergolong tinggi (73-79%)., Revegetation on post-mining land is one of the following activities of the reclamation process. Revegetation activities are carried out to restore the quality and function of post-mining land to a sustainable ecosystem. The deteriorating quality of soil due to mining activities is a challenge for the revegetation process of post-mining land. Revegetation in post-mining land generally experiences problems such as low soil fertility, high soil acidity, low soil microorganism activity, and high solubility of heavy metals such as aluminum in the soil. Therefore, the success of post-mining land rehabilitation activities can be increased by selecting forest tree species that are resistant and able to adapt to Al stress and low soil pH. However, information on the morpho-physiological characters of tropical forest plant species that are Al resistant and able to adapt to Al stress is still not widely known. Especially forest trees species that grow in Indonesia. This research consisted of three aspects by selecting species, studying the morphological and physiological characters of forest plants against Al stress, and studying the response of forest plants to the inoculation of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and rice husk ash (RHA) on soil media from post-mining silica with high Al content in greenhouses. The objectives of this study were 1) Evaluating forest tree seedlings that are sensitif and tolerant of aluminum stress; 2) Analyzing the effect of Al stress on morpho-physiological characters of Al tolerant and sensitive seedlings; 3) Describe the adaptation mechanism of forest plant seedlings that are sensitive and tolerant of organic acid exudation; 4) Analyzing the response of plant growth performance that is sensitive and tolerant of aluminum stress to the treatment of amelioran RHA and AMF. The first experiment was carried out by observing plant growth and physiological characters of nine forest plant seedlings at various concentration levels (0, 0.5, 1, 2, 4, 6, 8, 10, 12 mM) in hydroponic media. The results of the first experiment showed variations of morphological response and plant growth to Al stress. The 4 mM Al concentration is the threshold concentration for the root elongation character. The roots’ elongation decreased by more than 50%. The results of Principal Component Analisys (PCA) and cluster analysis were based on the characters of root length, the number of roots, the root dry weight, and the relative shoot dry weight. Plant resistance was grouped into two, namely: tolerant groups: Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum), Saga (Adenathera pavonina), Nyamplung (Callophyllum inophyllum), Kaliandra (Calliandra calothyrsus), and sensitive groups: Gmelina (Gmelina arborea), Balsa (Ochroma grandiflora), Ki Bolong (Cecropia peltata), Kecrutan (Spathodea campanulata), and Trembesi (Samanea saman) The second experiment was carried out with four types of plants representing the tolerant (C. inophyllum and C. calothyrsus), and sensitive (O. grandiflora and S. saman) traits. Plants were given Al stress at a concentration of 4 mM. The results showed that C. inophyllum was more resistant to Al stress. The growth vegetative of C. inophyllum showed an increase to control and the Al concentration in shooth was smaller than the other three species. In contrast, O. grandiflora species showed high sensitivity to Al stress, characterized by highly stressed of growth characteristic, decreased of chlorophyll concentrations, and increased of lipid peroxide both in roots and leaves. The third experiment was carried out with four types of plants that represented tolerant (C. inophyllum and C. calothyrsus), and sensitive (O. grandiflora and S.saman) by giving 1 mM AlCl3 stress for two days in CaCl2 liquid media. The results showed that Al stress induced an increased exudation of citric and malic acid in C. calothyrsus the highest, citric acid in O. grandiflora and S. saman, and oxalic acid in S. saman compared to controls. Meanwhile, organic acid exudation from C. inophyllum roots showed a lower amount of organic acid exudation than control. The fourth study used four plants species which represent tolerant (C. inophyllum and C. calothyrsus), and sensitive to Al (O. grandiflora and S. saman). Plants were inoculated with arbuscular mycorrhizae fungi (AMF) and by adding RHA. The results showed the variation of plant responses to Al stress. Synergy of AMF inoculation in plant roots and addition of ASP to the soil increased the adaptability of plants to Al stress, especially in O. grandiflora and S. saman species. AMF and RHA increase plant growth by improving soil chemical characteristics (P dd, Ca, C organic) and reducing Al in the soil. AMF and ASP increase the ability of plants to absorb nutrients (P, Ca, Mg and Si), and increase the ability of plants to detoxify Al internally. AMF and RHA increased the ability of Al sensitive plants (O. grandiflora) to inhibit Al from entering further into the shoot by retaining high amounts of Al in the roots. C. calothyrsus tends to suppress oxidative stress and increase the concentration of chlorophyll and carotenoids in leaves. Si concentration increased compared to control in root and shoot in all plant species. The percentage of Al uptake concentration decreased in all plants after being treated with RHA and AMF inoculation, the highest was in O. grandiflora plants. The results showed that the degree of AMF colonization in all plant species was high (73-79%). Keyword:Al toxicity, arbuscular mycorrhizae fungi, forest tree seedlings, post-mining, revegetation
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Pengembangan Model Komunikasi Inovasi dalam Implementasi Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu Berbasis Teknologi Informasi Abstrak:Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (SI Katam Terpadu) merupakan salah satu alat bantu bagi petani atau pengguna lainnya dalam menentukan awal musim dan pola tanam, penggunaan varietas, pemupukan berimbang, informasi tentang serangan hama dan penyakit tanaman, dan penggunaan alat serta mesin pertanian. SI Katam Terpadu mempunyai peran sangat strategis dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim karena menginformasikan kondisi musim tanam ke depan, yang meliputi awal waktu tanam, wilayah rawan bencana banjir, kekeringan, dan ancaman organisme pengganggu tanaman (OPT) yang erat kaitannya dengan dinamika dan perubahan iklim. SI Katam Terpadu yang dikembangkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementerian Pertanian disampaikan kepada penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan petani melalui Tim Gugus Tugas Katam (TGT Katam) yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Namun demikian hambatan yang dihadapi dalam pengimplementasiannya, antara lain: (a) petani belum memahami SI Katam Terpadu dan masih cenderung meyakini kebiasaan yang dilakukan turun temurun, (b) kemampuan dan pengetahuan PPL terhadap SI Katam Terpadu masih rendah, dan (c) kurangnya sarana prasarana di tingkat petani, baik sarana produksi maupun sarana komunikasi. Di sisi lain, pemerintah memprogramkan berbagai upaya pencapaian swasembada pangan, seperti program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan program upaya khusus (UPSUS) Padi, Jagung, Kedelai (Pajale). Salah satu titik ungkit (entry point) kedua program adalah peningkatan indeks pertanaman (IP) melalui kebijakan tanam-panen-tanam secara terus menerus. Oleh sebab itu efektifitas dari sistem komunikasi dan atau diseminasi sangat penting dan menentukan dalam pengimplementasian serta kemanfaatan atau daya guna dari SI Katam Terpadu sebagai inovasi yang mendukung program peningkatan produksi pangan. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengkaji pemahaman petani terhadap SI Katam Terpadu sebagai suatu teknologi informasi pertanian yang merupakan hasil penelitian dan pengembangan dari Balitbangtan yang akan diaplikasikan dan dimanfaatkan oleh petani, 2) mengkaji sejauh mana tingkat implementasi petani terhadap SI Katam Terpadu sebagai suatu teknologi informasi, 3) mengetahui bentuk komunikasi yang dilakukan oleh Balitbangtan dalam pengimplementasian SI Katam Terpadu, 4) mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi adopsi inovasi SI Katam Terpadu, dan 5) merumuskan rekomendasi model komunikasi inovasi yang ideal agar SI Katam Terpadu dapat dimanfaatkan oleh petani secara optimal. Penelitian ini menggunakan metode survei yang bersifat deskriptif eksplanatori. Pendekatan survei dilakukan untuk mendapatkan data primer secara kuantitatif melalui kuesioner sebagai instrumen penelitian. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan pendekatan wawancara, pengamatan langsung, dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Kegiatan penelitian ini dilakukan di 6 wilayah yang telah mendapatkan sosialisasi SI Katam Terpadu serta didasarkan atas zonasi, tipe agroklimat, dan pola curah hujan yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Yogyakarta, Jawa Barat, NTB, dan NTT. Penelitian ini dilakukan pada Mei 2018 sampai dengan Mei 2019. Pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan purposive sampling dengan cara menetapkan ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu petani yang sudah tersosialisasi SI Katam Terpadu. Teknik analisis yang digunakan adalah Structural Equation Model (SEM) dengan aplikasi LISREL 8.7 dan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum petani sudah mengerti dan memahami SI Katam Terpadu. Kegiatan sosialisasi, bimtek, dan demplot SI Katam Terpadu yang dilakukan oleh TGT Katam dan PPL dapat memberikan pengenalan, pemahaman, dan pembelajaran kepada petani. Informasi dari TGT Katam Terpadu maupun PPL membuat petani memahami teknologi SI Katam Terpadu sebagai alat bantu bagi mereka dalam merencanakan usahataninya yang lebih baik, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan peningkatan produksi tanamannya. Tahapan implementasi yang dilakukan petani sampai tahun 2016 sudah melalui beberapa tahapan dari mulai pengenalan, persuasi, keputusan, dan implementasi. Namun demikian petani belum mampu memberikan umpan balik untuk perbaikan SI Katam Terpadu ke depan. Bentuk komunikasi dalam implementasi SI Katam Terpadu terdiri atas empat macam, yaitu komunikasi organisasi, komunikasi kelompok, komunikasi massa, dan komunikasi antar pribadi. Komunikasi organisasi terjadi di lingkungan internal Balitbangtan dalam mengoordinasikan Unit Kerja (UK) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) serta pada tingkat internal pemerintah daerah yaitu Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Komunikasi kelompok dilakukan antara TGT Katam Terpadu dengan PPL dan Ketua Gapoktan/Poktan, antara PPL dengan Ketua Gapoktan/Poktan, maupun antara Poktan dengan petani anggota Poktan. Komunikasi massa terjadi dari TGT Katam Terpadu dengan Dinas Pertanian Provinsi maupun Kabupaten/Kota, BPP/PPL, dan petani melalui media cetak dan elektronik. Sedangkan komunikasi antarpribadi dilakukan secara personal antara TGT Katam dengan petani dan antara PPL dengan petani. Keunggulan dan manfaat SI Katam Terpadu menurut petani lebih ditekankan pada implikasi atau dampak pemanfaatan SI Katam Terpadu, yaitu adanya peningkatan produksi padi. Hal ini karena dipengaruhi oleh penentuan waktu tanam yang ideal, pemberian dosis pupuk yang berimbang, pemilihan varietas yang sesuai dengan agroekologi, penggunaan alat dan mesin pertanian yang sesuai dengan kebutuhan, serta pengendalian hama yang baik. Penerapan inovasi SI Katam Terpadu di lapangan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu karakteristik SI Katam Terpadu dan dukungan dari penyuluh. Kedua faktor tersebut secara tidak langsung juga memengaruhi nilai tambah pemanfaatan SI Katam Terpadu. Sedangkan faktor implementasi SI Katam Terpadu dan dukungan peneliti/TGT Katam memiliki nilai yang signifikan terhadap efektifitas SI Katam Terpadu dalam mendukung nilai tambah pemanfaatannya. Pengembangan model komunikasi yang efektif dalam implementasi SI Katam Terpadu dapat dilakukan dengan meningkatkan faktor-faktor yang memengaruhi secara signifikan. Karakteristik SI Katam Terpadu yang menguntungkan petani, informasinya sesuai dengan kebutuhan petani, mudah untuk dilihat, datanya akurat, serta sesuai dengan karifan lokal dapat menarik petani untuk mengadopsi teknologi tersebut. Dukungan PPL dalam implementasi SI Katam Terpadu dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi dan bimtek SI Katam Terpadu kepada petani dan kompetensi PPL. Dukungan TGT Katam Terpadu dalam memberikan informasi pertanian secara luas dapat memotivasi petani dalam menerapkan SI Katam Terpadu. Keinginan petani dalam meningkatkan produksi hasil pertanian menjadi modal bagi TGT Katam Terpadu untuk memberikan alternatif solusi permasalahan di lapangan. Dialog antara TGT Katam Terpadu, PPL, dan petani dilakukan agar pemanfaatan SI Katam Terpadu dapat diimplementasikan secara berkelanjutan. Konvergensi atau kesepakatan didasarkan pada kesesuaian SI Katam Terpadu dengan kearifan lokal terutama dalam menentukan jadwal tanam. Melalui media tatap muka yang dibangun oleh TGT Katam maupun PPL dengan petani akan mendorong terjadinya komunikasi partisipatif yang sangat dibutuhkan sebagai strategi komunikasi yang tepat agar SI Katam Terpadu dapat dimanfaatkan oleh petani secara berkelanjutan. Selain petani, para pengambil kebijakan baik pusat maupun daerah, seyogianya juga diposisikan sebagai “adopter”, sehingga pengimplementasian SI Katam Terpadu dapat lebih efektif dan mendapat dukungan kebijakan dan program., Integrated Cropping Calendar Information System (ICCIS) is a tool for farmers or other users to support crop cultivation activities. Some functionalities provide in ICCIS are (a) to determine the start of the season and cropping patterns, (b) (2) the use of varieties, (c) (3) balanced fertilization, (d) (4) information about plant pest and disease attacks, and (d) (5) the usage of agricultural tools and machinery. ICCIS has a very strategic role in adapting to climate change. ICCIS could provide information about the next planting season conditions, including the starting time to plant, areas prone to flooding, drought, and the threat of plant pests (OPT=organisme pengganggu tanaman) has close relation with the dynamics of climate change. ICCIS developed by the Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD), the Ministry of Agriculture. Moreover, ICCIS delivered and disseminated to field agricultural extension (PPL=penyuluh pertanian lapangan) and farmers to all provinces in Indonesia by the ICCIS Task Force. However, obstacles encountered in its implementation on farm level, namely (a) farmers do not understand ICCIS and still tend to believe in hereditary habits from generation to generation, (b) the ability and knowledge of PPL to ICCIS is still low, and (c) lack of facilities and infrastructure. On the other hand, the government has programmed various efforts to achieve food self-sufficiency, such as the National Rice Production Increase Program/ Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), and the Special Efforts/Upaya Khusus (UPSUS) Program for rice, corn, soybeans. Both programs' entry points increase in the crop index (CI) through a crop-harvest-crop policy. Therefore the effectiveness of the communication and dissemination system is crucial and decisive in the implementation as well as the usefulness or effectiveness of ICCIS as one of the IAARD innovations that supports the program of increasing food production. The objectives of this study are: 1) to examine farmers' understanding of ICCIS as an agricultural information technology as the result of research and development produced by IAARD which will be applied and utilized by farmers, 2) assessing the extent to which farmers implement ICCIS as information technology, 3) knowing the format of communication made by the IAARD in implementing ICCIS, 4) knowing the factors that influence the adoption of ICCIS, and 5) formulating recommendations for the ideal innovation communication model so that the ICCIS can be utilized by farmers optimally. This research uses descriptive-explanatory survey method. Obtaining primary quantitative data use the survey approach through questionnaires as research instruments. Qualitative data collected use interviews, direct observation, and focus group discussions (FGD) approaches. The six provinces that have already received ICCIS selected as research location based on diversity in zoning, agro climate types, and rainfall patterns. The six provinces are North Sumatra, South Kalimantan, Yogyakarta, West Java, NTB, and NTT. This research conducted in October 2018 until May 2019. Sampling was carried out using a purposive sampling approach by determining specific characteristics that fit the research objectives, namely farmers who have implemented ICCIS recommendations. The analysis technique used is the Structural Equation Model (SEM) to apply LISREL 8.7 and descriptive analysis. The results of this study indicate that in general, the farmers already understand ICCIS. The socialization activities, technical guidance, and demonstration plot of ICCIS conducted by Task Force of ICCIS and field agricultural extension (PPL) can provide introduction, understanding, and learning to farmers. Information from Task Force of ICCIS and PPL made farmers understand ICCIS as a tool for farmers to plan better farming in the face of climate change. The implementation stages carried out by farmers until 2016 have gone through quite a long stage, starting from introduction, persuasion, decisions, and implementation. The farmer then implements the farmer's decision. Indications of the success of the application of ICCIS application are shown by the increase in crop production and crops to avoid drought stress during El-Nino 2015. However, farmers have difficulties providing feedback for the improvement of the ICCIS in the future. The form of communication in the implementation of ICCIS consists of four types, namely organizational communication, group communication, mass communication, and interpersonal communication. Organizational communication is carried out internally by the IAARD in coordinating the Work Units and Technical Implementation Units and within the regional government internally, namely at the provincial agriculture office, the district / municipal agriculture service, and the agricultural extension office. There are three groups of communication, namely (a) Group communication between the Task Force of ICCIS and the PPL and the farmer groups' chair, (b) group communication between PPL and the farmer groups' chair, and (c) group communication between farmer groups and farmer group members. Mass communication took place from the Task Force of ICCIS with provincial and district/city agriculture offices, agricultural extension office, field agricultural extension, and farmers. At the same time, interpersonal communication is carried out personally between the Task Force of ICCIS with farmers and between field agricultural extension and farmers. Farmers emphasize the advantages and benefits of ICCIS on the implications or impacts of the use of ICCIS, namely an increase in rice production. Increasing rice production could be happening because it is influenced by determining the ideal planting time, giving a balanced dose of fertilizer, selecting varieties suitable for agroecology, using agricultural tools and machinery according to needs, and controlling disease pests. The application of the ICCIS in the field influenced some factors. Some factors are as the support from the PPL and the characteristics of the ICCIS. These two factors also indirectly affect the added value of the ICCIS. The implementation of the ICCIS and the support of Task Force of ICCIS factors have a significant value in supporting the added value of the ICCIS. Developing a useful communication model in implementing ICCIS can be executed by increasing the factors that significantly influence it. The characteristics of ICCIS that benefit farmers, compatibility, observability, the data is accurate, and according to local wisdom can attract farmers to adopt the technology. PPL support in the implementation of ICCIS can be done by providing socialization of ICCIS to farmers and PPL competencies. Task Force of ICCIS support in providing broad agricultural information can motivate farmers to implement ICCIS. The desire of farmers to increase agricultural production becomes the capital for Task Force of ICCIS to provide alternative solutions to problems in the field. Dialogue between Task Force of ICCIS, PPL, and farmers was carried out so that the utilization of ICCIS could be implemented sustainably. The convergence or agreement is based on the suitability of the ICCIS with local wisdom, especially in determining the planting schedule. Face-to-face media developed by Task Force of ICCIS and PPL with farmers will encourage participatory communication needed as an appropriate communication strategy so that ICCISfarmers can utilize ICCIS sustainable manner. Apart from farmers, policymakers in central and regional should also be positioned as "adopters", so that the implementation of ICCIS can be more effective and receive policy and program support. Keyword:communication models, cropping calendar, information technology, convergence
Judul: Strategi Komunikasi Alih Teknologi Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit di Provinsi Jambi Abstrak:Pertanian bioindustri merupakan sistem pertanian yang mengelola dan memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya hayati, termasuk biomassa atau limbah organik pertanian bagi kesejahteraan masyarakat dalam ekosistem secara harmonis dan berkelanjutan. Sistem pertanian bioindustri memandang pertanian sebagai industri yang memanfaatkan seluruh faktor produksi untuk menghasilkan pangan maupun produk lain seperti bioenergy dengan prinsip bebas limbah dengan menerapkan prinsip mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang. Salah satu sumberdaya pertanian yang masih belum dimanfaatkan secara optimal adalah integrasi antara tanaman dan ternak seperti antara ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit. Integrasi ternak sapi dengan kelapa sawit merupakan salah satu integrasi utama dalam konsep bioindustri di Indonesia. Provinsi Jambi sebagai daerah perkebunan kelapa sawit, sangat potensial untuk pengembangan integrasi antara ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit. Kegiatan pertanian bioindustri berbasis ternak sapi dengan kelapa sawit membutuhkan pengetahuan dan keterampilan petani, yang membutuhkan alih teknologi dari sumber informasi kepada petani. Model dan strategi yang tepat dibutuhkan dalam melakukan komunikasi dengan petani, agar komunikasi berlangsung efektif sesuai dengan kondisi masyarakat, sehingga alih teknologi pertanian bioindustri berbasis integrasi sapi dengan kelapa sawit dapat berjalan dengan baik. Penelitian ini bertujuan : 1) menganalisis pola komunikasi alih teknologi pertanian bioindustri berbasis integrasi ternak sapi dengan kelapa sawit; 2) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan komunikasi alih teknologi pertanian bioindustri berbasis integrasi antara ternak sapi dengan kelapa sawit; 3) Menganalisis model komunikasi alih teknologi pertanian bioindustri berbasis integrasi antara ternak sapi dengan kelapa sawit; dan 4) Menyusun langkah-langkah strategis komunikasi dalam rangka alih teknologi pertanian bioindustri berbasis integrasi antara ternak sapi dengan kelapa sawit Paradigma penelitian adalah paradigma positivisme. Penelitian didesain dengan metode kuantitatif. Untuk memperkuat argumen dan analisis, dilakukan juga analisis kualitatif, dengan demikian penelitian menggunakan metode penelitian campuran (mixed methods). Pengambilan data di lapangan dilakukan melalui survei dengan unit analisis adalah responden di kawasan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi yang terpilih. Desain survei merupakan survei deskriptif explanatory, yang mengombinasikan penelitian yang bersifat deskriptif (descriptive research) dengan penelitian yang bersifat menerangkan (explanatory research). Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2020 sampai Februari 2021. Penelitian berlokasi di enam desa dalam tiga kecamatan di tiga kabupaten dalam Provinsi Jambi yang merupakan kawasan perkebunan kelapa sawit yang petaninya melakukan pola integrasi yakni Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Muaro Jambi dan Merangin. Unit analisis adalah responden di kawasan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi yang terpilih. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik penarikan contoh acak kelompok multi tahap (multistage cluster random sampling). Populasi penelitian adalah 512 petani dengan Jumlah sampel 225 orang petani yang melakukan pola integrasi. Analisis inferensial menggunakan analisis Model Persamaan Struktural/Structural Equation Modelling. Usaha pertanian bioindustri berbasis integrasi sapi dengan kelapa sawit pada tingkat petani di wilayah studi dilakukan dengan beberapa cara, yakni : integrasi langsung dengan penggembalaan sapi di kawasan perkebunan kelapa sawit; pemanfaatan lahan di sela perkebunan kelapa sawit untuk pakan ternak dan atau pemanfaatan rumput alam di kawasan perkebunan kelapa sawit; pemanfaatan daun dan pelepah sawit untuk pakan ternak dan campuran kompos; pemanfaatan limbah pabrik untuk pakan ternak dan pupuk; pemanfaatan kotoran ternak dan janjang kosong untuk kompos; dan pemanfaatan kotoran ternak untuk biogas. Keberhasilan alih teknologi pertanian bioindustri berbasis integrasi sapi dengan kelapa sawit di Provinsi Jambi yang tergambar dari tingkat pengetahuan petani berada pada kategori tinggi, penerapan pertanian bioindustri dan peningkatan pendapatan berkategori sedang. Tingkat Komunikasi konvergensi cenderung tinggi sedangkan tingkat kemitraan masih terkategori rendah. Sumber utama peningkatan penguasaan teknologi petani adalah penyuluh dan local champion dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Keberhasilan komunikasi alih teknologi pertanian bioindustri berbasis integrasi sapi dengan kelapa sawit dipengaruhi oleh lingkungan petani yakni kegiatan penyuluhan dan aktivitas petani dalam mengikuti kegiatan kelompok. Karakteristik inovasi yakni kemudahan mencoba dan mengamati hasil berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan nilai tambah petani pada pertanian bioindustri yakni peningkatan penguasaan teknologi dan keberhasilan penerapan teknologi. Keberhasilan komunikasi pertanian bioindustri yakni komunikasi konvergensi dan tingkat kemitraan sangat menentukan peningkatan nilai tambah petani dalam hal peningkatan penguasaan teknologi dan keberhasilan penerapan teknologi bioindustri. Model komunikasi alih teknologi pertanian bioindustri yang efektif bisa dibangun dengan memperhatikan karakteristik inovasi, kegiatan penyuluhan, peningkatan peran penyuluh dan local champions, peningkatan aktivitas petani, pemberdayaan kelompok tani, komunikasi yang konvergens, dan kemitraan yang strategis dan sinergis. Strategi komunikasi yang efektif untuk alih teknologi pertanian bioindustri berbasis integrasi sapi dengan kelapa sawit perlu dilakukan dengan strategi pemberdayaan penyuluh dan local champion, peningkatan kegiatan penyuluhan di lapangan, penciptaan kelembagaan kelompok tani yang kuat, serta penciptaan teknologi yang memiliki karakteristik inovasi yang sesuai dengan petani, khususnya kemudahan mencoba inovasi dan memanfaatkan hasil teknologi. Faktor akses media seperti internet dan media sosial adalah faktor pendukung untuk memperlancar komunikasi dan mempercepat sampainya informasi. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah upaya menciptakan komunikasi yang konvergens dan membangun kemitraan yang strategis dan sinergis dengan stakeholder pertanian bioindustri. Keyword:bioindustrial agriculture, communication model, extension service, integration, technology transfer
Judul: Analisis hidtomorfometri dengan sediaan plastik dan parafin pada trabekula tulang ilium Macaca fascicularis hipoestrogenis yang terpapar sinar lampu ultraviolet beta (UV B) Abstrak:Kondisi hipoestrogenis pada wanita peri- dan pascamenopause sangat berkaitan dengan rendahnya massa tulang dan perubahan mikroarsitektur tulang, mengarah ke penyakit osteoporosis. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa paparan sinar lampu UV B terhadap Mecaca fascicularis hipoestrogenis maupun mengendalikan keseimbangan remodeling tulang melalui pemeriksaan kimia darah, namun hal ini belum dikaji lebih jauh pada tingkat seluler. Keyword:
Judul: Dinamika Perikanan Tenggiri Papan (Scomberomorus guttatus, Bloch dan Schneider 1801) di Wilayah Pengelolaan Perikanan 711 Abstrak:Ikan tenggiri papan merupakan salah satu jenis ikan tenggiri yang bisa ditemukan di perairan WPPNRI 711. Ikan tenggiri papan merupakan ikan ekonomis penting yang nilai jualnya cukup tinggi karena selain dipasarkan ke pasar lokal juga diekspor ke luar negeri. Ikan tenggiri papan merupakan target utama dari alat tangkap gillnet. Penangkapan yang masif dan intensif dikawatirkan akan menyebabkan stok ikan tenggiri papan akan turun dari waktu ke waktu. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan menganalisis dinamika yang terjadi pada stok ikan tenggiri papan di perairan WPPNRI 711 baik dari sisi sumberdayanya, status stok, bioekonomi dan pengelolaannya. Ikan tenggiri papan di perairan WPPNRI 711 ditangkap dengan alat tangkap gillnet, dengan rata-rata ukuran kapal < 10 GT. Komposisi hasil tangkapan didominasi ikan parang-parang, tenggiri papan. Berdasarkan CPUE dari tahun 2015-2017 perikanan tenggiri papan masih bisa dimanfaatkan tentunya dengan prinsip kehati-hatian dan ramah lingkungan. Puncak musim penangkapan ikan tenggiri papan berlangsung pada 2 periode yaitu Maret-Mei dan Oktober- Desember. Daerah penangkapan gillnet pada kapal < 10 GT di sekitar perairan pantai, perairan kepulauan dan tidak jauh dari domisili nelayan. Kondisi oseanografis habitat ikan tenggiri papan berada suhu antara 29-30º C, salinitas antara 32-33 PSU dan pH antara 8,75-8,85. Negara tujuan ekspor ikan tenggiri papan adalah Malaysia dan Singapura. Musim pemijahan ikan tenggiri papan berlangsung pada dua periode dengan puncak pertama pada bulan Maret dan kedua pada Oktober. Panjang pertama kali matang gonad tenggiri papan adalah sebesar 47.4 cm, pada kisaran 46.3-48.5 cm. Jumlah telur tenggiri papan berkisar pada 28 082 – 1 506 075 butir, pada panjang ikan 45-55 cm. Pertumbuhan ikan tenggiri papan di perairan WPPNRI 711 termasuk lambat, panjang infiniti (77.7 cm) dapat dicapai pada umur lebih dari 10 tahun. Laju mortalitas karena penangkapan ikan tenggiri papan tergolong tinggi sehingga mengakibatkan laju eksploitasinya melebihi tingkat optimumnya. Puncak rekruitmen berlangsung pada bulan April. Nilai SPR ikan tenggiri papan dari tahun 2014-2017 masih berada pada kondisi yang baik kecuali tahun 2014 yang berada di bawah 0.20. Semakin kecil nilai SPR maka nilai YPR akan lebih besar, ini dapat diartikan bila SPR kecil maka sisa biomasa ikan yang tidak tertangkap di perairan lebih besar dibandingkan yang telah ditangkap. Hasil analisis PSA menunjukkan bahwa ikan tenggiri papan dan parang-parang berada pada kondisi produktifitas sedang dan kerentanan sedang. Pada perikanan gillnet multispesies hubungan ketergantungan antara ikan tenggiri papan dan parang-parang adalah kompetisi. Pada kondisi MSY dan MEY upaya optimum MSY untuk menangkap ikan tenggiri papan lebih besar dibandingkan untuk menangkap ikan parang-parang. Keuntungan ekonomi tertinggi terdapat pada kondisi pengelolaan MEY baik untuk ikan tenggiri papan maupun parang-parang. Nilai upaya penangkapan optimal ikan tenggiri papan pada kondisi MEY kompetisi lebih kecil dibandingkan kondisi MEY. Upaya penangkapan optimal pada setiap kondisi penangkapan multispesies memperlihatkan pada kondisi aktual jumlah upaya masih berada dibawah upaya pada kondisi MSY, MEY, MEY kompetisi, dan pada kondisi rata-rata discount rate. Nilai biomassa awal (initial biomass) juga mengalami penurunan, baik pada spesies 1 (tenggiri papan) maupun spesies 2 (parang-parang), pada tenggiri papan turun 33% dari biomassa awal sedangkan, ikan parang-parang turun sekitar 71% dari biomassa awal setelah parameter kompetisi dimasukkan dalam perhitungan. Potensi lestari (MSY) ikan tenggiri papan di perairan WPPNRI 711 sebesar 8141 ton/tahun yang dapat dihasilkan pada saat biomassa (BMSY) sebesar 27270 ton pada tingkat mortalitas penangkapan (FMSY) sebesar 0.30. Upaya penangkapan saat dicapai MSY adalah sekitar 21130 ton/unit. Kondisi stok ikan tenggiri papan di perairan WPPNRI 711 pada level yang aman, yaitu lebih rendah dari level optimal (under-fishing), bila Ft < FMSY atau Ft / FMSY < 1, dan sumber daya ikannya dalam kondisi belum dieksploitasi secara optimal (kurang dieksploitasi), yaitu bila Bt > BMSY atau Bt / BMSY > 1 atau 54% kondisi stok tenggiri papan berada pada kondisi yang aman. Angka acuan sasaran yang paling konservatif adalah angka acuan 80% MSY. Untuk mewujudkan perikanan tenggiri papan di WPPNRI 711 yang berkelanjutan disarankan menggunakan angka acuan sasaran (TRP) 80% EMSY dan angka acuan batas (LRP) EMSY. Mortalitas penangkapan (F) sebesar 0.5 menunjukkan nilai SPR mencapai 0.20 atau 20% dan biomassa ikan tenggiri papan dengan nilai Y/R sebesar 36 631 kg/r harus dipertahankan agar nilai SPR bisa mencapai 20% (F20%SPR= 0.5) Sedangkan bila berpedoman pada titik acuan F0,1 maka eksploitasi ikan tenggiri papan di perairan WPPNRI 711 telah melebihi batas F0.1. Nilai F2017= 0.85 harus diturunkan paling tidak secara bertahap mendekati F0,1, atau nilai 0.1 sebagai nilai acuan perlu dikaji ulang untuk ikan tenggiri papan sebagai spesies yang bermigrasi. Keyword:tenggiri papan, status stok, bioekonomi, pengelolaan perikanan, titik acuan
Judul: Evaluasi Ekonomi Kebijakan Moratorium Perizinan Kapal Eks Asing terhadap Sumberdaya Perikanan Demersal di Wilayah Pengelolaan Perikanan 718. Abstrak:Status pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Laut Arafura sudah pada tingkat pemanfaatan penuh, maka pengelolaan perikanan harus dilakukan secara hati-hati. Pembatasan jumlah penangkapan (limited entry) merupakan salah satu upaya untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya perikanan. Kebijakan limited entry yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia adalah tidak memberikan perpanjangan izin dan menerbitkan izin baru bagi kapal perikanan milik asing atau milik pengusaha Indonesia yang bekerjasama dengan asing (kapal perikanan eks asing) untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Dengan kebijakan tersebut, sebanyak seribu lebih kapal perikanan eks asing tidak dapat beroperasi. Kebijakan moratorium perizinan kapal perikanan eks asing telah menyebabkan turunnya produksi perikanan di beberapa pelabuhan terutama pelabuhan perikanan pangkalan kapal yang melakukan penangkapan ikan di WPP 718. Sebanyak 59% kapal yang terdampak kebijakan moratorium, melakukan penangkapan ikan di WPP 718. Alat tangkap yang digunakan oleh kapal tersebut adalah pukat ikan, pukat udang, jaring insang oseanik dan purse seine. Pukat ikan dan pukat udang meliputi 92% dari jumlah kapal eks asing di WPP 718 dengan target tangkapan ikan ekonomis penting seperti udang dan kakap. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis status pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal di WPP 718. 2) Menganalisis dinamika pemanfaatan perikanan demersal di WPP 718 pada kondisi tidak adanya kebijakan moratorium. 3) Menganalisis dampak kebijakan moratorium perizinan kapal eks asing terhadap pemanfaatan perikanan demersal di WPP 718 dan 4) Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan demersal di WPP 718 setelah adanya kebijakan moratorium perizinan kapal eks asing. Cakupan penelitian ini meliputi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718 (Laut Aru, Laut Arafuru/Arafura, Laut Timor bagian Timur). Secara administratif tercakup dalam wilayah Provinsi Papua, Papua Barat dan sebagian Maluku. Pemilihan WPP 718 sebagai lokasi penelitian karena sebagian besar kapal perikanan yang terkena dampak kebijakan moratorium kapal eks asing melakukan operasi penangkapan ikan di WPP 718. Potensi sumberdaya perikanan tertinggi diantara 11 wilayah pengelolaan perikanan terdapat di WPP 718. Penelitian berlangsung mulai dari Juni 2016 sampai dengan Maret 2018. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Kapal eks asing yang terdampak kebijakan moratorium menggunakan alat tangkap pukat dengan target tangkapan adalah ikan demersal. Analisis model surplus produksi dilakukan terhadap model Schaefer, Fox, Walter-Hilborn dan CYP. Model Walter-Hilborn memberikan nilai R2 yang paling tinggi dan kesesuain tanda yang tepat, sedangkan model yang lainnya memiliki nilai R2 lebih rendah (Schaefer dan Fox) dan ketidaksesuain tanda (CYP). Tingkat optimal yang digunakan mengacu pada nilai maximum economic yield (MEY). Tingkat eksploitasi optimal secara ekonomi (MEY) yaitu 4.393 unit jumlah kapal setara kapal dengan alat tangkap pancing rawai dasar 75 GT, produksi 188.725 ton per tahun dan rente 4,41 triliun rupiah. Kebijakan moratorium menyebabkan semakin rendahnya tingkat pemanfaatan ikan demersal di WPP 718. Kebijakan moratorium kapal eks asing menyebabkan jumlah biomas lebih tinggi dibandingkan kondisi baseline dan kondisi optimal, jumlah pertumbuhan ikan lebih kecil dan tingkat kematian alami ikan menjadi lebih tinggi. Untuk memanfaatkan perikanan pada kondisi optimal, maka diperlukan penambahan jumlah kapal untuk meningkatkan eksploitasi sehingga pertumbuhan ikan menjadi optimal dan tingkat kematian alami menjadi lebih rendah. Dalam menangani rendahnya tingkat pemanfaatan ikan demersal di WPP 718 pada kondisi baseline dan adanya kebijakan moratorium, maka penelitian ini merekomendasikan untuk melakukan penambahan jumlah kapal pancing rawai. Jumlah kapal yang disarankan adalah sebanyak 1.910 unit dengan penambahan yang dilakukan secara bertahap. Total penambahan sampai dengan 1.910 unit tercapai pada tahun 2030 dengan memerlukan tambahan investasi sebesar 1,82 triliun rupiah. Tahapan penambahan jumlah kapal ini dilakukan sebesar unit tertentu dengan tetap menjaga rente perikanan paling tinggi. Dengan adanya penambahan jumlah kapal sebanyak 1.910 unit sampai tahun 2030, maka produksi mengalami peningkatan sebesar 36.511 ton. Penerimaan juga mengalami peningkatan sebesar 1,78 triliun rupiah serta rente perikanan mengalami peningkatan 490 miliar rupiah dibandingkan kondisi baseline tahun 2014. Kebutuhan tenaga kerja (ABK) mengalami peningkatan sebesar 32.477 orang sampai dengan tahun 2030 Penambahan kapal dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat dan pihak swasta dengan spesifikasi jenis alat tangkap, ukuran dan teknologi kapal perikanan ramah lingkungan yang sesuai untuk melakukan penangkapan ikan di ZEE 718 dan laut lepas setara 1.910 unit kapal pancing rawai dasar 75 GT. Dalam memperlancar aktivitas penangkapan ikan di WPP 718 diperlukan tambahan infrastruktur penangkapan seperti pelabuhan, dermaga, fasilitas pendaratan ikan, fasilitas penyimpanan, fasilitas pengolahan dan pemasaran perikanan, sehingga sumberdaya perikanan memberikan manfaat optimal. Keyword:bioekonomi, ikan demersal, kebijakan moratorium kapal eks asing, sistem dinamis, WPP 718
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Model Strategi Tata Kelola dalam Peningkatan Produksi dan Cadangan Migas Indonesia Abstrak:Permasalahan produksi migas di Indonesia yang makin menurun tidak lepas dari kurangnya penemuan cadangan baru yang memerlukan investasi yang besar mengingat cadangan migas yang tersisa cukup besar namun belum banyak dieksploitasi di Indonesia. Berdasarkan analisis geologi regional sebagian besar potensi eksplorasi cadangan migas tersisa tersimpan di cekungan di area frontier dan laut dalam (offshore) walaupun daerah onshore juga masih memiliki potensi eksplorasi. Sebuah lapangan migas secara natural akan mengalami beberapa periode yang diawali dengan peiode eksplorasi, periode pengembangan dan diakhiri dengan periode penurunan produksi (declining). Periode eksplorasi dan pengembangan dalam penelitian ini dikategorikan sebagai periode Discovery & Growing sedangkan periode penurunan produksi dikategorikan sebagai periode Managing Decline. Setiap periode diatas memerlukan Investasi tersendiri dimana periode Discovery & Growing memerlukan investasi total yang terdiri dari investasi exploration, investasi development dan investasi production untuk menemukan, menaikkan dan mempertahankan produksi plateau sedangkan periode Managing Decline memerlukan investasi production yang masif untuk mengurangi laju penurunan produksi. Pemerintah Indonesia melalui SKKMIGAS mentargetkan target produksi minyak Indonesia sebesar 1 juta barel (BOPD) pada tahun 2030. Upaya pencapaian target dilakukan baik pada periode Discovery & Growing melalui upaya Transformasi Resources to Production, EOR dan Eksplorasi yang membutuhkan investasi total (investasi exploration+development+production) maupun pada periode Managing Decline melalui Optimalisasi Program Kerja di lapangan tua/mature yang membutuhkan investasi production. Temuan empiris dengan pemodelan ekonometrika menggunakan persamaan simultan dengan data panel menunjukan besaran investasi production pada periode managing decline untuk mengurangi laju penurunan produksi hingga 2030 sebesar US26MilyardenganbatasatasUS 47 Milyar sedangkan investasi total pada periode Discovery & Growing sebesar US14MilyardenganbatasatasUS 25 Milyar. Dengan demikian total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target 1 juta barel minyak per hari di tahun 2030 adalah US40MilyardenganbatasatasUS 72 Milyar yang dimulai sejak tahun 2020. Temuan empiris juga menunjukkan bahwa variabel yang signifikan berpengaruh terhadap investasi adalah harga minyak yang berpengaruh positif yang sesuai dengan fakta di Indonesia maupun lingkup global. Variabel makroekonomi seperti inflasi, kursUSD dan suku bunga tidak signifikan namun kecenderungan pengaruhnya negatif terhadap investasi yang menunjukkan bahwa realisasi pinjaman perbankan masih kecil dan investasi didominasi oleh International Oil Company (IOC). Sesuai dengan teori Rational Expectation maka bila pinjaman perbankan ditingkatkan maka pengaruh suku bunga akan signifikan sehingga dibutuhkan kebijakan moneter yang ekspansif. Temuan empiris lain bahwa investasi exploration dan lifting tidak signifikan mempengaruhi penambahan cadangan dimana hal ini menunjukkan realisasi investasi eksplorasi masih kecil dan v belum memadai serta tingkat keberhasilan eksplorasi yang dialami Kontraktor masih rendah. Pengaruh harga minyak terhadap Indonesia dari hasil analisis distribusi revenue menunjukkan selama periode harga minyak tinggi (windfall profit) yang menyebabkan kenaikan revenue ternyata secara distribusi, revenue tidak merata dimana persentase kenaikan bagian kontraktor lebih besar dibanding bagian pemerintah sedangkan saat harga minyak rendah persentase cost recovery naik drastis yang menyebabkan bagian pemerintah tergerus lebih banyak dibanding bagian kontraktor. Simulasi cashflow menggunakan skema PSC Cost Recovery gas membuktikan solusi hal tersebut melalui penerapan split bagi hasil yang fleksibel secara sliding (sliding split) dimana saat harga minyak naik maka split bagian pemerintah dinaikkan agar distribusi revenue lebih berimbang dan disisi lain saat harga minyak rendah maka split kontraktor dinaikkan agar keekonomian kontraktor membaik. Implikasi manajerial dari penelitian ini adalah diperlukan upaya besar dari pemerintah dalam melakukan pembenahan Tata Kelola pada berbagai aspek meliputi Tata Kelola Cadangan Migas, Tata Kelola Fiskal dan Kontrak, Tata Kelola Finansial, Tata Kelola Institusional, dan Tata Kelola Birokrasi Keyword:1 Juta Barrel, Discovery, Investasi, Managing Decline, Windfall Profit
Judul: The Impact of Changes in the Competitiveness of the World Vegetable Oil on the Palm Oil Industry in Indonesia Abstrak:Minyak sawit, minyak kedelai dan minyak bunga matahari merupakan minyak nabati utama yang perannya semakin meningkat dalam perdagangan minyak nabati dunia. Peningkatan peran minyak nabati bersumber dari peningkatan pangsa minyak sawit, baik dari segi produksi, nilai, maupun volume perdagangan. Perkembangan minyak nabati dunia didorong oleh peningkatan populasi, pendapatan, harga minyak mintah, pemakaian bahan berbasis oleochemical, dan perkembangan industri biofuel. Negara eksportir utama minyak sawit berada di ASEAN, yaitu Indonesia dan Malaysia, sedangkan negara eksportir utama minyak nabati non sawit berada di kawasan non ASEAN. Eksportir utama minyak kedelai adalah Argentina dan Brazil, sedangkan eksportir utama minyak bunga matahari adalah Ukraina dan Rusia. Hal tersebut berpotensi menciptakan persaingan baik antar jenis minyak nabati, khususnya minyak sawit dengan non sawit, maupun antar negara eksportir utama minyak nabati. Rata rata kontribusi minyak sawit Indonesia dalam perdagangan minyak nabati dunia adalah yang terbesar baik dari segi volume maupun nilai perdagangan selama periode 1997-2022. Peran penting minyak sawit Indonesia dalam perdagangan minyak nabati dunia dipengaruhi oleh kebijakan hilirisasi kelapa sawit, meliputi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), pajak ekspor, mandatori biodiesel, dan Domestic Market Obligation (DMO). Peningkatan harga minyak mentah, krisis energi dan kesadaran energi ramah lingkungan telah mendorong perkembangan biofuel dunia berbahan baku minyak nabati. Pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid 19 ditandai dengan peningkatan GDP per kapita dunia, sedangkan produksi minyak nabati di sejumlah negara eksportir utama mengalami penurunan. Invasi Rusia terhadap Ukraina juga berdampak terhadap perdagangan minyak nabati yang bersumber dari penurunan ekspor minyak bunga matahari, peningkatan harga minyak mentah dan pupuk. Kebijakan hilirisasi kelapa sawit Indonesia yang dilakukan di tengah perubahan ekonomi dunia dapat menciptakan konsekuensi terhadap keseimbangan permintaan dan penawaran minyak nabati dunia, sehingga dapat memengaruhi daya saing minyak nabati dunia dan kesejahteraan pelaku industri kelapa sawit Indonesia. Tujuan pertama penelitian adalah menganalisis dinamika hubungan antara minyak mentah, biofuel, dan minyak nabati dengan systematic literature review PRISMA-P pada artikel ilmiah tahun 2000-2022. Tujuan kedua penelitian adalah menganalisis daya saing dan keterkaitan antar jenis minyak nabati utama dunia: pendekatan demand driven dengan Almost Ideal Demand System (AIDS) model metode seemingly unrelated regression estimation (SUR) pada data time series 1990-2022. Tujuan ketiga penelitian adalah menganalisis perubahan peran negara eksportir utama minyak nabati dunia dan faktor faktor yang memengaruhinya menggunakan SUR pada data time series 1997-2022. Tujuan keempat penelitian adalah menganalisis dampak guncangan ekonomi dan kebijakan domestik terhadap daya saing minyak nabati dunia dan kesejahteraan pelaku industri kelapa sawit Indonesia menggunakan model sistem persamaan simultan dengan metode two stage least square (2SLS) pada data time series 2000-2022. Hasil tujuan pertama penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian terdahulu adalah studi analisis hubungan yang hanya mengkaji satu jenis minyak nabati tertentu di negara/wilayah tertentu. Disamping itu masih terdapat keterbatasan penelitian yang mengkaji hubungan minyak mentah-biofuel-minyak nabati pasca pandemi Covid-19, studi keterkaitan negara eksportir utama minyak nabati sebagai perbandingan lintas jenis dan waktu, serta studi pengaruh dinamika ekonomi terhadap negara eksportir utama minyak nabati. Hasil tujuan kedua penelitian membuktikan adanya keterkaitan antar minyak nabati utama dunia. Pendapatan secara signifikan memengaruhi daya saing minyak kedelai, minyak sawit dan minyak bunga matahari. Harga minyak mentah signifikan memengaruhi daya saing minyak sawit khususnya minyak sawit Indonesia dan minyak bunga matahari. Hubungan antar minyak nabati tidak sepenuhnya bersifat kompetitif. Malaysia adalah pemimpin harga, meskipun Indonesia adalah negara eksportir minyak sawit terbesar dunia. Hasil tujuan ketiga penelitian menunjukkan adanya perubahan peran negara ekportir utama minyak nabati. Ukraina, Indonesia, dan Argentina adalah pemimpin pasar pada perdagangan minyak nabati dunia baik dari segi nilai REC dan EMS index, namun yang daya saingnya paling kuat memengaruhi daya saing negara eksportir utama minyak nabati lainnya adalah Ukraina dan Argentina. Apabila dilakukan perbandingan pada jenis minyak nabati yang sama secara lintas negara, perubahan peran terjadi pada negara eksportir utama minyak sawit dimana daya saing minyak sawit Malaysia mengungguli Indonesia pada tahun 2021. Luas lahan, produktivitas, nilai tukar, GDP per kapita, kebebasan perdagangan, dan keterkaitan antar negara merupakan faktor yang paling banyak memengaruhi daya saing negara eksportir utama minyak nabati. Hasil tujuan keempat penelitian menunjukkan bahwa apabila perubahan ekonomi dunia disikapi oleh pemerintah Indonesia dengan kebijakan yang hanya fokus pada peningkatan produksi minyak sawit, maka daya saing minyak sawit Indonesia dapat meningkat lebih tinggi dibandingkan tanpa intervensi kebijakan. Namun kebijakan tersebut menyebabkan para pelaku industri kelapa sawit Indonesia mengalami penurunan kesejahteraan. Kombinasi kebijakan peningkatan produksi dan pengaturan permintaan serta penawaran minyak sawit merupakan kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan pelaku industri kelapa sawit Indonesia pada saat terjadi perubahan ekonomi dunia. Namun kebijakan tersebut menyebabkan penurunan kesejahteraan produsen minyak goreng dan biodiesel karena peningkatan harga minyak sawit domestik yang terjadi seiring peningkatan harga minyak sawit dunia dan penurunan harga riil minyak goreng dan biodiesel yang terjadi karena kelimpahan produksi. Oleh karena itu kombinasi kebijakan PSR, peningkatan pajak ekspor minyak sawit, mandatori biodiesel dan DMO perlu dilengkapi dengan kebijakan lainnya yaitu diferensiasi pasar produk turunan ke pasar internasional, menjadikan Indonesia sebagai acuan harga minyak sawit dunia, penguatan kerjasama internasional dengan eksportir utama minyak sawit dan non sawit, dan stabilisasi nilai tukar. Keyword:biodiesel, competitiveness, palm oil, vegetable oil, welfare
Judul: Sejarah hidup Hyposidra talaca WLK. (Lepidoptera : Geometridae) di kebun coklat Abstrak:Tujuan penelitian ini ialah mengetahui spesies sidra yang menyerang perkebunan cokelat - Kedaton, siklus hidup serangga tersebut pada beberapa jenis tanaman, perilaku berpindah larvanya dari tanaman lamtoro penaung ketanaman cokelat dan fluktuasi populasinya. Penelitian dilakukan dalam kondisi laboratorium dan lapangan di Perkebunan Cokelat Kedaton (P.T. Perkebunan XXIII). Keyword:
Judul: Effectiveness of soil and water conservation measures to reduce runoff and soil erosion on cacao plantation Abstrak:Cacao plant is one of the major commodity of plantation in South East Sulawesi, especially in Konawe regency. Land management practices which is implemented by the local farmers on cultivating cacao, in many cases are not according to soil and water conservation principles. The research was aimed to study the effectiveness of several soil and water conservation practices on reducing runoff and soil erosion on cacao plantation with different land slopes and canopy coverages. The research was conducted in Amosilu village, Besulutu district, Konawe regency, the province of South East Sulawesi, from December 2006 to September 2007. The Experimental method in the field study was split plot design consisting three factors. The first factor was slope consisting two levels (10 – 15% and 40 – 45%) and the second factor was age of the cacao plant consisting two levels (5 to 7 month and 25 to 27 month) were used as main plots (P1 = 5 to 7 month and 10 – 15%; P2 = 25 to 27 month and 10 – 15%; P3 = 5 to 7 month and 40 – 45%; and P4 = 25 to 27 month and 40 – 45%), while the third factor, the vegetative conservation treatment was used as sub plots consisting three levels, i.e T1 = cacao with ground cover, T2 = upland rice and soybean rotation within cacao plant, T3 = upland rice and soybean rotation within cacao plant + Arachis pintoi as strip cropping. There was not interaction effect both cacao plant and slope treatment with vegetative conservation treatment on runoff and soil erosion with soil properties, exception on aggregate stability index. The result showed that vegetative conservation treatment (T3) with upland rice and soybean rotation within cacao plant with A. pintoi as strip cropping was best alternatif because it has been produced the lower rate of erosion (21,76 ton ha-1 year-1) compared tolerable soil loss value (22,44 ton ha-1 year-1) and improved of soil properties and has given a good benefit to famers from both upland rice and soybean. Keyword:Arachis Pintoi, Strip cropping, Upland rice
Judul: Function Of Some Ecosystem Components At Natural Forest And Cacao Agroindustry Sustem At The Margin Of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Abstrak:Cacao agroforestry is a traditional form of agriculture practiced by the people of Central Sulawesi. These agroforestry systems vary from a simple system, following selective cutting of forest trees, to a more sophisticated planting design. The aims of this research were (1) to determine litterfall dynamics, leaf-litter decomposition, and fine root biomass, (2) to determine active fraction on soil macro-organic matter (SOM) in natural forest and cacao agroforestry systems, and (3) to assess nitrogen resorption and nitrogen use efficiency (N NUE) and implication for cacao establishment. The field studies were conducted in three types of cacao agroforestry systems at the northeastern margin of Lore Lindu National Park (LLNP). Field study sites covering in natural forest (NF) and in three cacao agroforestry systems that is cacao was planted under remaining forest cover (CF1), under planted trees (CF2), and between shade trees Gliricidia sepium (CP). The parameters are nitrogen soil content, fine root biomass, soil macro-organic matter by size and density fractionation, soil surface organic layer by quadrant, litterfall production by litter trap, and rate of decomposition by litter bag, nitrogen use efficiency in cacao plant and ecosystem scale, and nitrogen resorption. Keyword:litterfall dynamics, leaf-litter decomposition, find-root biomass, nitrogen resorption, Central Sulawesi
Judul: Formalisasi Semu: Bentuk Hubungan Kerja Kerumahtanggaan di Yogyakarta. Abstrak:Fenomena hubungan kerja antara majikan dan Pembantu Rumah Tangga (PRT) sudah berlangsung sangat lama semenjak lahirnya keluarga yang membagi pekerjaan domestik dan publik. Pada masyarakat Yogyakarta terdapat tradisi ngenger sebagai awal mula hubungan kerja kerumahtanggaan yang dilandasi hubungan spiritual, emosional dan pengabdian. Pada perkembangannya tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap jasa pekerja rumah tangga, hubungan kerja kerumahtanggaan yang bersifat pengabdian berubah pada hubungan kerja yang berorientasi keuntungan. Hubungan kerja informal (kekeluargaan) menggeser tradisi ngenger. Hubungan kerja bersifat informal (kekeluargaan) yang memperhitungkan untung rugi banyak diterapkan oleh pengguna jasa dan pekerja rumah tangga karena adanya ikatan emosional serta fasilitas yang diterima oleh pekerja rumah tangga dari pengguna jasa. Situasinya berubah dengan dilakukannya ratifikasi Konvensi ILO 189 tahun 2011, yaitu munculnya beberapa peraturan tentang pekerja rumah tangga. Implikasinya hubungan kerja informal (kekeluargaan) berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat formal, yang ditandai dengan adanya kontrak kerja, kejelasan beban kerja pekerjaan kerumahtanggaan dan kejelasan upah. Secara umum penelitian ini menganalisis: (1) Pola-pola relasi hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga. Bagaimana bentuk, karakteristik dan praktik relasi tersebut dalam keluarga yang menggunakan pekerja rumah tangga. (2) Perubahan-perubahan pola relasi antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga dengan adanya peraturan tentang pekerja rumah tangga dan (3) Dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga. Apakah hubungan kerja yang bersifat formal tersebut benar-benar diterapkan dalam hubungan kerja kerumahtanggaan ataukah pengguna jasa menerapkan pola hubungan kerja informal (kekeluargaan) dan formal sekaligus. Bagaimanakah dilema yang dialami oleh pengguna jasa dan pekerja rumah tangga dalam hubungan kerja kerumahtanggaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara garis besar, pola hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga terbagi menjadi dua, yakni: (1) hubungan kerja yang bersifat informal (kekeluargaan) dan (2) hubungan kerja yang bersifat formal. Karakter hubungan kerja kekeluargaan adalah sebagai berikut: tidak ada kontrak kerja, tidak ada jam kerja, beban kerja tidak jelas, rekruitmen dari mulut ke mulut, adanya ikatan emosional antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga, mendapatkan berbagai macam fasilitas (hutang, pinjaman atau hibah), pekerja rumah tangga menjadi bagian dari keluarga yang terjadi pada kasus pekerja rumah tangga yang tinggal di rumah pengguna jasa. Karakter hubungan kerja formal adalah sebagai berikut: memiliki kontrak kerja, jam kerja jelas, beban kerja jelas, pola rekruitmen melalui yayasan profesional, tidak mendapatkan berbagai macam fasilitas, pekerja rumah tangga merupakan pekerja yang bekerja sebagai pramurukti dan baby sitter. Hubungan kekeluargaan dilandasi relasi patron-klien, sedangkan hubungan kerja formal meniadakan relasi patron-klien sehingga hubungan bersifat formal. Responden penelitian lebih menyukai hubungan kekeluargaan dibandingkan hubungan formal. Hal ini menunjukan masih menguatnya relasi patron klien dibandingkan relasi formal. Formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan, yang berupaya mengubah hubungan kerja yang bersifat informal (kekeluargaan) menjadi hubungan kerja yang bersifat formal ditandai dengan adanya peraturan tentang pekerja rumah tangga. Peraturan yang mengatur hubungan kerja kerumahtanggaan tersebut mengubah: (1) definisi pekerja rumah tangga, dari istilah pembantu rumah tangga (PRT) berubah menjadi pekerja rumah tangga (PkRT). Perbedaan definisi PkRT saat ini dibandingkan dengan sebelumnya, terkait adanya pembagian kerja domestik (kerumahtanggaan, pramurukti dan baby sitter), pekerja rumah tangga terbagi menjadi dua: PRT informal (kekeluargaan), selanjutnya disebut Pembantu Rumah Tangga/PRT) dan pekerja rumah tangga formal (selanjutnya disebut Pekerja Rumah Tangga/PkRT) yang bekerja sebagai pramurukti dan baby sitter. (2) Perubahan ragam pola-pola hubungan kerja yang terbentuk: (1) relasi kekeluargaan dengan waktu kerja penuh waktu yang variasi jumlah PkRT yang bekerja: (i) pengguna jasa dengan satu PkRT, pengguna jasa dengan 2-3 PkRT dan pengguna jasa dengan lebih dari 3 PkRT; (ii) relasi kekeluargaan dengan waktu kerja pocokan yang bervariasi waktunya, yaitu: 2-3 jam, 3-5 jam dan 5-8 jam dan (iii) relasi kekeluargaan dengan PkRT sendiri (belum berkeluarga) dan PkRT beserta keluarganya. (2) Relasi formal sama dengan pekerjaan formal dengan jumlah jam kerja selama 7 jam. Meskipun demikian, stereotipi pekerja rumah tangga di kalangan pengguna jasa dan pekerja rumah tangga sendiri hingga saat ini masih rendah. Stereotipi tersebut ditandai dengan berbagai macam penyebutan yang masih mengarah pada pembantu, berasal dari kelas bawah dengan akses yang minim, tidak memiliki keterampilan, rentan sebagai komoditas dan memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi kepada pengguna jasa. Formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan tidak serta merta dapat mengubah pengguna jasa dan pekerja rumah tangga menerapkan relasi formal tersebut. Pada praktiknya, pengguna jasa yang menerapkan hubungan kerja formal (menggunakan jasa pramurukti dan baby sitter) juga menerapkan hubungan kerja informal (kekeluargaan). Bentuknya, pada saat memulai hubungan kerja formal dengan menggunakan kontrak kerja dan adanya kejelasan pengupahan. Sisi lain, pengguna jasa memberikan fasilitas (asuransi sosial) kepada pekerja rumah tangga pada saat ada kebutuhan ekonomi sebagai bentuk hubungan kerja kekeluargaan. Pada situasi ini, muncul dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan. Dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan disebabkan oleh: (1) sebutan pembantu untuk pekerja rumah tangga; (2) tidak adanya jenis dan klasifikasi pekerjaan kerumahtanggaan; (3) tidak adanya standard pengupahan; (4) Perjanjian kerja dan sifat hubungan kerja antara tertulis atau lisan; (5) tidak adanya pendidikan dan keterampilan pekerjaan kerumahtanggaan; dan (6) pekerjaan kerumahtanggaan merupakan pekerjaan di sektor informal. Keyword:employee, domestic worker, informal relationship, and formal relationship
Judul: Strategic Food Market Integration in Indonesia Abstrak:Pengendalian disparitas dan flukuasi harga yang tinggi dari harga pangan strategis harus dilakukan oleh pemerintah karena ketidakseimbangan antarwaktu dan antarwilayah antara supply dari produsen pertanian dan permintaan konsumen. Salah satu caranya adalah melalui kebijakan stabilisasi harga. Daerah produsen pangan berada di Jawa, Sumatera dan Sulawesi sedangkan wilayah konsumen yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu infrastruktur distribusi pangan juga masih belum memadai terutama di Indonesia Timur dapat menghambat kelancaran arus distribusi pangan antarwilayah. Kondisi ini harus diperbaiki melalui proses perdagangan antarwilayah yang lebih efektif dan efisien. Hubungan perdagangan antarwilayah sangat penting untuk memastikan ketersediaan pangan di semua wilayah terutama di wilayah konsumen (defisit). Koordinasi antarwilayah dalam rangka peningkatan perdagangan dan pemenuhan kebutuhan pangan antarwilayah dari wilayah produsen ke wilayah konsumen harus menjadi perhatian dari pemerintah. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi pemerintah dalam mengendalikan disparitas harga antarwilayah yang tinggi misalnya melalui kebijakan stabilisasi harga. Pendekatan dalam menjawab tujuan penelitian dilakukan dengan analisis yang berbeda untuk masing-masing tujuan. Analisis integrasi pasar pangan antar waktu dan antar wilayah dilakukan melalui tahapan analisis sebagai berikut: (1) uji akar unit, (2) uji kointegrasi, (3) analisis Impulse Response Function (IRF), dan (4) analisis dekomposisi ragam atau Forecast Error Decomposition Variance (FEDV). Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat integrasi spasial baik pada komoditas beras medium maupun cabai merah analisis wilayah maupun nasional yang ditunjukkan oleh adanya kointegrasi jangka panjang. Namun demikian secara vertikal integrasi pasar beras medium hanya terjadi pada wilayah Pulau Jawa, sementara pada wilayah di luar Pulau Jawa terjadi ketidakseimbangan antara harga produsen, grosir dan eceran. Berdasarkan pengaruh kekuatan pasar, jumlah produksi, surplus/defisit dan keterkaitan spasial maka: (a) PIBC menjadi pasar acuan beras medium Indonesia, (b) Palembang menjadi pasar acuan beras medium di wilayah Sumatera, (c) Bandung dan Surabaya menjadi pasar acuan beras medium di wilayah Pulau Jawa, (d) Makassar menjadi pasar acuan beras medium di wilayah Indonesia Timur. Sementara itu, keterkaitan spasial antar wilayah dibahas melalui metode analisis Uji Efek Spasial dengan menggunakan model regresi yang terboboti atau Geographically Weighted Regression (GWR) yang menghasilkan model yang lebih baik daripada OLS. Hal ini ditandai dengan R2 dan Adj R2 GWR yang lebih tinggi, serta nilai AIC dan AICc yang lebih rendah. Beberapa poin penting dalam penelitian ini adalah (1) harga grosir paling berpengaruh terhadap harga eceran beras medium dan cabai merah baik pada periode panen raya maupun non panen raya; (2) pola panen mengakibatkan pengaruh produksi dan harga produsen terhadap harga eceran periode panen raya dan non panen raya berbeda. Pengelolaan distribusi antarwilayah harus dilakukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan disparitas harga pangan antarwilayah; (3) harga produsen terintegrasi dengan harga pedagang di kabupaten sentra produksi dan sekitarnya sedangkan integrasi harga pangan di tingkat konsumen terjadi pada daerah pusat ekonomi utama wilayah. Aspek spasial yang muncul dalam penelitian ini adalah produksi, harga, dan PDRB. Produksi menjadi aspek yang terkait dengan stabilisasi pasokan (termasuk stok) sehingga perbedaan periode produksi antarwaktu dan perbedaan jarak suatu wilayah terhadap sentra produksi mempengaruhi tingkat stabilisasi pasokan dan harga. Harga yang ada ditingkat produsen, grosir dan eceran menjadi aspek yang paling mempengaruhi stabilisasi harga. PDRB wilayah yang lebih besar mengakibatkan daya tarik aliran pasokan ke wilayah tersebut juga lebih besar daripada wilayah yang memiliki PDRB yang lebih kecil. Pengambilan kebijakan stabilisasi pasokan dan harga pangan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah hendaknya mempertimbangkan aspek lokasional atau pendekatan spasial yang mampu memberikan gambaran secara akurat mengenai variasi harga secara geografis sehingga kebijakan dapat diimplementasikan fokus dan terarah tepat pada sasaran. Keyword:spatial analysis, VECM Panel, Geographically Weighted Regression (GWR), strategic food prices, spatial distribution patterns
Judul: The Dynamics of World Maize Prices and Effects of Derivatives on Poultry Prices in Indonesia Abstrak:Pangan merupakan salah satu isu yang sangat strategis. Jagung merupakan salah satu komoditas pangan sebagai sumber karbohidrat yang sangat berperan dalam menunjang ketahanan pangan. Pasar jagung merupakan salah satu pasar yang sangat kompetitif dan terus berkembang seiring dengan peningkatan permintaan untuk pangan pokok dan untuk minyak nabati. perkembangan produksi jagung dunia selama sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa USA merupakan negara tertinggi dalam memproduksi jagung dunia, kemudian diikuti oleh Brazil dan Argentina. Jagung mempunyai peran yang multifungsi. Penggunaan jagung tidak terbatas hanya untuk kebutuhan pangan, namun yang paling besar untuk bahan baku industri pakan. Penggunaan jagung untuk kebutuhan pakan mencapai 72,48% dari total kebutuhan jagung nasional. Jagung merupakan pakan utama unggas baik untuk ayam petelur maupun ayam pedaging. Dua komoditi ini merupakan komoditi strategis yang menopang ketahanan pangan nasional. Di Indonesia, ayam broiler dan telur merupakan komoditi pangan strategis yang memberikan kontribusi yang besar dalam pemenuhana kebutuhan protein hewani. Analisis pasar jagung dan produk turunannya sangat diperlukan mengingat sering kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk melindungi petani jagung, ternyata justru menyulitkan peternak ayam atau sebaliknya. Ada kepentingan yang bertentangan antara petani jagung dengan peternak ayam, baik ayam pedaging maupun ayam petelur. Petani jagung menghendaki harga jagung yang relatif tinggi agar pendapatannya meningkat, sementara peternak ayam menghendaki harga jagung yang relatif rendah, sehinnga harga pakan ternak murah dan biaya produksinya rendah. Dua kepentingan ini akan dapat dipertemukan bila kedua pasar dianalisis secara terintegrasi. Transmisi harga asimetri kemungkinan ada di pasar jagung dunia. Dengan demikian, tren harga yang terjadi pada jagung dunia mengindikasikan telah terjadi perubahan arah perdagangan yang mengakibatkan adanya perubahan dalam struktur penggunaan jagung, Perkembangan pasar jagung dunia memunculkan indikasi masalah asimetri dalam transmisi harga antara eksportir dan importir dan semakin kompetitifnya persaingan di pasar jagung dunia. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu analisis untuk mengukur keterkaitan harga dan tingkat transmisi harga antara pasar jagung dunia dengan Indonesia dan pasar unggas ayam ras sebagai pengguna jagung untuk input pakan. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis dinamika integrasi pasar dan transmisi harga di pasar jagung dunia (2) Menganalisis transmisi harga jagung eksportir, harga jagung domestik harga pakan, terhadap harga unggas ayam ras di Indonesia (3) Menganalisis transmisi harga jagung dan harga unggas ayam ras di 29 provinsi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data bulanan dengan pendekatan time series untuk tujuan 1 dan data harian untuk tujuan 2 serta pendekatan panel data untuk tujuan 3. Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis data sesuai dengan tujuan yang ingin di capai. Analisis data mencakup model Nonlinear Autoregressive Distributed Lag (NARDL), model Structural VAR (SVAR) dan analisis transmisi harga di industri ayam ras Indonesia menggunakan model Nonlinear Panel ARDL (NPARDL) ... Keyword:broiler, maize export, market integration, egg, NARDL Panel, SVAR, price transmission
Judul: Expression of pathogen responsive genes toward Corynespora cassiicola in rubber plant (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Abstrak:Leaf fall disease caused by Corynespora cassiicola fungus is an important disease in rubber plantation. This research aims to identify and isolates genes or part of genes involved in plant defense response in rubber clones Keyword:
Judul: Exploration of Crassostrea angulata oyster Bioactive Compounds From Batu Karas Estuari Abstrak:Indonesia memiliki potensi budidaya dan pemanfaatan tiram dari berbagai spesies yang cukup besar. Tiram konsumsi dari genus Crassostrea, Saccostrea, dan Ostrea masih diambil dari alam. Salah satu daerah penghasil tiram estuarin yang memiliki nilai ekonomis di wilayah pesisir Selatan Jawa adalah Desa Batu Karas yang terletak di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Bivalvia filter feeder seperti tiram merupakan organisme bentik dan cara hidup organisme tiram yang menetap (immobile/sessil) dapat meningkatkan risiko infeksi patogen, sehingga untuk melawan serangan potensial tersebut, organisme tiram membutuhkan sistem pertahanan efektif. Di antara invertebrata laut, moluska laut merupakan salah satu sumber metabolit bioaktif yang baik. Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu: belum banyak diketahui secara ilmiah karakteristik ekologi tiram estuari Batu Karas Crassostrea angulata; belum diketahui secara ilmiah potensi dan karakteristik senyawa bioaktif tiram estuari Batu Karas C. angulata; belum diketahui hubungan (korelasi) antara kondisi ekologi tiram estuari Batu Karas C. angulata berpengaruh terhadap karakteristik kandungan senyawa aktif tiram estuari C. angulata. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian atau riset ini adalah: mengeksplorasi karakteristik habitat tiram C. angulata di perairan estuari Batu Karas; mengeksplorasi karakteristik senyawa bioaktif tiram estuari Batu Karas Crassostrea angulata; mengkaji korelasi antara bioekologi dan kandungan senyawa bioaktif tiram estuari Batu Karas C. angulata. Hipotesis penelitian yang dapat diambil berdasarkan tujuan adalah: Ekologi habitat tiram estuari Batu Karas Crassostrea angulata. memengaruhi karakteristik kandungan senyawa bioaktif yang terkandung. Novelty atau kebaruan dari penelitian desertasi ini adalah riset yang berhubungan dengan tiram estuari Indonesia dari pesisir selatan Pulau Jawa, yaitu: Karakteristik senyawa biosktif tiram estuari Batu Karas C. angulata; Korelasi antara bioekologi dan karakteristik kandungan senyawa aktif tiram estuari Batu Karas C. angulata, Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap studi bioekologi, karakterisasi senyawa biokimia dan ekstrak aktif tiram, dan uji aktivitas senyawa bioaktif sebagai antibakteri. Penelitian tahap studi bioekologi meliputi pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan yaitu salinitas, suhu, DO, pH, kedalaman dan lebar sungai, serta kelimpahan dan morfometrik tiram. Penentuan stasiun sampling yang dilakukan terdiri dari tiga stasiun sampling. Analisis terhadap karakteristik kandungan komponen biokimia dilakukan dengan uji proksimat untuk mengetahui komposisi komponen biokimia tiram portugis ini. Analisis terhadap karakteristik ekstrak kasar tiram dilakukan dengan uji fitokimia kualitatif untuk mengetahui macam-macam golongan senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak kasar tiram. Analisis bioaktivitas yang diuji dilakukan terhadap potensi antibakteri komponen bioaktif ekstrak kasar tiram menggunakan metode Kirby-Bauer (difusi paper disc) terhadap bakteri S. aureus (Gram positif) dan E. coli (Gram negatif). Estuari Sungai Panireuman Batu Karas memiliki perbedaan tingkat salinitas yang memengaruhi jumlah populasi dan morfometrik tiram estuari Crassostrea angulata. Jumlah populasi dan ukuran dimensi morfometrik tiram sangat dipengaruhi oleh salinitas. Semakin jauh dari pantai ke arah hulu (stasiun 1), salinitas semakin turun, populasi semakin kecil, dimensi ukuran morfometrik semakin besar. Semakin dekat dengan laut (stasiun 3), salinitas makin tinggi atau sama dengan salinitas air laut, jumlah populasi makin besar, dan dimensi ukuran morfometrik makin kecil. Salinitas menjadi faktor pembatas pertumbuhan tiram. Hal ini menunjukkan bahwa, fase perkembangbiakan tiram ditentukan oleh salinitas tertentu, yaitu salinitas laut. Tiram estuari Batu Karas memiliki potensi besar sebagai sumber protein, mineral, lemak, dan kalsium. Komposisi kandungan komponen biokimia tiram ini rata-rata dari ketiga stasiun adalah 80.28% air, 4.88% abu, 12.34% protein, 1.44% lipid, 0.42% serat kasar, 0.64% karbohidrat, dan 0.22% kalsium. Ekstrak tiram estuari ini memiliki karakteristik fitokimia kualitatif yang cukup baik, dengan adanya indikasi kandungan senyawa bioaktif yang bervariasi yaitu alkaloid, flavonoid, dan fenol. Hasil analisis biaktivitas antibakteri ekstrak aktif tiram menunjukkan bahwa ekstrak kasar tiram ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 25%, 50%, dan 75%; serta bakteri E. coli pada konsentrasi 75% saja. Kandungan senyawa komponen dalam tiram terkait dengan interaksi kompleks dari kedua parameter biologis dan parameter lingkungan. Korelasi erat antara salinitas di lingkungan perairan memengaruhi metabolisme, dan menghasilkan senyawa komponen yang berbeda. Salinitas air dan pH berpengaruh pada variasi senyawa yang berbeda. Pada salinitas stasiun 3 yang merupakan salinitas tertinggi dari ketiga stasiun dan yang paling dekat dengan laut, mengasilkan kadar abu yang tertinggi yang terkandung dalam tiram bila dibandingkan tiram dari stasiun 1 dan 2. Semakin jauh ke arah hulu seiring dengan menurunnya salinitas, kadar abu yang terkandung dalam tiram juga semakin menurun. Keyword:Crassostrea angulata, metabolit sekunder, morfometrik, salinitas, tiram estuari
Judul: The Utilization of intensive Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei) solid sediment waste for sandfish sea cucumber (Holothuria scabra, Jaeger 1883) cultured. Abstrak:Teripang pasir merupakan salah satu komoditas perikanan penting yang mempunyai nilai ekonomi tinggi baik di pasar domestik maupun internasional. Produksi teripang dunia sebagian besar bersumber dari kegiatan perikanan tangkap. Masifnya perburuan menyebabkan stok populasi teripang di alam semakin turun. Kegiatan budidaya komoditas ini mulai berkembang, ditandai dengan telah berhasilnya produksi benih secara massal di hatchery. Secara teknis, terdapat tiga metode budidaya teripang pasir yang dikembangkan oleh pembudidaya teripang yaitu: metode sea ranching (open system), metode penculture (open system), dan metode budidaya tambak semi-tertutup (semi-closed system). Masalah utama dalam budidaya teripang pasir secara intensif di tambak, yaitu preferensi substrat yang mampu menyediakan lingkungan dengan kapasitas yang lebih baik dan sumber pakan ekonomis yang dapat mendukung siklus produksi teripang pasir. Meningkatnya kapasitas lingkungan budidaya diharapkan dapat mempercepat siklus produksi teripang, sebagaimana untuk mencapai ukuran konsumsi di habitat alami teripang pasir yang umumnya membutuhkan waktu sampai 2 tahun. Di sisi lain, limbah budidaya udang vaname di sebagian besar dunia telah menyebabkan beberapa masalah, baik pada udang itu sendiri seperti munculnya masalah penyakit maupun munculnya masalah pencemaran lingkungan pada perairan umum. Semakin tinggi produktivitas tambak udang berdampak pada semakin banyaknya limbah sedimen yang dihasilkan. Oleh karena pada umumnya udang hanya mampu mengasimilasi energi pakan yang diberikan sebanyak 17%, menyebabkan limbah sedimen tambak udang masih mengandung nutrisi dengan jumlah signifikan. Oleh karena itu, limbah sedimen padat tambak intensif udang vaname masih berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi teripang pasir. Selain dapat meningkatkan produksi teripang, pemanfaatan ini juga sekaligus untuk mencegah polusi nutrien yang dapat ditimbulkan oleh limbah tambak udang. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pemanfaatan limbah sedimen budidaya udang vaname sebagai sumber nutrisi terhadap kinerja produksi teripang pasir, serta mengevaluasi pola reduksi karbon, nitrogen dan fosfor dalam substrat dan kolom air sebagai salah satu hasil dari asimilasi nutrien oleh teripang pasir. Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu: 1) karakterisasi ukuran partikel pasir untuk substrat buatan teripang pasir, 2) evaluasi karakter nutrien limbah sedimen budidaya intensif udang vaname, 3) evaluasi performa produksi dan respons fisologis teripang pasir yang diberi sedimen tambak udang sebagai sumber nutrisi, dan 4) evaluasi reduksi karbon, nitrogen dan fosfor limbah sedimen tambak udang dalam substrat dan kolom air wadah budidaya teripang pasir. Berdasarkan hasil evaluasi ukuran partikel fraksi sedimen yang terdapat pada saluran pencernaan empat kelas ukuran bobot basah teripang, yaitu: 5-20 g; 50-70 g; 100-120 g; dan 200-220 g, dan sedimen habitat alaminya pada penelitian tahap kesatu, diketahui fraksi pasir sedang (0,25–1 mm) dan fraksi pasir halus (<0,25 mm) sebagai ukuran fraksi dominan dalam sedimen saluran pencernaan dan habitat alami teripang pasir. Jumlah kedua fraksi tersebut berkisar 86.83±1.2296,74±0,60%, namun demikian fraksi pasir kasar (<2 mm) dalam saluran pencernaan teripang ditemukan dengan jumlah lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi fraksi kasar yang ditemukan pada habitat alami. Oleh karena itu pasir laut dengan ukuran diameter fraksi <2 mm sebagai ukuran fraksi terbaik untuk dimanfaatkan sebagai substrat buatan teripang pasir sistem budidaya semitertutup. Pada penelitian tahap kedua, diketahui bahwa setiap satu kilogram limbah sedimen (berat basah) yang dilepaskan oleh keempat kelompok umur L. vannamei (32, 46, 92 dan 108 hari) mengandung unsur hara berkisar antara 63,68175,01g karbon organik, 13,33-19,4 g nitrogen, dan 2,7-4,3 g fosfor. Limbah sedimen yang dilepaskan oleh udang vaname dengan masa pemeliharaan mulai 92 hari memiliki karakter terbaik untuk dipanen dan dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi teripang pasir, dengan pertimbangan tidak tercampur dengan partikel tanah dasar dicirikan dengan tekturnya yang halus. Hasil analisis proksimat diketahui sedimen tambak udang ini mengandung 9,01% protein, 1,91% lemak, 9,07 serat kasar dan 34,85% BETN. Penelitian tahap ketiga dilakukan untuk mengevaluasi kinerja produksi dan respons fisologis teripang pasir yang diberikan sedimen tambak udang (STU) sebagai sumber nutrien tunggalnya. Sedimen tambak udang diberikan dengan persentase berbeda dimasukkan ke dalam pasir laut (SP) berukuran fraksi < 2 mm sebagai substrat dasar teripang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teripang pasir yang diberi sedimen tambak udang dengan komposisi 40% sedimen tambak udang dan 60% pasir laut (40STU:60SP) menghasilkan performa produksi terbaik, dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 4,14±0,30%/hari dan kelangsungan hidup 70±10%. Status kesehatan teripang memperlihatkan respons tidak berbeda nyata dengan teripang yang diberi pakan tepung rumput laut jenis sargassum dan lamun, dengan jumlah hemosit 5,30±0,36 sel/mm, aktivitas phenoloxidase 0,30±0,04, aktivitas respiratory burst 0,38±0,05 dan kadar glukosa cairan coelomic yaitu 69,9 mg/L. Selanjutnya pada penelitian tahap empat dilakukan evaluasi pola reduksi nutrien dalam substrat dan kolom air kaitanya dengan asimilasi nutrien limbah sedimen tambak oleh teripang pasir. Hasil penelitian menunjukkan teripang pasir memiliki kapasitas yang besar dalam menurunkan karbon-organik, nitrogen dan fosfor dalam substrat dan kolom air akibat akumulasi limbah sedimen budidaya udang vaname. Setiap satu kilogram teripang mampu mereduksi 12,65-12,73 g nitrogen/hari dan 2,57-2,60 g fosfor/hari, yang terkandung dalam substratnya. Konsentrasi TOM, TOC, NH-N, NO2, dan PO43--P air pada kelima perlakuan menurun signifikan selama periodepenelitian (Uji repeated measures ANOVA dan uji Friedman, p<0.05), mengindikasikan aktivitas bioturbasi teripang di sedimen mendorong pengurangan jumlah nutrien dalam air. Jumlah penurunan konsentrasi TOM yaitu 17,00-49,83 mg/L, TOC: 19,91-25,39 mg/L, amonia: 0,54-0,76 mg/L, nitrit: 0,020,20 mg/L, dan ortofosfat: 0,12-1,30 mg/L. Sementara itu, efisiensi asimilasi teripang pasir terhadap bahan organik dan bakteri sedimen tambak udang, masingmasing sebesar 53,20±13,23% dan 41,76±2,08%. Hasil dari keempat tahap penelitian dapat disimpulkan bahwa limbah sedimen budidaya intensif udang vaname dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi teripang pasir, pemberian dengan komposisi 40% sedimen tambak udang dan 60% pasir laut (40STU:60SP) menghasilkan kinerja produksi terbaik dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 4,14±0,30% dan kelangsungan hidup 70±10%. Pada pemanfaatan ini juga membuktikan bahwa teripang pasir memiliki kapasitas yang besar mereduksi karbon-organik, nitrogen dan fosfor limbah sedimen tambak udang, masing-masing sebesar 73,32-81,33%, 97,61-98,21% dan 98,93-99,21%. Keyword:Holothuria scabra, Litopenaeus vannamei, performa produksi, reduksi CNP, sumber nutrien
Judul: Methodologies for Maintaining and Comparing Designs in a Cooperative Design Environment Abstrak:This thesis examinedl the problem of how to support several designers working on one or more project s so that they can pool their design ideas and produce improved designs from wmparing and integrating various designs. The core of the syetem is a design repitory based on the triangle madel, which stores the designs and computes the differences hetween them. The designs are rep resented as sets of features and a language (FBSM) is provided to describe them. Meta-features can be defined so that designs can be viewed at different levels of abstraction and formed into groups. Keyword:
Judul: The effectiveness of arbuscular mycorrhizal fungus to increase yield and adaptation of chili ( capsicum annuum L.) in ultisol with aluminum stress. Abstrak:The objectives of the research were: to identify genotypes of chili tolerant and sensitive to Aluminium (Al) by root secreening test, and agronomical-characters screening test, to obtain compatible, effective and efficient species of Arbuscular againts Al-stress in Ultisol, and to explain adaptation and tolerance-mechanisms of chili inoculated with AMF to Al stress in Ultisol. Keyword:root screening test, agronomical character screening test, glomus manihotis, glomus etinucatum, West Java
Judul: Inokulasi fungi mikoriza arbuskula untuk meningkatkan produktivitas dan mutu benih cabai (Capsicum annuum L.) serta efisiensi penggunaan pupuk P Abstrak:Pepper production has not been achieving optimal results although demands are increasing. The low production of pepper is partly because the use of seed that has not qualified in quantity and quality. Besides that, pepper is cultivated on the marginal soil such as Ultisol. Nutrient availability, such as P, within the marginal soil is very limited whereas there is high fixations of P. Phosporus provide the important role to increase the quality and production of the seeds. One of the efforts to boost the availability and to make the using of P efficient is inoculating Arbuscular Mycorrhizal Fungus (AMF). This research is aimed to isolate indigenous AMF from hot pepper plant rhizosphere, effective AMF selection, and to examine AMF effectiveness in enhancing production and quality of pepper seeds while the use of fertilizer whether or not efficient was then observed. Research conducted contains of four experiments which each experiment links to another. Those are: [1] Isolation, characterization and purification of AMF for three places of hot pepper plantation; [2] Selection of AMF effective in increasing the growth of hot pepper; [3] Examination of AMF effectiveness in boosting up the production and quality of pepper seeds and using efficiency of P fertilizer, [4] Plant response to inoculation inoculum of indigenous mixed AMF and AMF Mycofer. The experiment was conducted in the laboratory and greenhouse Silviculture, Faculty of Forestry IPB, Forests and Environmental Biotech Laboratory, Research Centre for Biological Resources and Biotechnology IPB, and the PPPPTK Pertanian greenhouse. The soil samples were observed coming from the three planting sites rhizosphere hot pepper. Selections are made to the effective AMF isolates from single spore culture results and AMF Mycofer from laboratory Biotech Forest and Environment, Research Centre for Biological Resources and Biotechnology IPB. Testing the effectiveness of using the design plots are divided (split-split plot) in a Randomized design pattern, with three factors and three replications. The main plot is hot pepper cultivar: Laris type from Panah Merah and Tegar from Surabumi. The sub plot is the inoculant arbuscular mycorrhizae which are uninoculated and inoculated of Mycofer AMF 100 spores per seedling. The sub-sub plot are some level of P205 dose: without fertilizer P and with 100 kg/ha of P2O5, 125 kg/ha P2O5, 150 kg P2O5. Experiment of plant response to inoculation of indigenous mixed AMF and Mycfer AMF was arranged in split plot design, the main plot: hot pepper cultivar. The sub plot is the inoculant arbuscular mycorrhiza: uninoculated, inoculated of Mycofer AMF 100 spores per seedling, and inoculated of indigenous mixed AMF. The results showed that the pepper rhizosphere is found in three genus nine species spores i.e. two species of Glomus, three species of Gigaspora and four species of Acaulospora. Based on a single spore culture, it was found that only three species that can grow and develop properly; one species of Glomus spores (Glomus sp-1), one species of Gigaspora (Gigaspora sp-1) and one species of Acaulospora (Acaulospora sp-3). The three species of these spores are propagated for experimental material II. In AMF effective selection, spores of Mycofer showed better results than the three indigenous species whereas AMF Mycofer was able to infect the roots of 87.4%. The effectiveness testing showed that iuit weight, and seed weight per plant on Laris by 2.7%, 30.4%, 8.4%, while on Tegar 35.8%, 16.6%, 23%. Inoculation of AMF improved the effectiveness of P fertilizer at all levels. Plants inoculated with AMF and P fertilizer showed better results compared with the P fertilizer without AMF inoculation, and the optimal dose 125 kg/ha on the number of fruits, fruit yield, and seed yield, which were respectively increased by 7.2%, 38.5%, and 14.0%. Improved results were assocated with increasing nutrient uptake and uptake efficiency. Interaction betwen AMF and P fertilization on cv. Laris and cv. Tegar was able to increase nutrient uptake of N, P, and K, in cv. Laris respectively of 57.7%, 155%, 44.3%, while in cv. Tegar respectively by 61.5%, 69.3%, 60.6%. Physiological quality of the harvested seeds (percent of germination, relative speed of germination, index of vigor, and spontaneity of seedling growth) was influenced significantly by P fertilization and inoculation with AMF. Inoculation of AMF and P2O5 fertilization at 100 kg/ha increased spontaneity grew 16.1%. Based on the results of experiments on nearly all parameters, AMF inoculation on P2O5 fertilizer at 100kg/ha, 125 kg/haand 150 kg/ha not significant in influencing the growth, yield and quality of the harvested seeds. Inoculation of AMF and P2O5 ferlilization at 100 kg/ha reduced the use of the SP 36 138.9 kg/ha (equal to 50 kg P2O5). The mixed inoculum of indigenous AMF and Mycofer showed promoting growth and crop production. The both of inoculum is not significantly. Keyword:
Judul: Eksistensi Nikah Siri di Masyarakat dan Posisi Perempuan Abstrak:Nikah siri bukanlah merupakan fenomena baru di Indonesia, namun sudah ada sejak puluhan tahun silam, sebelum ada pencatatan pernikahan maka nikah siri adalah pernikahan yang sah menurut agama dan masyarakat, karena moda sosial ekonomi dan strategi nafkah berubah maka hak civil juga berubah dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh nikah siri terutama bagi perempuan dan anak. Secara umum penelitian ini untuk mengungkap : (1) Tipologi nikah siri yang ada di Desa Warurejo dan aktor-aktor yang terlibat, fungsi manifes dan laten nikah siri pada masyarakat dan aktor-aktor yang menikmati fungsi manifes dan laten nikah siri. (2) Sistem nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat, mengungkap pengaruh struktur terhadap posisi perempuan yang menikah siri, mendiskripsikan pemahaman agama Islam oleh masyarakat dan individu terhadap nikah siri. Pandangan individu, tokoh agama Islam, budaya, sosial dan masyarakat secara umum terhadap nikah siri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) terdapat empat tipologi nikah siri pada masyarakat Warurejo, yaitu: perjodohan antar kerabat, perjodohan oleh orangtua dan broker, menikah siri dengan batuan broker dan menikah siri atas kemauan sendiri. Nikah siri tidak hanya berdampak negatif tetapi memiliki fungsi positif yaitu mampu meningkatkan kehidupan ekonomi individu, jaringan nikah siri, Kyai dan infra struktur masyarakat. Pernikahan siri merupakan mekanisme untuk meringankan beban ekonomi orangtua. Mengawinkan anak dibawah umur walaupun dengan cara siri berarti pula meringankan beban ekonomi keluarga. Anak perempuan yang sudah menikah bukan lagi tanggungjawab orangtua, namun tanggungjawab seorang suami. Struktur berpengaruh terhadap posisi perempuan nikah siri, perempuan yang menikah walaupun siri, lebih dihormati dan dihargai dalam masyarakat daripada perempuan janda atau perawan yang belum menikah walaupun cukup umur. Selain itu, Kyai memiliki kekuasaan untuk menginterpretasikan hukum Islam untuk merasionalisasikan dan melegitimasi nikah siri, daripada melakukan perbuatan yang dilarang agama yaitu berzina dan berdosa. Interpretasi hukum agama disosialisasikan oleh Kyai bahwa sahnya suatu pernikahan dalam hukum Islam ditandai oleh adanya ijab qobul, sedangkan perayaannya merupakan sunnah yang boleh saja tidak dilaksanakan. Karena hukum agama Islam, memperbolehkan seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu, sehingga terbentuk pola berupa aturan-aturan dan norma-norma untuk melegalkan nikah siri. Keyword:Nikah siri actors, nikah siri network, economy, religious norms
Judul: Stabilitas Klorofil Daun Suji (Dracaena angustifolia (Medik.) Roxb) Abstrak:Klorofil, sebagai pigmen alami, memainkan peranan penting terhadap tampilan warna hijau pada tanaman. Warna hijau klorofil sejak lama telah digunakan sebagai bahan pewarna alami. Jenis klorofil yang umumnya ditemukan pada tanaman adalah klorofil a dan klorofil b. Keduanya memiliki polaritas berbeda karena perbedaan gugus fungsi yang terikat pada strukturnya (-CH3 untuk klorofil a dan -CHO untuk klorofil b). Eksplorasi kandungan klorofil dari berbagai tanaman telah dilakukan, termasuk pada Suji (Dracaena angustifolia (Medik.) Roxb.). Suji terkenal sebagai tanaman penghasil bahan pewarna dan tanaman obat. Belum ada laporan ilmiah yang khusus mempelajari karakteristik klorofil pada daun Suji yang menyebabkan daun suji lebih dipilih sebagai bahan pewarna dibandingkan tanaman sumber klorofil lainnya. Produksi pewarna alami dari klorofil daun Suji pada skala rumah tangga dilakukan dengan menggiling daun dan mengekstraknya menggunakan air. Daun yang digunakan harus segar agar menghasilkan ekstrak dengan warna hijau yang baik. Warna hijau yang baik menandakan kandungan klorofil yang tinggi. Meskipun praktik tersebut telah dilakukan sejak lama, namun penelitian yang melaporkan hubungan antara tingkat kesegaran bahan (daun) dan profil klorofilnya selama penyimpanan belum pernah dilakukan sebelumnya. Klorofil Suji, dan tanaman lain, diketahui mudah sekali terdegradasi karena reaksi enzimatik dan non-enzimatik yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pengolahan dengan panas atau kondisi proses pada pH rendah menyebabkan perubahan pada klorofil yaitu kehilangan atom Mg dan membentuk senyawa turunan feofitin. Degradasi klorofil berlangsung cepat dan menyebabkan struktur klorofil berubah menjadi senyawa turunannya yang tidak lagi berwarna hijau. Pengolahan dengan panas pada sayuran menyebabkan perubahan warna hijau karena degradasi klorofil yang bersifat tidak dapat kembali (irreversible). Stabilitas klorofil pada suhu tinggi dengan waktu pemrosesan yang lama dibutuhkan pada skala pengolahan di industri agar proses yang berlangsung mampu mempertahankan warna produk agar tetap menarik. Upaya paling umum yang dilaporkan mampu mempertahankan warna hijau klorofil adalah melalui pembentukan senyawa metalo-klorofil dengan penambahan logam (Cu atau Zn). Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk mengevaluasi stabilitas klorofil daun Suji. Tujuan tersebut dijabarkan menjadi tiga tujuan khusus, yaitu: (1) mengidentifikasi korelasi antara kadar klorofil a, klorofil b, dan rasionya pada tanaman yang menunjukkan keunggulan daun Suji dibandingkan tanaman lain; (2) mengevaluasi profil stabilitas klorofil daun Suji selama penyimpanan segar; dan (3) mengevaluasi pengaruh penambahan Zn2+ sebagai penstabil terhadap stabilitas klorofil pure daun Suji yang mengalami perlakuan pada suhu tinggi selama waktu tertentu. Spektrum absorbansi daun Suji memperlihatkan bahwa pigmen utama pada daun Suji adalah klorofil a, klorofil b, dan β-karoten. Konsentrasi klorofil daun Suji segar adalah 16.06 g/kg (basis kering, bk). Selama penyimpanan, konsentrasi klorofil turun 22.89% dalam tiga hari pertama, kemudian naik hingga mencapai puncaknya pada hari ke-5 dengan kadar 18.56 g/kg (bk), dan setelah itu kadarnya turun kembali. Tampilan ultragraf menunjukkan bahwa struktur kloroplas pada daun Suji mengalami penyusutan karena kehilangan air selama penyimpanan sebelum akhirnya lisis ke dalam cairan sitosol. Peningkatan konsentrasi klorofil bukan disebabkan oleh adanya sintesis namun diduga karena luruhnya tumpukan grana tilakoid dan adanya klorofil yang terkonsentrasi. Kondisi tersebut mempermudah terjadinya ekstraksi klorofil keluar dari jaringan daun saat terjadi kerusakan fisik dan pemberian gaya mekanik, contohnya saat penggilingan menggunakan blender. Perilaku unik klorofil daun Suji tersebut sejalan dengan profil perubahan rendemennya. Namun, profil perubahan yang terjadi berbeda dengan profil klorofil dalam ekstrak daun Suji. Dengan menggunakan metode ekstraksi tradisional, total klorofil yang diperoleh dalam ekstrak daun Suji segar adalah 0.0389 g/kg (bk) dan kadarnya terus turun menjadi 0.0111 g/kg (bk) setelah 7 hari penyimpanan. Evaluasi terhadap stabilitas klorofil daun Suji dengan penambahan Zn2+ sebagai penstabil dilakukan dalam bentuk pure. Parameter uji yang digunakan adalah profil absorbansi, kandungan klorofil, serta nilai warna hijau (a*) dengan sampel berupa pure C (kontrol, pure daun Suji tanpa Zn) dan pure Zn (pure daun Suji dengan Zn2+). Spektrum absorbansi visual menunjukkan terjadinya efek batokromik pada pure C sedangkan pure Zn mengalami kondisi hipsokromik. Penambahan Zn2+ tidak berpengaruh terhadap kandungan klorofil awal karena secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar klorofil pure daun Suji dan kadar klorofil pure daun Suji yang ditambah Zn. Warna daun Suji tetap hijau ketika disimpan pada suhu 30 °C namun warnanya memudar dan hilang dengan cepat pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi. Fenomena unik terjadi pada pure Zn yang disimpan pada suhu 75 °C. Terjadi perubahan hipsokromik, kadar klorofil menurun, dan perubahan nilai a* yang lebih rendah dibandingkan dengan pure Zn yang disimpan pada suhu lebih rendah dan pure C. Temuan pada tahapan penelitian ini mengindikasikan bahwa penambahan Zn2+ tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki stabilitas klorofil pure daun Suji pada kondisi pengolahan atau penyimpanan di suhu-suhu yang lebih tinggi. Degradasi klorofil pure Zn lebih besar daripada pure kontrol jika dilihat dari selisih kadar klorofilnya. Keyword:degradasi, kloroplas, penyimpanan, pewarna, stabilitas termal, warna hijau
Judul: Kapasitas Antioksidan dan Daya Hipokolesterolemik Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) Abstrak:Klorofil dan beberapa turunannya menunjukkan kemampuan antioksidatif secara in vitro dan ex vivo, serta daya hipokolesterolemik secara in vivo. Kedua aktivitas biologis ini berperan penting dalam menekan aterogenesis. Aterosklerosis dipicu oleh kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) yang teroksidasi. Mengingat ketersediaan klorofil di alam sangat besar, maka perlu adanya kajian manfaat klorofil untuk kesehatan, khususnya dalam menekan kejadian aterosklerosis. Dalam penelitian ini digunakan daun suji jenis minor (Pleomele angustifolia N.E. Brown) sebagai sumber klorofil yang sejak dahulu kala telah digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber pewarna hijau alami untuk pangan dan juga untuk beberapa pengobatan tradisional. Klorofil alami bersifat lipofilik (larut lemak) karena keberadaan gugus fitolnya. Hidrolisis dengan asam atau klorofilase terhadap gugus tersebut akan mengubah klorofil menjadi turunannya yang larut air (hidrofilik), antara lain klorofilid dan klorofilin. Pencernaan secara in vitro dan pengujian tingkat penyerapan dengan menggunakan sel Caco2 menunjukkan bahwa penyerapan klorofilin 6-9 kali lebih besar dibanding klorofil alami. Oleh karena itu, konversi klorofil menjadi bentuk yang larut air diharapkan dapat meningkatkan manfaat biologisnya bagi kesehatan. Keyword:Kardiovaskuler, Klorofil, Reaksi oksidasi
Judul: Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa Abstrak:Pendekatan pembangunan yang banyak diterima para ahli adalah pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang berarti bahwa dalam pembangunan diperlukan keikutsertaan rakyat. Keikutsertaan tidak hanya pada tahap merencanakan pembangunan, akan tetapi juga ikut dalam melaksanakan, bahkan sampai pada menilai hasil-hasil pembangunan (Cohen dan Uphoe 1977; Dusseldorp, 1981; Slamet, 1993). Agar rakyat yang berhimpun dalam kelompok-kelompok dapat ikut serta, mereka harus memiliki sejumlah kualifikasi yang diperlukan untuk itu. Keyword:
Judul: Analysis of indonesian wood-based products trade and its impact on potential deforestation in several regions Abstrak:Rendahnya posisi tawar produk berbasis kayu Indonesia di pasar internasional cenderung mendorong te~adinya penebangan hutan secara berlebihan. Tujuan ulama studi ini adalah menganalisis dampak perdagangan produk berbasis kayu Indonesia terhadap deforestasi potensial di beberapa wilayah, suatu isu krusial bagi Indonesia memasuki perdagangan bebas pada tahun 2012. Analisis merlggunakan model sistem persamaan simultan penawaran dan permintaan sektor pembalakan kayu bulat, industri kayu gergajian, kayu lapis dan pulp di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku-Papua, yang kemudian diagregasikan menjadi total Indonesia, dan dikaitkan secara rekursif dengan proses deforestasi potensial. Keyword:
Judul: Analisis penawaran dan permintaan kayu bulat: kebijakan pengaturan bahan baku untuk industry pengolahan kayu primer Abstrak:The role of forestry sector in national economies show a declining trend. This decrease was caused by various factors. One of them is the occurrence of an imbalance between supply and demand for logs in which there is excess demand for primary wood processing industry. Many efforts have been made such as the arrangement of primary wood processing industry and implementation of a log export ban, but has not given encouraging results yet. This research is applying a simultaneous equations model of the Indonesian timber market system that are more detailed than previous studies. On the supply side, the behavioral model of timber supply from various sources (natural forests, plantation forests and community forests) is constructed. Meanwhile, on the demand side, this research constructed demand behavior of sawntimber, plywood, and pulp industries. The model developed is intended to answer questions relating to (1) the factors that influence production of roundwood production and its derivatives, (2) forms of government policies that ensure the sustainability of the forest industry (upstream-downstream), and (3) policies that can reduce the gap of supply and demand of logs. 2SLS method was used for model parameter estimation. The results show that the decision to determine the extent of timber harvesting area in natural forest and plantation forest are influenced by previous cutting experience in addition to the demand by the industrial roundwood, roundwood prices, taxes and levies and wage rates. Roundwood production from natural and plantation forests are influenced by land productivity, while for community forest production is more affected by extensive logging. Level of demand by the industry is affected by the production of primary wood processing industry, the world price of processed wood products, and the price of logs. Efforts to accelerate the decline in the gap can be done through increased productivity of natural forests through the implementation of intensive silviculture. Other efforts that could be implemented are acceleration of development of community’s plantation forests (HTR) in production forests are not burdened with rights, implementation of compensation fee for the people who developing HTR as much as their opportunity cost if they reduce cash crops in HTR area simplify the procedure so that the community can meet the required conditions, granting access to financing credit, encouraging participants to plant perennials HTR; application of multi-system silviculture. Increased production of logs per unit area as described above is expected to increase the contribution of the forestry sector, through increased taxes and charges up to certain limits. Application of the use of efficient wood processing technology, especially in the application of new industrial units, to offset rising production costs, for example increase the wage rate. Keyword:Forestry sector, Multi-system silviculture
Judul: Bivalent vaccine for Motile Aeromonas Septicemia and Streptococcocis in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Abstrak:Etiological agents of common fish diseases are the Gram-negative Aeromonas hydrophila and the Gram-positive Streptococcus agalactiae, both are considered severe fish pathogens on account of their ability to cause damaging disease outbreaks in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). The occurence of co-infections between A. hydrophila and S. agalactiae at Waduk Cirata was about 20% per populations. Clinical signs appeared soon after infection, and include depression or excitability, anorexia, C-shaped body posturing, erratic swimming and whirling, and death. Aeromonas hydrophila and S. agalactiae cultures were not able to inhibit each other and showed negative results from antimicrobial activity, both are succeptible to antibitoics Tetracycline and Chloramphenicol. Nile Tilapia also were clinically examined and necropsied for histopathology, samples were taken from kidney, brain, liver, and spleen. Histopathological lesions were grouped into two characteristic patterns. The first pattern consisted focal lesion and inflammation. The second pattern consisted of multifocal lesion, necrotic, and inflammatory lesions resulting organ deformation. The mortality patterns of Nile Tilapias showed acute and chronic infections to Motile Aeromonas Septicemia, sub-acute infection to Streptococcocis. There was a homeostatic balances on hematological respons during co-infection. Aeromonas hydrophila AHL0905-2 and Streptococcus agalactiae N14G, were used as an inactivated A. hydrophila and S. agalactiae vaccine. Different vaccine preparations and formulations for vaccination of Nile Tilapia species were tried by adding neutral buffered formalin 3% to the bacterial culture (bacterin). The safety of formalin inactivated vaccine is still questionable by some aquaculture practitioners, but the sterility and safety test results of the bivalent vaccine was safe to use through intraperitoneal injection route. An antibody response was detected at the 1st week that rose significantly (p<0.05) at the 3th week post immunization in all the immunized groups. Similarly, there were significant difference (p<0.05) in the humoral immune response between groups immunized with single and mixed bacterial antigens. Upon challenge with single pathogen, a high relative percent survival was recorded in the group immunized with mixed bacterial antigens and was comparable to those fish immunized with the single bacteria. The value of relative per cent survival from bivalent vaccine mixed whole cell+ECP was 100% and 86.2% to single infections and 56.7% to co-infections, indicate that this vaccine was eficient in Nile Tilapia. Keyword:
Judul: Pendapatan dan distribusi pendapatan usahatani padi di berbagai keadaan irigasi Abstrak:Faktor modal justru memberikan kontribusi paling besar terhadap produksi ataupun pendapatan dalam M.K 1974. Semakin baik keadaan jaringan irigasi dengan disertai semakin baik jaminan/tersedianya air irigasi, maka produksi akan meningkat dan pendapatan juga akan meningkat. tetapi semakin baik keadaan air irigasi ma- ka distribusi pendapatan semakin tidak merata. Investasi untuk perbaikan jaringan irigasi disatu pihak akan meningkatkan pendapatan petani tetapi dipihak lain akan menambah atau memperbesar ketidak merataan (income in equity) bagi petani. Dari hasil analisa ini dapat dibuktikan hipotesa bahwa ketidak merataan faktor produksi yang memberikan kontribusi paling besar terhadap produksi ataupun pendapatan, maka akan menyebabkan distribusi produksi atau pendapatan juga tidak merata. Disarankan agar dapat ditingkatkan intensitas per- tanaman (cropping intensity) terutama pada M.H. 1973/ 1974 untuk lebih meningkatkan pendapatan: Disamping itu pula hendaknya mulai dirintis dan dilaksanakan bagi undang-undang yang belum ada dan yang sudah ada, yang mengatur masalah penguasaan tanah. Keyword:Faktor modal, Pendapatan petani, Intensitas pertanaman, Cropping intesity
Judul: Peranan Harga Air Bagi Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Petani di Daerah Irigasi Jatiluhur. Abstrak:Kekurangan air merupakan masalah yang sudah lama ada di Jawa, namun kondisinya semakin buruk dari waktu ke waktu. Masalahnya bukan hanya karena kerusakan sumber daya alam, tetapi juga karena permintaan akan air yang terus meningkat. Studi ini merupakan upaya untuk menggunakan kebijakan retribusi air untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air dan alokasi antar-sektor yang tampaknya telah diabaikan oleh pemerintah dengan menerapkan kebijakan tarif ganda (dual charge) air. Dengan kebijakan ini pemerintah menyediakan air irigasi untuk pertanian padi dengan biaya air hampir tidak ada, sementara pasokan air untuk industri dan sektor perkotaan lainnya tampaknya dibebankan dengan biaya mahal. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kontribusi ekonomi air irigasi yang ditunjukkan dengan Iuran Pengelolaan irigasi (IPI) dan kemauan petani untuk membayar air irigasi yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor serta peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi melalui penentuan harga air serta implikasinya terhadap pendapatan petani. Penelitian survey dilakukan di Daerah Irigasi Jatiluhur Jawa Barat dengan luas total 223.090 hektar terhadap 471 petani dengan teknik simple random sampling secara proporsional pada musim tanam 2016/2017. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah cross section berdasarkan hasil survei melalui data primer dan data sekunder dari studi pustaka dan Badan/Dinas terkait dengan penelitian. Metode analisis (1) Residual Imputation Approach (RIA), (2) analisis regresi logit, analisis regresi linier sederhana dan berganda, (3) Estimasi nilai WTP dan nilai IPI dengan CVM- DC,(4) produktivitas air tanaman, dan (5) linier programing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IPI yang diberikan petani padi hanya sekitar 2.5% dari kontribusi ekonomi air irigasi terhadap nilai produksi padi, padahal kegiatan usahatani padi berlangsung selama empat bulan dan sangat menguntungkan per hektarnya, pada musim rendeng sebesar Rp 4,638,907 (18.57%) dan musim gadu Rp 5,709,744 (20.52%). Tingkat pengembalian (IRR) lebih dari 4.5% per bulan. IRR ini jauh di atas suku bunga bulanan setoran bank, saat ini hanya kurang dari 2% per bulan. Rata-rata petani setempat membayar IPI masing-masing sekitar Rp 108,558 dan Rp 112,654 per ha, untuk musim rendeng dan gadu. Secara rill, IPI belum maksimal terkumpul per musim tanam berada pada kisaran 30%-50%, sedangkan WTP petani untuk air irigasi 68.15% petani bersedia dan 31.85% tidak bersedia membayar air irigasi. Dari sembilan faktor yang signifikan mempengaruhi WTP petani adalah luas lahan garapan, pelayanan irigasi, pengetahuan petani tentang IPI, pendapatan petani, pendapatan petani jarak lokasi lahan usahatani ke sumber air terdekat dan usia petani. ... Keyword:
Judul: Mixed effect models for high –dimensional longitudinal data with latent variables Abstrak:A set of data that consist of repeated measurements on a large number of outcomes and covariates are known as high-dimensional longitudinal data. The high-dimensional longitudinal data may consist of several effects of interest that cannot be directly measured, known as latent factors or latent variables. During the last decade, the multivariate responses or high-dimensional in longitudinal data have been a big issue. The analysis of high-dimensional longitudinal data is complicated due to its complex correlation structures between outcomes. To understand changes over time of outcome variables, having correlations in individuals with explanatory variables is not enough. Hence, complex correlation structures between outcomes need to be considered. One approach that is commonly used to overcome high-dimensional longitudinal data is simultaneous equation modeling. A well-known simultaneous equation modeling method is the structural equation model (SEM). This approach has several appealing modeling abilities and can be used for high-dimensional longitudinal data. Under the SEM framework, the continuous time SEM is developed to avoid some issues associated with autoregressive and cross-lagged problems in SEM. Another simultaneous equation modeling method is by combining factor analysis and multivariate analysis methods to overcome high dimensional longitudinal data, namely latent factor linear mixed model (LFLMM). The factor analysis is used to reduce the high-dimensional outcomes, and the multivariate linear mixed model is used to study the longitudinal trends of several latent factors. One example of high-dimensional longitudinal data is the General Election Study. This study is carried out repeatedly to observe tendencies towards political attitudes and behavior over time in Belgium. The data contain political information, knowledge, perceptions, and preferences of a political party and the level of participation in politics. One of the most interesting things to study from the data is to analyze the change of political attitudes and behavior of respondents over time. Also, the relationship of changes in these outcomes is important to analyze. The General Election Study in Belgium was designed to include a representative sample of the target population under the Belgian electorate, so accurate estimates about the population could be made. This sampling design was created by the Institute for Social and Political Opinion (ISPO) and the Inter-university Center for Political Opinion Research (PIOP). The Belgian data set contained three subsamples, the Flemish (Dutch-speaking), the Walloon (French-speaking), and the Brussels Capital Region (Dutch and French-speaking). Several studies conducted on the Belgium data are carried out to understand the relationships between the latent variables Individualism (I), Ethnocentrism (E), and Authoritarianism (A) in Flanders. Cross-sectional or a longitudinal studies have also been carried out. In such cases, it is critical to capture the trend of the latent variables over time and, more importantly, whether there is any association or relationships between the development of nationalism (N), ethnocentrism (E), individualism (I), and authoritarianism (A) in Belgium. An empirical analysis of CT-SEM has been done to present the interdependencies among the four latent variables mentioned above on the basis of the General Election Studies for Belgium in 1991, 1995, and 1999 (Interuniversitair steunpunt politieke-opinieonderzoek, 1991, 1995, 1999). Although the four variables have been the subject of several studies in Flanders, a longitudinal analysis of all four concepts using CT analysis and their relationships has not been performed. Reciprocal effects between A and E and between E and I as well as a unidirectional effect from A on I were found in the CT-SEM analysis. The finding also revealed relatively small but significant, effects from both I and E on N, but no effect from A on N or from N on any of the other variables. Similar to the CT-SEM method, the latent factor linear mixed model (LFLMM) is also a common method used to analyze the change in highdimensional longitudinal data. Analysis of change from several previously mentioned latent variables I, N, E, and A in Flanders, Belgium, is interesting as Belgium is feared to fall apart as a nation. Two stages of modeling have been carried out. The first stage involved modeling Individualism (I), Nationalism (N), and Ethnocentrism (E), and in the next step, Authoritarianism (A) was added to the model. The results showed that I, N, and A increased over time while E decreased over time. The correlation of random effects in LFLMM has geared several exciting findings, including positive correlations between E and A; I and E; and I and A. Apart from advantages of the LFLMM method, disadvantages related to assumptions and performance of the EM algorithm used to estimate the model parameters were identified. One disadvantage is that the EM algorithm cannot automatically produce the calculation of standard errors. This dissertation extended the EM algorithm called the Supplemented EM algorithm and used a simulation study to investigate the computational aspects of the algorithm in the latent factor linear mixed model (LFLMM) to produce the standard errors of the estimator of fixed variables. We also calculate the variance matrix of beta using the second moment as a benchmark to compare with the asymptotic variance matrix of beta of Supplemented EM. Both the second moment and Supplemented EM produce symmetrical results, the variance estimates of beta are getting smaller when number of subjects in the simulation increases. The algorithm was implemented to analyze the data on political attitudes and behavior in Flanders-Belgium. This algorithm was also implemented on Belgian data involving cohorts from Flanders and Wallonia. It was found that all latent are positively correlated over time as indicated by the correlation matrix of random effects. Keyword:Belgium, CT-SEM, high-dimensional longitudinal data, LFLMM, Supplemented EM Algorithm
Judul: Corporate Entrepreneurship untuk Meningkatkan Kinerja Perusahaan Distributor Pelumas Abstrak:Pertumbuhan bisnis pelumas di Indonesia meningkat setiap tahun sesuai dengan pertumbuhan sektor industri manufaktur dan sektor otomotif. Tantangan terbesar distributor pelumas adalah sulitnya meningkatkan kinerja perusahaan dikarenakan kondisi persaingan yang cukup tinggi dan tuntutan besar dari pelanggan berupa ketersediaan barang dengan harga yang murah serta target pembelian principal yang besar. Tujuan dari penelitian adalah untuk : (1) menganalisis kondisi saat ini corporate entrepreneurship, entrepreneurial orientation, entrepreneurial leadership dan kinerja perusahaan distributor pelumas; (2) menganalisis pengaruh hubungan langsung antara corporate entrepreneurship, entrepreneurial orientation, entrepreneurial leadership terhadap kinerja perusahaan; (3) menganalisis pengaruh hubungan tidak langsung antara entrepreneurial orientation dan entrepreneurial leadership melalui corporate entrepreneurship terhadap kinerja perusahaan, (4) merekomendasikan alternatif strategi corporate entrepreneurship dalam hubungannya dengan entrepreneurial orientation dan entrepreneurial leadership dalam meningkatkan kinerja perusahaan, (5) merancang model corporate entrepreneurship, entrepreneurial orientation, entrepreneurial leadership dan kinerja yang bisa diterapkan dalam perusahaan distributor pelumas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dalam menganalisis kondisi dan hubungan antara corporate entrepreneurship, entrepreneurial orientation, entrepreneurial leadership terhadap kinerja perusahaan. Teknik pengolahan data kuantitatif menggunakan metode Structural Equation Modeling (SEM). Metode selanjutnya adalah kualitatif dalam menentukan strategi corporate entrepreneurship, entrepreneurial orientation dan entrepreneurial leadership yang tepat untuk distributor pelumas. Tenik pengolahan yang digunakan untuk penentuan strategi tersebut adalah Analytical Hyerarchy Process (AHP). Jumlah responden untuk kuesioner dalam penelitian ini ada sejumlah 305 responden dan untuk pakar dalam focus group discussion (FGD) yang merangkap pakar untuk AHP ada sejumlah sepuluh pakar. Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan Juli 2021. Hasil penelitian menunjukkan bahwa corporate entrepreneurship dan entrepreneurial leadership berpengaruh positif terhadap kinerja distributor pelumas. Sedangkan entrepreneurial orientation tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja perusahaan. Namun hubungan secara tidak langsung antara entrepreneurial orientation dan entrepreneurial leadership berpengaruh positip melalui corporate entrepreneurship. Alternatif strategi corporate entrepreneurship yang tepat untuk distributor pelumas adalah : (1) perencanaan strategi perusahaan, (2) pembuatan program insetif yang menarik untuk tim sales, (3) keberanian untuk pengambilan risiko, (4) dukungan terhadap karyawan dari manajemen, (5) memberikan kesempatan untuk keberhasilan karyawan, (6) sikap proaktif dalam menyikapi persaingan. Keyword:analytical hyerarchy process, bisnis pelumas, corporate entrepreneurship, entrepreneurial leadership, entrepreneurial orientation, performance, structural equation modeling
Judul: Model Kinerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah Menggunakan Pendekatan Dynamic Capability Abstrak:Usaha kecil Mikro dan Menengah merupakan fondasi ekonomi yang memberikan kontribusi lebih dari 50% GDP pada berbagai negara. Namun pada kenyataannya banyak UMKM yang sulit berkembang bahkan tidak mampu bertahan pada lingkungan bisnis yang dinamis. Faktor utama yang membentuk kinerja adalah kemampuan dinamis dengan social capital serta entrepreneur orientation sebagai anteseden dari dynamic capability. Tujuan dari penelitian ini, yaitu : menganalisis model kinerja UMKM dengan menggunakan pendekatan teori dynamic capability, menganalisis pengaruh variabel dynamic capability, entrepreneur orientation dan social capital terhadap kinerja UMKM, menganalisis pengaruh dimensi innovativeness, proactiveness, risk taking, trust, dan network sebagai antisedan marketing capability, adaptive capability, dan absorptive capability terhadap kinerja UMKM, serta merumuskan alternatif strategi dalam peningkatan UMKM. Penelitian ini memberikan kebaruan dalam memberikan kontribusi ilmu pengetahuan berupa menghasilkan model kinerja UMKM berdasarkan pendekatan teori dynamic capability dan dipengaruhi oleh social capital, entrepreneur orientation, menghasilkan model kinerja yang terintegrasi secara empiris dengan dimensi innovativeness, proactiveness, risk taking, trust, dan network sebagai antisedan marketing capability, adaptive capability, dan absorptive capability terhadap kinerja UMKM, serta menghasilkan faktor kunci yang dapat membentuk kinerja UMKM.. Penelitian ini merupakan penelitian multi metode dengan melakukan analisis SEM dalam untuk mengetahui model kinerja UMKM pada level main construct serta dimensi (sub construct) dan AHP untuk mendapatkan alternatif strategi kinerja UMKM. Jumlah responden penelitian pada analisis SEM adalah 333 responden yang tersebar di 6 provinsi yaitu: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Sedangkan jumlah responden AHP dalam merumuskan alternatif strategi peningkatan UMKM adalah 5 pakar yaitu Kepala dinas koperasi dan UMKM, E-commerce, ketua komunitas UMKM, perbankan yang menangani kredit UMKM dan pelaku UMKM. Hasil penelitian melalui analisis SEM menunjukan bahwa terbukti bahwa dynamic capability merupakan faktor utama pembentuk kinerja dengan entrepreneur orientation dan social capital merupakan antiseden dari dynamic capability. Pada pendekatan teori social capital : network dengan indikator dominan adanya mitra yang memberikan kekuatan tambahan pengetahuan bisnis, berpengaruh dalam menciptakan kemampuan penyerapan dan trust dengan indikator dominan kepercayaan untuk mendukung peningkatan kinerja terbukti berpengaruh pada pembentukan kemampuan pemasaran. Berdasarkan pendekatan teori entrepreneur orientation : innovativeness secara signifikan memberikan pengaruh positif kepada semua dimensi dynamic capability (marketing capability, absorptive capability, adaptive capability) dan proactiveness berpengaruh signifikan secara negatif pada pembentukan marketing capability. Pada pendekatan dynamic capability menuju kinerja, diperoleh hasil marketing capability dan adaptation capability yang berpengaruh terhadap kinerja UMKM. Dari hasil modeling SEM level dimensi tersebut, selanjutnya dilakukan penelitian lanjutan untuk merumuskan strategi peningkatan kinerja UMKM. Hasil dari analisis AHP diperoleh faktor utama yang harus diperhitungkan dalam pembentukan kinerja UMKM adalah faktor innovativeness, dengan aktor adalah pelaku UMKM dan strategi alternatif prioritas utama adalah penguatan karakter pelaku UMKM dalam mencoba hal baru dan secara aktif melalui pendampingan one on one. Implikasi manajerial dari penelitian ini, yaitu : dynamic capability terbukti secara empiris dapat menjadi faktor utama dalam pembentukan kinerja, sehingga penting bagi pelaku UMKM dan juga stakeholder agar lebih memperhatikan faktor dynamic capability. Social capital dan entrepreneur orientation merupakan faktor yang mempengaruhi dynamic capability, sehingga dengan memiliki social capital dan entrepreneur orientation yang baik akan mempengaruhi dynamic capability. Hal ini dapat dijadikan acuan bagaimana stakeholder dan pelaku UMKM meningkatkan social capital dan entrepreneur orientation dalam program kerjanya. Innovativeness terbukti merupakan dimensi yang mempengaruhi variabel dimensi marketing capability, adaptation capability,dan absorptive capability sehingga penting bagi pemerintah untuk membuat program kerja yang mendukung innovativeness demi terciptanya dynamic capability. Marketing capability dan adaptive capability merupakan dimensi yang mempengaruhi kinerja, sehingga pelaku UMKM dan stakeholder dapat lebih fokus kepada dimensi ini. Keyword:Dynamic Capability, Entrepreneur Orientation, Social Capital
Judul: Peran burung air liar dalam penyebaran virus avian influenza subtipe H5N1 di Cagar Alam Pulau Dua Abstrak:Waterfowls such as ducks, muscovy, and swans are natural reservoir of influenza virus subtype H5N1. In natural reservoir, the AI virus is Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Instead of domestic waterfowls, wild waterbird species could also have a role in spreading AI subtype H5N1 virus. So far LPAI have been isolated from 105 species of wild birds, most of them were from Anseriformes and Charadiiformes order. Presumption that wild birds and migratory birds have a role in spreading AI virus, has not been proven until now because the intensive research has not been done. The mortality rate of wild waterbirds that reported in several countries, had not clearly explained the cause of death. The objectives of this research were (1) to estimate the seroprevalence of AI virus subtype H5N1 from residence wild waterbirds, in Pulau Dua Nature Reverse; (2) to identify the Mx gene as resistant anti viral gene from AI virus in wild waterbirds; (3) to identify the presence of AI virus subtype H5N1 on residence waterbirds in Pulau Dua Nature Reverse, also to observe the potential of wild waterbirds as reservoir for spreading AI virus subtype H5N1 The serological test to detect the presence of antibody antiviral AI virus subtype H5N1 was used to determine the exposure of AI virus subtype H5N1 among wild waterbirds in CAPD. Since antibody is the substance that appear in individual exposed when they are exposed by the strange antigen. The serosurveillans from wild waterbirds in CPAD had been done in 2008, 2010 and 2011. Serological test by Haemagglutinin-inhibition (HI) showed that six from nine species of residence wild waterbirds in CPAD produced antibody AI virus H5N1. It is explain that that those species were exposed by AI virus subtype H5N1 with low antibody titer. The low antibody titer can be caused by several factors such as AI virus exposure occurring indirectly, there was a small number of virus that exposure to wild waterbirds, the exposure time was very short, and the virus was low pathogenic. Indirect transmission occurred through the water as the source of drinking water for wild and domestic waterbirds, through saliva and nasal secretions and feces. Water as a media for transmission virus where there were interactions between wild waterbirds, waterfowls and domestic birds. Mx protein as part of dynamin super family (GTP ase) is a part of the innate immune system. Mx proteins were known to have the ability to inhibit the replication of various viruses. Mx protein coded by Mx genes that specifically anti-viral influenza in several animals. Mx gene was the one of the several genes that regulated myxovirus resistance. DNA of eight wild waterbirds species and three domestic birds (chicken, duck and Muscovy) around CAPD were examined by PCR using NE-F2 and NER2/ R primer obtaining PCR product with a length of 100 bp band. It indicated that most birds could have 100 bp band. These results explained that the Mx gene in residence wild waterbirds from CAPD could be the same as in the chicken, muscovy and duck. The results of PCR-RFLP in wild waterbirds and domestic waterfowls using the restriction enzyme RsaI showed band in 73 bp length (only have GG genotype). It informed that there was no polymorphism because all fragments display only one band (73bp ) in wild waterbirds and domestic waterfowls (muscovy and duck) around CAPD showed. In chickens, the 73 bp fragment (GG genotype) showed low antivirus activity because it has sensitive Mx gene (allele Mx-) and responsive to AI virus subtype H5N1 attack. This is not happened to ducks, muscovy, and wild waterbirds, although they have only one band (Mx- alleles). It was not caused death or clinical symptoms by the exposure of AI virus subtype H5N1. The virus identification by RT-PCR with primer used in identification of HA subtypes H5. Forward primers was H5 Kha-1 and reverse H5 Kha-3primer pair. The identification results of HA subtypes H5 in residence wild waterbirds in CAPD showed that the H5 subtype was not detected in these wild waterbirds. This was showed by the absence of positive bands that indicate the presence of the AI virus subtypes H5 in wild waterbirds. The absence of AI virus subtype H5N1 in nine species of residence wild waterbirds including Ciconiformes and Pelecaniformes order showed that these birds do not have the potential as a reservoir for AI virus subtype H5N1. It gives the information that birds are not a suitable host for the cultured AI virus subtype H5N1, so that there were no viral shedding into the environment from residence wild waterbirds. Keyword:
Judul: NON-THERMAL STERILIZATION OF COCONUT WATER BY OZONATION TECHNIQUE Abstrak:Dalam rangka menjamin keamanan produk dan meningkatkan umur simpan, umumnya, produk komersial air kelapa diolah dengan steril komersial dengan standar inaktivasi 12D spora Clostridium botulinum. Dalam validasi proses tersebut, Clostridium sporogenes lazim digunakan sebagai pengganti (surrogate) untuk C. botulinum mengingat C. botulinum adalah patogen yang sangat berbahaya. Proses tersebut berdampak terhadap penurunan konsentrasi senyawa bioaktif air kelapa, utamanya adalah komponen fenol dan flavonoid. Untuk itu, aplikasi pengolahan non-termal berpotensi untuk diaplikasikan dalam mempertahankan mutu dan zat gizi pada air kelapa disamping keamanannya. Inaktivasi spora bakteri oleh proses non-termal telah lama dilakukan. Komposisi kimia air kelapa yang didominasi oleh air membuat teknik ozonasi menjadi sangat sesuai untuk dipilih sebagai alternatif pengolahan non-termal air kelapa yang efisien. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa teknik ozonasi mampu menginaktivasi spora bakteri. Ozon adalah senyawa oksidator yang kuat yang dapat menginaktivasi bakteri tetapi juga berpotensi mendegradasi komponen fenol dan flavonoid. Penurunan total fenol dan flavonoid yang signifikan akan memberikan dampak penurunan aktivitas antioksidan pada produk tersebut. Hal ini tentu menjadi kerugian bagi produk yang dominan mengandung kedua senyawa bioaktif tersebut. Sejalan dengan kebutuhan proses ozonasi untuk menginaktivasi mikroba, dampak proses ozonasi terhadap degradasi komponen fenol dan flavonoid perlu dievaluasi. Untuk itu, kinetika inaktivasi C. sporogenes, degradasi komponen fenol dan komponen flavonoid, serta sensitivitasnya terhadap perubahan konsentrasi ozon terlarut yang diterima produk perlu diketahui. Data tersebut akan memberikan informasi mengenai batasan proses ozonasi yang direkomendasikan untuk inaktivasi mikroba secara maksimal serta meminimalkan degradasi fenol dan flavonoid dalam proses sterilisasi non-termal menggunakan teknik ozonasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendesain optimasi proses ozonasi pada pengawetan air kelapa berdasarkan potensi aplikasi data-data kinetika inaktivasi bakteri dan dampaknya terhadap kandungan senyawa bioaktif. Pengujian diawali dengan karakterisasi mesin Double Dielectric Barrier Discharge untuk mengetahui konsentrasi ozon terlarut saat mencapai fase saturasi. Kinetika inaktivasi spora C. sporogenes ATCC 19404, degradasi fenol dan flavonoid dilakukan pada 4 konsentrasi ozon terlarut yang berbeda dengan selang interval 15 menit untuk bakteri dan 10 menit untuk fenol/flavonoid. Desain proses dilakukan dengan mengintegrasikan nilai D dan Z dari hasil pengujian kinetika. Verifikasi dilakukan pada target kesetaraan inaktivasi 12D spora C. botulinum. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa air kelapa mengandung sejumlah komponen mineral seperti kalium, kalsium, magnesium, besi, seng, natrium, tembaga, yang larut dalam air sehingga mampu menyeimbangkan tekanan osmotik pada cairan tubuh. Selain fungsi hidrasi ini, air kelapa juga mengandung senyawa bioaktif yang berperan sebagai antioksidan, yaitu fenol dan flavonoid. Beberapa teknologi pengawetan telah diupayakan untuk preservasi air kelapa, dan plasma ozon merupakan teknologi non-termal yang berpotensi untuk mengawetkan air kelapa pada level sterilisasi komersial. Data-data kinetika pada proses ozonasi dapat diaplikasikan untuk mendesain sebuah optimasi proses ozonasi air kelapa untuk menginaktivasi bakteri yang disertai dengan minimalisasi degradasi komponen fenol dan flavonoid. Simulasi aplikasi data-data kinetika dengan proses termal telah berhasil mendesain sebuah optimasi proses pengolahan air kelapa. Bagian-bagian pada proses termal berpotensi diadopsi untuk proses ozonasi. ... Keyword:coconut water, Clostridium sporogenes, flavonoid, ozone, phenol
Judul: Keragaman Genetik dan Induksi Senyawa Metabolit Tanaman Kelor (Moringa oleifera Lam.) melalui Perlakuan Kekeringan Abstrak:Tanaman kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan salah satu tanaman yang memiliki kandungan gizi dan senyawa bioaktif yang cukup tinggi dan telah diketahui memiliki sifat farmakologis. Berbagai produk berbahan dasar kelor mulai banyak berkembang di masyarakat terutama di luar negeri, antara lain tepung daun kelor, teh kelor, ekstrak daun kelor, kosmetik, dan industri berbagai macam produk herbal. Tanaman kelor relatif mudah untuk dibudidayakan, dapat diperbanyak dengan stek batang ataupun perbanyakan dari biji, dapat tumbuh baik pada berbagai jenis dan kondisi tanah, serta toleran terhadap kondisi kekurangan air sehingga dapat ditanam di daerah dengan curah hujan rendah. Untuk lebih memaksimalkan potensi tanaman kelor tersebut, bahan tanaman dari bibit terpilih dan teknik budidaya yang tepat untuk optimasi produksi dan kandungan senyawa bioaktif tanaman perlu dikembangkan. Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan tanaman kelor melalui seleksi bibit dari berbagai aksesi di Indonesia yang memiliki potensi produksi biomassa dan kandungan senyawa bioaktif yang tinggi dan optimasi kandungan senyawa bioaktif tersebut dengan mengontrol pengairan sebelum panen. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam 2 tahap percobaan: 1) Studi keragaman genetik dan seleksi aksesi tanaman kelor dari beberapa pulau di Indonesia berdasarkan potensi produksi biomassa daun dan kandungan senyawa bioaktif yang tinggi; dan 2) Optimasi kandungan senyawa bioaktif tanaman kelor dengan perlakuan kekeringan. Kegiatan tahap 1 menggunakan 10 aksesi tanaman kelor, yaitu aksesi Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua hasil koleksi dari Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI. Kegiatan ini meliputi identifikasi keragaman tanaman kelor secara molekuler dan morfologi, serta seleksi aksesi tanaman kelor tersebut berdasarkan produksi biomassa dan kandungan senyawa bioaktif (flavonoid) serta aktivitas antioksidannya. Kegiatan tahap 2 merupakan kegiatan optimasi kandungan senyawa bioaktif tanaman kelor dengan perlakuan cekaman kekeringan (Drought Stress) menggunakan aksesi terpilih hasil kegiatan tahap 1. Kegiatan ini terdiri atas perlakuan cekaman kekeringan bertingkat yang diberikan dengan perbedaan interval pengairan (1, 3, dan 7 hari) dengan durasi yang berbeda (8, 16, 24, dan 32 hari sebelum panen) yang bertujuan untuk mendapatkan metode pengairan yang tepat dalam memproduksi senyawa bioaktif flavonoid tanpa menurunkan produksi biomassa yang terlalu besar. Selain itu, perubahan profil metabolit tanaman akibat perlakuan kekeringan juga diamati melalui studi metabolomik dengan metode LC-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelor Indonesia cukup beragam yang ditunjukkan oleh tingginya persentase polimorfik (81,40%) yang secara dominan disebabkan oleh perbedaan aksesi (54%). Aksesi Jawa merupakan aksesi yang paling berbeda dibandingkan aksesi-aksesi lain yang menunjukkan persebaran yang sempit. Perbedaan aksesi Jawa dengan aksesi lain utamanya berdasarkan jumlah anak daunnya yang paling banyak namun dengan ukuran yang kecil. Berdasarkan karakter biomassa, aksesi Sumatera dan jawa adalah 2 aksesi tertinggi, namun berdasarkan kandungan senyawa flavonoid total dan aktivitas antioksidannya, aksesi Sumatera merupakan aksesi tertinggi dibanding 9 aksesi yang lain, sehingga aksesi inilah yang digunakan pada penelitian selanjutnya. Pada percobaan kedua, dari semua kombinasi perlakuan yang diberikan, perlakuan cekaman kekeringan dengan interval pengairan 3 hari dengan durasi 16 hari merupakan perlakuan yang paling efektif dan efisien dalam meningkatkan kandungan flavonoid daun kelor yang ditunjukkan oleh nilai Water Use Efficiency berdasarkan kandungan flavonoid (WUEf) yang tertinggi. Hasil analisis fold change juga menunjukkan bahwa perlakuan tersebut dapat meningkatkan kandungan flavonoid sekitar 2,0-2,5 kali lipat dibandingkan kontrol. Hasil analisis metabolomik menggunakan aksesi Sumatera yang diberi perlakuan interval pengairan 1, 3, dan 7 hari dan durasi perlakuan selama 24 hari sebelum panen menunjukkan bahwa terdapat 119 metabolit yang teridentifikasi yang terbagi menjadi 30 kelompok senyawa. Kelompok senyawa asam karboksilat dan turunannya, terpenoid, dan flavonoid merupakan 3 kelompok senyawa yang dominan dengan jumlah senyawa masing-masing sebanyak 20, 14, dan 11. Dari 119 senyawa tersebut, sebanyak 23 senyawa berbeda secara signifikan. Sebanyak 13 senyawa meningkat hanya pada cekaman ringan, 3 senyawa hanya meningkat pada cekaman parah, 4 senyawa meningkat pada kedua level cekaman, dan 3 senyawa menurun akibat cekaman kekeringan. Penelitian ini juga berhasil mendapatkan 3 senyawa indikator cekaman kekeringan pada tanaman kelor, yaitu arginina, N-Fructosil fenilalanina, dan apigenin 8-C-glucosida. Berdasarkan data tersebut, cekaman kekeringan yang ringan disinyalir menjadi perlakuan pengairan untuk akumulasi senyawa bioaktif daun kelor. Keyword:bioactive compounds, genetic diversity, metabolomic, moringa, drought stress
Judul: Peran Pemuda dalam Pembangunan Masayarakat Pedesaan (Kasus Penelitian Desa-desa Wilayah Perkotaan, Pinggiran dan Pedesaan Kabupaten Malang Jawa Timur) Abstrak:Peran adalah perilaku yang diharapkan sesuai dengan hngsi atau kedudukannya. Perilaku yang dilakukan pemuda adalah belajar dan berlatih serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Belajar dan berlatih adalah proses pengembangan diri. Partisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat pedesaan merupakan proses pematangan diri. Dengan cara demikian diharapkan mereka (pemuda) kelak menjadi matang dalam menghadapi berbagai gerak pembangunan masyarakat pedesaan di desanya. Keyword:
Judul: Aksi kolektif masyarakat dalam reforestasi di Biak Papua Abstrak:Deforestation has always been part of an interesting issue, related to the efforts of management and conservation of forest and their ecosystems. Deforestation rate even become and important and crucial point to legitinize, what efforts should be done ... Keyword:
Judul: Pengelolaan hutan oleh masyarakat sebagai sarana untuk mendapatkan kepastian tenurial (Kasus di areal hutan produksi terbatas, KPHP Unit XVI, Kab. Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi) Abstrak:This research focuses on the impact of property rights insecurity that drives to tenure insecurity as well on deforestation and forest degradation in limited production forest (HPT) as part of KPHP Unit XVI at Tanjung Jabung Barat district, Jambi Province. Deforestation is considered as a risk management strategy: property rights insecurity reduces the present value of forest and foster forest conversion into agricultural lands in this case converted into oil palm and rubber plantation. Moreover, deforestation is the consequences of strategic interactions between local community (who has claim over land and forest) with migrant community (which is hungry for land to gain capital increment). This strategic interaction drove to the formulation of informal land market institution that significantly contributed to the deforestation over the study site area. The current situation of forest land encroachment was the result of the lack of forest governance at the site level. The research was trying to get a better understanding on how informal land market institution had been formulated and how this institution had contribute to the deforestation within the frame of legal pluralism and property rights theory. Keyword:
Judul: The Role of Chitosan in Microemulsion Formation and Efficacy in Injectable Ibuprofen Preparations. Abstrak:Ibuprofen merupakan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) yang paling populer digunakan untuk menggantikan obat golongan opiat yang memiliki efek samping mual, muntah, over-sedasi, dan gangguan pernafasan. Ibuprofen secara umum digunakan untuk terapi pasien dengan gejala demam, nyeri ataupun inflamasi. Namun, ibuprofen memiliki kelarutan yang rendah menyebabkan ibuprofen sukar dibuat sediaan parenteral, untuk mengatasi masalah tersebut maka pada penelitian ini, ibuprofen dibuat dalam bentuk mikroemulsi. Mikroemulsi memiliki potensi sebagai pembawa sediaan parenteral yang baik karena memiliki stabilitas tinggi dibandingkan nanoemulsi. Karena, dengan ukuran globul di bawah 100 nm, mikroemulsi memiliki maksimum uptake dalam tubuh. Secara teori mikroemulsi stabil secara termodinamika, tetapi pada kenyataan tetap membutuhkan polimer untuk meningkatkan kestabilannya. Kitosan adalah polimer alami yang dapat terurai dan biodegradable, aman, dan diterapkan sebagai pembawa untuk aplikasi oral dan parenteral. Penelitian terkait injeksi mikroemulsi dilapisi kitosan telah menunjukkan bahwa polimer ini dapat meningkatkan penetrasi zat aktif dalam formulasi nasal setelah dicampur dalam fase terdispersi. Kitosan juga dapat meningkatkan sifat mekanis mikroemulsi serta mampu meningkatkan waktu tinggal obat dalam tubuh. Penelitian ini terdiri atas 3 tahap, yakni: (1) melakukan formulasi mikroemulsi ibuprofen tidak terlapisi kitosan. Tujuan dari penelitian tahap awal ini adalah untuk mendapatkan calon formula optimal, (2) melakukan formulasi mikroemulsi ibuprofen terlapisi kitosan dan menganalisis pelepasan obat secara in vitro, dan (3) mengevaluasi efek dari formula mikroemulsi ibuprofen terlapisi kitosan secara in vivo. Metode pembuatan mikroemulsi terlapisi kitosan pada penelitian ini menggunakan metode self-nanoemulsifying. Langkah pertama pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan menentukan komponen minyak yang digunakan berdasarkan pada jumlah kelarutan ibuprofen, kemudian penentuan calon formula dilakukan berdasarkan hasil analisa wilayah daerah terbentuknya mikroemulsi pada diagram pseudo ternery. Kemudian calon formula optimal ditentukan berdasarkan karakteristik fisik, muatan obat dan stabilitas. Formula optimal yang didapatkan kemudian diformulasikan dengan menambahkan kitosan pada berbagai konsentrasi. Formula mikroemulsi terlapisi kitosan (MK) paling stabil berdasarkan sifat fisik dan kestabilan, kemudian ditentukan profil pelepasan obatnya, efek anti-inflamasi, profil hematologi dan daya analgetika dengan membandingkan efeknya dari mikroemulsi yang tidak terlapisi kitosan (MO). Pada tahap awal penelitian diperoleh formula dengan komposisi optimal berupa 2,8% (kombinasi minyak zaitun dan medium chain trygelicerides oil (MCT) 1:1); 11,2% Tween 80; 2,8% propylene glycol, dan 83,2% water for injection (WFI) sebagai calon formulasi optimal untuk membentuk mikroemulsi dengan ukuran globul 16,70±0,26 nm dan stabil hingga 120 hari. Selain itu, hasil uji viskositas, osmolaritas, dan pH sesuai dengan persyaratan sediaan injeksi, yaitu 27 Cpas, 297 mosmol, dan 4- 5 hanya dengan menambahkan WFI (mengandung 0,9 g natrium klorida) dengan rekonstitusi sederhana tanpa penambahan agen isotonis. Pada tahap kedua pembuatan injeksi mikroemulsi ibuprofen terlapisi kitosan telah berhasil dilakukan dengan kandungan polimer sebesar 1%. Polimer kitosan meningkatkan stabilitas mikroemulsi hingga hingga 365 hari dengan ukuran globul 13,13±0,11nm dan mikroemulsi juga memenuhi persyaratan untuk sediaan intravena. Osmolaritas, pH, viskositas, dan ukuran tetes mikroemulsi berada dalam standar untuk persiapan intravena, yaitu 240 ± 20,22 mOsmol, pH 4-5, 27 Cpas, dan 19,37 ± 0,32 nm, secara berurutan. Uji pelepasan menunjukkan bahwa mikroemulsi yang dilapisi kitosan mengikuti model akar kuadrat waktu, di mana pelepasan obat terjadi melalui difusi dan proses dikendalikan oleh pembawa. Efek anti-inflamasi yang diamati pada kaki hewan uji yang diinjeksi mikroemulsi ibuprofen terlapisi kitosan (MK) melebihi kelompok lain, khususnya pada kelompok MK 7,2 mg. Penghambatan peradangan pada MK 7,2 mg mencapai 100% pada pengamatan jam ke- 6 dan tidak berbeda signifikan dengan kelompok standar dengan analisis statistik. Pada uji hematologi, hewan uji setelah diberikan sediaan injeksi mikroemulsi ibuprofen menunjukkan bahwa MK dan mikroemulsi tidak terlapisi kitosan (MO) tidak memiliki perbedaan signifikan dengan kelompok standar terkait jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan diferensial leukositnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sediaan injeksi mikroemulsi yang telah dibuat aman untuk penggunaan intravena karena tidak mempengaruhi sel darah merah ataupun sel darah putih. Kemudian pada uji daya analgetika dengan metode dengan real time RGS, kelompok MK dan MO pada menit ke- 60 tidak menunjukkan gejala nyeri, sedangkan pada metode nociceptive behavior kelompok MK pada menit ke- 30 sudah tidak menunjukkan adanya tanda nyeri. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok yang diinjeksikan dengan plasebo MO dengan kelompok injeksi MO dan MK pada semua variasi dosis. Hasil ini menegaskan bahwa ibuprofen dapat diformulasikan ke dalam bentuk injeksi mikroemulsi ibuprofen terlapisi kitosan serta memiliki daya antiinflamasi dan nyeri yang baik dibandingkan dengan MO dan oral., Ibuprofen was the most popular non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID) used to replace opioid drugs that had side effects such as nausea, vomiting, over-sedation, and respiratory disturbances. Ibuprofen is commonly used to treat symptoms of fever, pain, or inflammation in patients. However, ibuprofen has low solubility, making it challenging to formulate parenteral preparations. So, this study formulated ibuprofen as a microemulsion. Microemulsions, with their exceptional stability compared to nanoemulsions, show great promise as carriers for parenteral preparations. With a globule size below 100 nm, microemulsions exhibit maximum uptake in the body. While microemulsions are thermodynamically stable in theory, their real-world application often benefits from the use of polymers to further enhance their stability. Chitosan, a natural polymer, provides a biodegradable and safe solution, making it an excellent carrier for both oral and parenteral applications. Studies related to chitosan-coated microemulsion injections have shown that this polymer can enhance the penetration of active substances in nasal formulations after being mixed in the dispersed phase. Chitosan can also improve the mechanical properties of microemulsions and extend the drug residence time in the body. This study consists of three stages: (1) formulating chitosan-uncoated ibuprofen microemulsion to obtain an optimal formula, (2) formulating chitosan-coated ibuprofen microemulsion and analyzing in vitro drug release, and (3) evaluating the effects of chitosan-coated ibuprofen microemulsion formula in vivo. The method for making chitosan-coated microemulsions in this research uses the self-nanoemulsifying method. The first step in making a microemulsion is carried out by determining the oil components used based on the amount of ibuprofen solubility, then determining the candidate formula is carried out based on the results of analysis of the area where the microemulsion is formed on the pseudoternary diagram. Then, the optimal candidate formula is determined based on physical characteristics, drug load, and stability. The optimal formula obtained was then formulated by adding chitosan at various concentrations. The microemulsion formula coated with chitosan (MK) is the most stable based on physical properties and stability. A comprehensive comparison is then conducted, evaluating the drug release profile, anti-inflammatory effect, hematological profile, and analgesic power of the microemulsion not coated with chitosan (MO) against the chitosan-coated microemulsion (MK). This thorough comparison ensures the reliability of the research findings. In the initial stage, an optimal formula was obtained with a composition of 2.8% (a combination of olive oil and MCT in a 1:1 ratio), 11.2% Tween 80, 2.8% propylene glycol, and 83.2% WFI (Water for Injection). This formula was optimal for forming a microemulsion with a globule size of 16.70 ± 0.26 nm and stability for up to 120 days. Viscosity, osmolarity, and pH test results were consistent with the requirements for injection preparations. In the second stage, the preparation of chitosan-coated ibuprofen microemulsion injections with a polymer content of 1% was successfully conducted. Chitosan polymer increased the stability of the microemulsion for up to 365 days, with a globule size of 13.13 ± 0.11nm, meeting the requirements for intravenous preparations. Osmolarity, pH, viscosity, and microemulsion droplet size were within the standard range for intravenous preparations. In vitro release tests showed that chitosan-coated microemulsion (MK) followed a square root of time model, where drug release occurred through diffusion, and the process was carrier-controlled. The observed anti-inflammatory effect on the injected paws of the test animals exceeded that of the other groups, especially in the MK 7.2 mg group. Based on statistical analysis, the inhibition of inflammation in the MK 7.2 mg group reached 100% at the 6-hour observation and did not differ significantly from the standard group. In hematological tests, test animals given microemulsion injections of both MK and chitosan-uncoated microemulsion (MO) did not show significant differences compared to the standard group regarding red blood cell count, white blood cell count, and differential leukocyte count. Therefore, it can be concluded that the prepared microemulsion injection is safe for intravenous use because it does not affect red blood cells or white blood cells. In the analgesic efficacy test using the real-time RGS method, neither the MK nor MO groups showed signs of pain at 60 minutes. In the nociceptive behavior method, the MK group did not show signs of pain at 30 minutes. Statistical analysis showed significant differences beTween the placebo MO group and the MO and MK injection groups at all dosage variations. These results confirm that ibuprofen can be formulated into chitosan-coated ibuprofen microemulsion injections, exhibiting good anti-inflammatory and analgesic effects compared to MO and oral formulations. Keyword:Hematologi, kitosan, Analgetika, Anti-inflamasi, Ibuprofen, Mikroemulsi, Parenteral
Judul: Kajian Sistem dan Optimasi Penggunaan Lahan Agroforestry di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser Studi Kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara Abstrak:Penelitian sistem dan optimasi penggunaan lahan agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuseur (TNGL) telah dilakukan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada ketinggian tempat 600 hingga 1050 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lereng 5% hingga 65%. Penelitian ini dilakukan pada Mei 2000 hingga Oktober 2001. Tujuan penelitian untuk menginventarisasi, mengklasifikasi, mengevaluasi masukan dan keluaran serta dampak tipe agroforestry terhadap tanah, erosi, limpasan permukaan serta total biomassa dan karbon vegetasi (tegakan). Penelitian juga dimaksudkan untuk menentukan alokasi penggunaan lahan agroforestry yang secara ekonomis menguntungkan dan secara ekologis lestari. Keyword:
Judul: Agroforest sebagai teknologi tradisional untuk pengelolaan daerah penyangga taman nasional lore lindu : Suatu pendekatan valuasi ekosistem Abstrak:Agroforest m e r u p h teknologi tradisional yang memiliki ekosistem yang kompleks. Kondisi inilah yang menjadih agroforest merupakan teknologi yang secara teori akan sustainable dalam pengelolam daerah penyangga Tmm Nasional Lore Lindu. Taman Nasional Lore Lindu bingga kini belum merniliki daerah penyangga sehingga sangat riskan terfiadap t e h m aktivitas masyarakat ymg b d di sekitarnya Oleh sebab itu penelitian ini Wjuorn untuk mengetahui nilai ekonomi total ymg dimiliki oleh agroforest agar dapat ditawarkan sebagai tehologi pengelolaan daerah penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) agar pernasalahan ekologi dan ekonomi kawasan daer& penyangga dapat menj adi lebih stabil. Penelitian ini dil- di Kecamatan Palo b yang terletak di bagian Utara TNLL. Terdapat 22 buah desa di K m t a n Palolo. Populasi desa tersebut dikelompokkan ke dalarn dua strata yaitu desa yang berbatasan TNLL (S+) dan desa yang tidak berbatasan (S-). Meldui Alokasi Neymann, dengan meng@an rasio jumlah kepala keluarga dengan luas hutan desa sebagai variable, maka diperoleh ukuran contoh s e b 6 desa, tiga desa berbatasan (Sintuwu, Bahagia, dan Ampera) dan tiga desa yang tidak berbatawi (Berdikari, Bahagia, dan Ampera). Setiap desa ditarik contob 30 responden seas acak sehingga total responden adalah 180 orang. Nilai ekonomi yang diukur adalah nilai ekonomi tidak langsung, nilai pilihan, dan d a i keberadaan Variabel sosial ekonomi yang mempengetruhi persepsi dan apresiasi responden dalm proses valuasi juga ditanyakan dengan menggunakan kusioner (umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, nilai kebutuhan, nilai kebun lainnya, lama bermukim). Secara garis besar valuasi ekonomi menggunakan pendekatan harga, berbasis ongkos, dan kontingensi. Di =ping survai vduasi ekonomi, inventarisasi juga dilakukan terhadap 1 ha amforest dan 1 ha hutan alam yang terdekat ke agoforest. Data yang dikumpulkan d i d i s i s dengan menggunakan analisis regresi kuadrat terkecil (sederhana d m berganda) serta analisis regresi logistik. T d p a t dua kmkter objektif agroforest sebagai &but y ang bepngaruh dalam proses valuasi. Pertama dalah sejarah dan proses terbentuknya dan sbuktur tegakanuya. Pengkajian s e j d menghasib bahwa agroforest yang berada di sekitar TNLL bemama pampa dimana proses pembentukannya "mengadopsi" dua asal usul agrofod tradisional dunia, yaitu perladangan berpindah-pindah dan simulasi ek&stem hutaa Kedua adalah stmktur. Analisis struktur yang menggunakan metode Ogawa rnenghdkm tujuh stratum pada agroforest dan enam pada hutan ihn B e r h k a n uji F terhadap j d a h strata dipemleh nilai P sebesar 0,692 (a = 0,005), yang b e d stratifikasi kedua tegakan Alah sama. Adisis Nilai Indeks Penting (IW) serta Koefisien Kesamaan (?X) serta analisis keragaman spesies juga dilakukan terhadap data plot. Keyword:
Judul: Blood Bicchemistry Profile of Pregnant Women Consumed Fortified Cookies with Iron (Fe), Folic Acid, Vitamin A, Vitamin C, Zinc (Zn), and Iodine Abstrak:The aim of this study was to analyze the effect of fortified cookies on blood biochemistry profile of pregnant women. For this purposed, an experimental study design was applied among 269 physically healthy pregnant women in Leuwiliang and Cibungbulang, Bogor for four treatment groups (I, 11, 111, IV) and control group (V), which given one type of formula cookies for each. The five type of formula are: (1) formula A, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A and vitamin C; (2) formula B, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, and Zn; (3) formula C, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A, vitamin C, and iodium; (4) formula D, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, Zn, and iodium; (5) formula E, was not fortified (control). The different formula were given to different group of women every two days during gestation period. Keyword:
Judul: The impact of human resource investment and income transfer on income distribution and poverty in Indonesia Abstrak:Income distribution disparity and household poverty have been crucial problems in Indonesia. Various efforts have been conducted by the Indonesian government to solve these problems, such as by increasing human resource investment and income transfer to household. The research objectives are to analyze impacts of human resource investment and income transfer to household on income distribution and poverty in Indonesia. It was being analyzed an econometric model, Computable General Equilibrium (CGE) model, Beta Distribution Function and Foster-Greer- Thorbecke (FGT) method. Table of Indone sian Input-Output in 2003, Table of Indonesian Social Accounting Matrix in 2003, and database of National Social Economic Survey (SUSENAS) in 2002 were used in the analysis. Policy simulations conducted are (1) human resour ce investment for education and health sectors, and (2) income transfer from government to household group in the rural area. Keyword:Income distribution, Poverty, Human Resource Investment, Income transfer, Computable General Equilibrium Model, Model ekonomi keseimbangan umum, Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Judul: The impact of economic policy in the agroindustry sector on the income distribution and poverty in Indonesia Abstrak:Kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di sektor pertanian dan perdesaan dan menjadi permasalahan nasional yang serius. Masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan terkait erat dengan strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan. Kebijakan pengembangan agroindustri merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang diharapkan berdampak mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian nasional dan dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah, ekspor, investasi dan insentif pajak di sektor agroindustri dan redistribusi pendapatan. Analisis menggunakan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang didisagregasi ke dalam agroindustri makanan dan non makanan. Simulasi kebijakan di sektor agroindustri dilanjutkan untuk menganalisis distribusi pendapatan dan kemiskinan menggunakan data SNSE dan SUSENAS., Indonesia poverty incidences are mostly found in the rural areas and in the agricultural sector. At present, the incidence is becoming more increasing and has drawn a national attention. Poverty and income distribution are closely related to the economic development. Agroindustry development policy is one of the government policies aim to have positive impacts on the income equality and poverty in Indonesia. The objective of this study is to analyze the role of agroindustry in the Indonesian economy and to analyze the impact of the government expenditure, export, investment and tax policy in agroindustry sector on the income distribution and poverty. Keyword:Agroindustry, Social Accounting Matrix, Income distribution, Poverty, Pembangunan ekonomi, Aliran klasik, Aliran strukturalis, Strategi Agricultural-Demand-Led Industrialization, Neraca sosial ekonomi, Cross entropy
Judul: The Use Of Tengkawang Fat As Lipstick-Base Material Abstrak:ini sebagian besar hanya digunakan untuk meningkatkan titik leleh lemak coklat pada industri coklat yang nilai ekonominya masih rendah. Berdasarkan sifat fisik lemak tengkawang, peningkatan nilai ekonomi lemak tengkawang dapat dilakukan melalui pemanfaatannya untuk pembuatan produk yang bernilai ekonomi lebih tinggi yaitu sebagai bahan pembentuk batang lipstik. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses pemurnian lemak tengkawang yang terbaik (konsentrasi asam sitrat pada proses degumming, konsentrasi NaOH pada proses netralisasi, konsentrasi bentonit pada proses pemucatan dan lan1a waktu distilasi pada proses deodorisasi) dan menghasilkan lipstik terbaik dari proses substitusi malam oleh lemak tengkawang sebagai bahan pembentuk batang lipstik. Ruang lingkup penelitian meliputi analisis lemak tengkawang hasil proses pemurnian yang diperoleh dari hasil ekstraksi biji tengkawang, analisis titik leleh bahan pembentuk batang lipstik hasil substitusi malam oleh lemak tengkawang berdasarkan stabilitas fisik, analisis lipstik hasil substitusi malam oleh lemak tengkawang sebagai bahan pembentuk batang lipstik berdasarkan sifat fisik dan uji coba stabilitas lipstik dan analisis finansial industri lipstik yang menggunakan lemak tengkawang. Hasil penelitian pada proses pemurnian lemak tengkawang menunjukkan bahwa perlakuan yang memberikan hasil terbaik adalah sebagai berikut: menggunakan asam sitrat dengan konsentrasi 0,3 % pada proses degumming; menggunakan larutan NaOH 10 °Be pada proses netralisasi; pemakaian bentonit hingga 2 persen pada proses pemucatan; 3 jam lama distilasi pada proses deodorisasi dengan suhu 180 °C dan kondisi vakum. Proses pemurnian pada lemak tengkawang berpengaruh meningkatkan kemurnian ditinjau dari penurunan kadar fraksi tak tersabunkan, kadar asam lemak bebas, bilangan anisidin, bilangan peroksida dan peningkatan kejemihan. Sebaliknya, proses pemumian tidak berpengaruh terhadap karakteristik awal lemak tengkawang ditinjau dari nilai bilangan iod, indeks bias, viskositas dan titik leleh. Seleksi terhadap tahapan pemurnian lemak tengkawang menunjukkan bahwa proses pemucatan merupakan tahapan proses terpilih karena proses ini dapat menghasilkan lemak tengkawang dengan sifat fisiko-kimia yang lebih baik dari tahap sebelumnya (degumming dan netralisasi) dan sama dengan tahap selanjutnya ( deodorisasi). Titik leleh bahan pembentuk batang lipstik basil substitusi malam secara parsial oleh lemak tengkawang yang memberikan stabilitas fisik lipstik yang optimum adalah pada titik leleh 64 °C. Selain itu dari hasil analisis diperoleh tingkat kemurnian lemak tengkawang yang digunakan untuk substitusi malam tidak mempengaruhi kualitas fisik lipstik yang dihasilkan, namun mempengaruhi penilaian panelis., Tengkawang fat extracted from tengkawang kernels (Shorea spp) is mainly used to increase the melting point of cocoa butter of low economic value. Based on its physical properties, the utilization of tengkawang fat as lipstick-base material, a way to improve its economic value, is feasible. The objectives of this study were to obtain the best condition for the purification of tengkawang fat (the concentrations of citric acid, NaOH, bentonite, and the distillation time during the degumming, neutralization, bleaching, and deodorization processes, respectively) and to obtain the best lipstick with lipstick-base material containing tengkawang fat as a partial wax substitute. The stages of the study included the analysis of purified tengkawang fat resulted from the extraction of tengkawang kernels, the analysis of melting point of lipstick-base material resulted from the substitution of Jax with tengkawang fat based on its physical properties and a trial on lipstick s~ability and financial analysis of lipstick industry using tengkawang fat. It can be seen from the fat purification study that the best results were obtained from the following treatments: the use of 0.3% citric acid in the degumming process; the use of 10 °Be NaOH solution in the neutralization process; the use of bentonite up to 2% in the bleaching process; and 3-hour distillation time under a vacuum condition at 180 °C in the deodorization process. Purification process increased the purity of tengkawang fat indicated by a decrease in unsafonified fraction, free fatty acid content, anisidin value, and peroxide value and an increase in the clarity. In contrast, no differences were found on the iodine value, refractive index, viscosity, and melting point. It was also shown that bleaching was the selected purification process as it resulted in tengkawang fat with physico-chemical properties which were better than those resulted from the previous steps ( degumming and neutralization) and similar to those resulted from the next step ( deodorization). The melting point of lipstick-base material resulted from the partial substitution with tengkawang fat with optimum physical stability was 64°C. It was also shown that the purity level of tengkawang fat used as a wax substitute did not influence the physical quality of the resulted lipstick but influenced panelist assessment. Based on the physical properties and the results of the organoleptic test, it was concluded that lipstick with lipstick-base material containing 31 % bleached tengkawang fat as a wax substitute was the best. This lipstick had 28.7 mm penetration hardness, 55°C melting point, 55.5°C softening point, 0.130 g pay off, and 312 g breaking point. In addition, this lipstick was stable without any sweating on the surface after it was stored for 4 months at 40°C. Keyword:Lipsticks, degumming, neutralization, deodorization
Judul: Respon beberapa klon ubi jalar terhadap fosfor di tiga lokasi tanam di sekitar taman nasional Lore Lindu (Sulawesi Tengah) Abstrak:Ubijalar penting untuk keamanan pangan nasional, karena terkait erat dengan kebutuhan masyarakat dan untuk mengurangi kebergantungannya terhadap jagung dan beras. Masyarakat Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung masih bergantung pada tanaman umbi-umbian termasuk ubijalar. Di Indonesia produksi ratarata ubijalar per satuan luas masih rendah yaitu sekitar 10 t/ha, sementara potensi produksi ubijalar adalah sekitar 40 t/ha. Pengembangan ubijalar layak mendapat perhatian guna menunjang diversifikasi pangan, karena selain untuk pangan, ubijalar juga berpeluang besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, dan pakan. Lokasi tanam merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi ubijalar yang berkaitan dengan kondisi tanah, suhu, curah hujan, dan kelembapan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari respons empat klon ubijalar yang dipupuk empat dosis pupuk P yang berbeda di tiga lokasi tanam sekitar TN Lore Lindu (Sulawesi Tengah). Percobaan dilaksanakan di Desa Sidera 70 meter di atas permukaan laut (m dpl), di Desa Ampera 600 m dpl, dan di Desa Wuasa 1100 (m dpl). Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terpisah dengan tiga ulangan yang diacak dalam rancangan acak kelompok di tiap lokasi tanam. Faktor pertama empat klon ubijalar (W0331, CIP-2, CIP-3 dan B0088), dan faktor kedua empat dosis pupuk fosfor (P2O5): tanpa pupuk (P0); 100 kg P/ha (P1); 200 kg P/ha (P2); dan 300 kg P/ha (P3). Setiap unit perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian ini didapatkan, semua klon ubijalar yang diuji berproduksi dan berkualitas optimal di tiga lokasi tanam dengan dosis pemupukan fosfor yang berbeda. Pengembangan beberapa klon ubijalar disekitar TNLL sangat menjanjikan dalam rangka memenuhi kebutuhan karbohidrat masyarakat. Untuk memperoleh produksi umbi segar yang optimal, pengembangan klon ubijalar W0331 dengan 200 kg P/ha dan CIP-2 dengan 100 kg P/ha di Wuasa dan Ampera serta klon CIP-2 dan CIP-3 dengan pemupukan 100 kg P/ha di Sidera, dapat dilaksanakan. Untuk produksi bahan kering umbi optimal dapat dikembangkan W0331 dan CIP-2 di Wuasa dengan pemupukan 200 kg P/ha, serta CIP-3 dan B0088 di Ampera dan di Sidera dengan pemupukan 100 kg P/ha. Untuk mendapatkan kualitas umbi yang optimal, pengembangan klon ubijalar W0331 dan CIP-2 di Wuasa, klon W0331 dan B0088 di Ampera, klon B0088 dan CIP-2 di Sidera masing-masing dengan pemupukan 200 kg P/ha. Kadar gula dan protein umbi juga meningkat dengan meningkatnya dosis pupuk P sampai 300 kg P/ha, tanpa adanya interaksi dengan klon dan lokasi tanam. Asam amino total, metionin, ratio metionin dan lisin dengan asam amino total, meningkat dengan semakin tinggi lokasi tanam, sedangkan kadar lisin tertinggi dicapai di Ampera. Peningkatan dosis pupuk P sampai 300 kg P/ha meningkatkan kadar asam amino umbi. Keyword:
Judul: Optimalisasi Produksi dan Mutu Benih Padi Gogo di Agroekologi Bangka dengan Aplikasi Pupuk dan Bakteri Pelarut Fosfat Abstrak:Padi gogo dibudidayakan di lahan kering agroekologi Bangka mempunyai beberapa permasalahan. Salah satunya adalah ketersediaan unsur (makro dan mikro) yang terbatas. Budidaya padi gogo di Bangka umumnya dilakukan di lahan kering Ultisol yang memiliki pH rendah. Ketersediaan unsur hara makro terutama unsur fosfor di lahan Ultisol menjadi bermasalah karena unsur fosfor akan diikat oleh unsur aluminiun (Al) dan besi (Fe) sehingga terbatas ketersediaannya untuk tanaman. Penggunaan bakteri pelarut fosfat merupakan salah satu upaya untuk melepaskan keterikatan unsur fosfor dari unsur Al dan unsur Fe. Salah satu unsur hara mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi adalah unsur boron (B). Unsur B merupakan salah satu unsur hara essensial bagi tanaman yang terkait dengan beberapa proses metabolisme penting. Kekurangan unsur hara fosfat dan boron dapat menurunkan produksi dan mutu benih padi gogo. Padi gogo yang digunakan pada penelitian ini adalah padi beras merah lokal hasil seleksi dan mutasi. Padi beras merah tersebut walaupun sudah menghasilkan umur yang lebih pendek dibandingkan tetuanya tetapi masih menghasilkan permasalahan kehampaan yang tinggi. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari mutu dan produksi benih padi gogo di agroekologi Bangka dengan aplikasi pupuk dan bakteri pelarut fosfat. Penelitian ini terdiri atas lima tahap percobaan dengan tujuan khusus (1) mendapatkan dosis pupuk boron dan waktu aplikasi terbaik yang dapat meningkatkan mutu dan produksi benih padi gogo lokal Bangka, (2) mendapatkan bakteri pelarut fosfat (BPF) spesifik di tanah Ultisol Bangka, (3) mendapatkan formula terbaik untuk aplikasi BPF di agroekologi Bangka, (4) mendapatkan informasi mengenai sinergisitas BPF spesifik agroekologi Bangka dan efisiensi pemupukan P terhadap mutu dan produksi benih padi gogo lokal Bangka, dan (5) mengevaluasi sinergisitas pemupukan fosfat, boron dan BPF untuk meningkatkan produksi dan mutu benih padi gogo lokal Bangka. Percobaan 1 (Evaluasi Pemupukan Boron di Agroekologi Bangka terhadap Produksi dan Mutu Benih Padi Gogo Lokal) menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial. Percobaan lapang dilakukan di Kebun Percobaan dan Penelitian Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung (KP2 FPPB UBB). Uji mutu benih dilakukan di laboratorium benih FPPB UBB. Pengambilan isolat bakteri pada Percobaan 2 (Isolasi dan Seleksi Bakteri Pelarut Fosfat Asal Lahan Ultisol Bangka) dilakukan di areal penanaman padi gogo Desa Payabenua dan Desa Saing Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka. Seleksi terhadap isolat bakteri dilakukan di laboratorium Mikrobiologi dan laboratorium Biologi FPPB UBB. Sampel isolat bakteri pelarut fosfat dikirim ke laboratorium terakreditasi untuk diuji enzim fosfatase, asam organik dan uji molekuler. Percobaan 3 (Keefektifan Formulasi Bakteri Pelarut Fosfat Terseleksi) menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial. Percobaan menggunakan polibag di KP2 FPPB UBB sedangkan pembuatan formulasi dan uji mutu benih dilakukan di laboratorium mikrobiologi dan labaratorium benih FPPB UBB. Percobaan 4 (Evaluasi Sinergisitas Formulasi Bakteri Pelarut Fosfat dan Dosis Pupuk P di Agroekologi Bangka terhadap Produksi dan Mutu Benih Padi Gogo) menggunakan Rancangan Split Plot. Percobaan lapang dilakukan di KP2 FPPB UBB sedangkan uji mutu benih dilakukan di laboratorium benih FPPB UBB. Percobaan 5 (Evaluasi Sinergisitas Dosis Fosfat-BPF dan Aplikasi Boron di Agroekologi Bangka terhadap Produksi dan Mutu Benih padi Gogo) menggunakan Rancangan Split Plot. Percobaan lapang dilakukan di KP2 FPPB sedangkan uji mutu benih dilakukan di laboratorium benih FPPB UBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan boron melalui daun dengan dosis 1 kg ha-1 pada fase vegetatif menghasilkan tinggi tanaman, jumlah anakan total, bobot dan jumlah biji bernas (bagian atas dan tengah) per malai, bobot dan jumlah biji bernas per rumpun, kecepatan tumbuh dan indeks vigor yang tinggi. Hasil isolasi dan identifikasi terhadap BPF asal Bangka diperoleh enam isolat potensial. Empat isolat adalah genus Burkholderia dan dua isolat merupakan genus Serratia. Uji keefektifan formulasi terhadap empat isolat BPF terpilih menunjukkan bahwa formulasi cair semua isolat berdampak positif terhadap peningkatan tinggi tanaman padi di awal pertumbuhan dan formulasi Burkholderia vietnamiensis (B. vietnamiensis) tepung mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih padi yang telah mengalami penyimpanan. Penggunaan B. vietnamiensis dapat mengurangi 50% dosis P rekomendasi tanpa menurunkan pertumbuhan, hasil dan mutu benih galur PBM UBB 1. Penggunaan pupuk B dan P yang ditambah B. vietnamiensis tidak menurunkan pertumbuhan dan produksi padi galur PBM UBB 1. Penurunan dosis P sampai dengan 50% ditambah aplikasi boron 1 kg ha-1 pada fase vegetatif dan B. vietnamiensis menghasilkan indeks vigor yang tidak berbeda nyata dengan pemupukan P rekomendasi dan boron 1 kg ha-1 pada fase vegetatif. Keyword:seed weight, rice seed, germination rate, phosphate, upland rice
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Oceanographic dynamics and their impact on mangrove ecosystems in the Banyuasin Estuary Abstrak:Estuari merupakan perairan semi tertutup yang berhubungan secara langsung dengan laut, kondisi ini menyebabkan air laut dengan salinitas tinggi bercampur dengan air tawar yang berasal dari hulu yang berubah-ubah secara periodik. Dinamika pencampuran air tawar dan air dengan salinitas tinggi di daerah estuari akan sangat tergantung pada dinamika pasang surut air laut, serta banyaknya aliran air tawar dan arus residu, serta topografi daerah estuari tersebut. Gabungan pengaruh antara air laut dan air tawar tersebut juga akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan dinamika lingkungan yang bervariasi dan zona lingkungan yang sangat labil. Selain membawa massa air dengan karakteristik yang berbeda, dinamika pertemuan arus dari sungai yang membawa masukan sedimen dari darat dengan arus pasang surut yang berlawanan menyebabkan pengaruh yang kuat terhadap sedimentasi yang terjadi di daerah estuari. Estuari juga menyajikan hubungan erat antara morfodinamika dan hidrodinamika. Morfologi muara terutama dikendalikan oleh kondisi hidrodinamika yang memiliki pengaruh besar terhadap transpor sedimen, sedangkan konfigurasi dasar laut akan mempengaruhi arah dan kecepatan arus yang ada di daerah estuari. Kondisi lingkungan yang bersifat dinamis menyebabkan vegetasi di daerah estuari khususnya mangrove akan mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungannya. Kajian ekosistem estuaria di era teknologi maju dan perubahan cepat saat ini membutuhkan pendekatan baru yang menekankan bagaimana proses-proses lingkungan kunci dalam ekosistem fisik estuaria mendukung dan saling terkait dengan ekosistem biogenis mangrove, sehingga integrasi bidang ilmu maupun kombinasinya berpeluang merumuskan kebaruan pengetahuan yang bermanfaat secara praktis untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin kompleks maupun mendukung keberlanjutan kawasan yang memiliki ekosistem esensial agar memiliki resiliensi kuat untuk bertahan dan produktif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola hidrodinamika yang terjadi di daerah estuari kaitannya dengan variasi salinitas, fraksi air tawar dan transpor sedimen serta pengaruhnya terhadap komposisi, zonasi serta perubahan mangrove di Estuari Banyuasin. Adapun pertanyaan riset penting yang akan dijawab pada studi ini adalah bagaimanakah karakteristik spasial dan temporal pola hidrodinamika di Estuari Banyuasin berdasarkan hasil observasi dan model numerik? Bagaimana distribusi temporal salinitas dan fraksi air tawar mempengaruhi komposisi dan zonasi mangrove di dua muara sungai yang berdekatan? Bagaimana transpor sedimen dan perubahan geomorfologi yang terjadi di Estuari Banyuasin serta pengaruhnya terhadap luasan mangrove Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dengan mengintegrasikan hasil pengukuran lapangan, citra satelit dan model numerik. Data yang digunakan adalah: 1) data hasil pengukuran lapangan berupa data arus, pasang surut, salinitas, sedimen tersuspensi, laju sedimentasi dan data struktur komunitas mangrove; 2) data debit sungai dari Glofas; 3) data pasang surut dari PELINDO II; 4) data suhu, salinitas dan data angin dari Marine Copernicus; 5) data citra multi temporal satelit Landsat 5, Landsat 7 dan Landsat 8; Bagian pertama dari disertasi ini membahas terkait hidrodinamika yang terjadi di estuari Banyuasin. Hasil yang didapatkan, pengaruh pasang surut serta debit sungai yang masuk ke muara menyebabkan terjadinya pola sirkulasi yang berbeda baik pada saat kondisi pasang dan surut maupun variasi musiman. Pada periode Musim Barat hingga Peralihan I dominansi debit yang tinggi menyebabkan arus pasang surut maupun arus residual cenderung menguat ke arah laut baik di MSM maupun muara Sungai Banyuasin. Pada periode Musim Timur dan Peralihan II dimana pengaruh debit sungai mulai berkurang, pola pergerakan arus keluar dari sungai masih dominan, namun arus residual cenderung berbalik memasuki wilayah sungai di mulut Sungai Musi. Kondisi ini diduga kuat sebagai faktor penciri dan mengakibatkan terjadinya perbedaan stratifikasi dan karakteristik massa air di Muara Sungai Musi. Bagian kedua dari disertasi ini mencoba menjelaskan bagaimana variasi temporal distribusi salinitas serta pengaruhnya terhadap zonasi mangrove yang ada di estuari Banyuasin. Pola sebaran salinitas menunjukkan perbedaan yang sangat nyata di kedua sungai yang bermuara ke Estuari Banyuasin. Muara Sungai Banyuasin didominasi oleh kondisi perairan yang memiliki salinitas lebih tinggi (polihalin hingga euhaline) dengan stratifikasi tercampur sebagian yang bersifat permanen, sedangkan MSM dengan nilai salinitas yang lebih rendah menyebabkan dominannya kondisi oligohalin hingga polihalin dengan stratifikasi yang terbentuk didominasi baji garam. Pada periode musim Timur stratifikasi yang terjadi di MSM berubah menjadi tercampur sebagian akibat meningkatnya masukan air dari laut ke mulut sungai. Kondisi lingkungan yang berbeda pada kedua muara sungai menyebabkan vegetasi mangrove yang ditemukan selama penelitian menunjukkan zonasi yang cenderung berbeda. Vegetasi di MSM didominasi oleh jenis-jenis yang dapat beradaptasi dengan salinitas rendah ditunjukkan dengan dominannya N. fructican dan S. Caseolaris. dan kondisi berbeda dijumpai di muara Sungai Banyuasin yang didominasi A. marina dan R. Apiculata. Bagian ketiga dari disertasi ini membahas terkait distribusi sedimen, laju sedimentasi, perubahan garis pantai dan pengaruhnya terhadap perubahan mangrove yang terjadi di daerah yang mengalami sedimentasi. Total perubahan garis pantai akibat adanya abrasi pada periode 1989 – 2019 di Estuari Banyuasin adalah sebesar 327,92 Ha. Sedangkan besarnya perubahan akibat akresi di Estuari Banyuasin pada periode yang sama adalah sebesar 2.012,33 Ha. Besarnya penambahan garis pantai yang terjadi akan diikuti oleh penambahan luasan mangrove, dimana 88,38 % dari total luas penambahan wilayah baru di Estuari Banyuasin merupakan area mangrove. Keyword:oceanographic, estuary, Banyuasin, mangove, salinity, sediment
Judul: Dinamika Oseanografi Pantai dan Pengaruhnya Terhadap Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Kawasan Perairan Pulau Lemukutan Kalimantan Barat Abstrak:Perairan Pulau Lemukutan merupakan bagian dari Perairan Selat Karimata yang membentang dari utara ke selatan dan termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkayang Propinsi Kalimantan Barat. Bagian utara Perairan Pulau Lemukutan berbatasan dengan Laut China Selatan, bagian timur berbatasan dengan daratan Kalimantan, bagian barat berbatasan dengan perairan Selat Karimata dan di bagian selatan berbatasan dengan perairan Laut Jawa. Wilayah perairan Pulau Lemukutan termasuk perairan dangkal dan memiliki kedalaman rata-rata kurang dari 50 m. Perairan ini termasuk perairan yang dilalui oleh sirkulasi laut dari Pasifik ke Samudera Hindia sebagai bagian dari Arus Lintas Indonesia yang melalui Laut China Selatan dan Paparan Sunda. Kondisi iklim dan puncak musim hujan yang terjadi dua kali dalam setahun (April dan Oktober) sangat mempengaruhi sifat dan dinamika perairan. Parameter lingkungan perairan yang mengalami perubahan atas kondisi iklim dan puncak musim hujan tersebut antara lain: salinitas, suhu, total suspended solid, oksigen terlarut, tingkat keasaman, kandungan nitrat dan fosfat serta kecepatan dan arah arus. Oseanografi paparan benua (shelf oceanography) di perairan Pulau Lemukutan digerakkan utamanya oleh sistem angin monsun Asia-Australia, dimana sirkulasi laut mengalami pembalikan arah dua kali dalam setahun yang membawa massa air dengan karakteristik berbeda, yaitu pada periode monsun timurlaut dan baratdaya. Dinamika pasang surut dan limpasan (discharge) massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara di kawasan perairan pantai juga berkontribusi penting terhadap karakteristik oseanografi perairan Pulau Lemukutan. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan riset: Bagaimana pola sirkulasi laut pada skala musiman dan skala pasang surut di perairan Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang? Bagaimana pengaruh dinamika perairan terhadap parameter lingkungan di perairan Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang? Bagaimana variasi spasial dan temporal lingkungan perairan Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang? Bagaimana pengaruh spasial dan temporal parameter lingkungan perairan terhadap produksi rumput laut di perairan Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang? Penelitian dilakukan dengan menggunakan multi-dataset dari data pengukuran lapangan, keluaran model numerik sirkulasi laut, serta data sekunder yang diunduh dari situs Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia, Marine Copernicus, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika dan European Centre for Medium-Range Weather Forecasts generasi ke-5. Penelitian disertasi ini bertujuan untuk mengkaji dinamika dan variasi lingkungan perairan dan pengaruhnya terhadap pengembangan budidaya rumput laut di perairan Pulau Lemukutan. Kajian dinamika lingkungan perairan mencakup parameter suhu, salinitas, kecepatan arus, tingkat keasaman, oksigen terlarut, unsur hara (nitrat dan fosfat). Bagian pertama dari disertasi ini membahas kajian hidrodinamika perairan kepulauan Lemukutan, berdasarkan hasil model numerik sirkulasi laut yang tervalidasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sirkulasi arus di perairan Pulau Lemukutan dominan bergerak ke arah utara dan selatan. Pada musim timur laut, arus bergerak ke arah utara saat kondisi pasut menuju pasang tertinggi dan bergerak ke arah selatan saat kondisi pasang tertinggi. Arah arus tersebut berlaku pada saat pasang purnama maupun perbani. Pada saat surut terendah dan kondisi purnama, arus bergerak ke selatan, sedangkan pada kondisi perbani arus bergerak ke arah utara. Pada saat menuju surut terendah, arus bergerak ke arah utara pada kondisi purnama dan bergerak ke arah tenggara pada kondisi perbani. Pada kondisi purnama dan perbani di musim barat daya, arus bergerak ke selatan saat surut terendah dan bergerak ke arah utara saat pasang tertinggi. Sedangkan pada saat menuju pasang tertinggi, arus bergerak ke selatan pada kondisi purnama, dan ke arah timur laut pada kondisi perbani. Kecepatan arus pada kondisi purnama lebih besar dibandingkan pada kondisi perbani. Dinamika arus yang terjadi di perairan Pulau Lemukutan dominan dipengaruhi oleh arus pasang surut. Hal ini ditunjukkan oleh kesesuaian pola arus pasut dengan arus total dan nilai arus pasut yang lebih besar dibandingkan arus total. Bagian kedua dari disertasi ini membahas kajian tentang variasi parameter lingkungan di perairan Pulau Lemukutan. Beberapa hasil penting menunjukkan bahwa parameter lingkungan perairan Pulau Lemukutan bagian barat daerah penelitian (dengan dasar perairan terumbu karang dan pecahan karang) memiliki karakter yang berbeda dengan bagian timur daerah penelitian (dasar perairan berlumpur). Salinitas, nitrat dan DO menjadi penciri stasiun yang berada pada perairan bagian selatan dan utara Pulau Lemukutan yang memiliki dasar perairan terumbu karang dan pecahan karang. Parameter kecepatan arus, suhu, TSS dan fosfat menjadi penciri daerah perairan Pulau Lemukutan yang memiliki dasar perairan berlumpur dan berada di daerah sekitar pantai Kalimantan Barat. Karakteristik dan variasi parameter perairan secara temporal memperlihatkan bahwa pada musim timur laut, salinitas, nitrat, dan DO menjadi penciri pada stasiun yang berada pada bagian barat daerah penelitian, yakni sekitar Pulau Lemukutan dan Randayan, sedangkan suhu, kecepatan arus dan pH menjadi penciri stasiun yang berada di bagian timur daerah penelitian (sekitar pantai barat Kalimantan Barat). Bagian terakhir (ketiga) dari disertasi ini membahas tentang produksi rumput laut dan hubungannya dengan parameter lingkungan perairan. Rumput laut yang dibudidayakan di empat lokasi berbeda di perairan Pulau Lemukutan untuk tiga musim tanam menunjukkan bahwa E. cottonii memiliki produksi yang lebih banyak dibandingkan E. spinosum, terutama yang ditanam pada musim barat daya di Teluk Cina dan Melano Barat. Pada musim Peralihan 1, Fosfat, kedalaman dan temperatur menjadi penciri pada Teluk Surau dan Teluk Cina. Sedangkan arus, TSS dan nitrat menjadi penciri dari lokasi penanaman di Melano Barat. Pada musim barat daya, temperatur, kedalaman dan bobot menjadi penciri penanaman rumput laut di Teluk Cina. Parameter lingkungan arus dan salinitas menjadi penciri penanaman rumput laut di Melano Barat. Pada musim Peralihan II, parameter lingkungan arus, nitrat dan TSS menjadi penciri lokasi penanaman rumput laut di Melano Barat dan Teluk Cina. Parameter lingkungan temperatur, Fosfat dan kedalaman menjadi penciri lokasi penanaman rumput laut di Teluk Surau dan Melano Timur. Kata kunci: Pulau Lemukutan, multi-dataset, oseanografi pantai, parameter lingkungan laut, pasang surut, budidaya rumput laut., Lemukutan Island waters are part of the Karimata Strait waters which stretch from north to south and are included in the administrative area of Bengkayang Regency, West Kalimantan Province. The northern part of Lemukutan Island waters is bordered by the South China Sea, the eastern part is bordered by the Kalimantan mainland, the western part is bordered by the Karimata Strait and in the south by the Java Sea waters. The territorial waters of Lemukutan Island include shallow waters and have an average depth of less than 50 m. These waters include waters that are traversed by ocean circulation from the Pacific to the Indian Ocean as part of the Indonesian through flow the South China Sea and the Sunda Shelf. Climatic conditions and the peak of the rainy season which occurs twice a year (April and October) greatly affect the characteristics and dynamics of the waters. Parameters of the aquatic environment that experience changes due to climatic conditions and the peak of the rainy season include: salinity, temperature, total suspended solids, dissolved oxygen, acidity level, nitrate and phosphate content as well as current speed and direction. Shelf oceanography in the waters of Lemukutan Island is driven mainly by the Asia-Australia monsoon wind system, where the ocean circulation experiences direction reversal twice a year which brings water masses with different characteristics, namely in the northeast and southwest monsoon periods. The dynamics of tides and discharge (discharge) of fresh water masses from river systems that flow into coastal waters also contribute significantly to the oceanographic characteristics of Lemukutan Island waters. This research is focused on answering research questions: What is the pattern of ocean circulation on a seasonal scale and tidal scale in the waters of Lemukutan Island, Bengkayang Regency? How does the dynamics of the waters affect the environmental parameters in the waters of Lemukutan Island, Bengkayang Regency? What are the spatial and temporal variations in the aquatic environment of Lemukutan Island, Bengkayang Regency? What is the influence of spatial and temporal parameters of the aquatic environment on seaweed production in the waters of Lemukutan Island, Bengkayang Regency? The research was conducted using multi-datasets from field measurement data, output of numerical models of ocean circulation, as well as secondary data downloaded from the website of the Geospatial Information Agency of the Republic of Indonesia, Marine Copernicus, the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency and the European Center for Medium-Range Weather Forecasts (fifth generation). This dissertation research aims to examine the dynamics and variations of the aquatic environment and their influence on the development of seaweed cultivation in the waters of Lemukutan Island. The study of the dynamics of the aquatic environment includes parameters of temperature, salinity, current speed, acidity level, dissolved oxygen, nutrients (nitrate and phosphate). The first part of this dissertation discusses the study of the hydrodynamics of the Lemukutan waters, based on the results of a validated numerical model of ocean circulation. The results showed that current circulation in the waters of Lemukutan Island predominantly moves north and south. During the rainy season, the current moves northward when the tide to flood tide and moves southward when the flood tide. The direction of the current applies during spring tide and neap tide. During the ebb tide and flood tide conditions, the current moves south, while at the neap tide the current moves north. At the lowest ebb, the current moves northward during spring tide conditions and moves southeastward during neap tide conditions. During the spring and neap conditions in the dry season, the current moves south at the ebb tide and moves northwards at the flood tide. Meanwhile, at the time to flood tide, the current moves south during spring tide conditions, and towards the northeast during neap tide conditions. The current velocity at spring tide is greater than at neap conditions. The current dynamics that occur in the waters of Lemukutan Island are predominantly influenced by tidal currents. This is indicated by the suitability of the tidal current pattern with the total current and the value of the tidal current which is greater than the total current. The second part of this dissertation discusses the study of variations in environmental parameters in Lemukutan Island waters. Some important results show that the environmental parameters of the waters of Lemukutan Island in the western part of the study area (bottom of coral reefs and coral rubble) have different characters from the eastern part of the study area (muddy bottom). Salinity, nitrate and DO characterize the stations in the southern and northern waters of Lemukutan Island which have coral reefs and coral rubble as the bottom. The parameters of current velocity, temperature, TSS and phosphate characterize the waters of Lemukutan Island which has a muddy bottom and is located in the area around the coast of West Kalimantan. The characteristics and temporal variations of water parameters show that during the rainy season, salinity, nitrate, and DO characterize stations located in the western part of the study area, namely around Lemukutan and Randayan Islands, while temperature, current velocity and pH characterize stations located in the eastern part of the study area (around the west coast of West Kalimantan). The last (third) part of this dissertation discusses seaweed production and its relationship with aquatic environmental parameters. Seaweed cultivated in four different locations in Lemukutan Island waters for three growing seasons showed that E. cottonii had more production than E. spinosum, especially those grown during the southwest monsoon in Teluk China and Melano Barat. In Transition 1, Phosphate, depth and temperature characterize the Teluk Surau and Teluk Cina. Meanwhile, currents, TSS and nitrate are the characteristics of the planting location in Melano Barat. During the southwest monsoon, temperature, depth and weight characterize seaweed cultivation in Teluk Cina. The environmental parameters of currents and salinity characterize seaweed cultivation in Melano Barat. During the Second Transitional season, the environmental parameters of currents, nitrate and TSS characterize the location of seaweed cultivation in Melano Barat and Teluk Cina. The environmental parameters of temperature, phosphate and depth characterize the locations for seaweed planting in Teluk Surau and Melano Timur. Keywords: Lemukutan Island, multi-dataset, coastal oceanography, marine environmental parameters, tides, seaweed cultivation. Keyword:Pulau Lemukutan, multi-dataset, oseanografi pantai, parameter lingkungan laut, pasang surut, budidaya rumput laut
Judul: Enrichment of organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in quail products through its supplementation in the diet and its potency of quail eggs as an ingredient in selenium-rich egg juice Abstrak:This study was aimed to achieve an optimum level of combine organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in obtaining the best production and reproduction as well as the highest level of selenium in quail eggs. This study was conducted from January to August 2008. Numbers of observed quails were 720 (360 females and 360 males). The treatments were applied when the quails were six weeks old. Nine treatment diets were: To (commercial diet), T1(0.46 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T2 (0.46 ppm inorganic Se + 87.00 ppm vitamin E), T3 (0.92 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T4 (0.92 ppm inorganic Se +87.00 ppm vitamin E), T5 (0.46 ppm organic Se + 43.50 ppm vitamin E), T6 (0.46 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E), T7(0.92 ppm organic Se + 43.50 vitamin E) and T8(0.92 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E). Keyword:egg yolk, glutathione peroxidase ( GSH-Px), hedonic test, rank test
Judul: Relation of production and organic matter loading at vaname shrimp (Litopenaeus vannamei, Boone 1931) intensive culture system Abstrak:Penelitian keterkaitan produksi dengan beban masukan bahan organik pada sistem budidaya intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei) telah dilakukan di Pelabuan Ratu, Jawa Barat pada bulan Mei-Agustus 2003. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tingkat pemanfaatan pakan dan kelayakan kualitas air sebagai landasan bagi estimasi pertumbuhan dan produksi dari setiap tahap pemeliharaan pada sistem budidaya intensif udang vaname. Penelitian ini didasarkan pada observasi tambak selama satu masa pemeliharaan (100 hari) dengan desain kausal dan metode ex post-facto untuk mendapatkan data kualitas air dan produksi udang. Keyword:Water quality, shrimp biomass, mortality rate, West Java
Judul: Improving the survival rate and the growth performance of the pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei, Boone) rare on low salinity medium Abstrak:Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Penelitian tahap pertama terdiri dari dua seri percobaan. Percobaan pertama bertujuan mengkaji pengaruh penambahan berbagai kadar kalsium pada berbagai salinitas media terhadap sintasan postlarva vaname (Litopenaeus vannamei, Boone). Rancangan yang digunakan adalah model faktorial terdiri enam belas perlakuan dengan 3 ulangan dibedakan berdasarkan penurunan salinitas (0 ppt, 2 ppt, 4 ppt, 6 ppt) dengan penambahan kalsium (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm) dalam media pengencer air tawar. Percobaan kedua merupakan pengulangan dari percobaan pertama pada salinitas akhir 2 ppt melalui evaluasi osmolaritas dan laju metabolisme. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap terdiri 5 perlakuan berdasarkan penambahan kalsium dalam media yaitu: (A) 0 ppm, (B) 50 ppm, (C) 100 ppm, (D) 150 ppm, dan kontrol (salinitas 25 ppt) dengan 3 ulangan. Benih vaname (PL 20) yang digunakan diperoleh dari balai pembenihan (hatchery) komersial hasil pemijahan dari satu induk dalam upaya meminimalkan variasi unit percobaan. Setiap wadah diisi air bersalinitas 25 ppt yang kemudian diturunkan secara gradual selama 96 jam hingga salinitas perlakuan akhir 0 ppt, 2 ppt, 4 ppt, dan 6 ppt. Sedangkan pada percobaan kedua salinitas akhir yang dituju 2 ppt. Pemberian pakan Artemia dilakukan 4 kali perhari. Keyword:
Judul: Komunikasi Konflik dalam Konflik Antarkelompok di Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat Abstrak:Ruang yang semakin sesak akibat tekanan populasi membuat wilayah perkotaan menjadi rentan terhadap konflik. Konflik tersebut umumnya berbentuk perebutan sumber daya ekonomi, misalnya konflik hubungan industrial dan konflik ruang kota. Meskipun demikian, kekerasan rutin, dengan manifestasi berupa tawuran, penghakiman massa, dan pengeroyokan juga kerap terjadi. Kepadatan penduduk serta dominasi usia remaja pada distribusi penduduk memainkan peran sentral dalam kekerasan rutin itu. Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan bisnis juga tak luput dari masalah kekerasan rutin, utamanya adalah konflik antarkelompok yang berbentuk tawuran. Konflik tersebut, meskipun sifatnya lokal, dapat mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis masyarakat (dendam, benci, anti pati, dan sebagainya). Pada gilirannya, konflik tersebut menghambat pembangunan secara keseluruhan. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Johar Baru, daerah di Jakarta yang sangat rentan konflik karena kehadiran kelompok-kelompok nongkrong/delinkuen yang selalu berseteru. Penelitian ini bertujuan: 1) menganalisis basis pembentukan kelompok; 2) menganalisis jaringan permusuhan dan aliansi antar kelompok; 3) menganalisis praktik komunikasi konfliktual dalam konflik antarkelompok; 4) menganalisis narasi konflik antarkelompok; 5) menganalisis strategi komunikasi dalam penyelesaian konflik antarkelompok. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan perspektif komunikasi. Analisis konflik menggunakan pendekatan komunikasi menjadi penting, karena sejauh ini penelitian tentang konflikberada di ranah psikologi, sosiologi, dan bahkan ilmu politik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis, yakni paradigma yang mencurahkan perhatian pada interaksi peneliti-tineliti. Untuk memperkuat data kualitatif, digunakan pendekatan kuantitatif yang bertujuan: 1) pemetaan; 2) mengetahui jaringan komunikasi yang terbentuk antar kelompok. Pada penelitian ini, pendekatan kuantitatif bersifat deskriptif dan tidak bermaksud untuk menguji hipotesis. Pengumpulan data kuantitatif menggunakan sensus, sementara pada pengumpulan data kualitatif, teknik pengumpulan datanya adalah wawancara mendalam, observasi, analisis isi kualitatif, dan penelusuran dokumen. Adapun jumlah informan, baik informan kunci maupun pendukung dalam penelitian ini sebanyak 34 orang. Hasil penelitian menunjukkan, basis pembentukan kelompok sebagian besar adalah teritorial. Meski ada sejumlah kelompok yang basis pembentukannya adalah etnisitas dan hobi, namun pada akhirnya menjadikan teritorial sebagai basis aktivitas. Teritorial selain berfungsi sebagai alat pengendali, juga menjadi alat jadi diri, alat pertaruhan, sekaligus menjadi alat sumber daya yang penting, baik sumber daya kapital (ekonomi) maupun sumber daya sosial. Hasil analisis jaringan menunjukkan rivalitas antar kelompok tidak saling mengunci. Hal ini karena kepadatan dan ketertutupan jaringan yang rendah. Dengan demikian, tidak ada musuh yang abadi bagi kelompok-kelompok di Kecamatan Johar Baru. Hal yang sama juga ditemui pada jaringan aliansi. Meskipun demikian, penggunaan analisis jaringan mampu memperbaiki analisis spasial dalam memetakan kelompok rivalitas dan kelompok pertemanan/aliansi. Arena praktik komunikasi konfliktual berlangsung daring dan luring. Manifestasi praktik daring adalah vigilantisme digital, yakni praktik pengamanan, pengawasan, penghukuman, pengendalian, dan pendisiplinan melalui media sosial. Praktik komunikasi konfliktual luring berlangsung dengan menekankan gaya komunikasi, pesan verbal, terutama pilihan kata (diksi), dan pesan non-verbal. Integrasi teori infrastruktur komunikasi dan teori konvergensi simbolik serta teori identitas sosial menghasilkan gambaran yang lebih utuh mengenai konflik antarkelompok yang terjadi di Kecamatan Johar Baru. Tema fantasi yang diproduksi oleh masing-masing agen dalam infrastruktur komunikasi terjalin satu dengan lain dan berperan sebagai narasi/cerita di setiap level. Retorika dibentuk oleh visi retorik setiap agen dan dibagikan kepada anggota kelompok serta komunitas sekitar/masyarakat. Sejumlah aktor hadir untuk memediasi dan menyelesaikan konflik. Aktor-aktor tersebut adalah polisi, ketua RW, dan pemuka opini. Faktanya, aktor-aktor tersebut gagal menyelesaikan konflik. Kehadiran Jakmania sebagai organisasi pendukung kesebelasan justru menjadi angin segar. Berperan sebagai mediator vested interest, Jakmania mampu membawa warna baru bagi kelompok-kelompok yang selama ini tawuran. Tawaran yang diberikan Jakmania adalah merestorasi nama Kecamatan Johar Baru, dan diterima oleh kelompok yang berseteru sehingga perdamaian lebih terjaga. Keyword:konflik antar kelompok, teritorial, komunikasi konfliktual
Judul: A Design of Sustainable Palm Oil Shell Agroindustry Supply Chain System Abstrak:Cangkang sawit merupakan limbah dari hasil pengolahan minyak kelapa sawit yang belum termanfaatkan secara optimal. Cangkang tersebut adalah salah satu sumber biomassa yang dapat diolah menjadi arang cangkang sawit atau Palm Kernel Shell Charcoal (PKSC). PKSC banyak dimanfaatkan untuk menjadi kokas dan batubara. Jika dibandingkan solar dan batubara, PKSC memerlukan biaya yang lebih rendah, memiliki dampak lingkungan rendah dan ketersediaan cangkang sawit melimpah. Arang cangkang sawit digunakan oleh industri karbon aktif, briket hingga peleburan baja. Karbon aktif dapat digunakan sebagai penghilang warna dan bau pada industri minuman, penyulingan minyak, pembersih warna dan bau pada pengolahan air, penghilangan zat warna pada industri gula, pengambilan kembali pelarut, penghilangan sulfur, gas beracun dan bau busuk gas pada pemurnian gas, serta sebagai katalisator. Pemanfaatan secara optimal cangkang sawit menjadi suatu produk yang bernilai tambah tinggi membutuhkan manajemen rantai pasok berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Tantangan dalam mendesain rantai pasok berkelanjutan adalah memodelkan proses bisnis rantai pasok cangkang sawit yang rumit menjadi suatu model proses bisnis yang mudah dipahami. Desain proses tersebut perlu mempertimbangkan ketidakpastian aliran uang, informasi, dan barang dari pemasok hingga konsumen akhir, pengolahan limbah cangkang sawit menjadi bioenergi, karbon aktif, katalisator dan produk potensial lainnya serta mengkaji dampaknya terhadap aspek keberlanjutan. Selanjutnya menentukan tipe desain rantai pasok efisien untuk mendukung kebijakan berbagai aspek rantai pasok pengolahan cangkang sawit. Penelitian ini juga merancang kelembagaan rantai pasok sesuai aspek keberlanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Model matematika tiga tujuan yang diselesaikan dengan Hybrid NSGA-II dan RL menghasilan Pareto Optimum 11 solusi. Jika dibandingkan dengan penelitian sejenis yang dilakukan oleh Nayeri et al 2020. Hasil dari optimasi ini memberikan diversitas Pareto optimum yang lebih beragam yaitu sejumlah 11 titik. Nilai cost lebih kecil yaitu maksimum 874 507 730 dan jumlah karbon yang diolah dari cangkang sawit lebih banyak yaitu minimum 159.23 per hari dengan total serapan tenaga kerja maksimal 1 684 dan minimum 1 608 orang. Secara logis dari penelitian yang dilakukan Nayeri tersebut nilai yang dihasilkan dari perhitungan hybrid NSGA-III dan Reinforcement Learning ini telah terverifikasi. Model yang didesain pada penelitian ini tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan desain kelembagaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan ISM fuzzy MICMAC untuk menjawab tantangan ketidakpastian interaksi pada kelembagaan. Secara keseluruhan hasil metode ISM. Desain kelembagaan pada ISM fuzzy MICMAC menghasilkan interaksi antar aktor sesuai kepentingannya. Hasil analisis fuzzy MICMAC terhadap elemen kebutuhan bahwa sub elemen B4 (adanya jaminan kualitas dan kuantitas cangkang sawit) dan B7 (adanya jaminan kontinuitas produksi olahan cangkang sawit) berada pada sektor independent sehingga mempunyai daya dan dorong besar terhadap sistem walaupun ketergantungan pada sistem hampir tidak ada. Sub elemen kebutuhan B1 (tersedianya pergudangan/penyimpanan cangkang sawit) memiliki kekuatan pendorong yang di bawah sub elemen B2 (tersedianya dana untuk investasi tempat penampungan cangkang sawit), B5 (adanya peraturan yang mengatur pelaksanaan sistem ditingkat pemerintahan nasional) dan B6 (adanya peningkatan pendapatan pabrik PKS dari pengolahan cangkang sawit) namun memiliki sedikit ketergantungan dalam sistem. Sementara sub kebutuhan B3 (tersedianya dana untuk sarana dan prasarana logistik), B8 (pembinaan pelaku dalam rantai pasok agroindustri cangkang sawit), B9 (adanya pengembangan teknologi pengolahan cangkang sawit) dan B10 (adanya peraturan pelaksanaan sistem rantai pasok cangkang sawit) berada pada ketergantungan yang besar pada sistem., Palm shells are waste from palm oil processing that has not been utilized optimally. The shell is one source of biomass that can be processed into palm kernel shell charcoal or called Palm Kernel Shell Charcoal (PKSC). PKSC is widely used to make coke and coal. When compared to diesel and coal, they require lower costs, and have a small environmental impact and the availability of abundant palm shells. Palm shell charcoal is used by the activated carbon industry, briquettes to steel smelting. Activated carbon can be used as a color and odor remover in the beverage industry, oil refining, color and odor cleaning in water treatment, dye removal in the sugar industry, solvent recovery, sulfur removal, toxic gases and gas odors in gas purification, as well as as an additive. catalyst. Optimal utilization of palm kernel shells into a product with high added value requires sustainable supply chain management with consideration of environmental, economic and social impacts. The design of supply chain sustainability needs to consider several economic, social and environmental aspects. The design problem that becomes a challenge is modeling a complex palm shell supply chain business process into a business process model that is easy to understand. The design of the process needs to consider the uncertainty of the flow of money, information, and goods from suppliers to final consumers, processing palm shell waste into bioenergy, activated carbon, catalysts and other potential products and assessing their impact on sustainability aspects, namely economic, environmental and social. Next, determine the type of efficient supply chain design to support policies on various aspects of the supply chain for palm shell processing. Designing a supply chain performance measurement on sustainability aspects, namely economic, social and environmental. So that it can be a new insight for industry, government and academia in responding to the challenges of supply chain sustainability for palm oil processing. The three-objective mathematical model (Formulation 1-6) solved by Hybrid NSGA-III and RL yields 11 Pareto Optimum solutions. When compared with similar research conducted by Nayeri et al 2020. The results of this optimization provide a more diverse Pareto optimum diversity of 11 points (from Table 2). The cost value is smaller, namely a maximum of 874 507 730 and the amount of carbon processed from palm shells more, namely a minimum of 159.23 per day with a maximum total employment of 1 684 and a minimum of 1 608 people. Logically, from the research conducted by Nayeri, the value generated from the calculation of the hybrid NSGA-III and Reinforcement Learning has been verified. The model designed in this study will not succeed without institutional design support. This study uses the ISM MICMAC approach to answer the uncertainty of institutional interactions. Overall the results of the ISM method. The institutional design of the MICMAC ISM produces interactions between actors according to their interests. The results of the MICMAC analysis of the need elements show that sub-elements B4 (the guarantee of quality and quantity of palm shells) and B7 (the guarantee of continuity of production of processed palm shells) are in the independent sector so that they have great power and thrust on the system even though there is almost no dependence on the system. . The sub-element needs B1 (availability of warehousing/storage of palm shells) has a driving force under sub-element B2 (availability of funds for investment in palm shell storage), B5 (the existence of regulations governing the implementation of the system at the national government level) and B6 (an increase in mill revenues PKS from palm shell processing) but has little dependency in the system. Meanwhile, the sub-needs for B3 (availability of funds for logistics facilities and infrastructure), B8 (guidance of actors in the supply chain of palm shell agroindustry), B9 (the development of palm shell processing technology) and B10 (the existence of implementing regulations for the palm shell supply chain system) are dependent on big on the system. Keyword:Sustainability, palm shell, supply chain, NSGA-III, reinforcement learning
Judul: Desain Model Prediksi dan Mitigasi Bencana dalam Rantai Pasok Agroindustri Kelapa Sawit Berkelanjutan. Abstrak:Agroindustri Kelapa Sawit memainkan peran yang signifikan tehadap perekonomian Indonesia serta melibatkan berbagai stakeholder yang menggantungkan hidup pada sektor tersebut. Faktanya, posisi agroindustri Kelapa Sawit Indonesia saat ini berada pada keadaan yang belum optimum, ditunjukkan dengan kinerjanya yang masih relatif rendah. Pendekatan manajemen rantai pasok adalah salah satu solusi untuk peningkatan kinerja agroindustri Kelapa Sawit melalui peningkatan koordinasi dan kolaborasi antar stakeholder rantai pasok. Terdapat beberapa tantangan pada agroindustri Kelapa Sawit di Indonesia, diantaranya penilaian kinerja rantai pasok yang harus lebih baik, prediksi kejadian bencana dalam rantai pasok kelapa sawit untuk alternatif solusi terhadap rantai pasok.serta upaya peningkatan keberlanjutan rantai pasok. Alternatif solusi mitigasi dan prediksi terhadap risiko pada rantai pasok memegang peran penting. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis situasi rantai pasok agroindustri kelapa sawit saat ini, merancang model prediksi kejadian bencana, merancang model penilaian dan mendapatkan nilai keberlanjutan rantai pasok, serta mendapatkan prototipe Sistem prediksi dan mitigasi bencana dalam rantai pasok kelapa sawit untuk keberkelanjutan agroindustri kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi, sebagai salah satu sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Situasi dan kondisi objektif rantai pasok agroindustri kelapa sawit dianalisis melalui pendekatan Soft System Methodology (SSM), sehingga berbagai permasalahan dapat diidentifikasi dan ditentukan solusi konseptualnya. Pendekatan Markov Chain Analysis digunakan untuk melakukan analisis prediksi kejadian bencana di Wilayah Jambi terkait rantai pasok kelapa sawit. Penilaian keberlanjutan rantai pasok dimodelkan melalui Fuzzy Inference System (FIS) dan Weight Product (WP). Penelitian ini diawali dengan analisis situasional utuk mengetahui kondisi objektif rantai pasok agroindustri kelapa sawit. Analisis situasional juga telah berhasil mengidentifikasi konfigurasi rantai pasok agroindustri kelapa sawit yang melibatkan stakeholder primer petani swadaya kelapa sawit, pabrik kelapa sawit dan Koperasi yang akan dilibatkan langsung dalam kegiatan rantai pasok kelapa sawit dan peningkatan keberlanjutan rantai pasok. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan tidak terstruktur dan penggambaran rich picture, agroindustri kelapa sawit menghadapi kendala mulai dari kebun sampai ke pabrik kelapa sawit. Secara komprehensif, telah ditemukan bahwa stakeholder rantai pasok di tingkat petani menghadapi risiko yang lebih besar. Model solusi konseptual yang ditawarkan untuk transformasi sistem adalah melakukan penilaian kinerja dan memitigasi risiko hingga mengintegrasikan prediksi terhadap kemungkinan yang tidak diperkirakan, serta peningkatan keberlanjutan dan koordinasi antar stakeholder rantai pasok agroindustri kelapa sawit. Penelitian ini telah berhasil menganalisis prediksi bencana dalam rantai pasok kelapa sawit. Analisis menggunakan pendekatan Markov Chain Analysis dengan mempertimbangkan historis kejadian bencana setiap jenis bencana yang sering terjadi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kejadian bencana yang sering terjadi di Provinsi Jambi adalah Banjir, Tanah Longsor, Kekeringan, dan Kebakaran hutan dan lahan. Perancangan model penilaian keberlanjutan rantai pasok diawali dengan penetapan indikator dan dimensi keberlanjutan. Terdapat dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan sumber daya dengan masing-masing lima indikator untuk dimensi ekonomi, lima indikotor untuk dimensi social, enam indikator untuk dimensi lingkungan serta lima indikator untuk dimensi sumber daya sebagai penentu tingkat keberlanjutan rantai pasok. Penelitian ini telah berhasil merancang kerangka Fuzzy Inference System (FIS) untuk menentukan nilai dimensi keberlanjutan rantai pasok. Agregasi nilai keberlanjutan rantai pasok dimodelkan melalui Weight Product (WP). Kerangka FIS dan WP mampu mengakomodasi penilaian keberlanjutan rantai pasok agroindustri Kelapa Sawit. Model WP diimplementasikan untuk menilai keberlanjutan rantai pasok agroindustri Kelapa Sawit. Hasil analisis menjukkan nilai keberlanjutan dimensi untuk objek penelitian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah ekonomi adalah 75.48, nilai keberlanjutan dimensi sosial adalah 65.87, nilai keberlanjutan dimensi lingkungan adalah 71.67 dan nilai keberlanjutan dimensi sumber daya adalah 72.00. Sedangkan di Kabupaten Batanghari adalah ekonomi adalah 79.57, nilai keberlanjutan dimensi sosial adalah 73.33, nilai keberlanjutan dimensi lingkungan adalah 78.33 dan nilai keberlanjutan dimensi sumber daya adalah 86.00. Selanjutnya, dari hasil pembobotan kriteria alternatif agregasi nilai keberlanjutan rantai pasok agroindustri Kelapa Sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah 71.04 yang diklasifikasikasikan hampir berkelanjutan demikian juga di Kabupaten Batanghari sebesar 78.62 yang diklasifikasikan hampir berkelanjutan. Peningkatan keberlanjutan dapat dilakukan dengan memperhatikan hasil analisis indikator kunci pada setiap dimensi keberlanjutan. Keyword:Fuzzy inference system, palm oil, prediction system, supply chain, sustainability
Judul: Characteristics and pedogenesis of low and high altitude andisole in North Sumatera Abstrak:Andisol di Sumatera Utara ditemukan berkembang di dataran tinggi dan dataran rendah. Andisol di Indonesia pada umumnya terbentuk di dataran tinggi sehingga adanya Andisol di dataran rendah tersebut merupakan hal yang menarik untuk diteliti secara rinci terutama tentang proses pembentukan dan sifat-sifatnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mempelajari pedogenesis Andisol di dataran rendah dibandingkan dengan Andisol dataran tinggi dan (2) mempelajari perbedaan sifat-sifat tanah Andisol dataran rendah dan dataran tinggi di Sumatera Utara. Keyword:
Judul: Evaluation & reconstruction of Eco-village and Eco-house concept in inner Baduy settlement based on community sustainability assesment Abstrak:Environment quality has been worsening year to year; building’s sector contributes 66 % of fossil fuels pollution’s sources. The technique in building constructions needs to be changed in more environmental friendly manner. Global Eco-village Network (GEN) has developed tool, which is called Community Sustainability Assessment (CSA). GEN has defined ways that can bring the world to be more sustainable and popularly known as Eco-village and Eco-house. Indigenous people, such as the Inner Baduy community, from longstanding experience have developed systems as their local wisdoms adapting to its environment and buildings in a sustainable manner. This study is emphasized the importance of traditional knowledge in terms of providing low input energy buildings and settlement. The objective of this study are: (1) Evaluation of sustainability of the Inner Baduy community base on Community Sustainability Assesment., (2) Reconstruction of Inner Baduy’s site plan and houses, (3) Evaluation of local wisdom concept in housing based on CSA. The study results are, CSA criteria have reached total number 1196 in level of sustainability; which is 432 on ecological aspect, 348 on social aspect, and 414 on spiritual aspect. Therefore, the Inner Baduy settlement shows a very good progress towards sustainability. A reconstruction of the Inner Baduy house and settlement has been drawn by technical drawings with a computer program called SketchUp 8. The technical drawings consist of site plan, plan, section and details drawings. A distribution profile of ventilation and temperature is simulated using SolidWork 2010 software. Validation on errors between measured and simulation’s data has been done by root mean square errors and umber of confident reach R2= 0,96 means that simulation result is not diferent from measured data. Simulation result describe that maximum ventilation rate is 0,75 m/sec and room temperature are evenly distributed throughout the house at maximum rate 34,16 o C at noon and the minimum relative humidity is 60 %. The inside climatic condition is distributed well inside the house and it has very much impact by outside condition. The stage and porous bamboo houses has a very good ventilation and suitable for usage in tropical region Keyword:
Judul: Analysis on Ecohouse’s space arrangement and airflow in rural area. Abstrak:This paper explores the potential of temperature distribution using ventilation and natural convection in a Eco-house’s space arrangement and air flow in rural area by natural air cooling system for a construction designs as an illustrating Eco-House in Indonesia. The characteristics of the construction are analyzed in terms of heat and mass transfer and also air circulation by the Computational Fluid Dynamic method and practice. Based on the thermal comfort requirements of the Indonesian National Standard (SNI), the study has found that it is possible to use natural ventilation to create a thermally comfortable indoor environment in Eco-houses. This study also develops comprehensive design guidelines for natural ventilation at both the site planning and individual compartment house levels, using the specific materials. Finally by the simple geometry and calculation following the technical design temperature distribution in any point inside Eco-house will be predictable. Keyword:
Judul: Sintesis Lipida Kaya 1,3-Dioleoyl-2-Palmitoyl-Glycerol (OPO) dari Hard Palm Stearin Abstrak:Human milk fat (HMF) merupakan lemak yang terkandung pada air susu ibu, yang mengandung 20–30% asam palmitat, dimana 60–70% asam palmitat terdistribusi pada posisi stereospesific number (sn)-2 dalam struktur triasilgliserol (TAG). Human milk fat substitute (HMFS) merupakan lipida terstruktur menyerupai HMF, yang disintesis melalui interesterifikasi enzimatis minyak atau lemak. Karakter utama HMFS adalah asam palmitat terletak pada posisi sn-2 dan asam lemak tak jenuh terletak pada posisi sn-1,3. HMFS yang umum disintesis adalah 1,3-dioleoyl-2-palmitoyl-glycerol (OPO), yang merupakan TAG utama pada HMF. TAG tersebut bermanfaat untuk bayi karena dapat membantu penyerapan lemak dan kalsium secara efektif. Hard palm stearin (HPS) merupakan fraksi padat hasil fraksinasi palm stearin (PS), yang secara alami mengandung asam palmitat dan tripalmitin (PPP) tinggi. Selain memiliki jumlah PPP yang tinggi, HPS juga mengandung TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2. TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2 diasidolisis dengan asam oleat menggunakan lipase spesifik sn-1,3 akan menghasilkan triolein (OOO), yang bukan produk target dalam sintesis HMFS. Oleh karena itu, rute sintesis HMFS menggunakan HPS harus dimulai dengan peningkatan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2. Kemudian, asam lemak pada posisi sn-1,3 dari fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 HPS diganti dengan donor asil tertentu seperti asil oleat melalui asidolisis atau transesterifikasi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mensintesis lipida kaya OPO berbahan baku HPS. Tujuan umum tersebut dicapai dengan beberapa tahapan penelitian antara lain: (1) peningkatan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 HPS melalui fraksinasi aseton dan interesterifikasi enzimatis menggunakan donor palmitat, seperti asam palmitat atau etil palmitat dalam sistem bebas pelarut; (2) penentuan kondisi reaksi optimum pada sintesis OPO melalui transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat dalam sistem bebas pelarut; dan (3) peningkatan lipida kaya OPO melalui fraksinasi produk transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat. Disertasi ini disusun secara sistematik sesuai tahapan penelitian. Pada bagian awal mengulas sintesis HMFS secara komprehensif. Pada bagian kedua, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS ditingkatkan melalui fraksinasi aseton HPS. Pada bagian ketiga, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 ditingkatkan melalui asidolisis HPS dengan asam palmitat atau transesterifikasi HPS dengan etil palmitat. Pada bagian keempat, sintesis OPO dilakukan melalui transesterifikasi antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat. Pada bagian terakhir, produk transesterifikasi antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat difraksinasi untuk meningkatkan lipida kaya OPO. Pada fraksinasi aseton HPS diperoleh fraksi padat yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 (PPP dan PPS) yang meningkat. Peningkatan rasio aseton terhadap HPS dan suhu fraksinasi meningkatkan kadar PPP+PPS namun menurunkan rendemen PPP+PPS. Kondisi fraksinasi optimum untuk menghasilkan lipida kaya PPP+PPS adalah pada rasio HPS terhadap aseton 1:5 (g/ml) dan suhu fraksinasi 30 °C selama 3 jam. Pada kondisi tersebut, lipida yang diperoleh memiliki kadar dan rendemen PPP+PPS masing-masing lebih dari 91% dan 59%. Lipida yang diperoleh terdiri dari asam palmitat 91,32% dan pada posisi sn-2 88,13%. Pada interesterifikasi enzimatis HPS dihasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 tertinggi pada rasio mol HPS terhadap donor palmitat 1:3, suhu 65 °C, Novozyme 435 10% dari berat substrat, dan waktu reaksi selama 4 jam. Etil palmitat merupakan donor palmitat yang menghasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan kadar asam palmitat pada posisi sn-2 (88,44%) tertinggi dibandingkan asam palmitat (83,92%). Peningkatan lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 melalui fraksinasi aseton HPS dan transesterifikasi enzimatis antara HPS dan etil palmitat menghasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan kadar asam palmitat pada posisi sn-2 pada tingkat yang sama yaitu lebih dari 88%. Namun, produk transesterifikasi mengandung kadar asam lemak bebas (ALB) dan diasilgliserol (DAG) yang lebih tinggi dibandingkan produk fraksinasi. Kadar DAG yang tinggi dapat menyebabkan migrasi asil pada interesterifikasi enzimatis yang dapat memengaruhi produk target (OPO) yang akan dihasilkan. Sehingga diperlukan proses purifikasi produk transesterifikasi untuk menghilangkan ALB dan DAG, yang dapat menyebabkan peningkatan biaya produksi. Dengan demikian, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 yang dihasilkan melalui fraksinasi aseton dipilih sebagai substrat dalam sintesis lipida kaya OPO. Pada transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada sn-2 dari HPS dengan etil oleat diperoleh lipida terstruktur yang mengandung OPO+POO sebagai TAG utama. Peningkatan rasio mol etil oleat terhadap fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan waktu reaksi menurunkan kadar PPP dan PPS. Pada rasio mol fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS terhadap etil oleat sebesar 1:6, suhu 60 °C dan waktu reaksi 2 jam menghasilkan lipida terstruktur mengandung OPO+POO 41,13%, dengan asam palmitat total 51,09%, asam palmitat pada posisi sn-2 75,76%, asam oleat total 44,48%, dan asam oleat pada posisi sn-1,3 58,77%. Pada fraksinasi produk transesterifikasi dihasilkan fraksi cair dengan kadar OPO+POO dan PPO+POP yang meningkat. Fraksinasi pada 10 °C selama 3 jam menghasilkan fraksi cair mengandung OPO+POO 43,72% dan PPO+POP 51,03%. Pada kondisi tersebut, lipida yang diperoleh memiliki kadar asam palmitat pada posisi sn-2 dan asam oleat pada posisi sn-1,3 masing-masing sebesar 79,57% dan 68,93%, dengan kadar relatif asam palmitat pada posisi sn-2 sebesar 59,07%., Human milk fat (HMF) is fat contained in breast milk, which contains 20–30% palmitic acid, 60–70% palmitic acid is distributed at the stereospecific number (sn)-2 position in the triacylglycerol (TAG). Human milk fat substitute (HMFS) is a structured lipid similar to HMF, synthesized by enzymatic interesterification of oils or fats. The main character of HMFS is that palmitic acid is located at the sn-2 position, and unsaturated fatty acids are located at the sn-1,3 positions. The most commonly synthesized HMFS is 1,3-dioleoyl-2-palmitoyl-glycerol (OPO), which is the main TAG of HMF. OPO is beneficial for babies because it can help in the effective absorption of fat and calcium. Hard palm stearin (HPS) is a solid fraction resulting from the fractionation of palm stearin (PS), which naturally contains high palmitic acid and tripalmitin (PPP). In addition to having a high amount of PPP, HPS also contains TAG with oleic acid at the sn-2 position. TAG with oleic acid at the sn-2 position is acidolyzed with oleic acid using sn-1,3 specific lipase produces triolein (OOO), which is not the target product in HMFS synthesis. Thus, the HMFS synthesis route using HPS should be initiated by increasing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position. Then, fatty acids at sn-1,3 positions of the TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS are replaced with a specific acyl donor such as acyl oleic by acidolysis or transesterification. The main objective of this study was to synthesize lipids rich in OPO using HPS. This general goal was achieved by several stages of research, including (1) increasing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS by acetone fractionation and enzymatic interesterification using palmitic donors, such as palmitic acid or ethyl palmitate in a solvent-free system; (2) determination of the optimum reaction conditions in the synthesis of OPO by enzymatic transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate in a solvent-free system; and (3) increase lipids rich in OPO by fractionation of enzymatic transesterification product between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate. This dissertation is arranged systematically to follow the research stages. In the first chapter, the comprehensive review of HMFS synthesis. In the second chapter, TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS was enhanced by HPS acetone fractionation. The third chapter enhanced TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS by acidolysis of HPS with palmitic acid or transesterification of HPS with ethyl palmitate. In the fourth chapter, OPO synthesis was carried out by transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate. In the last chapter, the transesterified product between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate was fractionated to increase lipids rich in OPO. In HPS acetone fractionation, the solid fraction containing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position (PPP and PPS) increased. The increase in the ratio of HPS to acetone and the fractionation temperature increased the contents of PPP+PPS but decreased the yield of PPP+PPS. The optimum fractionation conditions to produce lipids rich in PPP+PPS were at a ratio of HPS to acetone of 1:5 (g/ml) and a fractionation temperature of 30 °C for 3 h. With these conditions, lipids obtained had PPP+PPS content and yield of more than 91% and 59%, respectively. Lipids obtained consisted of palmitic acid 91.32% and at sn-2 position 88.13%. In HPS enzymatic interesterification, TAG-rich lipid fraction with the highest palmitic acid at sn-2 position was produced at a mole ratio of HPS to palmitate donor of 1:3, the temperature of 65 °C, Novozyme 435 10% by weight of the substrate, and time reaction for 4 h. Ethyl palmitate was a palmitic donor that produced a TAG-rich lipid fraction with the highest palmitic acid content at sn-2 position (88.44%) compared to palmitic acid (83.92%). The increase in TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position through the fractionation of HPS acetone and enzymatic transesterification between HPS and ethyl palmitate resulted in TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position at the same level of more than 88%. However, the transesterification product contained higher free fatty acid (FFA) and diacylglycerol (DAG) than the fractionated product. High levels of DAG can cause acyl migration in enzymatic interesterification, which can affect the target product (OPO) that will be produced. Therefore, a transesterification product purification process is needed to remove FFA and DAG, increasing production costs. Thus, TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position generated by acetone fractionation was chosen as a substrate in synthesizing OPO-rich lipids. In enzymatic transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position and ethyl oleate, a structured lipid was obtained containing OPO+POO as the main TAG. Increasing the substrate mole ratio of ethyl oleate to TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and reaction time decreased the contents of PPP and PPS. At a mole ratio of TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS to ethyl oleate of 1:6, a temperature of 60 °C, and a reaction time of 2 h resulted in structured lipids containing 41.13% OPO+POO, with total palmitic acid of 51.09%, palmitic acid at sn-2 position of 75.76%, total oleic acid of 44.48%, and oleic acid at sn-1,3 positions of 58.77%. In the fractionation of the transesterification product, a liquid fraction was produced with increased contents of OPO+POO and PPO+POP. Fractionation at 10 °C for 3 h resulted in a liquid fraction containing 43.72% OPO+POO and 51.03% PPO+POP. With these conditions, the lipid obtained consisted of palmitic acid at sn-2 position and oleic acid at sn-1,3 positions contents of 79.57 % and 68.93%, respectively, with a relative content of palmitic acid at sn-2 position of 59.07%. Keyword:acidolysis, fractionation, hard palm stearin, human milk fat substitute, transesterification
Judul: Aktinomiset Filosfer Penghasil Senyawa Antifungi sebagai Agens Biokontrol Penyakit Bercak Ungu (Alternaria porri Ell. Cif.) pada Tanaman Bawang Merah Abstrak:Bawang merah merupakan salah satu komoditas tanaman hortikultura di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Namun dalam upaya meningkatkan produksi bawang merah banyak mendapatkan kendala diantaranya adanya gangguan organisme penganggu tanaman seperti penyakit bercak ungu yang disebabkan oleh Alternaria porri. Ell. Cif. Penyakit ini dapat menginfeksi berbagai macam-macam genus Allium. Tingkat keparahan penyakit bercak ungu 29,5%-60,8%, dan menyebabkan kerugian hasil 30%-100%. A. porri dapat menginfeksi bawang merah mulai dari daun hingga umbi sehingga menurunkan hasil produksi. Pengendalian saat ini sangat bergantung pada penggunaan fungisida kimia sintetik. Pengendalian lain sebagai alternatif adalah penggunaan agens biokontrol aktinomiset. Beberapa aktinomiset telah dilaporkan dapat menekan patogen tanaman dengan memproduksi senyawa antifungi. Penelitian bertujuan untuk: (1) memperoleh keanekaragaman aktinomiset filosfer dari tanaman Liliaceae; (2) mengetahui karakteristik aktinomiset filosfer tanaman Liliaceae yang memiliki aktifitas antifungi terhadap cendawan A. porri secara in-vitro; (3) mengetahui potensi galur aktinomiset filosfer dalam menekan penyakit bercak ungu, serta memacu pertumbuhan tanaman bawang merah secara in-planta; (4) mengidentifikasi aktinomiset terbaik melalui sekuen gen 16S rRNA; dan (5) mengidentifikasi kandungan senyawa bioaktif antifungi dari isolat terbaik. Penelitian dilaksanakan melalui lima tahapan, yaitu: (1) eksplorasi aktinomiset filosfer dari berbagai jenis tanaman Liliaceae; (2) seleksi dan karakterisasi aktinomiset filosfer; (3) identifikasi isolat aktinomiset terpilih melalui sekuen gen 16S rRNA; (4) menguji keefektifan aktinomiset terpilih dalam menekan penyakit bercak ungu secara in planta di rumah kaca; dan (5) identifikasi kandungan senyawa bioaktif antifungi dari isolat terbaik. Isolat yang berhasil diisolasi diuji keamanan hayatinya melalui uji reaksi hipersensitivitas pada tanaman tembakau, uji patogenisitas pada tanaman bawang merah, dan uji hemolisis pada agar darah. Isolat yang terseleksi selanjutnya diuji kemampuan antagonismenya terhadap A. porri melalui uji dual culture. Isolat yang memberikan penghambatan tertinggi diuji keefektifannya di rumah kaca. Isolat tersebut juga dikarakterisasi kemampuan fisiologinya dalam menghasilkan enzim kitinase, dan senyawa biosurfaktan. Isolat-isolat potensial diidentifikasi secara molekuler menggunakan primer universal aktinomiset 27F dan 16Sact1114R. Isolat terbaik yang mampu menekan A. porri baik secara in vitro maupun in vivo dianalisis kandungan senyawa bioaktifnya dengan menggunakan gas chromatography mass spectrometry (GC-MS). Sebanyak 216 isolat aktinomiset berhasil diisolasi dari tujuh jenis tanaman Liliaceae. Setelah diseleksi makromorfologi dan mikromorfologi terseleksi 46 isolat, dari 46 isolat aktinomiset filosfer terdapat 15 jenis isolat yang bersifat positif reaksi hipersensitivitas, lima jenis isolat yang bersifat positif hemolisis, dan tiga jenis isolat yang bersifat positif patogenisitas, sehingga terseleksi 26 isolat yang bersifat non patogenik (negatif reaksi hiversensitivitas, negatif patogenesitas, dan negatif hemolisis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan berbagai galur aktinomiset filosfer pada tanaman Liliaceae yang memiliki morfologi beragam. Bentuk morfologi dari koloni aktinomiset filosfer tanaman Liliaceae memiliki bentuk seperti berkerut, bulat, bentuk L, kompleks, bulat dengan tepi serabut. Permukaan koloni seperti wool, tidak beraturan, halus, foliform, lobat, dan bergelombang. Koloni aktinomiset pada awal pertumbuhan seperti koloni bakteri pada umumnya sampai hari ketiga, pada umur 4-15 hari mulai muncul seperti tepung di atas permukaan koloni. Warna atau pigmentasi koloni bermacam-macam yaitu oranye, putih, abu kehitaman, dan kehitaman. Ukuran koloni aktinomiset 1,65-8,57 mm dengan skala 2 mm. Ukuran hifa 0,71-2,30 µm pada perbesaran 200x, dan memiliki gram positif. Aktinomiset yang didapat memiliki keragaman dari tipe rantai spora spiral, retinaculiaperti, dan rectiflexibeles. Pada pengujian dual culture terhadap 26 isolat, menghasilkan penghambatan terhadap A. porri sebesar 4,22-57,78%. Sebanyak 10 isolat potensial untuk dilihat karakteristiknya dan dilanjutkan ke pengujian in vitro. Berdasarkan hasil pengujian secara in vitro didapat bahwa 10 isolat aktinomiset yang diujikan mampu memproduksi enzim kitinase dengan indeks kitinolitik sebesar 0,08-0,72. Isolat BBW14 merupakan penghasil kitin tertinggi pada hari ketujuh dengan indeks kitinolitik sebesar 0,72, nilai OD (optical density) sebesar 1,0982 U/mL. Aktinomset filosfer juga mampu memproduksi senyawa biosurfaktan dimana nilai zona jernih tertinggi sebesar 30,33 mm dengan waktu terbentuknya ODA 54 detik, dan indeks emulsifikasi tertinggi sebesar 22,52%. Pengaplikasian aktinomiset dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman bawang merah terutama diameter umbi, bobot basah, dan bobot kering umbi. Selain itu agens biokontrol aktinomiset ini dapat menurunkan persentase keparahan penyakit dan kejadian penyakit bercak ungu, serta dapat memperpanjang waktu inkubasi A. porri hingga 8,5 hari. Penggunaan agens biokontrol aktinomiset filosfer efektif mengendalikan A. porri di rumah kaca dengan persentase keefektifan pengendalian tertinggi mencapai 78,3% pada isolat CFS 28. Tiga spesies aktinomiset terbaik yang terindentifikasi yaitu isolat CFS28 adalah Streptomyces enissocaesilis, isolat BBW 12 adalah S. maritimus, dan isolat BBW 14 adalah S. rochei. Tiga senyawa bioaktif tertinggi yang terdeteksi dari ketiga isolat terbaik yaitu 11-octadecenoic acid, methyl ester; hexadecanoic acid, methyl ester; dan 9- octadecanoic acid, methyl ester. Ketiga spesies aktinomiset tersebut memiliki bioaktivitas sebagai antifungi. Keyword:abundance, Allium., bioactive, characterization, screening
Judul: Potential of Endophytic Actinomycete of Liliaceae as Biocontrol Agents of Basal Plate Rot Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallots Abstrak:RINGKASAN LISA MARIANAH. Potensi Aktinomiset Endofit Tanaman Liliaceae sebagai Agens Pengendali Penyakit Busuk Pangkal Umbi (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) pada Bawang Merah. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH NAWANGSIH, ABDUL MUNIF, GIYANTO dan EFI TODING TONDOK. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil bawang merah dan sudah mengekspor ke beberapa negara seperti Malaysia, Thailand dan Singapura. Produktivitas bawang merah di Indonesia masih rendah dan masih dapat ditingkatkan. Faktor penyebab rendahnya produksi bawang merah nasional di antaranya adalah serangan patogen penyebab busuk pangkal umbi yaitu Fusarium spp. spesies kompleks. Penyakit busuk pangkal umbi termasuk penyakit merugikan pada tanaman bawang merah di Indonesia maupun di dunia, karena menyebabkan kerusakan di lapangan dan juga di penyimpanan. Patogen penyebab penyakit ini di Indonesia juga belum teridentifikasi secara pasti, apakah hanya disebabkan oleh satu spesies atau lebih. Upaya pengendalian di tingkat petani saat ini masih mengandalkan fungisida kimia sintetik. Aplikasi fungisida kimia yang bersifat sistemik dapat menyebabkan berkurangnya populasi mikroba bermanfaat, termasuk aktinomiset endofi pada tanaman. Berkurangnya kelimpahan mikroba bermanfaat pada tanaman menyebabkan tanaman lebih rentan terhadap patogen. Alternatif pengendalian yang diharapkan dapat mengurangi aplikasi fungisida dan aman bagi lingkungan adalah dengan pemanfaatan agens hayati. Beberapa agens hayati yang sudah diteliti mampu menekan perkembangan penyakit busuk pangkal umbi antara lain adalah bakteri Bacillus velezensis, Trichoderma sp., Fusarium non-patogen dan aktinomiset rizosfer. Saat ini di Indonesia belum ada penelitian yang mengungkapkan potensi aktinomiset endofit tanaman Liliaceae untuk menekan perkembangan penyakit penyakit busuk pangkal umbi pada tanaman bawang merah. Aktinomiset endofit merupakan kelompok bakteri yang dilaporkan berpotensi sebagai agens biokontrol. Aktinomiset endofit juga penghasil metabolit sekunder terbesar yang mengandung antibiotik, memproduksi senyawa bioaktif yang bersifat antifungi, menginduksi ketahanan dan memacu pertumbuhan tanaman. Kemampuan dalam menghambat patogen secara langsung dan sebagai penginduksi ketahanan tanaman merupakan keunggulan aktinomiset endofit dibandingkan dengan agens biokontrol lainnya. Aktinomiset endofit hidup di dalam jaringan tanaman, sehingga memberi keuntungan berkurangnya faktor-faktor pengganggu dari luar. Tingginya intensitas aplikasi pestisida pada budi daya bawang merah dikhawatirkan menyebabkan berkurangnya kelimpahan mikroba bermanfaat, sehingga dibutuhkan tanaman lain kelompok famili Liliaceae sebagai sumber isolat aktinomiset endofit. Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi dan mempelajari morfologi cendawan Fusarium spp. spesies kompleks yang menyebabkan penyakit busuk pangkal umbi pada bawang merah di Jawa; 2) mempelajari gejala-gejala penyakit busuk pangkal umbi pada bawang merah akibat infeksi cendawan patogen Fusarium spp.; 3) mendapatkan isolat aktinomiset endofit potensial dalam menekan pertumbuhan cendawan F. oxysporum f.sp. cepae; 4) mengevaluasi mekanisme penghambatan aktinomiset endofit terhadap F. oxysporum f.sp. cepae. Penelitian terdiri 4 tahapan yaitu: 1) isolasi cendawan Fusarium spp. dan aktinomiset endofit tanaman Liliaceae; 2) uji potensi aktinomiset endofit sebagai agens biokontrol; 3) uji keefektifan isolat aktinomiset terhadap F. oxysporum f.sp. cepae; 4) uji kolonisasi dan identifikasi isolat aktinomiset endofit secara molekuler. Cendawan F. oxysporum f.sp. cepae diisolasi dari tanaman bawang merah bergejala penyakit busuk pangkal umbi dari Brebes. Isolat murni diamati morfologinya, dilakukan uji patogenisitas pada umbi dan tanaman bawang merah, lalu diidentifikasi secara molekuler menggunakan primer universal dan primer spesifik (SIX3, C5 dan CRX1). Aktinomiset endofit diisolasi dari tanaman famili Liliaceae menggunakan media pertumbuhan WYA, CSA, dan YEMA. Isolat dipastikan benar-benar aktinomiset dengan pengamatan morfologi dan dimurnikan pada media ISP2. Isolat diuji keamanan hayati menggunakan uji reaksi hipersensitivitas dan uji hemolisis, dilanjutkan dengan uji potensinya seperti sifat antagonis terhadap F. oxysporum f.sp. cepae, analisis aktivitas enzim peroksidase, uji produksi enzim kitinase, uji produksi IAA dan uji daya hambat senyawa organik volatil. Lima isolat terbaik dipilih berdasarkan AHP. Isolat tersebut digunakan untuk uji keefektifan isolat aktinomiset endofit tanaman Liliaceae terhadap F. oxysporum f.sp. cepae di rumah kaca. Pengujian di rumah kaca menggunakan rancangan acak kelompok dengan delapan perlakuan, tiga ulangan dan 22 tanaman tiap ulangan. Aplikasi aktinomiset menggunakan metode pelukaan dan perendaman, sedangkan aplikasi cendawan F. oxysporum f.sp. cepae dilakukan pada saat penanaman. Tanaman dipelihara dan diamati masa inkubasi dan dicatat kejadian dan keparahan penyakit, tinggi tanaman dan jumlah anakan. Tanaman juga dianalisis enzim peroksidase dan kitinasenya. Terakhir dilakukan uji kolonisasi dan identifikasi secara molekuler menggunakan primer universal aktinomiset 27F dan 16Sact1114R pada lima isolat terbaik isolat. Hasil pengamatan di lapang, ditemukan tiga gejala tanaman busuk pangkal umbi yaitu daun klorosis dan memelintir, daun pipih dan tanaman layu serta ujung daun mengering dan umbi membusuk. Sebanyak delapan isolat cendawan Fusarium spp. berhasil diisolasi yang memiliki morfologi berbeda dan menyebabkan gejala yang berbeda. Hasil identifikasi dari delapan isolat Fusarium spp. tersebut adalah lima isolat adalah F. solani, dua isolat merupakan F. oxysporum dan satu isolat adalah F. proliferatum. Hasil aplifikasi DNA menggunakan primer spesifik F. oxysporum f.sp. cepae, berhasil mendeteksi isolat BC4 dan BBS6 pada ketiga primer tersebut. Infeksi cendawan F. solani menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (stunting) dan ujung daun mengering, F. oxysporum f.sp. cepae menyebabkan gejala daun klorosis dan memelintir, sedangkan F. proliferatum menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, daun memelintir dan ujung daun mengering. F. oxysporum f.sp. cepae memiliki tingkat virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dua spesies lainnya. Sebanyak 64 isolat aktinomiset endofit berhasil diisolasi dari 11 jenis tanaman Liliaceae dari 4 daerah. Sebanyak 27 isolat dari Brebes, 19 isolat dari Bengkulu, 11 isolat dari Cianjur dan 7 isolat dari Bogor. Sebanyak 24 isolat negatif uji keamanan hayati, 12 isolat mampu menghambat F. oxysporum f.sp. cepae secara in vitro diatas 50%, 6 isolat 30-49% dan 6 isolat kurang dari 10%. Mekanisme penghambatan berupa antibiosis, lisis dan induksi ketahanan. Aktinomiset endofit Liliaceae juga berpotensi sebagai pemacu pertumbuhan dengan memproduksi hormon IAA. Lima isolat terbaik yang diperolah adalah isolat SGLK2 (dari tanaman lili hujan dari Brebes), BOR1 (dari Bawang merah organik dari Bogor), SDLO6 dan SDLO9 (Lili laba-laba dari Brebes) dan SGLK1 (Lili hujan dari Brebes). Aplikasi isolat aktinomiset endofit tanaman Liliaceae mampu mengurangi masa inkubasi dan efektif mengurangi perkembangan penyakit busuk pangkal umbi pada tanaman bawang merah. Tiga isolat (SGLK2, BOR1 dan SGLK1) mampu menekan perkembangan penyakit busuk pangkal umbi bawang merah di rumah kaca. Aplikasi aktinomiset endofit tanaman Liliaceae lebih efektif menghambat pertumbuhan cendawan F. oxysporum f.sp. cepae dibandingkan dengan aplikasi fungisida kimia sintetik berbahan aktif mankozeb 80% dengan konsentrasi 2 g/L. Keefektifan penekanan tertinggi pada perlakuan SGLK2+Foc sebesar 21,88% dan terendah pada perlakuan BOR1+Foc sebesar 6,26%. Inokulasi aktinomiset endofit tanaman Liliaceae mampu meningkatkan ketahanan tanaman bawang merah dilihat dari aktivitas enzim peroksidase dan kitinase, namun tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan bawang merah. Lima terbaik isolat aktinomiset endofit tanaman Liliaceae diidentifikasi sebagai Streptomyces sp. Kata kunci: Brebes, Fusarium, identifikasi molekuler, induksi ketahanan, primer spesifik, Streptomyces, SUMMARY LISA MARIANAH. Potential of Endophityc Actinomycetes of Liliaceae as Biocontrol Agents of Basal Plate Rot Diseases (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallots. Supervised by ABDJAD ASIH NAWANGSIH, ABDUL MUNIF, GIYANTO, and EFI TODING TONDOK. Indonesia is one of the shallot-producing countries and has exported it to several countries, such as Malaysia, Thailand, and Singapore. Shallot productivity in Indonesia is still low and can still be increased. Factors causing the low national shallot production include attacks by pathogens that cause basal plate rot, namely Fusarium spp. complex species. Basal plate rot is a detrimental disease in shallot plants in Indonesia and worldwide because it causes damage in the field and storage. The pathogen that causes this disease in Indonesia has yet to be identified with certainty, whether it is only caused by one species or more. Control efforts at the farmer level currently still rely on synthetic chemical fungicides. Systemic application of chemical fungicides can cause a reduction in the population of beneficial microbes, including endophyte actinomycetes in plants. Reduced abundance of beneficial microbes in plants makes plants more susceptible to pathogens. Biological agents are an alternative control that is expected to reduce fungicide applications and be environmentally safe. Several biological agents that have been studied can suppress the development of basal plate rot, including Bacillus velezensis, Trichoderma sp., non-pathogenic Fusarium, and rhizosphere actinomycetes. Currently, in Indonesia, no research reveals the potential of endophytic actinomycetes of Liliaceae plants to suppress the development of basal plate rot disease on shallot plants. Endophytic actinomycetes were a group of bacteria reported to have potential as biocontrol agents. Endophytic actinomycetes were the largest producers of secondary metabolites containing antibiotics, producing antifungal bioactive compounds that induce resistance and stimulate plant growth. Compared to other biocontrol agents, the ability to directly inhibit pathogens and induce plant resistance is an advantage of endophytic actinomycetes. Endophytic actinomycetes live in plant tissue, thus providing the benefit of reducing external disturbing factors. It is feared that the high intensity of pesticide application in shallot cultivation will cause a reduction in the abundance of beneficial microbes so that other plants in the Liliaceae family group are needed as a source of endophytic actinomycete isolates. This research aimed to 1) identify and study the morphology of Fusarium spp. complex species causes of basal plate rot disease on shallots of Java; 2) examine the symptoms of basal plate rot disease on shallots due to infection by the pathogenic fungus Fusarium spp.; 3) obtain potential endophytic actinomycete isolates in suppressing the growth of the fungus F. oxysporum f.sp. cepae; 4) evaluate the mechanism of endophytic actinomycetes inhibition against F. oxysporum f.sp. cepae. The research consisted of 4 stages: 1) isolation of the fungus Fusarium spp. and endophytic actinomycetes of Liliaceae plants; 2) testing the potential of endophytic actinomycetes as biocontrol agents; 3) testing the effectiveness of actinomycete isolates against F. oxysporum f.sp. cepae; 4) colonization test and molecular identification of endophytic actinomycete isolates. The fungus F. oxysporum f.sp. cepae was isolated from shallot plants and had basal plate rot disease symptoms from Brebes. The pure isolate was observed for its morphology, tested for pathogenicity on shallot bulbs and plants, and then identified molecularly using universal primers and specific primers (SIX3, C5, and CRX1). Endophytic actinomycetes were isolated from Liliaceae family plants using WYA, CSA, and YEMA growth media. Isolates were confirmed by morphological observation and purified on ISP2 media. The isolate was tested for biosafety using a hypersensitivity reaction and hemolysis test, followed by a potency test such as antagonistic properties against F. oxysporum f.sp. cepae, peroxidase enzyme activity analysis, chitinase enzyme production test, IAA production test, and volatile organic compound inhibition test. The five best isolates were selected based on AHP. These isolates were used to test the effectiveness of endophytic actinomycete isolates from Liliaceae plants against F. oxysporum f.sp. cepae in the greenhouse. The Experiment in the greenhouse used a randomized block design with eight treatments, three replications, and 22 plants a replication. The actinomycete application uses wounding and soaked methods, while the application of the fungus F. oxysporum f.sp. cepae inoculated at the time of planting. Observation parameters consist of the incubation period, the disease incidence and severity, plant height, number of tillers, and analysis of peroxidase and chitinase enzymes recorded. Finally, colonization and molecular identification tests were carried out using universal actinomycete primers 27F and 16Sact1114R on the five best isolates. As a result of observations in the field, three symptoms of basal plate rot disease were found, namely chlorotic and twisted leaves, flat leaves, wilted plants, and dry leaf tips and rotting tubers. Eight isolates of Fusarium spp. have been isolated, and they have different morphologies and cause various symptoms. The identification results of eight isolates of Fusarium spp. of these, five isolates were F. solani, two isolates were F. oxysporum, and one isolate was F. proliferatum. The results of DNA application using specific primers for F. oxysporum f.sp. cepae succeeded in detecting BC4 and BBS6 isolates using the three primers. F. solani fungus infection causes stunted plant growth and dry leaf tips, F. oxysporum f.sp. cepae causes symptoms of chlorosis and twisting of leaves, while F. proliferatum causes stunted plant growth, twisting of leaves, and drying of leaf tips. F. oxysporum f.sp. cepae has a higher level of virulence than the other two species. Sixty-four endophytic actinomycete isolates were isolated from 11 types of Liliaceae plants from 4 regions. There were 27 isolates from Brebes, 19 from Bengkulu, 11 from Cianjur, and seven from Bogor. A total of 24 isolates were negative for the biosafety test; 12 isolates could inhibit F. oxysporum f.sp. cepae in vitro was above 50%, six isolates 30-49%, and six isolates less than 10%. Inhibitory mechanisms include antibiosis, lysis, and resistance induction. Liliaceae endophytic actinomycetes also have the potential to stimulate growth by producing the hormone IAA. The five best isolates obtained were SGLK2 and SGLK1 from rain lilies from Brebes, BOR1 from organic shallots from Bogor, SDLO6 and SDLO9 from orange lilies from Brebes. Application of Liliaceae endophytic actinomycete isolates can reduce the incubation period and effectively reduce the development of basal plate rot disease in shallot plants. Three isolates (SGLK2, BOR1, and SGLK1) could suppress greenhouse basal plate rot disease growth. The application of endophytic actinomycetes on Liliaceae plants was more than adequate in inhibiting the fungus F. oxysporum f.sp. cepae growth compared with applying a synthetic chemical fungicide containing the active ingredient 80% mancozeb at a concentration of 2 g/L. The highest suppression effectiveness was in the SGLK2+Foc treatment at 21.88%, and the lowest was in the BOR1+Foc treatment at 6.26%. Inoculation of endophyte actinomycetes of Liliaceae plants can increase plant resistance, as seen from the activity of peroxidase and chitinase enzymes, but did not affect plant height and number of shallot seedlings. The five isolates best of endophyte actinomycetes from Liliaceae plants identified as Streptomyces sp. Keywords: Brebes, Fusarium, molecular identification, resistance induction, specific primers, Streptomyces. Keyword:Brebes, Fusarium, molecular identification, resistance induction, specific primers, Streptomyces
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Design of an Intervention Model to Enhance Technology Adoption for Reducing Postharvest Losses in the Mangosteen Supply Chain Abstrak:Susut dan limbah pangan (food loss dan food waste) merupakan salah satu masalah pada rantai pasok pangan yang berdampak negatif pada aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Pada aspek ekonomi, nilai susut yang menggambarkan volume yang terbuang dapat mengurangi produktivitas rantai pasok dan berakibat pada rendahnya pendapatan para aktor di sepanjang rantai pasok. Hal ini berdampak dalam jangka panjang pada aspek sosial, yaitu berpotensi meningkatkan kemiskinan, baik pada aktor rantai pasok, maupun pada pemangku kepentingan yang berada dalam ekosistemnya. Pada aspek lingkungan, rendahnya produktivitas antara lain akan mendorong masyarakat untuk menambah faktor produksi atau membuka lahan baru, yang merupakan tindakan korektif yang membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar, serta mengancam kelestarian lingkungan. Penurunan nilai susut dengan membenahi pengelolaan rantai pasok merupakan salah satu alternatif peningkatan produktivitas yang paling optimal yang dapat dilakukan oleh seluruh aktor rantai pasok dan para pemangku kepentingan dalam ekosistemnya. Jenis pangan dengan nilai susut yang paling tinggi adalah jenis buah dan sayuran, dan buah manggis adalah jenis buah dengan nilai susut pascapanen yang tinggi (34- 37%/tahun). Nilai susut pascapanen merupakan nilai susut yang paling tinggi di sepanjang rantai pasok, dengan segala permasalahannya di setiap aktor. Praktik pascapanen pada bagian hulu rantai pasok buah manggis yang dilakukan petani dan pedagang perantara di Indonesia masih bersifat tradisional akibat rendahnya tingkat pemahaman mereka atas susut dan kaitannya dengan pendapatan. Berdasarkan studi terdahulu, teknologi yang digunakan pada rantai pasok pangan terbukti dapat menurunkan nilai susut. Praktik pascapanen di bagian hilir rantai pasok buah manggis telah menggunakan beberapa teknologi, tetapi untuk meningkatkan tingkat produktivitas baik di hulu maupun di bagian hilir, para aktor rantai pasok buah manggis membutuhkan akses informasi teknologi preservasi yang tepat atau jenis teknologi lain yang sesuai dengan kondisi keterbatasan yang ada. Berdasarkan kondisi dan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor yang memengaruhi adopsi teknologi pada aktor rantai pasok buah manggis dan membangun model intervensi yang sesuai dalam upaya peningkatan adopsi teknologi untuk menurunkan nilai susut pascapanen pada rantai pasok buah manggis. Studi ini menggunakan pendekatan Soft System Dynamics Methodology (SSDM) yang merupakan kombinasi pendekatan Soft System Methodology (SSM) dan System Dynamics (SD), dan merupakan gabungan soft system dan hard system. Pendekatan ini digunakan untuk mengakomodasi kompleksitas yang ada pada rantai pasok buah manggis dengan menggali fenomena pada dunia nyata dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, serta memodelkannya ke dalam pemodelan matematis dalam sistem dinamik, yang memetakan perilaku sistem dan mampu meramalkan perilaku susut di masa depan. Alat yang digunakan pada tahap analisis situasional untuk mengidentifikasi faktor determinan adopsi teknologi adalah SEM PLS untuk pengolahan data 131 petani dan 33 pedagang perantara dan Content Analysis untuk analisis data hasil wawancara eksportir dan pengolah, dilanjutkan dengan penggunaan Interpretive Structural Modeling (ISM) untuk merumuskan beberapa alternatif strategi dan program intervensi. Elemen kunci yang dihasilkan dari analisis ISM kemudian diturunkan menjadi beberapa skenario untuk disimulasikan. Simulasi model system dynamics dilakukan untuk mendapatkan beberapa perilaku sistem terkait dengan nilai susut setiap aktor pada rantai pasok untuk setiap skenario. Prioritas strategi dan program ditentukan dengan menggunakan alat analisis Analytic Network Process (ANP), dan hasilnya menjadi rekomendasi strategi dan program yang dirangkaikan menjadi model intervensi peningkatan adopsi teknologi untuk menurunkan nilai susut pada rantai pasok buah manggis. Lingkup program intervensi selanjutnya diilustrasikan dengan pendekatan logika intervensi dan Work Breakdown Structure, sebagai bahan acuan pada tahapan eksekusi program. Hasil penelitian, yang berupa model intervensi, menyatakan bahwa bentuk kemitraan berdasarkan kontrak kerja sama (contract farming) antara petani dan eksportir serta petani dan pengolah adalah bentuk yang paling memberikan penurunan nilai susut yang paling tinggi. Terjadinya pertukaran manfaat pada sistem kemitraan, yaitu pemberian dana infrastruktur dan pembinaan kapabilitas petani oleh mitra dan pemberian jaminan pasokan buah manggis yang sesuai spesifikasi dan standar mitra oleh petani, mendorong peningkatan kapabilitas dan penggunaan teknologi pada aktor rantai pasok yang berpengaruh positif pada penurunan nilai susut pascapanen. Intervensi perlu dilakukan di bagian hulu dan hilir rantai pasok oleh para pelaku pada konsep hexahelix, yang melibatkan enam pelaku pada intervensi peningkatan adopsi teknologi untuk menurunkan susut pascapanen. Pelaku-pelaku tersebut adalah petani sebagai aktor yang terkena dampaknya, industri (eksportir dan pengolah) yang berperan besar dalam kemitraan, pemerintah sebagai regulator, inisiator awal dan fasilitator, universitas yang berperan dalam pengembangan dan diseminasi teknologi, lembaga swadaya masyarakat yang berkontribusi dalam pendanaan dan pemberdayaan petani, serta media informasi sebagai alat diseminasi teknologi. Perubahan perilaku yang diharapkan pada bagian hulu (pada petani dan pedagang perantara) adalah peningkatan adopsi teknologi, penurunan nilai susut, peningkatan kualitas buah, dan peningkatan pendapatan. Perubahan perilaku di bagian hilir (pada eksportir dan pengolah) adalah peningkatan diversifikasi produk olahan, peningkatan diversifikasi pasar, peningkatan pendapatan, dan penurunan risiko volume pasokan. Model intervensi hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pemerintah dalam memilih strategi dan program intervensi yang sesuai untuk meningkatkan adopsi teknologi para aktor rantai pasok buah manggis dalam rangka menurunkan nilai susut pascapanen. Implikasi manajerial lainnya adalah hasil identifikasi masalah pada setiap aktor rantai pasok dapat digunakan bagi organisasi lain pada ekosistem rantai pasok untuk berkontribusi dalam bentuk hibah atau penawaran kontrak kerja sama yang saling memberikan manfaat., Food loss and waste represent a significant problem in the food supply chain, negatively impacting economic, social, and environmental aspects. The value of food loss, indicating the volume of waste, reduces productivity and income for supply chain actors. The income reduction has a long-term-social impacts, potentially exacerbating poverty among these actors and other stakeholders within the ecosystem. Environmentally, reduced productivity may drive efforts to increase production factors or develop new land, which are inefficient, ineffective, and environmentally harmful corrective actions. Reducing food loss by improving supply chain management is an optimal productivity enhancement strategy for all supply chain actors and stakeholders. The highest food loss rates are found in fruits and vegetables, with mangosteen having an exceptionally high postharvest loss rate (34-37%) per year. Previous studies have shown that technology can reduce food loss. However, the use of technology in Indonesia’s mangosteen supply chain needs improvement due to suboptimal management at both the upstream and downstream ends. Upstream postharvest practices done by farmers and intermediaries are still traditional due to a low understanding of loss and its impact on their income. Downstream practices require access to appropriate preservation technology. This research aims to identify factors influencing technology adoption in the supply chain and develop an intervention model to increase technology adoption and reduce postharvest loss in the mangosteen supply chain. This study employs the Soft System Dynamics Methodology (SSDM), combining Soft System Methodology (SSM) and System Dynamics (SD) as a combination of hard and soft system methods, to accommodate the complexity of the mangosteen supply chain. This approach uses qualitative and quantitative methods to explore real-world phenomena and use them as a basis for developing a System Dynamics model. By conducting simulations based on some scenarios, the model predicts future behavior related to mangosteen food loss. The situational analysis stage in this study uses SEM PLS for processing data from 131 farmers and 33 intermediaries and Content Analysis approach for analyzing exporters and processors’ interview data, followed by employing the Interpretive Structural Modeling (ISM) to formulate intervention strategies and programs. Key elements as results of ISM analysis were synthesized to develop scenarios for model simulations. System dynamics model simulations identify behaviors related to supply chain actors’ food loss in each scenario. Strategy and program priorities were determined using the Anaytic Network Process (ANP), leading to strategy and program recommendations structured into an intervention model. The scope of the intervention program was illustrated using the Intervention Logic and Work Breakdown Structure (WBS) for program execution. The research’s intervention model suggests that partnership arrangements, such as contract farming between farmers and exporters or processors significantly reduce food loss. Benefits of such partnerships include infrastructure funding and capability development for farmers and a guaranteed supply of standard-compliant mangosteen for partners, enhancing capability and technology use, which positively impact postharvest loss reduction. Interventions are required at both ends of the supply chain, upstream and downstream, with a recommended hexahelix concept involving six actors: (1) farmers; (2) exporters and processors as business entities; (3) government as regulators, initiators and facilitators; (4) universities for developing and disseminating technology; (5) NGOs for funding and empowerment; and (6) information media as a channel for disseminating technology information. Expected behavioral changes include increased technology adoption, reduced loss, improved fruit quality, income increases for upstream actors (farmers and intermediaries), product diversification, income increases, and reduced supply volume risk for downstream actors (exporters and processors). The intervention model, as a result in this study, references government strategies and programs to enhance technology adoption among mangosteen supply chain actors, reducing postharvest loss. Other managerial implications include making the information of problems faced by each supply chain actors practical for other organizations in the ecosystem to contribute through grants or mutually beneficial partnership contracts. Keyword:contract farming, intervention, mangosteen, postharvest loss, supply chain, technology adoption
Judul: Model Intervensi Pemerintah pada Program Alih Teknologi untuk Meningkatkan Inovasi Produk Usaha Mikro dan Kecil Pangan (Studi Kasus di Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam, LIPI) Abstrak:AGNES IRWANTI. Model Intervensi Pemerintah pada Program Alih Teknologi untuk Meningkatkan Inovasi Produk Usaha Mikro dan Kecil Pangan (Studi Kasus di Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam, LIPI). Dibimbing oleh MARIMIN, PURWIYATNO HARIYADI, ERIYATNO, dan LAKSANA TRI HANDOKO. Usaha Mikro dan Kecil Pangan (UMKP) memiliki peran penting untuk ketahanan pangan lokal, menyerap tenaga kerja, hingga berkontribusi pada perekonomian daerah maupun negara. Setelah mengalami tekanan persaingan dengan dibukanya perdagangan bebas sehingga produk pangan dari luar menggerus pangsa pasarnya, UMKP juga terdampak oleh pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19). Di normal baru akibat pandemik COVID-19, UMK Pangan (UMKP) diperbolehkan membuka kembali usahanya dengan mematuhi protokol kesehatan sesuai dengan ketentuan pemerintah. Pelanggan pun memiliki normal baru, mereka membutuhkan produk pangan yang higienis, bergizi, kemasan aman dengan umur simpan yang lama, dan bermanfaat untuk meningkatkan imunitas. Inovasi produk yang memenuhi kebutuhan pelanggan adalah salah satu elemen kunci yang dapat membantu sektor ini untuk dapat bertahan. Keterbatasan sumberdaya UMKP membuat sektor ini sulit melakukan inovasi produk, sehingga intervensi pemerintah sangat dibutuhkan untuk membantu UMKP melakukan inovasi produk dalam jangka waktu yang singkat. Badan Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA) LIPI, sebuah lembaga riset milik pemerintah, memiliki rekam jejak melakukan intervensi pemerintah pada program alih teknologi (IPPAT). Studi ini dilakukan untuk investigasi program yang dijalankan oleh institusi tersebut dengan UMKP binaanya. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini memadukan Soft System Methodology (SSM) dan System of System Methodology (SOSM) dalam suatu kerangka kerja yang utuh dan saling mendukung, dengan pendekatan Analisa induktif dan deduktif sehingga dapat membangun model konseptual yang komprehensif dan aksi perbaikan yang dimungkinkan. Tujuan dari studi ini adalah: 1) Membuat analisis dan klastering UMKP; 2) Analisis situasional pada pelaku intervensi; 3) Membangun model konseptual; dan 4) Membuat rekomendasi prioritas rencana aksi. Pada tujuan satu (1), analisis dan klastering pada UMKP dilakukan survei lapang pada 76,0% dari total UMKP binaan BPTBA LIPI. Statistik deskriptif digunakan untuk melakukan klastering dan membentuk empat (4) klaster berdasarkan skala usaha dan jenis produksi pangan yang dihasilkan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kapasitas inovasi pada UMKP secara signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja inovasi produk, dengan nilai pengaruhnya sebesar 52,0%. Pengujian secara mandiri per dimensi terhadap kinerja inovasi yakni sebagai berikut: Comercialization Capability sebesar 50,5%; Knowledge and Technology Management sebesar 48,9%; Project Development Capability sebesar 47,8%, dan Idea Management Capability sebesar 26,6%. Hasil analisis ini digunakan sebagai masukan pada program intervensi sehingga sesuai dengan kebutuhan. Pada pengukuran path analysis, pengaruh kapasitas inovasi secara langsung terhadap kinerja inovasi produk adalah 0,456. Sedangkan jika melalui adopsi teknologi (dari program alih teknologi yang diberikan) adalah sebesar 0,265. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi kurang efektif pada kinerja inovasi produk UMKP. Oleh sebab itu diperlukan penguatan kapasitas inovasi pada UMKP berupa intervensi alih teknologi untuk meningkatkan inovasi produk. Tujuan dua (2), analisis situasional pada pelaku intervensi, dilakukan dengan pengamatan partisipatif dan wawancara mendalam. Faktor-faktor signifikan yang ditemukan berpengaruh pada sistem, digunakan sebagai input pada tahap selanjutnya. Dari sini dihasilkan Rich Picture, CATWOE, dan definisi akar (root definition). Purposive Activity Model (PAM) dan Interpretive Structural Modelling (ISM) digunakan untuk membangun model konseptual secara induktif dan deduktif pada tujuan tiga (3). PAM sebagai pendekatan induktif, menghasilkan aktivitas sesuai tujuan dan dimasukkan sebagai aktivitas masing-masing lembaga yang relevan. Pendekatan deduktif dengan ISM digunakan untuk menstrukturkan model. Selanjutnya dirumuskan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi sehingga model tersebut dapat berjalan dengan analisis Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST). Menghasilkan model intervensi pemerintah pada program alih teknologi untuk UMKP yang komprehensif, dengan jaringan inti BPTBA -Pusat Pengembangan Inovasi dan IPTEK (PPII), BPTBA sebagai penghasil inovasi teknologi dan PPII sebagai pelaku intervensi alih teknologi (Kantor Alih Teknologi). Jaringan pendukung yang terbentuk adalah lembaga standarisasi, lembaga perijinan dan lembaga terkait yang memiliki komitmen terhadap UMKP. Aktivitas dalam model kelembagaan diturunkan dengan analisis Business Model Canvas (BMC) sebagai model operasional. Model IPPAT, dalam tataran strategis dapat digunakan sebagai acuan pada studi penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Tujuan empat (4) adalah menentukan prioritas rencana aksi, menggunakan Analytical Network Process (ANP), dihasilkan rekomendasi prioritas rencana aksi yang perlu dilakukan adalah membangun jejaring kemitraan, dengan urutan tahapan implementasi aksi berdasarkan bobot nilai klaster yang terbesar yaitu: klaster aspek finansial, klaster produk, klaster hubungan dengan pelanggan, dan klaster manajemen infrastruktur. Keyword:food micro small enterprise, intervention, model, SOSM, SSM, technology transfer
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Kajian biologi reproduski dan penerapan teknologi inseminasi buatan pada rusa timor (Cervus timorensis) Abstrak:Satu rentetan penelitian telah dilakukan tentang biologi reproduksi dan inseminasi buatan pada rusa timor (Cervus timorensis) pada penangkaran di Jakarta dan Cianjur selama tiga tahun berturut-turut, dari tahun 2003 sampai dengan 2005. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan memperoleh data dasar tentang biologi reproduksi, termasuk anatomi dan morfometri organ reproduksi rusa timor jantan dan betina, kelakuan reproduksi, dan profit honnon yang mengendalikan kelakuan siklik reproduksi tersebut, karakteristik dan preservasi semen, dan aplikasi teknologi inseminasi buatan (18) dalam upaya domestikasi dan · pemanfaatan hewan liar ini menjadi ternak harapan baru sebagai sumber protein hewani bagi konsumsi manusia, disamping keuntungan sampingan lainnya bagi kemakmuran mayarakat Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas penelitian yang dilakukan terdiri atas enam tahapan penelitian yang sesuai dan berkesinambungan. Hasil penelitian tahap pertama yang mempelajari anatomi dan morfometri organ reproduksi rusa timor jantan dan betina menunjukkan kesamaannya dengan pada ruminansia kecil lainnya dengan beberapa pengecualian penting. Panjang, diameter dan berat testis rusa timor adalah masing-masing 82.04 ± 3.53 mm, 36.55 ± 4.13 mm, dan 108.11 ± 5.95 g. Kelenjar vesikularis terletak sejajar dengan ampulla vas deferens. Ukuran besarnya mencapai dua kali lipat tetapi beratnya relatif lebih rendah daripada kelenjar prostat. Tampaknya tidak terdapat fleksura sigmoidea pada badan penis, sedangkan glans penis berbentuk bulat. Sayatan melintang pada batang penis menunjukkan adanya jaringan kavernosa yang, disamping glans penis berbentuk bulat, mengarahkan kepada kesimpulan bahwa organ kopulatoris pada rusa timor jantan ini tergolong tipe musculocavemosus seperti pada kuda dan primata. Karakteristik utama lainnya dari organ kelamin jantan pada rusa timor adalah bahwa kelenjar Cowper atau kelenjar bulbourethralis tidak jelas atau mungkin tersembunyi di dalam lapisan otot pada bagian urethra di akar penis, untuk tetap melaksanakan fungsinya mencuci urethra selaku saluran pengeluaran semen sebelum ejakulasi. Organ reproduksi rusa timor betina bagian kiri tampaknya lebih aktif daripada bagian kanan dilihat dari ukuran­ukurannya. Berat, panjang, dan lebar ovarium kiri, misalnya, mencapai masing-masing 0.94 ± 0.34g, 0.96 ± 0.81 mm, dan 0.71 ± 0.50 mm, sedangakan ovarium kanan masing-masing 0.68 ± 0.24g, 0.66 ± 0.47 mm, dan 0.62 ± 0.48 mm. Panjang tuba r fallopii maupun copus uteri kiri relatif lebih panjang masing-masing (66.7 ± 2.48 mm dan 120. 7 ± 1.46 mm) daripada yang di sebelah kanan masing-masing (155. 7 ± 1.00 mm dan. 111.0 ± 0.53). Cervix yang lebih panjang daripada corpus uteri (56.7 ± 1.20 mm dan 14.0 ± 0.20 mm) mempunyai empat sampai lima (4.33 ± 0.58) cincin-cincin anuler, yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan teknik inseminasi buatan. Kelakuan reproduksi rusa timor jantan yang dipelihara di dalam kandang kelompok mencakup rutting ( libido ), tertarik pada rusa betina, berkelahi dan spray urinasi. Kelakuan reproduksi lainnya adalah sering ereksi, menaiki rusa jantan lain,,,dst Keyword:tingkah laku rusa, organ reproduksi, rusa timor, evitel vagina
Judul: Studi kemampuan reproduksi dan produksi babirusa Babyrousa babyrussa celebensis deniger melalui upaya budidaya Abstrak:Asal-usul babirusa di KBS adalah dari Posa (Sulawesi Tengah), sehingga tergolong dalam sub species Babyrousa babyrussa celebensis Deniger. Tatalaksana pemeliharaan dilakukan secara ekstensif. Aktifitas reproduksi berlangsung sepanjang tahun. Jumlah anak sekelahiran berkisar antara satu (57.14 persen) dan dua (42.86 persen) ekor. Mortalitas anak di bawah umur satu bulan mencapai 83.33 persen, disebabkan oleh kanibal (28.00 persen) dan mencret putih / white scour (72.00 persen). Efisiensi reproduksi sangat rendah, selama kurun waktu 1987 - 1991 mencapai 1.01, 0.34, 0.28, 0.10 dan 0.15. Perilaku ingestive menunjukkan: omnivora, mengupas pakan terbungkus {pisang, jagung), tidak mendusir (rooting) dan menggali (digging) serta sulit mengambil dan menelan pakan tepung kering. Perilaku lain mirip dengan babi piara. susunan gigi, anatomi lambung dan caecum menunjukkan sebagai satwa berlambung tunggal (monogastric) ; tipe uterus bipartitus seperti halnya rusa Timar sedang pada babihutan bicornua. Jumlah puting susu aktif hanya sepasang. Keyword:Babyrousa, Babyrousa babyrussa celebensis Deniger
Judul: The impact of oil fuel price subsidy policy on fiscal and national income performance Abstrak:The objectives of this study was to analyze the impact of oil fuel price subsidy policy on fiscal and national income performance. A simultaneous equestions econometric model of oil fuel price subsidy was estimated using Two – Stage Least Squares (2SLS) method and SYSLIN procedure for the data set period of 1987-2005. The validation model of the oil fuel price subsidy policy used NEWTON method and SIMNLIN procedure. The government policy to increase oil fuel price subsidy showed that surplus of balance of trade was decreased, and the economic growth was decreased. However, the number of poor people was decreased because the inflation rate was decreased. The government policy to decrease oil fuel price subsidy showed that surplus of balance of trade was increased, fiscal deficit was decreased, and the economic growth was increased. However, the number of poor of people was decreased because inflation rate was decreased and income was increased. As the conclusion, the government policy to decrease oil fuel price subsidy was need to increase the surplus of balance of trade, decrease the deficit fiscal, increase the economic growth, and decrease the number of poor people. Keyword:
Judul: IPB (Bogor Agricultural University) Abstrak:Penelitian ini dilandasi oleh latar belakang pemikiran, bahwa Indonesia sebagai negara tropis memiliki suhu lingkungan yang tinggi dan berada di atas suhu kenyamanan bagi broiler. Dilain pihak penyusunan ransum di Indonesia, tidak memasukkan vitamin C di dalam daftar kebutuhan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh broiler. Hal ini di dasarkan pada kemampuan broiLer untuk mensin tesis vitamin C di dalam tubuhnya. Keyword:
Judul: IPB (Bogor Agricultural University) Abstrak:Tujuan percobaan adalah untuk mengkaji hasil fermentasi dalam rangka meningkatkan nilai nutrisi bungkil kedelai serta mengetahui daya hamabat antibiotik yang dihasilkan oleh jamur Rhizopus oligosporus terhadap berbagai bakteri dan pengaruh tingkat penggunaan tempe bungkil kedelai dalam ransum terhadap performans ayam broiler. Keyword:
Judul: Development of Generalized Space-Time Model with Exogenous Variable by using Transfer Function Model Approach Abstrak:pada beberapa lokasi. Data ini memberikan dua informasi mengenai pola deret waktu dan pola keterkaitan satu lokasi dengan lokasi lainnya. Pemodelan data ruang waktu yang telah berkembang saat ini adalah model ST ARMA (Space-Time Autoregressive Moving Average) yang diperkenalkan oleh Pfiefer dan Deutsch (1980) dan model GSTARIMA (Generalized Space-Time Autoregressive Integrated Moving Average) yang diperkenalkan pertama kali oleh Borovkova et al. (2002). Model GSTARIMA merupakan pemodelan yang dapat mengatasi kekurangan model STARIMA dalam menangkap keheterogenan karakteristik setiap lokasi. - Pada perkembangannya pemodelan tidak hanya mengandalkan pengaruh peubah yang sama, namun perlu dukungan peubah lainnya yang mungkin mempengaruhi peubah tersebut. Peubah yang mempengaruhi suatu peubah lainnya disebut peubah eksogen. Model GSTARIMA yang melibatkan peubah eksogen disebut sebagai model GSTARIMA-X. Saat ini kajian mengenai model GSTARIMA dengan melibatkan peubah eksogen belum populer di dalam publikasi ilmiah, sehingga perlu dilakukan pengembangan model tersebut. Pemodelan ruang waktu yang telah berkembang mempunyai dasar dari pemodelan deret waktu yang melibatkan pengaruh spasial di dalamnya. Hal tersebut menyebabkan pemodelan ruang waktu yang melibatkan peubah eksogen dapat juga didekati dengan pemodelan deret waktu yang melibatkan peubah eksogen. Struktur data ruang waktu pada dasamya menyerupai bentuk data deret waktu peubah ganda. Oleh karena itu pemodelan ruang waktu yang melibatkan peubah eksogen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemodelan deret waktu peubah tunggal dengan peubah eksogen untuk masing-masing lokasi dan pemodelan deret waktu peubah ganda untuk seluruh lokasi dengan peubah eksogen. Pemodelan deret waktu peubah tunggal dengan peubah eksogen dikenal sebagai model ARIMAX (Autoregressive Integrated Moving Average-X). Pemodelan deret waktu peubah ganda dengan peubah ganda dengan peubah eksogen dikenal sebagai model V ARIMAX (Vector Autoregressive Integrated Moving Average-X). Keterlibatan peubah eksogen di dalam model deret waktu ada dapat menggunakan beberapa cara salah satunya dengan memperhatikan keterlambatan respon. Teknik pemodelan yang memperhatikan keterlambatan respon dari peubah eksogen terhadap peubah respon disebut model fungsi transfer. Pendekatan model fungsi transfer memungkinkan digunakan dalam model GSTARIMA-X untuk menghasilkan model yang dinamis antara peubah eksogen dengan peubah respon dan dapat menangkap pengaruh spasial di dalamnya., Space-time data is a set of time series data observed in several locations. This data gives two information about time series pattern and pattern of the neighborhood between locations. Space-time data modeling that have been developed are STARMA (Space-Time Autoregressive Moving Average) model was introduce by Pflefer and Deutsch (1980) and GSTARIMA (Generalized Space-Autoregressive Integrated Moving Average) was introduced by Borovkova et al . (2002). GST ARIMA model can overcome the lack of ST ARMA model in capturing the heterogenous characteristics of each location. Currently, modeling is not only relying the time periods in the same variables, but needs another variable that can influence the response variable. Variable that influence the response variable is called exogenous variable. The GSTARIMA model that involve exogenous variable is called GSTARIMA-X model. The study of the GSTARIMA model with exogenous variables has not been popular in scientific publications, so it is necessary to develop the model. The space-time modeling was developed by using time series modeling that involves spatial influences within it. The space-time modeling with exogenous variable can also be approximated by time series modeling with exogenous variable. The structure of space-time data resembles by structure of multivariate time series data. Thus space-time modeling with exogenous variables can be done in two ways i.e. by the univariate time series modeling with exogenous variable for each location and the multivariate time series modeling with exogenous variable for the whole locations. The univariate time series modeling with exogenous variable is known as ARIMAX (Autoregressive Integrated Moving Average-X) model. The multivariate time series modeling with exogenous variable is known as V ARIMAX (Vector Autoregressive Integrated Moving Average-X) model. The involvement of exogenous variable within the time series model can use several ways, one of them by observing the delay in response. The modeling technique that takes into account the response delay of exogenous variable to the response variable is called transfer function model. The approach of the transfer function model allows used in the GSTARIMA-X model to produce a dynamic model between exogenous variable with response variable and can capture spatial influences within them. Keyword:GSTARIMA model, transfer function model, cross correlation function, Arimax models, Varimax model, Augmented dickey-fuller
Judul: Perkembangan Kemandirian Pelaku Brain Gain Sebagai Alternatif Inovasi Regenerasi Pelaku Agribisnis Di Dataran Tinggi Jawa Barat. Abstrak:Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun model pendekatan regenerasi pelaku-pelaku di sektor pertanian melalui pendekatan brain gain berdasarkan kasus perkembangan kemandirian pelaku muda agribisnis di dataran tinggi Jawa Barat. Sedangkan tujuan khusnya adalah: (1) menganalisis secara deskriptif ekosistem, sosiosistem dan geosistem agribisnis dataran tinggi; (2) memetakan proses brain gain yang dilakukan oleh pelaku muda agribisnis, termasuk motivasi, orientasi dan proses adaptasinya; (2) menganalisis secara deskriptif karakteristik sosial ekonomi pelaku muda agribisnis, faktor-faktor yang menjadi penarik dan pendorong pelaku untuk kembali ke pedesaan dan beragribisnis di pedesaan; (3) menganalisis faktor-faktor dominan yang menarik dan mendorong pelaku muda kembali ke dan beragribisnis di pedesaan; (4) menganalisis kesiapan pelaku muda dalam beragribisnis dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, budaya, ekonomi, fisik-teknik dan kelembagaan pertanian; (5) menganalisis tingkat kemandirian pelaku muda agribisnis dalam menjalankan perannya sebagai generasi pertanian yang modern, berkualitas dan berdaya saing; (6) merumuskan strategi pengembangan kemandirian pelaku muda agribisnis (brain gain actors); dan (7) mengembangkan model-model brain gain yang efektif, efisien dan efikatif bagi regenerasi pelaku di sektor pertanian dan pedesaan. Penelitian berparadigma positivistik ini didesain secara terpadu (mixed method) dengan menempatkan desain kuantitatif secara dominant dan desain kualitatif secara less dominant. Penelitian dilaksanakan di dataran tinggi Provinsi Jawa Barat, dengan lokasi sampel Kabupaten Cianjur (Priangan Barat), Kabupaten Bandung (Priangan Tengah) dan Kabupaten Garut (PrianganTimur). Penelitian, pengolahan data, penulisan hingga pelaporan dilaksanakan dari bulan Juli 2014 sampai September 2015. Pelaku agribisnis yang berusia muda (15-40 tahun), berpendidikan relatif tinggi dan berkeahlian, yang berjumlah 7.728 orang (dari tiga lokasi terpilih) ditetapkan sebagai populasi penelitian. Dari populasi tersebut kemudian diambil sampel secara acak sebanyak 280 orang. Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara dengan kuesioner yang teruji, FGD dengan panduan, indepth interview dan obersvasi. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait melalui studi literatur (desk study). Data-data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis secara statistikal (deskriptif, korelasional, uji beda dan structure Equotion Model/SEM dengan alat bantu Lisrel 8.8) dan emik-etik (deskriptif, komparatif, interpretatif dan soft system methodology/SSM dengan pendekatan CATWOE). Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, separuh pelaku muda agribisnis (PMA) berpendidikan sarjana, berpendidikan non formal, berpengalaman kerja bidang non pertanian dan usaha bidang pertanian (on-farm, off-farm). PMA dikategorikan menjadi pelaku primer, pelaku sekunder dan pelaku tersier. Perantauan PMA dominan di kota-kota besar dalam provinsi, lainnya menyebar hingga ke luar negeri. Proses adaptasi PMA terbagi dalam tiga tipe perilaku, lamanya berkisar antara 1-3 tahun dan melalui empat tahapan evolusi. Orientasi pelaku primer cenderung pada better farming, pelaku sekunder better business dan pelaku tersier better environment. Kedua, karakteristik PMA sudah tergolong tinggi (41,76%), namun PMA yang benar-benar mapan baru sekitar 17,59 persen. Pribadinya unggul, tetapi lemah dalam karakteristik usaha dan kelembagaan. Pengalaman kerja dan usahanya tinggi, tetapi usaha agribisnisnya bias usahatani dan komoditas sayuran. PMA lemah dalam kemampuan praktis agribisnis, kewirausahaan, kepemimpinan dan keinovatifan. Ketiga, PMA berani kembali dan beragribisnis di pedesaan dominan terjadi karena faktor penarik, terutama keluarga, komoditas, perkembangan pasar, inovasi agribisnis dan potensi lingkungan. Keempat, kesiapan beragribisnis PMA tergolong tinggi, terutama dalam aspek sosial, lingkungan dan pemasaran. Mental merupakan inti dari seluruh kesiapan. PMA masih lemah dalam kesiapan personal, manajemen dan jejaring. Kelima, secara umum, hanya 40,28 persen PMA yang tingkat kemandiriannya tergolong tinggi. PMA sudah modern dalam beragribisnis, namun sebagian besar (62,09%) belum berkualitas dan belum berdaya saing. Keenam, terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik pelaku muda agribisnis, faktor penarik dan faktor pendorong dengan kesiapan pelaku muda untuk beragribisnis, serta antara kesiapan dengan tingkat kemandiriannya. Faktor penarik dan karakteristik personal lebih berkorelasi dengan kesiapan pelaku muda dalam beragribisnis, sedangkan faktor pendorong lebih berkorelasi dengan tingkat kemandiriannya. Ketujuh, berdasarkan hasil analisis SEM dan SSM diperoleh sembilan rumusan strategi pengembangan PMA, diantaranya kolaborasikan brain gain swadaya dengan brain gain formal, terapkan kebijakan brain gain internal maupun internasional, tumbuhkan komunitas kreatif pedesaan, ciptakan creative ecosystem, kembangkan pendekatan penyuluhan plural (pluralistic method) dan multidisiplin, kembangkan agribisnis ekologis dan terapkan reinovasi partisipatif. Kedelapan, terdapat lima model alternatif yang dapat diterapan dalam pengembangan kemandirian PMA, yakni model struktural, model matematis, model evolutif, model dinamis dan model multi helix. Semua model adaptif diterapkan dalam komunitas kreatif pedesaan dan akomodatif terhadap metode pluralistik. Berdasarkan hasil penelitian, maka direkomendasikan inovasi wirausaha, kualitas, kepemimpinan, proses dan lingkungan kreatif (creative ecosystem) di pedesaan, baik melalui integrasi ekosistem, sosiosistem dan geosistem maupun kolaborasi institusi. Kebijakan pembangunan pertanian, strategi agribisnis dan penyuluhan/pemberdayaan harus lebih ditujukan kepada penciptaan usaha-usaha dan pekerjaan alternatif yang adaptif dan inovatif. Penguatan kelembagaan PMA, dapat dilakukan melalui kebijakan brain gain; magang agribisnis, sekolah lapang wirausaha pedesaan (SLWP) dan penguatan kepemimpinan pemuda pedesaan (rural community leader). Metode pendidikan formal dan non fomal harus bersifat pluralistic dan multidisiplin, seperti SLA (Sekolah Lapang Agribisnis), PLRA (Participatory Learning and Rural Appraisal), MRA (Mitigation and Research Action), PGIS (Participatory Geografic Information System), CCES (Cyber and Collaborative Extension System) dan ECLES (Entrepreneur and Community Leader Extension System). Keyword:kemandirian, brain gain, inovasi, regenerasi, pelaku agribisnis
Judul: Tipologi Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya Berbasis Jaringan Komunikasi Online-Offline Untuk Kemandirian Petani Abstrak:Kemandirian ditandai oleh kemampuan berdaya saring, berdaya saing, dan mampu bekerjasama saling menguntungkan. Hal tersebut penting bagi petani dalam mengelola usaha, namun penelitian terdahulu mengindikasikan kemandirian yang dimiliki petani masih rendah. Upaya peningkatan kemandirian perlu dilakukan melalui interaksi pembelajaran partisipatif untuk komunitas petani. Salah satu organisasi petani di Indonesia yang menyelenggarakan pembelajaran partisipatif adalah Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S). Kegiatan P4S adalah menyampaikan informasi pertanian, menyelenggarakan pelatihan, magang, serta aktivitas pembelajaran pertanian lainnya. P4S dikelola oleh petani-petani sukses baik secara perseorangan maupun kelompok. Proses pembelajaran dilakukan di kelas didukung oleh praktek langsung yang dipandu petani berpengalaman. P4S merupakan organisasi penyuluhan dari petani untuk petani (farmer-to-farmer extension) yang tumbuh dari upaya swadaya masyarakat untuk mengatasi kurangnya dukungan media massa dan melemahnya lembaga penyuluhan dalam menyediakan informasi bagi petani. Kemajuan teknologi informasi mendorong pengelola P4S turut memanfaatkan Forum Diskusi Online (FDO) dalam proses pembelajaran bagi petani. Pernyataan pengelola P4S dalam diskusi mengungkapkan persepsi dan peran yang dilakukan P4S untuk masyarakat. Pendekatan kualitatif diterapkan pada tahap pertama kajian ini untuk menganalisis isi teks FDO. Peran P4S bagi petani pembelajar terungkap dari indikator kemandirian yang dimiliki petani pembelajar. Oleh karena itu, kajian ini tidak terbatas pada analisis teks FDO pengelola P4S saja, namun dikombinasikan dengan survei pada petani pembelajar. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan dan menganalisis isi FDO pengelola P4S mengenai pemanfaatan FDO; penggunaan FDO untuk meningkatkan kemandirian; peran P4S bagi masyarakat; serta pola pembelajaran petani di P4S; (2) mendeskripsikan dan menganalisis struktur jaringan komunikasi petani pembelajar P4S berdasar pola pembelajaran; (3) menganalisis kemandirian petani pembelajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan (4) merumuskan strategi komunikasi yang tepat untuk meningkatkan kemandirian petani dengan memperhatikan pola pembelajaran P4S. Paradigma pragmatis dengan strategi campuran bertahap (Sequential exploratory) diterapkan dengan menggunakan metode-metode secara berurutan. Tahap pertama pendekatan kualitatif diterapkan untuk mengidentifikasi pemanfaatan FDO; penggunaan FDO untuk meningkatkan kemandirian; peran P4S bagi petani; serta pola pembelajaran yang terjadi di P4S. Pada tahap pertama ditemukan tipologi pola pembelajaran di P4S yang dikaji lebih dalam pada tahap selanjutnya. Pada tahap berikutnya diterapkan pendekatan kuantitatif analisis jaringan komunikasi untuk mengungkapkan struktur jaringan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian. Tahap pertama adalah pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi terhadap text FDO para pengelola P4S di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Periode pengamatan sejak 24 Mei 2016 sampai dengan 30 Juni 2017 sebanyak 31.178 pernyataan. Metode analisis isi diterapkan untuk menganalisis seluruh pernyataan tersebut. Hasilnya memperlihatkan tahapan interaksi melalui FDO, pemanfaatan FDO sebagai sarana penyebarluasan informasi dan pemasaran, tahap kemandirian dalam diskusi, konstruksi peran sebagai pelaku social entrepreneur, pelaku kaderisasi pemuda pertanian, pandangan kritis pengelola terhadap keberadaan P4S bagi masyarakat, serta tipologi pola penyelenggaraan belajar di P4S. Identifikasi tipologi pembelajaran di P4S memperlihatkan adanya tiga pola yaitu informal (spontan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar); nonformal (terencana dalam bentuk pelatihan/magang); serta informal-nonformal (gabungan pola spontan dan terencana). Hasil tersebut dikaji lebih dalam pada tahap selanjutnya. Tahap kedua pendekatan kuantitatif analisis jaringan komunikasi pada level petani pembelajar di ketiga pola P4S. Responden petani pembelajar pada P4S berpola Informal sebanyak 48 orang; P4S Informal-Nonformal sebanyak 34; dan P4S Nonformal sebanyak 36 orang. Responden adalah para petani yang memperoleh pembinaan atau mengikuti pelatihan di P4S. Analisis jaringan komunikasi memperlihatkan perbedaan struktur komunikasi pada tiga pola pembelajaran P4S. P4S berpola pembelajaran informal memperlihatkan ketergantungan pada Star dan Opinion Leader serta kedekatan letak lokasi. Sebaliknya, petani pembelajar P4S berpola pembelajaran nonformal tersebar di lokasi yang berjauhan, dan mampu berjejaring dengan memanfaatkan teknologi informasi. Struktur komunikasi P4S berpola Informal-Nonformal memperlihatkan perpaduan dari pola Informal dan Nonformal. Tahap ketiga pendekatan kuantitatif metode Partial Least Square pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian petani pembelajar P4S. Data berasal dari wawancara menggunakan daftar pertanyaan pada petani pembelajar di ketiga tipologi P4S. Variabel yang diukur meliputi : (1) Karakteristik individu; (2) Dinamika P4S; (3) Modal sosial; (4) Kemandirian petani. Hasilnya memperlihatkan keempat variabel tersebut penting untuk peningkatan kemandirian pada semua jenis P4S. Ketiga P4S membutuhkan strategi berbeda sesuai karakteristik pola pembelajaran. Strategi bagi P4S Informal adalah memperkuat fungsi tugasnya sebagai wadah memenuhi kebutuhan usahatani secara bersama-sama. P4S Informal-Nonformal perlu peningkatan keefektifan proses pembelajaran dan tekanan pada komunitas internal serta menjalin jaringan usaha dengan komunitas luar yang pernah belajar disana. Strategi bagi P4S Nonformal adalah memberdayakan petani muda berpendidikan tinggi, mengembangkan jejaring usaha, menjalin kerjasama dengan universitas dan sekolah menengah kejuruan serta mengembangkan sistem pembelajaran yang menarik bagi petani muda. Perumusan strategi secara spesifik berdasar pola pembelajar akan mengarahkan upaya peningkatan kemandirian dengan lebih efektif. Keyword:Analisis Jaringan Komunikasi, Analisis Isi, Forum Diskusi Online, Kemandirian, Organisasi Penyuluh Swadaya
Judul: Antioxidant and anti-platelet aggregation activitie of cassia vera (Cinnamomum burmanni nees ax Blume) bark extract and it’s potency in preventing atherosclerosis in rabbit Abstrak:There has been limited report on the biological activities of cassia vera bark extract and the potency of cassia vera bark extract as antioxidant, anti-platelet aggregation, and anti-hypercholesterolemia, and its function as anti-atheroschlerosis in rabbit in not yet known. Keyword:
Judul: The Healing Process of Sprague Dawley Rat Burns with Catfish Moringa Flour-Based Food Instant Liquid Nano Formula Abstrak:Luka bakar merupakan cedera penyebab utama kecacatan dan kematian yang terjadi di seluruh dunia, terutama jika tidak diberi dukungan gizi yang tepat (Bloemsma et al. 2008; Portel et al. 2016). Asupan makanan yang dibutuhkan adalah yang mudah dikonsumsi, dicerna, dan diserap, dengan jumlah yang cukup (Prins et al. 2009). Sebelumnya telah dikembangkan makanan cair instan mengandung tepung lele dan tepung kelor dan diintervensikan pada pasien pasca bedah dan anak kurang gizi (Huda 2014; Wibisono 2015; Faidaturrosyida 2017; Kusharto dan Suseno, 2017). Selanjutnya produk ini dikembangkan untuk diberikan pada pasien luka bakar dengan memodifikasi ukuran partikel tepung ikan lele dan kelor melalui proses nanonisasi dan mikronisasi menggunakan ball miller. Proses milling diharapkan dapat meningkatkan bioavailabilitas kandungan zat gizi sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka bakar. Proses milling dilakukan dengan trial-error untuk mendapatkan ukuran partikel terkecil dari tepung lele dan tepung daun kelor. Tepung lele digiling selama 3 (tiga) jam dengan kecepatan 120 rpm menggunakan ball miller kapasitas 500 gram untuk mendapatkan ukuran diameter partikel 692,2 nm.Tepung kelor membutuhkan waktu 6 (enam) jam untuk mendapatkan ukuran diameter partikel 1.890 nm (1,8 µm). Makanan cair instan dibuat dengan menggunakan formula Faidaturrosyida (2017), hanya saja pada penelitian ini produk intervensi, tepung lele dan tepung kelor yang digunakan memiliki ukuran partikel yang lebih kecil setelah mengalami proses milling. Tepung lele dan tepung kelor yang telah di milling, kemudian dianalisis kandungan zat gizinya. Hal serupa juga dilakukan pada makanan formula cair yang akan diintervensikan. Proses milling memberikan dampak yang berbeda pada karakteristik tepung lele dan kelor. Setelah milling, kandungan air dan protein pada tepung lele menurun,sedangkan kandungan abu meningkat. Pada tepung kelor, peningkatan terjadi pada kandungan air dan abu, sedangkan kandungan lemak menurun. Selain itu, kandungan asam amino pada tepung lele setelah milling mengalami penurunan yang signifikan baik asam amino esensial maupun non esensial. Pada tepung kelor, asam amino selain treonin dan histidin mengalami penurunan. Kandungan asam lemak tepung lele setelah milling mengalami peningkatan signifikan (p<0,05), kecuali pada kandungan asam stearat. Hal serupa juga terjadi pada kandungan asam lemak tepung kelor, sebagian besar mengalami peningkatan kecuali pada asam palmitat, omega 3, dan total asam lemak tidak jenuh yang mengalami penurunan. Hasil uji menyatakan bahwa tingkat kesukaan terhadap warna dan aroma makanan cair nano (MCN) lebih disukai dibandingkan dengan makanan cair biasa (MCB). Selain itu, tingkat kesukaan terhadap rasa dan tekstur MCN lebih disukai dibandingkan dengan MCB. Hal ini berkaitan dengan menurunnya ukuran partikel sehingga dapat memperbaiki nilai polydispersity indeks (PI) kedua tepung tersebut setelah mengalami proses milling. PI tepung lele sebelum milling adalah 0,415 dan setelah milling menjadi 0,292, sedangkan PI pada tepung kelor sebelum milling iii sebesar 2,785 setelah milling menjadi 0,372. Nilai referensi PI pada tepung adalah kurang dari 0,7 (Mudalige et al. 2019). Artinya, pada penelitian ini, proses milling dapat memperbaiki nilai polydispersity indeks (PI) tepung lele maupun tepung kelor. Pada penelitian ini, intervensi dilakukan secara in vivo pada 15 ekor tikus Sprague dawley selama 14 hari. Tikus dibagi menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu kelompok kontrol MCI (diintervensi dengan makanan cair instan komersial), kelompok MCB15, MCB30, MCN15, MCN30. Angka 15 dan 30 artinya makanan diberikan sebanyak persentase tersebut dari jumlah kebutuhan kalori harian tikus. Tikus tetap diberikan pakan standar dan minum secara ad libitum. Semua kelompok tikus diberikan luka bakar dengan cara menempelkan plat besi panas selama 5 detik dengan ukuran luas luka 2,5 cm x 5 cm pada bagian peritoneum. Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa luas luka bakar pada setiap kelompok mengalami penurunan signifikan (p<0,05) dari pengukuran hari ke-1 hingga hari ke-14. Namun penurunan rata-rata luas luka bakar antar kelompok tidak berbeda signifikan. Selain itu, visualisasi proses penyembuhan luka bakar pada area trauma juga menunjukkan tahapan penyembuhan yang sama pada setiap kelompok, yaitu terjadi prosedì inflamasi, proliferasi, dan tahap awal remodelling. Walaupun secara statistik luas luka bakar antar kelompok tidak berbeda signifikan, namun area luas luka bakar terkecil terlihat pada tikus yang diintervensi dengan makanan formula cair mengandung partikel nano tepung lele-kelor dengan MCN 30. Hal ini didukung dengan data jumlah kolagen, sintesis kolagen tertinggi ditunjukkan pada tikus yang berada di kelompok ini. Namun hasil ini tidak selaras dengan jumlah epitel yang terukur pada masing-masing kelompok karena pada proses penutupan luka pada tikus mekanisme wound contraction dapat lebih cepat dibandingkan dengan proses epitelisasinya. Penelitian ini juga menyajikan data dampak dari intervensi terhadap metabolisme tikus dengan trauma luka bakar. Perbedaan intervensi pada penelitian ini tidak berpengaruh pada proses katabolisme tikus yang ditunjukkan oleh tidak signifikannya perbedaan berat badan tikus antar kelompok. Kadar glukosa darah pada semua kelompok tikus mengalami peningkatan pada 30 menit pertama setelah cidera luka bakar, namun kembali normal sejak hari ke-1 dan tidak berbeda signifikan antar kelompok. Kadar SGPT dan ureum antar kelompok tidak berbeda signifikan, namun kadar SGOT pada kelompok tikus intervensi makanan cair instan 15% (MCN 15) turun signifikan, sedangkan kreatinin naik signifikan. Selain itu, terdapat variasi gambaran hematologi pada tikus di setiap kelompok, namun sebagian besar variasi tersebut angkanya berada di kisaran normal. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa proses milling (nanonisasi tepung lele-mikronisasi tepung kelor) dapat memperbaiki rasa dan tekstur pada produk makanan formula cair dan cenderung lebih baik dalam membantu proses penyembuhan luka bakar pada tikus., Burn injuries are the leading cause of death and disability on a global scale, particularly if they are not treated with proper nutritional support (Bloemsma et al. 2008; Portel et al. 2016). Sufficient quantities of food that are easily consumed, digested, and absorbed are required (Prins et al. 2009). Previously, instant liquid foods containing catfish flour and moringa flour were created and administered to post-operative patients and malnourished children (Huda 2014; Wibisono 2015; Faidaturrosyida 2017; Kusharto and Suseno 2017). In addition, this product was designed for administration to burn patients by modifying the particle size of catfish and moringa fish meal via nanonization and micronization processes using a ball miller. The milling process is anticipated to increase the bioavailability of nutrients, thereby accelerating the healing of burn wounds. Through trial and error, catfish flour and moringa leaf flour with the smallest particle size were obtained during the milling process. Using a 500 gram ball miller capacity, catfish flour was ground for three hours at 120 rpm to obtain a particle diameter of 692,2 nm. It took six hours for moringa flour to achieve particle diameter of 1.890 nm (1,8 µm). The Faidaturrosyida (2017) formula was used to create instant liquid foods, but in this study, the intervention products, catfish flour, and moringa flour had smaller particle sizes after milling. The nutritional content of catfish and moringa flour that had been milled was then determined. The same is done for liquid instant formulas that will be intervened upon. The milling process has a different impact on the characteristics of catfish and moringa flour. Catfish flour contains less water and protein after milling, while its ash content increases. The water and ash content of Moringa flour increased, while the fat content decreased. In addition, the content of both essential and non essential amino acids in catfish flour decreased significantly the following milling. Other amino acids than threonine and histidine decreased in Moringa flour. Except for the amount of stearic acid, the fatty acid content of catfish flour significantly increased (p<0,05) after milling. The same thing occurred with the fatty acid content of Moringa flour, except for palmitic acid, omega 3 fatty acids, and total unsaturated fatty acids, which decreased significantly (p<0,05). The hedonic test results indicated that instan nano liquid food (MCN) had a higher level of preference for color and aroma than regular liquid food (MCB). Additionally, the preference for the flavor and texture of MCN is higher than that of MCB. This is due to the reduction in particle size, which enhances the polydispersity index (PI) value of the two flours after milling. Before milling, the PI of catfish flour was 0,415 and after milling, it was 0,292, whereas before milling the PI of Moringa flour was 2,785 and after milling it was 0,372. The flour reference PI value is less than 0,7 (Mudalige et al. 2019). In other words, the milling process can increase the polydispersity index (PI) of catfish and moringa flour in this study. In this study, 15 Sprague dawley rats were exposed to the intervention in vivo for 14 days. Rats were separated into 5 groups: the MCI control group (fed v commercial instant liquid food), MCB15, MCB30, MCN15, and MCN30. The numbers 15 and 30 indicate that rats are fed 15 and 30 percent of their daily calorie requirements, respectively. Rats continued to receive standard food and water ad libitum. All groups of rats were burned by attaching a hot iron plate to the peritoneum for 5 seconds with a wound area of 2,5 cm x 5 cm. The burn area of each group decreased significantly (p<0,05) from day 1 to day 14 as determined by macroscopic observations. However, the decrease in average burn area was not significantly different between groups. In addition, visualization of the burn healing process in the trauma area revealed the same stages of healing in each group, including the inflammatory, proliferative, and early remodeling stages. Although statistically the burn area between groups was not significantly different, rats fed a liquid formula diet containing nanoparticles of catfish-moringa flour and MCN 30 had the smallest burn area. This was supported by data on the quantity of collagen, which demonstrated the highest collagen synthesis. within this group of mice. However, these results do not correspond to the number of epithelia measured in each group, as the wound contraction mechanism in rats can be faster than the epithelialization process. This study also provides information regarding the intervention's effect on the metabolism of rats with burn injuries. In this study, the difference in intervention had no effect on the rat's catabolism, as demonstrated by the insignificant difference in body weight between groups. Blood glucose levels in all groups of rats increased during the first 30 minutes following a burn injury, but returned to normal by the first day and did not differ significantly. The levels of SGPT and urea did not differ significantly between groups, but the levels of SGOT decreased significantly in the 15% instant liquid food intervention group (MCN 15), while creatinine increased significantly. In addition, there were variations in the hematological profile of mice within each group, but the majority of these differences were within the normal range. This study concluded that the milling process (nanonization of catfish flour micronized moringa flour) can enhance the flavor and texture of liquid formula food products and aid in the healing of burns in rats more effectively Keyword:burns, catfish flour, nanonization, milling, moringa flour
Judul: FIVI MELVA DIANA. Studi Efikasi Pemberian Biskuit yang Mengandung Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis) terhadap Pertumbuhan dan Peningkatan Aspek Kognitif Tikus Percobaan Abstrak:Status gizi dan faktor gizi memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kognitif terutama pada 1000 HPK (270 hari selama kehamilan dan pada 2 tahun pertama kehidupan seorang anak). Kecukupan energi dan zat gizi seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam lemak merupakan hal yang penting untuk tumbuh kembang otak. Salah satu asam lemak yang berperan dalam pertumbuhan, perkembangan otak dan kognitif anak adalah asam lemak omega-3. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tumbuh kembang anak antara lain dengan pengembangan produk pangan lokal yang mengandung asam lemak omega-3. Hal ini dapat dilakukan melalui studi efikasi pemberian biskuit yang mengandung ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis) terhadap pertumbuhan dan peningkatan aspek kognitif tikus percobaan. Pada penelitian ini digunakan tikus umur 21 hari lepas sapih sebagai hewan model dari anak balita. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Penelitian tahap satu bertujuan untuk pengembangan produk biskuit berbasis ikan Bilih. Penelitian tahap dua bertujuan untuk mengetahui efikasi pemberian biskuit yang mengandung ikan Bilih terhadap pertumbuhan (bobot badan, panjang ekor) dan perkembangan morfologi otak (volume otak, berat otak dan analisis sel otak hippocampus) melalui kemampuan belajar (kognitif) tikus percobaan. Desain penelitian ini menggunakan experimental studies. Rancangan percobaan terhadap tikus dan rancangan biskuit penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pada penelitian tahap satu dilakukan pengembangan biskuit dengan mencoba berbagai formula yang kemudian ditetapkan melalui uji organoleptik yaitu uji hedonik dengan 40 orang panelis semi terlatih sebanyak 2 kali ulangan. Penelitian tahap kedua adalah pengujian dengan hewan coba yaitu tikus percobaan galur Sprague Dawley jantan sebanyak 24 ekor. Tikus ditempatkan secara berpasangan di dalam kandang dan diberikan ransum standar dan air secara ad libitum setiap hari selama 14 hari sebagai masa adaptasi. Setelah masa adaptasi tikus diberikan pakan standar dan perlakuan selama 28 hari. Tikus dibagi menjadi empat perlakuan berbeda. Tikus kelompok P1 (20g/hari pakan standar secara oral+0.2g/hari pakan standar dilarutkan sampai 6ml dengan aquabides dan diberikan melalui gastric tube), P2 (pakan standar 20g/hari secara oral+2.43g/hari biskuit standar dilarutkan sampai 6 ml dengan aquabides dan diberikan melalui gastric tube), P3 (20g/hari pakan standar secara oral+2.43g/hari biskuit standar+0.014g minyak omega-3 murni dilarutkan sampai 6ml dengan aquabides dan diberikan melalui gastric tube) dan P4 (pakan standar 20g/hari secara oral+2.09g biskuit F20 (biskuit dengan penambahan 20g tepung ikan Bilih per satu formula adonan) dilarutkan sampai 6ml dengan aquabides dan diberikan melalui gastric tube). Parameter yang diukur selama masa perlakuan adalah penimbangan bobot badan dan panjang ekor dilakukan setiap 7 hari sekali. Pengukuran skor Y-Maze dilakukan setiap 2 kali dalam seminggu. Pada akhir intervensi dilakukan pengukuran volume otak berdasarkan hukum archimedes, pengukuran berat otak dengan timbangan, dan analisis jumlah sel neuron hippocampus (CA1, CA2, CA3, CA4, serta DG) dengan melakukan pewarnaan HE dan menggunakan Image J analysis software. Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik penelitian nomor 72–2017 dari komisi etik hewan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, IPB. Hasil penelitian tahap satu menetapkan bahwa biskuit yang paling disukai responden adalah dengan penambahan 20g tepung ikan Bilih per satu formula adonan pada produk biskuit rasa cokelat. Hasil penelitian tahap dua menunjukkan Hasil Uji ANOVA menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari perlakuan terhadap selisih rata-rata panjang ekor tikus. Hasil uji Tukey terhadap selisih rata-rata panjang ekor tikus menunjukkan bahwa P4 (2.26±0.60cm) lebih panjang secara signifikan dibandingkan P2 (1.46±0.34cm), dan P1 (1.34±0.29cm), namun tidak berbeda nyata dengan P3 (1.64±0.34). Hasil uji ANOVA yang menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari perlakuan terhadap ratarata pengukuran skor Y-Maze tikus pada hari kelima perlakuan. Hasil uji Tukey terhadap rata-rata skor Y-Maze tikus menunjukkan bahwa P4 (63.34±12.40%) lebih besar secara signifikan skor Y-Maze tikus pada hari kelima dibandingkan P1 (20.00±27.39%) dan P2 (52.15±14.16%) namun tidak berbeda nyata dengan P3 (45.84±26.69%). Uji ANOVA menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari perlakuan terhadap rata-rata volume otak tikus. Hasil uji Tukey terhadap ratarata volume otak tikus menunjukkan bahwa P4 (2.84± 0.08ml) lebih besar secara signifikan volume otak tikus dibandingkan dengan P1 (2.00± 0.00ml), P2 (2.16±0.09ml), dan P3 (2.26± 0.15ml ). Uji ANOVA menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari perlakuan terhadap penambahan jumlah sel neuron hippocampus CA4 tikus. Hasil uji Tukey terhadap rata-rata jumlah sel neuron hippocampus CA4 tikus P4 (70.73±9.73) lebih besar secara signifikan jumlah sel neuron hippocampus CA4 dibandingkan P2 (49.80±10.53), tetapi tidak berbeda nyata dengan P1(57.33±7.89) dan P3 (53.20±9.12). Uji ANOVA menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari perlakuan terhadap jumlah rata-rata sel neuron hippocampus DG tikus. Hasil uji Tukey terhadap jumlah rata-rata sel neuron hippocampus DG tikus menunjukkan bahwa P4 (171.27±14.79) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan P1 (131.27±27.45) dan P2 (157.60±27.45) tetapi tidak berbeda nyata dengan P3 (160.53±11.99). Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengembangan produk berbasis ikan Bilih yang paling disukai panelis adalah penambahan 20g tepung ikan Bilih per satu formula adonan pada produk biskuit rasa cokelat. Pemberian biskuit tersebut pada tikus percobaan mampu meningkatkan secara signifikan panjang ekor, YMaze score, volume otak dan jumlah sel neuron hippocampus (CA4 dan DG). Meskipun tidak signifikan meningkatkan bobot badan, berat otak, dan jumlah sel neuron hippocampus ((CA1 dan CA2), CA3) tikus, perlakuan dengan menambahkan biskuit terpilih memiliki kecenderungan untuk meningkatkan bobot badan, berat otak, jumlah sel neuron hippocampus (CA1, CA2) dan CA3 tikus. Keyword:Ikan Bilih, omega-3, panjang ekor, sel neuron hippocampus (CA4 dan DG), volume otak
Judul: Perilaku Kepemimpinan Masyarakat Pedesaan Dalam Era Pembangunan Kasus Dua Desa di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Abstrak:Perilaku kemimpinan masyarakat dalam penelitian ini meliputi perilaku pemimpin dalam kerangka hubungan pemimpin-supra struktur, dan hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya. Dalam kerangka hubungan pemimpin-supra struktur, perilaku kepemimpinan adalah cara-cara pemimpin dalam menanggapi pengaruh-pengaruh yang datang dari supra struktur. Sedang dalam kerangka hubungan pemimpin-pengikut, perilaku kepemimpinan antara lain meliputi cara-cara dan tindakan pemimpin dalam mempengaruhi pengiktnya. Keyword:
Judul: Genetic analysis and selection of lowland rice (Oriza sativa L) genotypes for adaptation in highland ecosystem Abstrak:One of the important factors to ensure the success of rice breeding programs for increasing yield and tolerance to environmental stress condition is selection producers. Keyword:low temperature stress tolerance, promising lines, selection index, West Java, South east Sulawesi
Judul: In vitro Selection For Drought Resistance On Rice Abstrak:The rice demand is recently increasing , on the other hand the production is decreasing. It is caused by the long dry season due to the seasonal change. In addition, a lot of productive land has changed into industrial and settlement which in return minimize the number of productive land. To overcome this 2 varients with high yield and drought-stress resistant as in IR 64 variety should be produced. In this attemt, mutative induction combined with in vim culture and in vitro selection on the Gajahmungkur, Topwuti and IR 64 variants has been conducted and has yielded several somaclones which show the genetic variation. Through evaluation and characterization for the drought resistant using PEG 20% (BM 6000), several somaclone assumed to be drught resistant have been obtained. Subsequently, to find , out the mechanisme of the respective genotype toward the drought stress resistance, root penetration and proline content analysis at the somaclone have been $ conducted. From the evaluation, 23 Gajah mungkur somacloncs, 9 Towuti somaclones and 13 Ir 64 somaclones have been obtained as the ones with the high proline content. The drought stress treatment to the assumed drought stress resistent it is obtained 9 somaclones from Towuti, 5 from Gajahmungkur and 8 from IR 64 with the better characteristics under drought test than that of the main plants. Shorter plant with more shoots are obtained from Gajahmungkur but the seeds ripe earlier. From Tohti variants, more shoots and higher plants along with the more grain are obtained. From variety of IR 64 , somaclone which can produces seeds during the drought is obtained, meanwhile this does not happen with the plant originated from seed. The plants resulted from the selection produce more qualified shoot and grain than that of the main plants. Keyword:
Judul: Formalisasi Semu: Bentuk Hubungan Kerja Kerumahtanggaan di Yogyakarta. Abstrak:Fenomena hubungan kerja antara majikan dan Pembantu Rumah Tangga (PRT) sudah berlangsung sangat lama semenjak lahirnya keluarga yang membagi pekerjaan domestik dan publik. Pada masyarakat Yogyakarta terdapat tradisi ngenger sebagai awal mula hubungan kerja kerumahtanggaan yang dilandasi hubungan spiritual, emosional dan pengabdian. Pada perkembangannya tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap jasa pekerja rumah tangga, hubungan kerja kerumahtanggaan yang bersifat pengabdian berubah pada hubungan kerja yang berorientasi keuntungan. Hubungan kerja informal (kekeluargaan) menggeser tradisi ngenger. Hubungan kerja bersifat informal (kekeluargaan) yang memperhitungkan untung rugi banyak diterapkan oleh pengguna jasa dan pekerja rumah tangga karena adanya ikatan emosional serta fasilitas yang diterima oleh pekerja rumah tangga dari pengguna jasa. Situasinya berubah dengan dilakukannya ratifikasi Konvensi ILO 189 tahun 2011, yaitu munculnya beberapa peraturan tentang pekerja rumah tangga. Implikasinya hubungan kerja informal (kekeluargaan) berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat formal, yang ditandai dengan adanya kontrak kerja, kejelasan beban kerja pekerjaan kerumahtanggaan dan kejelasan upah. Secara umum penelitian ini menganalisis: (1) Pola-pola relasi hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga. Bagaimana bentuk, karakteristik dan praktik relasi tersebut dalam keluarga yang menggunakan pekerja rumah tangga. (2) Perubahan-perubahan pola relasi antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga dengan adanya peraturan tentang pekerja rumah tangga dan (3) Dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga. Apakah hubungan kerja yang bersifat formal tersebut benar-benar diterapkan dalam hubungan kerja kerumahtanggaan ataukah pengguna jasa menerapkan pola hubungan kerja informal (kekeluargaan) dan formal sekaligus. Bagaimanakah dilema yang dialami oleh pengguna jasa dan pekerja rumah tangga dalam hubungan kerja kerumahtanggaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara garis besar, pola hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga terbagi menjadi dua, yakni: (1) hubungan kerja yang bersifat informal (kekeluargaan) dan (2) hubungan kerja yang bersifat formal. Karakter hubungan kerja kekeluargaan adalah sebagai berikut: tidak ada kontrak kerja, tidak ada jam kerja, beban kerja tidak jelas, rekruitmen dari mulut ke mulut, adanya ikatan emosional antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga, mendapatkan berbagai macam fasilitas (hutang, pinjaman atau hibah), pekerja rumah tangga menjadi bagian dari keluarga yang terjadi pada kasus pekerja rumah tangga yang tinggal di rumah pengguna jasa. Karakter hubungan kerja formal adalah sebagai berikut: memiliki kontrak kerja, jam kerja jelas, beban kerja jelas, pola rekruitmen melalui yayasan profesional, tidak mendapatkan berbagai macam fasilitas, pekerja rumah tangga merupakan pekerja yang bekerja sebagai pramurukti dan baby sitter. Hubungan kekeluargaan dilandasi relasi patron-klien, sedangkan hubungan kerja formal meniadakan relasi patron-klien sehingga hubungan bersifat formal. Responden penelitian lebih menyukai hubungan kekeluargaan dibandingkan hubungan formal. Hal ini menunjukan masih menguatnya relasi patron klien dibandingkan relasi formal. Formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan, yang berupaya mengubah hubungan kerja yang bersifat informal (kekeluargaan) menjadi hubungan kerja yang bersifat formal ditandai dengan adanya peraturan tentang pekerja rumah tangga. Peraturan yang mengatur hubungan kerja kerumahtanggaan tersebut mengubah: (1) definisi pekerja rumah tangga, dari istilah pembantu rumah tangga (PRT) berubah menjadi pekerja rumah tangga (PkRT). Perbedaan definisi PkRT saat ini dibandingkan dengan sebelumnya, terkait adanya pembagian kerja domestik (kerumahtanggaan, pramurukti dan baby sitter), pekerja rumah tangga terbagi menjadi dua: PRT informal (kekeluargaan), selanjutnya disebut Pembantu Rumah Tangga/PRT) dan pekerja rumah tangga formal (selanjutnya disebut Pekerja Rumah Tangga/PkRT) yang bekerja sebagai pramurukti dan baby sitter. (2) Perubahan ragam pola-pola hubungan kerja yang terbentuk: (1) relasi kekeluargaan dengan waktu kerja penuh waktu yang variasi jumlah PkRT yang bekerja: (i) pengguna jasa dengan satu PkRT, pengguna jasa dengan 2-3 PkRT dan pengguna jasa dengan lebih dari 3 PkRT; (ii) relasi kekeluargaan dengan waktu kerja pocokan yang bervariasi waktunya, yaitu: 2-3 jam, 3-5 jam dan 5-8 jam dan (iii) relasi kekeluargaan dengan PkRT sendiri (belum berkeluarga) dan PkRT beserta keluarganya. (2) Relasi formal sama dengan pekerjaan formal dengan jumlah jam kerja selama 7 jam. Meskipun demikian, stereotipi pekerja rumah tangga di kalangan pengguna jasa dan pekerja rumah tangga sendiri hingga saat ini masih rendah. Stereotipi tersebut ditandai dengan berbagai macam penyebutan yang masih mengarah pada pembantu, berasal dari kelas bawah dengan akses yang minim, tidak memiliki keterampilan, rentan sebagai komoditas dan memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi kepada pengguna jasa. Formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan tidak serta merta dapat mengubah pengguna jasa dan pekerja rumah tangga menerapkan relasi formal tersebut. Pada praktiknya, pengguna jasa yang menerapkan hubungan kerja formal (menggunakan jasa pramurukti dan baby sitter) juga menerapkan hubungan kerja informal (kekeluargaan). Bentuknya, pada saat memulai hubungan kerja formal dengan menggunakan kontrak kerja dan adanya kejelasan pengupahan. Sisi lain, pengguna jasa memberikan fasilitas (asuransi sosial) kepada pekerja rumah tangga pada saat ada kebutuhan ekonomi sebagai bentuk hubungan kerja kekeluargaan. Pada situasi ini, muncul dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan. Dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan disebabkan oleh: (1) sebutan pembantu untuk pekerja rumah tangga; (2) tidak adanya jenis dan klasifikasi pekerjaan kerumahtanggaan; (3) tidak adanya standard pengupahan; (4) Perjanjian kerja dan sifat hubungan kerja antara tertulis atau lisan; (5) tidak adanya pendidikan dan keterampilan pekerjaan kerumahtanggaan; dan (6) pekerjaan kerumahtanggaan merupakan pekerjaan di sektor informal. Keyword:employee, domestic worker, informal relationship, and formal relationship
Judul: Evaluasi Ketersediaan dan Pengaruh Pemberian Seng terhadap Produksi Padi dan Kacang Tanah pada Tanah Sawah di Bali Abstrak:Usaha intensifikasi dalam rangka meningkatkan produksi tanaman pangan di Indonesia semakin berkembang, mulai dari intensifikasi umum (Inmum), intensifikasi khusus (Insus),sampai pura Insus. Peningkatan produksi beras melalui usah intensifikasi telah lama dilakukan, antara lain perbaikan cara - cara bercocok tanam, penggunaan varietas unggul, dan pemupukan. Dengan usaha-usaha tersebut produksi beras dari tahun ke tahun dapat ditingkatkan sehingga mencapai 26.707 juta ton pada tahun 1986. Keyword:
Judul: Strategi peningkatan kapasitas petani padi sawah lebak menuju ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan Abstrak:Komitmen nasional dan dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan didasarkan atas peran strategis perwujudan ketahanan pangan dalam : (1) memenuhi salah satu hak asasi manusia, (2) membangun kualitas sumberdaya manusia, dan (3) membangun pilar bagi kehidupan nasional. Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Beras juga menjadi industri yang strategis bagi perekonomian nasional. Sumbangan beras terhadap output nasional untuk sektor pertanian mencapai lebih dari 28 persen. Dalam bidang ekonomi, usahatani padi berhubungan dengan penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan. Usahatani padi memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga. Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak, dan vitamin. Sumbangan beras terhadap konsumsi energi dan protein masih cukup besar yaitu lebih dari 55 persen. Kenyataan yang kita hadapi saat ini, sebagian besar beras diproduksi oleh petani kecil atau petani tanpa tanah di perdesaan yang mengelola usahataninya secara subsisten, memiliki keterbatasan akses fisik (produksi) maupun akses ekonomi (pendapatan). Sekitar 70 persen petani padi merupakan buruh tani dan petani skala kecil, mereka ini merupakan kelompok masyarakat miskin ber-pendapatan rendah, sekitar 60 persen dari total mereka merupakan net-consumer beras. Petani padi umumnya mengalami keterbatasan akses terhadap berbagai layanan khususnya layanan pembiayaan usahatani. Selain itu, umumnya mereka membutuhkan dana tunai segera setelah panen untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, maupun untuk mengganti pinjaman. Tantangan pembangunan pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan adalah masih rendahnya kualitas sumberdaya petani, baik karakteristik petani maupun karakteristik sosial ekonomi. Khusus pada rumah tangga petani, ketahanan pangan rumah tangga dapat diwujudkan melalui peningkatan kapasitas petani selaku kepala rumah tangga. Peningkatan kapasitas tersebut dapat diupayakan melalui kinerja penyuluh pertanian ataupun Community Development Worker dalam memberdayakan petani dan didukung oleh lingkungan sosial dan karakteristik petani. Keyword:
Judul: Karakterisasi Genom Mitokondria Labi-Labi, Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) Abstrak:Runutan nukleotida lengkap genom mitokondria (mtDNA) labi-labi, Dogania subplana, telah dilakukan. Ukuran mtDNA labi-labi adalah 17289 bp. Organisasi, orientasi dan ukuran setiap gen dari 13 gen penyandi protein mtDNA, 22 gen penyandi tRNA dan dua gen penyandi rRNA serta daerah kontrol adalah serupa dengan yang telah ditemukan pada vertebrata lainnya. Panjang daerah kontrol adalah 1820 bp, yang di dalamnya bisa ditemukan tiga motif runutan DNA berulang. Motif pertama dan kedua berturut-turut adalah 15 bp dan 37 bp, yang keduanya berulang secara tandem sampai 728 bp. Motif ketiga adalah ruas TA berulang, yaitu (TA)n dan (ATAlT)n. Motif ketiga ini disebut mitokondria. Analisis terhadap daerah kontrol menemukan adanya domain tengah yang stabil untuk semua anggota Testudines, dan adanya tiga macarn Conserve Sequence Blocks yang homolog dengan daerah kontrol mtDNA vertebrata. Keyword:
Judul: Model Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat Abstrak:Kejadian kebakaraan hutan dan lahan yang berulang dan semakin parahnya dampak yang ditimbulkan menjadi pusat perhatian banyak kalangan pada level nasional, regional maupun internasional. Di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan terjadi secara berulang hampir setiap tahun pada musim kemarau dengan frekuensi dan tingkat risiko yang berbeda-beda. Dampak kebakaran hutan dan lahan akan semakin buruk bila terjadi pada lahan gambut. Di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat lebih dari empat ratus ribu hektar lahan gambut yang terletak di bekas lahan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang dicanangkan sejak tahun 1995. Proyek PLG membuka lahan gambut secara besar-besaran termasuk hutan rawa dengan gambut tebal disertai pembangunan ribuan kilometer kanal yang berdampak pada pengeringan ekosistem gambut. Pengeringan ekosistem gambut membuat area sangat rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan, yang mengakibatkan emisi karbon yang masif. Upaya berbagai pemangku kepentingan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan belum mencapai hasil maksimal. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan berbasis masyarakat sangat dibutuhkan untuk mencari solusi dari sistem sekarang yang terpusat dan mahal serta mendorong masyarakat untuk memainkan peran lebih aktif dalam perlindungan mereka sendiri. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan khusus penelitian ini adalah; 1) mengevaluasi karakteristik kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, 2) menentukan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah, 3) mengidentifikasi sumberdaya dan dukungan yang dibutuhkan masyarakat untuk pengelolaan kebakaran hutan dan lahan yang efektif di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah dan 4) merumuskan model kelembagaan pengelolaan risiko kebakaran hutan dan lahan melalui sistem peringatan dini berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Waktu puncak kebakaran secara umum terjadi pada bulan Agutus sampai Oktober ketika terjadi penurunan hujan bulanan kumulatif empat bulan sebelumnya dibawah rata-rata sebesar 282 mm – 349 mm dan jumlah hotspot bulanan 37 - 120. Secara spasial kepadatan hotspot terpadat umumnya berada di semak belukar rawa, dekat dengan jalan, dekat dengan sungai, agak jauh dari pusat desa, pada ketebalan gambut yang sangat dalam dan pada sistem lahan berpotensi gambut (Peat Basin or Domes dan Peat Covered Sandy Terraces). Peubah-peubah yang berperan penting dalam model spasial tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan adalah kedalaman gambut, tutupan lahan dan jarak dari jalan. Model yang disusun oleh peubah kedalaman gambut, tutupan lahan dan jarak dari jalan yaitu y = y = 1.015x3 - 2.987x2 + 2.875x - 0.122 dimana memiliki koefisien determinasi sebesar 73.8% dan dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km2. Sebaran tingkat kerawanan tinggi sebagian besar berada di areal lahan gambut sangat dalam, di semak belukar rawa dan tanah terbuka serta dekat dengan jalan. Wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi terletak di Kecamatan Basarang, Kecamatan Dadahup dan Kecamatan Mantangai. Aspek penyediaan informasi, sistem distribusi dan pihak yang bertanggungjawab dalam distribusi peringatan sudah tercakup peraturan yang terkait pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Ditemukan kesenjangan dalam implementasi aturan dan belum mengakomodir banyak hal yang menjadi potensi pengembangan di masyarakat, namun peraturan yang ada mampu menyediakan pedoman bagi masyarakat dalam mencegah meluasnya kebakaran hutan, lahan dan pekarangan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Disbunhut, BLH dan Pemerintah Desa merupakan key player atau aktor kunci memiliki pengaruh dan kepentingan tinggi terhadap pelaksanaan program pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Manggala Agni, BMKG, DPHTP, Lembaga Adat dan Kelompok Pengendali kebakaran berbasis masyarakat bisa ditingkatkan perannya dalam kelembagaan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas. Diperlukan penguatan kelembagaan yang dibentuk dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan terpadu (POSKO) untuk pusat informasi dan komunikasi peringatan dini kebakaran hutan dan lahan dibawah koordinasi kepala daerah (bupati) yang terdiri dari unsur atau lembaga BPBD Kapuas, DPHTP, BLH Kapuas, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas, Manggala Agni, Pengendali Kebakaran Berbasis Masyarakat dan Pemerintah Desa. Informasi peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan mengakomodasi informasi prediksi dari pengetahuan lokal masyarakat serta penyebarannya menggunakan kombinasi teknologi komunikasi dan saluran penyebarluasan yang ada di masyarakat. Kelompok pengendali kebakaran hutan dan lahan memegang peranan penting dalam peningkatan pemahaman penyebab dan dampak kebakaran, pemantauan aktivitas kebakaran dan penyebarluasan pesan peringatan bahaya kebakaran. Keyword:Kebakaran hutan dan lahan, hotspot, sistem peringatan dini berbasis masyarakat, tingkat kerentanan kebakaran, analisa pemangku kepentingan
Judul: Manajemen Adaptif Berbasis Lanskap Agroforestri untuk Pencegahan Kebakaran pada KHG Kahayan-Sebangau Kalimantan Tengah. Abstrak:Dua faktor utama yang mengancam keberlanjutan pertanian di lahan gambut adalah pengeringan berlebih dan kebakaran. Pada penelitian ini dibangun suatu konsep manajemen adaptif berbasis lanskap agroforestri untuk pencegahan kebakaran. Manajemen adaptif didasarkan pada proses pembelajaran terhadap praktek sistem agroforestri yang telah dilakukan oleh petani lokal pada Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Kahayan-Sebangau di wilayah Kelurahan Kalampangan (mewakili lokasi transmigrasi) dan Desa Tumbang Nusa (mewakili lokasi non-transmigrasi). Aspek teknis yang merupakan komponen penting dari manajemen adaptif pada penelitian ini adalah manajemen bahan organik lahan, sistem penataan lahan, sistem peringatan dini bahaya kebakaran dan kesesuaian jenis tanaman yang dibudidayakan dengan lahan gambut (tapak budidaya). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Memetakan struktur, fungsi dan dinamika lanskap agroforestri; (2) Mengetahui struktur ekonomi rumahtangga petani dan potensi bisnis pada masing-masing fisiografi KHG; (3) Mendesain manajemen adaptif berbasis lanskap agroforestri untuk pencegahan kebakaran; dan (4) Menyusun strategi pengembangan manajemen adaptif berbasis lanskap agroforestri pada kawasan perdesaan gambut untuk pencegahan kebakaran. Kebaharuan (novelti) penelitian ini adalah konsep konektivitas KHG melalui manajemen adaptif berbasis lanskap agroforestri untuk pencegahan kebakaran, serta sinergisme pengembangannya melalui kawasan perdesaan (kawasan terpadu). Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2018. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada sampel kebun agroforestri terpilih. Hal ini dilakukan dengan membuat petak ukur (PU) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 20 x 20 m sebanyak 4 (empat) buah. Parameter yang dianalisis untuk fungsi lanskap agroforestri adalah sifat tanah gambut (fisika, kimia dan biologi). Parameter dinamika lanskap agroforestri yang diukur pada penelitian ini adalah: TMA gambut, iklim mikro, dan produktivitas serasah. Metode litter-trap digunakan untuk menghitung produktivitas serasah. Tingkat kesejahteraan petani setempat diukur berdasarkan struktur ekonomi rumah tangga petani. Responden ditentukan dengan metode bola salju (snowball sampling) dengan kriteria petani yang melakukan praktek agroforestri. Penyebab kebakaran dianalisis dengan metode FGD dan wawancara dengan responden (75 orang per desa, total 150 orang). Analisis strategi pengembangan konektivitas KHG melalui manajemen adaptif berbasis lanskap agroforestri untuk pencegahan kebakaran dilakukan dengan menggunakan analisis strength, weakness, opportunity dan threat (SWOT) dan konsep kawasan perdesaan (kawasan terpadu). iv Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani di Kelurahan Kalampangan dapat diklasifikasikan kedalam 6 (enam) kategori, yakni: (1) agrisilvikultur, dengan 4 (empat) pola tanam; (2) agrosilvofisheri, dengan 3 (tiga) pola tanam; (3) silvopastura, dengan 3 (tiga) pola tanam; (4) agrofisheri, dengan 1 (satu) pola budidaya; (5) apikultur, dengan 2 (dua) pola budidaya; dan (6) agropasturasilvofisheri, dengan 1 (satu) pola budidaya. Sistem agroforestri yang dikembangkan oleh petani di Desa Tumbang Nusa dapat diklasifikasikan kedalam 4 (empat) kategori, yakni: (1) agrisilvikultur (wanatani), dengan 2 (dua) pola tanam; (2) agrosilvofisheri, dengan 3 (tiga) pola budidaya; (3) silvofisheri, dengan 1 (satu) pola budidaya; (4) apikultur, dengan 2 (dua) pola budidaya; dan (5) agrosilvopastura, dengan 2 (dua) pola budidaya. Lahan gambut berpenutupan sistem agroforestri mempunyai tingkat kematangan yang lebih lanjut dibandingkan lahan gambut berpenutupan semak belukar. Lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur mempunyai tingkat kematangan yang lebih lanjut dibandingkan lahan gambut berpenutupan sistem agroforestri. Hasil pengukuran iklim mikro terhadap 3 kondisi penutupan lahan, yakni sistem agroforestri, pertanian monokultur dan semak belukar menunjukkan bahwa lahan gambut berpenutupan sistem agroforestri mempunyai iklim mikro yang lebih baik. Keberadaan tajuk komponen pohon (jelutung rawa) menyebabkan adanya naungan yang akan mempengaruhi intensitas radiasi, sehingga selain berpengaruh langsung terhadap tanaman semusim, juga berpengaruh tidak langsung melalui perubahan iklim mikro di sekitar tanaman semusim. Ketersediaan modal alam (sumberdaya alam) pada semua kategori warga Desa Tumbang Nusa termasuk tinggi karena rumah-rumah penduduk berada di sepanjang aliran Sungai Kahayan, sehingga mereka dapat memanfaatkan sungai untuk mencukupi kebutuhan protein. Ketersediaan modal fisik pada warga Desa Tumbang Nusa termasuk sangat tinggi. Hal ini terlihat pada luasan lahan yang dimiliki oleh rumah tangga kategori 1 (50-100 Ha); kategori 2 (10-50 Ha); kategori 3 (4-10 Ha); kategori 4 (2-4 Ha); dan kategori 5 (1-2 Ha). Ketersediaan modal sumberdaya manusia pada semua kategori termasuk rendah. Ketersediaan modal finansial pada warga Desa Tumbang Nusa pada Kategori 1 termasuk tinggi, pada kategori 2 dan 3 termasuk sedang dan pada kategori 4 dan 5 termasuk rendah. Ketersediaan modal sosial warga pada semua kategori termasuk tinggi. Sumber nafkah yang penting bagi rumahtangga warga Desa Tumbang Nusa adalah modal alam, modal finansial dan modal sosial yang hadir dalam berbagai bentuk. Strategi adaptasi yang paling banyak dilakukan oleh rumahtangga di semua tingkat kategori kesejahteraan adalah strategi adaptasi ekonomi. Kontribusi agroforestri pada pendapatan total rumah tangga petani berkisar antara 22,81% - 79,80%. Strategi pengembangan lanskap agroforestri berbasis manajemen adaptif untuk pencegahan kebakaran dilakukan dengan pengembangan kawasan perdesaan (kawasan terpadu). Hal ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan internal untuk mengatasi ancaman eksternal. Keyword:ameliorant, early warning systems, organic matter management, peat fires, rural integrated area
Judul: Study of reproduction performance of female African catfish (Clarias gariepinus) with supplemented by Ascorbyl Phosphate magnesium as a source of vitamin C in diets and implanted with estradiol-17β Abstrak:The experiment was conducted to determine the effect of dietary ascorbyl phospahate magnesium as a source of vitamin C and implanted with estradiol-17 β on the gonad maturation, egg and larva quality of African Catfish Clarias gariepinus. Fish were treated by various combinations of dietary dosage of ascorbyl phosphate magnesium (0, 600, 1200, and 1800 mg/ kg of feed) and estradiol-17β (00, 250, and 500μ g/kg). Two hundreds sixteen and eighteen pairs of broodstock fish were used for this experiment. Fish were fed with the experimental diets two times a day at satiation. The gonad somatic index, egg diameter, fecundity, hatching rate of the eggs, survival rate, and percentage of abnormal larvae were determined. Results of the experiment indicated that supplementation of ascorbyl phosphate magnesium and estradiol-17β stimulated gonad development and increased hatching rate, fecundity and survival rate, and reduced percentage of abnormal larvae. Combination of ascorbyl phosphate magnesium 1200 mg/kg feed and estradiol-17β 250μ g/kg gave the best reproductive performance. Keyword:African catfish, Clarias gaviepinus, Ascoryl phosphate magnesium, Reproduction performance
Judul: Produktivitas Mangrove dan Asosiasinya dengan Gastropoda di Kawasan Pesisir Banggi Rembang Jawa Tengah. Abstrak:Produksi serasah merupakan sumber utama nutrisi untuk ekosistem mangrove. Serasah yang berasal dari daun terdekomposisi berperan penting bagi ketersedian nutrien di ekosistem mangrove. Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir Banggi Rembang Jawa Tengah dari bulan September 2016 hingga Agustus 2017. Penelitian ini dibagi menjadi lima stasiun berdasarkan jenis mangrove yaitu stasiun 1 (Rhizophora mucronata), stasiun 2 (Rhizophora apiculata), stasiun 3 (Sonneratia alba), stasiun 4 (Rhizophora stylosa) dan stasiun 5 (Avicennia marina). Penelitian ini mempunyai 3 (tiga) tujuan yaitu : (1) untuk menentukan produksi dari berbagai jenis mangrove di Pesisir Banggi Rembang, Jawa Tengah, (2) menentukan karakteristik bioekologi gastropoda di ekosistem mangrove di Pesisir Banggi Rembang, Jawa Tengah, dan (3) menentukan asosiasi produktivitas mangrove dan gastropoda. Metode yang digunakan dalam proses dekomposisi daun mangrove menggunakan wadah berukuran p = 16 cm, l = 21 cm, t = 10 dengan mata jaring sebesar 1 mm. Penempatan wadah tersebut di atas sedimen 30 cm untuk menghidari masuknya hewan pemangsa yang ada di mangrove dan diletakkan dengan menghidarkan kontak langsung dengan sedimen. Produksi serasah diperoleh dari perangkap serasah ukuran 1 m x 1 m yang terletak dan diikatkan pada pohon mangrove. Sampel sedimen diambil kedalaman 10 cm di setiap stasiun. Analisis sedimen C organik menggunakan metode walkley & black, analisis kandungan total nitrogen, total fosfor menggunakan metode kjedahl dengan alat spectrofotometri. Pengukuran vegetasi mangrove dengan menggunakan garis transek 10 m x 10 m. Pengukuran vegetasi meliputi jenis mangrove, kepadatan dan ukuran diameter batang pohon (dbh). Ukuran dbh kemudian dibagi berdasarkan kelas ukuran terdiri dari kecil (< 5 cm), sedang (5 -15 cm), besar (>15 cm). Pengambilan sampel gastropoda dilakukan dengan menggunakan enam kali transek kuadrat berukuran 25 cm x 25 cm yang terletak didalam transek ukuran 10 m x 10 m. Pengambilan gastropoda yang berada di atas sedimen dengan kondisi air laut pada saat surut terendah. Analisis statistik yang digunakan berupa perangkat lunak XLstat 2018. Analisis yang digunakan untuk menentukan analisis hubungan antara produktivitas mangrove dan indikator kondisi lingkungan menggunakan statistik berupa Principal Component Analysis (PCA). Analisis hubungan sebaran gastropoda dan mangrove menggunakan Correspondence Analysis (CA). Hubungan antara gastropoda dan produktivitas mangrove menggunakan CA. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mangrove R. apiculata mempunyai kandungan C, N, P sedimen tertinggi dibandingkan mangrove yang ada di Pesisir Banggi yaitu berturut-turut 3,05 %, 1,2 %, 1,14 %. Tingkat produktivitas tertinggi dihasilkan oleh R. apiculata sebesar 1,07 kg m-2th-1. Hal iii tersebut memperlihatkan bahwa semakin tinggi produktivitas maka ketersedian nutrien juga semakin tinggi. Hasil penelitian mengenai karakteristik bioekologi gastropoda menunjukkan bahwa total gastropoda sebesar total gastropoda adalah 4.069 ind/m2. Kelimpahan C. nucleus sebesar 825 ind/m2 dan C. angulifera sebesar 455 ind/m2. Kelimpahan gastropoda C. djadjarensis dan T. telescopium juga memiliki kelimpahan berbeda masing - masing sebesar 363 ind/m2 dan 213 ind/m2. Jumlah tertinggi C.djadjariensis ditemukan pada R. mucronata dan tertinggi C. nucleus ditemukan di R. apiculata mangrove. Produktivitas mangrove yang tinggi di R. apiculata. Penelitian ini juga ditemukan gastropoda B. zonalis yang memiliki kelimpahan terendah sebesar 65 ind/m2. Produktivitas mangrove yang tinggi memiliki hubungan yang erat dengan kelimpahan tertinggi gastropoda C. nucleus. Distribusi gastropoda sangat dipengaruhi oleh bahan organik. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kelimpahan akan ditemukan bahan organik tinggi, subtrat debu dengan didukung oleh kondisi salinitas dan suhu yang sesuai. Hasil penelitian mengenai hubungan produktivitas mangrove dan gastropoda memperlihatkan bahwa kerapatan mangrove yang rapat dan DBH dengan ukuran sedang menghasilkan tingginya produktivitas mangrove. Produktivitas mangrove di Pesisir Banggi Rembang mempunyai hubungan sangat erat dengan biomassa gastropoda yaitu semakin tinggi produktivitas mangrove akan ditemukan beranekargaman ukuran gastropoda. Gastropoda yang ditemukan di Pesisir Banggi memiliki potensi energi berkisar 0,047396 - 0,249346 kJ m−2 th−1. Keyword:korelasi, moluska, nutrien, sedimen
Judul: Produktivitas Primer Bersih, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Unsur Hara Serasah Daun Avicennia marina di Kawasan Mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Abstrak:Ekosistem mangrove sangat penting karena banyaknya fungsi ekologi dan ekonomi, serta memiliki peran sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dengan ekosistem daratan. Mangrove dapat menyimpan karbon di tanah hampir lima kali lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem hutan terestrial lainnya. Melalui produksi primernya, mangrove menopang kekayaan rantai makanan dan menjadi penyumbang nutrisi yang penting bagi produktivitas muara dan perairan pantai. Pelepasan unsur hara dan bahan organik dari serasah mangrove selama proses pencucian dan dekomposisi berperan penting dalam siklus biogeokimia ekosistem mangrove. Hutan Lindung Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan hutan mangrove yang berada di pantai utara Jakarta dengan vegetasi yang didominasi oleh spesies mangrove api-api (Avicennia marina). Kawasan ini memiliki peran penting terutama dalam proteksi area daratan Jakarta. Tekanan terhadap konversi hutan mangrove sangat tinggi, terutama hutan mangrove perkotaan. Konversi berupa perluasan kawasan pemukiman, kawasan bisnis, dan budidaya perikanan. Penelitian ini dilakukan pada kawasan mangrove hutan lindung Angke Kapuk dari bulan Juli 2020 sampai dengan Desember 2023. Penelitian dilakukan dengan membuat plot permanen untuk pengamatan dan pengambilan sampel selama periode penelitian. Penelitian ini memiliki tujuan antara lain: (1) menduga biomassa di atas permukaan tanah dan produktivitas primer bersih (PPB) di ekosistem mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk, (2) menduga laju dekomposisi serasah daun A. marina dan pelepasan hara selama masa dekomposisi di ekosistem mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk, dan (3) mengidentifikasi spesies dan periodesasi okupasi cendawan berikut karakterisasinya yang berperan dalam dekomposisi serasah daun A. marina di ekosistem mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk selama proses dekomposisi. Pada penelitian pendugaan biomassa di atas permukaan tanah (AGB) dan produktivitas primer bersih (PPB), dilakukan pada bulan Juli 2020 sampai dengan September 2022 menggunakan metode allometrik untuk menduga AGB dan metode penjumlahan untuk menduga PPB. Hasil pendugaan AGB pada tahun pertama (t1) sebesar 71,56 ton/ha, sedangkan pada tahun kedua sebesar 81,88 ton/ha. Hasil ini menunjukkan bahwa kenaikan biomassa selama dua tahun sebesar 10,32 ton atau sekitar 5,16 ton/ha/tahun. Adapun hasil pendugaan PPB yang dihasilkan dari hasil penjumlahan dari beberapa komponen, yaitu kenaikan biomassa, produktivitas serasah, dan tingkat penggembalaan herbivora, sebesar 14,47 ton/ha/tahun. Produktivitas serasah menjadi komponen penyumbang terbesar pada PPB di lokasi penelitian, yaitu sebesar 63,44% atau 9,18 ton/ha/tahun. Dekomposisi serasah mangrove, khususnya serasah daun, merupakan bagian utama dari proses siklus nutrisi yang memberikan kontribusi besar dalam regenerasi hara yang masuk ke dalam sedimen dan perairan sekitarnya. Dalam menduga laju dekomposisi serasah serta jumlah unsur hara mineral yang terlepas, dilakukan penelitian selama 120 hari. Penelitian dilakukan pada bulan September 2022 sampai dengan Januari 2023. Laju dekomposisi serasah diduga menggunakan nilai koefisien dekomposisi. Laju dekomposisi serasah daun A. marina pada kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk adalah k=0,019. Proses dekomposisi serasah daun A. marina pada lokasi penelitian terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan, yaitu proses penurunan kadar air dan pencucian, fragmentasi pemecahan serasah menjadi fragmen-fragmen kecil oleh cacing lumpur (Nareis sp.), dan proses katabolisme oleh mikroorganisme. Selama proses dekomposisi terjadi pelepasan unsur hara ke lingkungan ekosistem hutan mangrove, dan hasil rata-rata harian pelepasan hara antara lain karbon karbon (C) 49,916 gram/gram/hari, kalium (K) 1,646 gram/gram/hari, nitrogen (N) 1,425 gram/gram/hari, dan fosfor (P) 0,069 gram/gram/hari. Adapun nilai C:N pada akhir pengamatan dekomposisi sebesar 21,1. Kondisi pH dan kelembaban udara memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah nitrogen yang terlepas dan kandungan C:N pada sisa serasah daun yang terdekomposisi. Pengamatan suksesi cendawan dekomposer dilakukan dengan mengisolasi cendawan dari sisa serasah daun A. marina yang terdekomposisi. Metode isolasi dilakukan dengan dua metode, yaitu metode pencucian dan metode penyaringan. Untuk mengamati aktivitas enzim ekstraseluler yang dikeluarkan oleh cendawan dekomposer, dilakukan uji kualitatif menggunakan metode PDA selektif yang ditambahkan dengan CMC, xilan, dan asam tannin. Hasil isolasi ditemukan 7 genus, 4 isolat yang tidak bersporulasi atau miselia steril, dan 4 isolat yang belum teridentifikasi. Tujuh genus yang ditemukan meliputi Aspergillus, Acremonium, Chrysopsorium, Fusarium, Paecilomyses, Trichocladium, dan Trichoderma. Satu dari 4 isolat cendawan yang tidak bersporulasi atau miselia steril, memiliki struktur clamp connection, yaitu isolat miselia steril 2 dengan kode koloni IS-A19. Terdapat 2 isolat cendawan dari genus Aspergillus yang teridentifikasi sampai tingkat seksi spesies, yaitu Aspergillus seksi Nigri dan Aspergillus seksi Flavi, adapun cendawan dari genus Trichoderma teridentifikasi sebagai spesies Trichoderma harzianum. Nilai indeks keanekaragaman spesies cendawan mengalami perubahan selama masa dekomposisi serasah. Aktivitas enzim selulase ditemukan pada 32 dari 39 spesies cendawan yang ditemukan, sedangkan aktivitas enzim xilanase yang mendegradasi hemiselulosa ditemukan pada 34 dari 39 spesies cendawan yang ditemukan. Adapun untuk aktivitas enzim yang mendegradasi lignin hanya ditemukan pada 20 dari 39 spesies cendawan yang ditemukan. Salah satu cendawan yang mampu mendegradasi lignin adalah Aspergillus seksi Nigri dan T. harzanium. Keanekaragaman cendawan yang mengkolonisasi selama proses dekomposisi memiliki pengaruh terhadap jumlah pelepasan unsur hara karbon (C), nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Selain itu cendawan juga memiliki pengaruh terhadap proses mineralisasi dan imobilisasi mineral selama proses dekomposisi. Keyword:dekomposisi serasah, Hutan Lindung Angke Kapuk, pelepasan hara, produktivitas primer bersih, suksesi cendawan, Angke Kapuk Protected Forest, fungi succession, litter decomposition, net primary productivity, nutrient release
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Pengelolaan Perikanan Handline Tuna Skala Kecil di Pulau Buru. Abstrak:Perikanan handline tuna merupakan aktivitas masyarakat nelayan di Pulau Buru yang tersebar di desa-desa pesisir di Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan. Perikanan handline tuna di Pulau Buru, termasuk dalam kategori perikanan skala kecil, dengan karakteristik, ukuran armada dibawah 5 GT, merupakan usaha informal, dengan modal yang terbatas dan dikelola pada skala rumah tangga nelayan. Terdapat sekitar lebih dari 1600-an nelayan yang berpartisipasi secara langsung dalam aktivitas ini sebagai mata pencaharian, sumber pendapatan, pemenuhan kebutuhan pangan secara langsung maupun tidak langsung, menunjang tradisi dan budaya, penyedia lapangan kerja dan penunjang ekonomi lokal dan regional. Walaupun demikian, perikanan ini belum sepenuhnya mendapat perhatian dengan baik terkait program dan kebijakan pengelolaan perikanan, hal ini disebabkan adanya keterbatasan informasi tentang sektor ini, kontribusi produksi mereka tidak diketahui dengan baik, sehingga sering diabaikan, selain itu pemahaman yang sedikit tentang kondisi sosio ekonomi perikanan ini menyebabkan perhatian terhadap keberlanjutan mata pencaharian nelayan sangat rendah, padahal disaat yang bersamaan sektor perikanan skala kecil merupakan sektor yang sangat rentan, diperhadapkan oleh keterbatsan sumber daya ikan, perubahan iklim dan cuaca, tuntutan pasar, guncangan ekonomi, bencana alam dan non alam, keterbatasan modal finansial, keterbatasan sarana dan infrastruktur, akses pasar yang terbatas dan seringkali termarjinalkan dalam program pembangunan. Perikanan handline tuna di Pulau Buru diperhadapkan dengan kondisi sebagaimana diuraikan sebelumnya. Untuk itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk (1) mengetahui produksi hasil tangkapan handline tuna di Pulau Buru, (2) menilai kondisi sosioekonomi perikanan handline (3) menilai keberlanjutan mata pencaharian nelayan, dan (4) menyusun model pengelolaan berikanan handline tuna skala kecil di Pulau Buru. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2020 sampai Agustus 2020 di Kabupaten Buru dan Buru Selatan. Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei/observasi langsung, wawancara dan diskusi kelompok kecil pada saat penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah dan swasta secara resmi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis upaya dan hasil tangkapan, analisis sosio ekonomi, analisis FLIRES Check (Fisheries Livelihoods Resilience Check) yang menggunakan analisis RAPFISH dengan pendekatan SLA, dan metode sintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya penangkapan armada handline tuna bervariasi di antara lokasi pendaratan di Pulau Buru dengan kisaran 20 hari kapal per bulan sampai dengan 825 hari kapal per bulan. Sedangkan produksi total hasil tangkapan handline tuna berdasarkan kategori wilayah pendaratan di Pulau Buru berkisar antara 497,50 kg/bulan di lokasi pendaratan kecil sampai dengan 28.615,5 kg/bulan di pendaratan besar. Hasil penelitian menunjukkan kondisi sosio ekonomi di lokasi penelitian bahwa sekitar lebih dari 1600-an nelayan yang bekerja dalam perikanan handline tuna secara langsung. Penerimaan rata-rata armada handline tuna di Pulau Buru pada tahun 2020 berkisar Rp 484.544 sampai Rp 1.108.733 (Rp 702.243) lebih kecil dari tahun 2019 yang berkisar Rp 671.293 sampai Rp 1.890.876 (Rp 1.186.287) yang menunjukkan penurunan laba mulai dari 27,82% hingga 50,32%; jika dibandingkan dengan keuntungan pada tahun 2019. Pendapatan setiap nelayan handline tuna per trip berkisar antara Rp 120.304 hingga Rp 206.079 ( Rp 180.586) lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang berkisar Rp 325.099 hingga Rp 658.833. Keberlanjutan mata pencaharian nelayan handline tuna di Pulau Buru, berdasarkan analisis FLIRES Check, statusnya kurang berkelanjutan pada bidang alam, tetapi cukup berkelanjutan pada bidang manusia, fisik, finansial, sosial dan institusi di Kabupaten Buru. Sementara status kurang berkelanjutan pada bidang manusia, fisik dan finansial serta cukup berkelanjutan pada bidang alam, sosial dan institusi ditemukan di Kabupaten Buru Selatan. Status keberlanjutan mata pencaharian nelayan handline tuna secara keseluruhan di Pulau Buru menunjukkan bidang fisik dan finansial kurang berkelanjutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan mata pencaharian nelayan handline tuna di Pulau Buru, diantaranya pada bidang alam adalah status keberlanjutan sumberdaya ikan, keberlanjutan keuntungan dari sumberdaya ikan, kerugian akibat bencana, pelabuhan. Pada bidang manusia adalah pendidikan yang diharapkan, pekerjaan isteri dan kemampuan pembiayaan pendidikan. Selanjutanya pada bidang fisik adalah pengolahan/nilai tambah, ketersediaan es, dan aset fisik di luar perikanan. Bidang finansial adalah tabungan. Bidang sosial adalah ketahanan sosial, kepemimpinan, keadilan/sanksi dan kepercayaan/kejujuran. Selanjutnya bidang institusi adalah program mata pencaharian berkelanjutan untuk masyarakat dan pemebrdayaan. Penelitian ini merekomendasikan konsep perbaikan pengelolaan perikanan handline tuna di Pulau Buru, dengan cara perbaikan dan peningkatan data perikanan tuna berbasis pedagang pengumpul, perbaikan kondisi sosio ekonomi dan perbaikan keberlanjutan mata pencaharian nelayan handline tuna. Keyword:Buru Island, handline, livelihoods, socio-economic
Judul: Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah Abstrak:Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam aspek makro maupun mikro. Dalam perspektif sosial ekononomi, masyarakat pesisir sebagian besar tergantung pada sumber daya perikanan laut, dimana mata pencahariannya rentan terhadap guncangan dan perubahan mendadak. Memahami kondisi tersebut, merupakan hal yang penting untuk lebih memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan direktif yang lebih baik dimasa depan. Pemahaman meliputi bagaimana karakteristik sumber daya perikanan, bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan biaya operasional yang tinggi, bagaimana nilai tambah, dan bagaimana jaringan sosial di masyarakat pesisir. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu nelayan Desa Weru Komplek di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan nelayan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Sumberdaya perikanan di Lamongan sebagian besar adalah jenis pelagis kecil dan demersal, sedangkan di Pelabuhanratu sebagian besar sumberdayanya pelagis besar. Pemilihan lokasi juga berdasarkan kriteria sosial ekonomi dari dua lokasi tersebut. Lamongan dengan jumlah produksi lebih 70 ribu ton (18% dari total produksi di Provinsi Jawa Timur), dan lebih dari 28.000 nelayan yang sebagian besar adalah nelayan kecil. Jumlah produksi di Pelabuhanratu sekitar 8 ribu ton (4,4% dari total produksi di Provinsi Jawa Barat). Lebih dari 5.000 nelayan yang bekerja dengan berbagai armada perikanan. Selain alasan ekonomi, nelayan di Lamongan memiliki lembaga sosial yang dikenal dengan nama "Blandongan" yang berfungsi sebagai "penyangga" dalam menghadapi ketidakpastian. Blandongan merupakan organisasi nelayan yang menyuarakan kepentingan nelayan dan membangun "aturan main" untuk memfasilitasi kepentingan nelayan. Sedangkan di Pelabuhanratu, meskipun tidak ada organisasi tertentu seperti "Blandongan" di Lamongan, namun memiliki kelembagaan formal dan informal seperti kelompok nelayan dan kelompok perantara yang dapat memfasilitasi kebutuhan nelayan. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis efisiensi alokasi sumber daya dan analisis perubahan faktor produktifitas total; melakukan analisis indeks ketidakstabilan perikanan tangkap; melakukan analisis value added perikanan tangkap skala kecil; dan melakukan analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam memenuhi modal untuk biaya operasional. Data yang digunakan adalah data skunder dan data primer yang diperoleh dari pelaku usaha perikanan. Total jumlah responden sebanyak 157 orang terdiri 83 orang di Lamongan dan 74 orang di Pelabuhanratu. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Data Envelopement Analysis (DEA) dan analisis indeks Malmquist (MI) untuk mengetahui kapasitas sumber daya perikanan dan tingkat perubahan total produktifitas total perikanan. Analisis Indeks Ketidakstabilan (Coppoct Instability Indexs/CII) untuk mengetahui tingkat ketidakstabilan. Analisis regresi multinomial logistik digunakan untuk mengetahui kecenderungan nelayan dalam menggunakan sumber permodalan. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa dari analisis- analisis yang telah dilakukan, yang merupakan saran kebijakan untuk pengembangan perikanan skala kecil. Hasil analisis kapasitas sumber daya di Pelabuhanratu, menunjukkan alat tangkap gillnet, alat tangkap rampus dan alat tangkap pancing ulur telah menurun (decreasing return to scale), ketiga alat tangkap tersebut sudah terjadi gejala over capacity. Kondisi ini menyiratkan bahwa output dari alat tangkap gill net, rampus dan pancing ulur memiliki kecenderungan tidak responsif terhadap input. Inefisiensi dalam menggunakan input akan menyebabkan hasil tidak optimal. Hasil analisis kapasitas sumberdaya di Lamongan menunjukan hasil yang berbeda. Analisis di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa efisiensi skala masih menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada perikanan skala kecil di Desa Weru Komplek. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat ekonomis. Hasil analisis indeks Malmquist terjadi fluktuasi faktor produktifitas total yang sangat besar (berkisar antara 30% sampai 250 %). Hal ini disebabkan karena perubahan faktor teknologi yang mengalami perubahan ekstrim dibandingkan dengan perubahan efisiensinya. Analisis dengan indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability) dapat diketahui penyebab perubahan faktor produktifitas total dari produksi maupun dari input. Kondisi ini disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks ketidakstabilan produksi sebagian berada di kuadran kanan atas yang menunjukan pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Fluktuasi produksi yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut berkaitan dengan indikator lain, seperti input yang diberikan dalam perikanan. Tingkat ketidakstabilan input BBM menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko yang tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif terhadap penggunaan BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar hubungan kepentingan sosial dan ekonomi, keberadaan tengkulak/ langgan memainkan peran terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan menghadapi permasalahan biaya, dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Kecenderungan nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional dipengaruhi oleh lokasi, dimana karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Hasil analisis rantai pasok, rantai nilai dan value added menunjukan bahwa perikanan skala kecil berperanan dalam pembentukan nilai tambah yang sebagian besar dinikmati oleh masyarakat setempat. Sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal lebih dominan diproses menjadi produk jadi/setengah jadi yang menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya perikanan yang didominasi oleh sumberdaya pelagis besar nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar, sehingga perannya terhadap pembangunan wilayah relatif lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, model yang direkomendasikan untuk kebijakan mengembangkan perikanan skala kecil harus memperhatikan kondisi potensi sumber daya perikanan, tingkat eksploitasi, tingkat kestabilan, hubungan para pelaku (nelayan-pemilik modal/patron-client) dan dukungan kebijakan direktif yang fokus untuk nelayan skala kecil. Karakteristik nelayan dan kondisi sumberdaya menentukan perilaku terhadap sumberdaya, interaksi nelayan dengan sumber-sumber pembiayaan lebih kuat pada lokasi Lamongan dimana masyarakat kurang mempunyai alternatif pekerjaan lain. Hubungan yang kuat antara nelayan dan tengkulak merupakan fenomena yang kompleks, pengembangan perikanan skala kecil harus menyertakan hubungan antara sektor perikanan, nelayan sebagai pemain dan perantara/langgan/tengkulak yang menjembatani pelaku dalam mata pencaharian masyarakat pesisir agar nelayan skala kecil mampu memainkan peran lebih besar dalam kehidupan ekonomi lokal pesisir. Keyword:perikanan skala kecil, langgan/tengkulak, “social cushion”, value added, DEA, Indek Ketidakstabilan, Indeks Malmquist
Judul: Study on utilization of cardanol from cashew nut shell liquid as phenol substitute in adhesives formulation of phenol formaldehyde Abstrak:The cashew nut shell liquid (CNSL) ia a by product obtained from the cashew nut processing, contains phenolic compounds mainly cardanol. The objective of the research was design process for cardanol production and cardanol-base adhesive formulation of CNSL as a source of phenolic compounds to substitute phenol in the phenol formaldehyde adhesive formulation. Keyword:
Judul: Farm household food security analysis in several provinces Abstrak:Concern on the decline in human resource quality promotes food security as strategic policy in national development. Within the frame work of food security, farm household should have direct access to food. However, the question is whether access to food guarantees the household to be free from food insecurity? The aim of this study was to: (1) analyze food security status of farm household, (2) analyze factors affecting household food security, (3) analyze influence of several economic factors on household food security performance, and (4) formulate policy alternative to improve farm household food security. The result of analysis showed that food security status of farm household was much lower than it was expected. Half of the households experience food insecurity and malnutrition in term of underweight, stunting and wasting. Partially, farm household food security was affected by food expenditure, number of household member, year dummy, energy adequacy and clean water as indicated by dry season dummy. However, in term of system, farm household food security was affected by unresponsiveness of farm land as the driving force to shift production and create income, which finally increase access to food. Increase in rice price proportional to increase in input price partially compensates negative effect of increase in input price on farm household food security performance. The effect of increase in input and output prices, and other economic factors were varied by expenditure and time. Food security performance can be improved if farm land, job diversification and job opportunity are increased or if number of household members is decreased. Therefore, it is necessary to implement irrigation investment and maintenance policy, land redistribution, job opportunity creation, infrastructure development, income generation and population control policy. Keyword:
Judul: The analysis of farm household economic behaviors at three food and estate villages in Lampung Province Abstrak:The agricultural policies issued by the government are generally homogenous. In reality, farmers and families cannot be treated homogenously since there are behavioral differences in econo~ that are different in agro ecosystem and the main commodities being cultivated. The succe~ f agricultural development (Agricultural Revitalization), especially in improving the agriculmu-al productivity and the farmer income, the policies applied should consider the behaviiraI differences. ~.The characteristics of farm households in Lampung Province specifically between food crops ~ce and cassava) and estate crops (coffee) is assumed to have different impacts on the farm ~usehold economic behaviors. It especially has differences in the farm household workf(jce system, income, consumption, investment and saving. Therefore, it is interested to study $ e farm household economic behaviors in Lampung Province. The purposes of this study are cB to analyze the farm household economy especially the structure of workforce use, incomi expenditures and food sustainability in the villages with food and estate crops (2) to analyz! the factors influencing the economic behaviors of the farm household of food and estate crops, ~d (3) to evaluate the impacts of external and internal factor changes on production, fertili~r use, income, consumption, investment and saving of food and estate crop farm houselihlds. ~. The analysis uses tabulation, test of differences and econometric methods using simulTeous equations. The results of economic analysis show that the income of rice and estate villages mainly comes from agriculture, whereas that of cassava comes from non agriculture. The use o~amily workforce to earn living has not fulfilled the Central Statistic Bureau criteria for full time workers, even though it has met those of food sustainabiIi ty. The rice production is not responsive against price changes (except estate village), but responsive against the workforce use. Cassava and coffee productions are affected by prices even though it is not responsive. The use of workforce in the food viJIages are influenced by and responsive against the wage levels, whereas in the coffee village is influenced by and responsive against the values of coffee production. Food consumption in the three villages are influenced by the number of family members, even though it is responsive only in the rice village. In the estate village, the food consumption is very much influenced by and responsive against the values of coffee production. Human investment and saving of rice and estate villages are influenced by and responsive against agricultural income, whereas those in cassava village is influenced by non agricultural income. The increase of output priceUtls a positive impact on production and input use, especially in food villages. On the other hanle increase on input price has negative impact on production, especially in the rice village . The crease on the use of family workers has positive impact on farming productivity and hou old income, especially in rice village. In the estate village, the increase in agricultural equi~nt investment has a positive impact on production and income. Keyword:
Judul: Karakterisasi Genom Mitokondria Labi-Labi, Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) Abstrak:Runutan nukleotida lengkap genom mitokondria (mtDNA) labi-labi, Dogania subplana, telah dilakukan. Ukuran mtDNA labi-labi adalah 17289 bp. Organisasi, orientasi dan ukuran setiap gen dari 13 gen penyandi protein mtDNA, 22 gen penyandi tRNA dan dua gen penyandi rRNA serta daerah kontrol adalah serupa dengan yang telah ditemukan pada vertebrata lainnya. Panjang daerah kontrol adalah 1820 bp, yang di dalamnya bisa ditemukan tiga motif runutan DNA berulang. Motif pertama dan kedua berturut-turut adalah 15 bp dan 37 bp, yang keduanya berulang secara tandem sampai 728 bp. Motif ketiga adalah ruas TA berulang, yaitu (TA)n dan (ATAlT)n. Motif ketiga ini disebut mitokondria. Analisis terhadap daerah kontrol menemukan adanya domain tengah yang stabil untuk semua anggota Testudines, dan adanya tiga macarn Conserve Sequence Blocks yang homolog dengan daerah kontrol mtDNA vertebrata. Keyword:
Judul: Model ketahanan kelompok tani di Jawa Abstrak:Model memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Model dapat mengarahkan aktivitas masyarakat menjadi lebih terpola dan mudah dievaluasi. Hal demikian berlaku pada semua aktivitas masyarakat, termasuk pada petani dalam mempertahankan kelompoknya. Keyword:
Judul: Model pemberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat) Abstrak:In Indonesia, rice is one of basic needs. The sustainability of rice production will determine food security guarantee, and the efforts to integrated food security and farmer empowerment have become an important issue today. Accordingly, the objective of this study was to analyze the level of participation of farmers in their group and the empowerment of farmers in the management of rice farming and the factors associated with it, and analyze the impact of farmer empowerment to sustainability efforts. Fieldwork was conducted from May to June 2012 in two districts in West Java, namely Karawang and Cianjur Districts by taking the 239 members of the farmer who had attended the farmer field school. The quantitative data were analyzed statistically based the descriptive technique and Structural Equations Modeling (SEM). Qualitative data were collected through in-depth interview and observation to support the quantitative data. The results showed that: (1) the level of the farmer participation in the farmer group and the farmer empowerment were classified as low. The variables that significantly affect the levels of the farmer participation in the farmer group are: intensity of empowerment and personality traits. The variables that significantly affect the levels of the farmer empowerment are: the farmer participation in the farmer group, intensity of empowerment, physical and socioeconomic environment, personality traits, and the available of agricultural information; (2) The prospects for sustainability efforts were classified as low. The level of the farmer empowerment significantly affect to the sustainability of farming; and (3) The increasing level of the farmer empowerment can be obtained by better management of empowerment process, with the increasing the farmer participation in the farmer’s group, strengthen the availability of the agricultural information, and the physical and socio economic environment.The model of the farmer empowerment in managing rice farming are enhanching the farmer participation in the farmer group’s with strengthen the availability of the agricultural information, the physic and socio economic environment, and the farmer personality. Keyword:
Judul: Sintesis Lipida Kaya 1,3-Dioleoyl-2-Palmitoyl-Glycerol (OPO) dari Hard Palm Stearin Abstrak:Human milk fat (HMF) merupakan lemak yang terkandung pada air susu ibu, yang mengandung 20–30% asam palmitat, dimana 60–70% asam palmitat terdistribusi pada posisi stereospesific number (sn)-2 dalam struktur triasilgliserol (TAG). Human milk fat substitute (HMFS) merupakan lipida terstruktur menyerupai HMF, yang disintesis melalui interesterifikasi enzimatis minyak atau lemak. Karakter utama HMFS adalah asam palmitat terletak pada posisi sn-2 dan asam lemak tak jenuh terletak pada posisi sn-1,3. HMFS yang umum disintesis adalah 1,3-dioleoyl-2-palmitoyl-glycerol (OPO), yang merupakan TAG utama pada HMF. TAG tersebut bermanfaat untuk bayi karena dapat membantu penyerapan lemak dan kalsium secara efektif. Hard palm stearin (HPS) merupakan fraksi padat hasil fraksinasi palm stearin (PS), yang secara alami mengandung asam palmitat dan tripalmitin (PPP) tinggi. Selain memiliki jumlah PPP yang tinggi, HPS juga mengandung TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2. TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2 diasidolisis dengan asam oleat menggunakan lipase spesifik sn-1,3 akan menghasilkan triolein (OOO), yang bukan produk target dalam sintesis HMFS. Oleh karena itu, rute sintesis HMFS menggunakan HPS harus dimulai dengan peningkatan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2. Kemudian, asam lemak pada posisi sn-1,3 dari fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 HPS diganti dengan donor asil tertentu seperti asil oleat melalui asidolisis atau transesterifikasi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mensintesis lipida kaya OPO berbahan baku HPS. Tujuan umum tersebut dicapai dengan beberapa tahapan penelitian antara lain: (1) peningkatan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 HPS melalui fraksinasi aseton dan interesterifikasi enzimatis menggunakan donor palmitat, seperti asam palmitat atau etil palmitat dalam sistem bebas pelarut; (2) penentuan kondisi reaksi optimum pada sintesis OPO melalui transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat dalam sistem bebas pelarut; dan (3) peningkatan lipida kaya OPO melalui fraksinasi produk transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat. Disertasi ini disusun secara sistematik sesuai tahapan penelitian. Pada bagian awal mengulas sintesis HMFS secara komprehensif. Pada bagian kedua, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS ditingkatkan melalui fraksinasi aseton HPS. Pada bagian ketiga, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 ditingkatkan melalui asidolisis HPS dengan asam palmitat atau transesterifikasi HPS dengan etil palmitat. Pada bagian keempat, sintesis OPO dilakukan melalui transesterifikasi antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat. Pada bagian terakhir, produk transesterifikasi antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat difraksinasi untuk meningkatkan lipida kaya OPO. Pada fraksinasi aseton HPS diperoleh fraksi padat yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 (PPP dan PPS) yang meningkat. Peningkatan rasio aseton terhadap HPS dan suhu fraksinasi meningkatkan kadar PPP+PPS namun menurunkan rendemen PPP+PPS. Kondisi fraksinasi optimum untuk menghasilkan lipida kaya PPP+PPS adalah pada rasio HPS terhadap aseton 1:5 (g/ml) dan suhu fraksinasi 30 °C selama 3 jam. Pada kondisi tersebut, lipida yang diperoleh memiliki kadar dan rendemen PPP+PPS masing-masing lebih dari 91% dan 59%. Lipida yang diperoleh terdiri dari asam palmitat 91,32% dan pada posisi sn-2 88,13%. Pada interesterifikasi enzimatis HPS dihasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 tertinggi pada rasio mol HPS terhadap donor palmitat 1:3, suhu 65 °C, Novozyme 435 10% dari berat substrat, dan waktu reaksi selama 4 jam. Etil palmitat merupakan donor palmitat yang menghasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan kadar asam palmitat pada posisi sn-2 (88,44%) tertinggi dibandingkan asam palmitat (83,92%). Peningkatan lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 melalui fraksinasi aseton HPS dan transesterifikasi enzimatis antara HPS dan etil palmitat menghasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan kadar asam palmitat pada posisi sn-2 pada tingkat yang sama yaitu lebih dari 88%. Namun, produk transesterifikasi mengandung kadar asam lemak bebas (ALB) dan diasilgliserol (DAG) yang lebih tinggi dibandingkan produk fraksinasi. Kadar DAG yang tinggi dapat menyebabkan migrasi asil pada interesterifikasi enzimatis yang dapat memengaruhi produk target (OPO) yang akan dihasilkan. Sehingga diperlukan proses purifikasi produk transesterifikasi untuk menghilangkan ALB dan DAG, yang dapat menyebabkan peningkatan biaya produksi. Dengan demikian, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 yang dihasilkan melalui fraksinasi aseton dipilih sebagai substrat dalam sintesis lipida kaya OPO. Pada transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada sn-2 dari HPS dengan etil oleat diperoleh lipida terstruktur yang mengandung OPO+POO sebagai TAG utama. Peningkatan rasio mol etil oleat terhadap fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan waktu reaksi menurunkan kadar PPP dan PPS. Pada rasio mol fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS terhadap etil oleat sebesar 1:6, suhu 60 °C dan waktu reaksi 2 jam menghasilkan lipida terstruktur mengandung OPO+POO 41,13%, dengan asam palmitat total 51,09%, asam palmitat pada posisi sn-2 75,76%, asam oleat total 44,48%, dan asam oleat pada posisi sn-1,3 58,77%. Pada fraksinasi produk transesterifikasi dihasilkan fraksi cair dengan kadar OPO+POO dan PPO+POP yang meningkat. Fraksinasi pada 10 °C selama 3 jam menghasilkan fraksi cair mengandung OPO+POO 43,72% dan PPO+POP 51,03%. Pada kondisi tersebut, lipida yang diperoleh memiliki kadar asam palmitat pada posisi sn-2 dan asam oleat pada posisi sn-1,3 masing-masing sebesar 79,57% dan 68,93%, dengan kadar relatif asam palmitat pada posisi sn-2 sebesar 59,07%., Human milk fat (HMF) is fat contained in breast milk, which contains 20–30% palmitic acid, 60–70% palmitic acid is distributed at the stereospecific number (sn)-2 position in the triacylglycerol (TAG). Human milk fat substitute (HMFS) is a structured lipid similar to HMF, synthesized by enzymatic interesterification of oils or fats. The main character of HMFS is that palmitic acid is located at the sn-2 position, and unsaturated fatty acids are located at the sn-1,3 positions. The most commonly synthesized HMFS is 1,3-dioleoyl-2-palmitoyl-glycerol (OPO), which is the main TAG of HMF. OPO is beneficial for babies because it can help in the effective absorption of fat and calcium. Hard palm stearin (HPS) is a solid fraction resulting from the fractionation of palm stearin (PS), which naturally contains high palmitic acid and tripalmitin (PPP). In addition to having a high amount of PPP, HPS also contains TAG with oleic acid at the sn-2 position. TAG with oleic acid at the sn-2 position is acidolyzed with oleic acid using sn-1,3 specific lipase produces triolein (OOO), which is not the target product in HMFS synthesis. Thus, the HMFS synthesis route using HPS should be initiated by increasing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position. Then, fatty acids at sn-1,3 positions of the TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS are replaced with a specific acyl donor such as acyl oleic by acidolysis or transesterification. The main objective of this study was to synthesize lipids rich in OPO using HPS. This general goal was achieved by several stages of research, including (1) increasing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS by acetone fractionation and enzymatic interesterification using palmitic donors, such as palmitic acid or ethyl palmitate in a solvent-free system; (2) determination of the optimum reaction conditions in the synthesis of OPO by enzymatic transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate in a solvent-free system; and (3) increase lipids rich in OPO by fractionation of enzymatic transesterification product between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate. This dissertation is arranged systematically to follow the research stages. In the first chapter, the comprehensive review of HMFS synthesis. In the second chapter, TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS was enhanced by HPS acetone fractionation. The third chapter enhanced TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS by acidolysis of HPS with palmitic acid or transesterification of HPS with ethyl palmitate. In the fourth chapter, OPO synthesis was carried out by transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate. In the last chapter, the transesterified product between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate was fractionated to increase lipids rich in OPO. In HPS acetone fractionation, the solid fraction containing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position (PPP and PPS) increased. The increase in the ratio of HPS to acetone and the fractionation temperature increased the contents of PPP+PPS but decreased the yield of PPP+PPS. The optimum fractionation conditions to produce lipids rich in PPP+PPS were at a ratio of HPS to acetone of 1:5 (g/ml) and a fractionation temperature of 30 °C for 3 h. With these conditions, lipids obtained had PPP+PPS content and yield of more than 91% and 59%, respectively. Lipids obtained consisted of palmitic acid 91.32% and at sn-2 position 88.13%. In HPS enzymatic interesterification, TAG-rich lipid fraction with the highest palmitic acid at sn-2 position was produced at a mole ratio of HPS to palmitate donor of 1:3, the temperature of 65 °C, Novozyme 435 10% by weight of the substrate, and time reaction for 4 h. Ethyl palmitate was a palmitic donor that produced a TAG-rich lipid fraction with the highest palmitic acid content at sn-2 position (88.44%) compared to palmitic acid (83.92%). The increase in TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position through the fractionation of HPS acetone and enzymatic transesterification between HPS and ethyl palmitate resulted in TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position at the same level of more than 88%. However, the transesterification product contained higher free fatty acid (FFA) and diacylglycerol (DAG) than the fractionated product. High levels of DAG can cause acyl migration in enzymatic interesterification, which can affect the target product (OPO) that will be produced. Therefore, a transesterification product purification process is needed to remove FFA and DAG, increasing production costs. Thus, TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position generated by acetone fractionation was chosen as a substrate in synthesizing OPO-rich lipids. In enzymatic transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position and ethyl oleate, a structured lipid was obtained containing OPO+POO as the main TAG. Increasing the substrate mole ratio of ethyl oleate to TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and reaction time decreased the contents of PPP and PPS. At a mole ratio of TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS to ethyl oleate of 1:6, a temperature of 60 °C, and a reaction time of 2 h resulted in structured lipids containing 41.13% OPO+POO, with total palmitic acid of 51.09%, palmitic acid at sn-2 position of 75.76%, total oleic acid of 44.48%, and oleic acid at sn-1,3 positions of 58.77%. In the fractionation of the transesterification product, a liquid fraction was produced with increased contents of OPO+POO and PPO+POP. Fractionation at 10 °C for 3 h resulted in a liquid fraction containing 43.72% OPO+POO and 51.03% PPO+POP. With these conditions, the lipid obtained consisted of palmitic acid at sn-2 position and oleic acid at sn-1,3 positions contents of 79.57 % and 68.93%, respectively, with a relative content of palmitic acid at sn-2 position of 59.07%. Keyword:acidolysis, fractionation, hard palm stearin, human milk fat substitute, transesterification
Judul: The impact of fiscal transfer on poverty in Indonesia : a policy simulation analysis Abstrak:Poverty has always been a serious prob lem until now, and it is closely related with economic growth and income distribution. Various efforts have been conducted to solve these problems. Fiscal decentralization policy in the form of fiscal transfers may be one of the government policies that ar e directly or indirectly expected to have any impact on poverty in Indonesia. Generally, the study is aimed to analyze (1) factors affecting poverty, and (2) the impact of fiscal transfers on poverty in Indonesia. The model of fiscal transfers and poverty that is designed consists of 6 blocks : fiscal, output, labor, per capita expenditure, income distribution, and poverty. The analysis uses an econometric approach with a simultaneous equations model that is consists of 20 structural equations and 7 ident ity equations. The model is estimated using the 2SLS method and the impact of transfer fiscal is analysed using simulation. Keyword:
Judul: Impact of fiscal capacity on regional economy and sectoral poverty in Indonesia: a policy simulation analysis Abstrak:Poverty alleviation is an important agenda of national economic development in Indonesia. In order to accelerate the achievement of economic development goals, Indonesian government has been implementing fiscal decentralization policy since 2001. The policy was successful in increasing the rate of economic growth, but the income inequality became larger so that the poverty rate and the proportion of poor people in agricultural households has been increased. The implementation of fiscal decentralization policy in Indonesia which is focused on fully shifting expenditure assignment from central government to local government has lead to higher local expenditures as local governments strategies to increase their economic growth. However, the revenue assignments authority is limited so that fiscal capacity is low. As a result, the fiscal deficit is overcome by transfer General Allocation Fund (DAU) from the central government and also the local financial structures are mostly depend on DAU. Previous studies found the flypaper effect phenomenon as greater response of local governments in the use of budget sourced from DAU than those from original local revenue (PAD). Accordingly, if flypaper effect occurred in local expenditures with no great impact on poverty reduction then great role of DAU on local financial structure could not accelerating poverty alleviation. Therefore, fiscal capacity should be increased. The objective of this study is to analyze impact of fiscal capacity increasing on fiscal performance, sectoral economic performance, sectoral poverty rates, income inequality, and proportion of poor people in agricultural households by using a model of simultaneous equations system with province and regencies aggregate panel data in 23 provinces during 2005-2011 and Two Stage Least Squares (2SLS) estimation method. The impact analysis of policy simulations is performed on historical period of 2006-2011 and forecast period of 2013-2015. Several important findings are: (1) fiscal capacity influences agriculture and infrastructure expenditures as important factors for agricultural growth and asphalt road infrastructure which further give high effects in reducing poverty rates, income inequality, and proportion of poor peopole in agricultural households; (2) fiscal capacity of local taxes is influenced by per capita Gross Domestic Regional Product (GDRP) and local private investment; (3) fiscal capacity of tax-revenue sharing is influenced by GDRP of non-agricultural sectors which are potentially increasing individual income tax (PPh) as the main source of tax revenue sharing; and (4) the alternative policies of the increasing of local agricultural and industrial expenditures larger than the increasing of trade expenditure, increasing of local portion from tax revenue sharing, and increasing of private direct investments mainly in agricultural provinces will increase fiscal capacity and give great impact on the improvement of fiscal performance, economic performance, and sectoral poverty which are indicated by higher fiscal autonomy rate, sectoral GDRP rate, and sectoral employment rate as well as lower sectoral headcount index, Gini Index, and proportion of poor people in agricultural household. Therefore, to achieve greater local economic growth, lower poverty rates, lower income inequality, and lower proportion of poor people in agricultural households as well as to achieve poverty targets on national development agenda RPJMN 2014 in the amount of 8-10 % and MDGs 2015 in the amount of 7.5 %, local governments are recommended to improve their fiscal capacity by: (1) local governments increase their agricultural and industrial expenditures greater than the increasing of trade expenditure; (2) local government, central government, local public community, and other parties together create a conducive investment climate to enhance local private investment from domestic and foreign direct investors particularly in agricultural provinces; and (3) central government revises the Law No. 33/2004 article 13 by increasing local portion of personal income taxes revenue sharing from 20% to 30%. Keyword:fiscal capacity, economic growth, income inequality, sectoral poverty
Judul: Stabilitas Kopigmentasi Intramolekuler dan Perannya dalam Degradasi Warna Antosianin Ekstrak Bunga Telang (Clitoria ternatea L.). Abstrak:Bunga telang (Clitoria ternatea L - CT) merupakan sumber antosianin terpoliasilasi yang penting karena stabilitasnya yang relatif tinggi. Secara umum, antosianin terpoliasilasi lebih stabil daripada antosianin tanpa atau dengan satu gugus asil. Kestabilan ini disebabkan oleh adanya kopigmentasi intramolekuler antara dua atau lebih gugus asil aromatik dengan kromofor antosianin. Degradasi antosianin pada pH ≥ 3,5 bermula dari hidrasi spesies kation flavilium (AH+) menjadi hemiketal (B). Pada antosianin terpoliasilasi, hidrasi ini dihambat oleh kopigmentasi intramolekuler yang terbentuk melalui interaksi hidrofobik. Secara teoritis terdapat dua kemungkinan kerusakan kopigmentasi intramolekuler, yakni melalui (i) terbentangnya (unfolding) interaksi hidrofobik, atau (ii) hidrolisis pada gugus asil atau glikosil. Sepanjang penelitian ini dilakukan pengamatan spektrofotometrik terhadap pola degradasi warna ekstrak CT pada berbagai kondisi, meliputi pH (1, 4 - 8), suhu (7 – 90oC), jenis pelarut (air, metanol, etanol, dan aseton), dan ruang antara permukaan ekstrak dan tutup kemasan (headspace). Headspace merupakan faktor baru yang diduga dapat mempercepat kerusakan antosianin CT. Oleh karena kebaruannya, pengaruh headspace menjadi perhatian paling utama. Kestabilan antosianin CT dibandingkan pula dengan kestabilan antosianin dari beberapa sumber lain. Jejak-jejak spektrofotometrik yang meliputi intensitas warna, indeks ungu, indeks pencoklatan, pergeseran hipokromik, hipsokromik, dan batokromik dianalisis dan disusun menjadi usulan mekanisme degradasi warna ekstrak CT. Salah satu hasil terpenting pada penelitian ini adalah degradasi warna ekstrak CT selama penyimpanan dapat terjadi dengan atau tanpa pergeseran serapan cahaya ke panjang gelombang yang lebih pendek (efek hipsokromik). Efek hipsokromik tidak terlihat pada ekstrak pH 4 dan 5, serta pada ekstrak dalam pelarut 80% aseton – 20% larutan penyangga pH 7. Sementara itu efek tersebut terjadi pada ekstrak pH 6 – 8, dan ekstrak dalam pelarut 80% etanol atau metanol – 20% larutan penyangga pH 7. Ekstrak yang tidak mengalami efek hipsokromik lebih stabil dibandingkan dengan yang mengalami efek hipsokromik. Efek hipsokromik terjadi pula pada ekstrak pH 7 buah Dianella (DE) dan bunga Ipomoea tricolor (IT) yang mengandung antosianin terpoliasilasi, dan tidak terlihat pada ekstrak buah Melastoma malabathricum (MM) dan Tibouchina semidecandra (TS) yang mengandung antosianin sederhana. Fenomena ini menandakan adanya dua mekanisme degradasi warna antosianin ekstrak CT. Degradasi warna dengan pergeseran hipsokromik diperkirakan merupakan tanda terjadinya deasilasi, sedangkan degradasi tanpa pergeseran hipsokromik merupakan tanda terjadinya degradasi warna melalui pembentangan interaksi hidrofobik. Terjadinya deasilasi pada ekstrak CT 7 dikonfirmasikan pula melalui hasil analisis dengan HPLC-DAD (Diode Array Detector). Hasil kedua adalah bukti signifikan dari peran headspace di dalam mempercepat laju degradasi ekstrak CT, khususnya pada pH 6 dan 7. Peran tersebut tidak dipengaruhi baik oleh jenis gas di dalam headspace maupun rasio volum headspace terhadap ekstrak. Keberadaan headspace menyebabkan terbentuknya permukaan hidrofobik yang diduga mendorong terjadinya pembentangan (unfolding) interaksi hidrofobik pada molekul antosianin. Peristiwa terbentangnya interaksi hidrofobik akibat permukaan hidrofobik telah dilaporkan terjadi pada protein yang menyebabkan protein terdenaturasi. Dugaan terjadinya pembentangan interaksi hidrofobik oleh permukaan hidrofobik diperkuat oleh sifat ekstrak CT yang memiliki kestabilan lebih rendah pada 30oC dibandingkan pada 45oC. Peningkatan suhu dapat menurunkan hidrofobisitas permukaan ekstrak sehingga memperlambat terjadinya pembentangan interaksi hidrofobik. Hasil penting lain adalah terjadinya perbedaan laju penurunan absorbansi pada 550 nm, 580 nm dan 628 nm, yang masing-masing merepresentasikan species antosianin merah, ungu, dan biru. Absorbansi pada 628 nm menurun lebih cepat dibandingkan dengan absorbansi pada kedua panjang gelombang lain. Ini menandakan bahwa degradasi antosianin terpoliasilasi pada pH 7 diawali dengan degradasi spesies basa kuinonoidal anionik (A-) yang berwarna biru. Untuk memperkuat dugaan tersebut diamati pola degradasi absorbansi pada panjang gelombang yang mewakili warna merah (Ar), ungu (Av), dan biru (Ab) dari ekstrak CT, Ipomoe tricolor (IT), Dianella sp. (DE), Tibouchina semidecandra (TS), dan Melastoma malabathricum (MM). IT dan DE merupakan sumber antosianin terpoliasilasi, TS merupakan sumber antosianin termonoasilasi, dan MM merupakan sumber antosianin tak terasilasi. Terlihat bahwa pada ekstrak antosianin terpoliasilasi laju penurunan Ab adalah yang paling tinggi, diikuti Av dan Ar. Bahkan pada periode awal degradasi terjadi peningkatan Ar yang menunjukkan bertambahnya kadar spesies AH+ pada awal degradasi. Pada ekstrak TS dan MM laju penurunan absorbansi yang mewakili ketiga warna relatif sama. Bukti-bukti spektroskopik ini dipandang memadai untuk memperkirakan bagaimana degradasi warna ekstrak CT terjadi. Degradasi diawali dengan terjadinya pembentangan AH+, A, dan A- . Spesies AH+unfold terhidrasi menjadi Bunfold, yang kemudian berturut-turut membentuk Ccunfold dan Ctunfold. Proses ini menyebabkan kesetimbangan terganggu, sehingga Aunfold terprotonasi menjadi AH+unfold dan A-unfold terprotonasi menjadi Aunfold. Mekanisme ini mengakibatkan degradasi yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan degradasi lanjutan, yaitu deasilasi. Pada pH > 5, A-unfold mengalami deasilasi membentuk A-deacylated. Produk hasil deasilasi ini kemudian berturut-turut terprotonasi menjadi Adeacylated, dan AH+deacylated. Jika deasilasi terjadi pada gugus asil yang tidak terlibat di dalam konfigurasi kopigmentasi intramolekuler, maka AH+deacylated tidak mengalami hidrasi menjadi Bdeacylated. Proses ini menjelaskan mengapa pada periode awal degradasi terjadi peningkatan serapan cahaya merah. Proses deasilasi terus berlangsung dan sebagian AH+deacylated kehilangan kopigmentasi intramolekuler sehingga terhidrasi menjadi Bdeacylated. Spesies Bdeacylated selanjutnya berubah menjadi Ccdeacylated, kemudian Ctdeacylated. Perbedaan yang sangat kecil antara laju degradasi intensitas warna dengan total antosianin menunjukkan bahwa Ctdeacylated segera terdegradasi membentuk turunan benzaldehida dan asam hidroksibenzoat. Keyword:antosianin, bunga telang, kopigmentasi, degradasi, hipsokromik
Judul: Forage legumes crops adaptation to drought stress and mycorrhizal inoculation Abstrak:One of the major problems to ruminant production sustainable is forage availability. The problem is more influenced by the seasons, especially the dry season. Lack of soil water causes plants experiencing drought stress. To cope with drought stress, plants respond with physiological and biochemical changes. It’s causes plants undergo morphological and physiological disorders, and it will hampered their growth and productivity. Utilization of mycorrhizae may assist plants to overcome drought stress. The study was conducted to recognize adaptation mechanisms of legume inoculated with mycorrhiza on drought stress, investigate effect of mycorrhizal inoculation to leguminous adaptability to overcome drought stress, and to obtain forage legume species that adaptive and productive in drought condition. Ten tropical forage legumes species consisting of Leucaena leucocephala, Indigofera zollingeriana, Desmodium sp, Calopogonium mucunoides, Macroptilium bracteatum, Centrocema pascuorum, Pueraria javanica, Clitoria ternatea, Centrocema pubescen, and Stylosanthes seabrana) were tested in different drought condition (optimum watering, drought stress) as factor. The other factor was innoculation of mychorizal fungi (no mycorrhiza, with mycorrhiza), which expected to interact with the plants in reducing drought stress. Soil water content (swc), leaf water potential (lwp), leaf relative water content (lrwc), leaf proline, leaf water soluble carbohydrate (lwsc), and plant dry weight were observed. Drought stress decreased swc, lwp, lrwc and total dry weight. Drought stress also increased leaf proline and lwsc content, but lwsc was declined in Centrocema pascuorum. Mycorrhizal fungi inoculation effect was varied among legume species. Inoculation of mychorrizal fungi was increased leaf proline and lwsc content of all legume species. However, it was tended to decline proline content in tree legumes. Indigofera zollingeriana, Centrocema pascuorum and Clitoria ternatea were productive species that recommended for forage development in dry area. Keyword:
Judul: Growth response and adaptation to drought stress of three forage legume crops inoculated with Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AM-Fungi) Abstrak:Di daerah tropika pada umumnya, termasuk Indonesia, terdapat berbagai jenis tanaman legum pakan, tiga di antaranya yang sudah tersebar luas dan populer di kalangan petani peternak yaitu Sentro (Centrosema pubescens Benth.), Kalopo (Calopogonium mucunoides Desv.), dan Puero [Pueraria phaseoloides Roxb. (Benth.)]. Ketiga jenis tanaman legum pakan ini biasanya dibudidayakan pada tanah -tanah marginal seperti Ultisol, di mana pada tanah ini tanaman akan menghadapi masalah defisiensi unsur hara esensial tertentu, selain juga pada musim kemarau dapat mengalami kondisi kekurangan air (cekaman kekeringan). Akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi tidak optimal. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat dalam pembuatan padang penggembalaan baru terutama pada tahap ”pasture establishment” (pembentukan awal padang rumput), pertumbuhan awal tanaman yang baik akan memberi jaminan terhadap pertumbuhan selanjutnya sepanjang siklus hidupnya. Penggunaan mikro - organisme bermanfaat (CMA dan Rhizobium) merupakan salah satu alternatif pemecahan masalahnya. Keyword:
Judul: Eksistensi Nikah Siri di Masyarakat dan Posisi Perempuan Abstrak:Nikah siri bukanlah merupakan fenomena baru di Indonesia, namun sudah ada sejak puluhan tahun silam, sebelum ada pencatatan pernikahan maka nikah siri adalah pernikahan yang sah menurut agama dan masyarakat, karena moda sosial ekonomi dan strategi nafkah berubah maka hak civil juga berubah dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh nikah siri terutama bagi perempuan dan anak. Secara umum penelitian ini untuk mengungkap : (1) Tipologi nikah siri yang ada di Desa Warurejo dan aktor-aktor yang terlibat, fungsi manifes dan laten nikah siri pada masyarakat dan aktor-aktor yang menikmati fungsi manifes dan laten nikah siri. (2) Sistem nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat, mengungkap pengaruh struktur terhadap posisi perempuan yang menikah siri, mendiskripsikan pemahaman agama Islam oleh masyarakat dan individu terhadap nikah siri. Pandangan individu, tokoh agama Islam, budaya, sosial dan masyarakat secara umum terhadap nikah siri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) terdapat empat tipologi nikah siri pada masyarakat Warurejo, yaitu: perjodohan antar kerabat, perjodohan oleh orangtua dan broker, menikah siri dengan batuan broker dan menikah siri atas kemauan sendiri. Nikah siri tidak hanya berdampak negatif tetapi memiliki fungsi positif yaitu mampu meningkatkan kehidupan ekonomi individu, jaringan nikah siri, Kyai dan infra struktur masyarakat. Pernikahan siri merupakan mekanisme untuk meringankan beban ekonomi orangtua. Mengawinkan anak dibawah umur walaupun dengan cara siri berarti pula meringankan beban ekonomi keluarga. Anak perempuan yang sudah menikah bukan lagi tanggungjawab orangtua, namun tanggungjawab seorang suami. Struktur berpengaruh terhadap posisi perempuan nikah siri, perempuan yang menikah walaupun siri, lebih dihormati dan dihargai dalam masyarakat daripada perempuan janda atau perawan yang belum menikah walaupun cukup umur. Selain itu, Kyai memiliki kekuasaan untuk menginterpretasikan hukum Islam untuk merasionalisasikan dan melegitimasi nikah siri, daripada melakukan perbuatan yang dilarang agama yaitu berzina dan berdosa. Interpretasi hukum agama disosialisasikan oleh Kyai bahwa sahnya suatu pernikahan dalam hukum Islam ditandai oleh adanya ijab qobul, sedangkan perayaannya merupakan sunnah yang boleh saja tidak dilaksanakan. Karena hukum agama Islam, memperbolehkan seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu, sehingga terbentuk pola berupa aturan-aturan dan norma-norma untuk melegalkan nikah siri. Keyword:Nikah siri actors, nikah siri network, economy, religious norms
Judul: Pengelolaan Berkelanjutan Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus) di Lampung Timur Abstrak:Permintaan pasar untuk ekspor daging rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) yang tinggi dan diiringi dengan harga yang bagus, mengakibatkan tingginya preferensi nelayan untuk menangkapnya di Indonesia. Salah satu perairan pesisir yang potensial untuk perikanan tangkap rajungan adalah di Lampung Timur, yang mana perairan ini termasuk tipe pantai terbuka dan umumnya landai. Kendati demikian, informasi biologi sumberdaya sangat minim di daerah ini. Produktivitas tangkapan per-trip juga cenderung menurun dan ukuran hasil tangkapan semakin kecil. Diduga sebagai penyebab-nya adalah intensitas penangkapan yang tinggi, sehingga perlu dikelola. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguraikan karakter daur hidup rajungan dari aspek biologi reproduksi; (2) membedakan variasi sebaran spasio-temporal struktur stok; (3) menguraikan parameter dinamika populasi; (4) mengevaluasi pola eksploitasi rajungan; (5) menyusun alternatif pengelolaan untuk keberlanjutan perikanan rajungan di daerah ini. Paramater biologi reproduksi yang komprehensif dikaji dari sampel yang diambil di lokasi pendaratan dan mewakili hasil tangkapan dari perairan pantai ke arah laut, dilakukan setiap bulan dari Juni 2011-Mei 2012. Determinasi spasio-temporal struktur stok melalui pengambilan sampel pada tiga stratifikasi area (S1−S3) setiap bulan dari Maret 2012-Februari 2013. Stratum S1 (kedalaman air <5 m dan berjarak <4 mil dari garis pantai), S2 (kedalam air 5−10 m dengan jarak 4−10 mil) dan S3 (kedalaman air >10 m dengan jarak >10 mil). Ditetapkan pula empat sub-area (A1−A4) di setiap stratifikasi berdasarkan karakteristik pantai dan penutupan lahan daratan pesisir, sehingga unit area sampling adalah S1A1−S3A4. Dari sampel yang diperoleh dianalisis pula parameter dinamika populasi. Pola eksploitasi diungkap melalui wawancara kepada nelayan, dipandu kuisioner, dilaksanakan pada Desember 2012-Februari 2013 dan Juni−September 2013. Karakter daur hidup species di area ini dicirikan oleh: (a) ukuran populasi rajungan jantan dan betina mencapai matang gonad 50% (Lm50) pada lebar karapas (CW) 98 mm dan 103 mm; (b) ukuran populasi betina mencapai matang gonad 75% (Lm75) dan 95% (Lm95) pada 111.6 mm dan 126.0 mm CW serta kematangan reproduktif 115 mm CW; (c) ovari rajungan betina mengerami telur (berried female, BEF) didominasi oleh tingkat kematangan gonad III; (d) rajungan betina (non-berried female, NBF) mempunyai indeks kematangan gonad lebih tinggi daripada BEF setiap bulan, kecuali bulan Agustus, November dan Februari yang mengindikasikan pemijahan berulang dalam setahun; (e) betina memijah dua kali atau lebih setahun dan persentase nilai BEF/NBF >30% terhadap nilai tertinggi pada ukuran >111 mm CW; (f) betina mempunyai potensi tinggi memijah pada ukuran 111.00−170.99 mm CW, tergolong reproduktif berukuran 111.00− 155.99 mm CW. Pola pemijahan secara parsial, pemijahan berlangsung sepanjang tahun dan bersifat kontinyu-musiman dengan dua puncaknya. Puncak pemijahan pertama pada bulan April−Juni dan yang kedua bulan September-Oktober/November. Kedua puncak musim pemijahan bervariasi dalam kelimpahan BEF dan fekunditas. Fekunditas pada tahap awal perkembangan embrio dengan BEF berukuran antara 91.58168.00 mm CW tergolong tinggi, berkisar antara 229,4682,236,355 butir telur (rataan±SE = 926,638 ± 30,975), mempunyai hubungan liner positif dengan lebar karapas dan logaritmik positif dengan bobot tubuh. Fekunditas individu bervariasi tinggi pada ukuran lebar karapas >126 mm dan diduga terkait dengan pemijahan berulang dalam setahun. Rajungan BEF dengan seluruh kategori perkembangan embrio tertangkap pada hampir seluruh unit sampling area, sehingga daerah pemijahan dan bertelur terindikasi kuat mulai dari S1 bersalinitas tinggi dengan tipe substrat pasir berlumpur hingga perairan laut atau lepas pantai. Hal ini didukung oleh warna telur yang dierami dan berada pada tahap akhir perkembangan embrio. Hampir seluruh area distribusi BEF, tumpang tindih dengan daerah tangkapan di dalam wilayah studi. Perairan S1 juga sebagai daerah asuhan utama rajungan hampir sepanjang tahun dan tumpang tindih dengan habitat pra-dewasa dan dewasa kelamin. Proporsi jumlah individu dan bobot total rajungan dewasa kelamin di S1 masing-masing ~66.5% dan ~78.7%, sehingga bagian S1 ke arah laut masih potensial untuk penangkapan. Kelimpahan dan biomass sangat variatif secara spasio-temporal di S1−S3 dan tinggi pada bulan Desember-Mei (musim barat/penghujan), sedangkan biomass tertinggi pada bulan Maret. Sub-area A1 dan A2 mempunyai kelimpahan dan biomass yang tinggi pada bulan Februari-Mei. Berdasarkan kelimpahan dan biomass, perairan S2 potensial untuk penangkapan sepanjang tahun, sedangkan di S3 adalah 8 bulan. Rajungan jantan dan betina mempunyai lebar karapas asimtotik 189.50 mm dan 191.50 mm serta laju pertumbuhannya tergolong cepat, sehingga berumur pendek (<3 tahun). Estimasi umur rajungan jantan dan betina mencapai Lm50 adalah ~7.32 bulan dan ~8.4 bulan serta Lr50 betina adalah ~10.0 bulan. Jangka waktu rajungan betina berpotensi tinggi untuk memijah ~16.0 bulan. Pola rekrutmen tampak seiring dengan pola pemijahan dan berlangsung hampir sepanjang tahun, mempunyai dua musim puncak (April-Mei dan Agustus-September). Keduanya tumpang tindih satu sama lain, sehingga puncak rekrutmen yang tinggi terindikasi satu kali dalam setahun (Agustus-September). Pola tersebut hampir sama dengan pola musim kelimpahan dan penangkapan. Rasio eksploitasi (E = 0.76) dan status sumberdaya dalam keadaan lebih tangkap. Hal ini berkaitan pula dengan ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc50) kecil dari Lm50. Proporsi rajungan berukuran <Lm50 yang tertangkap masing-masing ~17.1% dan ~7.4% dari jumlah individu dan volume tangkapan serta proporsi BEF/NBF dan BEF/total individu masing-masing ~16.2% dan ~6.4% di S1−S3. Dengan laju eksploitasi saat ini, seyogyanya Lc50 pada ukuran lebar karapas 115 mm. Untuk mendapatkan hasil dan biomass per-penambahan baru relatif (Y’/R dan B’/R) optimum, Lc50 pada lebar karapas antara 115−135 mm CW. Penangkapan didominasi oleh alat jaring insang dasar. Pola musim penangkapan terdiri atas musim puncak, sedang dan paceklik. Musim puncak penangkapan di S1−S2 berlangsung dari bulan Desember/Januari-April/Mei, musim sedang pada bulan Juni/Juli dan November-awal Desember serta musim paceklik dari bulan Juli/Agustus- Oktober. Musim puncak penangkapan di stratum S3 dari bulan Februari−Mei, musim sedang pada bulan Juni−Juli dan November-Januari serta musim paceklik dari bulan Agustus- Oktober/November. Penangkapan oleh sekitar 20−30 armada berlangsung di bagian S1−S2 pada musim paceklik. Usaha penangkapan rajungan bernilai ekonomi tinggi. Penangkapan di S1 sangat layak dan efisien pada musim puncak penangkapan dibanding di S2 dan S3. Namun, hasil tangkapan di S1 terdiri atas rajungan berukuran <Lm50 sebesar ~33.6% dan ~21.3% dari jumlah individu dan volume tangkapan. Usaha penangkapan rajungan selama tiga musim tangkapan mempunyai keuntungan rata-rata tergolong tinggi setiap bulannya, namun terdapat keuntungan minus yang tinggi pada musim paceklik, sehingga menambah terhutangnya nelayan kepada Pembina/pengepul dan atau supplier. Pengelolaan berkelanjutan perikanan rajungan dengan strategi pengendalian penangkapan adalah melalui upaya taktis secara terintegrasi, yaitu: (a) memberlakukan ukuran minimum yang boleh ditangkap (minimum legal size, MLS) menurut kondisi ekonomi nelayan saat ini pada ukuran lebar kaparas 105 mm dan ditingkatkan secara gradual untuk mencapai Y’/R dan B’/R optimum berdasarkan kondisi stok; (b) penerapan MLS diikuti dengan perlindungan nursery habitat dan penggunaan alat tangkap bubu yang dilengkapi lubang pelarian (escape vent); (c) pentupan penangkapan dari bulan Agustus- Oktober; (d) standarisasi alat tangkap dan pengaturan daerah tangkapan; (e) melepaskan kembali rajungan BEF yang tertangkap dalam kondisi hidup. Implementasi upaya pengelolaan di atas diiringi dengan pendataan hasil tangkapan per-unit upaya (trip), pengembangan mata pencaharian alternatif pada periode penutupan musim penangkapan, peningkatan kohesi dan kapasitas nelayan serta perbaikan kebijakan pengelolaan. Keyword:biologi populasi, pengelolaan berkelanjutan, pengendalain penangkapan, rajungan (Portunus pelagicus), Lampung Timur
Judul: Habitat, Biologi Reproduksi Dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaeus 1758) Sebagai Dasar Pengelolaan Di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara Abstrak:Rajungan bernilai ekonomis penting dan permintaannya yang tinggi sehingga dilakukan penangkapan secara intensif, diantaranya seperti yang terjadi di Teluk Lasongko. Untuk itu, perlu dilakukan pengelolaan sehingga keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini terjaga, namun data kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, (2) karakteristik morfometrik dan distribusi frekuensi kelas ukuran populasi rajungan, (3) parameter biologi reproduksi rajungan, (4) distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan komposisi biokimia telur rajungan betina ovigerous, (5) struktur ukuran populasi, parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan, dan (6) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko. Pengambilan contoh rajungan dilakukan dengan menggunakan gill net dengan ukuran mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci pada tujuh stasiun dan dilakukan setiap bulan, yaitu dari bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi baik spasial maupun temporal, namun masih dalam batas kisaran yang optimal bagi kehidupan dan pertumbuhan rajungan. Keberadaan rajungan di perairan ini juga bervariasi secara spasial dan temporal, dan ditemukan tersebar pada tipe substrat pasir (dominan), pasir berlempung dan liat lempung berpasir dengan kedalaman berkisar antara 0.35 m hingga 31 m. Keempat jenis warna rajungan betina ovigerous juga ditemukan pada berbagai tipe habitat. Rajungan di perairan ini banyak tertangkap pada bulan Desember sampai Juli, sedangkan pada bulan Agustus sampai Oktober sedikit tertangkap. Kondisi substrat, kedalaman air dan padang lamun mempengaruhi distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko, dan sebagian besar variabel kualitas air berkorelasi dengan distribusi rajungan. Karakter morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko ditemukan bervariasi secara spasial dan temporal, yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 berukuran kecil dan yang tertangkap pada stasiun 7 berukuran besar dibandingkan dengan stasiun lainnya. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember berukuran besar, sedangkan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September, Februari dan Maret berukuran kecil. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Oktober, November, Maret, September dan Desember tergolong berukuran besar sedangkan yang tertangkap pada bulan April tergolong berukuran kecil. Karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur. Ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada penelitian ini lebih kecil dari pada rajungan betina, masing-masing terdistribusi pada 10 kelas ukuran lebar karapas untuk rajungan jantan dan rajungan betina tersebar pada 12 kelas ukuran. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh dan hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina umumnya bersifat allometrik negatif, sedangkan lebar/panjang-berat tubuh rajungan jantan dan betina bersifat isometrik. Tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-berat rajungan jantan dan betina bersifat allometrik negatif. Tipe pertumbuhan relatif lebar/panjang-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan tahap dewasa tidak mengalami perubahan, yaitu keduanya bersifat isometrik. Rasio kelamin, TKG dan IKG rajungan jantan dan betina yang ditemukan di Teluk Lasongko bervariasi secara spasial dan temporal. Rasio kelamin rajungan jantan dan betina secara spasial dan temporal umumnya seimbang, kecuali rasio kelamin total tidak seimbang. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad sedangkan rajungan betina sebagian besar didominasi oleh yang matang gonad, kecuali pada stasiun 1 dan 2. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan, serta pada musim timur dan barat sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad. Ukuran lebar karapas 50 % matang kelamin rajungan jantan 109.83 mm dan betina 115.71 mm. Rajungan betina ovigerous berwarna kuning dan orange didominasi oleh yang belum matang gonad, sedangkan yang berwarna coklat dan abu-abu gelap seimbang antara yang belum matang gonad dan yang matang gonad. Perkembangan gonad dan embrio rajungan betina ovigerous berlangsung paralel. IKG rajungan betina ovigerous lebih rendah dari pada IKG rajungan betina yang belum ovigerous. Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir, berkorelasi linear dengan ukuran tubuh dan berat telur, serta bervariasi terhadap ukuran tubuh dan warna telur rajungan. Kadar proksimat dan asam lemak selama perkembangan embrio rajungan mengalami perubahan seiring dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap. Jumlah kelompok ukuran rajungan yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari satu sampai dua kelompok, dan sebagian besar tergolong ukuran dewasa atau matang kelamin. Pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina. Rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko berlangsung setiap bulan dan tertinggi terjadi pada bulan Juli dan September, dan tingkat eksploitasi rajungan jantan dan betina di perairan ini telah tergolong tangkap lebih (overfishing). Potensi keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko tergolong tinggi dilihat dari aspek habitat, biologi reproduksi dan parameter dinamika populasi, namun karena tingkat eksploitasi yang tinggi, status stok rajungan di perairan ini cenderung tergolong kritis. Rajungan pada lokasi yang dangkal telah mengalami perubahan rasio kelamin jantan dan betina serta ukuran rajungan jantan dan betina semakin kecil. Konsep pengelolaan yang segera dilakukan untuk menjamin keberlanjutan populasi rajungan dan penangkapan berkelanjutan adalah pengaturan rajungan yang boleh ditangkap, pengaturan musim penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah penangkapan, perlindungan dan rehabilitasi habitat, restoking, mengembangkan suaka rajungan serta pemantauan dan evaluasi. Keyword:Portunus pelagicus, habitat, reproduksi, dinamika populasi, pengelolaan, Teluk Lasongko
Judul: Antiyeast activities of cumin oil (Cuminum cyminum) toward osmophilic yeast strains isolated from high sugar food Abstrak:The antiyeast activities of cumin oil toward osmophilic yeast strains isolated from high sugar food were studied. Sixty-eight osmophilic yeasts were isolated from sample i.e. strawberry jam (26 isolates), pineapple jam (25 isolates), and South Sumatera honey (17 isolates). No yeast was obtained from condensed milk, Sumbawa honey, sweet soy sauce, and palmsugar. These yeast isolates were identified based on sequence analysis of the ITS region as Candida metapsilosis, C. parapsilosis, C. orthopsilosis, C. etchellsii and Sterigmatomyces halophilus. Phylogenetic analysis showed that most of the osmophilic yeasts (67 out of 68 isolates) were located in the phylum Ascomycota and only 1 isolate was located in the phylum Basidiomycota. Candida etchellsii was the predominant species in South Sumatera honey, while C. metapsilosis, C. parapsilosis, C. orthopsilosis were predominant species in jam. In both jam and honey samples C. metapsilosis and C. parapsilosis were found, whilst C. orthopsilosis was found only in pineapple jam. All five identified yeast species were used further to examine the antiyeast activities of cumin oil. Cumin oil was analyzed by GC-MS, and it was consisted of some compound i.e. cuminaldehide (35.44%), ρ-cymene (34.77%), β-pynene (15.08 %), γ-terpinene (8.15%), α-thujene, α-pinene, trans-limonene, cis-limonene, pentylcyclohexane, cyclohexane, and apiole. The examination of antiyeast activity based on disc agar diffusion method showed that all of the tested yeasts were sensitive to cumin oil. Keyword:Cuminum cyminum
Judul: Kajian Organ Mandibular Dan Pemanfaatannya Sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla Olivacea. Abstrak:Organ Mandibular (OM) pada krustasea memiliki peranan penting dalam proses fisiologi, salah satunya adalah molting. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi OM dari kepiting bakau, mempelajari perkembangan fisiologinya, membuktikan keberadaan enzim melalui pendekatan RNA, membuktikan peranan OM, dan mengklarifikasi dosis terbaik dalam menstimulasi molting. Terdapat empat tahapan penelitian yang didesain untuk mengkaji OM dan peranannya dalam molting kepiting bakau jenis Scylla olivacea. Pertama, untuk mengidentifikasi OM kepiting bakau dan mempelajari struktur morfologinya. Identifikasi dilakukan melalui pembedahan terhadap kepiting bakau sehat, koleksi organ, pengukuran, dokumentasi dan bantuan korespondensi peneliti yang kompeten dalam organ mandibular. Struktur morfologi organ diamati melalui Scanning Electron Microscope (SEM) menggunakan prosedur preparasi spesimen padat. Penelitian tahap pertama berhasil menemukan OM pada kepiting bakau, yakni berbentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat, berpasangan, diameter berkisar 1-3 mm. Pengamatan dengan SEM memperlihatkan struktur organ yang halus dengan selubung jaringan pengikat. Ukuran OM pada kepiting jantan lebih besar dibandingkan kepiting betina, demikian pula kepiting dalam fase premolt memiliki OM yang lebih besar dibandingkan intermolt. Keberhasilan tahap pertama menjadi acuan awal untuk menggunakan kepiting jantan fase premolt sebagai donor OM. Kedua, menentukan keterkaitan bobot OM dengan bobot tubuh (BT), dan bobot organ Y (OY), pada kepiting jantan dan betina yang berada dalam fase intermolt dan premolt. Kepiting uji yang digunakan memiliki kisaran BT 120-130 g/individu, sebanyak 200 individu. Koleksi organ dilakukan dengan cara kepiting dianastesi pada air bersuhu dingin. Pembedahan dilakukan dengan hati-hati agar organ tetap berada pada posisi semula, selanjutnya organ dipisahkan dan dilakukan penimbangan. Hasil perhitungan indeks organ disajikan dalam persamaan regresi linier sederhana untuk menentukan keterkaitan hubungan bobot OM, dengan BT, dan OY. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bobot OM pada kepiting jantan dan betina mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan BT dan OY, di mana dalam fase premolt lebih besar dibandingkan intermolt. Hasil penelitian juga menunjukkan bobot OM pada kepiting jantan lebih berat dibandingkan kepiting betina. Ketiga, menentukan keberadaan Farnesoate Acid Methyl Transferase (FAMeT) dalam OM kepiting bakau. Total RNA diperoleh menggunakan kit RNeasy mini (Qiagen), ethanol 70%, dan air bebas RNase. Amplifikasi RNA penyandi FAMeT menggunakan SuperScript III OneStep RT-PCR with Platinum Taq Polimerase (Invitrogen) untuk sintesis cDNA. Primer yang digunakan adalah FAMeTQ1 5′-GGCACGGACGAGAACAA-3′ dan FAMeTQ2 5′-GCGACGCTGAAGGAGAT-3′. Sementara primer yang digunakan untuk mendeteksi β-aktin adalah β-aktinF 5′ GAGCGAGAAATCGTTCGTGAC-3′ dan β-aktinR 5′-GGAAGGAAGGCTGGAAGAGAG-3′. Pada penelitian ini penemuan amplikon gen β-aktin kepiting bakau yakni 202 bp, menunjukkan keberhasilan ekstraksi RNA dari OM. Ekspresi mRNA penyandi FAMeT dari OM mengindikasikan peranan enzim tersebut sebagai konverter asam farnesoat (AF) menjadi metil farnesoat (MF). Hasil pengukuran konsentrasi total RNA penyandi FAMeT yang mengalami peningkatan dari intermolt ke premolt mengindikasikan peningkatan MF dalam OM kepiting bakau; sehingga pada penelitian tahap ketiga dijadikan acuan pemilihan kepiting donor dari fase premolt. Keempat, membuktikan peranan ekstrak OM terhadap molting, pertumbuhan, keserentakan molting, dan kelangsungan hidup. Ekstrak OM diperoleh dari kepiting bakau jenis S. olivacea jantan yang berada pada fase premolt dengan kondisi tubuh yang sehat. Kepiting uji disuntik dosis tunggal ekuivalen melalui membran pada pangkal kaki renang, menggunakan syringe 1 ml dengan jarum suntik 27 gauge. Penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT berhasil membuktikan peranan ekstrak OM dalam meningkatkan persentase molting, masa laten, keserentakan molting, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Respons pertumbuhan mutlak kepiting bakau tidak menunjukkan perbedaan antara kontrol dan perlakuan injeksi. Klarifikasi dosis ekuivalen terbaik dilakukan dengan mengamati kemajuan molting, meliputi masa laten retraksi, retraksi epipodit, histologi, dan kuantifikasi ekdisteroid dalam hemolimfa. Hasil klarifikasi mendukung perlakuan penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT sebagai dosis terbaik. Hasil-hasil yang diperoleh dalam kajian ini menyarankan untuk menggunakan dosis ekuivalen 0.016 mg/g BT sebagai dosis optimal dalam budidaya kepiting lunak. Keyword:kelangsungan hidup, molting, organ mandibular, Scylla olivacea, tumbuh
Judul: Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata forsskal) Pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya Pada Salinitas Optimum dengan Kadar Protein Pakan Berbeda Abstrak:Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan penting yang berpengaruh pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting bakau. Penelitian ini bertujuan mengkaji kinerja pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara pada berbagai salinitas dan menentukan salinitas optimum yang menghasilkan pertumbuhan kepiting bakau yang maksimal. Penelitian dilakasanakan di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar, Sulawesi Selatan mulai bulan Oktober 2003 sampai Februari 2005. Penelitian dilaksanakan dalam 4 tahapan percobaan yaitu (I) pengaruh salinitas pada osmoregulasi kepiting bakau, (2) pengaruh salinitas pada metabolisme kepiting bakau, (3) pengaruh salinitas pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting bakau, dan (4) pengaruh kadar protein pakan pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting bakau. Penelitian dirancang dengan pola rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan salinitas (5, 15, 25, dan ppt) dan 3 ulangan Salinitas terbalik yang diperoleh diaplikasikan pada percobaan penggunaan kadar protein pakan 30, 35, 40, dan 45%. Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji respon. Uji Tukey digunakan untuk membandingkan perbedaan antar perlakuan. Keyword:
Judul: Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa Abstrak:Pendekatan pembangunan yang banyak diterima para ahli adalah pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang berarti bahwa dalam pembangunan diperlukan keikutsertaan rakyat. Keikutsertaan tidak hanya pada tahap merencanakan pembangunan, akan tetapi juga ikut dalam melaksanakan, bahkan sampai pada menilai hasil-hasil pembangunan (Cohen dan Uphoe 1977; Dusseldorp, 1981; Slamet, 1993). Agar rakyat yang berhimpun dalam kelompok-kelompok dapat ikut serta, mereka harus memiliki sejumlah kualifikasi yang diperlukan untuk itu. Keyword:
Judul: Kerangka kerja keberlanjutan perikanan skala kecil berbasis sistem sosial ekologi di Teluk Jakarta Abstrak:Kemajuan dan perkembangan DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara berkaitan erat dengan dinamika sosial budaya, sosial ekonomi, dan politik. Implikasi dari perkembangan ini terwujud dalam pengembangan dan pertumbuhan ekonomi terlihat dari pertumbuhan fisik kota yang terus berjalan tanpa batas dan terus berlangsung dari waktu ke waktu menyebabkan ekspansi pembangunan Teluk Jakarta melibihi batasan daya tampungnya, dimana wilayah pesisirnya digunakan untuk berbagai kegiatan seperti pelayaran, pelabuhan, pariwisata, perikanan tangkap, pemukiman, industri dan perdagangan. Aktivitas-aktivitas tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terganggunya struktur dan fungsi lingkungan. Nelayan merupakan salah satu entitas sosial yang memanfaatkan jasa lingkungan tersebut sangat terpengaruh atas terjadinya perubahan dari struktur lingkungan akibat pencemaran, perubahan iklim maupun alih fungsi lahan (reklamasi). Nelayan secara tradisonal telah lama menempati wilayah pesisir Jakarta dan Teluk Jakarta merupakan wilayah utama tempat mereka mencari penghidupan untuk memenuhui kebutuhan hidupnya. Upaya pengelolaan pesisir harus melihat seluruh aspek secara konprehensif termasuk kemaslahatan nelayan yang mendiami wilayah tersebut sebagaimana hal ini telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk dapat memberikan gambaran terkait keberlanjutan perikanan skala kecil melalui analisa terhadap status ekologi dan sosial secara konprehensif untuk merumuskan pendekatan yang tepat dalam pengelolaan sistem perikanan. Tujuan umum penelitian ini adalah membangun Framework analisis atau kerangka kerja keberlanjutan sistem perikanan skala kecil berbasis sistem sosial-ekologi di Teluk Jakarta. Untuk mendukung tercapainya tujuan umum tersebut maka dirumuskan beberapa tujuan khusus penelitian sebagai berikut: 1) Mengkaji dan menganalisis daya dukung perikanan menggunakan pendekatan biokapasitas dan jejak ekologis perikanan; 2) Mengkaji dan menganalisis pola resiliensi nelayan di Teluk Jakarta; 3) Menganalisis tingkat ketergantungan mata pencaharian nelayan terhadap sumberdaya perikanan di Teluk Jakarta; 4) Menganalisis dan memformulasi kebijakan terkait keberlanjutan perikanan di Teluk Jakarta. Beberapa hasil yang sudah dicapai dalam penelitian ini adalah rasio biokapasitas dan jejak ekologis mencapai 1:9 dengan kata lain status ekologi Teluk Jakarta tidak berkelanjutan (overshoot). Untuk sistem sosial ekonomi, digambarkan dalam bentuk tingkat ketergantungan nelayan terhadap sumberdaya yang mencapai >60%, disisi yang lain status mata pencaharian nelayan berada fase rentan. Jadi kesimpulan dari penelitian ini keberlanjutan perikanan di Teluk Jakarta dilihat dari pendekatan sistem sosial ekologi tidak berkelanjutan, sehingga perlu diintervensi dengan kebijakan yang kuat agar menjaga eksistensi profesi nelayan ini kedepannya. Keyword:jejak ekologis, biokapasitas, resiliensi, keberlanjutan nafkah
Judul: Optimasi dan Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Skala Kecil di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah Abstrak:Perikanan skala kecil merupakan kegiatan perikanan dengan nelayan yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton. Berdasarkan statistik perikanan tangkap Jawa Tengah tahun 2012-2016 terlihat tren hasil tangkapan ikan di Kota Semarang sudah mulai menurun, yaitu sebanyak 583 ton pada tahun 2012 menjadi 352 ton pada tahun 2016. Sementara jumlah unit penangkapan terus meningkat, yaitu sebanyak 481 unit pada tahun 2012 meningkat menjadi 1.199 unit pada tahun 2016. Kondisi ini mengindikasikan terjadi kelebihan kapasitas penangkapan (overcapacity). Terjadinya overcapacity ini menyebabkan turunan permasalahan yang lain seperti overfishing, degradasi lingkungan, kemiskinan nelayan, serta kurangnya kontribusi perikanan untuk pekerjaan dan ketahanan pangan. Permasalahan ini menjadi kompleks dan sulit ditangani secara parsial, sehingga dibutuhkan strategi pengelolaan perikanan skala kecil yang dapat memadukan berbagai aspek agar optimal dan berkelanjutan. Tujuan umum penelitian ini yaitu merumuskan strategi keberlanjutan pengelolaan perikanan skala kecil di Kota Semarang. Adapun tujuan khususnya adalah: 1) Memetakan status sumberdaya dan status keberlanjutan pengelolaan pada kondisi eksisting perikanan skala kecil di Kota Semarang; 2) Menganalisis optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan skala kecil di Kota Semarang untuk memperoleh produksi optimal, effort optimal dan rente ekonomi optimal; 3) Menganalisis kebijakan strategis pengelolaan perikanan skala kecil di Kota Semarang berdasarkan elemen aktor, elemen kendala, elemen kebutuhan dan elemen program. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Multi Dimension Scaling (MDS), bioekonomi dan Interpretative Structural Modelling (ISM). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kondisi eksisting yang menjadi kendala dalam perikanan skala kecil di Kota Semarang yaitu telah terjadi overcapacity dan over-exploited. Pada status keberlanjutan pengelolaannya, untuk aspek lingkungan dan aspek SDI berada pada kategori kurang berkelanjutan (indeks 26-50). Sedangkan pada aspek sarana dan teknologi; aspek sosial ekonomi serta aspek kelembagaan dan tata kelola berada dalam kategori cukup berkelanjutan (indeks 51-75). Pemanfaatan sumberdaya perikanan skala kecil yang diambil dari spesies dominan memperlihatkan bahwa sumberdaya ikan telah mengalami overfishing dalam kurun waktu yang lama serta pendapatan rata-rata nelayan (dari rente ekonomi) berada di bawah UMK Semarang. Optimasi yang menjadi kebutuhan utama perikanan skala kecil di Kota Semarang yaitu konservasi SDI dan peningkatan pendapatan nelayan. Upaya-upaya optimasi yang dilakukan untuk mencapai konservasi SDI dan peningkatan pendapatan nelayan tersebut adalah: 1) pembatasan atau pengurangan effort akibat overcapacity dengan cara pengurangan dan pengalihan unit penangkapan yang tidak ramah lingkungan; pengalihan fishing ground; pengalihan kegiatan atau mata pencaharian nelayan; 2) closing area di jalur 1 (0-4 mil); 3) moratorium pengoperasian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan; 4) peningkatan kemampuan armada dan alat tangkap; 5) penciptaan mata pencaharian baru/alternatif; 6) penciptaan kegiatan yang dapat memberi nilai tambah; 7) penegakan hukum/regulasi perikanan; serta 8) pengaturan tata kelola perikanan yang lebih baik. Keberlanjutan pengelolaan perikanan skala kecil dengan mengintegrasikan disiplin akademik (transdisipliner) kedalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG), sehingga perikanan skala kecil dapat berkontribusi untuk keamanan dan ketahanan pangan; pekerjaan/mata pencaharian serta pengentasan kemiskinan. Strategi keberlanjutan yang dapat dirumuskan untuk pengelolaan perikanan skala kecil adalah: (1) meningkatkan upaya pelestarian/konservasi SDI; (2) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan serta pengentasan kemiskinan; (3) meningkatkan produktifitas perikanan tangkap melalui peningkatan kemampuan armada dan alat tangkap serta pengalihan fishing ground; (4) meningkatkan penegakan hukum/regulasi perikanan. Keyword:keberlanjutan, optimasi, pengelolaan, perikanan skala kecil, strategi
Judul: Diversity of begomovirus infecting tomato and its insect vector, bemisia tabacigennadius (Hemiptera: aleyrodidae), and screening of tomato genotypes for resistance to begomovirus strains. Abstrak:Begomovirus, is an important virus that has been reported to cause significant yield reduction in many tropical and subtropical region. Genetic diversity of tomato-infecting begomovirus is very high and the distribution of the virus depends on the activity of its insect vector, B. tabaci. Keyword:
Judul: Evaluasi Pengangkutan, Suplementasi Pakan, dan Desain Kontainer untuk Meningkatkan Kesejahteraan Domba selama Transportasi. Abstrak:Transportasi merupakan stressor terbesar pada ternak yang berpengaruh pada performa produksi, imunitas dan kesehatan ternak, kualitas daging, bahkan pada kondisi yang ekstrem dapat meyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengangkutan domba pada existing condition dan melakukan upaya peningkatan kesejahteraan hewan selama transportasi. Pemberian vitamin C dan molases sebagai antistres dan peningkatan floor space, serta menciptakan desain kontainer berbasis animal welfare merupakan sederetan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan domba selama transportasi. Hasil evaluasi pengangkutan domba pada existing condition memperlihatkan bahwa kualitas kesrawan pada transportasi domba pada saat ini masih kurang baik. Ada beberapa prinsip dan kriteria kesrawan pada transportasi domba yang belum terpenuhi,misalnya: desain kendaraan angkut yang tidak didukung dengan ventilasi udara yang baik, tidak adanya bedding dan ramp, penempatan ternak dengan posisi berbaring dengan tingkat kepadatan yang tinggi (0.14 m2ekor-1), serta tidak adanya akses pakan dan minum selama perjalanan. Akibatnya, terjadi penyusutan bobot badan yang cukup besar, yaitu 14.99%, tingkat kematian sebesar 0.35%, tingkat kelelahan 2.5%, dan tingkat cedera sebesar 0.35% dengan total kerugian setiap perjalanan rata-rata mencapai Rp12 000 000. Sementara itu, respons fisiologis stres juga memperlihatkan peningkatan suhu rektal, laju pernapasan, denyut jantung, hormon kortisol, kadar glukosa, kreatinin kinase, jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih, dan rasio netrofil/limfosit. Domba yang ditempatkan pada deck satu memperlihatkan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditempatkan pada deck lainnya. Pemberian vitamin C dan molases pada pengangkutan dengan tingkat kepadatan yang tinggi (0.16m2 ekor -1) dalam kondisi iklim yang terpapar moderate heat stres (kondisi eksisting) mampu mengurangi tingkat stres dan penyusutan bobot badan domba, serta mempercepat lama rekondisi bobot badan dan fisiologis domba yang mengalami transportasi selama 18 jam. Pemberian vitamin C dan molases sebelum transportasi lebih efektif sebagai antistres pada transportasi domba dan mampu menekan kerugian ekonomi akibat transportasi sebesar Rp3 843 600 per pengiriman. Hasil penelitian transportasi selama 8 jam pada domba yang ditempatkan dengan posisi berdiri dan berbaring dengan tingkat kepadatan 0.27 m2 ekor-1 menunjukkan penyusutan bobot badan dan respons fisiologis stres yang sama. Kedua posisi ini memberikan kenyamanan pada ternak domba selama transportasi karena didukung oleh floor space yang cukup. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengangkutan domba dapat dilakukan pada posisi berdiri atau berbaring asalkan didukung dengan floor space yang ideal. Sementara itu, penelitian transportasi domba dengan durasi 4, 8, dan 12 jam pada tingkat kepadatan 0.27 m2 ekor-1 memperlihatkan penyusutan bobot badan sebesar 2.56%, 3.47%, dan 5.49% dengan lama rekondisi bobot badan selama 2.75 hari, 3.75 hari, dan 4.50 hari. Penyusutan bobot badan ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pengangkutan selama 18 jam pada tingkat kepadatan 0.16 m2ekor-1, yaitu 15.64%. Selain itu, hasil penelitian ini juga tidak memperlihatkan adanya indikasi dehidrasi, kelaparan, kelelahan fisik, dan stres, meskipun transportasi dilakukan pada siang hari dengan lingkungan yang terpapar cekaman panas dengan intensitas sedang. Hal ini membuktikan bahwa penambahan floor space mampu mengurangi penyusutan bobot badan dan tidak mengganggu kesejahteraan domba selama transportasi hingga 12 jam perjalanan. Hal ini disebabkan karena pengangkutan domba didukung dengan floor space yang cukup sehingga domba merasa nyaman selama perjalanan, meskipun ditempatkan pada posisi berbaring dan tidak adanya akses pakan dan minum selama periode transportasi. Desain kontainer berbasis animal welfare merupakan upaya peningkatan kesrawan pada transportasi domba untuk jangka panjang. Rancangan kontainer disesuaikan dengan prinsip kesejahteraan hewan. Desain kontainer dengan kapasitas 30–40 ekor ini memastikan bahwa ternak domba dapat berdiri dan berbaring normal selama transportasi yang didukung dengan ventilasi udara yang baik sehingga terhindar dari stres. Selain itu, adanya fasilitas penampung kotoran pada masing-masing deck dapat menghindari adanya rembesan kotoran dari lantai di atasnya sehingga ternak yang berada di lantai bawah tidak akan terlihat kotor lagi dan memiliki performa yang lebih rendah dibandingkan dengan ternak yang ditempatkan pada deck 2 dan deck 3. Fasilitas ramp juga dapat mempercepat proses loading dan unloading ternak dan memungkinkan ternak dapat diberikan pakan dan minum selama perjalanan. Kontainer ini sangat berpotensi dikembangkan sebagai angkutan domba masa depan karena mampu menekan kerugian ekonomi pada transportasi domba sebesar Rp9 858 050 per trip. Keyword:domba, evaluasi, kesejahteraan hewan, transportasi
Judul: Kajian Produktivitas Dan Kesejahteraan Domba Garut Dengan Pakan Limbah Tauge Dan Manajemen Waktu Pemberian Berbeda Abstrak:Domba merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia, baik sebagai penghasil daging maupun sebagai hewan kurban. Namun produktivitasnya, terutama domba lokal masih relatif rendah. Rendahnya tingkat produktivitas domba lokal pada umumnya selain disebabkan oleh faktor genetik, juga dikarenakan faktor lingkungan, diantaranya adalah pakan dan iklim mikro. Beberapa faktor lingkungan yang menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas ternak domba di Indonesia adalah kualitas nutrisi pakan yang rendah dan iklim tropis yang panas yang menyebabkan ternak mengalami stres panas. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas domba lokal dapat dilakukan melalui perbaikan nutrisi pakan, diantaranya dengan memanfaatkan berbagai limbah industri pangan. Salah satu limbah industri pangan yang berpotensi menjadi bahan pakan yang baik adalah limbah tauge kacang hijau. Selain itu, peningkatan produktivitas, juga dapat dilakukan melalui perbaikan manajemen pemberian pakan dengan memanfaatkan fenomena iklim mikro di daerah tropis ( pada siang hari suhu tinggi dan pada malam hari suhu rendah) Limbah tauge kacang hijau adalah produk buangan pengolahan kacang hijau menjadi tauge, yang mempunyai kandungan serat yang cukup tinggi disertai dengan kandungan protein yang relatif tinggi, diharapkan dapat digunakan untuk mensubstitusi pakan hijauan, terutama rumput yang pada umumnya kandungan proteinnya rendah, sehingga produktivitas domba meningkat. Peningkatan produktivitas ini diharapkan lebih optimal dengan mengatur waktu pemberian pakan yang tepat, yakni pemberian pakan pada sore hari, sehingga metabolisme pakan terjadi pada malam hari dengan suhu lingkungan yang nyaman. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan limbah tauge kacang hijau sebagai pakan sumber serat dan perubahan manajemen pemberian pakan yang disesuaikan dengan fenomena iklim mikro di daerah tropis, yakni dari pemberian pakan pada pagi hari ke sore hari untuk meningkatkan produktivitas ternak domba tanpa mengabaikan aspek kesejahteraan ternak. Penelitian bagian pertama adalah mendeskripsikan limbah tauge secara fisik dan mengidentifikasikan kandungan nutrien, antinutrisi dan kandungan zat lainnya yang diduga berpengaruh terhadap produktifitas ternak dengan pengambilan sampel limbah tauge dari beberapa pengrajin tauge secara acak di pasar, kemudian dilakukan analisis ragam terhadap data komposisi fisik dan kualitas nutriennya. Penelitian selanjutnya (bagian 2 sd 4) adalah mengevaluasi produktivitas dan kesejahteraan ternak domba Garut dengan perlakuan jenis ransum, R1 (60% konsentrat 1 + 40% rumput lapang) dan R2 (60% konsentrat 2 + 40% limbah tauge) serta waktu pemberian pakan pagi hari (pukul 6 00) dan sore hari (pukul 17 00). Peubah-peubah yang diamati adalah tingkah laku, respon fisiologis, profil hematologis, status metabolit darah, performa pertumbuhan dan pasca panen. Data yang diperoleh secara keseluruhan di analisis ragam, kecuali performa pasca panen dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Limbah Tauge (segar) adalah campuran dari komponen kulit tauge sekitar 70.90% (67.89-75.32%) dan tauge serta potongan-potongannya sebesar 29.10% (24.68-32.11%). Dalam bentuk kering udara, komposisinya menjadi 87.60% (84.37-89.97%) kulit tauge dan 12.40% (10.03-15.63%) tauge serta potong-potongannya. Kandungan nutrien protein kasar, serat kasar dan BETN (13.76%, 30.14%, 52.87%). Kandungan NDF dan ADF, zat antinutrisi tannin, enzim protease serta kandungan vitamin E pada limbah tauge, sangat mendukung potensinya sebagai pakan yang baik untuk peningkatan produktivitas ternak. Indikator produktivitas dan kesejahteraan ternak antara lain adalah performa pertumbuhan dan pasca panen, tingkah laku serta respon fisiologis. Berdasarkan tingkah laku yang diamati (tingkah laku makan, istirahat, agonistik dan tingkah laku lainnya), pemberian ransum limbah tauge dengan waktu pemberian pakan yang berbeda tidak menyebabkan abnormalitas pada domba Garut. Sementara itu, respon fisiologis (laju respirasi, denyut nadi dan suhu tubuh), profil hematologis dan status metabolit darah (kadar glukosa, Urea-N dan kolesterol) termasuk dalam kisaran normal. Pemberian 40% limbah tauge dalam ransum domba Garut dengan waktu pemberian pakan yang berbeda dapat meningkatkan performa pertumbuhan dan pasca panen. Pertambahan bobot badan harian (pbbh) domba dengan ransum limbah tauge (140.94g/ek/h) lebih tinggi dari pada yang diberi ransum rumput (76.61g/ek/hr). Konversi pakan domba yang diberi ransum limbah tauge dengan waktu pemberian sore hari (6.07) lebih baik dari pada domba yang diberi ransum rumput dengan pemberian pagi hari (7.88) maupun sore hari (8.27) serta ransum limbah tauge pada pagi hari (7.84). Secara ekonomi, pemberian ransum limbah tauge dan waktu pemberian pakan sore hari pada domba meningkatkan pendapatan sesudah biaya pakan serta meningkatkan efisiensi waktu pencapaian pertambahan bobot hidup hampir dua kali lipat dibandingkan domba yang diberi ransum rumput dengan waktu pemberian pada sore hari. Performa pasca panen menunjukkan bahwa pemberian ransum limbah tauge memberikan pengaruh yang lebih baik pada kualitas karkas dan daging, kecuali kandungan lemak dibandingkan ransum rumput. Namun waktu pemberian pakan sore hari cenderung menurunkan kadar lemak karkas maupun daging..Kandungan asam lemak, terutama asak lemak tak jenuh (PUFA) lebih tinggi pada domba yang diberi ransum rumput, sebaliknya asam lemak jenuh SFA lebih tinggi pada domba yang diberi limbah tauge. .Kadar kolesterol daging domba yang diberi ransum limbah tauge pada sore hari cenderung lebih rendah pada daging domba yang diberi ransum limbah tauge pagi hari dan yang diberi ransum rumput pada pagi dan sore hari. Dari rangkaian penelitian pendahuluan dan penelitian utama diperoleh bahwa limbah tauge secara fisik dan kualitas kandungan nutrien berpotensi sebagai pakan ternak yang baik, terutama untuk ternak ruminansia. Pemanfaatan limbah tauge sebesar 40% dalam ransum dengan waktu pemberian pakan sore hari, mampu meningkatkan produktivitas domba garut tanpa mengurangi tingkat kesejahteraannya. Keyword:Domba Garut, limbah tauge, produktivitas, kesejahteraan ternak
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Increasing the Production of Catfish Seed Clarias gariepinus by Inhibiting Cannibalism through the Stocking Density, Photoperiod and Oestradiol-17β Abstrak:Pembesaran ikan lele secara intensif menuntut ketersediaan benih dalam kuantitas, kualitas dan kontinuitas yang terjamin. Namun demikian, usaha pembenihan ikan lele masih banyak menggunakan cara konvensional dengan kepadatan dan kelangsungan hidup yang masih rendah sehingga produksi benih belum maksimal. Pada awal pemeliharaan larva lele sampai fingerling, kanibalisme yang terjadi masih tinggi, sehingga perlu dicari solusi untuk meningkatkan produktivitas melalui peningkatan padat tebar dan menekan tingkat kanibalisme. Kanibalisme dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu padat tebar dan fotoperiode serta faktor internal yaitu hormon. Padat tebar dapat memengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan lele. Peningkatan padat tebar pada larva lele sampai 12.000 ekor m-2 dapat menekan sifat agresif benih lele, namun padat tebar yang lebih tinggi (4.000 ekor m-2 ) pada juvenil lele dapat menyebabkan kanibalismeyang tinggi. Padat tebar mempunyai korelasi negatif dengan pertumbuhan. Selanjutnya cahaya adalah salah satu faktor fisik penting yang memengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih lele. Cahaya mendorong tingkat agresi yang lebih tinggi dan menekan pertumbuhan benih lele. Agresi teritorial berkurang pada kondisi gelap, namun demikian kondisi terang tidak berpengaruh signifikan pada mortalitas larva. Kondisi gelap secara signifikan memacu pertumbuhan dan menurunkan kanibalisme benih lele. Hormon estradiol-17β (E2) merupakan hormon utama pada betina yangdapat menimbulkan feminisasi pada hewan jantan. Fungsi E2 dapat juga digunakan sebagai terapi depresi, melalui aktivasi neuroamine transmitters. Sementara itu, hormon androgen (testosteron) telah dibuktikan bertanggung jawab untuk beberapa fungsi antara lain tingkah laku agresi. Sifat benih ikan lele yang agresif diduga karena hormon androgen bawaan dari induknya. Pemberian E2 secara eksogen dapat memengaruhi keseimbangan hormon dalam tubuh, yaitu menekan hormon androgen. Aplikasi kombinasi faktor padat tebar, fotoperiode dan hormon E2 diharapkan dapat meningkatkan produksi benih lele. Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan penelitian meliputi: (1) Evaluasi kanibalisme dan kelangsungan hidup larva lele Clarias gariepinus: pengaruh padat tebar tinggi dan pemberian E2 dosis berbeda dengan cara perendaman, (2) Evaluasi kanibalisme, kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil lele Clarias gariepinus: pengaruh padat tebar tinggi dan dosis E2 berbeda melalui pakan, (3) Evaluasi tingkah laku agresif, kanibalisme, kelangsungan hidup dan kinerja pertumbuhan juvenil lele Clarias gariepinus: pengaruh fotoperiode dan dosis E2. Dua faktor yang diujikan pada penelitian pertama adalah (1) padat tebar: 9.000 dan 12.000 ekor m-2 serta (2) dosis E2 (hasil penelitian pendahuluan): 0, 2,5 dan 5 mg L-1 yang diberikan melalui perendaman selama 6 jam di awal pemeliharaan. Larva lele berumur empat hari setelah menetas dipelihara selama 14 hari dengan suhu 28-30 oC. Pakan diberikan secara ad libitum. Potensi kanibalisme dilihat dari banyaknya jumper di akhir penelitian. Hasil penelitian menunjukkan v potensi kanibalisme menurun sejalan dengan peningkatan kadar estradiol dalam tubuh lele. Koefisien keragaman panjang meningkat pada perlakuan kontrol. Laju pertumbuhan spesifik dan panjang relatif pada padat tebar tinggi yang diberi E2 sama dengan padat tebar lebih rendah. Simpulan dari penelitian ini adalah pemeliharaan larva lele dengan padat tebar 12.000 ekor m-2 yang direndam E2 dosis 2,5 mg L-1 selama 6 jam di awal pemeliharaan dapat menurunkan kanibalisme dan memberikan kelangsungan hidup terbaik. Penelitian kedua mengombinasikan dua faktor,yaitu padat tebar 2.000; 3.000; dan 4.000 ekor m-2 (dikodekan dengan 2D; 3D; dan 4D) serta perlakuan pemberian pakan berhormon E2 dengan dosis 0, 50 dan 100 mg kg-1 pakan (modifikasi Hossain dan Afruj (2002); dikodekan dengan E0; E50; dan E100). Penelitian terdiri dari sembilan perlakuan dengan masing-masing empat ulangan. Juvenil lele dipelihara selama 21 hari dengan frekuensi pemberian pakan dua kali dan feeding rate 5%. Pada awal dan setiap tujuh hari bobot dan panjang ikan diukur dengan mengambil 30 sampel per akuarium. Kadar E2 dan glukosa diukur pada hari ke-21. Pada akhir penelitian ikan dipanen dan ukuran dikelompokkan berdasarkan panjang baku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan 3D-E50 dapat menekan sifat agresif teritorial ikan lele dengan potensi kanibalisme terendah. Simpulan dari penelitian ini adalah perlakuan dengan kombinasi 3D-E50 menunjukkan tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, bobot mutlak, panjang relatif dan panjang mutlak yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya, namun perlakuan 4D-E50 memberikan output benih harapan panen yang lebih tinggi. Pada penelitian ketiga dilakukan kombinasi dua faktor, yaitu fotoperiode 12L:12D; 24L:0D dan 0L:24D (masing-masing dikodekan dengan K,L dan D) serta perlakuan pemberian pakan berhormon E2 dengan dosis 0 dan 50 mg kg-1 pakan (dikodekan dengan 0; dan 50). Juvenil lele berumur 25 hari dipelihara dengan kepadatan 4.000 ekor m-2 selama 28 hari, pemberian pakan dan pengumpulan sampel uji sama dengan penelitian II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup tertinggi didapatkan pada perlakuan D50 (91%) dan terendah diperlihatkan pada K0 (81,83%). Benih lele yang dipelihara pada kondisi 0L:24D menunjukkan tingkah laku berenang yang lebih aktif dibanding yang dipelihara pada kondisi 24L:0D. Sebaliknya tingkah laku agonistik dan istirahat terlihat lebih tinggi pada lele yang dipelihara pada kondisi 24L:0D dan kondisi 12L:12D. Perlakuan L50 dan D50 memperlihatkan laju pertumbuhan spesifik, panjang relatif, bobot dan panjang akhir, efisiensi pakan dan kandungan E2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Simpulan dari penelitian ini adalah pemeliharaan juvenil lele kombinasi kondisi gelap terus-menerus dengan pemberian hormon E2 sebanyak 50 mg kg pakan-1 dapat menekan kanibalisme serta memberikan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan terbaik. Simpulan umum dari ketiga penelitian di atas adalah penggunaan padat tebar tinggi pada larva dan juvenil lele dengan penambahan hormon E2 yang dipelihara dalam kondisi gelap dapat meningkatkan kelangsungan hidup dengan menekan kanibalisme dan memperbaiki kinerja pertumbuhan. Keyword:
Judul: Study of Hormonal Control Against Cannibalism at Asian Redtail Catfish (Hemibagrus nemurus) Abstrak:Aktivitas budidaya ikan baung (Hemibagrus nemurus) mengalami kendala dalam ketersediaan benih, rendahnya nilai produksi akibat kematian yang masih tinggi, di antaranya karena perilaku kanibalisme, dan hingga saat ini belum ada kajian kanibalisme pada ikan baung. Perilaku kanibalisme ikan sering dikaitkan dengan perilaku agresivitas, yang erat kaitannya dengan kerja hormon. Dengan demikian, salah satu upaya untuk meningkatkan sintasan benih ikan baung adalah dengan menurunkan kejadian kanibalismenya melalui pengendalian konsentrasi steroid dalam tubuh secara pendekatan hormon steroid, fitoestrogen, dan triptofan. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengevaluasi padat tebar dan perilaku pemangsaan pada benih ikan baung serta peran hormon testosteron, estradiol, tepung kunyit, dan triptofan dalam mengendalikan kanibalisme ikan baung melalui pendekatan pengendalian plasma steroid tubuh. Penelitian ini terdiri atas 4 tahapan: (1) Mengevaluasi tingkat kanibalisme benih ikan baung pada padat tebar berbeda serta perilaku pemangsaan, (2) Mengevaluasi tingkat kanibalisme benih ikan baung yang diberi pakan yang diperkaya dengan 17α-metiltestosteron, (3) Mengevaluasi tingkat kanibalisme benih ikan baung yang diberi hormon estradiol-17β melalui perendaman, (4) Mengevaluasi tingkat kanibalisme benih ikan baung yang diberi hormon estradiol-17β, tepung kunyit, dan triptofan melalui pakan. Kebaruan penelitian terdiri atas perilaku kanibalisme, peran hormon testosteron, estradiol- 17β, dan fitoestrogen dalam kejadian kanibalisme ikan baung. Penelitian pertama bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh padat tebar pada kejadian kanibalisme dan cara pemangsaan pada benih ikan baung. Percobaan bersifat eksperimental, menggunakan rancangan acak lengkap, dengan dua tahap, yaitu pemeliharaan benih ikan baung pada padat tebar rendah dan padat tebar tinggi. Benih berukuran 3,6±0,1 cm, digunakan pada padat tebar rendah (1, 2, 3, dan 4 ekor L-1) dan 3,5±0,19 cm, digunakan pada padat tebar tinggi (3, 4, 5, dan 6 ekor L-1), benih diberi pakan komersial dengan kandungan protein 40% sebanyak 4 kali sehari atau per 6 jam secara at satiation, dipelihara selama 30 hari. Pengamatan dilakukan pada kejadian kanibalisme, kinerja pertumbuhan, dan cara pemangsaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan padat tebar meningkatkan kejadian kanibal dan menurunkan sintasan (p<0,05). Akan tetapi, tidak ada perbedaan pada kinerja pertumbuhan antar-perlakuan (p>0,05). Selanjutnya, berdasarkan pengamatan pada benih korban, ada 3 cara pemangsaan, yaitu memangsa bagian ekor, bagian perut, dan bagian kepala. Penelitian kedua bertujuan untuk mengevaluasi peran testosteron, yaitu sebagai salah satu hormon yang bertanggung jawab atas kejadian kanibalisme pada ikan. Percobaan bersifat eksperimental, menggunakan rancangan acak lengkap dan 4 perlakuan, dengan pemberian 17α-metiltestosteron (mg kg-1) dalam pakan dengan dosis 0 (A), 7,5 (B), 15 (C), dan 30 (D), pada padat tebar 2 ekor L-1 dan diulang sebanyak 4 kali. Benih berukuran 4,09±0,19 cm dipelihara dalam media pemeliharaan dan diberi pakan komersial dengan kandungan protein 40% sebanyak 4 kali sehari secara at satiation, dan pemeliharaan dilakukan selama 30 iii hari. Parameter yang diamati meliputi tipe kanibal, indeks kanibal, sintasan, kematian normal, kinerja produksi benih, konsentrasi hormon (estradiol, testosteron, dan kortisol), serta kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pemberian testosteron meningkatkan kejadian kanibal dan menurunkan sintasan (p<0,05). Akan tetapi, tidak ada perbedaan kinerja pertumbuhan serta konsentrasi testosteron antar-perlakuan (p>0,05), namun terdapat perbedaan konsentrasi estradiol pada plasma (p<0,05). Testosteron memiliki peran dalam kejadian kanibalisme melalui mekanisme peningkatan konsentrasi estradiol plasma. Pada tahap ketiga ini dikaji peran estradiol yang berpotensi untuk mengontrol kejadian kanibalisme ikan. Kajian fokus pada perendaman benih dalam larutan estradiol-17β. Percobaan bersifat eksperimental, menggunakan rancangan faktorial dengan 9 perlakuan, dengan kombinasi perlakuan dosis 1 dan 2 ppm, lama waktu perendaman 2 dan 4 jam, serta interval perendaman 3 dan 6 hari sekali, serta satu kontrol yang diulang 4 kali. Benih berukuran 0,67±0,73 cm dengan padat tebar 10 ekor L-1 dipelihara dalam media pemeliharaan dengan pemberian pakan cacing sutra secara ad libitum, dan pemeliharaan selama 30 hari. Parameter yang diamati meliputi tipe kanibal, indeks kanibal, sintasan, kematian normal, kinerja produksi benih, konsentrasi hormon (estradiol, testosteron, dan kortisol), serta kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan perendaman estradiol- 17β memberikan pengaruh terhadap kejadian kanibal, semakin tinggi pemberian estradiol-17β maka meningkatkan kanibalisme pada benih ikan baung (p<0,05). Namun pemberian estradiol-17β memberikan kemampuan benih ikan baung hidup pada kepadatan yang tinggi, ditunjukkan dengan meningkatnya sintasan dan menurunnya kematian normal (p<0,05). Penelitian tahap keempat ini bertujuan untuk mengevaluasi peran estradiol- 17β, tepung kunyit (fitoestrogen), dan triptofan melalui pakan dalam mengendalikan kanibalisme pada benih baung. Percobaan bersifat eksperimental, menggunakan rancangan acak lengkap dengan 11 perlakuan, yaitu pengayaan pakan komersial (protein 40%): tanpa pengayaan (A), estradiol-17β 15 mg kg-1 pakan (B), estradiol-17β 30 mg kg-1 pakan (C), estradiol-17β 45 mg kg-1 pakan (D), tepung kunyit 2,5 g kg-1 pakan (E), tepung kunyit 5 g kg-1 pakan (F), kurkumin 0,34 g kg-1 pakan (G), triptofan 0,25% pakan (H), triptofan 0,5% pakan (I), triptofan 0,75% pakan (J), dan triptofan 1% pakan (K), diulang sebanyak 3 kali. Benih berukuran 4,98±0,14 cm dengan padat tebar 3 ekor L-1 dipelihara dalam media pemeliharaan dan pemberian pakan dilakukan 4 kali sehari secara at satiation. Pemeliharaan dilakukan selama 30 hari. Parameter yang diamati meliputi tipe kanibal, indeks kanibal, sintasan, kematian normal, kinerja produksi benih, konsentrasi hormon (estradiol, testosteron, dan kortisol) serta kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian estradiol-17β tidak memberikan dampak pada penurunan kejadian kanibal (p>0,05), namun memberikan penurunan sintasan dan kinerja produksi (p<0,05). Pemberian tepung kunyit, kurkumin, dan triptofan pada dosis optimal menurunkan kejadian kanibalisme dan meningkatkan sintasan serta kinerja produksi (p>0,05). Suplementasi tepung kunyit, kurkumin, dan triptofan pada semua dosis menurunkan estradiol plasma hingga di bawah 1 ng mL-1, yang merupakan konsentrasi plasma optimal yang menurunkan kejadian kanibal baung. Keyword:phytoestrogen, testosterone, tryptophan, aggressive, growth
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: MODIFICATION OF FUNCTIONAL FATTY ACID PROFILE AND VITAMIN D IN HERMETIA ILLUCENS Abstrak:Kebutuhan Meat Bone Meal (MBM) di Indonesia untuk industri peternakan mencapai 1 juta ton atau sekitar 7-10 trilun rupiah per tahun. Kondisi impor ini membuat kita tergantung dengan negara lain. Salah satu potensi yang dapat dioptimalkan sebagai sumber protein yaitu tepung larva Hermetia illucens (LHi). Kelemahan dari tepung LHi yaitu memiliki kandungan lemak yang tinggi sehingga mudah terjadi masalah ketengikan saat penyimpanan dan mejadi faktor pembatas saat diberikan dalam ransum. Solusi dari hal tersebut adalah mengekstrak lemak LHi yang menghasilkan konsentrat protein LHi dan minyak LHi. Saat ini minyak LHi belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga perlu adanya diversifikasi produk yaitu dengan modifikasi profil asam lemak fungsional LHi yang memiliki kandungan asam lemak laurat dan omega-3 serta vitamin D untuk meningkatkan performa ternak. Untuk mencapai hal tersebut terdapat kendala yang harus diselesaikan yaitu terdapat variasi data studi penelitian sebelumnya dari kandungan nutrien dan asam lemak pada LHi serta belum adanya standar kebutuhan substrat untuk menghasilkan nutrien atau asam lemak tertentu. Penelitian tahap pertama mengevaluasi hubungan pebedaan nutrien substrat terhadap ekspresi nutrien LHi dengan meta-analisis. Basis data dibangun dari penelitian yang telah melaporkan berbagai substrat dengan tingkat nutrisi di Hermetia illucens. Kandungan nutrisi yang diamati dalam penelitian ini adalah bahan kering (BK), abu, protein kasar (PK), dan lemak kasar (LK). Sebanyak 13 artikel diintegrasikan ke dalam database. Database yang dikompilasi dianalisis secara statistik menggunakan metodologi mixed model. Hasil penelitian ini menunjukkan BK pada LHi tidak dipengaruhi oleh BK substrat. Kadar abu LHi dipengaruhi oleh kadar abu substrat (P<0,05). Protein substrat memiliki pengaruh positif terhdapa protein LHi dan berpengaruh negatif terhdap lemak LHi (P<0,05). Lemak subtrat tidak mempengaruhi lemak LHi. Penelitian tahap kedua mengevaluasi perbedaan profil asam lemak substrat terhadap profil asam lemak pada LHi dengan meta-analisis. Basis data dibangun dari penelitian yang telah melaporkan berbagai komposisi asam lemak substrat dengan asam lemak LHi. Sebanyak 11 artikel yang terseleksi diintegrasikan ke dalam database. Database yang dikompilasi dianalisis secara statistik menggunakan metodologi mixed model. Studi mempertimbangkan efek acak, dan dosis substrat asam lemak diperlakukan sebagai efek tetap. Signifikansi efek dinyatakan ketika nilai-p <0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar asam lemak C16:0, C18:0, C16:1, C18:1, C18:2, C18:3 pada substrat meningkatkan kadar asam lemak C16:0, C18:0, C16:1, C18:1, C18:2, C18:3, dan omega-3 pada LHi (p <0,05). Asam lemak C12:0, C14:0, C16:0, C18:1, dan C18:2 dapat disintesis sendiri oleh LHi. Penelitian tahap ketiga mengevaluasi pengaruh modifikasi asam lemak fungsional dan vitamin D Hermetia illucens secara in vivo. Pemeliharaan larva LHi dengan substrat basal+minyak ayam 6% (P0), substrat basal+minyak sawit 6% (P1), dan substrat basal+minyak flaxseed 6% (P2) substrat basal+minyak flaxseed 6%+Vit D 10.000 IU kg-1 (P3). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Peubah yang diukur adalah performa pertumbuhan larva LHi, profil asam lemak, transfer efisiensi asam lemak C12:0 dan C18:3, dan transfer efisiensi vitamin D. Signifikansi suatu pengaruh dinyatakan jika p-value <0,05. Hasil Penelitian meunjukkan performa in vivo LHi tidak dipengaruhi oleh modifikasi asam lemak dan dosis vitamin D yang berbeda(P>0,05). Persentase profil asam lemak LHi dipengaruhi oleh modifikasi sumber asam lemak(P<0,05), namun tidak dipengruhi vitamin D yang berbeda (P>0,05). Nilai transfer efsiensi C12:0 sebesar 7,45-9,07 tidak menunjukkan perbedaan dengan modifikasi sumber asam lemak dan pemberian vitamin D (P>0,05). Nilai transfer efsiensi C18:3 sebesar 24,61-37,87, menujukkan perbedaan (P<0,05). Nilai tranfer efisensi vitamin D pada LHi sebesar 6,73%. Penelitian tahap keempat mengevaluasi perbedaan asam lemak dan yield minyak LHi dari jenis sumber subtrat yang berbeda. Penelitian ini menggunakan dua sumber (1) LHi dari (MS) dengan substrat sampah rumah tangga dan (2) MF adalah LHi dari penalitian tahap III. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 4 ulangan. Peubah yang diukur adalah lemak kasar (LK) awal, LK akhir, sisa LK dan yield minyak dan asam lemak. Signifikansi suatu pengaruh dinyatakan jika p-value < 0,05. Hasil Penelitian menunjukkan perbedaan jenis sumber LHi menunjukkan pengaruh pada LK awal, dan yield minyak (P<0,05), namun tidak menunjukkan pengaruh (P>0,1) LK akhir dan sisa LK. Pebedaan jenis susbtrat mempengaruhi jumlah asam lemak C12:0, C14:0, C18:0, C18:1, C18:3, SFA, MUFA, dan PUFA (P<0,05). Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa LHi dapat dimodifikasi untuk menghasilkan minyak dengan profil asam lemak fungsional dan kandungan vitamin D melalui modifikasi substratnya. Proses pembuatan lemak fungsional LHi perlu memperhatikan transfer efisiensi asam lemak dan vitamin D guna mencapai hasil yang optimal. Keyword:Fatty acids, Hermetia illucens, meta-analysis, vitamin D
Judul: Produktivitas dan Kualitas Lemak Daging Sapi Bali yang Diberi Ransum Mengandung Sabun Kalsium Minyak Nabati dan Tepung Buah Semu Jambu Mete Abstrak:Penggunaan minyak nabati pada ternak ruminansia berkembang pesat karena tidak hanya mengandung densitas energi tetapi juga mengandung asam lemak tak jenuh majemuk (PUFA) yang tinggi. Kadar PUFA yang tinggi dalam minyak nabati dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas lemak daging dan susu ternak ruminansia. Meskipun demikian, penggunaan PUFA perlu dikontrol karena menimbulkan dampak negatif dan mengalami proses biohidrogenasi menjadi asam lemak jenuh dalam pencernaan rumen. Sejumlah penelitian menunjukkan, proteksi PUFA dengan teknologi sabun kalsium (SCa) dapat menekan dampak negatif dan biohidrogenasi PUFA di dalam rumen. Penggunaan senyawa tanin juga dapat digunakan menekan proses biohidrogenasi PUFA dalam rumen. Buah semu jambu mete (BSJM) merupakan bahan pakan yang mengandung tanin dan mempunyai biomassa dan kandungan nutrien yang baik sebagai bahan pakan sumber energi dalam ransum ternak ruminansia. Rangkaian penelitian ini dilakukan bertujuan : (1) menyeleksi jenis minyak nabati dengan bentuk suplementasi tidak terproteksi dan terproteksi sabun kalsium, (2) mengoptimalisasi penggunaan level minyak nabati terproteksi sabun kalsium, (3) mengevaluasi efek kombinasi penggunaan SCa minyak nabati dan tepung BSJM, (4) mengevaluasi penggunaan konsentrat yang mengandung SCa minyak nabati dan TBSJM terhadap produktivitas dan kualitas lemak daging sapi Bali. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap penelitian in vitro dan satu tahap penelitian in vivo. Sumber inokulum mikroba penelitian in vitro adalah cairan rumen sapi Bali. Peubah yang diukur pada seluruh tahapan penelitian in vitro terdiri atas kadar pH, N-NH3, produksi total volatile fatty acid (total VFA), produksi total gas, populasi total bakteri dan protozoa, kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO). Komposisi ransum penelitian adalah campuran 40% rumput lapang (RL) dan 60% konsentrat (K) dengan kandungan nutrien disesuaikan dengan kebutuhan sapi Bali bobot badan 250 kg dan pertambahan bobot badan 0.75 kg hari-1. Penelitian in vitro pertama dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial 3 x 2 yaitu 3 jenis minyak nabati (minyak kedelai, minyak sawit dan minyak bunga matahari) dan 2 bentuk suplementasi (tidak terproteksi dan terproteksi SCa). Ransum perlakuan terdiri atas, R1 (40% RL + 60% K, mengandung 5% minyak kedelai), R2 (40% RL + 60% K, mengandung 5% minyak sawit), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% minyak bunga matahari), R4 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai), R5 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-sawit) dan R6 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-matahari). Kombinasi ransum perlakuan dilaksanakan dalam 3 ulangan (berdasarkan periode pengambilan cairan rumen). Hasil penelitian menunjukkan, interaksi faktor perlakuan tidak mempengaruhi seluruh peubah penelitian. Suplementasi SCa-kedelai dalam konsentrat secara mandiri menghasilkan produksi total VFA terbaik sehingga dipilih sebagai bahan perlakuan dalam penelitian in vitro kedua. Penelitian in vitro kedua menggunakan rancangan acak kelompok 4 x 3, untuk menguji empat jenis ransum perlakuan (konsentrat yang mengandung SCakedelai pada level yang berbeda yang dilaksanakan dalam tiga ulangan (periode pengambilan cairan rumen sapi Bali). Jenis ransum perlakuan terdiri atas : R1 (40% RL + 60% K), R2 (40% RL + 60% K, mengandung 2.5% SCa-kedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai), dan R4 (40% RL + 60% K, mengandung 7.5% SCa-kedelai). Hasil penelitian menunjukkan, penggunaan SCa-kedelai pada level yang berbeda tidak mempengaruhi pH, konsentrasi N-NH3, populasi mikroba, nilai KcBK dan KcBO tetapi sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi produksi total VFA. Produksi total VFA tertinggi diperoleh pada perlakuan R4. Produksi total VFA terendah pada ransum perlakuan R1 (kontrol). Meskipun suplementasi 7.5% SCakedelai menghasilkan produksi total VFA terbaik namun level tersebut mulai menekan populasi total bakteri. Oleh karena itu, konsentrat mengandung 5% SCakedelai dipilih sebagai level SCa-kedelai untuk dikombinasikan dengan TBSJM (level 10% dan 20%) dalam penelitian in vitro ketiga. Penelitian in vitro ketiga dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok 4 x 3 untuk mengevaluasi 4 jenis jenis ransum perlakuan yaitu : R1 (40% RL + 60% K), R2 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai, R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai dan 10% TBSJM) dan R4 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai dan 20% TBSJM). Seluruh perlakuan dilaksanakan dalam 3 ulangan (berdasarkan periode pengambilan cairan rumen sapi Bali). Hasil penelitian menunjukkan, penggunaan konsentrat mengandung 5% SCa-kedelai dan 20% TBSJM (R4) menghasil konsentrasi N-NH3 dan produksi total VFA yang paling rendah. Berdasarkan hasil dari seluruh peubah penelitian, ransum perlakuan R2 dan R3 dipilih sebagai ransum perlakuan untuk diaplikasikan pada penelitian in vivo. Penelitian in vivo dilakukan untuk mengaplikasikan dan mengevaluasi efek penambahan 5% SCa-kedelai dan kombinasi 5% SCa-kedelai +10% TBSJM dalam kosentrat sapi Bali jantan. Sapi Bali jantan yang digunakan berumur 1.5 - 2 tahun sebanyak 12 ekor, dengan rataan bobot badan 226.00  13.17 kg. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok 3 x 4 untuk menguji tiga jenis ransum perlakuan yang menggunakan 4 ekor sapi Bali sebagai ulangan. Ransum perlakuan terdiri atas : R1 (40% RL+ 60% K), R2 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCakedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai dan 10% TBSJM). Peubah penelitian yang diukur terdiri atas performa produksi, karakteristik fermentasi dan populasi mikroba rumen, kecernaan nutrien, komposisi tubuh, profil metabolit plasma darah dan profil lemak daging sapi Bali. Hasil penelitian menunjukkan, ransum perlakuan tidak mempengaruhi konsumsi ransum, performa produksi, karakteristik fermentasi rumen, kecernaan serat kasar, kecernaan ADF dan kecernaan NDF, komposisi tubuh, profil metabolit plasma darah dan profil lemak daging sapi Bali. Suplementasi 5% SCa-kedelai dan 10% TBSJM dalam konsentrat menghasilkan kecernaan bahan organik dan kecernaan lemak tertinggi namun menghasilkan kecernaan protein kasar lebih rendah dibanding kontrol. Disimpulkan bahwa suplementasi SCa minyak nabati tidak berdampak negatif terhadap proses fermentasi tetapi menghasilkan karakteristik fermentasi yang kondusif bagi kelangsungan proses fermentasi secara in vitro dan in vivo. Suplementasi 5% SCa-kedelai dan 10% TBSJM dalam konsentrat dapat digunakan sebagai sumber PUFA dan energi pada ransum penggemukan sapi Bali. Keyword:asam lemak tak jenuh rantai majemuk, biohidrogenasi, buah semu jambu mete, sabun kalsium, sapi Bali jantan
Judul: Perilaku Kepemimpinan Masyarakat Pedesaan Dalam Era Pembangunan Kasus Dua Desa di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Abstrak:Perilaku kemimpinan masyarakat dalam penelitian ini meliputi perilaku pemimpin dalam kerangka hubungan pemimpin-supra struktur, dan hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya. Dalam kerangka hubungan pemimpin-supra struktur, perilaku kepemimpinan adalah cara-cara pemimpin dalam menanggapi pengaruh-pengaruh yang datang dari supra struktur. Sedang dalam kerangka hubungan pemimpin-pengikut, perilaku kepemimpinan antara lain meliputi cara-cara dan tindakan pemimpin dalam mempengaruhi pengiktnya. Keyword:
Judul: The typology of desa hutan rakyat (forest private villages): a case in Ciamis District Abstrak:Management of private forest possesses specific characteristics that differ from state owned forest management. Therefore, the characteristics of desa hutan rakyat using typology approach were studied. The objective of this study was to determine private forest spatial distribution type, characteristics and types of desa hutan rakyat. This study was conducted in Ciamis District covering 363 villages. The analysis was performed on the basis of statistical data of private forest area and field data measurent and observation. The typology was developed based upon biophysical and socio-economic factors by the method of clustering analysis. There are six biophysical factors i.e. non rice field-land use, road density, distance to state forest area, distance to main road, land capacity, land configuration, and three of socio-economic factors i.e. population the spatial distribution pattern of private forest is clumped. The characteristic of private forest stand composition consist of three patterns, namely agroforestry, monoculture and polyculture. The result also shows that eight of all factors in typology determination have correlation in amount of 0.2 to 0.5 with the existence of private forest. The only factor that has no correlation with private forest area is the distance to main road. The clustering analysis produced two distinct desa hutan rakyat types, namely high potential area and low potential area types. The best variables for clustering of those desa hutan rakyat are the principle component analysis derived from eight correlated variables (non rice field land use, road density, distance to state forest area, land capacity, land configuration, population density, permanent home, and productive age population) with overall accuracy 64%. Those typologies of the desa hutan rakyat are as a preliminary information that can be used for long-term planning activities. Keyword:Clustering analysis, desa hutan rakyat, spatial distribution pattern, principle component analysis, typology, Forest Private Villages, Ciamis District, high potential area, low potential area
Judul: Forest areas through group approach (case study of forest management involving local people in the forest production areas of state forestry corporation (perum perhutani) unit I in the Province of Central Java) Abstrak:Forest villagers’ empowerment in a social forestry approach, especially collaborative forest management, is very crucial issue. The objectives of this study are: (1) to explore group dynamic of forest farmers’ group and to identify several factors influence the group dynamic; (2) to explore the level of empowerment of farmers around state forest area and to identify several factors influence the level of empowerment; (3) to explore the level of participation of farmers around state forest area and to find out the relationship of participation with the level of empowerment; and (4) to formulate a model and strategies to empower the farmers around state forest areas through group approach. The study had been carried out in three forest districts of East Pekalongan, South Kedu and Gundih in 2008. Survey using questionnaire with multistage cluster sampling was employed to collect main data from 408 farmers as respondents. The research data were processed by using structural equation modeling (SEM) of LISREL 8.73. The conclusions of the study are: (1) Level of group dynamic of forest farmers’ group is low. Factors influence significantly on the low of group dynamic are the low effectiveness of forest farmers’ group leadership, unfavorable environmental supports and low role of facilitators; (2) Level of empowerment of farmers is low. Factors influence directly and significantly on the low level of empowerment are unfavorable environmental supports, low level of group dynamic, low individual farmers’ potency, and ineffective process of empowerment. Whereas the ineffectiveness of forest farmers’ group leadership has indirect effect on the low level of empowerment; (3) Level of farmers’ participation is low. The low level of farmers’ participation is influenced directly by the low level of their empowerment; (4) Strategies to empower forest farmers are to strengthen six aspects such as environmental supports, forest farmers’ leadership, group dynamic, roles of facilitators, forest farmers’ potency and effectiveness of the process of empowerment. Keyword:
Judul: Respons pertumbuhan dan imunitas udang vaname litopenaeus vannamei terhadap pemberian hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang Abstrak:Udang vaname (Litopenaeus vannamei) adalah salah satu komoditas utama dalam program industrialisasi perikanan budidaya tahun 2009-2014. Produksi udang vaname diproyeksikan meningkat sebesar 16% setiap tahun dengan target produksi 500 ribu ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi dapat ditempuh dengan berbagai cara, salah satu cara yang efektif adalah dengan aplikasi bioteknologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bioaktivitas hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) pada udang vaname dalam meningkatkan pertumbuhan dan imunitas, khususnya dalam mencari metode aplikasi pemberian rElGH. Penelitian pertama bertujuan mengkaji respons pertumbuhan udang vaname setelah direndam dengan rElGH. Dosis yang digunakan yaitu 150; 15; 1,5; 0,15; 0,015; 0,0 mgL-1dengan lama perendaman 1 jam dan dipelihara sampai PL14. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis 15 mgL-1 memberikan peningkatan bobot tubuh, panjang tubuh dan kelangsungan hidup tertinggi (P<0,05) masing-masing sebesar 37,77%; 12,75% dan 9,45% dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya, pemberian rElGH dosis 15 mgL-1dikembangkan dengan lama waktu perendaman 3 jam dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 109,9%; panjang tubuh 26,0%, dan biomassa 66,0% lebih tinggi daripada kontrol. Ekspresi gen single insulin binding domain (SIBD) pada PL14 yang dianalisis dengan real-time PCR menunjukkan kenaikan sebesar 3,3 kali pada udang yang direndam rElGH dibandingkan dengan kontrol, dan dapat dinyatakan bahwa SIBD berperan penting dalam induksi pertumbuhan. Tingkat ekspresi moult inhibiting hormone (MIH) meningkat sekitar 1,3 kali, crustacean hyperglycemia hormone (CHH) meningkat sekitar 5,5 kali, sementara ekspresi cyclopilin A (CypA) pada udang yang direndam rElGH sama dengan kontrol. Gen yang terkait pertumbuhan udang vaname diantaranya SIBD, CHH, MIH, CypA, sedangkan gen yang terkait imunitas diantaranya lektin dan proPO, adalah gen yang dianalisis dalam penelitian ini, oleh sebab itu harus diuji kebenarannya. Tujuan penelitian tahap ini adalah identifikasi dan analisis ekspresi gen tersebut pada udang vaname. Tingkat ekspresi gen dianalisis menggunakan real-time PCR (qPCR) yang dinormalkan dengan ekspresi gen β-aktin. Produk PCR selanjutnya dielektroforesis untuk identifikasi keberadaan gen, dilanjutkan dengan purifikasi dan sekuensing. Untuk melihat similaritas sekuen dilakukan analisis BLAST-N dan disejajarkan dengan sekuen yang ada di BankGen menggunakan program Genetyx-7. Hasil identifikasi menunjukkan semua gen terdeteksi pada sampel. Gen terekspresi pada semua sampel dengan level yang berbeda. Similaritas mRNA SIBD, CHH, MIH, CypA, lektin, proPO, β-aktin berturut-turut 91%, 89%, 99%, 100%, 99%, 99%, dan 84% terhadap sekuen gen masing-masing pada BankGen. Penelitian selanjutnya bertujuan untuk mengkaji respons pertumbuhan dan ekspresi gen pasca larva udang vaname yang diberi rElGH dosis berbeda secara oral melalui pakan buatan. Wadah dan prosedur sama dengan penelitian perendaman. Pakan perlakuan adalah pakan yang dicampur dengan rElGH yang telah disalut dengan hypromellose phthalate (HP55) dengan dosis rElGH 50 mg kg-1pakan (P1), 5 mg kg-1pakan (P2) dan 0,5 mg kg-1pakan (P3). Sebagai pakan kontrol adalah pakan dicampur dengan HP55 tanpa rElGH (K+), dan pakan tidak dicampur HP55 (K). Pakan perlakuan dan kontrol K+ diberikan 1 kali sehari dengan interval 3 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan terbaik (P<0,05) diperoleh pada perlakuan P3. Peningkatan bobot tubuh udang perlakuan P3 sebesar 17,7% dan biomassa sebesar 16,6% dibandingkan dengan kontrol. Panjang tubuh dan kelangsungan hidup udang perlakuan dan kontrol tidak berbeda nyata (P>0,05). Ekspresi SIBD pada P3 meningkat 2,1 kali lipat dibandingkan kontrol. Level ekspresi CypA dan MIH kecil dan cenderung menurun. Berdasarkan hasil peningkatan pertumbuhan yang didukung oleh pola ekspresi gen SIBD, CypA, dan MIH dapat disimpulkan bahwa pemberian rElGH pada fase pasca larva, lebih efektif melalui perendaman dibandingkan oral. Setelah diketahui metode yang efektif pada fase pembenihan, selanjutnya pada penelitian keempat dilakukan evaluasi respons pertumbuhan udang vaname yang direndam satu kali dengan rElGH pada pasca larva 2 (PL2) dan pada PL14 diberi pakan buatan mengandung rElGH, serta menentukan dosis optimal rElGH dalam pakan. Pemberian pakan buatan mengandung rElGH dilakukan satu kali sehari, 2 kali seminggu selama 4 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan perendaman PL2 dan dilanjutkan dengan pemberian rElGH secara oral dengan dosis 0,5 mg kg-1 pakan memberikan respons pertumbuhan terbaik. Perlakuan tersebut meningkatkan biomassa sebesar 40,10%; laju pertumbuhan harian 21,25%; retensi protein 71,35%; retensi lemak 52,10%; meningkatkan kadar glikogen otot 129,0 %; dan efisiensi pakan sebesar 28,57% dibandingkan dengan kontrol (P<0,05). Perlakuan rElGH melalui perendaman dan oral juga meningkatkan ekspresi gen terkait pertumbuhan (SIBD dan CHH), dan gen terkait imunitas (lektin dan proPO). Selanjutnya dilakukan uji respons imun udang vaname terhadap infeksi infectious myonecrosis virus (IMNV). Inokulum IMNV berdasarkan OIE (2009). Pada hari ke-8, udang perlakuan perendaman dan dilanjutkan secara oral 50 mg kg-1 pakan menunjukkan kelangsungan hidup 37,5% lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol yang diinfeksi. Peningkatan kelangsungan hidup didukung oleh tingkat ekspresi gen lektin, gen proPO dan nilai THC. Sebagai kesimpulan bahwa perlakuan rElGH meningkatkan respons imun udang vaname terhadap infeksi IMNV. Berdasarkan uraian diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemberian rElGH yang efektif meningkatkan pertumbuhan udang vaname adalah pada fase pembenihan digunakan metode perendaman dengan dosis 15 mg L-1 dan dilanjutkan melalui oral pada fase pembesaran dengan dosis 0,5 mg kg-1 pakan. Metode pemberian rElGH ini berpotensi tinggi meningkatkan produktivitas budidaya. Keyword:
Judul: Yellows Disease on Carrots (Daucus carota L.) Associated with Phytoplasma in West Java. Abstrak:Carrot (Daucus carota L.) is in the family Umbelliferae grown for its edible root. Carrots are widely cultivated in the highlands with loose soil type that rich of humus. It is an important vegetable plant in Indonesia and is widely consumed because it is rich in beta-carotene (A vitamin). Carrot cultivation in Indonesia was initially concentrated in West Java, such as in Cipanas (Bogor) and Lembang (Bandung), but currently it has spread to Central and East Java and outside Java due to its higher demand. One of the problems in carrot cultivation is pathogen infections that cause plant diseases and can potentially reduce yield quality and productivity. Diseases infecting carrot plants in Indonesia caused by viruses, bacteria, fungi and nematodes have been widely reported, but until now there have been no reported diseases caused by phytoplasma. Infection of phytoplasma has been reported to cause significant yield loss in some countries. Therefore, it is necessary to conduct research to determine the status of phytoplasma infecting carrot in Indonesia. Research was carried out with the following objectives: (1) Conducting observation and survey to confirm the presence of yellowing disease and leafhoppers in carrot growing areas in West Java; (2) Studying the morphological, histological and molecular properties of phytoplasmas associated with yellow disease in carrot in West Java; (3) Studying the potential of leafhoppers species Orosius argentatus and Balclutha incisa as the vector of yellow disease in carrot. Research activity began with a field survey on carrot plantations, followed by identification and characterization of phytoplasma in the laboratory and transmission assay of phytoplasma through leafhoppers in a screenhouse. During the survey in Bogor, Cianjur and Bandung, yellowing symptoms and the presence of leafhoppers were observed. Plant samples from the field were brought to the laboratory for identification of phytoplasma. The identification method consisted of microscopic observation using a transmission electron microscope (TEM), molecular detection using nested-polymerase chain reaction (nested-PCR), followed by cloning of phytoplasma DNA. Planthopper samples from the field were brought to the laboratory for identification based on morphological characters and the molecular identification of phytoplasmas associated with planthoppers. Furthermore, sequence analysis was carried out based on the 16S rRNA gene using the BLASTn, phylogenetic analysis, and in silico RFLP. The incidence of yellow disease in carrots is low, ranging from 6.22 - 7.87% in Bogor, 7.47% in Cianjur, and 5.97% in Bandung. Five species of leafhopper were found in carrot fields showing yellow symptoms in Bogor and Cianjur, i.e. B. incisa, Cicadulina bipunctata, Empoascanara indica, Exitianus indicus, O. argentatus and one species of planthopper, Sogatella furcifera. Molecular detection using nested-PCR confirmed the association of phytoplasma with yellow symptom in carrot and 4 planthopper species. Observations using TEM showed that there were abnormalities in the shape and integrity of cells in carrot leaf tissue with yellow symptoms compared to healthy plant cells. In addition, phytoplasma cells were found in the phloem tissue of symptomatic plant leaves with a rounded (spherical) but not fixed (pleomorphic) shape measuring about 0.2-0.5 m. Chlorophyl content of symptomatic leaves decreases 0.106%, but carbohydrate content as starch and reducing sugar content increases 3.79% and 0.25%, respectively when compared to healthy leaves. Based on the nucleotide sequence analysis of the 16S rRNA gene, 2 groups of 16Sr phytoplasma were identified from carrot and planthopper species, i.e. 16SrI and 16SrII. Phytoplasma associated with yellow disease in carrots in Bogor had the highest similarity of 99.1% with the phytoplasma of the 16SrII-Peanut witches'- broom phytoplasma group (accession number L33765), while the phytoplasma from Cianjur had the highest similarity of 95.6% with the phytoplasma of the 16SrII-Cactus witches '-broom phytoplasma group (accession number EU099572), and phytoplasma from Bandung have similarities with group 16SrI-Polish tomato phyllody phytoplasma (accession number EU402598). Further phylogenetic analysis showed that phytoplasma in carrot from Bogor and Cianjur had a close relationship with phytoplasma group 16SrII-D in carrot from Saudi Arabia and India, respectively; while the phytoplasma in carrot from Bandung had a closed relationship with phytoplasma group 16SrI in carrot from Peru, Scotland, Serbia, United States (Texas and Wisconsin), Lithuania, and Cuba. Phytoplasma group 16SrI-Onion yellows phytoplasma is known to be associated with the planthopper C. bipunctata found around the carrot growing area in Bogor. Phytoplasma group 16SrII- Ca. Phytoplasma aurantifolia is known to be associated with planthoppers B. incisa and S. furcifera from Bogor and S. furcifera from Cianjur; in addition, phytoplasma group 16SrII-Cactus witches'-broom is known to be associated with B. incisa and O. argentatus from Cianjur. Adhesins is known as proteins that play an important role in helping the interaction between types of phytoplasmas and their insect vectors. Specific DNA bands of the adhesins gene were successfully amplified using PCR method. Furthermore, nucleotide sequence analysis confirmed that Onion yellows phytoplasma adhesins gene were detected in C. bipunctata from Bogor and Aster yellow phytoplasma in O. argentatus from Cianjur. These results proved that each of the planthopper species is an insect vector for both types of phytoplasma. Further characterization of phytoplasma groups that were identified from carrot plants was carried out using the RFLP in silico method. Three types of restriction enzymes, namely MseI (T'TA_A), RsaI (GT'AC), and HinfI (G'AnT_C) were used in this study and resulted in different DNA band cutting patterns among phytoplasma isolates associated with carrots with yellow symptoms and 4 species of leafhoppers. Two phytoplasma groups, i.e. the 16SrII and 16SrI groups were identified based on the analysis of the RFLP in silico test; this is the same groups as identified earlier by sequence analysis. Transmission of phytoplasma using leafhoppers B. incisa and O. argentatus showed that the two species could play an effective role in transmitting phytoplasma. The incubation period for phytoplasma transmission using B. incisa and O. argentatus was 26 days and 28 days, respectively, with the disease incidence reaching 80%. Transmission of phytoplasma through both species of leafhoppers causes symptoms of chlorosis on the leaves, stunted plant growth, small plant leaves, small petiole with many branches. Based on the research that has been done, it is confirmed that the association of phytoplasma group 16SrII and 16SrI with yellow disease in carrot and leafhoppers found in carrot growing areas. This report is the first in Indonesia, so the spread and distribution of yellow disease in other carrot growing areas needs to be investigated. Determination of the status of yellow disease in carrot in Indonesia is necessary in determining recommendations or policies for its control strategies. Keywords: disease incidence, leafhoppers, nested-PCR, phylogenetic analysis, 16Sr RNA gene. Keyword:analisis filogenetik, gen 16Sr RNA, insidensi penyakit, nested-PCR, wereng daun
Judul: Pathogen Character and The Role of Lignin in Sorghum (Sorghum bicolor) Resistance Against Tar Spot Disease. Abstrak:Sorgum (Sorghum bicolor) adalah tanaman serealia terpenting kelima di dunia setelah beras, gandum, jagung dan barli yang memiliki banyak manfaat antara lain sebagai bahan pangan, pakan, dan industri. Sorgum toleran terhadap kekeringan dan lingkungan marjinal sehingga baik untuk dikembangkan di beberapa wilayah di Indonesia. Pengembangan tanaman sorgum menghadapi beberapa kendala dan salah satunya adalah gangguan penyakit. Penyakit bercak ter adalah salah satu penyakit pada tanaman sorgum yang disebabkan oleh infeksi cendawan Phyllachora sp. Pengetahuan yang komprehensif tentang ekologi patogen dan respons ketahanan tanaman sorgum terhadap infeksi Phyllachora sangat diperlukan untuk pengembangan sorgum tahan penyakit bercak ter. Meskipun penyakit ini berdampak kecil pada kehilangan hasil tapi pada tingkat infeksi yang lanjut akan berdampak pada kehilangan hasil yang cukup besar. Lignin sangat berperan dalam ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen sehingga kajian keterkaitan yang erat antara lignin dengan ketahanan tanaman terhadap penyakit sangat diperlukan. Penelitian dilakukan dengan tujuan (1) mendapatkan pengetahuan tentang karakter morfologi dan molekuler cendawan Phyllachora sp. pada tanaman sorgum yang ada di Indonesia; (2) mengetahui insidensi dan keparahan penyakit bercak ter dari Bogor, Gunung Kidul dan Lombok Barat; (3) mendapatkan pengetahuan tentang hubungan kandungan lignin dengan ketahanan tanaman sorgum terhadap infeksi Phyllachora sp melalui uji evaluasi lapangan; (4) mengetahui komposisi monolignol dan ekspresi gen biosintesis lignin pada daun tanaman sorgum sebagai faktor yang mempengaruhi ketahanan tanaman sorgum terhadap penyakit bercak ter. Identifikasi cendawan umumnya dilakukan melalui pendekatan morfologi dan molekuler. Beberapa karakter morfologi cendawan Phyllachora sp. yang dapat digunakan untuk identifikasi adalah karakter dan panjang parafisis, bentuk dan ukuran askus serta askospora. Pendekatan molekuler sangat penting dalam identifikasi Phyllachora yang merupakan cendawan obligat, karena sulit untuk ditumbuhkan pada media kultur cendawan. Identifikasi molekuler cendawan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) dilakukan menggunakan marka universal cendawan, yaitu marka yang mengamplifikasi daerah internal transcribed spacer (ITS) dan large sub unit (LSU) kemudian dilanjutkan dengan analisis sekuensing. Respons ketahanan tanaman sorgum terhadap infeksi Phyllachora terkait dengan kandungan lignin total pada tanaman sorgum dilakukan melalui uji evaluasi lapangan. Mekanisme ketahanan tanaman yang didasarkan pada perubahan komposisi dan biosintesis lignin dilakukan melalui analisis komposisi monolignol pada daun sorgum dengan pendekatan metode Pyrolysis Gas Chromatography Mass Spectrometry (Py-GCMS). Sementara analisis ekspresi gen penyandi bosintesis lignin dilakukan dengan menggunakan marka gen SbCOMT dengan pendekatan metode Real Time quantitative PCR (RT-qPCR). Selain itu, pengamatan beberapa sifat agronomi yang berkaitan dengan biomasa (diantaranya tinggi tanaman, diameter batang, panjang malai, bobot daun, bobot batang, bobot malai dan bobot seratus biji) dilakukan untuk mempelajari hubungan kandungan lignin dengan sifat agronomi masing-masing genotipe. Hal ini penting sebagai dasar menentukan jenis genotipe sorgum yang akan ditanam sesuai fungsinya, misalnya sebagai sumber bahan pangan, pakan atau biomaterial. Penelitian ini menunjukkan nilai keparahan penyakit bercak ter yang teramati bervariasi dari 32,4% pada genotipe Samurai yang rentan dan 87,9% pada genotipe Latu Keta yang tahan terhadap penyakit bercak ter. Hasil identifikasi morfologi dari 17 genotipe menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda sehingga dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok spesies dan diduga kuat adalah spesies yang baru. Identifikasi molekuler dengan marka yang mengamplifikasi daerah ITS dan LSU masing-masing menunjukkan dua isolat dan delapan isolate merupakan cendawan Phyllachora. Hasil karakterisasi dengan morfologi dan molekuler menunjukkan konsistensi yang melandasi pernyataan bahwa identifikasi dan karakterisasi cendawan dengan pendekatan morfologi masih menjadi kunci dasar indentifikasi dan karakterisasi cendawan yang diverifikasi dan dilengkapi dengan pendekatan molekuler. Hasil penelitian ini juga menunjukkan keterkaitan kandungan lignin total dengan ketahanan tananam terhadap penyakit bercak ter. Hasil analisis komposisi monolignol memberikan hasil yang serupa dan konsisten dengan hasil analisis ekspresi gen SbCOMT. Genotipe 4183A menunjukkan nilai ketahanan yang tinggi terhadap penyakit bercak ter. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain (1) menjadi pengetahuan dasar bagi fitopatologis dalam mengkaji lebih jauh tentang cendawan Phyllachora sp. penyebab penyakit bercak ter pada tanaman sorgum. Manfaat lain adalah (2) menjadi pengetahuan yang berguna bagi pemuliaan tanaman sorgum dalam pengembangan tanaman sorgum tahan terhadap penyakit bercak ter. Manfaat terakir dari penelitian ini adalah (3) rekomendasi penggunaan genotipe sorgum untuk berbagai kepentingan baik pangan, pakan dan industri disertai saran teknik budi daya untuk meminimalisasi insidensi dan keparahan penyakit bercak ter pada budi daya tanaman sorgum. Teknik budi daya ini meliputi pemilihan genotipe dan kondisi tanam termasuk kondisi lingkungan., Sorghum (Sorghum bicolor) is the fifth most important cereal crop in the world after rice, wheat, corn, and barley which has many benefits such as material for food, feed, and industry. Sorghum can withstand drought and grows in marginal land, so it is suitable to be developed in Indonesia. Sorghum cultivation faces several problem and disease is one of them. Tar spot disease is one of the diseases in sorghum due to infection with the fungus Phyllachora sp. Comprehensive knowledge on the pathogen ecology and resistance response of sorghum to Phyllachora infection is indispensable for the development of tar spot disease-resistant sorghum. Although this disease has a small impact on yield loss, at advanced levels, it will have an impact on considerable yield loss. A study of the relationship between lignin total content and plant defence to disease is necessary since lignin plays an important role in plant resistance to pathogen infections. The objectives of the research were to (1) gaining knowledge about the morphological and molecular characteristics of the fungus Phyllachora sp. on sorghum plants in Indonesia; (2) determining the incidence and severity of tar spot disease in Bogor, Gunung Kidul, and West Lombok; (3) gaining knowledge about the relationship between lignin content and the resistance of sorghum plants to Phyllachora sp. infection through field evaluation tests; and (4) determining the monolignol composition and expression of lignin biosynthesis genes in sorghum plant leaves as variables that affect sorghum plant resistance to tar spot disease. Identification of fungi is generally carried out through morphological and molecular approaches. Several morphological characteristics of the fungus Phyllachora sp. that can be used for identification are the size and form of the ascospores and ascus, as well as the length and character of the paraphysis. Molecular approaches are very important in identifying Phyllachora, which is an obligate fungus, because it is difficult to grow on fungal culture media. Molecular identification of fungi using the polymerase chain reaction (PCR) method is carried out using fungal universal markers, namely markers that amplify the internal transcribed spacer (ITS) and large subunit (LSU) regions, then followed by sequencing analysis. The resistance response of sorghum plants to Phyllachora infection related to the total lignin content in sorghum plants was carried out through field evaluation tests (bioassay). The mechanism of plant resistance, which is based on changes in lignin composition and biosynthesis, was carried out through analysis of the monolignol composition in sorghum leaves using the Pyrolysis Gas Chromatography Mass Spectrometry (Py-GCMS) method. Meanwhile, analysis of the expression of the gene encoding lignin biosynthesis was carried out using the SbCOMT gene marker using the Real-Time Quantitative PCR (RT-qPCR) method. In addition, observations of several agronomic traits related to biomass (including plant height, stem diameter, panicle length, leaf weight, stem weight, panicle weight, and hundred seed weight) were carried out to study the relationship between lignin content and the agronomic characteristics of each genotype. This is important as a basis for determining the type of sorghum genotype that will be planted according to its function, for example, as a source of food, feed and biomaterial product. This research shows that the observed tar spot disease severity values varied from 32.4% in the susceptible Samurai genotype to 87.9% in the Latu Keta genotype, which was resistant to tar spot disease. The results of the morphological identification of 17 genotypes show different characteristics so that they can be classified into multiple species groupings, with the possibility of them becoming new species. Molecular identification with markers that amplify the ITS and LSU regions, respectively, showed that two isolates and eight isolates were Phyllachora fungi. The results of morphological and molecular characterization show consistency supporting the statement that identification and characterization of fungi using a morphological approach is still the key basis for the identification and characterization of fungi that are verified and equipped with a molecular approach. The results of this study also show a correlation between total lignin content and plant resistance to tar spot disease. The results of monolignol composition analysis were comparable and consistent results with the results of SbCOMT gene expression analysis. Genotype 4183A shows high resistance to tar spot disease. It is hoped that the results of this research will provide benefits, including (1) providing foundational knowledge for phytopathologists in studying further about the fungus Phyllachora sp. causes of tar spot disease in sorghum plants. Another advantege is that (2) it becomes useful knowledge for sorghum plant breeding in developing sorghum plants that are resistant to tar spot disease. The final benefit of this research is (3) recommendations for the use of different sorghum genotypes for various purposes, including food, feed, and industry, along with suggestions for cultivation techniques to minimize the incidence and severity of tar spot disease in sorghum cultivation. This cultivation technique of farming involves planting under certain environmental circumstances as well as choosing genotypes. Keyword:ITS, karakterisasi, LSU, Phyllachora, SbCOMT
Judul: Design of strategic management model of snack’s micro and small enterprises performance evaluation Abstrak:Competitiveness of Micro and Small Enterprises (MSE) depends on total business performance. Those performance could be managed effectively and efficiently if it was supported by an optimal performance evaluation process, that was consisted of measurement and improvement model. The performance evaluation model was developed through strategic management system approach, where experts knowledge were acquired by brainstorming and in depth interview methods. Some of technique utilized were validity and reliability test, Ordered Weighted Averaging (OWA) Operators, Fuzzy Analytic Hierarchy Process, Balanced Score card (BSC), Quality Function Deployment (QFD), and Neural Network. Keyword:expert management system, strategic management system, bussines performance, balanced scorecard
Judul: Pengaruh waktu permentasi dan jenis ragi tempe terhadap kadar purin dalam kedelai Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan ragi tempe dalam bentuk biakan murni dan laru serta waktu fermentasi terhadap perubahan kadar purin dalam kedelai (Glycine max). Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor, terhitung, sejak bulan April sampai dengan bulan Juli 1996. Keyword:Soybean, Glycine max, ragi tempe
Judul: . Evaluasi Kesepadanan Mutu Gizi Tempe Kedelai Pangan Rekayasa Genetik (Prg) Dan Non-Prg Serta Dampak Konsumsinya Pada Tikus Percobaan. Abstrak:Tempe dan makanan olahan kedelai merupakan produk pangan yang banyak dikonsumsi dan menjadi sumber protein yang penting bagi penduduk Indonesia. Tingginya konsumsi tempe serta makanan olahan kedelai menyebabkan produksi kedelai lokal hanya mampu memenuhi sekitar 30% dari kebutuhan nasional. Data BPS tahun 2013 menyebutkan sekitar 70% dari total kebutuhan kedelai nasional yang setara dengan 2 juta ton per tahun dipenuhi dari impor. Indonesia mengimpor kedelai dari negara-negara yang menerapkan bioteknologi atau rekayasa genetika. Kedelai pangan rekayasa genetika (PRG) impor yang beredar di Indonesia adalah jenis tahan herbisida glifosat. Jenis kedelai PRG ini telah memperoleh surat izin peredaran dari Badan POM. Walaupun telah dinyatakan aman dan memperoleh izin edar, namun penggunaan kedelai PRG pada pembuatan tempe masih menimbulkan perbedaan pendapat terkait aspek keamanan dan kesehatan. Selain itu, terdapat isu-isu negatif seputar dampak konsumsi produk-produk kedelai, termasuk tempe terhadap kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengevaluasi kesepadanan mutu protein tempe PRG dan non-PRG pada tikus percobaan, (2) Mengevaluasi kesepadanan dampak konsumsi tempe PRG dan non-PRG terhadap profil darah, malonaldehida (MDA) dan superoksida dismutase (SOD) tikus percobaan dan (3) Mengevaluasi kesepadanan dampak konsumsi tempe PRG dan non-PRG terhadap profil spermatozoa tikus percobaan. Kedelai yang digunakan untuk pembuatan tempe dalam penelitian ini adalah kedelai PRG dan kedelai non-PRG impor asal Amerika Serikat yang diperoleh dari KOPTI Bogor. Kedelai non-PRG dilengkapi dengan sertifikat bebas PRG. Kedelai diolah menjadi tempe di Rumah Tempe Indonesia, Bogor. Tempe ditepungkan, dan dianalisa proksimat sebagai dasar pembuatan ransum. Ransum dipersiapkan untuk lima kelompok perlakuan sebagai berikut: (1) Tempe PRG 10 %, (2) Tempe non-PRG 10%, (3) Tempe PRG 20%, (4) Tempe non-PRG 20%, dan (5) Kasein 10% sebagai kontrol. Sebanyak 25 tikus putih jantan galur Sprague dawley, masing-masing terdiri dari lima ekor dikelompokkan ke dalam empat perlakuan dan satu kontrol di lab hewan SEAFAST IPB, dimana setiap tikus ditempatkan dalam kandang individu. Penempatan ransum dengan komposisi 10% protein dari tempe mengacu kepada standar AOAC (1998). Adapun ransum dengan komposisi 20% protein dari tempe ditetapkan dengan tujuan untuk mengevaluasi dampak yang muncul jika dosis konsumsinya dinaikkan hingga dua kali lipat. Pengamatan untuk memperoleh data mutu protein dilakukan pada hari ke-28 hanya pada tiga kelompok dengan komposisi ransum 10% protein, meliputi total ransum yang dikonsumsi, penambahan berat badan, berat feses dan berat urin. Untuk mengevaluasi dampak kesehatan (profil darah, SOD, MDA & profil spermatozoa) dilakukan setelah perlakukan selama 90 hari pada seluruh kelompok perlakuan. Lamanya waktu percobaan pada tikus ini dilakukan untuk memperoleh gambaran sub-kronis yang mungkin terjadi sesuai pedoman European Food Safety Authority (EFSA, 2011). Pada hari ke-90, seluruh tikus dikorbankan untuk diambil darah dan organnya. Analisis hematologi meliputi pengukuran kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit, dan eritrosit. Parameter yang dianalisis pada serum meliputi kadar kolesterol, trigliserida, HDL, LDL, ureum, kreatinin, protein, albumin, asam urat, SGOT, dan SGPT. Organ hati dan ginjal ditimbang untuk dianalisis kadar MDA dan SOD. Organ testis ditimbang untuk dianalisis profil spermatozoa dan pewarnaan jaringan dengan Hematoksilin Eosin (HE). Data hasil analisa dan pengamatan kemudian diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. iv Hasil analisis terhadap total konsumsi dan kenaikan berat badan (BB) menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) antar kelompok perlakuan. Total konsumsi ransum dan asupan protein kelompok tempe PRG lebih kecil dibanding kelompok non PRG dan kontrol. Demikian pula perubahan BB, kenaikan BB kelompok tempe PRG lebih kecil dibanding kelompok non PRG dan kontrol. Akan tetapi, perbedaan perubahan BB antar kelompok perlakuan lebih berkaitan dengan jumlah asupan ransum, bukan karena faktor mutu proteinnya. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara tempe PRG, non PRG dan kontrol terhadap Feed Conversion Efficiency (FCE), Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU). Penilaian mutu protein berdasarkan metode pertumbuhan dan metode keseimbangan nitrogen menunjukkan bahwa tempe PRG memiliki mutu protein yang sepadan dengan tempe dan non-PRG. Mutu protein tempe PRG dan non PRG dan sama baiknya dengan mutu protein kasein. Hasil analisis hematologi menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit dan eritrosit. Hasil analisis serum menunjukkan perlakuan berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap kadar kolesterol, ureum dan protein. Kelompok tempe PRG 10% memiliki total kolesterol lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Hasil analisis serum menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap kadar trigliserida, HDL, LDL, kreatinin, albumin, asam urat, SGOT dan SGPT. Hasil analisis terhadap organ hati dan ginjal menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap berat organ hati dan ginjal. Hasil ini sesuai dengan analisis albumin, trigliserida, SGPT dan SGOT yang menunjukkan semua parameter dalam rentang normal. Perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap MDA hati, dimana kelompok tempe PRG 10% dan 20% memiliki nilai MDA lebih tinggi dibanding kelompok tempe non PRG dan kontrol. Perlakuan tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap MDA ginjal, SOD hati dan SOD ginjal. Hasil analisis makroskopis organ testis dan semen menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap berat testis, pH, gerakan massa, motilitas spermatozoa, dan konsentrasi. Analisis mikroskopis organ testis menunjukkan perlakuan berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap gerakan individu dan konsentrasi. Analisis mikroskopis profil tubuli seminiferus testis menunjukkan perlakuan berpengaruh secara sangat nyata (p>0.01) terhadap spermatogonium. Akan tetapi perlakuan tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap spermatosit, spermatid awal, spermatid akhir, total sel spermatogenik, dan sel leydig. Hasil ini menunjukkan konsumsi tempe PRG dan non-PRG konsentrasi 10% dan 20% serta kasein memberikan hasil yang sama terhadap profil spermatozoa dan organ reproduksi tikus percobaan. Hasil penelitian ini menyimpulkan: (1) Mutu protein tempe PRG sama dengan non- PRG dan kasein, artinya mutu protein tempe PRG sepadan dengan tempe non-PRG (2) Terdapat kesepadanan dampak konsumsi tempe PRG, non-PRG dan kasein terhadap profil darah dan SOD. Terdapat perbedaan dampak konsumsi antara tempe PRG dan non-PRG terhadap kadar kolesterol, ureum, protein, dan malonaldehida (MDA) hati tikus percobaan dan (3) Terdapat kesepadanan dampak konsumsi tempe PRG dan non-PRG terhadap profil spermatozoa secara umum dan organ reproduksi tikus percobaan. Terdapat perbedaan dampak konsumsi antara tempe PRG dan non-PRG terhadap gerakan individu, konsentrasi spermatozoa dan spermatogonium. Keyword:Hematologi, MDA, SOD, Spermatozoa, Tempe PRG, Tempe Non-PRG
Judul: National monitoring, control and surveillance design system for marine development in Indonesia Abstrak:Wilayah perairan laut Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan memiliki posisi strategis dalam perdagangan serta pelayaran internasional.Keadaan ini memancing pihak-pihak tertentu untuk melakukan eksploitasi dan memanfatkannya secara ilegal. Kerugian Indonesia dari kegiatan-kegiatan ilegal ini sangat besar jumlahnya. Untuk mengantisipasi kegiatan pelanggaran hukum ini perlu diterapkan suatu sistem keamanan di laut. Sistem keamanan di laut di masa depan seharusnya dibangun dengan prinsip mensinergikan kekuatan yang dimiliki oleh berbagai instansi penyelenggara penegakan keamanan di laut tersebut. Sinergi ini harus tercermin dari struktur organisasi, mekanisme dan prosedur serta pelibatannya di laut. Salah satu bentuk nyata dari strategi tersebut adalah diberlakukannya sistem monitoring, control and surveillance nasional. Di Indonesia sistem MCS telah mulai dirintis untuk dilaksanakan, namun masih bersifat parsial dan sektoral. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian dengan pendekatan kesisteman untuk menyusun suatu desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia. Fokus permasalahan dalam studi ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan MCS di Indonesia pada saat ini dan kendala-kendala yang dihadapi serta membandingkan dengan pelaksanaan MCS di negara-negara lain di dunia sebagai patok duga. Dari analisis existing condition pada saat ini dan dengan membandingkan dengan negara-negara lain di dunia dalam pelaksanaan MCS dalam bidang kelautan, dapat dik etahui posisi Indonesia pada saat ini yang ternyata masih berada pada level yang rendah.Untuk meningkatkan kondisi ini Indonesia harus meningkatkan landasan operasional MCS dan selanjutnya meningkatkan pelaksanaan MCSnya. Dari analisis kebutuhan MCS dengan menggunakan expert judgment dan studi kepustakaan, didapat faktor-faktor kunci MCS untuk meningkatkan kinerja sistem MCS nasional. Untuk meningkatkan kinerja MCS Indonesia, perlu adanya pembenahan aspek lisensi dan legislasi. Adapun kebijakan nasional yang perlu diterapkan dalam pengembangan MCS nasional adalah : (1) Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi, (2) Penyusunan dan penerapan kebijakan integral yang komprehensif dalam penanganan MCS, (3) Penerapan good governance dalam pelaksanaan MCS, (4) Pengembangan kerjasama internasional untuk memperkuat pelaksanaan operasional sistem MCS, (5) Peningkatan kinerja operasional MCS untuk pengakuan internasional, (6) Pembentukan sistem kelembagaan dalam pelaksanaan MCS kelautan, (7) Peningkatan kualitas SDM kelautan dan perikanan dan membentuk Coast Guard Indonesia. Keyword:MCS, Benchmarking, Design system, Expert judgment, Coast Guard, Analisis SWOT, Kebijakan Maritim Naional Indonesia
Judul: Management of Spatial Use of Small Islands in the Tiworo Archypelago, West Muna Regency, Southeast Sulawesi Abstrak:Kepulauan Tiworo merupakan salah satu gugus pulau-pulau kecil yang berada di Selat Tiworo, Kabupaten Muna Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara. Beberapa persoalan mendasar terkait dengan pemanfaatan ruang di Kepulauan Tiworo yang menjadikan penelitian ini penting dilakukan antara lain adalah: (1) perairan Selat Tiworo merupakan area fishing ground bagi nelayan lokal penangkap ikan telah mengalami over eksploitasi dan dapat mengakibatkan pendapatan menurun. Untuk meningkatkan kegiatan perikanan dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan lokal, Pemerintah Kabupaten Muna Barat berupaya memanfaatkan perairan dengan mengembangkan usaha budidaya laut sebagaimana yang dimuat dalam RPJMD tahun 2017-2022. Dalam perspektif ruang, kebijakan tersebut memiliki implikasi terhadap rencana alokasi pemanfaatan ruang karena harus memetakan kawasan yang sesuai untuk budidaya dan kawasan peruntukan lain; (2) pemukiman penduduk di pulau-pulau yang telah berlangsung sejak puluhan tahun silam dikhawatirkan memberikan tekanan yang lebih besar terhadap perubahan fungsi lahan dan mutu perairan; (3) pengaruh daerah mainland berupa material padatan tersuspensi yang masuk melalui daerah aliran sungai juga menjadi ancaman terhadap kelestarian sumberdaya di pulau-pulau kecil. Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut tentunya tidak cukup hanya dengan melakukan penataan ruang (zonasi) sebagai satu-satunya pendekatan dalam mengelola pemanfaatan ruang, tetapi dibutuhkan kebijakan pengelolaan berdasarkan kajian yang lebih komprehensif sebagai dasar pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian ringkas tersebut, penelitian ini dilakukan dengan maksud menghasilkan kebijakan pengelolaan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil di Kepulauan Tiworo. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan beberapa kajian, yakni: (1) memetakan perairan pulau-pulau kecil yang sesuai untuk pengembangan budidaya laut. (2) menghitung daya dukung pulau-pulau kecil untuk pemukiman penduduk. (3) menilai keberlanjutan pemanfaatan ruang pulau kecil berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan hukum dan kelembagaan. (4) menentukan atribut pengungkit skala prioritas dan penunjang dalam merumuskan kebijakan pengelolaan. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa pengembangan budidaya laut sangat potensial dilakukan di Kepulauan Tiworo, khususnya budidaya rumput laut, budidaya KJA, dan KJT. Total luas perairan yang sesuai untuk budidaya sebesar 24.109.9 ha. Total luasan tersebut terdiri dari lahan untuk budidaya rumput laut sebesar 17.461 ha, lahan untuk budiaya ikan di keramba jaring apung (KJA) sebesar 6 528 ha, dan lahan untuk keramba jaring apung (KJT) sebesar 115.9 ha. Berdasarkan analisis rasio baku mutu (RBM) menunjukan bahwa penduduk Kepulauan Tiworo berpengaruh secara nyata terhadap ion amonia di perairan. Setiap penduduk pulau kecil berkontribusi meningkatkan nilai RBM amonia v sebesar 4.2 x 10-5. Daya dukung perairan setiap pulau-pulau kecil berdasarkan nilai RBM berkisar antara 25.850 - 29.929. Daya dukung lahan pemukiman penduduk di pulau-pulau kecil bervariasi mulai dari 695 - 20 519 jiwa. Pulau Balu memiliki daya dukung terbesar yakni sebesar 20 519 jiwa, sedangkan pulau yang memiliki daya dukung terkecil adalah Pulau Tasipi, sebesar 695 jiwa. Keberlanjutan pemanfaatan ruang Kepulauan Tiworo berada pada kategori kurang berkelanjutan dan kategori cukup berkelanjutan. Kategori kurang berlanjut berada di Pulau Tasipi, sedangkan lima pulau lainnya tergolong cukup berlanjut. Beberapa variabel yang menyebabkan Pulau Tasipi kurang berkelanjutan adalah tingkat pemanfaatan lahan yang telah mencapai 100%, jumlah penduduk yang melebihi daya dukung lahan, dan daya dukung lahan yang relatif kecil. Berdasarkan dimensi ekologis keberlanjutan pemanfaatan ruang Kepulauan Tiworo tergolong cukup berlanjut, kecuali di Pulau Tasipi yang tergolong kurang berlanjut. Berdasarkan dimensi sosial tergolong baik, sedangkan berdasarkan dimensi ekonomi tergolong kurang berlanjut, dan berdasarkan dimensi kelembagaan semua pulau-pulau kecil termasuk dalam kategori yang buruk. Atribut-atribut sensitif pada dimensi ekologi adalah kenaikan suhu permukaan laut dan material padatan tersuspensi. Pada dimensi sosial adalah atribut tingkat pendidikan, dan kejadian konflik antar warga. Pada dimensi ekonomi adalah atribut ketersediaan modal usaha, rata-rata pendapatan, dan atribut produksi tangkapan. Sedangkan pada dimensi kelembagaan, atribut yang sensitif adalah status kepemilikan lahan oleh masyarakat, dan atribut zonasi kawasan. Hasil analisis prospektif terhadap atribut-atribut sensitif tersebut menunjukan bahwa suhu permukaan laut, materil padatan tersuspensi, status kepemilikan lahan, zonasi kawasan, ketersediaan modal usaha, dan atribut hasil tangkapan merupakan atribut yang memiliki pengaruh yang kuat, dan memiliki ketergantungan yang kecil. Sementara itu atribut rata-rata pendapatan, tingkat pendidikan, dan atribut potensi konflik antar warga adalah atribut yang memiliki pengaruh yang kecil, dan ketergantungannya besar. Berdasarkan beberapa tahapan analisis yang dilakukan, maka kebijakan pengelolaan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil yang dihasilkan adalah: (1) meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat, (2) mengendalikan pemanfaatan lahan di daerah mainland, (3) mengembangkan diversifikasi usaha, (4) menertibkan penggunaan ruang, dan (5) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Keyword:space utilization, quality standard ratio, land carrying capacity, small islands sustainability
Judul: Small Islands Management Model For The Regional Development of Wakatobi Islands Abstrak:Kepulauan Wakatobi memiliki potensi sumberdaya alam lautan seperti mangrove, lamun dan terumbu karang serta sumberdaya alam daratan. Potensi sumberdaya alam tersebut di analisis dari 3 aspek yaitu aspek ekologi, aspek sosial budaya, dan aspek ekonomi. Tujuan penelitian adalah : (1) mengkaji dampak pemanfaatan sumberdaya mangrove terhadap penurunan produksi biomassa kepiting pada lingkungan mangrove, biomassa ikan balanak pada lingkungan lamun, dan biomassa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang. (2) mengkaji dampak pemanfaatan sumberdaya terumbu karang untuk pondasi rumah di laut terhadap kolestarian terumbu karang dan biomassa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang. (3) mengkaji kontribusi sektor ekonomi dalam pengelolaan wilayah Kepulauan Wakatobi. ( 4) menyusun model pengelolaan pulau-pulau kecil dalam rangka pengembangan 'Yilayah Kepulauan Wakatobi. Hasil penelitian: ( 1 ) Pemanfaatan sumberdaya mangrove untuk pemukiman penduduk seluas 1 hektar. berdampak pada penurunan biomassa kepiting pada lingkungan mangrove sebesar 23,75 kg tahun, penurunan biomassa ikan balanak pada lingkungan lamun sebesar 87 ,50 kgitahun dan penurunan biomassa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang sebesar 62,45 kg/tahun. (2) Pemanfaatan sumberdaya terumbu karang untuk pondasi rumah di laut pada Kampung Wakalingkuma, Waduri dan Kokaulea, merusak terumbu karang sebesar 355,33 m'itahun dan penurunan biomassa ikan kerapu pada wilayah pesisir Kepulauan Wakatobi sebesar 19 ton!tahun. (3) Sek1or yang memberikan kontribusi tertinggi dalam pengelolaan wilayah Kepulauan \\.akatobi terhadap : (a) keterlibatan sektor lain ke depan adalah sektor industri lain, (b) keterkaitan langsung ke depan adalah sektor perdagangan, (c) pengganda pendapatan tipe 1 adalah sektor perdagangan, (d) daya kepekaan adalah sektor perdagangan. (e) pengganda tenaga kerja adalah sektor industri lain, ( f) konsumsi rumah tangga adalah sektor bahan makanan lain, (g) konsumsi pemerintah adalah sektor pemerintahan, (h) investasi adalah sek1or bangunan, (i) ekspor adalah sektor rumput laut, (j) pertumbuhan ekonorni dan PDRB adalah sektor pemerintahan, (k) dampak negative ke lingkungan mangrove dan ke lingkungan lamun adalah sek1or kehutanan dan ke lingkungan terumbu karang adalah sektor bangunan. (4) Pengelolaan wilayah Kepulauan Wakatobi sebaiknya diarahkan untuk mengembangkan sektor industri lain yang didukung oleh sektor angk'Utan dan komunikasi, sektor perikanan dan sektor lembaga keuangan yang tangguh serta menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan laut agar didapat kesejahteraan masyarakat maupun keberlanjutan pembangunan., Wakatobi islands potentially have marine resources such as mangrove, sea grass and coral reef, and terrestrial resources as well. The potency of marine and terrestrial resources were analysed in 3 aspects : ecological, cultural and economical aspects. The research aims are : (I) To study the impact of natural resources exploitation in mangrove on environment crab biomass production, Balanak fish biomass on sea grass environment, and Kerapu fish biomass on coral reef environment. (2) To study the impact of coral reef resource exploitation to build the foundation of houses on the sea shore on coral reef degradation and Karapu fish biomass reduction in coral reef environment. (3) To study the contribution of each economic sector in the regional management of Wakatobi islands. ( 4) To develop a model of small islands management for the regional development of Wakatobi Islands. The results : (I) The exploitation of I ha mangrove resources for the residential settlement, resulted in the decline of crab biomass at Mangrove Environment for about 23. 75 kg/haiyear. Balanak fish biomass at sea grass Environment by 87,50 kg ha year and Kerapu fish biomass at Coral Reef Environment by 62.45 kg/ha1year. (2) The exploitation of coral reefresource to build foundation of houses on the sea shore caused coral reef degradation by 355,33 m3 I year and the decline Kerapu fish biomass at Coral Reef Enviromnent by 19 ton / year. (3) The sectors which give the highest contribution in the regional management of Wakatobi islands on : (a) The sector forward linkage was other industrial sector (b) The foTWard direct linkage was commercial sector ( c) The income multiplier type 1 was commercial sector (d) The sensitivity power was commercial sector (e) The labor multiplier was other industrial sector ( f) The household consumption was other food-stuff sector. (g) The governmental consumption was governance sector. (h) The investment was building sector (i) The regional export was seaweed sector (j) The economics growth was governance sector (k) The regional gross domestic product was governance sector and (l) The negative impact to mangrove enviromnent and to sea grass environment was forestry sector and negative impact to coral reef enviromnent was building sector. (4). Regioml management of Wakatobi islands should be directed to develop other industrial sector supported by transportation and communications and fishery sector and financial institution sector and maintaining the sustainability of Coastal and marine ecosystem in order to achieve welfare of the community and sustainable development of the islands. Keyword:Management, Regional economic, Small islands, ecosystem, input-output model
Judul: Chrysantheum B carlavirus (CVB) that infected Chrysanthemum in Indonesia: characterization and development of detection methode Abstrak:Infection of chrysantheum B carlavirus (CVB) in chrysanthemum has reported from many countries where the plants were cultivated. In a survey of chrysanthemum growing fields (and greenhouse) in Cianjur regency, West Java, Indonesia, some chrysanthemum cultivars exhibited a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves; and color breaking of flowers. Keyword:biological characters, molecular characters, serological technique, electron microscopy analysis, West java
Judul: Desain Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang Di Perairan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah Abstrak:Nelayan Kabupten Donggala mayoritas adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana seperti purse seine, pukat pantai, pancing, gillnet dan payang. Adapun jenis-jenis hasil tangkapannya berupa ikan pelagis seperti cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan layang (Decapterus ruselli) ikan selar (Selaroides leptolepis), teri (Stolephorus indicus), tembang (Sardinella fimbriata), lemuru (Sardinella longiceps) dan kembung (Rastrelliger spp). Namun yang paling dominan tertangkap di perairan sekitar Kabupaten Donggala adalah ikan layang (Decapterus ruselli). Ikan laying merupakan ikan pelagis kecil yang memiliki nilai ekonomis penting yang banyak diminati masyarakat. Ikan laying memiliki rasa yang enak dengan kandungan protein yang tinggi, dan banyak dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menyusun strategi pemanfaatan perikanan layang diperairan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan perikanan tangkap baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Waktu penelitian dilakukan pada bulan April 2014 - Mei 2015 yang bertempat di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Metode pengambilan data yaitu melalui observasi dan wawancara. Pengambilan datadilakukan terhadap pihak-pihak yang benar-benar mewakili (puposive sampling). Jenis data terdiri atas dua yaitu data primer meliputi rata-rata jumlah trip, produksi, alat tangkap dan hasil tangkapan dan data sekunder meliputi data hasil tangkapan 5 tahun terakhir, jumlah trip, jumlah alat tangkap dan data hasil tangkapan per alat tangkap. Analisis data dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, analisis stok sumberdaya ikan, analisis pemilihan alat yang dapat dikembangkan dan analisis SWOT dalam menganalisis penyusunan strategi. Berdasarkan hasil dari analisis mengestimasi sumberdaya ikan layang di Kabupaten Donggala maka perairan Donggala memiliki produksi lestari (Hmsy) sebesar 166,87 ton/tahun dengan effort optimal sebesar 1425 trip/tahun. Alat tangkap yang perlu dikembangkan dan mendapat prioritas adalah alat tangkap gillnet. Hasil analisis SWOT didapatkan alternatif rumusan strategi dalam pemanfaatan ikan layang di Kabupaten Donggala adalah ; 1) Mengoptimalkan fungsi cold storage, 2) Pemberian penyuluhan kepada nelayan secara berkala, 3) Koperasi dikelola dengan baik, agar nelayan bisa mendapatkan modal usaha dengan bunga ringan, 4) Pengaturan nelayan andon agar tidak terjadi konflik, 5) Perluasan daerah penangkapan, 6) Mengatur lokasi yang dijadikan untuk dermaga kapal tongkang yang membawa hasil penambangan. Keyword:Alat tangkap pilihan, ikan layang, Kabupaten Donggala, MSY, SWOT.
Judul: Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal yang berkelanjutan di perairan Tegal Jawa Tengah Abstrak:Dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, informasi tentang alat tangkap yang selektif sangat penting terutama untuk penentuan jenis dan ukuran ikan yang akan ditangkap. Pengurangan hasil tangkapan yang tidak diinginkan atau by-catch merupakan persyaratan bagi unit penangkapan ikan yang bertanggung jawab, sesuai dengan code of conduct for responsible fisheries. Alat tangkap jenis trawl hingga saat ini masih merupakan jenis alat tangkap yang paling efektif dan ekonomis untuk menangkap berbagai jenis komoditi ikan dan udang. Alat tangkap ini mempunyai nilai selektivitas yang paling rendah dibandingkan dengan alat tangkap lainnya, karena sangat beragamnya hasil tangkapan, baik dari segi ukuran ikan maupun jenis ikannya. Hal ini mengakibatkan kelestarian sumberdaya ikan demersal menjadi terancam. Apalagi dengan banyaknya alat tangkap yang sejenis atau hasil modifikasi dari trawl seperti arad, yang banyak dimiliki oleh nelayan dan dioperasikan disekitar perairan pantai, menjadikan sumberdaya ikan demersal semakin berkurang dan mengganggu kelestariannya. Keyword:maximum sustainable Yield, fishing gears, traditional seines, fisher comunity, dogol or cantrang
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Production and Milk Quality of Saanen Does Goat Fed with Moringa oleifera, Sauropus androgynous L. Merr, dan Coleus amboinicus Lour Abstrak:Kambing Saanen merupakan salah satu sumber daya genetik ternak domestik sebagai kambing perah. Kambing Saanen di Indonesia memiliki potensi produksi susu yang lebih banyak dibandingkan dengan kambing perah Indonesia lainnya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa di bawah manajemen yang tepat kambing Saanen menghasilkan lebih banyak susu daripada di bawah kondisi manajemen yang tidak tepat. Peningkatan produksi susu biasanya akan menurunkan total padatan dan kandungan susu lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi konsumsi pakan dan metabolit darah untuk mengoptimalkan produksi dan kualitas susu dengan konsentrat alternatif menggunakan tanaman pakan seperti Moringa oleifera atau kelor (R1), Sauropus androgynus atau katuk (R2) and Coleus amboinicus Lour atau torbangun (R3) yang dikenal efektif untuk meningkatkan produksi susu pada fase laktasi dibandingkan dengan ampas kecap (R0). Enam belas kambing betina pada laktasi pertama (kisaran berat badan: 29,3–52,4 kg) dikelompokkan dalam 4 kelompok dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Produksi susu dan sisa pakan harian diukur dimulai dari hari ke-8 awal laktasi (periode pasca kolostrum) hingga hari ke-180 (penelitian dilaksanakan selama 173 hari). Sampel susu untuk analisis kualitas susu, asam amino dan asam lemak diambil 4 kali pada hari ke-8, 60, 120 dan 180 selama masa laktasi. Analisa metabolit darah dilakukan sebanyak 3 kali pada hari ke-8, 90, 180 selama masa laktasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi lemak berbeda nyata pada R0 (80,57±17,3 g h-1) dan diikuti R2, R3 dan R1 (66,39±2,24; 61,26±11,64; 60,16±2,66 g h-1). Metabolit darah tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan dapat mendukung nutrient darah sebagai precursor kualitas susu dengan konsentrasi yang sama dan produksi susu tidak berbeda nyata antar perlakuan, namun perlakuan yang menggunakan pakan alternatif ketiga jenis tanaman tersebut mengalami peningkatan dengan rataan sebesar 15,6% dibandingkan dengan kontrol. pH susu berbeda nyata pada R3 (6,59±0,07) dan R2 (6,56±0,07) dibandingkan dengan R0 (6,42±0,07). Asam amino esensial pada lisin susu kambing berbeda nyata pada R0 dan R3, hal ini mungkin disebabkan kandungan asam amino pakan berpengaruh terhadap kandungan asam amino susu dimana lisin R0 (0,059±0,009%) lebih tinggi daripada R3 (0,048±0,002%). Komposisi asam amino terhadap protein adalah 40,43%, yang terdiri atas asam amino esensial 17,42% dan asam amino non-esensial 22,96%. Asam lemak rantai sedang (asam palmitat) berbeda nyata antar perlakuan. Asam lemak R0 (23,521 ± 0,677%) paling rendah dibandingkan R1 (24,594 ± 1,428%), R2 (26,097 ± 1,178%) dan R3 (25,614 ±1,789%). Omega 3 dan CLA (Conjugated Linoleic Acid) dalam susu tidak berbeda nyata antar perlakuan namun pada pakan substitusi (R1, R2 dan R3) mengalami peningkatan dengan rataan sebesar 16,26% dan 37,14% dibandingkan kontrol. Efisiensi produksi susu yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar perlakuan dengan rataan sebesar 8,71±1,91% dan efisiensi protein susu sebesar 16,37±3,84% meningkat dibandingkan kontrol. Rataan persistensi susu sebesar 97,13% namun pendapatan berdasarkan pakan (IOFC) pada pakan substitusi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pemberian pakan substitusi kelor, katuk dan torbangun dengan tingkat konsumsi yang sama, tidak merubah kualitas metabolit darah dapat menaikkan produksi susu sebesar 15,6% dari kontrol serta kualitas susu terutama asam lemak rantai sedang dan omega 3 tanpa mengubah kandungan asam amino dan diperlukannya strategi penggunaan pakan substitusi tersebut dengan harga jual susu yang lebih tinggi. Keyword:efficiency, feed consumption, milk quality, persistency, Saanen doe
Judul: Modifikasi Biohidrogenasi Rumen dan Suplementasi Asam Lemak Tidak Jenuh untuk Meningkatkan Asam Linoleat Terkonjugasi dalam Susu Abstrak:Recently, people have become increasingly aware of their health by consuming bioactive compounds such as Conjugated Linoleic Acid (CLA) found in CLA-rich milk. Various factors, such as the type of feed, environmental conditions, fatty acid content, and biohydrogenation processes in the rumen, influence the synthesis of CLA in milk. To date, there has been limited research on optimizing feed selection, environmental conditions, fatty acid (FA) content in the feed, and protection against biohydrogenation in the rumen to produce CLA-rich milk. In general, this research aims to produce CLA-rich milk through a series of studies with specific objectives: (1) Selecting the type of forage, its environmental origin, and in vitro fermentation biohydrogenation processes that have the potential to provide precursors and the best conditions for CLA synthesis, (2) Choosing the supplementation of high unsaturated fatty acid (UFA) oils and their inclusion levels in the diet that do not disrupt rumen fermentation and digestion, and (3) Testing the diet with the best forage type and protected oil supplements to achieve the highest milk production and CLA content. This research's first phase was to select the type of grass, its origin, and harvest age that contains the best FAs for healthy milk fat synthesis. Forage was the primary and most cost-effective source of FAs, including CLA, which influences milk FAs. The first phase of the research aims to analyze fermentation, digestibility, biohydrogenation, nutritional composition, and FAs of diets consisting of elephant grass (EG) and king grass (KG). The forage was obtained from highland (Pangalengan Regency) and lowland (Dramaga Regency) areas, with three different harvest ages (1, 1.5, and 2 months). The diets were then analyzed for their nutrition and FAs. In vitro research was conducted to analyze in vitro fermentation, biohydrogenation, and digestibility. The treatments showed significant differences in NH3 levels, ranging from 5.31 to 8.86 mM. The highest NH3 levels were found in diets containing highland EG harvested at 1.5 months. Dry matter digestibility (DMD) values ranged from 58.27 – 64.39 %, and organic matter digestibility (OMD) values ranged from 61.07 – 67.18 %. Different digestibility values were found for different harvest ages, with an interaction between elevation and harvest age. This aligns with the content of cellulose, neutral detergent fiber (NDF), and lignin in the grass. The highest digestibility was found in EG at 1.5 months. Diets containing KG significantly produced higher C18:0 and trans C18:1 than diets containing EG. The lower content of C18:0 and trans C18:1 in EG diets was likely due to partial biohydrogenation processes. Inhibition of the biohydrogenation process was suspected to be caused by the phenolic content in EG grass. Thus, it can be concluded that highland EG at 1.5 months was a potential diet to support healthier FA production in milk. The study's second stage was to choose the high UFA oil supplementation used. High UFA supplementation oil is believed to improve milk FA, including CLA. The study aimed to analyze the effect of oil high in UFA supplementation on the fermentation and digestibility of the ration. The ration contains 40 % EG and 60 % commercial concentrate. The ration was then supplemented by peanut, soybean, olive, and lemuru fish oil with three different levels (0, 2, 4 %). The oils were analyzed for their FA profile. In vitro study was done to analyze the fermentation and digestibility. There were significant differences in pH in the range 6.81–7.13. The highest pH was found in a ration supplemented with olive and peanut oil. The DMD were 65.38–69.61 %, and OMD were 67.29–71.72 %. Significant differences in DMD were found in different levels, significantly decreasing in 4 % supplementation. OMD was found to be significantly different in level and oil types. The highest OMD was found at a ration supplemented by lemuru oil. The proportion of nC5 decreases significantly as oil supplementation increases. No significant differences were found in C2, C4, and C2/C3 ratios that were important in estimating milk fat synthesis. In conclusion, the ration with lemuru oil supplementation is a potential ration to further modification to support healthier FA production in milk. The last stage was an in vivo trial. Lemuru oil supplementation in dairy cow rations in vivo has shown no adverse effect on rumen fermentative, and it has the potency to act as a high-energy feed to meet the needs of environmental challenges in livestock in tropical regions such as Indonesia. This last stage study aimed to examine the effect of protected fat supplementation from calcium (Ca) soap lemuru fish oil and prill fat on the production and quality of milk FAs in lactating dairy cows in lowland areas, Bogor Regency, Indonesia. The 16 lactating dairy cows were randomly assigned into four treatments and four groups (4 × 4). The four treatments consist of control (C), 1 % Ca soap lemuru oil (1%LS), 2 % Ca soap lemuru oil (2%LS), and 2 % prill fat (2%PF). The four treatments acted as fixed factors, each cow acted as a random factor, data were analyzed using Mixed-Design ANOVA, and significant differences were further analyzed using DUNCAN. Significant differences were found in morning milk production, fat content, nutrient consumption, methane gas production, and ration cost (Rp/cow/day). Morning milk production increased in rations with fat supplementation, with the highest increase in supplementation at 2 %. An increase in milk fat content was found in the 1%LS treatment, and milk fat depression was found in the 2%LS and 2%PF treatments. Nutrient consumption remained unchanged in the 1%LS treatment but decreased in the 2%LS and 2%PF treatments, except for EE consumption, which increased in the Ca soap treatment. There was a tendency for increased methane production in the Ca soap treatment. The increase in feed price (Rp/cow/day) did not affect the feed price per liter of milk, with a tendency for increased efficiency in rations with fat supplementation. In conclusion, the 1%LS treatment exhibited higher milk fat content and production than the other treatments. Keyword:biohydrogenation products, calcium soap, digestibility, fatty acid, lemuru oil
Judul: Aksi kolektif masyarakat dalam reforestasi di Biak Papua Abstrak:Deforestation has always been part of an interesting issue, related to the efforts of management and conservation of forest and their ecosystems. Deforestation rate even become and important and crucial point to legitinize, what efforts should be done ... Keyword:
Judul: Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren (Konstruksi Rasionalitas Ulama Dan Perubahan Peran Lembaga Tradisional) Abstrak:Kajian tentang Pesantren sudah banyak dilakukan, baik oleh peneliti dalam negeri maupun maupun peneliti asing, namun penelitian pesantren dengan setting sosio ekonomi pedesaan belum banyak dilakukan. Pesantren dan kyai tidak dapat dipisahkan dari sejarah desa, terutama desa-desa di pulau Jawa. Pesantren yang pada awalnya adalah lembaga pendidikan, seiring dengan perjalanannya, berperan juga pada fungsi sosio politik. Dengan peran sosio politiknya, pesantren harus bersinggungan dengan kekuasaan. Peran sosio politik pesantren, sekalipun tidak sekeras pada masa kolonial ataupun pada pasca kemerdekaan, tetap ada sampai saat ini. Munculnya isu ekonomi syariah dan pembangkitan ekonomi Islam di Indonesia juga mempengaruhi pesantren sebagai lembaga tradisional masyarakat Islam Indonesia. Saat ini beberapa pesantren memunculkan isu tentang kemandirian ekonomi mendampingi peran pendidikan yang sudah sejak lama dijalaninya. Dengan peran sosio ekonominya, menjadi logis untuk mengaitkan pesantren dengan peta kelas menengah dan demokratisasi di Indonesia pada saat ini. Penelitian ini secara umum dilakukan untuk melihat bagaimana struktur dan nilai-nilai ekonomi pesantren bertransformasi pada kondisi dinamis sosial politik saat ini, serta bagaimana peran kyai dalam proses transformasi tersebut. Selanjutnya dengan cara menganalisis dan mengkonstruksi ingin diketahui: (1) bentuk-bentuk kebersinggungan pesantren dengan dinamika sosial dan politik, (2) proses pembentukan ruang-ruang ekonomi pesantren, (3) proses rasionalisasi struktur pada ruang–ruang ekonomi pesantren, (4) nilai-nilai yang mengisi struktur ruang-ruang ekonomi pesantren, (5) dampak struktur dan nilai-nilai yang ada pada ruang-ruang ekonomi pesantren terhadap masyarakat di sekelilingnya,dan (6) struktur dan nilai-nilai pesantren yang dikomparasi dengan nilai ekonomi kapitalisme. Tujuan-tujuan tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan peran dan posisi pesantren pada peran sosio ekonominya di pedesaan, serta mengkaitkannya dengan isu kelas menengah dan demokratisasi. Tujuan ke enam dari penelitian juga akan dimanfaatkan untuk merespon teori Weber mengenai The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism. Secara purposive, penelitian mengambil subyek kasus di dua pesantren yaitu: pondok pesantren dan pimpinan pondok Pesantren (ulama) Roudlatul Ulum Cidahu Kabupaten Pandeglang Banten, dan pondok dan pondok pimpinan pondok pesantren Sidogiri, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Studi ini menggunakan fieldwork, di mana peneliti hadir secara fisik di lokasi dan institusi untuk mengobservasi dan mencatat segalanya secara langsung. Untuk melaksanakan fieldwork, peneliti menggunakan kerangka multi metode yaitu partisipatif, historis dan etnografis secara bersamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perebutan pengaruh antara penguasa dan pesantren, hal tersebut disebabkan karena keduanya merupakan alat 6 untuk mengatur kehidupan masyarakat menuju bonnum commune (kebaikan bersama). Hubungan antara pesantren dengan penguasa atau negara cenderung bersifat latent conflict. Pesantren mampu bertahan dengan situasi latent conflict dengan dinamika sosial politik karena memiliki kemampuan melakukan proses katabolisasi (catabolism) ruang-ruang sosial yang dimilikinya menjadi ruangruang ekonomi. Kemampuan berkatabolisasi, tidak bisa lepas karena adanya tradisi-tradisi akulturatif, sufism dan kepatuhan yang dimiliki sejak awal kehadirannya. Hasil penelitian menunjukkan setidaknya ada lima fase katabolisme yang terjadi di pesantren dari awal sejarahnya hingga saat ini. Dari poses katabolisme tersebut, dapat dipetakan pertumbuhan komunitas pesantren. Dari sisi kohesivitas sosial, terdapat dua komunitas pesantren yaitu komunitas kental (concentrate community) dengan kohesivitas tinggi dan komunitas cair ( liquid community) dengan kohesivitas yang lebih rendah. Mengkatabolisasi ruang-ruang sosial menjadi ruang-ruang ekonomi secara rasional dilakukan agar agama menemukan sisi profannya. Agama menjadi realistis sebagai alat menjalani kehidupan. Rasionalisasi tersebut, dalam terminologi islam dikenal sebagai Insijâm. Dengan hadirnya ruang-ruang ekonomi pesantren, agama menjadi sebuah substansiasi bukan formalisasi. . Sejalan dengan fase katabolisme yang dilaluinya, dalam hal penyerapan dan pengelolaan modal didapati dua bentuk tahapan ekonomi di pesantren yaitu kapitalistik embrionis (embryonic capitalistic) dan kapitalistik matang (mature capitalistic). Sedangkan sistem akumulasi modal menghasilkan sistem ekonomi-saluran (drainage economy) dan ekonomi-kolam (pond economy). Ekonomi saluran menunjukkan sisi sosialisme pesantren, sedangkan ekonomi kolam adalah representasi penguatan modal kapitalistik. Ekonomi pesantren merupakan ekonomi sinkretik yang memadukan sosialisme sekaligus penguatan modal. Perbedaan kapitalistis pesantren dengan kapitalisme adalah pada disisipinya nilai-nilai Islam sebagai orientasi ekonomi. Pertama adanya keterlibatan seluruh elemen pesantren, baik yang di pinggir atau yang di tengah pusaran kekuasaan dalam sebuah proses interaksi berbagi manfaat. Kedua, adanya proses interaksi dalam bentuk dialektika kepatuhan sehingga tidak terjadi free fight liberalism yang didasarkan pada kekuatan pemilikan modal semata. Ketiga, keuntungan sebagai surplus usaha adalah cara untuk mempertahankan kemandirian dan perlindungan umat bukan sekadar representasi dari kepentingan sekelompok elite pesantren. Berkaitan dengan isu ekonomi, politik dan demokrasi, transformasi sosio ekonomi yang terjadi di pesantren melalui proses katabolisme adalah sebuah "strategi bertahan hidup" dalam dunia modern. Penelitian ini mendapatkan fakta bahwa pesantren memiliki resiliensi sosial, mempunyai kemampuan mengembangkan komunitas, mempunyai kemampuan membangun tradisi keilmuan dan budaya, dan menunjukkan kemampuan ekonomi untuk membiayai dirinya. Dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya, pesantren dapat disebut sebagai kelompok sosial kelas menengah dalam sistem sosial Indonesia. Keyword:Transformasi, Konflik Laten, Katabolisme, Komunitas Kental, Komunitas Cair, Insijam, Kapitalistik Embrionis, Kapitalisme Matang, Ekonomi Saluran, Ekonomi Kolam, kelas menengah, Ekonomi sinkretik
Judul: Transformasi Kelembagaan Keuangan Mikro Islam dalam Perubahan Ekonomi Pedesaan (Studi Kasus Baitul Maal Wat Tamwil di Kabupaten Sragen) Abstrak:Sistem ekonomi pedesaan mengalami perubahan terus menerus menuju sistem ekonomi pasar yang individualistik dan liberal berwatak perkotaan. Ekonomi pasar berlangsung dengan orientasi meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Perubahan tersebut telah menggerus sistem ekonomi pedesaan yang awalnya bersifat tradisional, dengan organisasi komunitas sebagai dasar interaksi sosial dan prinsip – prinsip moral yang berorientasi pemenuhan kebutuhan pokok. Prinsip moral direalisasikan melalui interaksi sosial masyarakat desa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokoknya dari komunitas, tidak untuk mendapatkan keuntungan sebanyak – banyaknya. Penguatan sistem ekonomi pasar memiliki efek sosial yang semakin luas pada terkikisnya karakteristik utama masyarakat pedesaan (Hayami dan Kikuchi, 1987: 21 – 22). Dominasi ekonomi pasar di pedesaan meningkatkan kerentanan masyarakat pedesaan. Karakteristik ekonomi pasar yang kapitalistik meresap ke pedesaan merupakan bagian dari intervensi ekonomi perkotaan. Sistem ekonomi pasar kapitalistik (konvensional) berupaya menyejahterakan manusia melalui percepatan ekspansi kekayaan dan maksimalisasi produksi serta pemenuhan “keinginan” (want) menurut preferensi individual (Chapra, 2000:18). Sistem ekonomi pasar memanfaatkan pasar sebagai mekanisme pemerataan distribusi dan persaingan yang sempurna untuk mencapai kesejahteraan. Tetapi sebaliknya; muncul monopoli, ketimpangan, pengendalian akses oleh sumber-sumber keuangan besar, ketidakjujuran, dan berbagai kendala lainnya (Chapra, 2000: 53). Kegagalan sistem ekonomi kapitalis (konvensional) dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat (khususnya pedesaan), karena beberapa kelemahan dalam prinsip-prinsipnya. Prinsip kepentingan diri individu sebagai sesuatu yang sakral (menurut Adam Smith), telah memalingkannya dari aspek moral dan tanggung jawab sosial. Sifat individualis menyebabkan tidak peduli atas konsekuensi dari tindakan-tindakannya terhadap kondisi sosial di sekitarnya (Chapra, 2000:29). Kelembagaan keuangan mikro Islam bertransformasi dalam rangka mengkoreksi kegagalan sistem ekonomi pasar kapitalistik diantara perubahan ekonomi pedesaan. Transformasi kelembagaan keuangan mikro Islam berlangsung dengan memanfaatkan dan mempengaruhi spirit keislaman masyarakat. Faktor utama yang menentukan keberhasilan transformasi adalah akktor penggerak dan struktur serta kultur masyarakat pedesaan. Struktur dan kultur masyarakat pedesaan yang terbuka memudahkan penerimaan wacana dan praksis kelembagaan keuangan mikro Islam. Ada tiga aktor penggerak transformasi kelembagaan keuangan mikro Islam; elit agama (ulama dan cendekiawan muslim), pasar (pengusaha muslim), dan negara. Secara struktural pelembagaannya berkompetisi diantara kelembagaan keuangan mikro konvensional yang lebih dahulu berkembang di pedesaan (BRI Unit Desa dan BPR). Pelembagaan keuangan mikro Islam melalui pembentukan BMT secara v massif oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan memanfaatkan jaringan struktural di daerah - daerah. Kondisi ini mendorong peneliti menarik meneliti; Mengapa kelembagaan keuangan mikro Islam bertransformasi dalam perubahan ekonomi pedesaan ? Penelitian ini dilakukan lebih satu tahun, dengan lokasi pedesaan Kabupaten Sragen. Teknik pengumpulan datanya; wawancara mendalam, dokumentasi dan focus group discussion (FGD). Wawancara mendalam dilakukan pada 25 informan meliputi; pengelola BMT, pemerintah daerah, tokoh agama, dan anggota BMT. Informan dipilih secara purposive atas pertimbangan memiliki informasi dan pengetahuan tentang Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Dokumentasi dilakukan dengan memanfaatkan berbagai dokumen yang berisi informasi tentang BMT dan kondisi sosial ekonomi pedesaan Kabupaten Sragen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transformasi kelembagaan keuangan mikro Islam melalui BMT telah berlangsung kurang lebih dua dekade di pedesaan Kabupaten Sragen. Tranformasi berlangsung pada aspek struktur dan kultur masyarakat pedesaan. Transformasi struktural kelembagaan ekonomi Islam melalui pembentukan BMT secara massif dengan mempraktikan prinsip-prinsip ekonomi Islam. BMT membantu pemenuhan permodalan bagi usaha mikro, kecil dan menengah masyarakat pedesaan. Operasional BMT menggunakan dasar hukum koperasi, sehingga prinsip kooperativisme mendasari kinerjanya. Kerjasama berlangsung atas kesepakatan dan kepercayaan di antara anggota. Adanya kerjasama yang terpadu bisa mewujudkan tercapainya tujuan ekonomi Islam (maqasid syariah). Faktor sumber daya insani, pemerintah dan jaringan sosial sangat menentukan tercapainya tujuan. Secara kultural transformasi belum sepenuhnya tercapai dalam operasional kelembagaan dan kehidupan sehari – hari masyarakat pedesaan. Kondisi ini terjadi karena rumitnya prinsip - prinsip ekonomi Islam untuk dipraktikkan, resiko yang harus ditanggung pengelola BMT, belum semua masyarakat pengguna dan pengelola memahami prinsip ekonomi Islam dan keterbatasan sumber daya insani. Akibatnya transformasi BMT belum memberikan kemaslahatan secara luas pada masyarakat di pedesaan. Berbagai upaya telah dilakukan melalui; sosialisasi, pendidikan dan latihan, dan kajian-kajian. Transformasi BMT berlangsung dalam polarisasi sistem ekonomi pedesaan, dengan dominasi sistem ekonomi pasar kapitalis atas sistem ekonomi tradisionalis. Dominasi tersebut berlangsung melalui; diversifikasi, industrialisasi, perdagangan, dan kelembagaan keuangan (perbankan dan non perbankan). Peran negara sangat strategis untuk menciptakan keadilan. Kebijakan negara melalui pengembangan kelembagaan, sumber daya manusia, infrastruktur, dan anggaran. Merujuk pada hasil penelitian tersebut maka “transformasi kelembagaan keuangan mikro Islam berlangsung pada aras struktural dan kultural, dengan dominasi aras struktural dibandingkan kultural sehingga belum mampu menciptakan kemaslahatan lebih luas dalam perubahan ekonomi pedesaan”. Temuan atau fakta inilah yang menjadi “novelti” dari penelitian disertasi. Keyword:maqasid syariah, polarisasi ekonomi, komunitas pedesaan
Judul: Chrysantheum B carlavirus (CVB) that infected Chrysanthemum in Indonesia: characterization and development of detection methode Abstrak:Infection of chrysantheum B carlavirus (CVB) in chrysanthemum has reported from many countries where the plants were cultivated. In a survey of chrysanthemum growing fields (and greenhouse) in Cianjur regency, West Java, Indonesia, some chrysanthemum cultivars exhibited a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves; and color breaking of flowers. Keyword:biological characters, molecular characters, serological technique, electron microscopy analysis, West java
Judul: Karakteristik Antimikrobial, Antioksidan, Fisikokimia, Sensori Daging Sapi dan Beef Patties yang Ditambahkan Ekstrak Daun Albizia lebbeckoides (DC.) Benth. Abstrak:Daging dan produk olahannya seperti beef patties merupakan pangan hewani yang sangat diminati oleh konsumen. Namun produk pangan ini mudah mengalami kerusakan atau penurunan mutu akibat kontaminasi mikroorganisme dan oksidasi lipida. Penggunaan ekstrak tanaman yang berfungsi sebagai antimikroba dan antioksidan alami merupakan salah satu alternatif dalam mencegah kontaminasi mikroba dan oksidasi lipida pada daging dan produk olahannya. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai antimikroba dan antioksidan alami adalah Albizia lebbeckoides (DC.) Benth, yang oleh masyarakat Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan dikenal dengan nama “tanaman cemba” . Daun cemba telah lama dimanfaatkan sebagai bumbu masak pada olahan daging sapi atau kerbau. Jenis masakan ini dikenal dengan nama “nasu cemba”. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi aktivitas antimikroba, antioksidan, karakteristik fisikokimia dan sensori daging sapi dan beef patties yang ditambahkan ekstrak daun cemba (EDC). Secara garis besar untuk menjawab tujuan tersebut, penelitian ini dibagi ke dalam empat tahap, yaitu 1) komponen fitokimia, aktivitas antibakteri dan antioksidan ekstrak daun Albizia lebbeckoides (DC.) Benth; 2) mekanisme inaktivasi ekstrak daun cemba terhadap bakteri Staphylococcus aureus; 3) karakteristik fisikokimia, antibakteri, antioksidan dan sensori daging sapi yang ditambahkan ekstrak daun cemba; dan 4) karakteristik fisikokimia, antibakteri, antioksidan dan sensori beef patties yang ditambahkan ekstrak daun cemba. Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa EDC yang diekstraksi dengan etanol (EtOH), etanol food grade (EtFGOH), dan air mengandung alkaloida, flavonoida, saponin, triterpenoida, dan tannin. EDC memiliki kapasitas antioksidan dengan kisaran sebesar 11.58─14.72 EVC mg g-1 ekstrak dan IC50 sebesar 2.82─3.69 mg mL-1 ekstrak. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan semua EDC yang diekstraksi dengan tiga jenis pelarut mampu menghambat aktivitas bakteri Escherichia coli ATCC 8739, S. aureus ATCC 6538, Salmonella Typhimurium ATCC 14028, Bacillus cereus ATCC 10876, Listeria monocytogenes ATCC 7644, dan Pseudomonas auregenosa ATCC 27853. Zona hambat terbesar (P<0.05) ditunjukkan oleh EDC yang diekstraksi dengan EtOH (15.16±0.56 mm). Kemampuan EDC dalam menghambat dan membunuh enam jenis bakteri uji ditunjukkan melalui nilai MIC yang berkisar 30─250 mg mL-1 dan MBC berkisar 32─260 mg mL-1. Hasil uji time-kill menunjukkan bahwa EDC yang diekstrak dengan pelarut air pada konsentrasi 120 mg mL-1 (1 MIC) dan 240 mg mL-1 (2 MIC) mampu membunuh bakteri S. aureus dengan lama kontak 4─8 jam. Hasil pengamatan SEM, EDC mampu membunuh S. aureus dengan cara merusak dinding sel bakteri. Daging sapi yang ditambahkan EDC yang diekstraksi dengan air memiliki nilai aw dan pH yang lebih rendah dibandingkan kontrol, sementara daya mengikat air daging yang ditambahkan EDC meningkat. Penambahan EDC dengan konsentrasi 240 mg mL-1 (2 MIC) menyebabkan daging sapi lebih empuk (P<0.05) dibandingkan daging kontrol dengan nilai shear force (5.60±0.41 kg cm2 -1). EDC efektif memperlambat perubahan warna daging selama masa penyimpanan dibandingkan kontrol. Penambahan EDC 1 MIC dan 2 MIC mampu menghambat pertumbuhan bakteri mesofilik pada daging masing-masing sebanyak 1.5 dan 2.1 log CFU g-1 sampel. EDC meningkatkan kandungan total fenolik daging sapi, aktivitas antioksidan sehingga diperoleh nilai TBARS yang lebih rendah (P<0.05) dibandingkan kontrol. Penambahan EDC berpengaruh terhadap warna dan aroma, tetapi tidak berpengaruh terhadap konsistensi daging mentah. Penambahan EDC hanya berpengaruh terhadap tingkat kesukaan warna, sedangkan untuk aroma, konsistensi dan penerimaan umum tidak berbeda. Penilaian mutu dan hedonik pada daging matang antara daging yang ditambahkan EDC dan kontrol tidak berbeda pada atribut warna, aroma, keempukan, juiciness dan penerimaan umum. Beef patties yang ditambahkan EDC menghasilkan nilai aw dan pH yang lebih rendah (P<0.05) dibandingkan beef patties kontrol dan BHT. Nilai aw beef patties selama 12 hari penyimpanan berkisar 0.86─0.90, sementara nilai pH berkisar 5.37─5.58. Penambahan EDC 1% mampu memperlambat perubahan warna beef patties sampai penyimpanan 12 hari. Penambahan EDC 0.5% dan 1% mampu menghambat pertumbuhan bakteri mesofilik dan psikrofilik beef patties masing-masing berkisar 1.51─2.2 log CFU g-1 sampel dan 0.33─0.52 log CFU g -1 sampel. Penambahan EDC meningkatkan kandungan total fenolik beef patties, aktivitas penghambatan radikal DPPH dan kapasitas antioksidan. EDC 2% memiliki kemampuan menghambat oksidasi lemak setara dengan BHT 0.01%. Penambahan EDC menghambat penurunan kandungan PUFA pada beef patties selama 12 hari penyimpanan dingin. Kandungan PUFA beef patties dipengaruhi oleh interaksi antara formula dan lama penyimpanan. Penurunan kandungan PUFA pada kontrol, BHT dan EDC tidak berbeda (0.09%), namun penambahan EDC 1% menghasilkan penurunan PUFA yang terendah (0.06%). Penambahan EDC menyebabkan tingkat kemerahan warna beef patties menurun. Skor mutu hedonik dan kesukaan panelis pada warna, aroma, dan ketengikan beef patties dipengaruhi oleh interaksi antara penambahan EDC dengan lama penyimpanan. Pada hari ke-0, warna beef patties berbeda yang disebabkan oleh ekstrak yang berwarna kecoklatan. Pada penyimpanan hari ke-6 dan 12 perbedaan warna menjadi tidak nyata. Skor tingkat kesukaan panelis terhadap warna, aroma dan penerimaan umum beef patties yang ditambahkan EDC, BHT, dan kontrol berkisar 3─4, yang menunjukkan antara agak suka hingga suka. Berdasarkan hasil dari seluruh tahap penelitian, dapat disimpulkan bahwa EDC mengandung komponen fitokimia yang berfungsi sebagai antimikroba dan antioksidan yang dapat digunakan untuk mencegah penurunan mutu dan kerusakan daging dan produk olahannya (beef patties) akibat kontaminasi bakteri dan oksidasi lemak selama penyimpanan dingin. Keyword:antibakteri, antioksidan, beef patty, ekstrak daun cemba, daging sapi
Judul: Bau daging dan performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi komposisi antioksidan (Vitamin A, C, dan E) dalam pakan Abstrak:Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji penggunaan antioksidan untuk mengurangi atau menghilangkan bau amis/anyir (off-odor) daging ternak itik. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua percobaan. Percobaan pertama menetapkan galur ternak dan jenis lemak pakan yang menghasilkan intensitas off-odor daging itik yang lebih kuat. Percobaan menggunakan rancangan faktorial dua faktor, yaitu faktor galur ternak dan faktor jenis lemak pakan dalam Rancangan Acak Lengkap. Faktor pertama dalam percobaan ini adalah dua galur ternak itik yaitu galur alabio dan galur cihateup, masing-masing sebanyak 40 ekor jantan. Faktor kedua yaitu empat macam ransum berdasarkan penggunaan jenis lemak dalam ransum, yaitu ransum tanpa penambahan sumber lemak (kontrol, Ko), ransum dengan pemberian lemak sapi (LS), minyak kedelai (MKd), dan minyak kelapa (MKp). Pemakaian masing-masing jenis lemak dalam ransum sebanyak 7.5 persen. Variabel yang dipelajari meliputi performa ternak, konsentrasi lemak dan komposisi asam-asam lemak, intensitas dan kualitas off-odor daging. Analisis sensori dilaksanakan dengan melibatkan 10 -14 panelis terlatih yang melakukan pengujian dengan metode uji ranking, skalar dan deskripsi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perbedaan galur ternak dan jenis lemak pakan tidak saling berinteraksi dalam mempengaruhi performa ternak dan kandungan lemak. Itik cihateup memiliki intensitas off-odor daging yang lebih tinggi (P < 0.05) daripada itik alabio. Analisis sensori deskriptif memperlihatkan bahwa jenis off-odor pada daging itik terdiri atas bau tengik (rancid), bau amis (fishy), bau lemak (fatty), bau jamur (moldy), bau langu (beany), dan bau tanah (earthy). Penggunaan minyak kelapa di dalam ransum ternak, menghasilkan bau fishy yang semakin kuat, baik pada itik alabio maupun pada itik cihateup. Hasil dari percobaan pertama diperoleh bahwa itik galur cihateup yang diberi ransum yang memakai minyak kelapa memiliki intensitas off-odor daging yang sangat kuat. Percobaan kedua menggunakan sebanyak 80 ekor itik cihateup jantan yang diberi ransum mengandung minyak kelapa. Pengujian yang dilakukan adalah efektivitas suplementasi antioksidan berbasis pada α-tokoferil asetat (vitamin E, 400 IU/kg) yang dikombinasikan dengan vitamin A (20 000 IU/kg) dan atau vitamin C (250 mg/kg). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suplementasi antioksidan tidak mempengaruhi performa ternak dan komposisi asam-asam lemak, tetapi nyata (P < 0.05) dalam mempengaruhi konsentrasi lemak daging, hati, kulit, dan tunggir. Penggunaan kombinasi antioksidan vitamin E dengan C, tidak saja menurunkan konsentrasi kandungan lemak, tetapi juga memberi pengaruh yang nyata dalam mengurangi intensitas offodor daging itik. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa suplementasi antioksidan vitamin E, baik tunggal ataupun dalam bentuk kombinasi dengan vitamin A atau C, dapat mempertahankan stabilitas lipid daging. Keyword:Meat off-odor, Alabio duck, Cihateup duck, Dietary fats, Antioxidants, Reaksi Mailard, Degradasi lipid, Oksidasi lipid, Interaksi vitamin
Judul: The impact of fiscal transfer on poverty in Indonesia : a policy simulation analysis Abstrak:Poverty has always been a serious prob lem until now, and it is closely related with economic growth and income distribution. Various efforts have been conducted to solve these problems. Fiscal decentralization policy in the form of fiscal transfers may be one of the government policies that ar e directly or indirectly expected to have any impact on poverty in Indonesia. Generally, the study is aimed to analyze (1) factors affecting poverty, and (2) the impact of fiscal transfers on poverty in Indonesia. The model of fiscal transfers and poverty that is designed consists of 6 blocks : fiscal, output, labor, per capita expenditure, income distribution, and poverty. The analysis uses an econometric approach with a simultaneous equations model that is consists of 20 structural equations and 7 ident ity equations. The model is estimated using the 2SLS method and the impact of transfer fiscal is analysed using simulation. Keyword:
Judul: Fortifikasi ganda garam dengan iodium dan besi: pengembangan formula, uji stabilitas, bioavailabilitas, dan efikasi Abstrak:Terdapat tiga masalah defisiensi gizi inikro di Indonesia, yaitu Gangguan akibat Kekurangan Iodiurn (GAKI), Anemia Gizi Besi (AGB), dan Kekurangan Vitamin A (KVA). Diantara ketiga masalah tersebut, AGB paling banyak diderita oleh penduduk Indonesia (sekitar 100 juta). Salah satu cara untuk mengatasi AGB adalah fortifikasi. Penelitian ini mengembangkan formula garam fortifikasi ganda iodium dan besi (GFG), menggunakan kalium iodat dan besi elemental sebagai sumber iodium dan besi. Hasil penelitian ini adalah dua macam GFG, yaitu GFGa terdiri atas 50 ppm KIO, dan 100 pprn besi karbonil, serta GFGb terdiri atas 50 ppm KLO3 dan 500 ppm besi karbonil. Uji stabilitas terhadap GFG dilakukati dalaiil dua cara. Pertama, cara fisika melalui uji warna dengan menentukan derajat keputihan menggunakan metode spektrofotometri reflektan. Kedua, cara kimia melalui analisis kadar air dengan metode AOAC, iodium dengan metode Iodometri dan besi dengan metode AAS. Pengujian dilakukan setiap bulan sejak pencarnpuran sampai 6 bidan penyimpanan. Sampel. disimpan di ruangan terbu~ka, tidak kena sinar matahari langsung dan pada temperatur kamar.' Hasilnya menunjukkan bahwa derajat keputihan masih mendekati 100 (statidar warna putih untuk garam), juga tidak terdapat perbedaan signifikan pada kadar iodium. Retenii iodiuln y&g tertahan selama penyimpanan sebesar 96%. Sementara kandungan besi cukup stabil. Uji kristal GFG dengan lnetode difiaksi sinar X menunjukkan tidak terdapat interaksi diantara fortifikan, dan tidak terbentuk senyawa baru. Bioavailabilitas besi elemental lebih dari 100% relatif terhadap ferro sulfat. Serangkaian hasil analisis tersebut menunjukan dckaGnF G sangat stabil pada kondisi tropis. Hasil efikasi GFG pada WUS menunjukkan bahwa setelah mengonsumsi GFG, kadar Hb meningkat 11,52%. Status besi dan ferritin darah juga meningkat. Sementara uji kualitatif asam amino protein diet dengan metode HPLC menghasilkan 17 macam asam amino. Keyword:
Judul: Sintesis Minyak Beriodium Kaya Beta Karoten Dari Minyak Sawit Merah dan Efikasinya Terhadap Pencegahan Defisiensi Iodium Abstrak:Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) masih merupakan salah satu masaiah gizi utama di Indonesia. Hasil survei pemetaan GAKI (Depkes, 19981, menunjukkan bahwa 53,8 juta (27,5 %) anak sekofah dasar di Indonesia yang tinggal di daerah endemik GAKI d e n p nilai Total Goitre Rate (TGR) adalah 5 - 2 30 %. Untuk tujuan pencegahan dan pengobatan, selama ini di daerah endemik GAKI digunakan minyak beriodium dengan bahan dasar minyak kacang tanah (Yodiol). Keyword:
Judul: Shoot architecture and its relation to photosynthesis production, and seed oil content of physic nut (Jatropha curcas L.) Abstrak:Experiments on physic nut were conducted (1) to analyze branching and shoot pattern, and to observe flowering at various shoot architectures, (2) to determine physiological characteristics, leaf phyllotaxis and leaf morphology at canopy for determining reference’s leaf for photosynthetic measurement (3) to study shoot architecture with special emphasis on the number of primary branches that support optimum growth, production and oil content, and (4) to study shoot architecture by managing primary and secondary branches to support growth, production and oil content. Keyword:Pruning, Photosynthesis, Oil content
Judul: Optimalisasi pemanfaatan lahan sebagai upaya pembangunan berkelanjutan Pulau Batam Abstrak:Pulau Batam dengan luas 415 km2, adalah salah satu pulau kecil yang dianggap telah berhasil dibangun baik secara fisik maupun ekonomi karena telah berhasil menghadirkan pertumbuhan ekonomi mencapai 12,57% pada tahun 1997, khususnya melalui investasi internasional. Padahal pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun waktu yang sama hanya 4,65%. Dari gambaran yang menggembirakan tersebut, ternyata juga diikuti oleh dampak-dampak negatif khususnya dampak lingkungan yang muncul di wilayah pesisir pantai. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji kegiatan pembangunan di P. Batam yang difokuskan pada pemanfaatan lahan di P. Batam dan penyimpangannya terhadap master plan yang sudah ada sebagai bahan kajian (lesson learned) untuk pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan; (2) Mengkaji manfaat ekonomi (investasi) sebagai dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pemanfaatan lahan di P. Batam sehingga bisa dijadikan acuan dalam pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah lainnya di Indonesia; dan (3) Memprediksi nilai investasi yang optimal dengan dampak negatif yang minimal dalam pemanfaatan lahan di P. Batam untuk masa mendatang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian meliputi: (1) Analisis Deskriptif/Pragmatif Makro Ekonomi dan Investasi; (2) Analisis Deskriptif/Pragmatif Sosial dan Budaya; (3) Analisis Beban Limbah; (4) Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam dengan GIS; (5) Analisis Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan; dan (6) Analisis Kebijakan dengan Analisis SWOT. Keyword:Pembangunan wilayah, Integrated Coastal Zone Planning and Management (ICZPM), Analisis kebiakan pengembangan wilayah, Analisis SWOT, Analisis Spasial, Sistem dinamik, Pemodelan sistem, Model global Forester, Model optimalisasi pemanfaatan lahan
Judul: Optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Sinjai , Sulawesi Selatan Abstrak:Kawasan pesisir Kabupaten Sinjai memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial, salah satunya adalah untuk budidaya tambak. Permasalahan utama dalam pengembangan budidaya tambak adalah tingginya (loading) nutrien dan bahan organik dari budidaya tambak yang dapat menurunkan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biofisik, kesesuaian peruntukan lahan, kapasitas asimilasi, daya dukung lingkungan dan lahan yang optimal untuk pengembangan budidaya tambak. Metode survei digunakan untuk menilai karakteristik biofisik lingkungan sebagai dasar penentuan kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Analisis kesesuaian peruntukan lahan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS), analisis daya dukung lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan mengunakan program tujuan ganda (LGP). Hasil analisis diperoleh lahan yang sesuai untuk budidaya tambak seluas 1.308,95 ha dengan alokasi 417,22 ha untuk budidaya tradisional dan 891,73 ha untuk semi-intensif dan intensif; 310,90 ha sesuai untuk konservasi mangrove; dan 2.205 ha sesuai peruntukan lain. Volume air yang tersedia di pantai untuk tambak sekitar 68.934.266,17 m3 hr-1, dengan kemampuan asimilasi perairan sebesar 515.570,87 kg. Hasil analisis dengan daya dukung jika semua lahan dimanfaatkan untuk budidaya intensif seluas 245,51 ha. Jika semuanya diperuntukkan semi-intensif seluas 449,93 ha dan tradisional plus seluas 1.473,06 ha. Hasil analisis Skenario-1 (priotitas aspek ekologi), diperoleh alokasi pemanfaatan lahan untuk budidaya intensif seluas 117 ha, 350 ha untuk semi-intensif, 525 ha untuk tradisional plus, 155 untuk polikultur (bandeng dan rumput laut), dan 99,89 ha untuk silvofishery, serta 471,78 ha untuk konservasi mangrove. Hasil Skenario-2 (prioritas aspek sosial) diperoleh alokasi pemanfaatan lahan seluas 117 ha untuk intensif, 370 ha untuk semi-intensif, 426 ha untuk tradisional plus dan 255 ha untuk polikultur bandeng dan rumput laut, kemudian 451,81 ha untuk konservasi mangrove. Hasil Skenario-3 (prioritas aspek ekonomi), mengalokasikan pemanfaatan lahan untuk budidaya intensif seluas 117 ha, 449,92 ha untuk semi-intensif, 426 ha untuk tradisional plus, 255,15 ha untuk polikultur bandeng dan rumput laut, dan 371,92 untuk konservasi mangrove. Keyword:Brackish water ponds culture, Carrying capacity and sustainability, Analisis kesesuaian peruntukan lahan, Pengelolaan sumberdaya pesisir
Judul: Respons hormonal dan imunologis wanita premenopause terhadap minuman fungsional berbahan dasar susu skim yang disuplementasi dengan isoflavon kedelai dan Zn Abstrak:The decrease of ovarian estrogen level in women causes various menopaused systems of premenopausal women. Along with the decrease of estrogen production, immune system also declines causing degenerative diseases to occur. Keyword:
Judul: Phylogenetic relationships and genetic population structure of giant clams (Tridacna crocea and tridacna maxima) in Indonesia Abstrak:There is an increasing concern that heavy-exploitation of marine populations ature populations of giant clam at high risk, leading to long-term consequences to· conservation and fisheries management. Information concerning taxonomy, s tematic, genetic population structure and connectivity of populations are vital for s tial arrangement of marine protected areas (MPAs) and fisheries management fa tne species. However, there is an uncertainty about the relationships between s c·es of Tridacnidae, in particular between species that belong to Chametrachea s· . genus; T. crocea, T maxima and T squamosa, resulted from several studies u.. g different genetic marker and not much is known about connectivity of marine p pulations in the Indonesian Archipelago. This study was carried out in order to el cilfate about the relationships among giant clam species, population structure of crocea and T. maxima, distribution pattern, and connectivity of those giant clam populations across the Indonesian Archipelago. Here we use fragment of 454 bp of the itocnondrial DNA cytochrome c oxidase I gene from T crocea, T maxima, T squamosa, T gigas and several sequences from GenBank as the out groups. The analysis of population structure of T crocea is based on 456 bp fragment of the cytoc::hrome oxidase I gene from 300 individuals collected from 15 localities across the Inda-Malay Archipelago, whereas for T maxima based on 484 bp fragment of the c::ytochrome c oxidase I gene from 211 individuals collected from 14 localities across the Indonesian Archipelago and the Red Sea. The result showed that giant clams formed a monophyletic group. Within Tridacna group, T crocea was closely related to T squamosa than to T maxima and formed monophyletic group. T crocea and T squamosa were sister taxa and sister group to T maxima and T. gigas. T. crocea shows a very strong genetic population structure and isolation by distance, indicating restricted gene flow among almost all sample sites. The observed Cl>₅rvalue of 0.28 is very high compared to other studies on giant clams. According to the pronounced genetic differences, the sample sites can be divided into five groups from West to East: (1) Padang, (2) Java Sea, (3) Makassar Strait (inclwding northern Borneo), (4) eastern coast of Sulawesi (including Sembilan, Komodo, and Kupang), and (5) Biak. This complex genetic population structure and pattern of connectivity can be attributed to the geological history and prevailing current regimes in the Inda-Malay Archipelago. T maxima showed a very strong genetic population structure but limited isolation by distance, indicating restricted gene flow is only among a few sample sites. The observed Cl>₅rvalue of 0.74 is very high compared to other studies on giant clams, even higher than such value in T crocea (0.28) According to the pronounced genetic differences, the sample sites can be divided into four groups from West to East: (1) the Red Sea, (2) Padang (Indian Ocean) and Java Sea, (3) Sulawesi (including Sangalaki, Komodo, and Kupang), and (4) Biak (Western Pacific). Keyword:Phylogeny, Giant clam, Genetic structure, Population
Judul: Reproductive biology, food habits, and population connectivity of horseshoe crab (Xiphosura: Limulidae) in Sunda Shelf area Abstrak:Mimi adalah hewan purba yang mampu bertahan hampir 450 juta tahun dengan bentuk morfologi yang cenderung stabil. Terdapat empat jenis mimi di dunia dan tiga diantaranya dapat ditemukan di perairan Indonesia, yaitu Carcinoscorpius rotundicauda Latreille, 1802, Tachypleus gigas Müller, 1785, dan Tachypleus tridentatus Leach, 1819. Keberadaan ketiga jenis mimi di Indonesia tidak diikuti dengan ketersediaan data yang mencukupi. Informasi dasar tentang biologi mimi di Indonesia belum banyak terungkap. Status konservasi mimi berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species adalah terancam punah untuk T. tridentatus, sedangkan dua lainnya C. rotundicauda dan T. gigas berstatus data deficient atau kurang data. Beberapa negara menyatakan mimi mengalami penurunan populasi dan berpotensi untuk menghadapi risiko kepunahan secara global. Akan tetapi, hingga saat ini data dan informasi biologi mimi di Indonesia masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis karakteristik habitat pemijahan mimi serta beberapa aspek reproduksinya untuk jenis T. gigas di Subang, Jawa Barat, menganalisis jenis makanan mimi serta menguraikan persaingan makanannya berdasarkan DNA-metabarcoding, menganalisis konektivitas populasi yang terdapat di Indonesia untuk jenis T. gigas berdasarkan marka molekuler DNA-mitokondria pada bagian AT-rich untuk mengetahui keterkaitan populasi satu dengan yang lainnya. Metode yang digunakan dalam analisis karakteristik habitat pemijahan adalah pengamatan secara langsung pada bulan penuh dan bulan baru untuk mengetahui keberadaan T. gigas yang sedang memijah dan telur yang telah didepositkan. Pengamatan parameter lingkungan di daerah pemijahan juga diukur untuk mengetahui karakteristik habitatnya. Selanjutnya analisis kebiasaan makanan C. rotundicauda dan T. gigas dilakukan berdasarkan DNA-metabarcoding. Analisis DNA yang berasal dari isi lambung diperoleh dengan tahapan ekstraksi, amplifikasi, elektroforesis, sekuensing DNA, dan pengolahan data bioinformatik. Selain itu, metode serupa juga dilakukan untuk mengetahui konektivitas populasi T. gigas di daerah Paparan Sunda berdasarkan DNA mitokondria bagian AT-rich. Proses analisis data dilakukan dengan menggunakan beberapa perangkat lunak seperti Obitools, RStudio, MEGAX dan DNAsp. Daerah pemijahan mimi yang ditemukan pada penelitian ini terdapat di Subang, Jawa Barat khususnya di Pulau Burung dan Segara Menyan. Indikasi penentuan daerah pemijahan tersebut berdasarkan penemuan sepasang mimi yang sedang melakukan pemijahan, sarang dan telurnnya. Jumlah sarang yang ditemukan pada pengamatan bulan penuh sebanyak 50 sarang dengan total fekunditas 12.422 telur, sedangkan pada bulan baru sebanyak 27 dengan total fekunditas 5.841 telur. Karakteristik habitat yang dijadikan sebagai tempat pemijahan dan peneluran mimi cenderung spesifik, berada di gundukan pasir sekitar genangan air bekas tambak dan di sekitar tanaman mangrove. Rhizophora sp. Jenis substrat dominan pasir halus dan kasar. Sarang mimi yang telah ditemukan sebagian besar terletak di daerah tenang, terlindung dari gangguan gelombang ataupun ombak dan berada di tempat yang cenderung teduh dengan kelembaban yang cukup. Peranan penting mimi dalam sistem ekologi salah satunya sebagai pengendali struktur komunitas bentos. Hasil analisis komposisi jenis makanan berdasarkan DNA-metabarcoding menjelaskan bahwa C. rotundicauda dan T. gigas termasuk kelompok hewan karnivora. Jenis makanan C. rotundicauda dan T. gigas di Balikpapan didominasi oleh polychaeta (Clhoeia parva, Ancistrosyllis groenlandica, Mediosmastus sp.) dan scyphozoa (Lychnorhiza sp., dan Catostylus sp.). Jenis makanan C. rotundicauda di Demak sebagian besar gastropoda (Philine aperta dan Perinella cingulata), sedangkan pada T. gigas sebagian besar palaeonemertea (Callinera sp. dan Tubulanus sp.). Jenis makanan C. rotundicauda di Sumenep yang banyak ditemukan adalah polychaeta (Ancistrosyllis groenlandica dan Platinereis sp.), sedangkan pada T. gigas adalah gastropoda (Bulinimus labrosus). Hasil analisis berdasarkan metode Bray-Curtis dan Jaccard di setiap lokasi menunjukkan komposisi jenis makanan C. rotundicauda dan T. gigas tidak berbeda nyata (p>0,05). Preferensi jenis makanan kedua jenis mimi di Balikpapan cenderung sama, berbeda dengan di Demak dan Sumenep yang preferensi jenis makanannya berbeda. Kondisi populasi mimi di Indonesia berdasarkan keragaman genetik berada pada kondisi yang cukup baik. Keragaman haplotipe mimi di Indonesia cukup tinggi berkisar antara 0,783 hingga 0,945 dan keragaman nukleotida tergolong rendah mulai dari 0,003 hingga 0,009. Artinya komposisi basa nukleotida setiap individu di masing-masing lokasi cenderung sama. Hasil analisis struktur populasi berdasarkan nilai FST menunjukkan bahwa terdapat sub-divisi antar populasi pada tingkatan yang rendah (little subdivision). Artinya populasi mimi di Indonesia terindikasi campur atau saling terhubung. Nilai FST yang rendah juga mencerminkan adanya pergerakan antar-populasi selama interval multi-generasi. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pertukaran individu dari satu populasi ke populasi lainya serta adanya perkawinan antar populasi. Selaras dengan hasil konektivitas populasi yang menunjukkan bahwa populasi mimi di Indonesia terindikasi single stok berdasarkan keberadaan haplotipe bersama (sharing haplotype) yang teridentifikasi., Horseshoe crab exist since the Ordovician period 450 million years ago with a stable morphology (not changes much morphological character). There are four species in the world and three of them can be found in Indonesian waters, namely Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus gigas and Tachypleus tridentatus. The existence of these three species of horseshoe crab in Indonesia is not followed by the availability of sufficient data. Basic information about the biology of this crab in Indonesia has not been revealed much. Horseshoe crab conservation status based on the IUCN Red List of Threatened Species is Endangered for T. tridentatus while the other two, C. rotundicauda and T. gigas are data deficient. Several countries revealed that their population is consistently decreasing over the years and has potential risk to be vanished globally and regionally. However, until now, data and information on the biology of horseshoe crab in Indonesia is still limited. The aims of this study were to analyze the characteristic of spawning habitats and nesting area of T. gigas in Subang, West Java, analyzes the composition of food habits and competition of C. rotundicauda and T. gigas based on DNA-metabarcoding, also analyze the population connectivity of T. gigas in Sundaland based on DNA-mitochondria molecular markers AT-rich region to determine the relationship between populations. The method that used in the analysis of the spawning habitat characteristics was direct observation at the new moon and full moon phase to determine the presence of spawning T. gigas and the eggs that have been deposited. Environmental observations in spawning areas were also measured to determine the characteristics of their habitat. Furthermore, the analysis of the food habits of C. rotundicauda and T. gigas was carried out based on DNA-metabarcoding. Analysis of DNA derived from gut contents was obtained by extraction, amplification, electrophoresis, DNA sequencing and processing of bioinformatic data. In addition, a similar method was also used to determine the population connectivity of T. gigas in the Sunda Shelf based on the DNA-mitochondrion of the AT-rich region. The data analysis process was carried out using several software such as Obitools, RStudio, MEGAX and DNAsp. Horseshoe crab spawning areas that found in this study are located in Subang, West Java, especially in the Burung Island and Segara Menyan areas. Spawning area indicated by the presence of nests and eggs around 11–16 cm below the substrate, also a pair of T. gigas spawn the eggs. The number of nests that found during full moon phase was 50 nests with a total fecundity up to 12.422 eggs, while during new moon phase was 27 nests with a total fecundity 5.841 eggs. The habitat characteristics of spawning area tend to be specific, located on sand dunes around ex-ponds and mangrove Rhizophora sp. The dominant type of substrate is fine and coarse sand. Mimi nests that have been found are mostly located in quiet areas, protected from waves and tend to be shady and moist. The important role of horseshoe crab in the ecological system is controlling the structure of the benthic community. The results of food type based on DNA-metabarcoding explained that C. rotundicauda and T. gigas tended to be carnivorous. Diet analysis revealed that C. rotundicauda and T. gigas in Balikpapan were dominated by polychaeta (Clhoeia parva, Ancistrosyllis groenlandica, Mediosmastus sp.) and scyphozoa (Lychnorhiza sp., and Catostylus sp.). However, in Demak C. rotundicauda are mostly consume gastropods (Philine aperta and Perinella cingulata), while T. gigas was mostly palaeonemertea (Callinera sp. and Tubulanus sp.). In addition, C. rotundicauda in Sumenep has diet preference in polychaeta (Ancistrosyllis groenlandica and Platinereis sp.), while T. gigas was in gastropod (Bulinimus labrosus). The results of the analysis based on the Bray-Curtis and Jaccard method at each location showed that diet composition of C. rotundicauda and T. gigas was not significantly different (p>0,05). The food preferences both crabs in Balikpapan tend to be similar, in contrast to those in Demak and Sumenep which have different food preferences. Horseshoe crab population in Indonesia based on genetic diversity are in a fairly good condition. This crab has high haplotype diversity ranging from 0,783 to 0,945 and low nucleotide diversity ranging from 0,003 to 0,009. low level of nucleotide diversity means that the nucleotide base composition of each individual at each location tends to be the same. The results of the population structure analysis based on the FST value revealed that there are little subdivisions between populations. This means that horseshoe crab population in Indonesia is indicated to be mixed or interconnected. Low FST values also reflect inter-population movements over multi-generational intervals. This can occur because of the individuals exchange and movement from one population to another and the existence of inter-population marriages. In line with the results of population connectivity, this crab population is indicated by a single stock or based on the presence of an identified sharing haplotype. Keyword:Habitat pemijahan, mimi/belangkas, jenis makanan, single stock, sarang telur, Food habit, horseshoe crab, nest placement, single stock, spawning ground
Judul: Sistem pendingin radiatif dan menara pendingin menggunakan fluida kerja air di dataran tinggi untuk penyimpanan sayuran Abstrak:Produktivitas sektor pertanian dapat ditingkatkan dengan cara penerapan teknologi antara lain dengan aplikasi sistem pendingin untuk penyimpanan sayuran agar umur simpan sayuran bertambah, mengurangi kehilangan pasca panen dan meningkatkan mutu. Teknologi pendinginan yang dipilih sebaiknya yang sederhana, menggunakan energi terbarukan, akrab lingkungan dan memanfaatkan potensi kondisi wilayah di dataran tinggi. Dengan tersedianya fasilitas pendinginan di sentra produksi sayuran diharapkan permasalahan yang dihadapi petani pada masa panen dapat teratasi, sehingga sesudah panen produk tidak harus segera dijual. Sistem pendingin kombinasi yang diteliti terdiri dari : sistem pendingin radiasi malam hari dimana fluida kerja air didinginkan dengan cara diradiasikan ke langit karena pada malam hari yang cerah suhu langit lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan air, sedangkan pada siang hari digunakan menara pendingin tipe counter flow yang mendinginkan air dengan cara melewatkan air ke dalam menara pendingin, air akan melepaskan panas ke udara yang dialirkan ke dalam menara. Air dingin hasil dari efek pendinginan radiasi dan keluaran menara inilah yang dialirkan ke dalam ruang penyimpan dingin sayuran melalui koil pendingin. ..dst Keyword:pendinginan radiasi; radiasi atmosfir; pengaruh awan; perhitungan COP
Judul: Leadership Integration Model in Indonesian FMCG Sales Organisation: A Digital Transformation Business Scenarios Abstrak:Dari beberapa laporan keuangan beberapa perusahaan emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia terlihat pertumbuhan pendapatan perusahaan FMCG (fast moving consumer goods) akan selalu bergantung pada pertumbuhan penjualan, kinerja penjualan perusahaan akan menentukan kinerja bisnis perusahaan FMCG secara umum. Kinerja penjualan sebuah perusahaan FMCG dihasilkan oleh organisasi penjualan di dalamnya, kinerja organisasi penjualan menentukan baik tidaknya kinerja penjualan perusahaan. Organisasi penjualan memiliki peranan yang sangat penting, untuk memastikan strategi pemasaran yang telah dirancang dari level komisaris turun sampai ke level direksi kemudian diturunkan sampai ke level manajer, dan seterusnya, benar-benar teimplementasi dengan baik di level operasional Proses transformasi digital di dalam organisasi penjualan adalah suatu perubahan yang semua perusahaan FMCG sedang hadapi saat ini, dimana proses digitalisasi sedang dilakukan pada berbagai aspek di dalam organisasi penjualan seperti: sistem database, pelayanan pelanggan, sistem persediaan, sistem peramalan penjualan, sistem pelaporan penjualan, pengelolaan kinerja tenaga penjualan, pengelolaan promosi penjualan dan beberapa aspek lainnya. Proses transformasi digital dilakukan sebagai upaya perusahaan untuk mempertahankan perolehan pangsa pasar, meningkatkan pertumbuhan penjualan, dan terus meningkatkan keuntungan bagi perusahaan. Manajemen selalu dituntut untuk melakukan perubahan berarti secara terus menerus, melakukan dengan cara atau metode yang berbeda dari sebelumnya, yang dinilai kurang efektif. Merubahnya menjadi lebih efektif namun tetap efisien pada saat yang bersamaan, akan mampu memastikan perusahaan mampu beradaptasi dengan perubahan dunia atau dinamika pasar. Dari beberapa penelitian sebelumnya didapatkan beberapa aspek yang seringkali dijadikan topik utama pembahasan di dalam mengelola kinerja organisasi penjualan yakni: model kepemimpinan (leadership model), perilaku kewarganegaraan organisasional (organizational citizen behavior), dan aspek pengendalian manajemen penjualan (sales management control). Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis pengaruh beberapa model kepemimpinan (transaksional, transformasional, kepemimpinan agile, kepemimpinan digital), organizational citizen behavior (OCB), dan pengendalian manajemen penjualan terhadap proses transformasi digital dan terhadap kinerja organisasi penjualan; (2) menyusun prioritas strategi yang tepat dalam transformasi digital pada organisasi penjualan untuk peningkatan kinerja; (3) mengembangkan skenario bisnis transformasi digital di organisasi penjualan di perusahaan FMCG Indonesia. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan mendistribusikan 380 kuesioner, 346 kuesioner valid dikumpulkan dari semua level organisasi penjualan dari 23 perusahaan FMCG di Indonesia; C-Level, direksi/GM level, sales manager, hingga sampai level supervisor penjualan, hal ini dilakukan untuk benar-benar mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang situasi organisasi penjualan pada saat menjalani proses transformasi digital yang sebenarnya. Kemudian pengambilan data dilakukan dengan mewawancarai 11 pakar dari organisasi FMCG, pemimpin organisasi FMCG agar bisa memberikan masukan terhadap model strategi pengembangan transformasi digital dalam organisasi penjualan FMCG untuk meningkatkan kinerja organisasi penjualan. Data-data tersebut kemudian dilakukan perhitungan, pengolahan dan Analisis secara bertahap dengan menggunakan metode analisis deskriptif, partial least square structural equation modeling (PLS-SEM), fuzzy analytical hierarchy process (FAHP) kemudian dilanjutkan dengan metode scenario planning. Penelitian ini pada akhirnya mampu menghasilkan beberapa kesimpulan yakni; (1) model kepemimpinan (leadership model), OCB (organizational citizen behavior), pengendalian manajemen penjualan (sales management control) mempengaruhi transformasi digital dan kinerja organisasi penjualan. transformasi digital yang dilakukan pada organisasi penjualan mempengaruhi kinerja organisasi penjualan; (2) bahwa faktor yang harus dijadikan prioritas adalah penerapan model kepemimpinan (leadership model), dimana yang menjadi aktor utamanya adalah direktur penjualan (sales director), yang memiliki tujuan utama untuk melakukan peningkatan efektivitas dan efisiensi, yang menjadikan kepemimpinan, kapasitas, dan kapabilitas sumber daya manusia (people leadership, capacity, capability) sebagai alternatif utama strategi yang harus diambil untuk memastikan kesuksesan sebuah proses transformasi digital; (3) skenario organisasi inovatif (innovative organization), menjadi scenario yang diharapkan untuk terjadi, dimana organisasi penjualan harus memiliki pola pikir pertumbuhan (growth mindset) yang tinggi untuk bisa menghadapi dengan baik adanya ketidakpastian ekspektasi pelanggan/konsumen (customer expectation). Dari skenario-skenario tersebut dikembangkan model kompas transformasi digital (FMCG digital transformation compass) bisa memberikan panduan bagi perusahaan untuk mengawal sebuah proses transformasi digital, pada keempat skenario yang dimunculkan. Dengan mengikuti model kompas transformasi digital tersebut, bisa dipastikan setiap perusahaan FMCG bisa melakukan proses transformasi digital sesuai dengan situasi organisasi dimana mereka berada sekarang, pada dua aspek utama organisasi, aspek internal organisasi berupa growth mindset, pola pikir dan kemampuan berpikir untuk melakukan usaha yang terus menerus, pantang menyerah menuju keunggulan, selalu belajar dari pencapaian dan kegagalan masa lalu, untuk mencapai kesuksesan individu / organisasi. Aspek eksternal organisasi berupa customer expectation, dimana sebuah proses transformasi digital akan selalu fokus pada bagaimana perusahaan mampu memenuhi ekspektasi dari para pelanggan/konsumen yang dilayani oleh perusahaan, yang terus bergerak secara dinamis dan penuh ketidakpastian. Kejelasan setiap implikasi pada setiap skenario akan memberikan kepastian strategi yang harus dilakukan, ketidakpastian akan skenario masa depan yang akan terjadi akan bisa dikelola dengan baik untuk memastikan kesuksesan sebuah proses transformasi digital., According to several of financial reports from listed companies on the Indonesia Stock Exchange, sales growth is the primary driver of revenue growth for FMCG (fast moving consumer goods) companies, and sales performance decides the overall success of FMCG companies as a business. A company's sales team has very crucial responsibility for achieving its sales targets which impacted to overall company’s performance. Considering that the sales team, which is the lowest level in the organization after the director and commissioner levels, is responsible for implementing all marketing plans developed by the company. The success or failure of a predetermined marketing strategy depends on how the sales team perform its execution in operational level. Currently, all FMCG companies are dealing with the "Digital Transformation" as a ongoing change happened in the sales organization. Several components of the sales organization’s digital transformation, such as customer service, inventory management, employee performance management, sales force management, database systems, promotion management, and systems for sales forecasting and reporting, need to be digitalized in digital transformation process. The company is pursuing the process of digital transformation in an effort to maintain its market share, improve business growth, and increase company’s profitability. Management has to continually implement major changes on a regular basis, carry out duties with methods that were previously thought to be less productive, and search for new methods to increase efficiency while maintaining effectiveness. This guarantees that the company can adapt to changes in the market or in the global environment. Previous research has shown that certain aspects, namely leadership model, organizational citizenship behavior, and sales management control, are frequently used as the main topic of discussion of managing sales organization performance. Regarding to this background, the study aims to: (1) examine the effects of leadership model (transactional leadership, transformational leadership, agile leadership, digital leadership), organizational citizen behavior, and sales management controls toward the digital transformation process and sales organizational performance; (2) establish the right strategy priorities for the sales organization's digital transformation process in order to increase organization performance; (3) develop digital transformation business scenarios for the sales organizations of Indonesian FMCG companies. In the first stage, 380 questionnaires were distributed to employees in an attempt to actually get a more complete and comprehensive picture of the organization's actual state. Afterwards, 346 valid questionnaires were gathered from the FMCG Company's sales organization, including C-Level, director/GM level, sales manager, and sales supervisor level. Several experts and executives from FMCG companies were interviewed to get their opinions which can briefly potrayed the ongoing digital transformation process happened in their sales organizations. These data were then gradually computed, processed, and analyzed using the descriptive analysis techniques, fuzzy analytical hierarchy process (FAHP), partial least square structural equation modeling (PLS-SEM). Then, the data were further processed and analyzed using the Scenario Planning method. In the end, this study was able to derive a number of conclusions, including the following: (1) leadership model, OCB (organizational citizen behavior), sales management control significantly influence digital transformation and sales organization performance and digital transformation carried out in the sales organization also significantly affects the performance of the sales organization; (2) the main alternative strategies needed to make sure the success of a digital transformation process are leadership, capacity, and human resource capability, or people leadership capacity and capability; the application of the leadership model, in which the sales director is the primary actor and whose primary goal is to increase effectiveness and efficiency, must be given as top priority; (3) The scenario of innovative organization: to effectively manage the unpredictable nature of customer and consumer expectations, the sales organization has to adopt a strong growth mindset. The FMCG-developed digital transformation compass model can provide businesses with guidance on how to manage a digital transformation process in each of the four developed scenarios. Every FMCG company can undertake the process of digital transformations in accordance with the organizational situation in which they are currently by adhering to the digital transformation compass model. This is because there are two main aspects of the organization that can be transformed: internal aspects such as growth mindset, mindset and thinking ability of organization member to do a continuous effort, reluctance to give up to excellence, and always learning from the successes and failures of the past, for the greatness achievement of individual / organizational success. The success of a digital transformation process can be ensured by managing ambiguity about future possibilities and providing clarity about every effect in each scenario. This will provide assurance about the strategy to be dealt with, uncertainty and un-clear expectation can be effectively manageable. Keyword:digital transformation, leadership model, organizational citizen behavior, sales organization performance, sales management control
Judul: Kinerja Daya Saing, Efisiensi, Profitabilitas, dan Strategi Transformasi Digital pada Bank dengan Model Bisnis Digital Abstrak:RIRIS SHANTI. Kinerja Daya Saing, Efisiensi, Profitabilitas, dan Strategi Transformasi Digital pada Bank dengan Model Bisnis Digital. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR, NIMMI ZULBAINARNI, dan TONY. Transformasi digital yang masif, mendorong Indonesia menyusun Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024 untuk mempercepat transformasi digital di Indonesia. Terdapat 4 (empat) sektor strategis yang menjadi fokus utama kebijakan ini, yaitu infrastruktur digital, pemerintahan digital, ekonomi digital dan masyarakat digital (Kominfo 2020). Aktivitas ekonomi digital yang berkembang cepat menuntut adanya digitalisasi perbankan. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK, 2021), terdapat 3 (tiga) aspek utama yang mendorong digitalisasi perbankan di Indonesia, yaitu peluang digital (digital opportunity), perilaku digital (digital behavior), dan transaksi digital (digital transaction). Peluang digital timbul dari potensi demografis penduduk serta potensi ekonomi dan keuangan digital yang besar. Perilaku digital tercermin dari kepemilikan gawai dan penggunaan internet yang masif. Transaksi digital ditandai dengan meningkatnya penggunaan aplikasi mobile (mobile apps), transaksi e-commerce, transaksi digital banking, dan uang elektronik, yang mendorong bank melakukan transformasi digital. Namun demikian, dampak transformasi digital tidak langsung meningkatkan kinerja bank. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena transformasi digital pada bank-bank tradisional di Indonesia yang bertransformasi menjadi bank digital dan dampaknya pada kinerja daya saing, efisiensi, dan profitabilitas setelah transformasi digital; analisis transformasi digital sebagai determinan efisiensi, daya saing, dan profitabilitas; waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian kinerja dimaksud, serta model strategi transformasi menjadi bank digital yang optimal. Penelitian ini fokus pada tujuh bank yang bertransformasi menjadi bank dengan model bisnis digital. Data yang digunakan adalah laporan keuangan bank kuartalan yang diambil dari website Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan website masingmasing bank, serta data pendukung lainnya dari website Bank Indonesia dan website Biro Pusat Statistik. Selain itu terdapat data primer berupa informasi responden atas kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP). Penelitian ini menggunakan Herfindahl-Hirschman Index, Concentration Ratio, dan Lerner Index untuk mengukur daya saing; Stochastic Frontier Analysis untuk mengukur efisiensi; serta Panel ARDL untuk mengukur profitabilitas dan transformasi digital sebagai salah satu determinan daya saing, efisiensi, dan profitabilitas bank digital, serta menganalisis waktu yang dibutuhkan untuk mencapai daya saing, efisiensi, dan profitabilitas. Untuk merumuskan strategi transformasi digital yang optimal pada bank digital digunakan AHP. Penelitian ini menemukan bahwa berdasarkan market share, terdapat shifting daya saing antar bank setelah transformasi digital yang menunjukkan peningkatan kompetisi dan terkonfirmasi dari analisis tren Concentration Ratio (CR) 3 (3 bank yang menguasai > 50% pangsa pasar bank digital. Herfindahl-Hirschman Index juga menunjukkan adanya peningkatan daya saing sehingga pasar bank digital semakin kompetitif dan struktur pasar beralih dari monopolistik menuju ke arah persaingan sempurna. Lerner Index juga menunjukkan daya saing bank setelah transformasi digital meningkat, meskipun awalnya/saat bertransformasi mengalami tekanan. Akselerasi peningkatan daya saing bank dipengaruhi oleh kolaborasi v dengan mitra platform sharing untuk membentuk ekosistem masing-masing bank digital. Semakin besar mitra platform sharing untuk berkolaborasi menciptakan value creation dan customer experience, akan semakin cepat peningkatan daya saing, dan selanjutnya akan semakin cepat peningkatan customer base. Efisiensi bank setelah transformasi digital juga meningkat dengan akselerasi peningkatan efisiensi bergantung pada kompleksitas bank. Semakin kompleks suatu bank (struktur kepemilikan dan organisasi, aktivitas bisnis, infrastruktur IT legacy), maka proses transformasi semakin lama sehingga peningkatan efisiensi berjalan lambat. Profitabilitas meningkat dengan adanya transformasi digital yang ditunjukkan dengan U-shape relationship. Profitabilitas meningkat sejalan dengan meningkatnya daya saing karena bertambahnya customer base akan semakin meningkatkan skala ekonomis bank. Penelitian ini menunjukkan kebaruan bahwa transformasi digital meningkatkan daya saing, efisiensi, dan profitabilitas bank sehingga dapat disimpulkan transformasi digital merupakan salah satu determinan efisiensi, daya saing, dan profitabilitas selain modal, margin suku bunga, likuiditas, dan pertumbuhan ekonomi. Hasil Panel ARDL menunjukkan adanya U-Shape relationship antara transformasi digital dengan daya saing, efisiensi, dan profitabilitas, yang mengindikasikan bahwa transformasi digital menyebabkan penurunan daya saing, efisiensi, dan profitabilitas pada jangka pendek karena besarnya biaya transformasi digital, namun pada jangka panjang transformasi digital meningkatkan daya saing, efisiensi, dan profitabilitas bank. Akselerasi pencapaian daya saing, profitabilitas, dan efisiensi setelah transformasi digital dipengaruhi oleh kolaborasi dengan mitra platform sharing untuk membentuk ekosistem digital dan kompleksitas bank. Berdasarkan hasil AHP, diketahui bahwa tujuan utama transformasi digital adalah untuk meningkatkan daya saing. Aktor utama strategi transformasi digital adalah manajemen bank yang memiliki kemampuan dan kapasitas digital leadership untuk menggerakkan transformasi. Fokus strategi adalah pada faktor infrastruktur dan manajemen risiko teknologi digital, value creation dan kolaborasi dengan mitra untuk meningkatkan daya saing dan memperluas ekosistem digital, dan kapabilitas keuangan untuk membiayai transformasi digital. Fokus berikutnya adalah kapabilitas SDM dan kelembagaan pendukung proses transformasi digital. Bank harus memiliki modal/kapabilitas finansial yang memadai dalam melakukan transformasi digital karena biaya transformasi yang besar dan dampak positif transformasi digital pada kinerja keuangan bank dicapai dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, transformasi digital cenderung menekan kinerja bank. Manajemen bank merupakan aktor yang paling berperan sehingga digital leadership sangat diperlukan dalam menggerakkan transformasi digital. Faktor utama yang menjadi fokus strategi transformasi digital adalah infrastruktur teknologi dan manajemen risiko IT serta value creation dan kolaborasi dengan platform sharing dan outsourcing untuk menghasilkan produk dan layanan yang relevan. Di sisi otoritas, regulator perlu terus mendorong transformasi digital perbankan, terutama transformasi digital bank-bank kecil yang kurang efisien untuk menjadi bank dengan model bisnis digital yang efisien. Keyword:Bank Digital, daya saing, Efisiensi, profitabilitas, Transformasi digital
Judul: Karakteristik imunoglobulin Y antitetanus diisolasi dari telur ayam sebagai pengganti antitetanus serum kuda Abstrak:Dari penelitian karakteristik imunoglobulin Y antitetanus diisolasi dari telur ayam sebagai pengganti antitetanus serum kuda dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Ayam mampu membentuk IgY spesifik antitetanus pada serum dan terkumpul pada kuning telur dengan titer pada serum 34.53 ± 14.94 IU/ml dan pada telur 80.16 ± 33.55 IU/ml dengan potensi sebesar 35 IU/ml. nilai 2. Aktivitas biologis IgY antitetanus menurun setelah perlakuan pH 2 dan 3, enzim protease, tripsin dan pepsin, dan suhu 72.5 °C. Penambahan larutan sukrosa dan larutan glukosa mampu meningkatkan aktivitas biologis IgY antitetanus terhadap perlakuan panas. 3. Pemberian IgY antitetanus secara sub kutan mampu melindungi mencit dari pengaruh dosis letal toksin, sedangkan pemberian secara oral tidak efektif untuk tujuan imunoterapi pasif pada hewan dewasa. dst ... Keyword:Penyakit tetanus, Kesehatan hewan, Anti tetanus serum, ATS, ATS pada telur ayam
Judul: Dampak Kebijakan Produksi dan Perdagangan Sapi terhadap Produksi dan Kesejahteraan Petani di Provinsi Nusa Tenggara Timur Abstrak:Propinsi NTT adalah salah satu sentra produksi sapi, namun menghadapi beberapa kendala produksi, baik peningkatan populasi maupun produktivitasnya, yang berakibat melemahnya daya saing wilayah. Tujuan penelitian: 1) Menganalisis pengaruh perubahan jumlah dan harga faktor-faktor terhadap perilaku populasi, produksi, penawaran, permintaan, dan harga ternak sapi di NTT; dan 2) Menganalisis dampak simulasi kebijakan produksi dan kuota ekspor terhadap tingkat populasi, produksi, penawaran sapi, serta perubahan kesejahteraan produsen dan konsumen di NTT. Metode: Survai dilakukan atas data time-series antara tahun 1980-2011. Data dianalisis menggunakan pendekatan ekonometrika dengan model persamaan simultan serta menggunakan program SAS/ETS 9.1. Juga dilakukan simulasi kebijakan dan perhitungan surplus produsen dan konsumen. Kesimpulan: 1.a) Produksi anak sapi dipengaruhi populasi induk produktif, produksi pakan, realisasi KUT, realisasi vaksin, realisasi IB, dan jumlah petani ruminansia; b) Populasi sapi dipengaruhi populasi induk produktif, produksi anak sapi, dan penawaran sapi; c) penawaran (ekspor) sapi dipengaruhi populasi dan harga sapi. Harga sapi di Jakarta kurang berpengaruh karena adanya kuota sebesar 10.0 persen dari populasi; d) Harga sapi dipengaruhi penawaran sapi di NTT dan Jakarta, bunga KUT, dan biaya produksi; 2.a) Kebijakan investasi ternak sapi, berpengaruh terhadap populasi ternak; b) Kebijakan bibit berpengaruh terhadap pengurangan pemotongan induk produktif; c) Kebijakan dukungan teknologi berpengaruh terhadap angka bersih kebuntingan (NCC) melalui IB dan meningkatkan angka kesehatan ternak sapi; d) Kebijakan terpadu berbasis penghapusan kuota melalui kebijakan bibit, teknologi, investasi, dan harga; berpengaruh terhadap produksi, populasi, penawaran sapi, dan kesejahteraan petani; 3) Pembentukan harga keseimbangan ternak sapi di NTT masih rendah, walaupun penawaran rendah dan permintaan sangat tinggi. Analisis menunjukkan perubahan harga pada kebijakan kuota hapus lebih besar daripada kebijakan kuota tetap dan kuota naik; 4) Terbentuknya segmentasi pasar ke kantong konsumen baru (Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan daerah lain) selama dua tahun terakhir dengan volume sangat besar, merupakan bukti aktual yang argumentatif bahwa secara alamiah pasar ternak NTT telah menemukan jalan keluar dari jebakan kebijakan kuota selama ini. Keyword:beef cattle, production, export quotas, welfare, NTT
Judul: Pengaruh Perubahan Harga Sapi Terhadap Permintaan Dan Penawaran Pada Usaha Penggemukan Sapi Bali Di Nusa Tenggara Barat Abstrak:Usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat merupakan produsen sapi siap potong untuk memenuhi kebutuhan daging sapi. Populasi sapi potong di NTB didominasi oleh sapi bali yang memiliki potensi pemasaran baik di tingkat lokal maupun nasional. Sapi bali bakalan tersedia cukup di pasaran untuk mendukung usaha penggemukan. Usaha penggemukan sapi umumnya dilakukan oleh peternak kecil, merupakan sumber pendapatan dan penyerap tenaga kerja di pedesaan. Dalam sistem pemasaran sapi usaha penggemukan sering kali dihadapkan dengan perubahan harga sapi (fluktuasi harga sapi), oleh karena itu peternak harus selalu mencari informasi harga untuk melakukan keputusan pada manajemen usaha penggemukan. Penelitian ini bertujuan : 1) Mendeskripsikan kinerja usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat, 2) Menganalisis pengaruh perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan pada usaha penggemukan ternak sapi bali di Nusa Tenggara Barat, 3) Menganalisis dampak perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap pendapatan pada usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat. Penelitian dilakukan bulan Juli sampai September tahun 2014, pada 44 peternak sapi dengan jumlah penjualan sapi satu tahun terakhir 113 sapi, pada usaha penggemukan sapi bali. Lokasi penelitian dan kelompok sampel ditentukan secara purposive pada dua kelompok peternak di dua desa : Repok Nyerot dan Gemel di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, dengan pertimbangan kedua desa dapat merepresentasikan usaha penggemukan sapi bali yang dilakukan di wilayah NTB. Data yang dikumpulkan : 1) Data sekunder yaitu data harga sapi potong lintas waktu bulanan dan tahunan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB; 2) Data primer hasil wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Analisis data dengan sistem persamaan simultan dengan Two-Stage Least Square (2SLS), menggunakan perangkat lunak Statistic Analysis System (SAS versi 9.0). Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan harga sapi potong di tingkat pasar berpengaruh negatif terhadap permintaan sapi bakalan. Sapi bakalan adalah input utama usaha penggemukan, pembelian sapi bakalan dilakukan di pasar hewan menyebabkan harga sapi bakalan yang diterima mengikuti perubahan harga sapi potong di tingkat pasar. Permintaan sapi bakalan dipengaruhi secara signifikan dan negatif oleh harga sapi bakalan yang dibayar peternak. Permintaan sapi bakalan memberikan pengaruh signifikan dan positif terhadap penawaran sapi hasil penggemukan, sehingga kenaikan harga sapi bakalan dapat memberikan dampak pada menurunnya penawaran sapi hasil penggemukan. Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar tidak mempengaruhi penawaran sapi hasil penggemukan, karena penjualan sapi hasil penggemukan sebagian besar dilakukan di luar pasar hewan sehingga penawaran sapi hasil penggemukan lebih dipengaruhi oleh harga sapi hasil penggemukan. Produksi sapi dipengaruhi secara positif oleh umur sapi bakalan dan jumlah pakan dedak. Semakin tua umur sapi bakalan semakin tinggi produksi sapi. Pakan dedak adalah jenis pakan yang diberikan setiap hari untuk meningkatkan produksi sapi. Kenaikan harga dedak tidak menurunkan permintaan pakan dedak, karena permintaan pakan dedak tergantung pada permintaan pakan hijauan dan pakan limbah pertanian. Pada sistem pemeliharaan tradisional umumnya kualitas pakan (hijauan dan limbah pertanian) kurang diperhatikan sehingga memerlukan pakan dedak untuk meningkatkan produksi sapi. Permintaan input-input produksi saling terkait antara permintaan pakan hijauan dengan pakan limbah pertanian dan permintaan pakan dedak. Biaya terhadap input-input pakan hijauan, pakan limbah pertanian dan pakan dedak menentukan besarnya biaya pakan. Permintaan sapi bakalan dipengaruhi oleh biaya pakan, semakin besar biaya pakan maka permintaan terhadap sapi bakalan meningkat sehingga meningkatkan penawaran sapi hasil penggemukan. Penerimaan ditentukan oleh harga sapi dan penawaran sapi hasil penggemukan. Pendapatan usaha penggemukan sapi tergantung pada keuntungan per ekor sapi dan jumlah penjualan sapi per tahun. Simulasi menunjukkan bahwa dengan menurunkan harga sapi bakalan menyebabkan kenaikan permintaan sapi bakalan dan menaikkan penawaran sapi hasil penggemukan, sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan per tahun. Selanjutnya kenaikan harga sapi hasil penggemukan menyebabkan kenaikan produksi dan penawaran sapi hasil penggemukan yang berdampak terhadap peningkatan pendapatan per tahun. Disimpulkan bahwa usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat bersifat tradisional, pemberian pakan umumnya berkualitas rendah dengan berat badan sapi bakalan rata-rata 208 kg/ekor dalam waktu penggemukan 183 hari menghasilkan sapi penggemukan rata-rata 257 kg/ekor. Perubahan harga sapi berpengaruh terhadap permintaan sapi bakalan tetapi tidak berpengaruh terhadap penawaran sapi hasil penggemukan. Harga sapi bakalan berpengaruh negatif terhadap permintaan sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan berpengaruh positif terhadap penawaran sapi hasil penggemukan. Produksi sapi dipengaruhi secara positif oleh umur sapi bakalan dan pakan dedak. Pendapatan usaha penggemukan ditentukan keuntungan yang diperoleh dan jumlah penjualan sapi per tahun. Implikasinya bahwa diperlukan kebijakan pemerintah untuk mendukung usaha penggemukan dalam meningkatkan pendapatan peternak adalah melalui subsidi terhadap harga sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan. Keyword:indeks harga, penawaran, permintaan, penggemukan, sapi bali
Judul: Methodologies for Maintaining and Comparing Designs in a Cooperative Design Environment Abstrak:This thesis examinedl the problem of how to support several designers working on one or more project s so that they can pool their design ideas and produce improved designs from wmparing and integrating various designs. The core of the syetem is a design repitory based on the triangle madel, which stores the designs and computes the differences hetween them. The designs are rep resented as sets of features and a language (FBSM) is provided to describe them. Meta-features can be defined so that designs can be viewed at different levels of abstraction and formed into groups. Keyword:
Judul: Model Pengelolaan Ekosistem Pesisir untuk Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus: KEK Tanjung Lesung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten). Abstrak:Wilayah pesisir sebagai sebuah ekosistem yang didalamnya terdapat berbagai aktivitas yang menjadi satu kesatuan yang unik dan menarik termasuk pariwisata dengan segala atraksinya. Aktivitas pariwisata pesisir yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagai daya tariknya dapat menjadi modal dalam mengembangkan sebuah kawasan wisata dengan konsep keterpaduan darat dan laut. Dengan menggunakan perspektif social ecologycal system (SES), pengelolaan pariwisata merupakan sebuah sistem yang terpadu dari ekosistem dan manusia dengan melihat adanya hubungan timbal balik antara keduanya. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten memiliki luas 1500 Ha, berada di wilayah pesisir dan ditetapkan sebagai zona pariwisata memiliki potensi yang besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru untuk Banten bagian selatan. Aspek-aspek ekologi, sosial dan ekonomi kawasan pesisir dengan kompleksitas yang tinggi terus berubah secara dinamis sehingga dalam konteks keberlanjutan SES harus benar-benar diperhitungkan termasuk berbagai kebijakan yang memiliki kerentanan dalam implementasinya. Kompleksitas pengelolaan pesisir yang akan dihadapi KEK Tanjung Lesung sebagai zona pariwisata di masa yang akan datang perlu diantisipasi dengan mengetahui faktor-faktor drivers, pressure, state, impact, response, dalam pengembangannya. Dari hasil analisis DPSIR diperoleh bahwa faktor drivers yang dapat mendorong KEK berkembang yaitu jumlah obyek dan daya tarik wisata (ODTW), jumlah wisatawan, jumlah penduduk, aksesibilitas, informasi dan promosi, tax insentive dan kemudahan investasi. Dalam membangun KEK sebagai zona wisata yang harus dikendalikan sebagai pressure yaitu limbah pariwisata, pembangunan infrastuktur, pembangunan hotel dan atraksi wisata. Sementara itu perilaku masyarakat, potensi pencemaran dan rusaknya terumbu karang, potensi degradasi ekosistem dan berubahnya bentang alam serta kondisi sosial masyarakat merupakan state yang perlu dikelola oleh stakeholders yang terkait dengan KEK. Pembangunan pariwisata di KEK memberikan impact terhadap ekologi, sosial seperti penurunan kualitas lingkungan dan SDA, peningkatan pendapatan dan perubahan perilaku masyarakat. Sebagai response dari kondisi pendorong, tekanan dan dampak maka pemerintah perlu melakukan upaya terintegrasi dalam membuat kebijakan yang implemantatif dan mewujudkan Integrated Coastal Management (ICM). ... dst... Keyword:coastal ecosystem, local community, Tanjung Lesung SEZ, Tourism
Judul: Model Pengelolaan Ekosistem Pesisir untuk Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus KEK Tanjung Lesung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten) Abstrak:Wilayah pesisir sebagai sebuah ekosistem yang didalamnya terdapat berbagai aktivitas yang menjadi satu kesatuan yang unik dan menarik termasuk pariwisata dengan segala atraksinya. Aktivitas pariwisata pesisir yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagai daya tariknya dapat menjadi modal dalam mengembangkan sebuah kawasan wisata dengan konsep keterpaduan darat dan laut. Dengan menggunakan perspektif social ecologycal system (SES), pengelolaan pariwisata merupakan sebuah sistem yang terpadu dari ekosistem dan manusia dengan melihat adanya hubungan timbal balik antara keduanya. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten memiliki luas 1500 Ha, berada di wilayah pesisir dan ditetapkan sebagai zona pariwisata memiliki potensi yang besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru untuk Banten bagian selatan. Aspek-aspek ekologi, sosial dan ekonomi kawasan pesisir dengan kompleksitas yang tinggi terus berubah secara dinamis sehingga dalam konteks keberlanjutan SES harus benar-benar diperhitungkan termasuk berbagai kebijakan yang memiliki kerentanan dalam implementasinya. Kompleksitas pengelolaan pesisir yang akan dihadapi KEK Tanjung Lesung sebagai zona pariwisata di masa yang akan datang perlu diantisipasi dengan mengetahui faktor-faktor drivers, pressure, state, impact, response, dalam pengembangannya. Dari hasil analisis DPSIR diperoleh bahwa faktor drivers yang dapat mendorong KEK berkembang yaitu jumlah obyek dan daya tarik wisata (ODTW), jumlah wisatawan, jumlah penduduk, aksesibilitas, informasi dan promosi, tax insentive dan kemudahan investasi. Dalam membangun KEK sebagai zona wisata yang harus dikendalikan sebagai pressure yaitu limbah pariwisata, pembangunan infrastuktur, pembangunan hotel dan atraksi wisata. Sementara itu perilaku masyarakat, potensi pencemaran dan rusaknya terumbu karang, potensi degradasi ekosistem dan berubahnya bentang alam serta kondisi sosial masyarakat merupakan state yang perlu dikelola oleh stakeholders yang terkait dengan KEK. Pembangunan pariwisata di KEK memberikan impact terhadap ekologi, sosial seperti penurunan kualitas lingkungan dan SDA, peningkatan pendapatan dan perubahan perilaku masyarakat. Sebagai response dari kondisi pendorong, tekanan dan dampak maka pemerintah perlu melakukan upaya terintegrasi dalam membuat kebijakan yang implemantatif dan mewujudkan Integrated Coastal Management (ICM). Kesesuaian dan daya dukung wisata pesisir KEK Tanjung Lesung diidentifikasi dari aktivitas wisata eksisting yaitu wisata pantai, banana boat, selam, snorkeling dan memancing yang diamati di 5 (lima) stasiun pengamatan (Cipenyu Beach, Bodur Beach, Resort and Beach Club, Tanjung Kuntianak, Lagon dadap dan Sailing Club). Terdapat 5 wisata pesisir yang dianalisis untuk menentukan kesesuaian pemanfaatan yaitu rekreasi pantai, wisata banana boats, wisata snorkeling, wisata menyelam dan wisata memancing. Hasil zonasi kesesuaian untuk rekreasi pantai terbagi menjadi 4 zona, wisata menyelam 3 zona, wisata snorkeling 5 zona dan wisata memancing menjadi 2 zona. Zonasi kesesuaian yang terbentuk digunakan untuk menghitung daya dukung pada setiap zona yang akhirnya diperoleh zona mana saja yang memiliki potensi sebagai zona wisata massal dan zona ekowisata. Perhitungan daya dukung dengan Boullon’s Carrying Capacity Mathematical Model digunakan untuk mengetahui nilai BCC, PCC dan RCC. Nilai yang digunakan sebagai jumlah daya dukung adalah RCC (Real Carrying Capacity) yang di dalam perhitungannya telah mempertimbangkan limitation factor (Lf) sehingga dapat menggambarkan daya dukung setiap zona untuk masing-masing wisata pesisir. Nilai RCC untuk rekreasi pantai (zona 1: 2368 orang/hari; zona 2: 2782; zona 3:119; zona 4:56) dan RCC banana boat 161 banana/hari. Nilai RCC wisata selam (zona 1:349 orang/hari; zona 2: 277; zona 3: 36), sedangkan RCC snorkeling (zona 1: 640 orang; zona 2: 477; zona 3:229, zona 4:232; zona 5:55). Wisata memancing yang terbagi 2 zona dengan nilai RCC zona 1: 570 kapal/hari dan zona 2: 4577. Zona-zona dengan nilai RCC yang besar merupakan zona yang berpotensi menjadi zona massal dan zona dengan nilai RCC kecil potensial menjadi zona ekowisata. Penggunaan model dynamic eco-mass tourist (DEMT) yang telah dimodifikasi menjadi Co-DEMT akan menjadi sebuah model pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan diterapkan pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung. Partisipasi masyarakat terhadap pengembangan kawasan wisata 𝑑𝐶𝑜 𝑑𝑡 sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang bekerja di sektor pariwisata (Em) yang akan menyebabkan peningkatan pendapatan masyarakat (I) dan perubahan perilaku masyarakat (B). Peran masyarakat dalam pengembangan wisata memiliki peran yang cukup besar terutama kemampuan daya asimilasi masyarakat terhadap tumbuhnya aktivitas wisata di sebuah kawasan. Dengan menggunakan model Co-DEMT kemudian dibuatlah 4 (empat) skenario pengelolaan yaitu: skenario 1, pengelolaan lingkungan dan pengembangan fasilitas dan obyek wisata saat ini dengan masyarakat pekerja wisata yang masih rendah; skenario 2, perbaikan pengelolaan lingkungan sebesar 0,75 tanpa perbaikan fasilitas wisata dan keterlibatan masyarakat pekerja wisata teredukasi sebesar 75%; skenario 3, pengelolaan lingkungan saat ini dengan perbaikan fasilitas dan obyek wisata dengan masyarakat pekerja wisata teredukasi sebesar 75 %; skenario 4 pengelolaan lingkungan yang baik dengan perbaikan fasilitas wisata dan masyarakat pekerja wisata yang teredukasi 75 %. Dari keempat skenario tersebut, yang terbaik diterapkan di KEK Tanjung Lesung adalah skenario 4. Pada skenario 4 dapat meningkatkan jumlah wisatawan T1 hingga mencapai 1.790 orang serta kualitas lingkungan E1 mencapai 0,744 dan penambahan fasilitas dan obyek wisata hingga 177 unit. Upaya-upaya perbaikan tersebut belum mampu meningkatkan jumlah wisatawan T2, kualitas lingkungan E2 serta peningkatan sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan skenario terpilih tersebut perlu didukung dengan upaya-upaya lain yang tidak hanya dapat meningkatkan jumlah wisatawan, akan tetapi juga upaya untuk meningkatkan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Keyword:coastal ecosystem, local community, Tanjung Lesung SEZ, Tourism
Judul: Pengaruh Iradiasi Gamma (60Co) dengan Berbagai Laju Dosis pada Senyawa Antigizi (Asam Fitat, Antitripsin), Isoflavon dan Warna Kacang Kedelai (Glycine max L.). Abstrak:Research on the influence of gamma irradiation at different dose-rate on the anti-nutrient compound (phytic acid, anti-trypsin), isoflavones and color of soybean (Glycine max L.) has been done. The application of irradiation techniques on food products are frequently focused on the influence of radiation dose and the change of nutrient and anti-nutrient compounds as well as the quality of products. Gamma irradiation influence on the same dose, but with a variety of dose rates, especially on anti-nutrient compounds, isoflavone and color on soybean, has not been done. The change of anti-nutrient compound, isoflavone and color on soybean caused by irradiation were studied on a variety of dose-rate combinations (kGy/h) and different irradiation time (h). The purpose of this research was to study the effects of combination treatment between dose-rate (kGy/h) and irradiation time (h) or duration on the effectiveness of irradiated soybean, especially on the changes of its anti-nutrient compound, isoflavones and color. Radiation process parameter; (dose-rate and time in combination) for a control with the purpose to prove that irradiation on the same certain dose would have resulted different product quality if it had been done with different dose-rates and time. Furthermore, combination treatment between irradiation at higher dose-rate and shorter time could degrade anti-nutrient compound and resulted more minimum influence to the damage of brightness quality (color) than irradiation in lower dose-rate and longer time. This research was primarily focused on 3 (three) activities. The first step was to study the effect of gamma irradiation (60Co) at different dose-rate on the anti-nutrient compound (phytic acid and antitrypsin) and color on soybean. The second step of the research was to study the effects of gamma irradiation at different combination of dose-rate and time of exposure on the isoflavones contents of soybean. The third step of the research was a verification of the first and the second steps, namely: to study the effect of gamma irradiation on the low and high dose at different combination of dose-rate and time on phytic acid and color of soybean. In the previous research, the characterization of gamma radiation source capacity to determine dose map and dose-rate on irradiation area has been done. There were 4 (four) dose-rate locations which has been identified in the irradiation area; each of them was 1.30; 3.17; 5.71 and 8.82 kGy/h. The rasio of maximum and minimum dose (Dmax/Dmin) ranging from 1.14 to 1.21. Furthermore, the four location points of dose-rate were used for main research. The effect of gamma irradiation (60Co) at different dose-rate on the anti-nutrient compound (phytic acid and antitrypsin) and color on soybean. Gamma irradiation on soybean was done with dose rates of 1.30; 3.17; 5.71 and 8.82 kGy/hour, respectively. Irradiation treatment condition for each samples was done at room temperature (28 ± 2 °C) ranging from 0.5 h to 55 h; depending on its dose rates. The purpose of this study was to investigate the influence of dose rate on the changes of anti-nutrient compound concentration and color (brightness) on soybean during radiation process. The results showed that k-value (degradation rate constant) gained to be used to explain the change rate of anti-nutrient compound concentration and color on soybean during radiation process. The obtained data indicated that radiation process in higher dose-rate (shorter time) was more effective to destroy anti-nutrient compound rather than in lower dose-rate (longer time). Furthermore, radiation process in higher dose-rate (shorter time) has also less detrimental effect on color of the soybean seeds and flour as compared to that of radiation process at lower dose-rate (longer time). This phenomenon showed that radiation process at the same dose was potential to optimize in terms of most appropriate combination treatment between the dose and irradiation time. Effects of gamma irradiation at different combination of dose-rate and time of exposure on the isoflavones contents of soybean. This research was purposed to study dose-rate and radiation influence on the change of soybean isoflavones concentrations during radiation process. The condition of irradiation (dose-rate and time combination) was done in accordance with the first research. Results showed that the change of isoflavone concentration provided adequately complex change pattern; furthermore, there was an increase of the isoflavone researched in the beginning of irradiation treatment. The increase of soybean isoflavone concentration in the same radiation dose was also influenced by dose-rate application. Lower dose-rate application resulted higher free isoflavone content, especially free daidzein and genistein. This finding showed that radiation process in the same dose has a potential to be able to be optimized by choosing the most appropriate combination on dose-rate and irradiation time. The third research was the verification of the results of the first and the second researches. Hypothesis testing was done by doing a research on the effect of gamma irradiation on the low and high dose at different combination of dose-rate and time on phytic acid and color of soybean. Gamma irradiation on soybean was done with dose-rates of 1.30; 3.17; 5.71 and 8.82 kGy/hour, respectively.The total of radiation doses accepted by the samples were 4.41 kGy and 44.1 kGy at a variety of time depending on their dose-rates. The purpose of this research was to study the hypothesis testing resulted from the previous research, namely: higher dose-rate (shorter time) would be more effective to decrease phytic acid, but it resulted minimum color change. Results showed that irradiation at the same dose; but radiation process was done in the higher dose-rate (shorter time) would provide better effectiveness of anti-nutrient compound (phytic acid). The irradiation condition also could keep better brightness (color). It is appropriate with hypothesis of this research. Keyword:gamma irradiation, dose-rate, soybean, phytic acid, anti-trypsin, isoflavone, color
Judul: Study on the dynamic land use impact in Wanggu watershed to sedimentation to Kendary Bay in South East Sulawesi Abstrak:The dynamic of land use in Wanggu Watershed had been causing land degradation disruption of hydrological function of the watershed and sedimentation in Kendari Bay. These degradations were indicated by the increasing of river fluctuation and erosion was higher than the local tolerable soil losts. The impact of erosion had further decreased land productivity, farmer’s income, and also increasing sedimentation in Kendari Bay as well. The objectives of this research were 1) to identify the biophysical characteristics of Wanggu watershed. 2) to study the impact of land use dynamic on erosion, run off, river flow fluctuation and sedimentation in Kendari Bay, 3) to develope land use models and agrotechnologies that can increase soil infiltration capacity, decrease run off coefficient, river flow fluctuation, rate of erosion and sedimentation in Kendari Bay, 4) to formulate land use planning and agrotechnology model in Wanggu watershed to guarantee sustainable land management. This research was carried out in September 2009 to August 2010. The result of this research showed that forested land characteristics were much better than those with other land uses particularly the characteristics that related to hydrological function of watershed. There were a continuous decrease forest land (1.1% per year) and bushes land (0.8% per year) but on the other hand a continuous increase of mixed plantation land (1.1% per year), dry land use (0.4% per year) and settlement area (0.4% per year). These dynamic giving the impact to increase erosion rate (12.7 tons/ha), surface run off (262.7 mm), run off coeficient (0.13) since 1992-2010, and in turn increase sedimentation rate in Kendari Bay. The source of those sediment come from land erosion 104.000 m3 per year (9,3%), from waste 21.310 m3 per year (2%), and river bank erosion-infrastructure-landslide 954.000 m3 per year (88,7%), to make total sedimentation in Kendari Bay was 1.071.000 m3 per year. The existing land use of Wanggu watershed in 2010 could not guarantee sustainable land management. The alternative land use planning for sustainable Wanggu watershed management is 33 % forest, 44 % mixed plantation,9% dry field, 1% bush and 13% settlement. The land use management in mixced plantation should be under Agrosilvopastoral with perennial crops (cacao, pepper, citrut fruit, banana, teak, elephant grass+3 cows), and in dry field should be under multiple cropping system(corn + cassava + peanut) - (green beans + legume + tomato). To increase productivity of both systems, the using of chemical fertilizers, manure, and compost should be applied as necessary. Keyword:
Judul: Study on erosion rate, c-sequestration and water holding capacity of various land Abstrak:The objective of this research were to assess the level of run off and erosion, carbon sequestration, and water holding capacity in various types of land use in the Upper Jenneberang Sub Watershed. Transformation of natural ecosystems into agricultural ecosystems generally increase soil erosion. Soil carbon or organic matter is an important component of soil constitute as a function of soil quality. Soil carbon can enhance and improve the quality of the soil physical properties; it can increase infiltration rate, aggregate stability, soil structure, water-holding capacity, and in turn decrease run off and erosion. This study was carried out from December 2006 through March 2007 at the Upper Jenneberang watershed, Saluttoa Village, Tinggimoncong Sub District, Gowa District, South Sulawesi Province. Based on the preliminary study there were found four types of land used and were treated as observation units: 1) Natural forest, 2) Agroforestry dominated by gamal tree (Gliricidia sepium) (AF1), 3) Agroforestry dominated by coffee tree (AF2), 4) Maize monoculture. To meet the purpose of this research all experiment at units were arranged in Randomized Block Design. Data collected in this experiment includes soil physical characteristics (bulk density, permeability, aggregate stability, water holding capacity), as well as the rate of infiltration, run off and erosion, the amount of rain fall, total biomass, C-biomass content and watershed water holding capacity. Results of this study indicated that the rate of infiltration and the permiability were significantly higher on natural forest compared with other land utilizations due to its higher porosity and organic matter content. When convertion of the natural forest takes place, the agroforestry systems and maize monoculture significantly increased the run off and consequently soil erosion. The magnitude of run off were increased three times when the land use were converted into agroforesty dominated by coffee tree and increased seven times when it was converted into maize monoculture. The magnitude of erosion were increased seven times when the land use were converted into agroforesty dominated by coffee tree and increased eleven times when it was converted into maize monoculture. The biomass and C-biomass in natural forest were significantly higher than that in the agroforestry systems (AF1 and AF2). The total biomass and C-biomass of each type of land utilization were in line with the the total C-organic in the soil. The concentration of C-organic on maize plot was significantly lower. The activity of soil microorganism in the natural forest was significantly higher than that in agroforestry systems and maize monoculture. The magnitude of water-holding capacity of soil were decreased 21% when the land use were converted into agroforesty dominated by coffee tree and decreased 39% when it was converted into maize monoculture. Simulation analysis showed that the total water-holding capacity of the Upper Jenneberang Sub Watershed was as much as 795.4 mm or equal to 39% of total precipitation. Keyword:
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: Peanut Stripe Virus Strain Inonesia : Variasi Biologi, Deteksi Molekuler, Pengklonan, dan Determinasi Urutan Nukleotida 3' Genom RNA PStV, serta Analisis Keragaman dan Filogenetika Berdasarkan Gen CP dan 3'UTR Abstrak:Hasil kacang tanah di Indonesia tahun 1996 adalah 746.600 ton dengan luas panen 696.600 Ha (1.07 tonha) (BPS, 1996). Di negara-negara penghasil kacang tanah lain, seperti Korea Selatan, Jepang, dan RRC hasil rata-rata perhektar berturut-turut adalah 1.77 ton, 1.72 ton, dan 1.92 ton (Xu, 1992). Rendahnya produktivitas kacang tanah di Indonesia antara lain disebabkan serangan virus. Di Indonesia, PStV paling dominan menyerang kacang tanah dibandingkan dengan virus-virus yang lain. Keyword:
Judul: Various Types Of Pstv Cp Gene Constructs To Protect Transgenic Nicotiana Benthamiana From Pstv Inoculation And Transformation Of Pstv Cp Gene Into Peanut Abstrak:Disertasi ini dirnulai dari BAB I. Pendahuluan Umum dan BAB II. Tinjauan Pustaka. Selanjutnya ditulis hasil-hasil serangkaian percobaan yang mengarah kepada pembentukan tanaman Nicotiana henthamiana dan kacang tanah tahan PStV. terutama dengan memanfaatkan teknik transformasi gen dengan bantuan Agrobacterium tumefaciens. Gen ketahanan terhadap PStV dalam penelitian ini diambil dari gen coat protein PStV itu sendiri, terdiri atas empat tipe konstruksi yaitu pBINRCPL pBINRCP2. pBINRCP3, dan pBINRCP4. Untuk mengetahui dengan cepat efektivitas keempat gen ini dalam memberikan sifat ketahanan tanaman terhadap PStV digunakan tanaman model. yaitu N benthamiana. Setelah diketahui konstruksi gen yang paling efekti1~ konstruksi ini akan diintroduksikan ke tanaman kacang tanah. Dengan demikian dalarn penelitian ini digunakan dua tanaman yaitu N henthamiana sebagai tanaman model dan kacang tanah (Arachis hypogaea L) sebagai tanaman utarna yang diinginkan memperoleh sifat ketahanan terhadap PStV. Untuk keberhasilan regenerasi tanaman transgenik diperlukan adanya empat syarat yaitu: (i) tersedianya gen yang akan diintroduksikan; (ii) metode introduksi gen tersebut ke tanaman target: (iii) metode regenerasi tanaman yang efektif secara in virro: dan (iv) kemampuan untuk mengekspresikan gen yang telah terintegrasi dalam genom tanaman. Untuk memperoleh tanarnan transgenik N. benthamianu juga diperlukan keempat syarat di atas. Syarat pertama yaitu tersedianya gen yang akan diintroduksikan. Gen-gen yang digunakan dalam penelitian ini adalah gen cp PStV dan dua gen marker [gen /3-glucoronidase (gus) dan gen green fluorescent protein (g/p)]. Gen cp dan gen gus sudah dikonstruksi oleh peneliti lain sedangkan gen gfp dikonstruksi dalam penelitian ini (dilakukan di QABC. Queensland. Australia). Konstruksi dan kloning gen gfjJ dilakukan untuk memperoleh gen marker yang Iebih baik dibandingkan gen marker lain (seperti gen gus dan gen luc). Dengan tersedianya konstruksi gen marker ini. pengembangan metode transforrnasi tanaman dapat dilakukan tanpa menggunakan esei yang sifatnya destruktif jadi jaringan/eksplan tidak rnati seperti yang terjadi pada esei GUS. Dari penelitian yang ditulis pada BAB III ini dihasilkan dua plasmid yaitu pSAQl (singkatan dari Sholeh Avivi QABC) dan pSAQ2. Gen gfp dalam plasmid basil rekonstruksi dapat diekpresikan dengan baik pada tanaman tembakau W38. Plasmid hasil penelitian ini digunakan untuk membandingkan efektifitas transfer gen pada BAB VI. I, Peanut stripe virus (PStV) is one of the most important virus diseases in peanut. It causes severe reduction in yield and seed quality of peanut. Hence it is a significant constraint to peanut production in Indonesia. In this study, we aim to generate genetically-modified commercial peanut cultivars that are resistant to PStV infection by expressing viral coat protein sequence in transgenic plants. To achieve this objective, several experiments have been conducted, such as: (1) Construction of non-destructive selectable marker gene, green fluorescens protein (g/p), for expression in plants; (2) Evaluation of various types of PStV cp transgene(s) to protect transgenic Nicotiana benthamiana from PStV; (3) The development of procedures for obtaining efficient somatic embryos in peanut; (4) Agrobacterium-mediated transformation of peanut somatic embryos; and ( 5) Regeneration of transgenic peanut carrying PStV cp transgene(s). The PStV cp transgene was isolated from coat protein gene sequence of PStV isolate from Malang (Indonesia), and was constructed in four different types: pBINRCP 1 (full length translatable), pBINRCP2 (full length translatable, modified DAG motif), pBINRCP3 (full length untranslatable), and pBINRCP4 (terminally truncated). From these current studies, two binary plasmids carrying gfp expression cassette were obtained: PSAQl and PSAQ2 (abbreviated from Sholeh Avivi-QABC). These binary plasmids could be successfully transformed and expressed in tobacco cv. W38. For N benthamiana regeneration of transgenic plants was obtained by using leaf segments as explants, 10 minutes inoculation with Agrobacterium, 24 hour co-cultivation, and using bacterial concentration at OD600=0.5. Using this method, 71 transgenic lines of N benthamiana have been produced and when mechanically inoculated under plastic house conditions, 34 of those showed various degree of resistance to PStV. The best construct showing highest level of resistance to PStV was pBINRCP3. Furthermore, several PStV resistance N benthamiana lines carrying pBINRCP4 have also been challenged with potato virus Y (PVY). The result indicated the potential of using pBINRCP4 for broad spectrum resistance to diseases caused by Potyviruses. Research in peanut was started with optimization of somatic embryo regeneration. The best regeneration method was obtained using protocols developed by Edy (1998), using embryo axes from mature seed devoid of radicle and leaflet as explants and culturing them on MS16 medium [ MS salts a'ld vitamines (Murashige and Skoog, 1962), sucrose [2%], agar [0.8%], and picloram [16 μM]]. Effective Agrobacterium-mediated transformation method was performed by using peanut embryogenic calli at 49 day after induction, 15 minutes inoculation with Agrobacterium, 24 hour co-cultivation, and with bacterial concentration at OD6oo=0.5. Using this method, transformation efficiency at 20% was observed. Until the end of the study, putative transformed peanut embryos carrying PStV pBINRCPl, pBINRCP2, pBINRCP3, and pBINRCP4 were still being regenerated on selective medium. Keyword:Peanut Stripe Virus(PStV), Nicotiana benthamiana
Judul: Methodologies for Maintaining and Comparing Designs in a Cooperative Design Environment Abstrak:This thesis examinedl the problem of how to support several designers working on one or more project s so that they can pool their design ideas and produce improved designs from wmparing and integrating various designs. The core of the syetem is a design repitory based on the triangle madel, which stores the designs and computes the differences hetween them. The designs are rep resented as sets of features and a language (FBSM) is provided to describe them. Meta-features can be defined so that designs can be viewed at different levels of abstraction and formed into groups. Keyword:
Judul: Mechanism of virulence inhibition of enterophatogenic bacteria by ginger (Zingiber officinale Roscoe) rhizome extract Abstrak:Jahe segar merupakan bahan pemberi citarasa, yang biasanya ditambahkan dalam bahan pangan. Jahe berhngsi sebagai pengawet yang tidak toksik, dapat menstimulir, menghambat atau membunuh mikroba tergantung pada dosis yang digunakan. Senyawa utama pada jahe adalah senyawa minyak atsiri dan non volatil, yang mempunyai aktivitas antimikroba dan digunakan sebagai obat tradisional Keyword:
Judul: Keragaman cendawan endofit yang diisolasi dari berbagai spesies tanaman obat potensial Abstrak:Indonesia has high medicinal plant diversity, however, there was limited study on endophytic fungi associated with them, particularly on potential medicinal plant jahe merah (Zingiber officinale Roscoe), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk), local pegagan (Centella asiatica L), malaysian pegagan, and temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). As traditional medicines, the society use certain medicinal plant organ such as leaf, stem, rhizome and root as functional organ in traditional remedy because it contains high bioactive compounds. Some endophytic fungi had been reported to produce bioactive compound including anti-microbe substances. Role of endophytic fungi in production of bioactive compound of medicinal plant as their host is significant, however, diversity and distribution of the fungi in the host plant are not sufficiently studied particularly for the five potential medicinal plant mention above. The aims of the research were: 1). To obtained the endophytic fungi isolates from the functional organ of jati belanda, local pegagan and malaysian pegagan type, and jahe merah, and from whole of jahe merah plant organs, 2). To study the diversity of endophytic fungi by using a combination of morphological characteristic, molecular analysis of sequence DNA generated from ITS rDNA region, and chemistry characteristic by FTIR, 3). To study the potency of endophytic fungi which have activity as biological control against F. oxysporum. The medicinal plants used were divided into two groups. The first group was medicinal plants that used only their functional organ that is leaf of jatibelanda, leaf of local pegagan and malaysian pegagan, and rhizome of temulawak. The second group was jahemerah plant. In this group all plant organs both functional and non-functional such as leaf, stem, rhizome and root were used as source of fungal isolation. In the first group, all functional organ of plants studied harbored endophytic fungi. There were 13 isolates of the endophytic fungi obtained from leaf of jati belanda and each of leaves of pegagan local and malaysian cultivars, and rhizome of jahe merah was occupied by five isolates. The fungi were identified as Aspergillus versicolor, Aspergillus sydowii, Aspergillus terreus, Colletotrichum gloeosporioides and its teleomorphic stage Glomerella cingulata, Colletotrichum higginsianum, Curvularia affinis, Diaporthe phaseolorum, Engyodontium album, Fusarium solani, Lasiodiplodia theobromae, Leptosphaerulina australis, Mycoleptodiscus indicus, Pseudocercospora cruenta, Stagonosporopsis cucurbitacearum, Talaromyces assiutensis. Colletotrichum gloeosporioides and its teleomorphic stage Glomerella cingulata were dominant endophyte fungi and were found in all plants study. Endophytic fungi derived from functional organ of jati belanda, temulawak, pegagan local and malaysian cultivars had inhibitation activity against F. oxysporum with the ranges of inhibition value 6.0-78.9%. Talaromyces trachyspermus JBd10, Glomerella cingulata JMr2, and Fusarium solani JMd14 statistically had the highest inhibitation value, while Mycoleptodiscus indicus PMd1 and Engyodontium album JBd13 had the lowest inhibitation value. Thirty isolates of endophytic fungi having different colony characteristics were obtained from Zingiber officinale, six isolates were derived from functional organ of Zingiber officinale and twenty four isolates were derived from nonfunctional organ of Zingiber officinale, i.e. leaf, rhizome, root, and stem. Each of root, stem, and leaf was occupied by eight isolates. Fungal identification by using a combination of morphological characteristic, molecular analysis of sequence DNA generated from ITS rDNA region, and phylogenetic analysis resulted Acremonium macroclavatum, Beltraniella sp., Cochliobolus geniculatus and its anamorphic stage Curvularia affinis, Fusarium solani, Glomerella cingulata and its anamorphic stage Colletotrichum gloeosporoides, Lecanicillium kalimantanense, Myrothecium verrucaria, Neonectria punicea, Periconia macrospinosa, Rhizopycnis vagum, Talaromyces assiutensis, and one mycelia sterilia JMd9. C. gloeosporoides and its teleomorphic stage G. cingulata were dominant endophyte fungi in jahe merah. R. vagum was found specifically on root whereas L. kalimantanense and M. verrucaria were found on stem of red ginger plant. A. macroclavatum was found specifically in bellow ground organ, whereas Curvularia was determined from shoot or above ground organ of red ginger plant. Based on moleculer analysis, chemistry characteristic by FTIR, and antagonistic assay, the isolates JMa5 and JMd14 were belong to the same species, namely F. solani but they were differ in strain. Similarly JMr2, JMd4, JMd5, and JMd12 were belong to the same species G. cingulata but they were differ in strain. Other while, C. geniculatus JMbt9 and JMd13, G. cingulata JMd12 and JMr2. Otherwhile, G. cingulata JMbt13 and G. cingulata JMd4 were belong to the same species and also the same strain that spreaded in leaf and stem of jahe merah. Similarly A. macroclavatum JMa6 and A. macroclavatum JMr7. The endophytic fungi lived in the different organs of host plant may be belong to the same species and the same strain but also belong to the same species but in the different strain. All jahe merah plant organs harbor diverse endophytic fungi and their inhibition effects on growth of F. oxysporum were varied with the inhibition value range from 1.4 to 68.8%. C. affinis (JMbt7) and F. solani (JMd14) had significantly highest antagonistic activity with the value above 65%; and R. vagum (JMa4) and C. geniculatus (JMbt9) had significantly lowest antagonistic activity with the value up to 10%. This finding showed that not only rhizome of red ginger inhabited by endophytic fungi with high antifungal activities, but also other organs. Keyword:medicinal plants, endophitic fungi, diversity, identification, phylogenetic, chemistry analisis
Judul: Mixed effect models for high –dimensional longitudinal data with latent variables Abstrak:A set of data that consist of repeated measurements on a large number of outcomes and covariates are known as high-dimensional longitudinal data. The high-dimensional longitudinal data may consist of several effects of interest that cannot be directly measured, known as latent factors or latent variables. During the last decade, the multivariate responses or high-dimensional in longitudinal data have been a big issue. The analysis of high-dimensional longitudinal data is complicated due to its complex correlation structures between outcomes. To understand changes over time of outcome variables, having correlations in individuals with explanatory variables is not enough. Hence, complex correlation structures between outcomes need to be considered. One approach that is commonly used to overcome high-dimensional longitudinal data is simultaneous equation modeling. A well-known simultaneous equation modeling method is the structural equation model (SEM). This approach has several appealing modeling abilities and can be used for high-dimensional longitudinal data. Under the SEM framework, the continuous time SEM is developed to avoid some issues associated with autoregressive and cross-lagged problems in SEM. Another simultaneous equation modeling method is by combining factor analysis and multivariate analysis methods to overcome high dimensional longitudinal data, namely latent factor linear mixed model (LFLMM). The factor analysis is used to reduce the high-dimensional outcomes, and the multivariate linear mixed model is used to study the longitudinal trends of several latent factors. One example of high-dimensional longitudinal data is the General Election Study. This study is carried out repeatedly to observe tendencies towards political attitudes and behavior over time in Belgium. The data contain political information, knowledge, perceptions, and preferences of a political party and the level of participation in politics. One of the most interesting things to study from the data is to analyze the change of political attitudes and behavior of respondents over time. Also, the relationship of changes in these outcomes is important to analyze. The General Election Study in Belgium was designed to include a representative sample of the target population under the Belgian electorate, so accurate estimates about the population could be made. This sampling design was created by the Institute for Social and Political Opinion (ISPO) and the Inter-university Center for Political Opinion Research (PIOP). The Belgian data set contained three subsamples, the Flemish (Dutch-speaking), the Walloon (French-speaking), and the Brussels Capital Region (Dutch and French-speaking). Several studies conducted on the Belgium data are carried out to understand the relationships between the latent variables Individualism (I), Ethnocentrism (E), and Authoritarianism (A) in Flanders. Cross-sectional or a longitudinal studies have also been carried out. In such cases, it is critical to capture the trend of the latent variables over time and, more importantly, whether there is any association or relationships between the development of nationalism (N), ethnocentrism (E), individualism (I), and authoritarianism (A) in Belgium. An empirical analysis of CT-SEM has been done to present the interdependencies among the four latent variables mentioned above on the basis of the General Election Studies for Belgium in 1991, 1995, and 1999 (Interuniversitair steunpunt politieke-opinieonderzoek, 1991, 1995, 1999). Although the four variables have been the subject of several studies in Flanders, a longitudinal analysis of all four concepts using CT analysis and their relationships has not been performed. Reciprocal effects between A and E and between E and I as well as a unidirectional effect from A on I were found in the CT-SEM analysis. The finding also revealed relatively small but significant, effects from both I and E on N, but no effect from A on N or from N on any of the other variables. Similar to the CT-SEM method, the latent factor linear mixed model (LFLMM) is also a common method used to analyze the change in highdimensional longitudinal data. Analysis of change from several previously mentioned latent variables I, N, E, and A in Flanders, Belgium, is interesting as Belgium is feared to fall apart as a nation. Two stages of modeling have been carried out. The first stage involved modeling Individualism (I), Nationalism (N), and Ethnocentrism (E), and in the next step, Authoritarianism (A) was added to the model. The results showed that I, N, and A increased over time while E decreased over time. The correlation of random effects in LFLMM has geared several exciting findings, including positive correlations between E and A; I and E; and I and A. Apart from advantages of the LFLMM method, disadvantages related to assumptions and performance of the EM algorithm used to estimate the model parameters were identified. One disadvantage is that the EM algorithm cannot automatically produce the calculation of standard errors. This dissertation extended the EM algorithm called the Supplemented EM algorithm and used a simulation study to investigate the computational aspects of the algorithm in the latent factor linear mixed model (LFLMM) to produce the standard errors of the estimator of fixed variables. We also calculate the variance matrix of beta using the second moment as a benchmark to compare with the asymptotic variance matrix of beta of Supplemented EM. Both the second moment and Supplemented EM produce symmetrical results, the variance estimates of beta are getting smaller when number of subjects in the simulation increases. The algorithm was implemented to analyze the data on political attitudes and behavior in Flanders-Belgium. This algorithm was also implemented on Belgian data involving cohorts from Flanders and Wallonia. It was found that all latent are positively correlated over time as indicated by the correlation matrix of random effects. Keyword:Belgium, CT-SEM, high-dimensional longitudinal data, LFLMM, Supplemented EM Algorithm
Judul: Functional Study of Candidate Genetic Markers Determining The Lamb Quality of Indonesian Sheep Abstrak:Upaya peningkatan produksi daging domba baik secara kuantitas maupun kualitas perlu dilakukan untuk membantu pemenuhan kebutuhan protein asal hewani khususnya bersumber dari daging. Salah satu langkah yang dapat dilakukan melalui program seleksi berbasis molekuler dengan marka genetik penentu kualitas daging domba. Hasil RNA sequencing yang dilakukan sebelumnya diperoleh beberapa kandidat marka genetik diantaranya gen dopa decarboxylase (DDC) dan cytochrome P450 family 2 subfamily E member 1 (CYP2E1) yang diduga memiliki peranan dalam kualitas daging domba. Penelitian ini bertujuan mengkaji secara fungsional kandidat marka genetik gen DDC dan CYP2E1 dari segi aspek genomik, transkriptomik, dan proteomik dalam peranannya terkait mekanisme kualitas daging domba Indonesia. Kajian fungsional meliputi identifikasi keragaman gen DDC dan CYP2E1, asosiasi keragaman gen DDC dan CYP2E1 dengan kualitas karkas dan daging, analisis ekspresi gen DDC dan CYP2E1, dan analisis protein CYP2E1. Identifikasi keragaman gen DDC dan CYP2E1 dilakukan pada 200 ekor domba Indonesia dari beberapa rumpun diantaranya domba ekor tipis (DET), domba ekor gemuk (DEG), domba Garut (DG), domba Jonggol (DJ), domba compass agrinak (DCA), domba barbados cross (DBC), dan domba komposit Garut agrinak (DKG). Keragaman gen DDC dan CYP2E1 diidentifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP). Hasil keragaman gen DDC dan CYP2E1 diasosiasikan dengan kualitas daging domba dengan analisis uji T. Tingkat ekspresi gen DDC dan CYP2E1 dari masing–masing genotipe dianalisis menggunakan metode quantitative Real Time-PCR (qRT-PCR). Analisis protein CYP2E1 dilakukan dengan pewarnaan imunohistokimia (IHK) dan hematoxylin-eosin (HE) menggunakan masing-masing tiga sampel kelompok tinggi dan rendah berdasarkan nilai pH daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SNP g. 5377439 G>A gen DDC dan SNP g. 50658168 T>C gen CYP2E1 bersifat polimorfik (beragam) pada populasi domba yang diamati dengan ditandai munculnya tiga genotipe berbeda pada masing-masing gen, yaitu GG, AG, dan AA pada gen DDC serta TT, CT, dan CC pada gen CYP2E1. Gen DDC memiliki pengaruh yang signifikan (P<0,05) pada sebagian besar sifat kualitas karkas domba, diantaranya karakteristik karkas meliputi bobot hidup, persentase karkas, panjang karkas, karkas hangat, dan karkas dingin, dan seluruh potongan komersil karkas kecuali shank dan neck. Selain itu gen DDC juga memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05) pada kualitas daging meliputi nilai pH, keempukan, dan daya mengikat air. Keragaman gen DDC juga memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05) dengan komposisi asam lemak meliputi konten lemak; asam lemak jenuh termasuk asam oktanoat (C8:0), asam kaprat (C10:0), asam palmitat (C16:0), asam heptadekanoat (C17:0), asam stearat (C18:0), asam arakidat (C20:0), dan asam henekosanoat (C21:0), asam behenat (C22:0), asam trikosanoat (C23:0), dan asam tetrakosanoat (C24:0). Selain itu, gen DDC juga berhubungan secara nyata (P<0,05) dengan asam lemak tak jenuh tunggal termasuk asam palmitoleat (C16:1), asam oleat (C18:1n9c), asam elaidik (C18:1n9t), dan asam nervonat (C24:1); serta asam tak jenuh ganda termasuk asam linolenat (C18:3n3), asam eikosidoneat (C20:2), asam homo y-linolenat (C20:3n6), dan asam arakidonat (C20:4n6). Akan tetapi, gen DDC tidak memiliki pengaruh yang signifikan (P>0,05) pada kandungan mineral daging. Secara umum genotipe AG pada gen DDC menunjukkan nilai kualitas daging yang paling tinggi dibandingkan genotipe AA dan GG. Tingkat ekspresi gen DDC secara signifikan berbeda nyata (P<0,05) dalam mempengaruhi kualitas daging. Hasil asosiasi gen CYP2E1 dengan parameter kualitas karkas menunjukkan adanya pengaruh keragaman genotipe yang signifikan (P<0,05) pada sifat kualitas karkas, diantaranya semua parameter karakteristik karkas meliputi bobot potong, persentase karkas, panjang karkas, karkas hangat, dan karkas dingin; potongan komersil karkas meliputi leg, shoulder, rack, breast, loin, flank, shank, dan neck. Keragaman gen CYP2E1 juga memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05) dengan komposisi asam lemak meliputi konten lemak, asam lemak jenuh, seperti asam palmitat (C16:0), asam margarat (C17 :0), asam stearat (C18:0), asam arakidat (C20:0), asam heneikosilat (C21:0), asam behenat (C22:0), asam trikosilat (C23:0), asam tetrakosanoat (C24:0). Selanjutnya, gen CYP2E1 juga memiliki hubungan yang signifikan dengan asam lemak tak jenuh tunggal, seperti asam miristoleat (C14:1), asam palmitoleat (C16:1), asam ginkgoleat (C17:1), asam oleat (C18:1n9c), asam elaidat (C18:1n9t), asam paullinat (C20:1), dan asam erusat (C22:1n9); dan beberapa parameter asam lemak tak jenuh ganda, seperti asam linoleat (C18:2n6c), asam y-linolenat (C18:3n6), asam dihomo-y-linolenat (C20:3n6), asam arakidonat (C20:4n6), dan asam eikosapentaenoat (C20:5n3); serta kandungan mineral, yaitu selenium (Se). Domba dengan genotipe CT memiliki nilai kualitas daging yang lebih baik dibandingkan genotipe CC dan TT pada gen CYP2E1. Analisis ekspresi gen CYP2E1 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antar genotipe dengan tingkat ekspresi tertinggi ada pada genotipe CT. Ekspresi gen DDC dan CYP2E1 berdasarkan analisis scatterplot menunjukkan bahwa kedua gen ini memiliki korelasi positif dalam mempengaruhi kualitas daging domba. Hasil analisis imunohistokimia menunjukkan bahwa protein CYP2E1 terdeteksi dalam sampel jaringan yang diamati. Berdasarkan pewarnaan HE didapatkan bahwa kelompok sampel dengan nilai pH tinggi memiliki luasan dan keliling area otot yang lebih besar dibandingkan kelompok sampel dengan nilai pH rendah. Pengaruh genotipe pada kualitas karkas dan potongan komersil, kualitas sifat fisik daging, dan komposisi asam lemak berbeda pada domba murni dan domba persilangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen DDC dan CYP2E1 dapat dijadikan kandidat marka yang potensial untuk melakukan seleksi domba yang memiliki nilai kualitas daging tinggi pada domba Indonesia. Keyword:domba, gen DDC, gen CYP2E1, kualitas daging, protein
Judul: Hematological Status, Meat Quality and The Potensial Polymorphism for Gene DGAT1 of Garut Sheep which Produced According to The Principles of Organic Farming Abstrak:Domba Garut terutama tipe tangkas terkenal dengan harganya yang relatif tinggi, karena selain gagah, juga memiliki performa perdagingan yang baik. Namun demikian, harga yang mahal pada saat ternak hidup, tidak selalu diiringi harga daging yang tinggi. Setelah dikonversi menjadi daging, harga daging domba tangkas sama saja dengan harga daging domba pada umumnya. Salah satu upaya terobosan meningkatkan nilai jual adalah melalui sertifikasi organik. Menurut SNI 01-6729-2016, prinsip umum yang digunakan pada produk peternakan organik, adalah hewan ternak yang dipelihara untuk produksi organik harus menjadi bagian integral dari unit usaha tani organik dan dikelola sesuai dengan kaidah-kaidah serta syarat dan ketentuan produk organik. Selain itu pengelolaannya harus berdasarkan prinsip kesejahteraan ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hematologi serta produk daging yang dihasilkan ternak yang dipelihara menurut prinsip pertanian organik. Selain itu, penelitian juga ditujukan untuk mengidentifikasi keragaman genetik kandidat marker DGAT1 terhadap karakteristik karkas dan daging domba. Tahapan penelitian I mencakup evaluasi status hematologi dan metabolit darah. Sedangkan tahap II adalah mengevaluasi kualitas produk yang dihasilkan terutama pada kualitas fisik daging serta potongan komersial karkas. Selanjutnya hasil produk dibandingkan dengan berbagai macam rumpun domba yang ada di Indonesia. Pendekatan ekspresi gen yang terkait dengan kualitas daging dan karkas diwakili oleh gen DGAT1. Pengaruh pemberian akses ruang terbuka pada ternak dalam prinsip pertanian organik tidak secara menyeluruh menjamin kesejahteraan ternak. Faktor dominasi serta faktor “x” lainnya perlu ditelaah lebih lanjut. Demikian juga mengenai pakan organik yang diberikan, perlu perbaikan dalam hal kuantitas maupun kualitas. Status Hematologik menunjukkan perbedaan yang nyata, namun semua perlakuan berada di kisaran bawah batas normal. Rasio N/L telah menunjukkan gejala stress. Metabolit darah menunjukkan Nilai trigliserida pada perlakuan exercise nyata lebih rendah dibanding perlakuan non exercise, sedangkan nilai kolesterol, HDL, LDL belum menunjukkan beda nyata. Produk daging yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar perlakuan, baik keempukan, susut masak, daya menahan, warna daging dan warna lemak dengan pH ultimat daging mencapai 5.8. Hasil organoleptik menunjukkan daging yang dihasilkan lebih disukai konsumen terutama dalam hal rasa dan warna. Jika dibandingkan dengan rumpun lain, domba garut yang dipelihara dalam sistem organik ini juga menunjukkan hasil yang positif. Gen DGAT1 berasosiasi dengan bobot badan, bobot karkas dan potongan komersial, termasuk terhadap potongan dada, bagian tulang dan lemak subkutan. Genotipe CC dominan pada populasi domba Garut, domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Genotipe tipe TT tidak ditemukan dalam penelitian ini. Genotipe tipe CC ini yang memiliki pengaruh lebih tinggi dibanding Genotipe CT., performa Keyword:Domba Garut, perdagingan, performa
Judul: Methane Consumption (CH4) on Upland Rice Cultivation Under Micro Climate Cobdition With N Fertilizer Levels Abstrak:Methane (CH4) is one of radiatively active trace gases or greenhouse gas, having strong absorbsivity to the infrared outgoing radiation emitted by the earth's surface, hence causing the warming of the atmosphere. Methane concentration in the atmosphere increases with a rate of about 12+1 ppbv/yr, or 36 Tg/yr. The increase of methane was predicted to have a significant impact on the earth's climate. The presence of 1.3 ppmv of methane in the atmosphere causes the globally average surface temperature 1.30C higher than it would be with no methane. Keyword:
Judul: Analisis persepsi dan strategi petani dalam usaha tanaman kayu rakyat (studi kasus usaha tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan) Abstrak:Tanaman kayu rakyat memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan kehutanan di Indonesia, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di pedesaan, penyediaan bahan baku kayu bagi industri kehutanan dan rehabilitasi sumber daya hutan. Potensi pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia sangat besar mengingat luasnya areal lahan kritis di Indonesia serta tingginya permintaan terhadap bahan baku kayu. Namun demikian, fakta sejauh ini menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Diperlukan intervensi kebijakan yang lebih baik agar pertumbuhan tanaman kayu rakyat di Indonesia dapat lebih ditingkatkan. Disertasi ini bertujuan untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman tersebut penting untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan intervensi kebijakan yang lebih sesuai dengan kondisi petani, sehingga lebih efektif dalam memotivasi petani untuk menanamkan investasi di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pendekatan analisa dan pengembangan kelembagaan digunakan di dalam disertasi ini untuk memahami proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani sebagai aktor utama di dalam sistem usaha tanaman kayu rakyat. Keyword:
Judul: Model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (Kasus di kabupaten Gunung Kidul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah) Abstrak:Hutan rakyat merupakan salah satu alternatif penting dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan, khususnya dalam rehabilitasi hutan dan lahan serta peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat ialah berkaitan dengan adanya issue global warming dan ekolabel, yang mensyaratkan kayu-kayu bersertifikat sebagai ketentuan untuk dapat masuk pasar kayu internasional. Unit manajemen pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, yang dikelola oleh masyarakat setempat telah membuktikan bahwa rakyat telah mampu mengelola hutan secara lestari dan mendapatkan sertifikat Ekolabel. Keberhasilan tersebut melewati suatu proses belajar, yang pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan. Perubahan perilaku masyarakat ke arah kemandirian dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu tujuan penyuluhan kehutanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar petani dan bagaimana mengembangkan pembelajaran petani tersebut, merupakan permasalahan yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini. Keyword:Pengelolaan Hutan, Hutan Rakyat Lestari, Gunung Kidul, Yogyakarta, Wonogiri, Jawa Tengah
Judul: Blood Bicchemistry Profile of Pregnant Women Consumed Fortified Cookies with Iron (Fe), Folic Acid, Vitamin A, Vitamin C, Zinc (Zn), and Iodine Abstrak:The aim of this study was to analyze the effect of fortified cookies on blood biochemistry profile of pregnant women. For this purposed, an experimental study design was applied among 269 physically healthy pregnant women in Leuwiliang and Cibungbulang, Bogor for four treatment groups (I, 11, 111, IV) and control group (V), which given one type of formula cookies for each. The five type of formula are: (1) formula A, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A and vitamin C; (2) formula B, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, and Zn; (3) formula C, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A, vitamin C, and iodium; (4) formula D, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, Zn, and iodium; (5) formula E, was not fortified (control). The different formula were given to different group of women every two days during gestation period. Keyword:
Judul: Beberapa Aspek Hubungan Biologi Predator-Mangsa antara Nephus Roepkei (de Fluiter) (Coleoptera : Coccinelli Dae) dan Planococcus Citri (Risso) (Homoptera : Pseodococcidae) Abstrak:Penelitian bertujuan memahami beberapa aspek hubungan biologi predator-mangsa N.reopkei dan P. citri, dalam rangka menetapkan kedayagunaan N. reopkei sebagai predator P. citri. Ada sembilan percobaan yang dilaksankan yaitu percobaan-percobaan siklus hidup P. citri siklus hidup N. reopkei , preferensi N.reopkei terhadap stadium P.citri yang berbeda, tanggap fungsional N.reokei, kanibalisme pada N.reopkei, tanggap N.reopkei terahadap abu bunga dan buah kopi, perilaku N.reopkei dalam mencari P.citri, dan pengaruh populasi awal N.reopkei yang berbeda tehadap pertumbuhan populasi P.citri di pertanaman kopi. Keyword:
Judul: Biology and ecology of the citrus red mite, Panonychus citri (McGregor) (acari: tetranychidae) Abstrak:Citrus Red Mite (CRM), Panonychus citri (McGregor) (Acari: Tetranychidae), is an exotic species potential harmful to citrus orchards in Indonesia. The objectives of this research are: a) to determine the abundance of CRM, other mites, and natural enemies of CRM at various citrus orchards, b) to study biology, life cycle, and population growth potential of CRM, c) to study biology, life cycle, and population growth potential of predatory mite Amblyseius lingispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), and d) to evaluate prey preference and predation rate of A. longispinosus. Keyword:
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Synthesis of sucrose fatty acid polyesters from coconut oil as a fat substitute for low-calorie food Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum pada. sintesis poliester asam lemak sukrosa (sucrose fatty acid polyester) dari minyak kelapa (Cocos nucifea) dengan sukrosa oktaasetat menggunakan katalis natrium metoksida. Hasil poliester sukrosa yang diperoleh dicoba untuk digunakan sebagai ingredient dalam rangka memproduksi makanan rendah kalori yang sekaligus merupakan suatu alternatif dari penggunaan minyak kelapa guna meningkatkan nilai tambah minyak keiapa dan turut membantu menanggulangi masalah yang berkaitan dengan penyakit yang disebabkan oleh gizi lebih. Keyword:
Judul: Modifikasi struktur kimia dari fraksi polimer maltodekstrin sagu (Metroxylon sagus) untuk bahan pengganti lemak Abstrak:Penelitian ini bertujuan mengembangkan bahan pengganti lemak, dengan memodifikasi struktur kimia bagian polimer maltodekstrin yang diperoleh dari proses hidrolisis pati, sagu secara enzimatis. Hasil analisis sifat fisik berdasarkan pola diffraksi sinar-X menunjukkan hilangnya bentuk semikristal pati sagu karena proses hidrolisis. Akan tetapi, modifikasi fosforilasi ikatan silang menggunakan POCh dapat mengembalikan bentuk semikristal tersebut pada maltodekstrin terfosforilasi, meskipun dengan tingkat intensitas dan d-spacing sedikit berbeda. Keyword:Maltodextrin;, Polymer;, Enzymatic hydralysis;
Judul: Ekologi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) Linnaeus 1758 pada beberapa tipe habitat di Ujung Timur Penyebarannya Jawa Timur, Indonesia Abstrak:Merak hijau jawa merupakan salah satu jenis burung yang dilindungi.di Indonesia berdasarkan SK Mentan No 66/Kpts/Um/2/1973 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 7 tahun 1999. Menurut ICBP (The International Council for Bird Preservation) merak hijau sebagai jenis burung yang tergolong terancam secara keseluruhan (globally threatened) baik populasi maupun habitatnya, sedangkan CITES mencantumkan merak hijau ke dalam Appendix II, merak hijau dari alam tidak bisa langsung diperdagangkan dan BirdLife International (2007) memasukkan golongan burung yang endangered. Tekanan terhadap populasi dan habitat merak hijau jawa sangat besar, sehingga kondisi populasinya menurun pada setiap penyebaran lokalnya, habitatnya terfragmentasi bahkan terisolasi. Tekanan terhadap populasi terutama karena perburuan liar. Namun demikian fakta menunjukan bahwa merak hijau jawa masih ada (exist), hal ini memberikan gambaran bahwa burung ini tentunya memiliki strategi ekologi tertentu untuk tetap bertahan hidup di alam pada berbagai tipe habitat. Keyword:Pavo muticus muticus, Call count transect method, Pavo cristatus, Pavo muticus, Pavo muticus spicifer, Pavo muticus imperator, Pavo muticus muticus, Javan Green Peafowl, East Java
Judul: Studi keterkaitan antara sumberdaya ikan dan kemiskinan nelayan sebagai dasar kebijakan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat Abstrak:Studi Keterkaitan Antara Sumberdaya Ikan dan Kemiskinan Nelayan Sebagai Dasar Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat Keyword:
Judul: Pemberdayaan Pengolah Ikan Skala Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Abstrak:Potensi perikanan laut di pesisir utara dan selatan Jawa Barat sangat besar. Namun, sebagian masyarakat pesisir Jawa Barat termasuk rumah tangga pengolah ikan tergolong masih miskin. Kemiskinan tersebut disebabkan oleh nilai jual produk yang rendah. Kreativitas usaha yang dimiliki pengolah ikan masih rendah sehingga keuntungan usaha sulit ditingkatkan lagi. Disamping itu, masih ditemukan perilaku pengolahan ikan yang kurang higienis dan terjadi susut hasil perikanan yang cukup besar. Oleh karena itu, penelitian model pemberdayaan pengolah ikan skala rumah tangga sangat penting. Tujuan penelitian adalah (1) mendeskripsikan karakteristik internal dan dukungan eksternal yang mempengaruhi tingkat keberdayaan rumah tangga pengolah ikan serta menganalisis tingkat kesejahteraannya di Provinsi Jawa Barat, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberdayaan dan kesejahteraan pengolah ikan skala rumah tangga di Provinsi Jawa Barat, (3) menganalisis pembagian kerja dalam rumah tangga pengolah ikan di Provinsi Jawa Barat, dan (4) merumuskan strategi pemberdayaan pengolah ikan skala rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan di pesisir utara Kabupaten Cirebon dan di pesisir selatan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Populasi adalah pengolah ikan skala rumah tangga yang memiliki unit pengolahan dengan jumlah sampel 100 responden di Kabupaten Sukabumi dan 150 responden di Kabupaten Cirebon. Pengolahan data dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif menggunakan permodelan Structural Equation Modelling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik internal dan dukungan eksternal mempengaruhi tingkat keberdayaan pengolah ikan skala rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Tingkat keberdayaan dan kesejahteraan pengolah ikan skala rumah tangga di Jawa Barat termasuk kategori sedang. Pembagian kerja dan pengambilan keputusan pada rumah tangga pengolah ikan di pesisir utara di dominasi oleh kaum perempuan, sebaliknya di pesisir selatan didominasi oleh kaum lelaki. Strategi pemberdayaan pengolah ikan skala rumah tangga meliputi (1) memperkuat kebijakan pemberdayaan pengolah ikan skala rumah tangga yang mensinergikan peran Pemerintah Pusat, Daerah, Swasta, dan organisasi non pemerintah, (2) meningkatkan fasilitas peralatan pengolahan ikan, air bersih, modal usaha, dan layanan perizinan agar iklim usaha kondusif, (3) meningkatkan penyuluhan perikanan dan pendampingan kelompok karena penyuluhan dapat mengubah perilaku pengolah ikan secara signifikan, (4) meningkatkan dukungan pemasaran produk hasil perikanan untuk meningkatkan pendapatan usaha, (5) meningkatkan pasokan bahan baku ikan agar usaha berkelanjutan, (6) melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik. Keyword:gender, pemberdayaan, penyuluhan, perikanan
Judul: Sintesis Lipida Kaya 1,3-Dioleoyl-2-Palmitoyl-Glycerol (OPO) dari Hard Palm Stearin Abstrak:Human milk fat (HMF) merupakan lemak yang terkandung pada air susu ibu, yang mengandung 20–30% asam palmitat, dimana 60–70% asam palmitat terdistribusi pada posisi stereospesific number (sn)-2 dalam struktur triasilgliserol (TAG). Human milk fat substitute (HMFS) merupakan lipida terstruktur menyerupai HMF, yang disintesis melalui interesterifikasi enzimatis minyak atau lemak. Karakter utama HMFS adalah asam palmitat terletak pada posisi sn-2 dan asam lemak tak jenuh terletak pada posisi sn-1,3. HMFS yang umum disintesis adalah 1,3-dioleoyl-2-palmitoyl-glycerol (OPO), yang merupakan TAG utama pada HMF. TAG tersebut bermanfaat untuk bayi karena dapat membantu penyerapan lemak dan kalsium secara efektif. Hard palm stearin (HPS) merupakan fraksi padat hasil fraksinasi palm stearin (PS), yang secara alami mengandung asam palmitat dan tripalmitin (PPP) tinggi. Selain memiliki jumlah PPP yang tinggi, HPS juga mengandung TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2. TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2 diasidolisis dengan asam oleat menggunakan lipase spesifik sn-1,3 akan menghasilkan triolein (OOO), yang bukan produk target dalam sintesis HMFS. Oleh karena itu, rute sintesis HMFS menggunakan HPS harus dimulai dengan peningkatan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2. Kemudian, asam lemak pada posisi sn-1,3 dari fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 HPS diganti dengan donor asil tertentu seperti asil oleat melalui asidolisis atau transesterifikasi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mensintesis lipida kaya OPO berbahan baku HPS. Tujuan umum tersebut dicapai dengan beberapa tahapan penelitian antara lain: (1) peningkatan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 HPS melalui fraksinasi aseton dan interesterifikasi enzimatis menggunakan donor palmitat, seperti asam palmitat atau etil palmitat dalam sistem bebas pelarut; (2) penentuan kondisi reaksi optimum pada sintesis OPO melalui transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat dalam sistem bebas pelarut; dan (3) peningkatan lipida kaya OPO melalui fraksinasi produk transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat. Disertasi ini disusun secara sistematik sesuai tahapan penelitian. Pada bagian awal mengulas sintesis HMFS secara komprehensif. Pada bagian kedua, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS ditingkatkan melalui fraksinasi aseton HPS. Pada bagian ketiga, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 ditingkatkan melalui asidolisis HPS dengan asam palmitat atau transesterifikasi HPS dengan etil palmitat. Pada bagian keempat, sintesis OPO dilakukan melalui transesterifikasi antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat. Pada bagian terakhir, produk transesterifikasi antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan etil oleat difraksinasi untuk meningkatkan lipida kaya OPO. Pada fraksinasi aseton HPS diperoleh fraksi padat yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 (PPP dan PPS) yang meningkat. Peningkatan rasio aseton terhadap HPS dan suhu fraksinasi meningkatkan kadar PPP+PPS namun menurunkan rendemen PPP+PPS. Kondisi fraksinasi optimum untuk menghasilkan lipida kaya PPP+PPS adalah pada rasio HPS terhadap aseton 1:5 (g/ml) dan suhu fraksinasi 30 °C selama 3 jam. Pada kondisi tersebut, lipida yang diperoleh memiliki kadar dan rendemen PPP+PPS masing-masing lebih dari 91% dan 59%. Lipida yang diperoleh terdiri dari asam palmitat 91,32% dan pada posisi sn-2 88,13%. Pada interesterifikasi enzimatis HPS dihasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 tertinggi pada rasio mol HPS terhadap donor palmitat 1:3, suhu 65 °C, Novozyme 435 10% dari berat substrat, dan waktu reaksi selama 4 jam. Etil palmitat merupakan donor palmitat yang menghasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan kadar asam palmitat pada posisi sn-2 (88,44%) tertinggi dibandingkan asam palmitat (83,92%). Peningkatan lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 melalui fraksinasi aseton HPS dan transesterifikasi enzimatis antara HPS dan etil palmitat menghasilkan fraksi lipida yang kaya TAG dengan kadar asam palmitat pada posisi sn-2 pada tingkat yang sama yaitu lebih dari 88%. Namun, produk transesterifikasi mengandung kadar asam lemak bebas (ALB) dan diasilgliserol (DAG) yang lebih tinggi dibandingkan produk fraksinasi. Kadar DAG yang tinggi dapat menyebabkan migrasi asil pada interesterifikasi enzimatis yang dapat memengaruhi produk target (OPO) yang akan dihasilkan. Sehingga diperlukan proses purifikasi produk transesterifikasi untuk menghilangkan ALB dan DAG, yang dapat menyebabkan peningkatan biaya produksi. Dengan demikian, fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 yang dihasilkan melalui fraksinasi aseton dipilih sebagai substrat dalam sintesis lipida kaya OPO. Pada transesterifikasi enzimatis antara fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada sn-2 dari HPS dengan etil oleat diperoleh lipida terstruktur yang mengandung OPO+POO sebagai TAG utama. Peningkatan rasio mol etil oleat terhadap fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS dan waktu reaksi menurunkan kadar PPP dan PPS. Pada rasio mol fraksi lipida yang kaya TAG dengan asam palmitat pada posisi sn-2 dari HPS terhadap etil oleat sebesar 1:6, suhu 60 °C dan waktu reaksi 2 jam menghasilkan lipida terstruktur mengandung OPO+POO 41,13%, dengan asam palmitat total 51,09%, asam palmitat pada posisi sn-2 75,76%, asam oleat total 44,48%, dan asam oleat pada posisi sn-1,3 58,77%. Pada fraksinasi produk transesterifikasi dihasilkan fraksi cair dengan kadar OPO+POO dan PPO+POP yang meningkat. Fraksinasi pada 10 °C selama 3 jam menghasilkan fraksi cair mengandung OPO+POO 43,72% dan PPO+POP 51,03%. Pada kondisi tersebut, lipida yang diperoleh memiliki kadar asam palmitat pada posisi sn-2 dan asam oleat pada posisi sn-1,3 masing-masing sebesar 79,57% dan 68,93%, dengan kadar relatif asam palmitat pada posisi sn-2 sebesar 59,07%., Human milk fat (HMF) is fat contained in breast milk, which contains 20–30% palmitic acid, 60–70% palmitic acid is distributed at the stereospecific number (sn)-2 position in the triacylglycerol (TAG). Human milk fat substitute (HMFS) is a structured lipid similar to HMF, synthesized by enzymatic interesterification of oils or fats. The main character of HMFS is that palmitic acid is located at the sn-2 position, and unsaturated fatty acids are located at the sn-1,3 positions. The most commonly synthesized HMFS is 1,3-dioleoyl-2-palmitoyl-glycerol (OPO), which is the main TAG of HMF. OPO is beneficial for babies because it can help in the effective absorption of fat and calcium. Hard palm stearin (HPS) is a solid fraction resulting from the fractionation of palm stearin (PS), which naturally contains high palmitic acid and tripalmitin (PPP). In addition to having a high amount of PPP, HPS also contains TAG with oleic acid at the sn-2 position. TAG with oleic acid at the sn-2 position is acidolyzed with oleic acid using sn-1,3 specific lipase produces triolein (OOO), which is not the target product in HMFS synthesis. Thus, the HMFS synthesis route using HPS should be initiated by increasing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position. Then, fatty acids at sn-1,3 positions of the TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS are replaced with a specific acyl donor such as acyl oleic by acidolysis or transesterification. The main objective of this study was to synthesize lipids rich in OPO using HPS. This general goal was achieved by several stages of research, including (1) increasing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS by acetone fractionation and enzymatic interesterification using palmitic donors, such as palmitic acid or ethyl palmitate in a solvent-free system; (2) determination of the optimum reaction conditions in the synthesis of OPO by enzymatic transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate in a solvent-free system; and (3) increase lipids rich in OPO by fractionation of enzymatic transesterification product between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate. This dissertation is arranged systematically to follow the research stages. In the first chapter, the comprehensive review of HMFS synthesis. In the second chapter, TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS was enhanced by HPS acetone fractionation. The third chapter enhanced TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS by acidolysis of HPS with palmitic acid or transesterification of HPS with ethyl palmitate. In the fourth chapter, OPO synthesis was carried out by transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate. In the last chapter, the transesterified product between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and ethyl oleate was fractionated to increase lipids rich in OPO. In HPS acetone fractionation, the solid fraction containing TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position (PPP and PPS) increased. The increase in the ratio of HPS to acetone and the fractionation temperature increased the contents of PPP+PPS but decreased the yield of PPP+PPS. The optimum fractionation conditions to produce lipids rich in PPP+PPS were at a ratio of HPS to acetone of 1:5 (g/ml) and a fractionation temperature of 30 °C for 3 h. With these conditions, lipids obtained had PPP+PPS content and yield of more than 91% and 59%, respectively. Lipids obtained consisted of palmitic acid 91.32% and at sn-2 position 88.13%. In HPS enzymatic interesterification, TAG-rich lipid fraction with the highest palmitic acid at sn-2 position was produced at a mole ratio of HPS to palmitate donor of 1:3, the temperature of 65 °C, Novozyme 435 10% by weight of the substrate, and time reaction for 4 h. Ethyl palmitate was a palmitic donor that produced a TAG-rich lipid fraction with the highest palmitic acid content at sn-2 position (88.44%) compared to palmitic acid (83.92%). The increase in TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position through the fractionation of HPS acetone and enzymatic transesterification between HPS and ethyl palmitate resulted in TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position at the same level of more than 88%. However, the transesterification product contained higher free fatty acid (FFA) and diacylglycerol (DAG) than the fractionated product. High levels of DAG can cause acyl migration in enzymatic interesterification, which can affect the target product (OPO) that will be produced. Therefore, a transesterification product purification process is needed to remove FFA and DAG, increasing production costs. Thus, TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position generated by acetone fractionation was chosen as a substrate in synthesizing OPO-rich lipids. In enzymatic transesterification between TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position and ethyl oleate, a structured lipid was obtained containing OPO+POO as the main TAG. Increasing the substrate mole ratio of ethyl oleate to TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS and reaction time decreased the contents of PPP and PPS. At a mole ratio of TAG-rich lipid fraction with palmitic acid at sn-2 position of HPS to ethyl oleate of 1:6, a temperature of 60 °C, and a reaction time of 2 h resulted in structured lipids containing 41.13% OPO+POO, with total palmitic acid of 51.09%, palmitic acid at sn-2 position of 75.76%, total oleic acid of 44.48%, and oleic acid at sn-1,3 positions of 58.77%. In the fractionation of the transesterification product, a liquid fraction was produced with increased contents of OPO+POO and PPO+POP. Fractionation at 10 °C for 3 h resulted in a liquid fraction containing 43.72% OPO+POO and 51.03% PPO+POP. With these conditions, the lipid obtained consisted of palmitic acid at sn-2 position and oleic acid at sn-1,3 positions contents of 79.57 % and 68.93%, respectively, with a relative content of palmitic acid at sn-2 position of 59.07%. Keyword:acidolysis, fractionation, hard palm stearin, human milk fat substitute, transesterification
Judul: Arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan di Muara Angke daerah khusus ibukota Jakarta Abstrak:Perubahan kebijakan, degradasi lingkungan, dan dinamika sosial ekonomi masyarakat telah mendorong terjadinya penurunan fungsi kawasan mangrove Muara Angke. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan kajian terhadap komponen lingkungan pembentuk hutan mangrove, komponen pengelolaan kawasan, upaya-upaya rehabilitasi dan optimasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove melalui penelitian “Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta”. Berdasarkan kondisi tersebut, maka rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke, 2) Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke, 3) Sejauhmana status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Muara Angke, 4) Bagaimana arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka diperlukan pengetahuan dan merupakan tujuan antara dari penelitian ini, yaitu: 1) Mengidentifikasi kondisi biofisik ekosistem mangrove Muara Angke, 2) Mengkaji kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke, 3) Menganalisis nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke, 4) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, 5) Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan. Keyword:
Judul: Strategi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu Dan Berkelanjutan Di Kabupaten Mempawah Propinsi Kalimantan Barat Abstrak:Ekosistem mangrove di Kabupaten Mempawah dirasakan dari tahun ke tahun terus mengalami degradasi, minimnya data luasan dan species, tidak adanya aturan, rendahnya koordinasi antar instansi dan kurangnya perlibatan pelaksanaan kegiatan dengan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove menjadi tidak efektif. Upaya yang dilakukan baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengelola sering terjadi benturan vertikal mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pemerintah pusat dalam merumuskan program kegiatan maupun benturan horizontal antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkatan tertentu baik pusat atau daerah dengan masyarakat untuk itu diperlukan suatu upaya dan pemahaman bersama dalam pengelolaannya sehingga benturan klasik antara upaya yang berorientasi komersial dan upaya perlindungan dapat ditekan seminimal mungkin. Permasalahan yang terjadi terhadap pengelolaan ekosistem mangrove apabila dibentuk dalam rumusan masalah pertanyaan adalah sebagai berikut: (1) bagaimana kondisi mangrove saat ini, (2) bagaimana status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove saat ini dan (3) upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam mengelola strategi pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dengan tujuan melakukan: (1) mengidentifikasi kuantitas dan kualitas ekosistem mangrove di Kabupaten Mempawah. (2) mengevaluasi dan menganalisa status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan hukum/kelembagaan di Kabupaten Mempawah dan (3) merumuskan strategi kebijakan yang tepat di dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan di Kabupaten Mempawah. Tahapan penelitian dilakukan sebagai berikut: (1) merumuskan indikator - indikator ekosistem mangrove berkelanjutan berdasarkan studi literatur, data statistik dan pengamatan di lapangan (2) menginventarisasi dan menganalisis (a) kondisi ekologi dan menganalisis keadaan flora , fauna dan perubahan penutupan lahan mangrove. Analisis yang digunakan adalah analisis vegetasi, analisis statistik deskriptif dan analisis perubahan penutupan lahan (land cover) dengan Normalized Difference Vegetation Indeks (NDVI). Analisis ini akan menghasilkan keadaan vegetasi (kerapatan, frekwensi, dominansi dan INP), keadaan satwa (jumlah, species dan penyebaran) serta keadaan perubahan penutupan lahan mangrove, (b) kondisi ekonomi menginventarisasi dan menganalisis data ekonomi masyarakat, yang meliputi tingkat pendapatan nelayan, PDRB perikanan, produksi perikanan, sarana dan prasarana perikanan yang dilakukan melalui analisis deskriptif untuk mengetahui peran ekosistem mangrove bagi pembangunan ekonomi wilayah (c) kondisi sosial menginventarisasi data karakteristik sosial yang meliputi jumlah, struktur penduduk, tingkat pendidikan, persepsi masyarakat pesisir terhadap ekosistem mangrove berupa peranserta, kepemilikan lahan, aksesibilitas dan pola hubungan stakeholder dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif. Analisis ini akan mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat di sekitar ekosistem mangrove (d) hukum/kelembagaan meliputi : sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, keberadaan aturan mengenai ekosistem mangrove, kepatuhan masyarkat terhadap aturan ekosistem mangrove, ketersediaan kelompok nelayan (3) menganalisis nilai indeks keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem mangrove dengan menggunakan Rap-MEcosystem yang dilanjutkan dengan Analitical Hierarky Process (AHP) dalam menentukan strategi kebijakan bedasarkan prioritas utama. Pengumpulan data dilakukan dengan: (1) pengambilan citra Landsat tahun 1989 sebanya 2 scenes dan tahun 2014 sebanyak dua scenes (2) data ekologi: survey flora dan fauna kualitas perairan pesisir pada wilayah ekosistem mangrove, (3) data ekonomi: survey tingkat pendapatan dan pengeluaran nelayan, aksesibilitas, inventarisasi pemanfaatan mangrove studi literatur PDRB, produksi perikanan, sarana dan prasarana perikanan anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pengelolaan mangrove (4) data sosial: survey persepsi masyarakat pesisir terhadap ekosistem mangrove meliputi peranserta, kepemilikan lahan, aksesibilitas dan pola hubungan stakeholder, studi literatur : jumlah , struktur penduduk dan tingkat pendidikan (5) data hukum/ kelembagaan survey: keberadaan lembaga dan penyuluh perikanan koordinasi kebijakan pusat dan daerah (vertikal) dan antar lembaga pemerintah didaerah (horizontal), ketersedian peraturan pengelolaan ekosistem mangrove, legalitas kawasan mangrove, Penegakan hukum di ekosistem mangrove. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa memang telah terjadi degradasi ekosistem mangrove dibuktikan bedasarkan hasil interpretasi citra satelit landsat 5 perekaman tanggal 29 Juni 1989 dan citra satelit landsat 8 perekaman 6 Februari 2014, telah terjadi penurunan jumlah luasan yang semula di tahun 1989 seluas 816,05 Ha menjadi 739,31 Ha ditahun 2014 Secara keseluruhan indeks nilai penting mangrove didominasi Avicenia spp., yaitu untuk untuk semai A.marina 112,22%, pancang A.lanata 123,18% dan untuk pohon A.marina 144,72% dimana 13 species mangrove ditemukan dua diantaranya species A.lanata dan species S.ovata yang memiliki status rentan dan hampir punah di dunia bedasarkan kriteria IUCN justru tumbuh dan berkembang secara alami dan ditemukan pula 32 species hewan dua diantaranya Haliaeetus leucogaster dan Haliastur indus merupakan species hewan yang dilindungi bedasarkan Appendix II CITES dimana hasil penelitian juga menunjukkan terdapat pengaruh antara keragaman species flora terhadap jumlah keragaman fauna yang mendiami ekosistem mangrove. Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove dimensi ekonomi, sosial dan hukum/kelembagaan memiliki status cukup berkelanjutan sedangkan dimensi ekologi kurang berkelanjutan sehingga dimensi perlu dilakukan perbaikan. Strategi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan dilakukan dengan meningkatkan kerapatan tajuk mangrove melalui dengan meningkatkan kerapatan tajuk mangrove melalui kebijakan reboisasi dan rehabilitasi mangrove, kebijakan menyusun peraturan pengelolaan ekosistem mangrove dan meningkatkan jumlah personil dan kualitas penyuluh perikanan dan kehutanan serta menglengkapinya dengan sarana dan prasarana yang memadai. Keyword:NDVI, INP, Rap-MEcosytem, AHP
Judul: Enrichment of organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in quail products through its supplementation in the diet and its potency of quail eggs as an ingredient in selenium-rich egg juice Abstrak:This study was aimed to achieve an optimum level of combine organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in obtaining the best production and reproduction as well as the highest level of selenium in quail eggs. This study was conducted from January to August 2008. Numbers of observed quails were 720 (360 females and 360 males). The treatments were applied when the quails were six weeks old. Nine treatment diets were: To (commercial diet), T1(0.46 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T2 (0.46 ppm inorganic Se + 87.00 ppm vitamin E), T3 (0.92 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T4 (0.92 ppm inorganic Se +87.00 ppm vitamin E), T5 (0.46 ppm organic Se + 43.50 ppm vitamin E), T6 (0.46 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E), T7(0.92 ppm organic Se + 43.50 vitamin E) and T8(0.92 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E). Keyword:egg yolk, glutathione peroxidase ( GSH-Px), hedonic test, rank test
Judul: Fleet Dynamics of Small Scale in Kei Island Abstrak:Dinamika armada perikanan skala kecil yang terus meningkat dengan pengelolaan yang masih bersifat tradisional dan perikanan skala kecil yang bersifat multispecies dan multigear telah menimbulkan kecenderungan penurunan hasil tangkapan, hal ini akan berdampak pada kompetisi antar armada perikanan skala kecil secara bebas di Kepulauan Kei. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dinamika armada perikanan skala kecil, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika armada perikanan skala kecil, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan armada perikanan skala kecil, dan klasterisasi dinamika armada perikanan skala kecil. Dinamika armada perikanan skala kecil di Kepulauan Kei dinamis dalam setiap musim, armada perikanan bagan apung di musim timur beroperasi di bagian utara dan timur Pulau Kei kecil adalah ikan teri (stolephorus spp), armada Purse seine di musim barat yang beroperasi di Pulau Kei Besar bagian timur, barat dan Pulau Tayando bagian timur hasil tangkapan utama adalah ikan layang (Decapterus russelli), armada pancing tonda di musim timur beroperasi di bagian timur tenggara dan utara hasil tangkapan utama adalah ikan komo (Auxis thazard), armada perikanan pancing ulur, gillnet dasar dan gillnet hanyut di musim pancaroba 2 yang beroperasi di bagian barat, utara, selatan, timur dan timur tenggara Pulau Kei kecil, hasil tangkapan utama armada pancing ulur dan gillnet dasar adalah sikuda (Lethrinus spp), sedangkan armada gillnet hanyut adalah ikan kembung (Rastrelliger kanagurta). Dinamika armada perikanan skala kecil secara spasial dalam setiap musim sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin, curah hujan, dan pendapatan armada. Dinamika hasil tangkapan armada perikanan skala kecil dalam setiap musim sangat dipengaruhi oleh faktor kapasitas armada secara sendiri-sendiri dan faktor kapasitas armada dan curah hujan secara bersama-sama. Dinamika kompetisi armada perikanan skala kecil yang terjadi secara bebas pada musim barat, pancaroba 1 dan pancaroba 2 antar 4 armada perikanan skala kecil, dan musim timur antar 5 armada perikanan skala kecil. Perlu ada pengaturan dinamika armada perikanan skala kecil untuk mengatasi kecenderungan penurunan hasil tangkapan dan dampak kompetisi secara bebas dalam setiap musim di Kepulauan Kei. Skenario kebijakan pengelolaan perikanan skala kecil yang diusulkan untuk keberlanjutan perikanan skala kecil di Kepulauan Kei adalah berbasis upaya penangkapan dengan teknik input kontrol dikombinasikan dengan teknis kontrol. Keyword:Dinamika, Kompetisi, Musim, Pengelolaan, Upaya
Judul: Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah Abstrak:Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam aspek makro maupun mikro. Dalam perspektif sosial ekononomi, masyarakat pesisir sebagian besar tergantung pada sumber daya perikanan laut, dimana mata pencahariannya rentan terhadap guncangan dan perubahan mendadak. Memahami kondisi tersebut, merupakan hal yang penting untuk lebih memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan direktif yang lebih baik dimasa depan. Pemahaman meliputi bagaimana karakteristik sumber daya perikanan, bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan biaya operasional yang tinggi, bagaimana nilai tambah, dan bagaimana jaringan sosial di masyarakat pesisir. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu nelayan Desa Weru Komplek di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan nelayan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Sumberdaya perikanan di Lamongan sebagian besar adalah jenis pelagis kecil dan demersal, sedangkan di Pelabuhanratu sebagian besar sumberdayanya pelagis besar. Pemilihan lokasi juga berdasarkan kriteria sosial ekonomi dari dua lokasi tersebut. Lamongan dengan jumlah produksi lebih 70 ribu ton (18% dari total produksi di Provinsi Jawa Timur), dan lebih dari 28.000 nelayan yang sebagian besar adalah nelayan kecil. Jumlah produksi di Pelabuhanratu sekitar 8 ribu ton (4,4% dari total produksi di Provinsi Jawa Barat). Lebih dari 5.000 nelayan yang bekerja dengan berbagai armada perikanan. Selain alasan ekonomi, nelayan di Lamongan memiliki lembaga sosial yang dikenal dengan nama "Blandongan" yang berfungsi sebagai "penyangga" dalam menghadapi ketidakpastian. Blandongan merupakan organisasi nelayan yang menyuarakan kepentingan nelayan dan membangun "aturan main" untuk memfasilitasi kepentingan nelayan. Sedangkan di Pelabuhanratu, meskipun tidak ada organisasi tertentu seperti "Blandongan" di Lamongan, namun memiliki kelembagaan formal dan informal seperti kelompok nelayan dan kelompok perantara yang dapat memfasilitasi kebutuhan nelayan. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis efisiensi alokasi sumber daya dan analisis perubahan faktor produktifitas total; melakukan analisis indeks ketidakstabilan perikanan tangkap; melakukan analisis value added perikanan tangkap skala kecil; dan melakukan analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam memenuhi modal untuk biaya operasional. Data yang digunakan adalah data skunder dan data primer yang diperoleh dari pelaku usaha perikanan. Total jumlah responden sebanyak 157 orang terdiri 83 orang di Lamongan dan 74 orang di Pelabuhanratu. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Data Envelopement Analysis (DEA) dan analisis indeks Malmquist (MI) untuk mengetahui kapasitas sumber daya perikanan dan tingkat perubahan total produktifitas total perikanan. Analisis Indeks Ketidakstabilan (Coppoct Instability Indexs/CII) untuk mengetahui tingkat ketidakstabilan. Analisis regresi multinomial logistik digunakan untuk mengetahui kecenderungan nelayan dalam menggunakan sumber permodalan. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa dari analisisanalisis yang telah dilakukan, yang merupakan saran kebijakan untuk pengembangan perikanan skala kecil. Hasil analisis kapasitas sumber daya di Pelabuhanratu, menunjukkan alat tangkap gillnet, alat tangkap rampus dan alat tangkap pancing ulur telah menurun (decreasing return to scale), ketiga alat tangkap tersebut sudah terjadi gejala over capacity. Kondisi ini menyiratkan bahwa output dari alat tangkap gill net, rampus dan pancing ulur memiliki kecenderungan tidak responsif terhadap input. Inefisiensi dalam menggunakan input akan menyebabkan hasil tidak optimal. Hasil analisis kapasitas sumberdaya di Lamongan menunjukan hasil yang berbeda. Analisis di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa efisiensi skala masih menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada perikanan skala kecil di Desa Weru Komplek. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat ekonomis. Hasil analisis indeks Malmquist terjadi fluktuasi faktor produktifitas total yang sangat besar (berkisar antara 30% sampai 250 %). Hal ini disebabkan karena perubahan faktor teknologi yang mengalami perubahan ekstrim dibandingkan dengan perubahan efisiensinya. Analisis dengan indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability) dapat diketahui penyebab perubahan faktor produktifitas total dari produksi maupun dari input. Kondisi ini disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks ketidakstabilan produksi sebagian berada di kuadran kanan atas yang menunjukan pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Fluktuasi produksi yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut berkaitan dengan indikator lain, seperti input yang diberikan dalam perikanan. Tingkat ketidakstabilan input BBM menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko yang tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif terhadap penggunaan BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar hubungan kepentingan sosial dan ekonomi, keberadaan tengkulak/ langgan memainkan peran terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan menghadapi permasalahan biaya, dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Kecenderungan nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional dipengaruhi oleh lokasi, dimana karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Hasil analisis rantai pasok, rantai nilai dan value added menunjukan bahwa perikanan skala kecil berperanan dalam pembentukan nilai tambah yang sebagian besar dinikmati oleh masyarakat setempat. Sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal lebih dominan diproses menjadi produk jadi/setengah jadi yang menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya perikanan yang didominasi oleh sumberdaya pelagis besar nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar, sehingga perannya terhadap pembangunan wilayah relatif lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, model yang direkomendasikan untuk kebijakan mengembangkan perikanan skala kecil harus memperhatikan kondisi potensi sumber daya perikanan, tingkat eksploitasi, tingkat kestabilan, hubungan para pelaku (nelayan-pemilik modal/patron-client) dan dukungan kebijakan direktif yang fokus untuk nelayan skala kecil. Karakteristik nelayan dan kondisi sumberdaya menentukan perilaku terhadap sumberdaya, interaksi nelayan dengan sumber-sumber pembiayaan lebih kuat pada lokasi Lamongan dimana masyarakat kurang mempunyai alternatif pekerjaan lain. Hubungan yang kuat antara nelayan dan tengkulak merupakan fenomena yang kompleks, pengembangan perikanan skala kecil harus menyertakan hubungan antara sektor perikanan, nelayan sebagai pemain dan perantara/langgan/tengkulak yang menjembatani pelaku dalam mata pencaharian masyarakat pesisir agar nelayan skala kecil mampu memainkan peran lebih besar dalam kehidupan ekonomi lokal pesisir. Keyword:perikanan skala kecil, langgan/tengkulak, “social cushion”, value added, DEA, Indek Ketidakstabilan, Indeks Malmquist
Judul: Chrysantheum B carlavirus (CVB) that infected Chrysanthemum in Indonesia: characterization and development of detection methode Abstrak:Infection of chrysantheum B carlavirus (CVB) in chrysanthemum has reported from many countries where the plants were cultivated. In a survey of chrysanthemum growing fields (and greenhouse) in Cianjur regency, West Java, Indonesia, some chrysanthemum cultivars exhibited a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves; and color breaking of flowers. Keyword:biological characters, molecular characters, serological technique, electron microscopy analysis, West java
Judul: Model pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada sistem agribisnis tanaman pangan Abstrak:Kegiatan agribisnis berdampak positif terhadap perekonomian negara, dan di sisi lain berdampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk merancang bangun model pengelolaan lahan kering, menetapkan pola tanam/pola usaha unggulan dan merumuskan kebijakan agribisnis tanaman pangan. Penelitian dilakukan dalam empat tahap yaitu 1) penentuan kesesuaian lahan dan kualitas lingkungan, 2) penentuan prioritas komoditas unggul, 3) rancang bangun model dan 4) analisis kebijakan. Metode yang digunakan pada analisis prioritas komoditas unggul dan rancang bangun model adalah Analisis Jenjang Keputusan dan Sistem Dinamik, sedangkan metode survei, pengamatan dan analisis laboratorium digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan dan kualitas lingkungan. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan software Powersim versi 2.51. Analisis kebijakan menggunakan pendekatan model sistem dinamik, policy analysis matrix dan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian lahan tanaman jagung masuk dalam unit pengelolaan S3nr-3 dengan faktor pembatas pH, padi ladang S3nr-3, $3nr-4 dengan faktor pembatas pH, bahan organik, dan ubi kayu S3rc-2 dengan faktor pembatas kedalaman efektif. Lahan kering di Kecamatan Tanjung Bintang, khususnya unit lahan Ptn 3.2 di Desa Sidomukti dan Budi Lestari, 75% mulai terdegradasi yang ditunjukkan oleh tanah yang padat, air tersedia rendah dan kandungan bahan organik sangat rendah. Jagung merupakan komoditas unggul di Kecamatan Tanjung Bintang. Penyaluran pupuk khususnya pupuk bersubsidi belum sesuai dengan kebutuhan riil petani pada setiap musim tanam sehingga sering terjadi kelangkaan pupuk. Pola tanam unggulan di Tanjung Bintang adalah jagung-ubi kayu+(jagung-kacang hijau-mucuna) dan pola usaha jagung-ubi kayu+(jagung-mucuna)+sapi. Pengolahan jagung menjadi beras jagung, tepung jagung atau pakan ternak memberikan nilai tambah bagi petani. Pengelolaan Jahan berkelanjutan berupa pola usaha jagung-ubi kayu+(jagung-mucuna)+sapi, penggunaan pupuk berimbang dan pupuk kandang dapat mencegah menurunnya kesuburan tanah bahkan dapat meningkatkan kesuburan tanah. Teknologi tersebut dikembangkan dengan memberdayakan masyarakat tani mulai dari perencanaan kegiatan sampai pada pelaksanaannya dengan bimbingan dari penyuluh pertanian lapang (PPL). Dengan mengkaitkan seluruh komponen sistem agribisnis pada pengelolaan lahan kering, maka sistem agribisnis dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, fungsi lahan dapat lestari dan petani sebagai masyarakat tani dapat terus beraktivitas. Pengelolaan lahan kering berkelanjutan akan berkembang bila mendapat dukungan dari intansi terkait, sehingga kerjasama dengan seluruh pelaku yang terlibat dalam sistem agribisnis dapat efektif. Kebijakan pada sistem agribisnis selama ini terfokus pada lahan sawah, ke depan hendaknya difokuskan juga pada lahan kering. Kebijakan dalam pendistribusian pupuk dengan mekanisme rayonisasi mempermudah pengawasan, namun perlu adanya sanksi hukum bagi produsen atau distributor yang melakukan pelanggaran...dst Keyword:agribisnis, berkelanjutan, model, pengelolaan, tanaman pangan
Judul: Model pengelolaan laban kering berkelanjutan pada sistem agribisnis tanaman pangan Abstrak:Kegiatan agribisnis berdampak positif terhadap perekonomian negara, dan di sisi lain berdarnpak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk merancang bangun model pengelolaan lahan kering, menetapkan pola tanarn/pola usaha unggulan dan merumuskan kebijakan ·bisnis tanaman pangan. Penelitian dilakukan dalam empat tahap yaitu 1) nentuan kesesuaian laban dan kualitas lingkungan, 2) penentuan prioritas omoditas unggul, 3) rancang bangun model dan 4) analisis kebijakan. Metode .wang digunakan pada analisis prioritas komoditas unggul dan rancang bangun 6JIlodel adalah Analisis Jenjang Keputusan dan Sistem Dinamik, sedangkan metode ~urvei, pengamatan dan analisis laboratorium digunakan dalam menganalisis ;ikesesuaian lahan dan kualitas lingkungan. Simulasi model dilakukan dengan ~enggunakan software Powersim versi 2.51. Analisis kebijakan menggunakan sPendekatan model sistem dinamik, policy analysis matrix dan metode deskriptif. ~asil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian laban tanaman jagung masuk §:taIam unit pengelolaan S3m-3 dengan faktor pembatas pH, padi ladang S3nr-3, ~3nr-4 dengan faktor pembatas pH. bahan organik, dan ubi kayu S3rc-2 dengan Sfaktor pembatas kedalaman efektif. Laban kering di Kecamatan Tanjung Bintang, amususnya unit laban Ptn 3.2 di Desa Sidomukti dan Budi Lestari, 75% mulai ~erdegradasi yang ditunjukkan oleh tanah yang padat, air tersedia rendah dan gkandungan bahan organik sangat rendab. Jagung merupakan komoditas unggul di .3J<.ecamatan Tanjung Bin-tang. PenyaIuran pupuk khususnya-pupuk. bersubsidi belum sesuai dengan kebutuban riil petani pada -setiap musim ~am sehingga sering terjadi kelangkaan pupuk. Pola tanam ungguIan di Tanjung Bintang adalah jagung-ubi ~YU+Gagung-kacang hijau-mucuna) dan pola ' usaha jagung-ubi kayu+(jagung:mucuna)+sapi. Pengol3ban jagung menjadi beras jagung, tepung jagung atau pakan temak memberikan nilai tambah bagi petani. Pengelolaan lahanberkelanjutan berupa pola usaha jagUng-libi kayu+(jagung-rilUcuna)+sapi, penggunaan pupuk berimbang dan pupuk kandang dapat mencegah menurunnya kesuburan tanah bahkan dapat meningkatkan kesuburan tanah. Teknologi tersebut mIikembangkan dengan memberdayakan masyarakat tani mulai dari perencanaan Qkegiatan sampai pada pelaksanaannya dengan bimbingan dari penyuluh pertanian CClapang (PPL). Dengan mengkaitkan seluruh komponen sistem agribisnis pada o ngelolaan lahan kering, maka sistem agribisnis clapat dilaksanakan secara rkelanjutan, fungsi laban dapat lestari dan petani sebagai masyaralcat tani dapat ccterus beraktivitas. Pengelolaan lahan kering berkelanjutan akan berkembang bila - endapat dukungan dari intansi terkait, sehingga kerjasama dengan seluruh g pelaku yang terlibat dalam sistem agribisnis dapat efektif. Kebijakan pada sistem ;::;agribisnis selama ini terfokus pada lahan sawah, ke depan hendaknya difokuskan ~uga pada laban kering. Kebijakan -dalam pendistribusian pupuk dengan IDmekanisme rayonisasi mempemlUdah pengawasan, namun perlu adanya sanksi hukum bagi produsen atau distributor yang melakukan peJanggaran. Keyword:
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: Hutan tanaman rakyat: analisis proses perumusan kebijakan dan rancang bangun model konseptual kebijakan Abstrak:Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai dicanangkan tahun 2007 merupakan upaya Kementerian Kehutanan untuk membangun hutan tanaman di areal hutan bekas tebangan (LOA=logged over area). Hingga tahun 2010 kegiatan ini berjalan lambat. Berbagai permasalahan dalam implementasi program HTR menyebabkan pencapaian hasil kegiatan jauh dari target yang ditetapkan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis proses perumusan kebijakan HTR, analisis respon dan implementasi program HTR, serta melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan untuk mendukung keberhasilan program HTR. Landasan teori yang digunakan adalah perbandingan antara model linier dan model non linier dalam proses perumusan kebijakan. Analisis proses perumusan kebijakan HTR dilakukan untuk mendapatkan pemahaman tentang latar belakang dirumuskannya kebijakan. Selanjutnya dilakukan kajian respon para pihak di daerah dan implementasi HTR di 3 provinsi terpilih yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rancang bangun Model Konseptual Kebijakan dilakukan melalui identifikasi masalah kunci dengan teknik Interpretative Structural Modelling. Keyword:Sustainable development, Community forest estate, Soft system methodology, Forest policy, Forestry
Judul: Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau Abstrak:Salah satu substansi penting dari isi UU No. 41/1999 adalah mandat kepada pemerintah untuk membangun KPH pada seluruh kawasan hutan negara. Keberadaan KPH merupakan prasyarat bagi terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan dan berkeadilan. Pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi harus dilakukan oleh organisasi KPHL/KPHP yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Dalam implementasinya, pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan tersendat dikarenakan adanya sejumlah kendala. Salah satu KPH yang operasonalisasinya lambat adalah KPHP Tasik Besar Serkap (KPHP-TBS) di Provinsi Riau. Struktur organisasi KPHP-TBS telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Riau Nomor 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011. Namun hingga dua tahun kemudian (hingga akhir Agustus 2013, sampai akhir penelitian ini) Pemerintah Provinsi Riau belum menempatkan personil pada struktur organisasi KPH tersebut. Akibat penundaan ini, maka organisasi KPHP−TBS belum bisa menjalankan tugas pengelolaan hutan di tingkat tapak. Ditinjau dari perspektif ilmu kelembagaan, perkembangan operasionalisasi KPHP−TBS merupakan outcome dari perpaduan antara struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan yang berinteraksi di dalam arena aksi pembangunan KPH. Struktur situasi aksi dan karakteristik partisipan tidak secara langsung menghasilkan outcome, melainkan melalui pembentukan struktur insentif/disinsentif yang dihadapi oleh para partisipan. Struktur tersebut kemudian mendorong terbentuknya pola perilaku tertentu dari para partisipan. Agregat dari keseluruhan perilaku para partisipan ini yang kemudian menghasilkan outcome. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan masalah-masalah kelembagaan dan masalah-masalah dalam implementasi kebijakan yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP−TBS. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan operasional, yaitu (1) menganalisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome pemanfaatan hutan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap arena aksi operasionalisasi KPHP−TBS, (2) menganalisis peraturan pembentukan organisasi KPH dengan menggunakan konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford, dan (3) menganalisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP−TBS. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan masalah dilakukan dengan menggunakan kerangka analitis Institutional Analysis and Development (IAD) Framework dari Elinor Ostrom. Berdasarkan IAD-Framework, variabel yang dianalisis meliputi pengaruh faktor eksogen (kondisi biofisik KPHP-TBS, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas), kondisi arena aksi (situasi aksi dan karakteristik partisipan), dan pola interaksi para partisipan. Data dikumpulkan dengan metode v studi dokumen, pengamatan langsung peneliti pada saat terlibat dalam proses-proses pembangunan KPH, dan melalui wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menemukan bahwa kondisi biofisik terbukti mempengaruhi situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan. Pada wilayah KPHP-TBS yang di dalamnya terdapat banyak ijin pemanfaatan hutan berbasis usaha besar (IUPHHK-HTI), cenderung membuka peluang dan menguatkan conflict of interest sebagian pejabat pemerintahan daerah untuk melakukan praktek-praktek korupsi. Sebagian aparatur Dinas Kehutanan memandang keberadaan KPH sebagai ancaman yang akan mengurangi kewenangannya. Temuan-temuan penting hasil analisis peraturan antara lain (1) pengaturan posisi-posisi partisipan belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses, (2) masih terdapat ketidaksinkronan antara PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010 dalam pengaturan kewenangan menetapkan organisasi KPHL/KPHP, (3) belum adanya aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidakmufakatan di antara para partisipan dalam tahap-tahap penting pengambilan keputusan, (4) belum lengkapnya kriteria organisasi KPHL/KPHP, dan (5) masih kurangnya pasal-pasal yang bisa menjadi pendorong/insentif bagi pemerintah daerah untuk berinisiatif membangun KPH. Atribut komunitas yang paling penting dan cenderung menghambat pembangunan KPH adalah masalah paradigma dan budaya. Aparatur pemerintah daerah saat ini masih lebih mengedepankan paradigma “pemanfaatan hutan” daripada pengelolaan hutan secara utuh. Operasionalisasi paradigma ini hampir selalu diiringi dengan menguatnya budaya korupsi. Sementara kebijakan KPH adalah suatu konsep yang membawa paradigma “pengelolaan hutan secara utuh di tingkat tapak”. Ketika kebijakan KPH yang ada saat ini kurang memberikan tekanan dan insentif kepada pemerintah daerah, maka proses perubahan yang terjadi cenderung tidak dapat mengatasi resistensi yang ada. Dengan adanya masalah-masalah conflict of interest, adanya kelemahan-kelemahan peraturan, dan masalah paradigma dan budaya, menyebabkan munculnya perilaku yang kurang dapat bekerjasama dari Pemerintah Provinsi Riau. Sikap ini antara lain dimanifestasikan dengan cara menunda-nunda penempatan personil untuk mengisi struktur organisasi KPHP−TBS. Di sisi lain, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah belum diarahkan kepada menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Berdasarkan temuan-temuan penelitian, direkomendasikan kepada Kemenhut agar kebijakan pemberian bantuan sarana prasarana dan fasilitasi kepada pemerintah daerah perlu tetap dilanjutkan. Selain itu kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi di dalam arena aksi pemanfaatan hutan juga perlu dilakukan. Kemenhut juga perlu merubah cara berfikir dan pendekatan bahwa disamping menggunakan instrument peraturan, pemerintah juga perlu meningkatkan pembinaan kepada pemerintah daerah serta meningkatkan penyebaran pengetahuan, komunikasi, dan membangun rasa saling percaya. Selain untuk mengatasi resistensi, pendekatan tersebut juga sangat diperlukan untuk mengawal proses transformasi paradigma dan budaya birokrasi kehutanan agar sejalan dengan nilai-nilai baru yang terkandung di dalam konsep KPH. Keyword:masalah kelembagaan, IAD-framework, paradigma pemanfaatan hutan, conflict of interest, pola interaksi, outcome
Judul: Study of Chemoreaction Drying with Calcium Oxide and Its Impact on the Stress and Damage of Saccharomyces cerevisiae Culture, Kajian pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida serta dampaknya terhadap stress dan kerusakan kultur Saccharomyces cerevisiae Abstrak:The objective of the research was to study the parameters of the drying process and their effects on the viability of dried Saccharomyces cerevisiae culture. These parameters include the pattern of water isotherm sorption, the critical water contents, stress and mortality on a variety of bound water conditions, as well as morphological and micro-structural changes of damaged and leaked stressed cells. Layer thickness of the sample and high ratio used of calcium oxide speed up the drying process. Using a calcium oxide to sample ratio of 10:1 (w/w) for drying, 1.3 mm thickness of sample with 78-80% water content required 24 hours to dry to a final 4.42 % water content. The viability and cell content of the final product were 72% and 109 cells per g dried sample respectively. A sigmoid curve sorption isotherm pattern consist of 3 bound water regions of the dried yeast culture was similar to that of common dried foods. In the primary area most of the dried cells were dormant, in the secondary area the majority of the cells were under stress condition, while in the tertiary area a lot of them died. Likewise, the viability curve up to aw 0.2 was very low as due to high number of dormant cells, in between aw 0.2 - 0.6 sharply increased due to decreasing number of dormant cells, in between aw 0.6-0.75 sharply decreased due to increasing number of dying cells, and above 0.75 the cells was dying off to totally died. As shown by SEM observation, normal cells were oval-shaped with a smooth surface. In the primary region the dried cells showed and oval to round shape and small number of deformed cells, in the secondary region wrinkled surface and some number of deformed cells, while in the tertiary region the cells were sticky with wrinkled surface and most cells were damage. Meanwhile, TEM observation showed that the cells in the primary region had a well-defined, thick and solid cell wall with smooth surface with visible nuclei. In the secondary region the cells showed a wrinkled surface with less visible nuclei, while the wall was thin and cracked in some places. In the tertiary region the most number of cells were damaged, the remaining defined cells were flat, empty, irregular shape and no nuclei were visible. The increasing cell damaged was mainly due to the leaking out of cell or cytoplasm and the nuclear content through the damage cell wall. This was shown by increased electrical conductivity as well as the nucleic acid, nucleotide, protein and amino acids content of the cell-free supernatant from the culture. The Ca++ and K+ content of the cell mass decreased due to the leakage out of cell content. Sharp increase of K+ in secondary region of bound water was due to cell wall leakage, while high level of K+ in the tertiary region of bound water was due to high lysis of the cells with increased cell content damage. Keyword:
Judul: Effective water harvesting for soil moisture Management on upland farming Abstrak:Air termasuk faktor produksi yang vital bagi tanaman sehingga untuk mencapai produksi tanaman yang optimal harus dijamin penyediaan airnya. Pada usahatani lahan kering, pengelolaan dan penyediaan air tergantung waktu dan curah hujan. Distribusi hujan yang tidak menentu dan tidak merata sepanjang tahun merupakan kendala dalam perencanaan dan pengembangan usahatani lahan kering. Air hujan yang jatuh di areal lahan kering harus dikelola agar semaksimal mungkin dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang ada di permukaan lahan tersebut. Bagian air hujan yang mengalir di permukaan tanah (runoff) harus dikendalikan dan dikelola agar lebih banyak yang masuk ke dalam tanah. Keyword:
Judul: Kinerja sistem irigasi kendi untuk tanaman di daerah kering Abstrak:Indonesia mempunyai lahan kering di daerah kering yang sangat luas dan potensial untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Salah satu kendala untuk menjadikannya lahan pertanian adalah keterbatasan sumberdaya air, sehingga membutuhkan teknologi irigasi yang hemat dalam pemakaian air. Sistem irigasi kendi secara mikro berfungsi untuk menyimpan dan. merembeskan air kedalam tanah di zone perakaran tanaman. Perrnasalahannya bagrumana kriteria kendi irigasi yang efisien dan hemat air, dan bagaimana kinerja sistecn irigasi kendi dalam mendistribusikan air pada zone perakaran tanaman. Keyword:
Judul: Studies on growth spurt and aging in higher primates Abstrak:single measurement that best defines the health and nutritional status of children, just as it provides an indirect measurement of the quality of life of an entire population. The pattern of human growth reflects the biocultural evolution of our species. The human pattern of growth and development (ontogeny) appears to differ markedly from patterns of ontogeny in other primate species. Three studies are reported here which deal to the growth and development of human and chimpanzee (Pan troglodytes). These three studies allow us to contrast the phenomena of adolescence growth spurt and female elderly bone loss in chimpanzee and human as chimpanzee is the closest species to humans within extant nonhuman primates. In the first, a cross-sectional study of growth of the body size and somatotype of 363 Javanese girls and 299 Javanese boys aged 4 to 20 years from Magelang Regency, Indonesia was described. In the second, cross-sectional and longitudinal studies in the growth of chimpanzee second metacarpal bone linear dimensions from individuals aged 0 to 43.6 years were used for comparison. While in the third, cross-sectional and longitudinal studies in the growth of chimpanzee body size (body mass and anterior trunk length) and second metacarpal bone mineral content were derived. In measuring the second metacarpal dimensions and mineral content, a total of 568 radiographs of chimpanzee's proximodistal left hands were used. They were taken from 68 females and 49 males aged 0 to 43.62 years old. We applied an image analysis system, Scion Image Release Alpha 4.0.3.2 software for Windows to measure bone linear dimensions and bone mineral content. Humans present complex and sinuous growth curves for both body weight and height. A clear growth spurt could be demonstrated by cross-sectional analysis in our girl subjects at around aged 11.5 years and in our boy subjects at around aged 12.5 years. In longitudinal series, not in cross-sectional, several representative chimpanzees of both sexes showed a pre-adult growth spurt on the body sizes, bone dimensions and bone mineral content. They ranged at age 4.5 to 8.5 years. This underscore the fact that adolescent growth spurt in linear dimension was not a universal feature of anthropoid primate ontogeny. Bone loss is a well established characteristic of human female aging. Based on crosssectional analyses the sequential decline of bone mass in female chimpanzee may be said to be genuine. On the other hand, we found in adulthood through elderly, male chimpanzees show a longer plateau than female chimpanzee, that is, bone mineral content is maintained in male. Keyword:Javanese children, growth spurt, chimpanzee, second metacarpal bone, bone loss, Higher Primates
Judul: Potato based sustainable vegetable farming systems planning in Siulak watershed, Kerinci district, Jambi Abstrak:Established agricultural practices in upland vegetable growing areas in Indonesia are generally implementing up and down the slope cultivation with relatively high rates of fertilizers and pesticides applications. Combined with high rainfall intensity, these practices have contributed to high runoff and severe erosion and in turn gradually decreased land productivity and farmers income, thus unsustainable farming systems. The objectives of this research were : 1) to identify and describe existing conditions of the potato based vegetable farming systems, 2) to study soil conservation measures alternatives to control soil erosion and obtain optimal net farm income, and 3) to design potato based sustainable vegetable farming systems in Siulak Watershed, Kerinci District, Jambi Province. Land biophysical and farmers characteristics as well as agrotechnologies were identified through soil survey and farmers interview, while alternatives of soil conservation measures were studied through soil erosion plot experiments. Models of patato based sustainable vegetable farming system were formulated by simulation using Universal of Soil Loss Equation (USLE) model and multiple goal programming. Results of the research showed that up and down the slope vegetable farming practices and inadequate of soil conservation practices caused soil erosion rate of 39.25 - 229.14 ton/ha/year which was higher than the local soil tolerable loss (24.09 - 20.89 ton/ha/year), and net farm income was generally not enough to support life worthed living (Rp 28 000 000/year). Planting on ridges across the slope, or ridges constructed 15 degrees across the slope, or in ridges down the slope with a mound constructed across the slope in each 4.5 m distance and silt-pit, can be considered as alternatives soil conservation methods for vegetable farming systems. Potato based sustainable vegetable farming systems in Siulak Watershed could be accomplished by improving the cultivation practices by integrating the soil conservation methods (planting on ridges across the slope and mulch, or ridges down the slope with a mound constructed across the slope, mulch and silt-pit) into the existing systems. Potato based sustainable vegetable farming systems with the cropping pattern of potato-cabbage-tomato and recommended agrotechnologies performed the most optimum models in Siulak Watershed, Kerinci District, Jambi; this system generated soil erosion about 10.59 - 18.82 ton/ha/year and the net farm income about Rp 40 714 558 - Rp 52 745 652 per hectar per year on 0.44 ha farm area. Some farmers in Siulak Watershed have started applicating the recommended agrotechnologies right after the research was completed. Keyword:farming systems, Siulak Watershed, Kerinci District, Jambi
Judul: Sustainable farming systems for Rubber and Oil Palm Planning in Batang Pelepat Watershed Bungo District Jambi Province Abstrak:Land for rubber and oil palm farmings in Batang Pelepat watershed were generally cultivated without adequate fertilization and soil and water conservation techniques. This practice caused high erosion and in turn gradually decreased land productivity and farmer’s income. The objectives of this research were:(1) to identify land characteristics and farming systems of rubber and oil palm (FSROP) types, (2) to study impacts of FSROP on land characteristic, run off and erosion (ROE) rate, crop production and farmer’s income and (3) to design sustainable FSROP. Identification of FSROP characteristics were carried out by using descriptive analysis. Impacts of FSROP on ROE was measured in small erosion plot and analyzed using variance analysis and Duncan New Multiple Range Test (DNMRT). The sustainable FSROP was formulated by simulation technique using universal of soil loss equation (USLE) and multiple goal programming models. The results of the research showed that farming system in Batang Pelepat watershed consisted of five types of rubber farming systems and two types of oil palm farming systems. All of those farming systems were not able to fulfill indicators of sustainable agriculture (ISA). Cultivated land resulted higher ROE than forest. However among the cultivated land sesap karet caused the lowest ROE (3.53 mm and 13.93 ton/ha/year). The sustainable FSROP could be accomplished by application of combination agrotechnologies including balance fertilization using urea, SP-36, KCl and MgSO4. Meanwhile, the ISA were accomplished by application of Legum Cover Crop (LCC) and countour cropping (on slope 3–14%) and LCC and gulud terrace (on slope 15–30%). The sesap karet I (mixed of rubber-manau-kayu sungkai) performed the most optimum ISA. The sesap karet I generated erosion of 0.61 – 3.46 ton/ha/year and the farmer’s income Rp18 320 000 –18 590 000/ha/year. Keyword:Agrotechnology, Indicators of Sustainable Agriculture (ISA), Universal of Soil Loss Equation (USLE)
Judul: Karakterisasi Genom Mitokondria Labi-Labi, Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) Abstrak:Runutan nukleotida lengkap genom mitokondria (mtDNA) labi-labi, Dogania subplana, telah dilakukan. Ukuran mtDNA labi-labi adalah 17289 bp. Organisasi, orientasi dan ukuran setiap gen dari 13 gen penyandi protein mtDNA, 22 gen penyandi tRNA dan dua gen penyandi rRNA serta daerah kontrol adalah serupa dengan yang telah ditemukan pada vertebrata lainnya. Panjang daerah kontrol adalah 1820 bp, yang di dalamnya bisa ditemukan tiga motif runutan DNA berulang. Motif pertama dan kedua berturut-turut adalah 15 bp dan 37 bp, yang keduanya berulang secara tandem sampai 728 bp. Motif ketiga adalah ruas TA berulang, yaitu (TA)n dan (ATAlT)n. Motif ketiga ini disebut mitokondria. Analisis terhadap daerah kontrol menemukan adanya domain tengah yang stabil untuk semua anggota Testudines, dan adanya tiga macarn Conserve Sequence Blocks yang homolog dengan daerah kontrol mtDNA vertebrata. Keyword:
Judul: Pemodelan Pertumbuhan dan Serapan Hara Nitrogen, Fosfor, Kalium dan Magnesium Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pada Pembibitan Utama Abstrak:Kelapa sawit dibudidayakan pada berbagai kondisi lahan dan cuaca. Dosis pemupukan kelapa sawit seharusnya dilakukan berdasarkan kondisi cuaca dan jenis tanah. Variasi jenis tanah dan cuaca di Indonesia menyebabkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi membutuhkan waktu lama dan biaya yang besar. Pembibitan merupakan salah satu fase pertumbuhan kelapa sawit yang membutuhkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi. Pemodelan pertumbuhan dan serapan hara N, P, K dan Mg pada bibit kelapa sawit dapat menjadi salah satu pendekatan untuk mendapatkan rekomendasi yang spesifik lokasi. Rekomendasi pemupukan spesifik lokasi pada model akan mempertimbangkan kondisi tanah, variasi cuaca dan perbedaan ketersediaan hara pada setiap lokasi penanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pertumbuhan dan serapan hara nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K) dan magnesium (Mg) bibit kelapa sawit di pembibitan utama pada berbagai dosis pemupukan. Penelitian pemodelan pertumbuhan dan serapan hara dilakukan dengan studi pustaka dan percobaan lapangan. Studi pustaka dilakukan untuk menyusun model dan mendapatkan nilai/koefisien input model yang sudah ada. Percobaan lapangan dilakukan untuk mendapatkan nilai/koefisien input model yang belum ada dan untuk mendapatkan data pertumbuhan untuk validasi model. Percobaan lapangan dilakukan pada bulan Januari 2021 sampai Januari 2022 di Kebun Percobaan Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB University. Percobaan lapangan disusun dengan rancangan acak kelompok dengan lima ulangan. Percobaan lapangan terdiri dari empat percobaan terpisah untuk N, P, K dan Mg. Setiap percobaan terdiri dari lima taraf pemupukan, yaitu 0, 50%, 100%, 150% dan 200% dosis standar untuk varietas Damimas. Perbedaan dosis N, P, K dan Mg memberikan respon berbeda nyata pada parameter jumlah pelepah, lingkar batang, bobot kering dan serapan N, P, K dan Mg bibit kelapa sawit di pembibitan utama. Berdasarkan respon morfologi dan serapan hara kelapa sawit pada berbagai dosis pupuk N, P, K, dan Mg yang membentuk kurva kuadratik, dosis optimum N, P, K dan Mg untuk bibit kelapa sawit di pembibitan utama adalah 29,3 g N, 38 g P, 41,8 g K dan 16,2 g Mg. Model pertumbuhan memodelkan sistem pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit pada berbagai dosis pemupukan di pembibitan utama. Sistem yang dimodelkan mencakup tiga subsistem, yaitu : pertumbuhan, perkembangan dan neraca air. Submodel pertumbuhan disusun sebagai aliran massa energi pada proses fotosintesis, partisi karbohidrat, dan proses respirasi. Nilai rata-rata efisiensi penggunaan radiasi matahari dan luas daun spesifik selama pembibitan utama adalah 0,92 g MJ-1 dan 0,001238 Ha Kg-1. Koefisien partisi rata-rata untuk akar, petiole dan daun selama pembibitan utama adalah 25%, 34% dan 41%. Submodel perkembangan tanaman disusun sebagai aliran panas berdasarkan konsep thermal units. Jumlah thermal unit selama pembibitan utama adalah 3096,4 d0C. Submodel neraca air memodelkan ketersediaan air harian untuk bibit kelapa sawit. Hasil validasi model pada umur 6, 9 dan 12 BST menunjukkan bahwa hasil simulasi bobot kering pada model yang disusun tidak berbeda nyata dengan bobot kering aktual di lapangan. Model yang disusun dapat memprediksi bobot kering bibit kelapa sawit di pembibitan utama pada berbagai kondisi kekurangan/kelebihan hara N, P, K dan Mg, serta mempertimbangkan kondisi cuaca dan kesuburan tanah. Model serapan hara memodelkan sistem penyerapan N, P, K dan Mg bibit kelapa sawit pada berbagai dosis pemupukan di pembibitan utama. Sistem yang dimodelkan mencakup model pertumbuhan dan submodel serapan N, P, K atau Mg. Kebutuhan hara (demand) ditentukan oleh kadar hara maksimum dan minimum bibit. Kadar hara minimum rata-rata untuk N, P, K dan Mg adalah 2,13%, 0,24%, 1,33%, 0,38%. Kadar hara maksimum rata-rata untuk N, P, K dan Mg adalah 2,36%, 0,25%, 1,53%, 0,39%. Hasil validasi model serapan hara pada umur 6, 9 dan 12 BST menunjukkan bahwa hasil simulasi serapan hara pada model yang disusun tidak berbeda nyata dengan serapan hara aktual di lapangan. Model yang disusun dapat memprediksi serapan hara N, P, K dan Mg bibit kelapa sawit di pembibitan utama pada berbagai kondisi kekurangan/kelebihan hara N, P, K dan Mg, serta mempertimbangkan kondisi cuaca dan kesuburan tanah. Berdasarkan hasil simulasi model pertumbuhan dan serapan hara, didapatkan rekomendasi pemupukan N, P, K dan Mg untuk wilayah Bogor, Pekanbaru dan Tangerang. Dosis rekomendasi pupuk untuk wilayah Bogor adalah 30,3 g N, 47,5 g P, 37,4 g K dan 15,2 g Mg. Dosis rekomendasi untuk wilayah Pekanbaru adalah 27,9 g N, 35,9 g P, 36,2 g K dan 15,4 g Mg. Dosis rekomendasi untuk wilayah Tangerang adalah 27,8 g N, 35,6 g P, 35,7 g K dan 15,2 g Mg. Perbedaan rekomendasi pemupukan model, secara umum disebabkan oleh perbedaan cuaca, yaitu jumlah curah hujan dan intensitas cahaya matahari. Keyword:dry weight, light use efficiency, partition, simulation
Judul: Penetapan Rekomendasi Pemupukan P dan K melalui Uji Tanah pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) di Tanah Ultisol. Abstrak:Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dikonsumsi masyarakat sebagai bahan campuran bumbu masak setelah cabai. Meskipun bukan merupakan kebutuhan pokok, tetapi penggunaan bawang merah di tingkat rumah tangga tidak bersubstitusi karena hampir semua masakan membutuhkan bawang merah. Oleh karena itu kebutuhan bawang merah akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Proyeksi kebutuhan bawang merah hingga tahun 2019 akan terjadi peningkatan yang menyebabkan penurunan surplus bawang merah, oleh karena itu harus tetap diupayakan untuk meningkatkan produksi maupun produktivitas bawang merah sebagai komoditi utama sub sektor hortikultura untuk memenuhi permintaan bawang merah dalam negeri tanpa harus bergantung terhadap impor dari negara lain. Lahan-lahan yang ada di sentra bawang merah umumnya mempunyai jenis tanah Inceptisol dan Vertisol. Di Indonesia, sebaran tanah Inceptisol mencapai 70.52 juta ha, namun sudah banyak dipergunakan untuk usaha budidaya tanaman. Vertisol relatif sedikit berkisar 2.1 juta ha dan dalam penggunaannya harus bersaing dengan komoditas lain. Selain itu saat ini kondisi lahan yang ada di sentra bawang merah umumnya telah banyak mengalami degradasi lahan. Kondisi ini akan mengakibatkan adanya ancaman penurunan luas panen bawang merah dalam jangka panjang, sehingga kondisi ini memerlukan adanya perluasan areal tanam dengan membuat sentra-sentra bawang merah yang baru. Di lain pihak terdapat potensi lahan-lahan suboptimal yang belum banyak digunakan untuk pertanian, diantaranya adalah Ultisol. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah mineral masam yang berpotensi sebagai perluasan dan peningkatan produksi pertanian di Indonesia, karena merupakan bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang belum banyak dipergunakan untuk pertanian (45.8 juta ha). Namun tanah Ultisol umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang rendah bahkan sangat rendah, oleh karena itu diperlukan dukungan teknologi untuk memperbaiki tingkat kesuburannya, salah satunya melalui pemupukan. Tujuan penelitian menentukan rekomendasi pupuk P dan K bawang merah di tanah Ultisol melalui uji tanah. Penelitian dilaksanakan ditanah Ultisol kampung Kentrong, Desa Malangsari, Kecamatan Cipanas, Lebak, Provinsi Banten dengan letak koordinat 6o 32’ 4.46396” Lintang Selatan, 106o 20’ 44.30994” Bujur Timur dan ketinggian tempat 187 m di atas permukaan laut. Penelitian dilakukan pada bulan November 2014 – Mei 2016 melalui pendekatan lokasi tunggal (single location). Tahapan penelitian: 1) pembuatan status hara P dan K tanah, 2) uji korelasi P dan K di rumah kaca, 3) uji kalibrasi P dan K di lapangan, 4) penetapan rekomendasi pupuk P dan K. Penelitian tahap 1, pembuatan status hara P dan K tanah menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan 5. Pembuatan status hara P menggunakan asam fosfat (H3PO4) dengan lima level P, yaitu: 0X, 1/4X, 1/2X, 3/4X, dan X. Nilai X sebesar 1033.3 kg P ha-1, setara dengan 2266.7 L H3PO4 ha-1. Aplikasi P dari masing-masing level yaitu 0, 258.3, 516.65, 775, dan 1033.3 kg P ha-1. Selanjutnya pupuk P diinkubasi selama tiga bulan. Pembuatan status hara K tanah dengan pemberian pupuk KCl, dengan taraf : 0 X,1/4 X, 1/2X, 3/4X, dan X. Nilai X sebesar 405.6 kg K ha-1 . Dosis masing-masing level 0, 101.4, 202.8, 304.2, dan 405.6 kg K ha-1. Analisis P tanah menggunakan metode ekstraksi Bray I (0.025 N HCl + NH4F 0.03 N), Bray II (NH4F 0.03 N + HCl 0.10 N), Mechlich I (0.0125 M H2SO4 + 0.05 M HCl), Morgan Wolf NaC2H2H3O2.3H2O; pH 4.8), dan Truog (0.02 N H2SO4 + (NH4) 2SO4). Untuk analisis K tanah menggunakan metode ekstraksi Bray I (larutan 0.025 N HCl + NH4F 0.03 N), Bray II (NH4F 0.03 N + HCl 0.10 N), Mechlich I (0.0125 M H2SO4 + 0.05 M HCl), HCl 25% dan Olsen (NaHCO3 0.5 M, pH 8.5). Berdasarkan hasil analisis tanah, kadar P dan K tanah meningkat setelah pupuk diinkubasi selama tiga bulan. Penelitian tahap 2, uji korelasi P dan K di rumah kaca. Percobaan uji korelasi menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah ulangan lima. Media tanam diambil dari sepuluh titik sampel tanah pada setiap petakan tanah yang sudah diinkubasi hara P maupun K. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara acak. Metode ekstraksi terbaik untuk hara P adalah Truog (r = 0.84) dan K adalah Mechlich I (r = 0.77). Penelitian tahap 3, uji kalibrasi P dan K di lapangan. Percoban uji kalibrasi menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design) dengan jumlah ulangan lima. Uji kalibrasi P, petak utama (main plot) status hara P tanah yang didapatkan dari aplikasi asam fosfat (H3PO4) pada percobaan tahap 1. Anak petak (sub plot) adalah perlakuan dosis pemupukan P dengan lima taraf yaitu 0X, 1/4X, 1/2X, 3/4X dan X. Pemupukan P pada anak petak menggunakan SP-36, dosis pupuk P untuk anak petak adalah 0, 591.6, 1183.3, 1774.9, dan 2366.6 kg P2O5 ha-1. Jumlah kombinasi perlakuan sebanyak 25 dan jumlah satuan unit percobaan sebanyak 125. Uji kalibrasi K, petak utama (main plot) adalah status hara K dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (percobaan tahap 1). Sebagai anak petak (sub plot) adalah dosis K menggunakan KCl dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi yaitu 0, 127.4, 255, 382.2, dan 509.6 kg K2O ha-1. Jumlah kombinasi perlakuan sebanyak 125 petak satuan percobaan. Hasil percobaan uji kalibrasi diperoleh kelas ketersediaan hara P tanah Ultisol untuk tanaman bawang merah adalah sangat rendah jika (< 1), rendah (1- <9), sedang (9-<28.), tinggi dan sangat tinggi (≥ 28) ppm P. Kelas ketersediaan hara K tanah Ultisol untuk tanaman bawang merah adalah sangat rendah jika (<126), rendah (126-<225), sedang (225-<463), tinggi dan sangat tinggi (≥ 463) ppm K. Penelitian tahap 4, penetapan kebutuhan pupuk P dan K. Kebutuhan pupuk P untuk mencapai hasil maksimum pada kelas ketersediaan hara rendah dan sedang, masing-masing 1850 dan 1310 kg P2O5 ha-1. Kebutuhan pupuk P untuk mencapai hasil optimum pada kelas ketersediaan hara rendah dan sedang adalah 1315 dan 765 kg P2O5 ha-1. Kebutuhan pupuk K untuk mencapai hasil maksimum pada kelas ketersediaan hara rendah 390.4 dan 317.3 kg K2O ha-1. Kebutuhan pupuk K untuk mencapai hasil optimum pada kelas ketersediaan hara rendah dan sedang adalah 304 dan 231 kg K2O ha-1 Keyword:Uji korelasi, uji kalibrasi, hasil optimum, rekomendasi pupuk
Judul: Strategi Komunikasi Konflik di Ruang Publik Virtual pada Fenomena Aksi Bela Islam Abstrak:Peristiwa Aksi Bela Islam menarik perhatian publik Indonesia baik secara luring maupun daring. Platform digital dijadikan sebagai ruang publik virtual pada peristiwa Aksi Bela Islam seperti media Twitter, Facebook, Instagram dan Google, untuk membentuk dan membagikan wacana yang mendukung atau menolak Aksi Bela Islam. Beragam wacana tersebut membentuk suatu pola konflik di ruang publik virtual atas fenomena Aksi Bela Islam. Analisa dilakukan menggunakan tiga dimensi yang diperkenalkan oleh Dahlgren (1995, 2005, 2018): struktural, representasi dan interaksi, sebuah konsep untuk menggambarkan suatu ruang publik virtual. Penelitian ini membandingkan ruang publik online media sosial Twitter dan media google trends untuk menguji konsep tersebut. Deskriptif analisis data kualitatif dilakukan pada akun-akun yang berinteraksi, membentuk wacana dan komunitas di media sosial Twitter dan pada data pencarian yang terekam di Google trends, sehingga membentuk suatu pola interaksi sosial. Penelitian ini menghasilkan bahwa pada media sosial Twitter, struktur media yang memungkinkan keterlibatan pengguna dalam mengeksplorasi fitur-fitur yang disediakan oleh Twitter, memegang peran kunci pada terbentuknya interaksi sosial yang bersifat menyebar sehingga tercapai representasi dan interaksi yang sehat di ruang publik virtual. Pengguna Twitter mengeksploitasi fitur hashtag dan fitur trending topic, agar media sosial Twitter memiliki struktur media yang memungkinkan terjadinya kebebasan akses, kebebasan berpendapat dan berserikat yang berdampak pada terpenuhinya representasi dan interaksi di ruang publik virtual sebagaimana konsep Dahlgren. Sedangkan pada media virtual Google trends terjadi hegemoni akses melalui fitur kata kunci yang disediakan oleh media virtual Google yang mengakibatkan interaksi bersifat terpusat, sehingga tidak tercapainya representasi dan interaksi meskipun tersedia ruang bagi keterbukaan akses dan interaksi. Keyword:Communication Convergency, Conflict Communication Strategy