anchor
stringlengths
99
27.2k
positive
stringlengths
297
27.2k
negative
stringclasses
672 values
Judul: Sustainability of pelagic fisheries in ternate and its development strategies Abstrak:RAPFISH on the pelagic fisheris of Ternate indicates that it has fair suistainability state for ecology, economy, and social dimensions (index of 50-75), and less sustainability state for technology and law/institute dimesions (index of 25-50). Attributes that influence suistainability indexes for each dimensions are the length og migration, range collapse, and catch of pre-mature fish (ecology), limited entry regime, market right, and alternative incomes (economy), fishing sector, fishers influence on decision making process, and conflicts (social), post harvest processing, gear selectivity, and use of FAD's (technology), and fishers participation in policy determination, and illegal fishing (law and institute). AHP on the fisheries suggested a number of policies to overcome weaknesses in fisheries management: (1) development of law and institutional capacity, (2) improvement of marketing system, (3) improvement of fishing productivity and efficiency, (4) improvement of community welfare, and (5) application of environmentally friendly fishing technology. Keyword:RAPFISH
Judul: Study of Purse Seine Fishery and its Sustainability Status in Manado City Region Using Systemic Feedback Modeling Abstrak:Keberlanjutan perikanan merupakan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang menjamin pemenuhan kebutuhan secara terns menerus. Sementara perkembangan hasil tangkapan ditentukan oleh umpan balik sistemis antara unsur sumber daya ikan dan unsur upaya tangkap yang dioperasikan. Dalam penelitian ini, status keberlanjutan perikanan pukat cincin di daerah Kota Manado ditelaah melalui dimensi-dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika dengan menerapkan teknik RAPFISH. Di samping itu, perkembangan hasil tangkapan dari perikanan ini dianalisis melalui model umpan balik sistemis. Ordinasi status keberlanjutan perikanan pukat cincin temyata bervariasi nilainya menurut dimensinya, di antara 32.9 dan 78.8. Secara rata-rata semua dimensi, posisi perikanan ini ditunjukkan berada 53% dari status keberlanjutan yang tergolong baik. Pengembangannya berpeluang dilakukan melalui perbaikan k:ualitas atribut-atribut keberlanjutan perikanan seperti: upah rata-rata dan proporsi pekerjaan (ekonomi), sosialisasi penangkapan dan partisipasi keluarga (sosial), selektivitas alat tangkap dan kemampuan menangkap (teknologi), pilihan perikanan dan ketepatan pengelolaan (etika). Melalui penerapan upaya tangkap optimum, perilaku model yang semula berfluktuasi akan selanjutnya meningkat mulus menuju ke jumlah yang relatif konstan. Uji sensitivitas model menunjukkan peubah model berupa efisiensi panen, kapasitas stok, dan status keberlanjutan perikanan yang ditingkatkan secara tunggal dan/atau kombinasi, berpeluang menambah hasil tangkapan sekaligus nilainya. Dengan demikian, kebijakan umum yang dapat dipertimbangkan untuk pengembangan perikanan ini mencakup: peningkatan efisiensi panen, peningkatan kapasitas stok, dan perbaikan status keberlanjutan. Selain itu, standardisasi atribut-atribut keberlanjutan perikanan menurut alat tangkap dan sosialisasinya bagi semua pihak, disarankan untuk dilakukan, Fisheries sustainability is management and the utilization of fish resources which can guarantee the availability of that resources continuously. Meanwhile, the progress of catch is determined by systemic feedback between fish resources components and fishing effort components. In this research, the sustainability status of purse seine fishery in Manado was examined through ecological, economic, sociological, technological, and ethical approaches by employing RAPFISH technique. Moreover, the performance of the catch of this fishery was analyzed using systemic feedback model. The status of the purse seine fishery in this region was 53% of the fisheries sustainability which is classified as good fisheries. Improvement of this status can be done by improving several attributes qualities, among others: wage and sector employment (economy); socialization of fishing and kin participation (social); selective gear and catching power (technology); alternatives and just management (ethics). Through the application of optimal fishing effort, the behavior model that previously shown fluctuated in catch, was then increased to a relatively constant number. From sensitivity analysis, it was found that variable model such as harvest efficiency, stock capacity, and sustainability status which had been increased by itself and/or in combination, has the possibility to improve the catch and its value. By looking at those, the most possible thing to do to improve the fishery is through increasing the efficiency of harvest, stock capacity, and also the improvement of sustainability status. Beside that, standardization of fisheries sustainability attributes according to fishing gears which then followed by socialization of their use to the community, is also suggested. Keyword:sustainability, fisheries status, purse seine, catch model
Judul: Aktivitas Antidiabetes Zat Ekstraktif Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) dan Samama (A. macrophyllus (Roxb.) Havil). Abstrak:Diabetes merupakan penyakit gangguan metabolik yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit diabetes ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah yang disebabkan karena kerusakan sel pankreas dalam produksi insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan hormon insulin. Adanya kecenderungan jumlah penderita diabetes yang semakin meningkat, penggunaan obat diabetes berbasis bahan kimia sintetis yang menimbulkan berbagai efek samping serta biaya pengobatan yang semakin mahal maka perlu upaya untuk menemukan dan mengembangkan obat antidiabetes dari bahan alam tumbuhan yang relatif lebih murah dan aman. Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq dan samama (A. macrophyllus (Roxb.) Havil) merupakan jenis pohon cepat tumbuh yang berpotensi sebagai sumber obat alam antidiabetes. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan aktivitas antidiabetes ekstrak etanol berbagai bagian pohon jabon dan samama (daun, kulit, dan kayu) melalui uji penghambatan enzim α-glukosidase secara in vitro, mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa aktif antidiabetes dari ekstrak etanol teraktif jabon dan samama, mengkarakterisasi karbon aktif hidro kayu jabon dan samama serta menentukan aktivitas antidiabetes ekstrak etanol teraktif dan karbon aktif hidro jabon dan samama melalui pengujian secara in vivo. Hasil penapisan berbagai bagian pohon (daun, kulit, dan kayu) tanaman jabon dan samama menunjukkan bahwa ekstrak etanol 95% daun jabon dan kulit samama merupakan ekstrak teraktif yang mampu menghambat enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 7.24 μg mL-1 dan 5.86 μg mL-1. Kadar ekstrak etanol daun jabon dan kulit samama masing-masing sebesar 16.50% dan 12.87%. Analisis fitokimia kualitatif ekstrak etanol daun jabon mendeteksi kuat keberadaan kelompok senyawa seperti flavonoid, hidrokuinon, tanin, dan kumarin. Ekstrak etanol kulit samama terdeteksi kuat mengandung kelompok senyawa flavonoid, saponin, tanin, dan kumarin. Kelompok senyawa tersebut diduga berperan dalam tingginya aktivitas antidiabetes ekstrak etanol daun jabon dan kulit samama. Partisi bertingkat ekstrak etanol daun jabon dan kulit samama menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat memperoleh 3 fraksi yaitu fraksi n-heksana, etil asetat, dan residu. Uji penghambatan enzim α-glukosidase secara in vitro menunjukkan bahwa fraksi etil asetat merupakan fraksi teraktif dengan nilai IC50 masing-masing 7.34 μg mL-1 untuk daun jabon dan 6.82 μg mL-1 untuk kulit samama. Kadar fraksi etil asetat daun jabon dan kulit samama masing-masing sebesar 33.28% dan 30.97%. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif antidiabetes dari fraksi etil asetat daun jabon dan kulit samama mendapatkan senyawa turunan kumarin yaitu skopoletin dengan rumus kimia C10H8O4 dan berat molekul 192. Senyawa skopoletin dari daun jabon dan kulit samama tersebut mampu menghambat aktivitas enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 13.16 μg mL-1 dan 13.37 μg mL-1. Karbon aktif hidro kayu jabon dan samama merupakan produk bahan alam selain ekstraktif yang berpotensi memiliki aktivitas antidiabetes. Pembuatan karbon aktif hidro kayu jabon dan samama menggunakan proses karbonisasi hidrotermal pada suhu 200 oC serta aktivasi kimia KOH dan uap air pada suhu 800 oC menghasilkan karbon aktif hidro dengan kualitas yang telah memenuhi standar SNI 06-3730-1995. Proses aktivasi dengan KOH dan uap air mampu menghasilkan karbon aktif hidro dengan porositas cukup tinggi. Karbon aktif hidro jabon memiliki luas permukaan 1068 m2 g-1, diameter pori rata-rata 2.36 nm,dan volume pori 0.63 cc g-1, sedangkan karbon aktif hidro samama memiliki luas permukaan 1284 m2 g-1, diameter pori rata-rata 2.26 nm, dan volume pori 0.72 cc g-1. Berdasarkan pengujian in vitro daya jerap glukosa, karbon aktif hidro jabon dan samama mampu menjerap glukosa masing-masing sebesar 199.48 mg g-1 dan 201.53 mg g-1. Kedua karbon aktif hidro tersebut berpotensi sebagai agen antidiabetes untuk menurunkan kadar glukosa darah. Hasil pengujian aktivitas antidiabetes secara in vivo menunjukkan bahwa baik ekstrak etanol maupun karbon aktif hidro jabon dan samama memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar glukosa darah pada hewan percobaan tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin dosis 65 mg kg-1 bb. Ekstrak etanol daun jabon dan samama dosis 500 mg kg-1 bb mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus masing-masing sebesar 26.61% dan 25.82%. Karbon aktif hidro kayu jabon dan samama dosis 800 mg kg-1 bb mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus masing-masing sebesar 27.25% dan 28.93%. Kombinasi antara ekstrak aktif dan karbon aktif hidro memberikan hasil penurunan yang relatif lebih besar dibandingkan pemberian ekstrak aktif dan karbon aktif hidro secara dosis tunggal. Perlakuan kombinasi ekstrak etanol daun jabon dan karbon aktif hidro kayu jabon mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebesar 30.85%, sedangkan perlakuan kombinasi ekstrak etanol kulit samama dan karbon aktif hidro kayu samama mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebesar 31.60%. Tanaman jabon dan samama mengandung senyawa aktif antidiabetes skopoletin dan dapat menghasilkan karbon aktif hidro yang memiliki aktivitas antidiabetes. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi penting untuk pengembangan obat antidiabetes berbahan dasar alam. Keyword:alfa-glukosidase, ekstraktif, jabon, samama, karbon aktif hidro, skopoletin
Judul: The model of capture fisheries management in the area of Bali Strait Abstrak:The fisheries activity was being prime mover (around 80%) of the fishermen and the society economic in the area of Bali Strait. However, it would be very much trivial if the potency was not well managed and unable to give the prosperity for the fishermen society. The research purposes were to determine the level of fishermen prosperity, to forecast the production of major catch of fishes, to determine the level of fisheries business feasibility, to formulate the management of the capacity building for strategy of fisheries resources, and to build the management model of the area that guarantees the sustainability of fisheries development. The method used consisted of the level of prosperity analysis, forecasting analysis, business feasibility analysis, strategy analysis by using AHP, and model analysis by using SEM. The results of analysis showed that the level of fishermen prosperity in the area of Bali Strait was ‘moderate’ (total score=25.80). The production of lemuru tended to increase within the last several years and at the year of 2010 was forecasted to decrease 44,899.13 tonnes. The production of tongkol tended to decrease, and at the year of 2010 was forecasted to reach 2,035.30 tonnes. The production of layang also tended to decrease, and at the year of 2010 was forecasted to reach 1,967.01 tonnes. As the dominant fisheries business, purse seine one boat system (OBS), purse seine two boat system (TBS), gill net and ‘payang’ were very feasible to be developed in the area indicatively the values, NPV>1, IRR>6.25, ROI>1, and B/C Ratio>1. The development managed by the spesific institution establised by local governments (RK=0.284) was the right strategy of capacity building in order to manage the fisheries resources in the area. This specific institution roled to organize the fisheries resources conservation programs, to regulate the exploitation of fisheries resources based on local governments policy (SKB), to supervise selling price and fishing gears operation periodically, to provide the information centre of job opportunity and the vocational centre, and to facilitate the local revenue planning of the sector of fisheries. The management model of the area developed could fit some criteria such as goodness of fit (Chi-square, signifance probability, RMSEA, GFI, AGFI, CMIN/DF, TLI, dan CFII). The results of analysis of the model showed that some concerned components for sustainability guarantee of fisheries development in the area required were local market performance, export market performance, product supply of processing industry to the market, biodiversity, prosperity of fishermen, work force absorption of capture fisheries business and industry, growth of capture fisheries business, income of processing industry and tax. Keyword:
Judul: Model of management of capture fisheries area in Banten Bay Abstrak:Banten Bay is area which quite rapid development for many activities. Industrial waste disposal, domestic, over fishing, coral exploitation, reclamation, vessel traffic, and environmental damage, cause interest multi sector conflict in managing sea area. General objective of the research is to create model of management of sustainable capture fisheries area in Banten Bay. The specific objectives are to (1) determine utilization status and development prospect of capture fisheries; (2) determine leading commodity; (3) determine environmentally friendly fishing gears, (4) establish utilization zone; (5) arrange policy strategy in managing capture fisheries; and (6) simulate of model of management of capture fisheries. Evaluating utilization status and development prospect of capture fisheries was conducted using surplus production method with bionomic model. Determination of leading commodity was conducted with LQ value, IS, and descriptive method. Environmental and sustainable fishing gear was analyzed using CCRF criteria with scoring method approach. Zoning of capture fisheries area utilization was conducted by GIS. Management strategy of capture fisheries area was conducted with SWOT and AHP. Simulate of model of management of capture fisheries was conducted with LGP and model simulation of sustainable fish resources and salary fisherman. The result showed that utilization status and development prospect of capture fisheries in Banten Bay can still be developed for 9 species from 23 species. Squid, anchovy, and crab were commodities with high comparative advantages. Hand line, boat lift net, and gillnet were environmentally fishing gears. Zoning of Banten Bay utilization are consist of aquaculture, recreation, conservation, capture fisheries, fishing port, and industrial zone. Zone of capture fisheries was composed base on fishing ground eligibility indicator, suitability of fishing gear with fishing ground, minimum of conflict potency, availability of infrastructure, and environmental carrying capacity. Capture fisheries zone is divided into three zones, that are (i) passive zone, (ii) passive and outboard fishing boat zone, (iii) active and inboard fishing boat zone. Based on LGP analysis, maximum catch was 1.747,259 ton/year, alocation for fishing gear of gillnet, danish seine net, set lift net, boat lift net, boat seine, hand line, guiding barrier trap, and monofilament gillnet were 3, 11, 11, 6, 2, 5, 0 and 0 unit, respectively. The proposed strategy in managing Banten Bay area were (1) utilization strategic location of Banten Bay with optimalization leading commodity for providing fish demand; (2) taking advantage of high availability of human resources and fisherman concern to manage capture fisheries area; (3) utilization local government support and regional autonomy to make policy in structuring and expansion of fishing area and involving coastal communities in the management. Model of management of capture fisheries area in Banten Bay can be increase of salary fisherman as much as 25% from first scenario and take care of sustainable fish resources the periode of time 18 years. Keyword:
Judul: Expression of pathogen responsive genes toward Corynespora cassiicola in rubber plant (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Abstrak:Leaf fall disease caused by Corynespora cassiicola fungus is an important disease in rubber plantation. This research aims to identify and isolates genes or part of genes involved in plant defense response in rubber clones Keyword:
Judul: Ekstraksi Komponen Bioaktif Dari Pegagan (Centella asiatica (L) Urb) Dan Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Dengan Fluida CO2 Superkritik Untuk Pembuatan Sediaan Nanoemulsi Antiwrinkle. Abstrak:Centella asatica (L) Urb yang dikenal dengan nama pegagan dan Zingiber officinale Roscoe atau yang lebih dikenal dengan jahe adalah tanaman yang digunakan sebagai tanaman obat. Pegagan dapat digunakan sebagai antiwrinkle (kerutan) karena dapat menginduksi sintesis kolagen, sedangkan jahe mempunyai sifat sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas sehingga menghambat terjadinya oksidasi pada sel, dan mengurangi proses penuaan dini. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh ekstrak yang mengandung komponen bioaktif sebagai penghambat kerutan (wrinkle) dari pegagan dan jahe menggunakan ekstraksi fluida CO2 superkritik, kemudian dihitung rendemen, kadar asiaticoside sebagai komponen bioaktif yang terdapat dalam Centella asatica (L) Urb serta identifikasi kandungan fitokimianya. Selanjutnya ekstrak pegagan dan jahe yang mengandung komponen bioaktif digunakan untuk membuat sediaan nanoemulsi antiwrinkle. Sediaan nanoemulsi antiwrnkle dianalisis terhadap respon alergi dan iritasi, serta manfaatnya sebagai antiwrinkle terhadap penghambatan enzim elastase dan kolagenase untuk melihat sejauh mana potensi ekstrak kasar pegagan dan jahe dapat menghambat kerutan dalam sediaan nanoemulsi. Ekstraksi fluida CO2 superkritik terhadap pegagan telah dilakukan dengan kondisi tekanan 10-27 Mpa, suhu 35-60 OC, dan waktu ekstraksi 1-6 jam. Rendemen tertinggi 9,23 mg/g bahan kering dan kadar asiaticoside 2,466 mg/g bahan kering, diperoleh pada tekanan 27 Mpa, suhu 50OC dan waktu ekstraksi 4 jam, dengan kandungan fenol total 19,87±0,054 mg GEA/g ekstrak dan triterpenoid total 34,9±0,084 % (b/b). Sebagai pembanding dilakukan ekstraksi Centella asiatica (L) Urb dengan metoda maserasi menggunakan pelarut campuran etanol dan air (70% v/v). Diperoleh rendemen 15,85±0,339 mg/g bahan kering dan kadar asiaticoside 1,038 mg/g bahan kering, kandungan triterpenoid total 20,0±0 % (b/b) dan fenol total 74,28±0,682 mg GEA/g ekstrak. Ekstraksi fluida CO2 superkritik jahe dilakukan pada tekanan 12-16 Mpa, suhu 20-40 OC, waktu ekstraksi 2-6 jam dan metoda maserasi menggunakan pelarut campuran etanol dan air. Rendemen tertinggi 2,99 mg/g bahan kering, diperoleh pada suhu 40 OC, tekanan 16 Mpa dan waktu ekstraksi 6 jam, dengan kandungan fenol total 72,73±0,067 mg GEA/g ekstrak, flavonoid total 9,0±0,005 mg/g ekstrak dan aktivitas antioksidan sebesar 63,66±0,181 μg/mL ekstrak. Ekstraksi jahe dengan metoda maserasi menghasilkan rendemen 3,10 mg/g bahan kering, kandungan fenol total 76,68±0,015 mg GEA/g ekstrak, flavonoid total 11,8±0,032 mg/g ekstrak dan aktivitas antioksidan sebesar 122,85±0,024 μg/mL ekstrak. Analisis GC-MS terhadap ekstrak kasar Zingiber officinale Rocs dilakukan untuk mengetahui kandungan dan komposisi bahan yang terdapat dalam ekstrak kasar Zingiber officinale Rocs pada ekstraksi CO2 superkritik dan ekstraksi maserasi sebagai pembanding. Analisis kromatografi menunjukkan bahwa profil kimia dari ekstrak jahe mengandung monoterpen teroksigenasi, hidrokarbon monoterpene, hidrokarbon seskuiterpen, gingerol dan ester monoterpene teroksigenasi. Ekstrak kasar pegagan dan jahe sebagai komponen bioaktif digunakan untuk formulasi sediaan nanoemulsi antiwrinkle. Pada pembuatan sediaan nanoemulsi antiwrinkle digunakan jenis emulsi minyak dalam air (O/W) perbandingan berat minyak : air adalah 20:80 (% b/b). Metoda pembuatan nanoemulsi menggunakan alat sonikator pada frekuensi 20 kHz, 500 Watt, gelombang ultrasonik pada frekuensi 7-18 kHz dan waktu emulsifikasi pada 5-50 menit. Surfaktan tween 85 pada konsentrasi 5,0-8,5 % berat dan surfaktan trietanol amin pada konsentrasi antara 0,1-2% berat. Selanjutnya penentuan nilai Hydrophilic-Lypophilic Balance (HLB) untuk sistem emulsi minyak dalam air (O/W) pada rentang 10-16. Kondisi proses terbaik dalam pembuatan sediaan nanoemulsi antiwrinkle pada frekuensi 7 kHz, waktu emulsifikasi 30 menit. Komposisi surfaktan tween 85 pada konsentrasi 8,5%, surfaktan trietanol amin pada konsentrasi 1,2% dan HLB 15,30. Ukuran partikel sediaan nanoemulsi antiwrinkle yang menggunakan ekstrak pegagan dengan metoda maserasi sebesar 77,0±41,3 nm dengan nilai indeks polidispersitas 0,440. Ukuran partikel 49,7±25,8 nm dengan nilai indeks polidispersitas 0,419 untuk ekstraksi pegagan dengan fluida CO2 superkritik, dan 59,4±42,5 nm dengan nilai indeks polidispersitas 0,431 untuk ekstraksi pegagan dengan maserasi fraksinasi. Hasil analisis terhadap gejala iritasi dan alergi pada kulit, sediaan nanoemulsi antiwrinkle relatif aman, tidak menimbulkan iritasi dan alergi. Hasil analisis manfaatnya sebagai antiwrinkle terhadap penghambatan aktivitas enzim elastase dan enzim kolagenase MMP1 oleh sampel sediaan nanoemulsi antiwrinkle sebesar 75,14 % dan 40,03 %, sedangkan analisis pada produk komersil dengan merk X yang telah dipasarkan sebesar 80,30 % dan 55,04 % untuk penghambatan enzim elastase dan enzim kolagenasi MMP1, pada konsentrasi inhibitor 1000 μg/mL. Keyword:fluida CO2, fluida CO2 superkritik, maserasi, nanoemulsi, surfaktan, HLB
Judul: Composition and Antioxidant Activity of Indonesian Ginger (Zingiber officinale) Essential Oil: Study on Different Variety and Rhizome Storage Time Abstrak:Jahe merupakan tanaman rempah dan herbal yang banyak digunakan terutama pada bidang pangan dan kesehatan. Selain karena aroma dan rasanya yang khas, jahe juga dimanfaatkan karena bioaktivitasnya sebagai antioksidan. Antioksidan sangat penting karena tidak hanya mampu mencegah, menghambat atau menunda beberapa penyakit kronis pada manusia, tetapi juga memperpanjang masa simpan bahan pangan dan mempertahankan karakteristiknya. Potensi antioksidan salah satu bentuk ekstrak jahe Indonesia, yaitu minyak esensialnya masih sangat terbatas dilaporkan. Secara umum, sifat antioksidan minyak esensial jahe sangat dikaitkan dengan zingiberena, namun informasi terkait bagaimana level aktivitas antioksidan akibat variasi komposisi, terutama ketika zingiberena rendah, akibat perbedaan jenis varietas serta masa simpan, masih belum banyak dilaporkan. Studi ini berfokus mengkaji komposisi dan level aktivitas antioksidan minyak esensial dari tiga jenis varietas jahe Indonesia dan masa simpan rimpang berbeda-beda. Untuk mendapatkan informasi tersebut, maka penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengkaji potensi minyak esensial jahe sebagai antioksidan, terutama mencegah atau menghambat penyakit yang melibatkan radikal bebas yaitu inhibitor enzim penuaan kulit. Sementara itu penelitian utama dilakukan dengan maksud mendapatkan informasi terkait potensi kemampuan mencegah, menghambat atau memusnahkan radikal bebas yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama mengkaji profil komposisi dan aktivitas antioksidan minyak esensial dari jenis varietas berbeda serta mengidentifikasi komponen antioksidan yang bertindak sebagai peredam radikal bebas secara langsung maupun menghambat enzim pro-oksidan. Sementara itu tahap kedua berfokus pada komposisi dan aktivitas antioksidan dari rimpang yang disimpan pada waktu berbeda-beda. Riset pendahuluan berfokus pada studi potensi komponen minyak esensial sebagai bahan anti penuaan kulit dari dua varietas jahe yang umumnya digunakan untuk kesehatan, yaitu jahe merah dan emprit. Komponen diidentifikasi dengan gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS), sedangkan pembedaan kedua varietas dilakukan melalui analisis kemometrik. Potensi anti penuaan kulit dievaluasi melalui simulasi docking dan molecular dynamics. Hasil studi menunjukkan 66 komponen teridentifikasi pada kedua minyak esensial dengan eukaliptol (17,92%) dan kamfena (15,12%) masing-masing merupakan komponen utama pada jahe merah dan emprit. Analisis kemometrik mengungkap dua kelompok diskriminan dengan germakrena D dan α-zingiberena sebagai senyawa penanda untuk diferensiasi. Simulasi docking dan molecular dynamics menunjukkan empat komponen yang kadarnya lebih tinggi pada jahe emprit, yaitu α-kurkumena, α-zingiberena, β-bisabolena dan β-seskuifelandrena, memiliki skor docking terbaik dan berinteraksi dengan enzim kolagenase, hyaluronidase, elastase dan tirosinase dengan interaksi yang relatif stabil. Evaluasi AdmetSAR keempat komponen juga menunjukkan bioavailabilitas yang baik dan dinyatakan aman digunakan untuk manusia. Penelitian utama tahap satu berfokus mengidentifikasi aktivitas dan komponen antioksidan minyak esensial tiga varietas jahe Indonesia. Minyak esensial diisolasi pada berbagai waktu distilasi dan komposisinya ditentukan dengan GC-MS. Aktivitas antioksidan ditentukan melalui analisis in vitro dan in silico, sedangkan analisis korelasi Pearson dan deskriptor reaktivitas global berbasis density functional theory (DFT) diterapkan untuk mengidentifikasi komponen antioksidannya. Total 29 komponen teridentifikasi dengan geranial sebagai komponen utama pada jahe merah (28,3%) dan gajah (20,4%), sedangkan zingiberena (16,2%) pada jahe emprit. Secara umum, minyak esensial jahe gajah menunjukkan aktivitas antioksidan dengan mekanisme transfer elektron dan atau atom hidrogen terbaik. Analisis korelasi Pearson menunjukkan 9 komponen, yang terdiri atas β-mirsena, D-limonena, α-sabinena, geranil asetat, α-kurkumena, α-zingiberena, α-farnesena, β-bisabolena dan β-seskuifelandrena, diduga kuat berkontribusi sebagai komponen antioksidan. Deskriptor reaktivitas global mengkonfirmasi reaktivitas sembilan komponen antioksidan di mana zingiberena merupakan yang paling reaktif. Studi in silico menunjukkan potensi D-limonena, β-felandrena, α-sabinena, ar-kurkumena, α-zingiberena, α-farnesena dan β-seskuifelandrena sebagai inhibitor lipoksigenase, sedangkan D-limonena, β-felandrena dan ar-kurkumena sebagai inhibitor xantin oksidase. Studi berikutnya menentukan masa simpan rimpang untuk diambil minyak esensialnya sebagai antioksidan terbaik. Minyak esensial diperoleh melalui HD-kohobasi dan komposisinya ditentukan dengan GC-MS. Aktivitas antioksidan ditentukan melalui analisis in vitro, dan analisis korelasi Pearson digunakan untuk mengidentifikasi komponen antioksidannya. Hasil analisis menunjukkan minyak esensial jahe yang dikoleksi mengandung komponen utama monoterpena (±18,64%), monoterpena teroksigenasi (28,81%) dan seskuiterpena (±21,19%). Kelompok monoterpena teroksigenasi umumnya mengalami penurunan konsentrasi selama penyimpanan rimpang, sedangkan seskuiterpena cenderung tetap atau relatif meningkat. Aktivitas antioksidan terbaik ditunjukkan oleh minyak esensial dari rimpang yang disimpan selama 45 hari dengan komponen utama antioksidan geranil metil eter; trans-1-isopropenil-4-metil-1,4-sikloheksanadiol; dan 4,8-dimetil-3,7-nonadien-2-on. Berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan diketahui bahwa minyak esensial jahe Indonesia berpotensi mampu menghambat kerja enzim penyebab penuaan kulit, lipoksigenase, xantin oksidase dan meredam radikal bebas langsung. Minyak esensial dari varietas jahe gajah merupakan yang terbaik sebagai sumber antioksidan peredam radikal bebas langsung. Sementara jahe yang disimpan selama 45 hari memiliki aktivitas antioksidan terbaik. Komponen antioksidan utama pada minyak esensial jahe ialah α-zingiberena, β-seskuifelandrena, α-farnesena, β-mirsena, α-kurkumena, geranil asetat, β-bisabolena, α-sabinena, D-limonena, geranil metil ether, (+-)-trans-1-isopropenil-4-metil-1,4-sikloheksanadiol dan 4,8-dimetil-3,7-nonadien-2-on. Keyword:Antioksidan, jahe Indonesia, minyak esensial, varietas, Zingiber officinale
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Pengelolaan Perikanan Karang dengan Pendekatan Ekosistem di Kawasan Konservasi (Kasus: Taman Nasional Karimunjawa) Abstrak:Pada tahun 2001, FAO mengenalkan EAF (ecosystem approach to fisheries) sebagai penyempurnaan terhadap pendekatan pengelolaan perikanan sebelumnya. Tekanan penangkapan pada perikanan karang menuntut pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan sumber daya ikan karang. Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) sebagai salah satu kawasan konservasi di Indonesia mempunyai kekayaan jenis ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya. EAFM diperlukan di TNKJ untuk mensinergikan tujuan konservasi dan aktivitas penangkapan ikan karang. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi status pengelolaan perikanan karang di TNKJ menggunakan indikator EAFM, dan merumuskan keputusan taktis dan strategi pengelolaan untuk mencapai pemanfaatan ikan karang yang berkelanjutan. Evaluasi status EAFM diawali dengan penilaian keragaan domain-domain dalam EAFM. Penilaian keragaan meliputi biodiversitas ikan karang, status stok ikan karang, dan efektivitas zonasi dalam pengelolaan perikanan. Status EAFM dinilai dengan flag model. Konektivitas antar-indikator dinilai dengan logical causal analysis; konektivitas antar domain dinilai dengan EAFA (ecosystem approach to fisheries analysis); dan trajectory analysis antar aspek ekologi dan sosial dinilai dengan Kobe Like Plot. Keputusan taktis dan stretegi kebijakan ditentukan menggunakan diagram tactical decision. Biodiversitas ikan karang dinilai dari kelimpahan dan biomassa ikan. Kelimpahan ikan pada tahun 2015 didominasi oleh famili Pomacentridae dengan persentase 60.46% dengan nilai kelimpahan 14 850 ind/ha, disusul oleh famili Caesionidae dengan persentase 11.77% dengan nilai kelimpahan 2 892 ind/ha. Pada posisi ketiga adalah famili Scaridae dengan persentase 6.27% dengan kelimpahan 1 540 ind/ha. Urutan kelimpahan ikan tahun 2015 sesuai dengan kelimpahan pada tahun 2010 dan 2013, yaitu Pomacentridae, Caesionidae, dan Scaridae. Famili ikan yang mempunyai biomassa tertinggi tahun 2015 adalah Scaridae dengan nilai biomassa 122.33 kg/ha, urutan kedua adalah Caesionidae dengan nilai biomassa 104.91 kg/ha, dan urutan ketiga adalah Serranidae dengan nilai biomassa 50.80 kg/ha. Famili ikan yang mempunyai biomassa terkecil adalah Balistidae yaitu 0.57 kg/ha. Biomassa ikan terbesar tahun 2010 dan 2013 dimiliki oleh famili Caesionidae yaitu 51.86 dan 186.11 kg/ha. Urutan kedua adalah Pomacentridae dengan nilai biomassa 72.04 kg/ha dan 103.16 kg/ha. Urutan ketiga adalah Scaridae dengan nilai biomassa 47.62 kg/ha dan 64.09 kg/ha. Status stok ikan pisang-pisang dan sunu macan berdasarkan metode analitik adalah dieksploitasi melebihi batas kelestariannya (114.50% dan 154.00%), sementara ikan ekor kuning dan jenggot dieksploitasi di bawah batas kelestariannya (82.00% dan 52.00%). Ikan pisang-pisang mempunyai koefisien pertumbuhan tertinggi, disusul oleh ekor kuning, jenggot, dan sunu macan. Berdasarkan analisis surplus produksi, ikan jenggot mempunyai daya dukung paling kecil dibandingkan ketiga ikan lainnya. Ikan ekor kuning mempunyai nilai daya dukung paling besar. Status stok ikan sunu macan dan jenggot berada pada kondisi fully exploited, iii dengan tingkat pemanfaatan 99.11% dan 98.27%. Ikan ekor kuning berada pada status moderate to fully exploited (69.39%), dan ikan pisang-pisang berada pada status moderate exploited (52.34%). Efektivitas zonasi dalam pengelolaan perikanan diukur dari kelimpahan ikan di setiap zona, tingkat kepatuhan nelayan terhadap zonasi, dan pelanggaran zonasi yang terjadi. Zona inti dan pariwisata mempunyai tren kelimpahan ikan berbentuk polinomial, yang mulai menurun pada 2012 dan 2013. Kelimpahan ikan di zona perlindungan dan zona tradisional perikanan meningkat secara linier. Tingkat kepatuhan nelayan untuk tidak menangkap di zona inti dan perlindungan rata-rata adalah 78.56% (rendah). Tren tingkat pelanggaran berbentuk polinomial, terjadi penurunan pada 2010-2012, kemudian meningkat pada 2012-2014. Penilaian status pengelolaan perikanan karang di TNKJ menggunakan flag model memberikan hasil bahwa domain-domain EAFM berada pada level buruk sampai baik. Domain-domain yang berada pada level baik adalah habitat dan ekonomi. Domain lainnya yaitu sumber daya ikan, teknik penangkapan ikan, dan kelembagaan berada pada level sedang. Domain sosial berada pada level buruk, karena tingkat kepatuhan nelayan terhadap zonasi yang rendah dan kurangnya upaya nelayan untuk meningkatkan kapasitasnya. Status pengelolaan perikanan karang di TNKJ secara agregat berada pada level sedang dengan nilai pencapaian 58.76%. Diperlukan strategi dan kebijakan yang dapat mendorong ke pengelolaan yang lebih baik dan dapat mencapai level baik. Trajectory analysis antara aspek ekologi dan sosial memberikan hasil bahwa nilai komposit ekologi adalah 2.24 dan sosial adalah 1.97. Rencana perbaikan perikanan dapat difokuskan pada memelihara strategi yang sudah ada (maintain existing strategy) di aspek sosial, dan membangun strategi baru untuk memperbaiki aspek sosial. Langkah taktis diperlukan untuk mendorong 24 indikator untuk mencapai tingkat yang lebih baik. Status buruk dimiliki oleh tujuh indikator, dan sisanya (17 indikator) mempunyai status sedang. Tujuh indikator yang perlu segera diperbaiki adalah kelimpahan ikan, modifikasi alat tangkap, kapasitas tangkap, sinergitas kebijakan lembaga perikanan dengan lembaga lain, kepatuhan nelayan terhadap zonasi, konflik perikanan, dan konflik pengelolaan kawasan konservasi. Keyword:EAFM, kawasan konservasi, ikan karang, zonasi
Judul: Pengelolaan Perikanan Karang Berkelanjutan Berbasis Ekosistem di Wilayah Pesisir Pulau Ternate. Abstrak:Meningkatnya pembangunan dan aktivitas masyarakat di wilayah pesisir Pulau Ternate, telah memberikan dampak terhadap aktifitas kegiatan perikanan karang di daerah ini. Akibatnya, terjadi tekanan pada sumberdaya perikanan karang, baik ikan karang maupun ekosistem terumbu karang yang menjadi tempat kegiatan penangkapan ikan. Kebutuhan akan informasi dan model pengelolaan sumberdaya perikanan karang berbasis pada kondisi ekologi, ekonomi, sosial-budaya dan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayah Pulau Ternate merupakan bagian yang penting untuk dilakukan dalam pengembangan dan peningkatan produksi perikanan karang di wilayah ini, dengan tetap memperhatikan faktor kelestarian sumberdaya alam dan keberlanjutan pembangunan pada sektor perikanan dan kelautan di PulauTernate. Sumber mata pencaharian dan pengelolaan sumberdaya alam haruslah dapat diadaptasikan pada perubahan sistem ekologi dan sosial dalam rangka meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan strategi pengelolaan perikanan karang berkelanjutan di wilayah pesisir Pulau Ternate dengan pendekatan ekosistem yang berbasis pada karakteristik sumberdaya dan pola pengelolaannya, yang dianalisis melalui serangkaian penelitian dengan tujuan khusus: 1) menilai tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pada spesies target yang diekploitasi dalam kegiatan perikanan karang di perairan Pulau Ternate dengan pendekatan analisis stok (Stock Assessment); 2) menganalisis tingkat interaksi trofik dalam kegiatan perikanan karang di perairan Pulau Ternate dengan pendekatan kesetimbangan massa melalui pendekatan model Ecopath with Ecosim; dan 3) menilai status keberlanjutan pembangunan perikanan karang berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi melalui modifikasi indikator pengelolaan berkelanjutan, serta penerapan pendekatan Sustainability Window dalam penentuan peluang keberlanjutan pembangunan perikanan karang. Proses pengambilan data dilakukan pada area ekosistem terumbu karang yang menjadi daerah penangkapan bagi kegiatan perikanan karang di pesisir Pulau Ternate. Penelitian dilakukan selama satu tahun, sejak April 2018 hingga Mei 2019. Periode pengambilan dan pengukuran sampel ikan dilakukan dari bulan April sampai Agustus 2018, disertai dengan proses wawancara pada setiap kelompok stakeholder yang terkait dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data juga dilakukan melalui penelusuran data kepustakaan dan informasi dari lembaga terkait. Ikan-ikan karang yang menjadi target penangkapan dalam kegiatan perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Ternate, umumnya memiliki pola pertumbuhan yang cenderung pada pertumbuhan alometrik negatif dengan koefisien pertumbuhan (K) yang relatif sedang (~0.55 – ~1.70 per tahun). Ukuran ikan yang tertangkap masih berada di bawah ukuran L∞ dari ukuran panjang setiap kelompok ikan target, mengindikasikan bahwa ikan-ikan target yang tertangkap umumnya masih belum mencapai ukuran dewasa. Rata-rata umur maksimum (tmax) yang diperlukan oleh ikan-ikan target untuk mencapai pertumbuhan maksimumnya sekitar ~4.05 tahun (~49.23 bulan). Ikan-ikan target dengan koefisien pertumbuhan yang besar umumnya mampu mencapai umur maksimum dalam waktu yang cepat. Pendugaan ukuran pertama kali tertangkap (LC) menunjukkan bahwa ikan target yang tertangkap cenderung memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dari ukuran panjang L∞. Rekrutmen terjadi sepanjang tahun pada seluruh kelompok ikan target, dengan puncak rekrutmen relatif pada bulan ke-6 dan ke-7 (Juni-Juli). Laju mortalitas alami (M) dari seluruh ikan target, cenderung lebih besar dari laju mortalitas akibat penangkapan (F). Laju eksplotasi (E) yang tinggi cenderung dijumpai pada ikan-ikan target yang memiliki koefisien pertumbuhan yang tinggi, dengan nilai E berkisar antara 0.4 – 0.8 pada LC antara 152.96 – 214.68 mm. Tingginya eksploitasi terhadap ikan-ikan yang berukuran kecil, memberikan pengaruh terhadap nilai B'/R yang dihasilkan saat ini yang berkisar antara ~13% sampai ~29.7% dari biomassa saat tidak terjadi eksploitasi . Pemodelan Ecopath menunjukkan bahwa, ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Pulau Ternate didominasi oleh sistem tingkat tofik rendah, dimana organisme zooplankton dan bentik memiliki peran yang penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem. Sejumlah parameter atribut dari ekosistem yang dimodelkan menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang di pesisir Pulau Ternate memiliki kematangan dan stabilitas yang rendah, sehingga rentan terhadap gangguan yang masuk kedalamnya. Hasil pemodelan juga menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Pulau Ternate terklasifikasi kedalam ekosistem yang sedang berkembang. Simulasi dinamik Ekosim menunjukkan bahwa sumberdaya perikanan karang pada ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Pulau Ternate, cenderung akan mengalami perubahan apabila terdapat tekanan yang besar pada sumberdaya dan ekosistem terumbu karang akibat dari aktifitas kegiatan perikanan karang yang menargetkan spesies-spesies tertentu dalam penangkapannya. Perubahan atribut bioekologi ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Pulau Ternate, akan berakibat pada penurunan kelimpahan jumlah jenis yang menjadi target penangkapan. Status keberlanjutan pembangunan perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Ternate dari tahun 2012 hingga 2017 menunjukkan status pembangunan yang berkelanjutan. Perubahan pada nilai indikator-indikator keberlanjutan memberikan dampak pada performa keberlanjutan setiap dimensi pembangunan, sehingga penentuan strategi pengelolaan dan pengembangan kegiatan perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Ternate sudah sepatutnya mempertimbangkan keterkaitan antar setiap dimensi pembangunan, serta indikator-indikator yang menunjang keberlanjutannya. Peluang keberlanjutan (Sustainable Window, SuWi) kegiatan perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Ternate cenderung menunjukkan nilai yang mengarah pada proses yang berkelanjutan, dengan tingkat ketebalan peluang keberlanjutan yang tidak terlalu besar terhadap kegiatan perikanan karang Provinsi Maluku Utara dan perikanan demersal secara Nasional. Kondisi ini mensyaratkan perlunya kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan pengeloaan perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Ternate, serta memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan dari kebijakan pembangunan perikanan baik pada tingkat provinsi maupun nasional. Keyword:dinamika populasi, interaksi trofik, kesetimbangan massa, perikanan karang, Sustainability Window
Judul: Antiyeast activities of cumin oil (Cuminum cyminum) toward osmophilic yeast strains isolated from high sugar food Abstrak:The antiyeast activities of cumin oil toward osmophilic yeast strains isolated from high sugar food were studied. Sixty-eight osmophilic yeasts were isolated from sample i.e. strawberry jam (26 isolates), pineapple jam (25 isolates), and South Sumatera honey (17 isolates). No yeast was obtained from condensed milk, Sumbawa honey, sweet soy sauce, and palmsugar. These yeast isolates were identified based on sequence analysis of the ITS region as Candida metapsilosis, C. parapsilosis, C. orthopsilosis, C. etchellsii and Sterigmatomyces halophilus. Phylogenetic analysis showed that most of the osmophilic yeasts (67 out of 68 isolates) were located in the phylum Ascomycota and only 1 isolate was located in the phylum Basidiomycota. Candida etchellsii was the predominant species in South Sumatera honey, while C. metapsilosis, C. parapsilosis, C. orthopsilosis were predominant species in jam. In both jam and honey samples C. metapsilosis and C. parapsilosis were found, whilst C. orthopsilosis was found only in pineapple jam. All five identified yeast species were used further to examine the antiyeast activities of cumin oil. Cumin oil was analyzed by GC-MS, and it was consisted of some compound i.e. cuminaldehide (35.44%), ρ-cymene (34.77%), β-pynene (15.08 %), γ-terpinene (8.15%), α-thujene, α-pinene, trans-limonene, cis-limonene, pentylcyclohexane, cyclohexane, and apiole. The examination of antiyeast activity based on disc agar diffusion method showed that all of the tested yeasts were sensitive to cumin oil. Keyword:Cuminum cyminum
Judul: Spatial Decision Support Design for Bioenergy Supply Chain Abstrak:Penelitian ini bertujuan merancang model pendukung keputusan spasial pada rantai pasok bioenergi dengan mengidentifikasi model rantai pasok bagi pengembangan lokasi agroindustri bioenergi dengan pengembangan model spasial potensial lahan agroindustri bioenergi, Penentuan jalur terbaik distribusi limbah padi dari sentra pertanian hingga pabrik pengolahan menjadi bioenergi, Penilaian tingkat keberlanjutan rantai pasok serta merancang prototipe pendukung keputusan spasial untuk meningkatkan efektivitas rantai pasok. Penelitian dilakukan di kabupaten Lebak, Provinsi Banten dengan observasi dan wawancara. Hasil penelitian ini adalah suatu model untuk membantu pengambilan keputusan yang efisien dan efektif dalam mengelola rantai pasok bioenergi. Dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG), model sistem pengambilan keputusan spasial ini menggabungkan data spasial, seperti lokasi geografis wilayah agroindustri bioenergi, lokasi pusat pengumpulan, industri pengolahan bioenergi, dan titik distribusi secara berkelanjutan. Dengan memanfaatkan data spasial ini, model dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan terkini tentang kondisi geografis, jarak antara lokasi, dan faktor spasial lainnya yang berdampak pada rantai pasok bioenergi. Keyword:AHP, bioenergy, spatial, supply chain, GIS, rice husk
Judul: Design of intelligent decision support system for the development of agroindustry based agropolitan Abstrak:Agropolitan is a concept of agricultural development based on regional dimension which optimizes local potential resources and increases local competitive advantages. However, agropolitan development has some obstacles to be implemented such as no coordination and cooperation between stakeholder. The purpose of this study was to establish agroindustry based agropolitan concept. Through system approach, the intelligent decision support system (DSS) developed in this research was to support the implementation of market and material driven agropolitan development. The intelligent DSS was also able to define and delineate spatially the agropolitan area where agriculture had a most contribution to mean of support and welfare of local residents. Meanwhile, within its agropolitan center, the agroindustry could increase agriculture added value to support agropolitan implementation and its sustainibility. The model has been tested at Kabupaten Probolinggo and showed that corn, mango, onion and potato were best commodities within the region and corn based ethanol was highest priority product. Ethanol agroindustry was designed with capacity of 30 milion gallons per year that feasible to be established. As a stucture and infrastructure of supporting agropolitan based on agroindustry, it was recommended to develop market and road. Considering medium level of existing human resource and infrastructure condition, vertical integrated institution has been selected as an appropriate institution model in agroindusty based agropolitan. Keyword:
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: Interaksi Tritrofik antara Tanaman Mentimun - Diaphania indica Saunders (Lepidoptera: Crambidae) – parasitoid Apanteles taragamae Viereck (Hymenoptera: Braconidae). Abstrak:Diaphania indica Saunders (Lepidoptera: Crambidae) merupakan salah satu hama pada beberapa tanaman dari famili cucurbitaceae. Apanteles taragamae Viereck (Hymenoptera: Braconidae) adalah parasitoid larva utama dari D. indica. Penelitian interaksi tritrofik antara tanaman mentimun, ulat D. indica, parasitoid A. taragamae telah dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi dan Zoologi Terapan, Universitas Tsukuba, Jepang mulai Maret 2014 – Januari 2017. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik biologi parasitoid A. taragamae sebagai upaya untuk menilai efektifitas dan efisiensinya dalam mengendalikan populasi D. indica. Untuk itu, penelitian difokuskan pada empat aspek utama yaitu: (1) Interaksi ulat D. indica dan musuh alaminya di lapangan; (2) Perilaku pencarian inang parasitoid A. taragamae: Peran, identifikasi, dan ketertarikan parasitoid A. taragamae terhadap senyawa volatile tanaman mentimun; (3) Studi biologi dan karakteristik kebugaran parasitoid A. taragamae; dan (3) Studi alokasi keturunan dan nisbah kelamin pada A. taragamae. Penelitian awal menunjukan bahwa kepadatan populasi D. indica di Bogor masih rendah. Hama D. indica dapat dikategorikan sebagai hama minor pada tahun 2014 dan 2015 di Bogor selain karena populasi nya yang masih rendah, D. indica mengalami parasitime yang tinggi oleh A. taragamae sebagai faktor eksternal yang mengatur populasi D. indica di lapangan. Parasitoid lainnya, Ichneumon sp. dan Elasmus sp. menunjukan tingkat parasitisme yang lebih rendah. Tingginya tingkat parasitisme D. indica oleh A. taragamae mengindikasikan bahwa A. taragamae merupakan agen pengendali hayati yang potensial. Untuk itu, kunci aspek-aspek biologi dan ekologi dari A. taragamae perlu dipelajari, khususnya pada aspek perilaku pencarian inang. Imago jantan dan betina menunjukkan perilaku yang berbeda terhadap bau-bauan yang dikeluarkan tanaman sehat, tanaman dengan pelukaan makan, dan juga tanaman dengan pelukaan mekanis. Secara signifikan, parasitoid betina tertarik terhadap bau-bauan dari tanaman sehat daripada udara bersih, dan lebih tertarik terhadap bau-bauan dari tanaman dengan pelukaan makan daripada tanaman sehat. Sementara itu, tidak ada perbedaan ketertarikan terhadap bau-bauan yang dikeluarkan tanaman dengan pelukaan mekanis dan tanaman sehat. Berbeda dengan betina, parasitoid jantan lebih menyukai udara bersih dari pada bau-bauan tanaman sehat. Parasitoid betina juga menunjukkan respon yang sama terhadap ekstrak senyawa volatile dari tanaman sehat, tanaman dengan pelukaan makan, dan juga tanaman dengan pelukaan mekanis. Hasil analisis kimia senyawa volatile yang dikoleksi dengan headspace volatile collection method menunjukkan bahwa tanaman dengan pelukaan makan melepaskan (E,E)-α-farnesene sebagai senyawa utama dengan proporsi paling tinggi (73%). Ketika (E,E)-α-farnesene diujikan terhadap A. taragamae sebagai senyawa tunggal pada dosis 1.7 – 170 ng, A. vii taragamae hanya menunjukkan ketertarikan terhadap (E,E)-α-farnesene pada dosis 17 ng. Dengan demikian, interaksi tritrofik antara tanaman mentimun, ulat D. indica dan parasitoid A. taragamae sebagian dimediasi oleh (E,E)-α-farnesene. Faktor lain seperti fekunditas, sintasan pradewasa parasitoid, dan nisbah kelamin juga penting dalam sejarah hidup parasitoid. Hasil penelitian mengenai biologi A. taragamae menunjukan bahwa siklus hidup A. taragamae sejalan dengan siklus hidup inangnya D. indica, hal ini menunjukkan adanya interaksi dan hubungan yang dekat antara inang dan parasitoid. Ukuran tubuh A. taragamae merupakan indikator yang kuat untuk menentukan kebugarannya seperti fekunditas dan jumlah telur yang diletakan. Pada aspek preferensi inang, A. taragamae memiliki preferensi terhadap instar awal D. indica. A. taragamae juga memiliki tanggap fungsional yang baik terhadap kepadatan D. indica yang diberikan. Namun demikian, nisbah kelamin A. taragamae di laboratorium didominasi oleh nisbah kelamin bias jantan, dan belum diketahui penyebabnya. Nisbah kelamin merupakan faktor yang paling penting dalam populasi suatu parasitoid. Nisbah kelamin bias betina dapat memiliki pengaruh dalam menekan perkembangan populasi inang dan stabilitas interaksi inang dan parasitoid. Nisbah kelamin merupakan akumulasi alokasi keturunan dari masing-masing individu dalam populasi. Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa alokasi jenis kelamin pada A. taragamae terjadi secara acak. Tidak ada kecenderungan apakah betina akan meletakan telur-telur jantan atau betina di awal peletakan telur pada inangnya. Secara umum, rata-rata betina diduga sudah berkopulasi sebelum menyebar dari tempat kelahirannya. Sehingga, nisbah kelamin A. taragamae pada tingkat populasi mencapai kondisi nisbah kelamin optimum 1:1 antara jantan dan betina. Analisis hubungan antara brood size dan nisbah kelamin A. taragamae menunjukkan bahwa terdapat ambang batas inang yang dapat menentukan proporsi jantan/betina pada keturunan parasitoid yang dihasilkan. Hubungan antara brood size dan nisbah kelamin ini mungkin dipengaruhi oleh kualitas inang. Dengan kata lain, alokasi jenis kelamin pada A. taragamae mungkin dipengaruhi oleh faktor ekternal, yaitu kualitas inang. Keyword:(E,E)-α-Farnesene, herbivore-induced plant volatiles, interaksi serangga-tumbuhan, interaksi inang-parasitoid, interaksi tritrofik, kebugaran, nisbah kelamin, perilaku pencarian inang, semiokimia
Judul: Studi Lalat Buah Zeugodacus cucurbitae (Coquillett) (Diptera: Tephritidae) dengan Perhatian Utama pada Deteksi Senyawa Kairomon dari Tanaman Inang. Abstrak:Lalat buah Zeugodacus cucurbitae (Coquillett) (Diptera: Tephritidae) merupakan salah satu hama penting, yang tersebar luas di banyak belahan dunia. Hal ini karena lalat Z. cucurbitae memiliki kemampuan distribusi yang cepat, tingkat reproduksi yang tinggi, tanaman inang yang cukup beragam, dan memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Z. cucurbitace ditemukan pada berbagai jenis tanaman inang, namun tanaman Cucurbitaceae merupakan inang yang paling disukai. Preferensi serangga terhadap suatu inang dipengaruhi oleh kesesuaian faktor morfologi dan biokimia tanaman inang. Faktor tersebut dapat memberikan pengaruh bagi lalat buah dalam pemilihan inang. Interaksi serangga dengan tanaman inang dapat dipengaruhi oleh keberadaan semiokimia berupa senyawa kairomon yang berperan sebagai pemikat bagi lalat buah Z. cucurbitae dalam mengunjungi tanaman inangnya. Oleh karena itu, berbagai kajian perlu dilakukan untuk memberikan landasan pemikiran terhadap keberadaan senyawa kairomon yang dapat memikat lalat buah jantan dan betina. Penelitian yang dilakukan bertujuan (1) mempelajari kelimpahan Z. cucurbitae dan parasitoidnya pada berbagai tanaman inang Cucurbitaceae, dan tingkat serangan berdasarkan fenologi buah, (2) mendeteksi senyawa penanda kairomon Z. cucurbitae dari tanaman inang Cucurbitaceae, dan (3) mempelajari respon olfaktori Z. cucurbitae terhadap senyawa fraksi terpenoid dan senyawa tunggal penanda kairomon. Pengamatan dilakukan pada pertanaman Cucurbitaceae di wilayah Bogor. Jenis tanaman yang diamati adalah oyong (Luffa acutangula (L) Roxb.), pare (Momordica charantia L.) dan mentimun (Cucumis sativus L.). Pada setiap tanaman dilakukan pengambilan sampel pada tiga titik lokasi yang berbeda sebagai ulangan. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara transek garis pada setiap 5 meter, selama 5 minggu pengamatan secara berturut-turut. Studi respon Z. cucurbitae terhadap senyawa kairomon dilakukan dengan menggunakan olfaktometer tabung-Y, dengan elusi senyawa pembawa melalui fraksi n-heksan. Respon olfaktori Z. cucurbitae dilakukan terhadap senyawa makro molekul fraksi n-heksan, senyawa fraksi terpenoid, serta senyawa murni isomer derivat terpenoid (keton dan fitol). Pengujian menggunakan tiga kategori umur lalat buah yaitu jantan dan betina umur 1-2 hari, betina praoviposisi, dan betina pascaoviposisi. Hasil pengumpulan buah terserang menunjukkan bahwa pada tanaman oyong, pare dan mentimun spesies lalat buah yang ditemukan adalah Z. cucurbitae, Zeugodacus calumniatus (Hardy) dan Dacus longicornis (Wiedemann). Lalat buah Z. cucurbitae merupakan spesies yang paling dominan, dengan proporsi lebih dari 90%. Parasitoid yang muncul dari buah terserang adalah Psyttalia fletcheri (Silvestri) (Hymenoptera: Braconidae) dan Spalangia endius Walker (Hymenoptera: Pteromalidae), dengan tingkat parasitisasi paling tinggi 6.2%. Berdasarkan jumlah buah yang terserang di lapangan, serangan Z. cucurbitae lebih banyak terjadi pada buah oyong. Hasil pengukuran dengan penetrometer menunjukkan buah oyong muda memiliki jaringan yang lebih lunak dibandingkan jaringan buah muda pare dan mentimun. Berdasarkan fenologi buah, serangan Z. cucurbitae mulai terjadi pada saat buah berumur 5-6 hari, dengan banyaknya buah terserang paling tinggi terdapat pada buah berumur 17- 30 hari. Hasil pengujian dengan menggunakan olfaktometer menunjukkan bahwa senyawa volatil dari fraksi n-heksan daun pare memberikan respon ketertarikan yang lebih kuat bagi lalat buah jantan dan betina Z. cucurbitae dibandingkan dari oyong dan mentimun. Masa waktu kunjungan yang lebih lama ditunjukkan oleh betina virgin dan betina praoviposisi pada fraksi daun pare tersebut. Komponen senyawa kimia pada fraksi n-heksan daun pare yang ditemukan meliputi alkohol (6 senyawa), aldehid (3 senyawa), keton (2 senyawa), dan ester (7 senyawa). Jumlah senyawa alkohol, aldehid, dan keton ditemukan lebih banyak pada daun dibanding pada buah. Dari hasil isolasi makromolekul terpenoid diperoleh senyawa keton (6,10,14-trimetil-2-pentadecanon), fitol (3,7,11,15-tetrametil-2- heksadecen-1-ol), dan fitosterol. Hasil pengujian selanjutnya menunjukkan bahwa lalat buah jantan Z. cucurbitae memberikan respon ketertarikan yang lebih lama terhadap senyawa keton dibandingkan terhadap senyawa fraksi terpenoid, sedangkan lalat betina memberikan respon ketertarikan yang tinggi terhadap senyawa fraksi terpenoid. Meskipun demikian, perbedaan ketertarikan pada kedua senyawa tersebut secara statistik tidak signifikan. Pengujian respon ketertarikan Z. cucurbitae terhadap senyawa murni fitol dan keton menunjukkan bahwa lalat buah jantan cenderung lebih tertarik terhadap senyawa keton dibandingkan terhadap senyawa fitol. Sementara itu, betina virgin lebih tertarik terhadap senyawa fitol (proporsi 54%) dibandingkan terhadap keton (25%), sedangkan betina praoviposisi (proporsi 40%) memberikan respon tidak memilih terhadap kedua senyawa tersebut. Keberadaa senyawa fraksi terpenoid, 2-pentadecanon, dan 3,7,11,15-tetrametil-2- heksadecen-1-ol di dalam daun pare menunjukkan tanaman tersebut dapat menjadi sumber kairomon bagi Z. cucurbitae. Penelusuran keberadaan senyawa tersebut diperoleh melalui jalur terpenoid dengan menggunakan metode Harborne. Keyword:Cucurbitaceae, kairomon, lalat buah, Zeugodacus cucurbitae
Judul: Quality improvement of paddy soil and discharged water in drainage channel at acid sulphate soil. Abstrak:Oxidation of pyrite in acid sulphate soil reduced the quality of soil and discharged water from paddy field. Improvement of soil quality in paddy cultivation could be managed by addition of organic matter together with regulating water to maintain its reductive condition. Water quality improvement in the paddy field was conducted by addition of good quality water (pH=5,0)through utilization of high tide water in dry season and rain water during rainy season while for improvement of discharged water, a system of drainage channel was developed Keyword:
Judul: Optimalization of kids and milk yields of etawah-grade by superovulation and zinc supplementation Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk meengetahui bagaimana pengaruh superovulasi dan suplementasi seng pada produktivitas induk dalam menghasilkan anak dan produksi susu kambing PE. Keyword:
Judul: Pengaruh Ransum Flushing dengan Profil Asam Lemak yang Berbeda pada Performa Reproduksi Induk dan Ketahanan Tubuh Anak Kambing Peranakan Etawah Abstrak:Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan salah satu plasma nutfah Indonesia yang mempunyai fungsi dan peran strategis pada kehidupan masyarakat sebagai ternak dwiguna, tetapi efisiensi reproduksinya di masyarakat masih rendah. Kondisi tubuh (body condition score, BCS) kambing PE yang belum ideal menjadi salah satu penyebab rendahnya efisiensi reproduksi. Flushing dengan suplementasi lemak menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensi reproduksi di daerah tropis. Suplementasi lemak dapat meningkatkan densitas energi dalam ransum. Perbedaan komposisi asam lemak yang terkandung, khususnya asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acid, PUFA) juga memiliki berbagai efek metabolisme di dalam tubuh ternak dan berperan penting dalam menentukan efek pada reproduksi. Kajian suplementasi PUFA selanjutnya difokuskan pada perbandingan pengaruh asam linoleat dengan asam α-linolenat dalam upaya perbaikan performa reproduksi dan produktivitas kambing PE. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis pengaruh flushing dengan suplementasi asam lemak berbeda (laurat, linoleat, dan α-linolenat) dalam ransum induk kambing PE pada (i) pertumbuhan dan perkembangan folikel selama estrus; (ii) performa reproduksi induk; (iii) performa laktasi induk; (iv) pertumbuhan, perkembangan, serta ketahanan tubuh anak kambing yang dilahirkan selama pra-sapih. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret 2018 sampai Februari 2019, bertempat di Laboratorium Lapang dan Analisis Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Laboratorium Analisis Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan IPB, Bogor, serta Laboratorium Penelitian Terintegrasi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Hewan (KEH) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM-IPB) dengan nomor: 119 – 2018 IPB. Kajian pertama bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis stimulasi pertumbuhan dan perkembangan folikel selama estrus serta korelasinya dengan hormon estradiol dan progesteron pada induk kambing PE yang diberi ransum flushing dengan asam lemak yang berbeda. Kajian ini menggunakan 9 ekor kambing PE paritas ke-2, berumur sekitar 1.5-2 tahun dengan bobot badan rata-rata 30.56 ± 1.96 kg dan BCS awal 1.75 ± 0.25, yang dibagi secara acak ke dalam 3 perlakuan dan 3 ulangan. Penelitian ini terdiri atas 3 perlakuan ransum flushing dengan suplementasi asam lemak berbeda: (i) T1: suplementasi 2.8% asam laurat dari minyak kelapa, (ii) T2: suplementasi 2.8% asam linoleat dari minyak bunga matahari, dan (iii) T3: suplementasi 2.8% asam α-linolenat dari minyak flaxseed. Ransum flushing diformulasi secara isoenergi (total digestible nutrient, TDN = 77%) dan isoprotein (protein kasar = 15%) dan diberikan selama 21 hari dimulai 3 hari setelah penyuntikan hormon prostaglandin F2α (PGF2α) yang ke-2 tanpa dikawinkan sampai muncul estrus pada siklus berikutnya. Data BCS, kadar glukosa, dan kolesterol yang dihasilkan dari sampel berulang dianalisis dengan repeated measurement analysis of variance (ANOVA). Data konsumsi zat makanan, jumlah, dan diameter folikel pada setiap kelasnya serta folikel preovulasi, korpus luteum, konsentrasi estradiol dan progesteron dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji berganda Duncan. Korelasi antara jumlah total folikel dan konsentrasi estradiol serta antara diameter korpus luteum dan konsentrasi progesteron dianalisis dengan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan berbagai jenis asam lemak dalam ransum flushing tidak memengaruhi konsumsi zat makanan; BCS; dan kadar glukosa, kolesterol, serta progesteron plasma pada semua perlakuan. Ransum flushing selama 3 minggu meningkatkan BCS sebesar 0.8-0.9 dan kadar kolesterol plasma sebesar 23.12-50.12 mg dL-1 dibandingkan dengan sebelum flushing. Jumlah total folikel besar secara signifikan tertinggi (P < 0.05) pada induk kambing dengan perlakuan 2.8% asam α-linolenat (T3). Suplementasi asam laurat 2.8% (T1) secara dramatis meningkatkan kadar estradiol plasma selama estrus. Kadar progesteron plasma dalam semua perlakuan tidak berbeda nyata selama periode estrus. Analisis korelasi antara jumlah total folikel dan konsentrasi estradiol secara keseluruhan menunjukkan korelasi kuat (r = 0.63) yang signifikan (P < 0.05). Analisis korelasi antara diameter korpus luteum dan konsentrasi progesteron secara keseluruhan menunjukkan korelasi sedang (r = 0.55) dan signifikan (P < 0.05). Kesimpulan kajian pertama, suplementasi 2.8% asam α- linolenat dari minyak flaxseed dalam ransum flushing meningkatkan jumlah folikel preovulasi ukuran besar. Total folikel secara keseluruhan mempunyai korelasi kuat dan signifikan terhadap konsentrasi hormon estradiol. Diameter korpus luteum secara keseluruhan mempunyai korelasi sedang dan signifikan dengan konsentrasi hormon progesteron. Kajian kedua bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis pengaruh flushing dengan profil asam lemak yang berbeda (laurat, linoleat, dan linolenat) dalam ransum induk kambing PE pada performa reproduksi. Kajian ini menggunakan 18 ekor induk kambing PE paritas ke-2 dengan bobot badan rata-rata 34.28 ± 3.38 kg dan BCS awal 1.92 ± 0.26 dan 3 ekor pejantan sebagai pemacek dengan kualitas semen yang sama. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Ransum periode flushing disusun isoprotein (protein kasar = 15%) dan isoenergi (TDN = 75%) yang terdiri atas 3 perlakuan ransum dengan suplementasi asam lemak berbeda: (i) T1: 2.8% asam laurat dari minyak kelapa, (ii) T2: 2.8% asam linoleat dari minyak bunga matahari, dan (iii) T3: 2.8% asam α-linolenat dari minyak flaxseed. Periode flushing dimulai dari 3 minggu sebelum kawin sampai 2 minggu setelah kawin dan dilanjutkan pada umur kebuntingan 4 bulan sampai partus. Sinkronisasi estrus dilakukan dengan menyuntikkan PGF2α dua kali dengan selang waktu 11 hari sebelum induk kambing dikawinkan secara alami. Data konsumsi, metabolit darah, hormon, jumlah embrio, litter size, lama bunting, dan bobot lahir dianalisis statistik dengan ANOVA satu arah. Perbedaan nilai tengah perlakuan diuji menggunakan uji berganda Duncan. Data rasio jenis kelamin anak dan tipe kelahiran dianalisis dengan uji chi-square (χ2). Data persentase kebuntingan, keguguran, kehilangan dan daya tahan embrio, angka beranak (kidding rate), dan total anak yang lahir dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh perlakuan pada konsumsi zat makanan, kadar glukosa, dan kolesterol. Konsentrasi estradiol 2 hari pascasinkronisasi estrus pada T3 dan T2, (P < 0.05) lebih rendah dibandingkan dengan T1, sebaliknya konsentrasi progesteron pada T3 lebih tinggi (P < 0.05) daripada T1 dan T2. Konsentrasi progesteron umur kebuntingan 19 minggu, pada T3 dan T2 lebih tinggi (P < 0.05) daripada T1. Jumlah dan daya tahan embrio, angka beranak, serta total anak yang dihasilkan pada T3 lebih tinggi daripada T1 dan T2. Anak kambing dengan dominasi jenis kelamin jantan diperoleh pada T1 dan T3, sedangkan dominasi betina diperoleh pada T2 (P < 0.05). Perbedaan asam lemak dalam ransum flushing tidak berpengaruh nyata pada litter size, tetapi perlakuan T1 meningkatkan persentase kelahiran kembar 2. Kesimpulannya, flushing dengan suplementasi asam α-linolenat 2.8% dalam ransum meningkatkan performa reproduksi melalui peningkatan sintesis hormon progesteron, jumlah dan daya tahan embrio, angka beranak, persentase kelahiran kembar, total anak dalam kelompok, dan anak dengan rasio jenis kelamin jantan. Kajian ketiga bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis pengaruh pemberian ransum flushing pada akhir kebuntingan dan awal laktasi dengan profil asam lemak yang berbeda pada performa laktasi induk kambing PE dan pertumbuhan, perkembangan, serta ketahanan tubuh anak kambing yang dilahirkan selama pra-sapih. Penelitian ini menggunakan induk kambing PE paritas ke-2 sebanyak 16 ekor yang berumur sekitar 1.5-2 tahun pada fase akhir kebuntingan (umur kebuntingan 16 minggu) dengan bobot badan rata-rata 42.74 ± 3.72 kg, dikelompokkan ke dalam 3 perlakuan dengan ulangan yang berbeda berdasarkan perlakuan pada tahap sebelumnya. Perlakuan terdiri atas ransum flushing dengan suplementasi asam lemak berbeda, yaitu 2.8% asam laurat (T1, n = 5 ekor), 2.8% asam linoleat (T2, n = 5 ekor), atau 2.8% asam α-linolenat (T3, n = 6 ekor) yang diberikan mulai umur kebuntingan 16 minggu sampai 2 minggu pascapartus, selanjutnya setelah tahap tersebut menggunakan ransum laktasi. Peubah yang diukur untuk pengamatan performa laktasi induk terdiri atas konsumsi zat makanan, BCS, kadar glukosa, nitrogen urea darah, kolesterol, hematologi induk, penyusutan bobot badan induk, volume ambing, komposisi kimia kolostrum dan susu, produksi susu, profil asam lemak susu induk periode flushing. Peubah yang diukur untuk pengamatan performa anak terdiri atas bobot lahir anak, tingkah laku anak setelah lahir, kadar IgG kolostrum, IgG plasma induk dan anak, mortalitas anak pada saat lahir dan daya hidup anak sampai disapih dan bobot sapih. Data dianalisis dengan ANOVA satu arah, kecuali hematologi, mortalitas, dan daya hidup anak sampai sapih. Data hematologi dianalisis dengan ANOVA dua arah dengan pola faktorial 3 x 2 dengan faktor pertama asam lemak dan faktor kedua litter size (LS 1 dan LS2). Perbedaan nilai tengah perlakuan diuji menggunakan uji berganda Duncan. Mortalitas dan daya hidup anak dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ketiga pada kajian performa laktasi induk menunjukkan tidak ada pengaruh perlakuan pada konsumsi zat makanan, BCS, penyusutan bobot induk, kadar glukosa, nitrogen urea darah, dan kolesterol, serta komposisi kimia kolostrum dan susu. Volume ambing pada akhir kebuntingan dan rata-rata produksi susu pada perlakuan T3 dan T2 lebih tinggi (P < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan T1. Kandungan omega-3 dalam susu paling tinggi diperoleh pada T3 sehingga menghasilkan rasio omega-6 terhadap omega-3 yang paling rendah. Jumlah leukosit paling tinggi pada LS2 daripada LS1 (P < 0.05), tetapi tidak dipengaruhi oleh perbedaan asam lemak. Kadar limfosit paling tinggi pada T3 dan LS2, tetapi angka tersebut masih dalam batas normal. Monosit dan neutrofil lebih rendah pada T3 dibandingkan dengan T1, tetapi tidak berbeda dari T2. Kajian performa anak menunjukkan bahwa anak kembar 2 dari induk perlakuan T3 memiliki kemampuan sukses berdiri dan menyusu paling cepat, tetapi pada anak tunggal tidak ditemukan perbedaan nyata. Konsentrasi immunoglobulin G (IgG) dalam kolostrum dan plasma anak tidak dipengaruhi oleh perlakuan, tetapi konsentrasi IgG dalam plasma induk paling tinggi pada T3. Mortalitas anak saat lahir pada perlakuan T1 sebesar 16.67%, sementara pada anak-anak dari induk perlakuan T2 dan T3 tidak ada yang mati pada saat lahir. Bobot lahir anak kembar 2 pada T3 lebih tinggi dibandingkan dengan T1, tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan T2. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan bobot sapih pada anak tunggal tidak berbeda nyata, tetapi pada anak kembar 2 paling tinggi diperoleh pada perlakuan T3 sehingga menghasilkan total bobot sapih anak sekelahiran paling tinggi. Kesimpulan kajian ketiga pada performa laktasi, pemberian ransum dengan suplementasi 2.8% asam α-linolenat dari minyak flaxseed selama periode flushing dapat meningkatkan performa laktasi kambing PE melalui peningkatan volume ukuran ambing, produksi susu, serta kandungan omega-3 dalam susu. Suplementasi 2.8% asam α-linolenat dalam ransum flushing induk kambing PE pada kajian performa dapat menurunkan latensi sukses berdiri dan menyusu, meningkatkan bobot lahir dan bobot sapih pada anak kembar 2. Kesimpulan dari keseluruhan kajian ini, flushing dengan suplementasi 2.8% asam α-linolenat dari minyak flaxseed dalam ransum memperbaiki performa reproduksi induk kambing PE melalui peningkatan jumlah folikel besar preovulasi, sintesis hormon progesteron, jumlah dan daya tahan embrio, angka beranak, angka kelahiran kembar, total anak yang lahir dalam satu kelompok, dan rasio jenis kelamin anak jantan. Asam α-linolenat juga meningkatkan performa laktasi induk melalui peningkatan volume ukuran ambing, produksi susu, dan kandungan omega- 3, serta penurunan rasio omega-6 terhadap omega-3 dalam susu. Suplai omega-3 secara maternal meningkatkan performa anak-anak kambing yang lahir kembar 2 melalui penurunan latensi sukses berdiri dan menyusu, peningkatan bobot lahir dan bobot sapih. Penggunaan ransum flushing yang mengandung 2.8% asam α-linolenat dari minyak flaxseed berdasarkan pertimbangan pada semua aspek, menunjukkan performa reproduksi dan produktivitas kambing PE terbaik. Keyword:asam α-linolenat, embrio, flushing, kambing PE, ketahanan tubuh
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: Institution analysis of revolving fund loan for the development of community forest plantation Abstrak:Kinerja Pinjaman Dana Bergulir untuk Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (PDB HTR) memberikan gambaran bentuk kelembagaan yang mengatur hubungan antara pemberi pinjaman (Kementerian Kehutanan cq BLU Pusat P2H) dan penerima pinjaman (petani sekitar hutan), hubungan tersebut sering diwarnai oleh ketidaksepadanan informasi yang menyebabkan timbulnya resiko salah pilih penerima pinjaman dan ingkar janji. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PDB HTR melalui analisis kelembagaan, landasan teori yang digunakan adalah teori agensi untuk memahami hubungan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman PDB HTR. Untuk menentukan skema pendanaan HTR yang optimal untuk petani digunakan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) atau (Analytical Hierarchy Process (AHP)). Penelitian dilakukan di 3 Provinsi yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja PDB HTR buruk, dan tujuan PDB HTR belum tercapai yaitu tepat lokasi, tepat pelaku, tepat kegiatan, tepat penyaluran dan pengembalian. Ketidaktepatan pelaku dan lokasi karena dari 2 koperasi yang sudah menerima penyaluran PDB HTR keduanya tidak terbebas dari konflik. Tidak tepat kegiatan dan penyaluran karena dana PDB HTR digunakan oleh penerimanya untuk kepentingan selain penanaman. Keyword:revolving fund loan, community Forest Plantation, agency relationship
Judul: Strategi Pengembangan Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Kasus di Provinsi Jawa Barat Abstrak:Kemitraaan pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat dan memasok bahan baku industri. Kemitraan yang terjadi saat ini kebanyakan bersifat dispersal, dimana hubungan antara petani dengan mitra tidak kuat. Hubungan tersebut belum mengarah kepada perilaku saling memerlukan dan saling menguntungkan. Penelitian bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kemitraan pengelolaan hutan rakyat, dan (2) merumuskan strategi yang tepat untuk mencapai kemitraan pengelolaan hutan rakyat yang sinergis dan sesuai dengan kondisi dan potensi sumberdaya hutan rakyat. Hipotesis dari penelitian adalah kemitraan pengelolaan hutan rakyat dan kesiapan petani hutan rakyat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani hutan rakyat, dan berpengaruh terhadap peningkatan kelestarian hutan rakyat. Kinerja kemitraan pengelolaan hutan rakyat dipengaruhi oleh intensitas hubungan sosial para pihak, kesiapan petani hutan rakyat, dan potensi hutan rakyat. Selanjutnya, intensitas hubungan sosial para pihak dan kesiapan petani hutan rakyat masing-masing dipengaruhi oleh karakteristik individu petani hutan rakyat, kejelasan peran petani, serta potensi hutan rakyat. Rancangan penelitian merupakan explanatory research menggunakan metode survei. Sampel penelitian adalah 181 petani hutan rakyat yang bermitra dengan industri primer pengolahan kayu maupun non industri, dipilih secara acak klaster (cluster random sampling). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli- Oktober 2012 di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Pengumpulan data kuantitatif menggunakan kuesioner dan melakukan inventarisasi terhadap tanaman hasil kemitraan. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan lapangan. Teknik analisis kelembagaan kemitraan dilakukan dengan pendekatan Principal-agent Relationships, kelayakan kemitraan menggunakan analisis finansial, sedangkan analisis pengaruh faktor-faktor peubah terhadap kinerja kemitraan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Penelitian menemukan kinerja kelembagaan kemitraan pengelolaan hutan rakyat dipengaruhi oleh hubungan kedua pihak, kepatuhan terhadap kesepakatan perjanjian, pengawasan dan sanksi pelanggaran kesepakatan, serta proporsi sharing input-output. Penelitian menyimpulkan terdapat hubungan yang erat antara kesejahteraan petani hutan rakyat dengan kelestarian hutan rakyat, dengan model persamaan struktural adalah Y5=0.87Y4; R2=0.7569. Kesejahteraan petani dipengaruhi oleh kinerja kemitraan pengelolaan hutan rakyat dan kesiapan petani hutan rakyat, dengan model persamaan struktural adalah Y4=0.37X3 + 0.66Y3; R2=0.5725. Kinerja kemitraan pengelolaan hutan rakyat dipengaruhi oleh kesiapan petani hutan rakyat, intensitas hubungan sosial pengelolaan hutan rakyat, dan potensi hutan rakyat, dengan model persamaan struktural adalah Y3=0.42Y1 + 0.55Y2 + 0.16X3; R2=0.5045. Kesiapan petani hutan rakyat dipengaruhi oleh karakteristik petani, kejelasan peran petani dan potensi hutan rakyat, dengan model persamaan struktural adalah Y2=0.11X1 + 0.87X2 + 0.23X3; R2=0.8219. Intensitas hubungan sosial pengelolaan hutan rakyat dipengaruhi oleh karakteristik petani, kejelasan peran petani, dan potensi hutan rakyat, dengan model persamaan struktural adalah Y1=0.32X1 + 0.78X2 + 0.19X3; R2=0.7469. dst... Keyword:partnerships, smallholder private forest management, institution, farmer’s welfare, sustainability of smallholder private forests
Judul: Enrichment of organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in quail products through its supplementation in the diet and its potency of quail eggs as an ingredient in selenium-rich egg juice Abstrak:This study was aimed to achieve an optimum level of combine organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in obtaining the best production and reproduction as well as the highest level of selenium in quail eggs. This study was conducted from January to August 2008. Numbers of observed quails were 720 (360 females and 360 males). The treatments were applied when the quails were six weeks old. Nine treatment diets were: To (commercial diet), T1(0.46 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T2 (0.46 ppm inorganic Se + 87.00 ppm vitamin E), T3 (0.92 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T4 (0.92 ppm inorganic Se +87.00 ppm vitamin E), T5 (0.46 ppm organic Se + 43.50 ppm vitamin E), T6 (0.46 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E), T7(0.92 ppm organic Se + 43.50 vitamin E) and T8(0.92 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E). Keyword:egg yolk, glutathione peroxidase ( GSH-Px), hedonic test, rank test
Judul: The effects of sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering on meat quality in sheep exposed to stressful transportation Abstrak:An experiment was conducted to study the effects of sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering on meat quality in sheep exposed to stressf1.11tr ansportation. FiRy four female local sheep (10 to 12 months of age) with weight ranging from I4 to 17 kg. The experimental sheep were assigned into a completely randomized design with a 2x3~3 factorial arrangement with 3 replications. The first factor was sucrose supplementation wih 2 leveb (0 and 6 @g body weight). The second factor was insulin injection afkr transportation with 3 levels (0, 0,3 and 0-6 ILTlkgBW). The third factor was the duration of resting perid with 3 levels (2,4 and 6 h prior to slaughtering). Parameters measured were rectal temperature and heart rate, live weight, carcass percentage, blood glucose concentration, meat glycogen concentration, meat lactate concentration, meat pH, water holding capacity, meat tenderness, cooking loss and meat color. The results of the experiment indicated that sheep supplemented with sucrose after transportation had higher meat glycogen and lactate concentration but lower meat pH and cooking loss. Insulin injection decreased blood glucose concentration but increased meat glycogen and lactate concentration. The longer the resting period prior to slaughtering the lower the live weight but the higher carcass percentage. B l d glucose concentration decreased with the increased resting period prior to slaughtering. Water holding capacity, meat tenderness and meat colour did nor show significant differences. It was concluded that sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering in sheep exposed to stressful transportation could improve meat quality. Keyword:
Judul: Study of feedlot optimality through manipulation of feed, compensatory growth and fattening time period Abstrak:Usaha penggemukan sapi (Feedlot) di Indonesia pada dekade 10 tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan yang pesat. tetapi d~ika ekonomi mak:ro yang tidak menentu akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan saat ini, telah menimbulkan implikasi terhadap situasi yang tidak menguntungkan bagi usaha penggemukan sapi (Feedlot) schingga salah satu altematif untuk mengatasi masalah tersebut adalah mencari suatu model penggemukan sapi yang efisien. sehingga usaha penggemukan sapi dapat memberikan keuntungan yang optimal. Model penggemukan sapi yang dikcmbangkan adalah melalui manipulasi terhadap komponen yang memiliki kontribusi dominan terbadap biaya produksi dan berdampak tcrhadap peningkatan kualitas produk daging. Manipulasi dilakukan terhadap kualitas pakan, p.e-n-c-ra-p-a-n- f-c-n-om--e-na pertumbuhan kompensasi dan penentuan periode waktu pcnggemukan yang efisicn, schingga tujuan dari penelitian ini adalah ( 1) untuk mengetahui pengaruh perbedaan kualitas pakan (perbedaan kadar protein/energi), pertumbuhan kompensasi dan periode waktu penggemukan (2. 3 dan 4 bulan) terhadap kinerja pertumbuhan. produksi pemotongan (karkas dan daging) dan kualitas daging (2) untuk mencari model penggemukan sapi yang optimal, dengan cara memanipulasi pakan. Pertumbuhan kompensasi dan penentuan periode waktu penggemukan sapi dalam kombinasi perlakuan yang sinergis., The objectives of the study was to find an optimum production of fattening model through manipulation of feed, compensatory growth and fattening period. One hundred eight young catties (steers) of Australian Commercial Cross (ACC), 2-3 years old were used and 54 heads of catties were slaughtered. Those catties were devided into 3 treated groups. Group I : was treated with different ration of Crude Protein (CP)/Metaboliz.able Energy (ME)= 16,12% /2534 kcal (T); 13,52% /2392 kcal (S) and 11, l 8% /2287 kcal (R) of l kg dry matter ration. Group II : was treated with different condition of steers of thin body I compensatory growth (K) and not thin body/ non compensatory growth (NK). Average Daily Gain (ADG) ofK was more than 0,9 kg/day and NK was less than 0,9 kg/day. Group m : was treated with 3 different fattening time period of 2 months (WP 2); 3 months (WP3) and 4 months (WP4). The study was carried out on November 1997 to September 1998 at P. T. Kariyana Gita Utama f~ Cicurug, Sukabumi, West Java. P.T. Sampico Adhi Abbattoir, Tambun Bekasi, Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor, Animal Product Technology Laboratory, Faculty of Animal Science and Faculty of Agriculture Technology Gadjah Mada University, Yogyakarta. Results showed that compensatory growth (K). fucreased Average Daily Gain, Feed efficiency, slaughtered weight, percentage of marbling, and unsaturated fatty acid. Different quality of ration (T, Sand R) did not indicated differences on ~owth performance and slaughtered yields. Time periods of fattening (WP 2, WP 3, WP 4) increased on slaughtered weight, dressing percentage, fat of carcass, percentage of marbling, tenderness of meat and unsaturated fatty acid. Optimum production of feedlot was reached at time period of fattening with compensatory growth and feed formulation was base upon consumption of CP and ME that adjusted to the nutrition requirement and considered to capital sirculation, preference of consumer and market. Keyword:Feedlot, Feed, Compensatory growth, Fattening
Judul: Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa Abstrak:Pendekatan pembangunan yang banyak diterima para ahli adalah pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang berarti bahwa dalam pembangunan diperlukan keikutsertaan rakyat. Keikutsertaan tidak hanya pada tahap merencanakan pembangunan, akan tetapi juga ikut dalam melaksanakan, bahkan sampai pada menilai hasil-hasil pembangunan (Cohen dan Uphoe 1977; Dusseldorp, 1981; Slamet, 1993). Agar rakyat yang berhimpun dalam kelompok-kelompok dapat ikut serta, mereka harus memiliki sejumlah kualifikasi yang diperlukan untuk itu. Keyword:
Judul: Genetic Analysis and Metabolomic Study of Shade Tolerance in Tomato (Solanum lycopersicum Mill.) Abstrak:Sistem budidaya tanaman di bawah tegakan pohon, tumpang sari atau tanaman sela pada tanaman kehutanan, perkebunan maupun pekarangan merupakan salah satu alternatif solusi dalam menjawab tantangan luas lahan optimum untuk pertanian yang semakin berkurang dan luas kepemilikian lahan petani Indonesia yang masih kecil. Adanya kekurangan cahaya (cekaman naungan) pada sistem budidaya tersebut dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme tanaman, turunnya laju fotosintesis dan penurunan produktivitas tanaman sehingga diperlukan varietas tanaman yang toleran dengan intensitas cahaya rendah dengan memiliki produktivitas yang tinggi. Tanaman tomat potensial digunakan pada sistem budidaya tersebut karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan terdapat genotipe tomat yang toleran bahkan suka terhadap cekaman naungan. Hal ini menjadikan kegiatan pemuliaan varietas tomat toleran naungan yang berdaya hasil tinggi penting untuk dilakukan sehingga diperlukan informasi tentang karakter seleksi toleransi cekaman naungan (karakter morfologi, fisiologi, metabolomit atau molekuler) dan analisis genetiknya agar kegiatan pemuliaan varietas tomat toleran cekaman naungan yang berdaya hasil tinggi dapat lebih efektif dan efisien. Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2016 sampai dengan bulai mei 2019 di Kebun Percobaan PKHT-IPB Pasir Kuda, Ciomas, Bogor dan Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pemberian cekaman naungan dilakukan memberikan naungan paranet plastik 50%. Pengamatan metabolit sekunder dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah, DKI Jakarta. Penelitian ini diawali dengan menentukan genotipe tomat yang akan digunakan sebagai bahan penelitian. Genotipe tomat yang digunakan pada penelitian ini yaitu genotipe tomat suka naungan (SSH3 dan Apel), genotipe toleran naungan (GIK), genotipe moderat toleran naungan (Intan), dan genotipe peka naungan (Tora IPB dan 4979). Dari genotipe-genotipe tersebut kemudian dibuat populasi persilangan Biparental dan Dialel Lengkap untuk mempelajari pewarisan sifat toleransi naungan pada tanaman tomat. Setelah populasi persilangan diperoleh, dilakukan percobaan pertama yaitu studi analisis genetik toleransi naungan pada tanaman tomat menggunakan populasi biparental. Hasil percobaan menunjukkan bahwa karakter produktivitas, jumlah buah per tanaman, fruit set dan kehijauan daun merupakan karakter tomat yang terkait dengan toleransi cekaman naungan. Karakter-karakter tersebut lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen dominan. Adanya interaksi epistasis duplikat pada karakter-karakter tersebut menyebabkan ragam non aditif lebih berperan pada karakter-karakter tersebut kecuali pada karakter fruit set. Sebanyak lebih dari 20 segregan diseleksi berdasarkan karakter toleransi naungan dari populasi F2 persilangan Biparental. Verifikasi terhadap keduapuluh segregan tersebut, hanya diperoleh 4 segregan transgresif tomat yang toleran cekaman naungan. Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan dan mengevaluasi kemajuan seleksi segregan transgesif tomat yang toleran naungan dan berdaya hasil tinggi. Seleksi dilakukan pada generasi F2 percobaan 1 menggunakan indeks seleksi dan hanya karakter hasil. Verifikasi segregan transgresif dilakukan pada generasi F3 sedangkan evaluasi respon seleksi dilakukkan sejak generasi F2 sampai generasi F4. Seleksi pada F2 menggunakan indeks seleksi menghasilkan 11 segregan transgresif putatif sedangkan menggunakan hanya karakter hasil memberikan 20 segregan transgresif putatif. Verifikasi pada populasi F3 menggunakan indeks seleksi menghasilkan 3 segregan transgresif (G370-1, G381-4, dan G384-11), sedangkan menggunakan karakter hasil hanya memberikan 4 segregan transgresif (G370-1, G376-16, G381-4, dan G384-11). Seluruh segregan transgresif menghasilkan produktivitas yang sama atau lebih baik dibandingkan genotipe tetua terbaik. Analisis daya gabung dan analisis genetik toleransi naungan pada tanman tomat juga dilakukan menggunakan populasi persilangan dialel lengkap. Hasil dari percobaan ini juga memperlihatkan bahwa karakter produktivitas, jumlah buah per tanaman dan kehijauan daun merupakan karakter tomat yang terkait dengan toleransi cekaman naungan. Selain itu, juga dihasilkan karakter kerapatan bulu daun dan luas daun sebagai karakter terkait toleransi naungan pada tanaman tomat. Menguatkan percobaan sebelumnya, bahwa karakter-karakter tomat yang terkait toleransi naungan lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif. Adanya interaksi epistasis pada karakter-karakter tersebut kecuali luas daun menyebabkan ragam non aditif lebih berperan dibandingkan ragam aditif. Hasil analisis daya gabung memperlihatkan bahwa mekanisme toleransi yang berbeda antara genotipe tetua toleran naungan dan adanya pengaruh daya gabung khusus yang nyata pada semua karakter terkait toleransi naungan. Hasil-hasil tersebut mengindikasikan bahwa program pemuliaan tomat toleran naungan yang berdaya hasil tinggi sebaiknya diarahkan sebagai varietas tomat hibrida. Jika akan diarahkan sebagai varietas galur murni, seleksi sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut sampai gen-gen terkait toleransi naungan terfiksasi. Analisis metabolit sekunder juga dilakukan untuk mengidentifikasi metabolit sekunder terkait toleransi cekaman naungan pada tanaman tomat. Dihasilkan 8 metabolit daun tomat yang terkait dengan cekaman naungan yaitu asam palmitat, methyl 8,11,14- heptadecatrienoate, nonadecane, fitol, hexadecane, icosanoic acid, hexadecanol, dan octadecene. Genotipe tomat toleran naungan menghasilkan fitol dan nodecane yang nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe tomat peka naungan pada kondisi tanpa naungan dan cekaman naungan. Genotipe tomat toleran naungan juga menghasilkan methyl 8,11,14- heptadecatrienoate, hexadecane, asam arakidonat yang nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe peka naungan pada kondisi cekaman naungan. Genotipe peka naungan menghasilkan asam palmitat, hexadecanol, dan octadecene yang nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe peka naungan pada kondisi cekaman naungan Keyword:low light stress, secondary metabolites, selection characters, response selection
Judul: Studi Genetik dan Morfofisiologi Toleransi Padi terhadap Cekaman Rendaman dan Kekeringan Mendukung Perakitan Varietas Multi Toleran. Abstrak:Cekaman rendaman dan kekeringan merupakan cekaman yang seringkali terjadi di lahan rawa lebak terutama lahan rawa lebak dangkal. Masalah utama pada lahan rawa lebak ialah sulitnya memprediksi dinamika tinggi muka air sehingga tanaman padi sering mengalami kekeringan pada musim kemarau dan terendam akibat curah hujan setempat atau banjir kiriman dari hulu. Lahan rawa lebak dangkal dan tengahan seringkali mengalami cekaman rendaman pada awal musim tanamatau pada fase vegetatif dan cekaman kekeringan pada akhir musim atau pada fase generatif, sehingga padi mengalami dua cekaman sekaligus pada satu periode hidupnya. Luas lahan rawa lebak dangkal dan tengahan di Indonesia mencapai 7 512 800 ha. Lahan tersebut potensial untuk budidaya pertanian salah satunya komoditas padi sebagai tanaman pangan utama masyarakat Indonesia. Pada disertasi ini ditampilkan hasil penapisan terhadap galur-galur padi terhadap cekaman rendaman dan kekeringan, konfirmasi toleransi padi terhadap cekaman kekeringan menggunakan marka molekuler, penelitian karakter morfologi dan fisiologi yang terkait dengan toleransi rendaman dan kekeringan, studi genetik padi terkait dengan toleransi kekeringan fase generatif menggunakan populasi yang toleran terhadap cekaman rendaman fase vegetatif, dan evaluasi galur terpilih pada lahan rawa lebak dan lahan bercekaman ganda secara artifisial. Tujuan pertama penelitian ini ialah mendapatkan informasi toleransi galurgalur padi terhadap cekaman rendaman fase vegetatif dan kekeringan fase generatif. Sebanyak 18 galur diketahui toleran terhadap rendaman dan tujuh galur yang toleran terhadap kekeringan yang terkonfirmasi secara molekuler. Diantara galurgalur tersebut, diperoleh tiga galur yang toleran terhadap cekaman rendaman fase vegetatif dan sekaligus toleran terhadap cekaman kekeringan fase generatif. Ketiga galur tersebut ialah galur 60 (BP20452e-PWK-0-SKI-3-3), galur 48 (BP20452e- PWK-0-SKI-1-1), dan galur 56 (BP20452e-PWK-0-SKI-2-4). Berdasarkan informasi toleransi galur-galur padi terhadap cekaman rendaman dan kekeringan dipilih beberapa galur yang mewakili genotipe peka dan toleran salah satu maupun kedua cekaman untuk digunakan pada studi morfofisiologi. Tujuan kedua penelitian ini ialah mempelajari karakter morfologi, agronomi, dan fisiologi terkait sifat toleransi dan adaptasi tanaman padi terhadap cekaman rendaman pada fase vegetatif dan cekaman kekeringan fase generatif. Toleransi tanaman padi terhadap cekaman rendaman maupun cekaman kekeringan diduga berdasarkan nilai indeks kepekaan tanaman pada karakter produktivitas. Indeks tersebut diperoleh dengan melibatkan data produktivitas pada lingkungan tidak tercekam dan lingkungan tercekam, dimana semakin rendah indeks suatu genotipe maka semakin toleran genotipe tersebut. Indeks kepekaan tersebut menggambarkan perubahan produktivitas antara lingkungan tidak tercekam dengan lingkungan tercekam. Sementara itu, adaptabilitas tanaman padi terhadap cekaman rendaman maupun cekaman kekeringan diduga berdasarkan nilai produktivitas pada kondisi cekaman. Berdasarkan penelitian ini diperoleh informasi bahwa karakter v kandungan karoten pada 5 hari perendaman, jumlah gabah isi per malai, dan kandungan klorofil total pada 5 hari perendaman yang tinggi merupakan indikator suatu genotipe tanaman yang adaptif terhadap cekaman rendaman fase vegetatif. Karakter selisih tinggi bibit, jumlah gabah isi per malai, fertilitas malai, dan umur berbunga yang rendah serta selisih kandungan prolin tajuk pada 10 hari perendaman yang tinggi antara kondisi tidak tercekam dan kondisi rendaman merupakan indikator sifat toleran terhadap cekaman rendaman fase vegetatif. Karakter indeks kepekaan kekeringan (IKK) jumlah gabah hampa per malai, IKK fertilitas malai, IKK tinggi tanaman, IKK N total, MDA dan prolin akar 15 hari kekeringan merupakan indikator sifat toleran terhadap cekaman kekeringan fase generatif. Karakter yang merupakan indikator toleransi dan adaptasi untuk kedua cekaman ialah fertilitas malai dan kandungan prolin pada saat cekaman. Tujuan ke tiga penelitian ini ialah mengetahui pewarisan toleransi kekeringan fase generatif menggunakan populasi yang toleran terhadap rendaman fase vegetatif. Populasi persilangan Lipigo 2 x Inpari 30 Ciherang Sub1 dianalisis menggunakan nilai tengah enam generasi (P1, P2, F1, BCP1, BCP2, dan F2) pada kondisi tidak tercekam dan tercekam ganda, dimana pada fase vegetatif diberi cekaman rendaman dan pada fase generatif diberi cekaman kekeringan. Berdasarkan percobaan pada kondisi tidak tercekam karakter panjang malai dipengaruhi aksi gen aditif dan dominan, sedangkan karakter yang lain baik pada kondisi tercekam maupun tidak tercekam dipengaruhi oleh aksi gen epistasis. Pada kondisi tercekam terdapat pengaruh tetua betina pada karakter jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, dan hasil gabah per rumpun. Mempertahankan variasi genetik hingga generasi lanjut dapat dijadikan strategi untuk mendapatkan hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman kekeringan. Tujuan ke empat penelitian ini adalah mengevaluasi galur-galur terpilih pada kondisi sesungguhnya di rawa lebak. Hasil evaluasi selanjutnya dibandingkan dengan hasil evaluasi kondisi artifisial menggunakan kolam rendaman dan kondisi tidak tercekam di lahan irigasi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa genotipe padi yang menghasilkan produktivitas terbaik lahan rawa lebak ialah Inpara 9, sementara pada pengujian artifisial menggunakan kolam rendaman ialah IR11T210. Berdasarkan studi dalam disertasi ini galur 46 (IR11T210), galur 60 (BP20452e- PWK-0-SKI-3-3), galur 48 (BP20452e-PWK-0-SKI-1-1), dan galur 56 (BP20452e- PWK-0-SKI-2-4) dapat direkomendasikan untuk uji daya hasil lanjutan dalam perakitan varietas multitoleran. Implikasi dari keseluruhan rangkaian penelitian ini diantaranya ialah bahwa sejumlah karakter agronomi terkait toleransi padi terhadap cekaman kekeringan dikendalikan oleh aksi gen epistasis, sehingga seleksi toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan hendaknya dilakukan di akhir generasi. Disamping itu, ditemukan beberapa karakter seperti jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, dan hasil gabah per rumpun pada kondisi cekaman yang dipengaruhi oleh tetua betina, sehingga dalam hal ini pemilihan tetua betina dalam perakitan varietas toleran kekeringan harus menjadi pertimbangan khusus. Berdasarkan penelitian ini juga disarankan agar penyusunan metode skrining cekaman ganda secara buatan perlu dilakukan kembali dengan menggunakan media yang lebih besar sehingga perlakuan kekeringan lebih mudah diatur, serta ukuran contoh yang lebih besar pula. Keyword:epistasis, model regresi, padi, pengaruh tetua betina, seleksi
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Model Pengelolaan Kawasan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Sistem Sosial Ekologi (Studi Kasus : Kabupaten Subang Jawa Barat). Abstrak:Desa pesisir memiliki karakteristik yang berbeda dengan desa di wilayah lain, desa pesisir terdapat di perbatasan antara daratan dan lautan. Desa pesisir memiliki akses langsung pada ekosistem pantai, mangrove, padang lamun, serta ekosistem terumbu karang. Secara sosial-ekologi, desa pesisir memiliki suatu keterkaitan dan ketergantungan antara aktivitas masyarakat pesisir dengan keberadaan ekosistem/ekologi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis dan memetakan konektivitas sistem sosial-ekologi kawasan desa pesisir di lokasi penelitian (2) menganalisis dan mengidentifikasi resiliensi sosial-ekologi kawasan desa pesisir di lokasi penelitian, dan (3) menyusun model konseptual pengelolaan kawasan desa pesisir terpadu berbasis sosial-ekologi di lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di kawasan desa pesisir Kabupaten Subang yaitu Desa Blanakan, Desa Tanjungtiga, Desa Rawameneng, dan Desa Mayangan. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Juli 2016 – November 2017. Data yang dikumpulkan meliputi data ekologi dan sosial yang merupakan data primer dan data sekunder. Parameter aspek ekologi yang diambil meliputi data ekosistem mangrove, kualitas perairan, data hasil tangkapan dan data budidaya, sedangkan parameter sosial yang diambil meliputi tingkat pendidikan, mata pencaharian, sistem kelembagaan nelayan, pengguna sumberdaya, penyedia infrastruktur, dan beberapa parameter fisik infrastruktur yang terdapat di desa pesisir. Data aspek ekologi diperoleh melalui survei lapangan dan remote sensing, sedangkan data aspek sosial dan budaya juga diperoleh melalui Focus Group Discussion (FGD) serta wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat terutama kepala desa dan tokoh adat. Analisis permasalahan sistem sosial ekologi dilakukan dengan metode DPSIR (Drive – Pressures – State – Impact – Responses), sedangkan analisis jaringan dan konektivitas sistem sosial – ekologi dilakukan secara deskriptif kuantitatif dan spasial deskriptif menggunakan peta konektivitas. Analisis resiliensi sistem sosial – ekologi dilakukan pada masing – masing desa dan konektivitasnya terhadap desa lain menggunakan perhitungan indeks resisliensi sosial – ekologi (RES). Model pengelolaan kawasan desa pesisir dirancang berdasarkan informasi sosial – ekologi dan potensi lainnya dengan menggunakan model konseptual. Hasil penelitian berdasarkan analisis model Burkhard dan Spidergram menunjukkan bahwa interaksi dan konektivitas sistem sosial-ekologi desa pesisir Kabupaten Subang terbentuk melalui proses interaksi yang kompleks. Dalam sistem internal desa, interaksi sosial terbentuk antara pengguna sumberdaya dan penyedia infrastruktur dengan tingkat konektivitas sedang hingga sangat tinggi, interaksi ekologi terbentuk antara ekosistem perairan dan ekosistem mangrove serta adaptasi dan respon terhadap perubahan lingkungan. Interaksi sistem sosial-ekologi terbentuk melalui interaksi antara sumberdaya dan pengguna sumberdaya dengan tingkat konektivitas sangat tinggi terjadi antara nelayan dan sumberdaya ikan serta petani dan sumberdaya petani. Dalam sistem eksternal desa, sistem sosial banyak terbangun melalui interksi sosial pendidikan dan sistem nelayan dari Desa vi Rawameneng, Desa Tanjungtiga, dan Desa Mayangan terhadap sistem pendidikan dan kelembagaan nelayan Desa Blanakan yang kemudian terhubung dan digambarkan dalam peta dan jaringan sistem sosial-ekologi desa pesisir. Hasil penelitian terkait indeks resiliensi dari masing-masing desa menunjukkan bahwa Desa Blanakan memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi moderat (indeks 0,526), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,654), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,600). Desa Tanjungtiga memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi rendah (indeks 0,316), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,654), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,511). Desa Rawameneng memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi rendah (indeks 0,263), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,673), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,489). Desa Mayangan memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi rendah (indeks 0,368), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,673), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,533). Berdasarkan integrasi dan konektivitas sistem sosial – ekologi, desa pesisir memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi rendah (indeks 0,368), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,673), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,533). Berdasarakan hasil analisis model konseptual pengelolaan kawasan desa pesisir terpadu dengan pendekatan sistem sosial – ekologi (SES) dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Model pendekatan DPSIR+V dalam analisis permasalahan SES dapat digunakan sekaligus untuk mengetahui nilai sistem sosial – ekologi pada periode waktu tertentu (2) Model konseptual pengelolaan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan wisata dapat dilakukan di kawasan desa pesisir terpadu dalam satu pengelolaan yang terintegrasi dengan pendekatan sistem sosial – ekologi dan kebijakan baik berupa peraturan desa (PERDES) pada submodel kegiatan dan peraturan daerah (PERDA) pada model keterpaduan sektor yang berimpilikasi pada upaya perlindungan atau peningkatan ketahanan sistem sosial – ekologi. Keyword:desa pesisir, Kabupaten Subang, resiliensi, sistem sosial – ekologi
Judul: Pengelolaan Konservasi Perairan Pulau Kecil dengan Pendekatan Pemodelan Resiliensi Sistem Sosial-Ekologi: Studi Kasus KKPD Pulo Pasi Gusung, Selayar, Sulawesi Selatan Abstrak:Penetapan kawasan konservasi perairan laut tidak hanya mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya yang ada, terutama ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove, biota yang dilindungi, habitat serta daerah pemijahan ikan dan biota lainnya. Yang perlu dipertimbangkan juga adalah aktifitas masyarakat lokal yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sebagai upaya mengatasi degradasi sumber daya kelautan di Indonesia, diperlukan suatu desain pengelolaan yang komprehensif, yang tidak hanya mempertimbangkan kemampuan sumberdaya terumbu karang untuk dapat pulih kembali setelah mengalami penurunan serta faktor-faktor pendukung lainnya juga perlu dipertimbangkan aspek sosial-ekonomi dari masyarakat yang memanfaatkannya. Desain pengelolaan ini diharapkan selain dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya juga dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Resiliensi merupakan respon ekosistem dan jaminan terhadap terjadinya perubahan lingkungan, dan telah menjadi tujuan utama dari pengelolaan terumbu karang. Keanekaragaman hayati, keanekaragaman spasial dan konektivitas diusulkan sebagai landasan resiliensi dan jaminan terhadap ketidakpastian ekologi. Indikator empirik yang dapat dijadikan sebagai landasan resiliensi antara lain: pelaku kolonisasi ruang, mengukur keanekaragaman spasial dan kapasitas grazing. Studi tentang analisis perikanan terumbu karang dengan pendekatan sistem sosial-ekologi masih belum banyak dilakukan. Komponen-komponen sistem yang mempengaruhi perikanan terumbu karang akan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selain dipengaruhi oleh perbedaan kondisi alam, seperti pengaruh perbedaan musim, pengaruh kondisi oseanografi dan letak geografis, juga dipengaruhi budaya dan aktifitas masyarakat di sekitarnya. Pendekatan sistem didalam melakukan analisis perikanan terumbu karang di KKPD Pulo Pasi Gusung dilakukan untuk melihat komponen-komponen apa saja yang mempengaruhi serta hubungan diantara komponen tersebut. Komponen dan hubungan diantara komponen tersebut membentuk suatu sistem yang khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Komponen aktifitas pemanfaatan sumberdaya terdiri dari penangkapan ikan secara tradisional dan penggunaan bius. Tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya terdiri dari musim, tingkat pendidikan, populasi penduduk, hasil tangkapan ikan, harga ikan dan pendapatan nelayan. Keputusan atau kebijakan yang dibutuhkan antara lain kawasan konservasi perairan dengan penetapan zona larangan pemanfaatan sumberdaya, pengawasan terhadap kawasan dan tersedianya lapang kerja alternatif selain sebagai nelayan. Keputusan yang diperoleh dari partisipasi aktif masyarakat menggambarkan kebutuhan yang sebaiknya dilaksanakan oleh pengelola KKPD Pulo Pasi Gusung untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya. Penilaian potensi pemulihan atau resiliensi terumbu karang tidak hanya menggunakan indkator ekologi, tetapi indikator sosial dan ekonomi juga dapat v digunakan untuk melakukan penilaian resiliensi di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi Gusung, Selayar. Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan dengan pendekatan sistem sosial-ekologi menghasilkan penilaian yang tidak jauh berbeda dengan indeks kesehatan terumbu karang yang dikembangkan oleh LIPI. Kelebihan indeks resiliensi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah memperhitungkan indikator sosial dan ekonomi yang berperan didalam menentukan kondisi terumbu karang di kawasan konservasi karena aktifitas masyarakat sangat menentukan kondisi dan potensi pemulihan terumbu karang. Berdasarkan indikator sosial dan ekonomi tersebut maka dapat menjadi acuan bagi pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah daerah, tentang kebijakan yang mengarah pada langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga ekosistem terumbu karang, salah satunya adalah dengan membuka lapangan kerja alternatif selain sebagai nelayan, baik nelayan tradisional maupun nelayan pengguna bius, sehingga diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Pendekatan analisis sistem dapat digunakan didalam pengelolaan KKPD Pulo Pasi Gusung. Pemodelan sistem dinamik dengan pendekatan sistem sosial-ekologi digunakan didalam penelitian ini untuk menggambarkan keragaan dari dimensi sosial, ekonomi dan ekologi di KKPD Pulo Pasi Gusung. Studi tentang resiliensi spasial, terutama untuk ekosistem terumbu karang dengan pendekatan sistem sosial-ekologi masih sangat terbatas. Diperlukan data dan informasi yang cukup, baik secara spasial dan temporal, untuk dapat melakukan kajian tersebut. Operasionalisasi resiliensi menjadi prioritas global didalam pengelolaan ekosistem. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menghitung resiliensi menggunakan pendekatan model ekologi spasial. Skenario pengelolaan dengan mengintegrasikan pengelolaan KKPD terpadu antara pengelolaan kawasan dan tersedianya pekerjaan alternatif bagi nelayan merupakan skenario yang ideal akan tetapi membutuhkan pembiayaan yang tinggi dan upaya yang besar, dimana pengawasan yang dilakukan selama 20 hari dalam sebulan dan 6 jam setiap harinya; tersedianya lapangan pekerjaan hingga 45% dari populasi nelayan; dan luasan no-take zone area hingga 40 % dari luas terumbu karang, yaitu 229,756 hektar. Skenario bertahap direkomendasikan untuk dapat dimplementasikan didalam pengelolaan KKPD Pulo Pasi Gusung, dimana akan diperoleh hasil yang optimal dengan upaya dan anggaran yang tidak terlalu besar, yaitu pada 3 tahun pertama tersedia pekerjaan lain yang mencapai 45 % dari populasi nelayan, 3 tahun berikutnya penetapan no-take zone area mencapai 40 % dari luas terumbu karang dan tahun berikutnya pelaksanaan pengawasan selama 6 jam setiap hari yang dilakukan selama 20 hari setiap bulannya. Model spasial resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap zonasi suatu kawasan konservasi perairan laut, dimana lokasi yang memiliki potensi resiliensi tinggi ditetapkan zona inti. Keyword:kawasan konservasi perairan, sistem dinamik, antioksidansistem sosial-ekologi
Judul: Anticancer activity of green leaf gel cincau ( Premna oblongifolia Merr) powder via apoptosis and antiproliferation pathway in C3H mice transplanted with breastcancer cell Abstrak:Green leaf gel Cincau (Premna oblongifolia Merr) powder is a rich sources of various phytochemicals including alkaloid, saponin, flavonoid, chlorophyl dan carotenoid. In this research the gel extracted from Cincau leaf and made into powder. Green leaf gel Cincau powder activity was conducted on C3H mice were transplanted with breastcancer of Mouse Mamary Tumour Viruses (MMTV). The objectives of the research are to investigate the effect of green leaf gel Cincau on apoptosis and proliferation inhibitions in C3H mice and explored its mechanism. Keyword:
Judul: Preferensi Ekologis Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di Gunung Papandayan Jawa Barat dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri Abstrak:Areal-areal bekas gangguan di Gunung Papandayan telah mengalami perubahan komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan, sejak terjadinya gangguan pada 5–7 tahun yang lalu. Kondisinya sudah sangat berbeda dengan hutan-hutan yang tidak terganggu. Areal-areal bekas perambahan dan bekas kebakaran cenderung mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan hadirnya jenis-jenis pohon pionir yang mendominasi areal, diantaranya adalah Paraserianthes lophantha, Litsea cubeba, Vaccinium varingifolum, Homalanthus populneus, dan Schima wallichii. Kondisi struktur tegakan juga terlihat jelas mengalami perubahan dari pohon-pohon besar dan multistrata ke pohon-pohon berukuran kecil yang terpusat pada strata C (T = 4–10 m) dan D (T = 10–20 m). Keanekaragaman jenis pohon mengalami penurunan dari H’ lebih dari 2 pada hutan tidak terganggu, menjadi rendah (H’ < 2). Hal lainnya dari perubahan komunitas tumbuhan pada areal-areal bekas gangguan adalah hadirnya Litsea cubeba (Ki lemo: Sunda; Kranggean: Jawa; Attarasa: Sumatera) yang merupakan salah satu jenis pionir dengan kemampuan okupasi tinggi dan secara visual mampu berkompetisi dengan jenis-jenis invasif. Kehadiran pohon ini menjadi penting untuk diteliti, selain karena peran pentingnya sebagai bagian dari dinamika komunitas tumbuhan, juga karena pohon ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dengan kontribusi minyak atsirinya (minyak lemo atau minyak kranggean atau may chang oil) yang sangat dikenal secara internasional untuk industri farmasi dan kosmetika. Penelitian ini merupakan kombinasi studi ekologi dan studi kandungan minyak atsiri. Hasil penelitian bermanfaat untuk pertimbangan budi daya dalam rangka mendukung industri biofarmaka di Indonesia. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat sampai saat ini Indonesia sebagai salah satu pemilik potensi bahan baku L. cubeba yang cukup besar, belum berperan banyak pada sektor industri minyak atsiri dunia. Di Jawa Barat, sedikitnya terdapat empat wilayah sebaran alami pohon L. cubeba tepatnya di daerah pegunungan, yaitu Gunung Ciremai, Patuha dan Papandayan. Sebaran lainnya di Indonesia dijumpai di Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Kalimantan Timur (Steenis 2006; Heryati et al. 2009). Hasil studi ekologi menunjukkan bahwa L. cubeba dijumpai mendominasi areal-areal bekas gangguan yang tersebar di zona montana (1500–2500 mdpl) dan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap faktor-faktor iklim (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya). Kecocokan pohon ini terhadap areal tersebut terlihat dari berbagai karakteristik, yaitu memiliki kelimpahan dan okupasi yang tinggi, serta berasosiasi secara positif dengan jenis-jenis pohon lainnya. Hasil pengujian laboratorium diperoleh nilai rendemen minyak atsiri yang sangat tinggi dan bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya di Indonesia dan di Cina. Rendemen yang diperoleh dari 17 lokasi tempat tumbuh bervariasi pada rentang mulai dari 2.76 sampai 9.33 %, tetapi sebagian besar berada pada kisaran antara 6 sampai 8 % . Rendemen minyak atsiri hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Zulnely et al.(2003) di Gunung Ciremai Jawa Barat sebesar 5.4 % , Ho et al. (2010) sebesar 4 % dan Si et al. (2012) di Cina sebesar 4.56 %. Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa komposisi senyawa minyak atsiri L. cubeba cenderung berbeda antar bagian pohon, sehingga masing-masing bagian memiliki kekhasan senyawa tertentu. Pada bagian daun dijumpai senyawa kimia dominan berupa sineol, sabinen dan α-terpinenyl asetat. Pada buah didominasi oleh sitral, dan pada kulit batang lebih banyak didominasi oleh sitronelal. Secara umum komposisi senyawa ini relatif sama dengan hasil penelitian lainnya, tetapi dari segi senyawa dominan cenderung berbeda. Hal tersebut menjadikan minyak lemo asal Gunung Papandayan memiliki kekhasan tertentu dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hasil pengujian hubungan antara tipe-tipe habitat dan kandungan minyak atsiri diperoleh informasi bahwa variasi tipe habitat memiliki kaitan yang erat dengan rendemen minyak lemo, tetapi tidak demikian terhadap kandungan senyawa kimianya. Hasil ini membuktikan bahwa bervariasinya nilai rendemen sangat bergantung pada tipe habitat L. cubeba. Hasil pengujian lebih lanjut menggunakan stepwise regression terhadap 32 faktor biofisik habitat (mencakup iklim, topografi, ketinggian tempat dan faktor-faktor tanah, serta dimensi pertumbuhan pohon) dalam kaitannya dengan minyak atsiri yang dihasilkan, diperoleh lima faktor yang berperan terhadap rendemen dan lima faktor lainnya berperan terhadap kandungan senyawa kimia minyak atsiri. Dari sepuluh faktor yang berperan penting terhadap minyak atsiri tersebut, sembilan faktor diantaranya merupakan faktor-faktor tanah dan satu faktor lainnya adalah lereng (kemiringan lahan). Lima faktor habitat berpengaruh nyata terhadap rendemen, sebagaimana persamaan regresi: Yrendemen = 8,2667 – 0,199 X1 (rasio C/N) – 0,984 X2 (kandungan Fe) + 0,042 X3 (lereng) + 0,091 X4 (porsi liat tanah) + 0,102 X5 (air tersedia dalam tanah). Lima faktor lainnya secara signifikan berpengaruh terhadap kandungan senyawa minyak lemo disajikan dengan persamaan regresi: Ykandungan_senyawa = 67,687 – 0,232 X1 (ruang pori total) + 12,263 X2 (kandungan S dalam tanah) - 0,297 X3 (air tersedia) + 14,804 X4 (kandungan N dalam tanah) - 2,381 X5 (kandungan Mg dalam tanah). Berdasarkan seluruh seri penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa L. cubeba memiliki preferensi ekologis terhadap faktor-faktor tertentu di habitat alaminya dalam mendukung produksi minyak atsiri. Rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa dalam pengembangan budi daya L. cubeba perlu memperhatikan pertimbangan umum dan pertimbangan khusus. Pertimbangan umum dalam hal ini terkait dengan karakteristik lokasi tempat tumbuh pohon, mencakup ketinggian tempat dan kisaran faktor-faktor iklim. Pertimbangan khusus, yaitu bahwa rancangan pola budi daya tanaman perlu merekayasa lokasi agar peran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rendemen dan kandungan senyawa kimia dapat dikondisikan sesuai hasil pengujian di atas. Keyword:Faktor-faktor habitat, Litsea cubeba, minyak atsiri, preferensi ekologis
Judul: Kajian Produksi, Mutu dan Minyak Atsiri Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.) dengan Perbedaan Teknik Budidaya dan Pasca Panen Abstrak:Tanaman jeruk purut (Citrus hystrix DC.) merupakan salah satu anggota keluarga Rutaceae yang kalah populer dengan jenis-jenis jeruk penghasil buah seperti keprok, siam dan pamelo. Jeruk purut belum banyak dibudidayakan meskipun potensi pemanfaatannya cukup beragam, terutama bagian daunnya yang digunakan sebagai bumbu dapur dan bahan baku minyak atsiri. Kebutuhan jeruk purut diduga terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup milenial yang lebih sehat. Produksi jeruk purut Indonesia masih kalah dengan Thailand yang dikenal sebagai eksportir terbesar jeruk purut di dunia. Hal ini diduga terkait dengan masih sempitnya luas panen jeruk purut dan rendahnya produksi aktual pada pertanaman yang ada. Oleh karena itu disusun beberapa percobaan paralel dengan tujuan umum untuk meningkatkan produksi, baik secara kuantitas maupun kualitas, pada produk daun segar dan minyak atsiri daun jeruk purut. Satu-satunya daerah yang dilaporkan sebelumya sebagai daerah sentra budidaya jeruk purut adalah Tulungagung, Jawa Timur. Petani setempat menerapkan praktik budidaya semi intersif berupa perpaduan antara teknik budidaya tradisional dan konvensional. Daun segar merupakan produk utama, sedangkan produk turunannya berupa tepung daun dan minyak atsiri, serta produk sampingan berupa buah dan batang pasca panen. Produksi daun petani Tulungagung diperkirakan sebesar 0.1 kg per tahun per tanaman, dengan siklus panen setiap 6 bulan sekali. Penanganan pasca panen cukup sederhana meliputi pemisahan daun dari batang (mitil), penimbangan dan pengemasan dengan karung, tanpa ada perlakuan pendinginan. Harga daun jeruk purut per kg di tingkat petani adalah Rp 6 000 – 7 000, di tingkat pengepul Rp 9 000 – 10 000, di tingkat pedagang besar Rp 11 000 – 12 000 dan di tingkat pedagang kecil Rp 14 000 – 16 000. Daun jeruk purut petani Tulungagung sebagian besar dijual ke pasar tradisional, dengan jangkauan lokal Tulungagung hingga ibu kota Jakarta. Daun adalah komponen utama yang dipanen dari tanaman jeruk purut sehingga ukurannya begitu menjadi perhatian. Pengukuran luas dan bobot daun dapat dilakukan dengan mudah, murah dan tanpa harus merusak tanaman (non destruktif). Model terpilih untuk pendugaan luas dan bobot daun jeruk purut yang mudah, murah dan non destruktif pada penelitian ini menggunakan peubah penduga sederhana yakni panjang total (PT) daun dengan jenis regresi berupa zero intercept polynomial. Persamaan matematika dari model terpilih yakni (i) luas daun (cm2) = 0.1997 (PT)2 + 0.4571 (PT); (ii) bobot daun (g) = 0.0067 (PT)2 + 0.0065 (PT). Rendahnya produksi daun jeruk purut di fase awal pertanaman disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan tanaman, terlebih pada kondisi terpapar cahaya matahari penuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh faktor naungan terhadap produksi daun dan fisiologi tanaman jeruk purut lebih dominan dibandingkan pemangkasan. Pemangkasan dapat meningkatkan jumlah tunas baru dan mereduksi tinggi tanaman. Penggunaan naungan dapat meningkatkan laju v pertumbuhan, jumlah daun dan produksi daun per pohon. Perbaikan respon tersebut disebabkan oleh peningkatan laju fotosintesis, konduktansi stomata dan efisiensi penggunaan air pada tanaman ternaungi. Naungan 24% lebih direkomendasikan dari pada naungan 43% karena lebih efektif dan efisien untuk peningkatan pertumbuhan dan produksi daun jeruk purut. Optimasi dosis pupuk nitrogen pada budidaya jeruk purut di bawah naungan pasca pemangkasan taraf berat pada saat panen dirasa perlu untuk dilakukan untuk menjamin produksi daun jeruk purut di musim selanjutnya. Pemangkasan panen dengan menyisakan batang pokok setinggi 30 cm mendukung respon pertumbuhan dan bobot basah daun yang lebih baik dibandingkan tinggi pangkas panen 10 cm. Terdapat peningkatan laju pertumbuhan relatif dan keragaan tanaman akibat pemupukan N. Namun pengaruh dari dosis 20 g N tidak berbeda nyata dengan dosis 40 g N per tanaman. Dosis optimum untuk produksi daun purut di bawah naungan 24% adalah 35 g N per tanaman dengan hasil maksimum 58.33 g per tanaman. Minyak atsiri merupakan produk turunan daun jeruk purut yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia. Kualitas minyak dapat dipengaruhi oleh karakteristik lokasi tumbuh tanaman jeruk purut. Rendemen minyak atsiri tertinggi yakni 1.5% didapatkan dari Bogor, sedangkan yang terendah yakni 0.78% didapatkan dari Tulungagung. Rendemen berkorelasi positif dan signifikan terhadap curah hujan, status C-org dan pH tanah serta kadar hara N, P dan Mg. Kecukupan air, kesesuaian sifat media tanam (pH), ketersediaan hara makro mendukung produksi minyak atsiri daun purut. Kadar citronellal berkorelasi positif dan signifikan terhadap pH aktual tanah dan kadar hara Ca daun dan berkorelasi negatif terhadap hara mikro Fe dan Mn. Aroma merupakan atribut mutu yang paling menentukan tingkat kesukaan terhadap produk daun purut. Dari ketujuh produk yang diuji, daun bagus menjadi produk terfavorit. Daun bagus dihasilkan pasca sortasi dengan ciri berbentuk normal, tampak segar, bersih dari kotoran dan tidak mengalami kerusakan. Penyimpanan suhu beku (-20 oC) dapat mempertahankan kualitas warna dan tekstur daun purut lebih baik dibandingkan penyimpanan suhu rendah (5 oC). Bubuk daun purut sebaiknya dibuat dari daun berwarna hijau, bukan dari daun coklat, karena daun coklat tidak disukai panelis. Perlakuan pasca panen (pengovenan, pengeringanginan dan pembubukan) pada bubuk daun hijau, bubuk daun coklat dan daun kering coklat menyebabkan penurunan rendemen, peningkatan bobot jenis dan indek bias serta membuat warna minyak menjadi lebih gelap. Minyak atsiri daun jeruk purut dilaporkan memiliki banyak kegunaan selain sebagai wewangian. Hasil bioautografi antioksidan menunjukkan beberapa noda dibawah sinar tampak pada pelat bewarna latar ungu pasca penyemprotan DPPH 0.2%. Perbedaan persentase relatif caryophyllene antar sampel diduga menentukan variasi aktifitas antioksidannya. Hasil bioautografi antibakteri menunjukkan bahwa semua sampel minyak atsiri memiliki aktifitas antibakteri namun senyawa citronellal murni tidak. Perbedaan pengaruh antibakteri tersebut diduga berhubungan dengan persentase relatif senyawa citronellol, caryophyllene, eugenol dan myristicin pada minyak atsiri daun jeruk purut. Keyword:citronellal, citronellol, naungan, pemangkasan, nitrogen
Judul: Pengembangan kekekaran Model Additive Main Effect – Multiplicative Interaction (AMMI) Abstrak:AMMI model for interactions in two-way table provide the major mean for studying stability and adaptability through GEI, which modeled by full interaction model. Eligibility of AMMI model depends on the assumption of normally independent distributed error with a constant variance. Nowadays, AMMI models have been developed for any condition of MET data i.e the violence of normality and homegeneity assumptions. We can mention in this class of modelling as MAMMI for Mixed AMMI model and GAMMI for Generalized AMMI model. GAMMI model handles non-normality i.e categorical response variables using an algorithm of alternating regression. While handling the non-homogeneity in mixed-models sense, one may use a model called factor analytic multiplicative for a MAMMI models. Outlier might be found in the data coincides with non-homogeneity variance. A method of handling outlier in additive and multiplicative modeling by applying Robust Alternating Regression (RAR) in FANOVA model. RAR FANOVA model was downweighting outlying scores and loadings in the k-dimensional spaces of scores and loadings, and robust estimator will be minimized under the constraints that are consistent with robust approach of the median of parameters. Application of GAMMI was found in several distribution of exponential family. The most interesting here is Poisson distribution which it has a unique property of equal mean and variance. Many zero observations make some dificulties and fatal consequence in Poisson modeling. We consider to facilitates an analysis of two-way tables of count with many zero observations in AMMI model. We develop GAMMI model for Poisson with zeroes problem, by a statistical framework of RCAM. Some link function apply to the mean of a cell equalling a row effect plus a column effect plus interaction terms are modelled as a reduced-rank regression with rank of 2, then it will be visualized by Biplot through SVD reparameterization. The ZIP-GAMMI model handle the excess-zero and also the overdispersion at once. The interaction structures are extracted from the non-zero cell. ZIP model provide us the probability become zero and the fitted value of the Poisson. The modelling scheme involves two important things: (1) the distribution (and link-function) and (2) the rank of model. Both are confounded, especially if there is overdispersion or excess-zero. Best-model fit can be provided by proper link function with respect to data’s distribution, at the same time it’s also possible by the rank of the model in decomposing the interaction terms. In this case the likelihood ratio test provides us the hypothesis testing. Keyword:
Judul: Pembentukan diosgenin pada kultur kalus Dioscorea bulbifera L. Abstrak:Tujuan penelitian adalahmempelajari aspek-aspekk IPB Untersin kondisi kultur jaringan Ckultur kalus) tanaman Dioscorea bulbifera L., untuk pembentukan diosgenin secara optimum. Pendekatan permasalahan dilakukan sebagai berikut : (1) mendapatkan sumber eksplan yang berkemampuan mensintesis dan mengakumulasikan diosgenin, (2) mencari kondisi medium kultur untuk pertumbuhan sel yang optimum, (3) memanipulasi lingkungan kultur dengan perlakuan zat pengatur tumbuh, komponen nutrisi, pemberian prekursor dan cahaya untuk merangsang biosintesis diosgenin. Penelitian dilakukan secara bertahap, seluruhnya ada 6 percobaan dengan urutan sebagai berikut : Percobaan pertama mencari komposisi medium untuk pertumbuhan kalus yang dapat menghasilkan diosgenin. Dengan menggunakan medium dasar Murashige dan Skoog (MS) yang telah dimodifikasi, diuji beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh auxin (2.4-D, IAA dan NAAD serta sitokinin (BAP). Hasilnya menunjukkan bahwa medium MS yang diperkaya dengan 1 ppm 2.4-D dan 0.1 ppm BAP menunjukkan medium yang produksi diosgenin. Setelah periode inkubasi 5 minggu, produksi bobot kering kalus jaringan bulbil mencapai 12.04 g dengan kandungan diosgenin 211.2 µg/g bobot kering. Percobaan kedua : mempelajari pertumbuhan kalus dari ber- bagai jaringan tanaman (bulbil, ruas batang dan daun). Pe- nampilan kalus dari ke-3 jaringan tidak banyak berbeda, warnanya putih kekuningan dan strukturnya friable. pertumbuhan maupun kurva ketiga jaringan kalus dengan masa inkubasi. kalus jaringan Akumulasi Kur va total kandungan diosgenin dari memperlihatkan bentuk kuadratik Di antara ketiga jaringan kalus, bulbil paling mendekati diosgenin tertinggi tercapai pertumbuhan bobot kering mulai menurun. pola diphasic. pada saat Percobaan ketiga: pertumbuhan bulbil. dan Hasil peranan faktor fisik cahaya terhadap pembentukan pengamatan diosgenin sel ama 10 kalus minggu jaringan menunjukkan bahwa cahaya mengurangi pertumbuhan bobot kering kalus dan menekan pembentukan diosgenin. Cahaya merangsang pemben- tukkan pigmen (klorofil) sehingga mengurangi ketersediaan metabolit diosgenin. Keyword:Allelopathy;, Catharanthus roseus;, Solanum khasianum;, S. laciniatum;
Judul: To increase diosgenin content in Costus specious (Koen) Sm., through tissue culture Abstrak:Plant tissue culture techniques are profitably used to produce secondary metabolites. Cosfus speciosus plants have a potential ability to produce diosgenin, which is used as a raw material in steroid industries. The aims of this study were to obtain the best explants as a source of callus, and to increase its productivity through suspension and callus culture. Four experiments were carried out in Plant Physiology laboratory at Bogor Research Institute for Eetate Crops from April 1985 to December 1986. Keyword:
Judul: Design of strategic management model of snack’s micro and small enterprises performance evaluation Abstrak:Competitiveness of Micro and Small Enterprises (MSE) depends on total business performance. Those performance could be managed effectively and efficiently if it was supported by an optimal performance evaluation process, that was consisted of measurement and improvement model. The performance evaluation model was developed through strategic management system approach, where experts knowledge were acquired by brainstorming and in depth interview methods. Some of technique utilized were validity and reliability test, Ordered Weighted Averaging (OWA) Operators, Fuzzy Analytic Hierarchy Process, Balanced Score card (BSC), Quality Function Deployment (QFD), and Neural Network. Keyword:expert management system, strategic management system, bussines performance, balanced scorecard
Judul: Desain Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Pada Kawasan Konservasi Perairan Di Kabupaten Kepulauan Anambas Abstrak:Sebagian Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) sejak tahun 2014 berdasarkan KEPMEN No. 37 tahun 2014. Penetapan itu memberikan konsekuensi kepada KKPN Kepulauan Anambas sebagai salah satu wilayah penangkapan yang terletak di WPP 711 harus menjaga keberlanjutan baik keberlanjutan (1) kualitas habitat dan sumberdaya ikan, (2) aktivitas dan nilai yang telah berkembang di masyarakat lokal serta pendapatan dan mata pencaharian masyarakat serta (3) meningkatkan kapasitas lokal baik ditingkat masyarakat maupun kelembagaan. Permasalahan perikanan tangkap yang terjadi di KKPN Kepulauan Anambas yaitu adanya gejala lebih tangkap yang ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah upaya penangkapan yang tidak dibarengi dengan produksi penangkapan, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, dan lokasi penangkapan yang semakin jauh hingga melebihi batas perairan kabupaten. Selain itu, permasalahan mengenai rusaknya ekosistem akibat aktivitas penambangan karang dan penangkapan ikan yang merusak pada beberapa tahun lalu. Dengan adanya pembentukan KKPN Kepulauan Anambas, maka perlu diperhatikan bahwa pengelolaan perikanan selanjutnya harus diatur berdasarkan zonasi agar pemanfaatan perikanan memperhatikan keberlanjutan. Permasalahan tersebut menggambarkan bahwa sangat minimnya upaya pengelolaan perikanan di KKPN Kepulauan Anambas sehingga perlu diatur strategi pengelolaan dengan pendekatan ekosistem agar tetap mempertahankan keberlanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis aktifitas perikanan tangkap di KKPN Kepulauan Anambas, (2) menilai kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, (3) menentukan alokasi optimal unit penangkapan ikan di KKPN Kepulauan Anambas, dan (4) merumuskan desain pengelolaan perikanan tangkap di Kawasan Konservasi. Jenis data yang diperoleh yaitu data sekunder dan data primer yang dilakukan dengan observasi secara langsung di lapangan melalui hasil wawancara dan survei. Teknik pengambilan data dilakukan dengan metode in-depth interview, dimana semua informasi penting tentang perikanan didapatkan dari informan yang menguasai permasalahan perikanan tangkap. Analisis data yang digunakan yaitu, analisis fungsi nilai untuk penentuan komoditas unggulan dan pemilihan teknologi penangkapan, Model Linear Goal Programming untuk optimasi unit penangkapan, Pendekatan EAFM untuk penilaian aktivitas penangkapan ikan, tools E-KKP3K untuk penilaian kinerja pengelolaan KKPN Kepulauan Anambas dan metode deskriptif untuk menyusun model pengelolaan perikanan tangkap. Hasil penilaian kondisi pengelolaan perikanan dengan indikator pada EAFM sebagai metode penilaian perikanan berbasis ekosistem didapatkan bahwa KKPN Kepulauan Anambas termasuk dalam kategori baik. Sedangkan penilaian kinerja pengelolaan dengan menggunakan E-KKP3K didapatkan bahwa status pengelolaan yang telah dilakukan di KKPN Kepulauan Anambas berada pada katagori hijau yang berarti pengelolaan KKPN Kepulauan Anambas masih minimum. Hasil penilaian analisis fungsi nilai menyebutkan bahwa komoditas unggulan sumberdaya perikanan di Anambas yaitu kerapu, cumi, tongkol, tenggiri, dan kuwe. Pemilihan alat tangkap yang tepat sesuai aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan adalah menggunakan pancing ulur, kemudian berturut-turut pancing tonda, bagan, dan terakhir bubu. Alokasi jumlah unit penangkapan optimum yang digunakan dalam penangkapan komoditas unggulan yaitu 2371 untuk pancing ulur, dan 70 untuk bagan, 2 pancing tonda dan 967 bubu. Desain pengelolaan perikanan tangkap di KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas adalah: a) Pengelolaan SDI tangkap harus sesuai dengan daya dukung sumber daya tersebut dalam hal ini potensi perikanan di KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas, b) Jumlah alat tangkap yang harus ada di KKPN Kepulauan Anambas yaitu 2371 untuk pancing ulur, dan 70 untuk bagan, 2 pancing tonda dan 967 bubu, dan c) Semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengelolaan KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas. Dalam upaya implementasi desain pengelolaan perikanan tangkap di KPPN Kabupaten Kepulauan Anambas diperlukan Desain kelembagaan pengelolaan perikanan. Desain pengelolaan perikanan tangkap yang perlu diterapkan di KKPN Kepulauan Anambas yaitu bagaimana kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap dalam kawasan konservasi perairan yang telah diatur berdasarkan sistem zonasi. Kelembagaan ini harus menyeimbangkan peran pemerintah daerah sebagai pemegang kuasa atas wilayah perairan Kabupaten serta Satker Loka KKPN Pekanbaru sebagai pemegang kuasa pengelolaan kawasan konservasi dengan menyatukan persepsi mengenai pengelolaan perikanan. Adapun konsep hubungan interaksi pengelola disusun berdasarkan pendekatan triple helix. Keyword:Desain, kawasan konservasi perairan, Kabupaten Kepulauan Anambas, pengelolaan, perikanan tangkap
Judul: Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Selat Dampier , Kabupaten Radja Ampat Abstrak:Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan. Kawasan Konservasi Perairan di dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 jo UU No 45 Tahun 2009 dikategorikan menjadi 4, yaitu : (a) Taman Nasional Perairan, (b), Suaka Alam Perairan, (c) Taman Wisata Perairan, (d) Suaka Perikanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan RI No. 36/KEPMEN-KP/2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat di Propinsi Papua Barat menetapkan sebagian wilayah perairan Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Selanjutnya kawasan tersebut dikelola sebagai Taman Wisata Perairan . Taman Wisata Perairan (TWP) adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. Taman Wisata Perairan Kepulauan Raja Ampat tersebut terdiri atas 5 area yakni : Perairan Kepulauan Ayau-Asia , Teluk Mayalibit , Selat Dampier , Perairan Kepulauan Misool serta Perairan Kepulauan Kofiau dan Boo. Penelitian dilaksanakan pada salah satu Taman Wisata Perairan di Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan dengan purposive sampling melalui wawancara dan pengisian kuesioner responden, dan pengamatan lapangan (observasi), juga dari berbagai instansi di Kabupaten Raja Ampat Aspek yang diamati meliputi aspek-aspek: biofisik; sosial, ekonomi, dan budaya; dan Kelembagaan . Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap pengambilan data yakni: Oktober - November 2016 dan Oktober – November 2017. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi status keberlanjutan dari pengelolaan kawasan konservasi (zona inti, zona wisata dan zona perikanan) di Selat Dampier . Penelitian ini memiliki empat tujuan khusus, yakni: (1.) menganalis kondisi karang dan biodiversitas ikan karang serta biomasa ikan karang pada zon inti, zona wisata dan zona perikanan tradisional; (2) menganalisis efektivitas zonasi dalam pengelolaan perikanan karang di Selat Dampier ; (4) menentukan tingkat keberlanjutan pengelolaan zona inti, zona wisata dan zona perikanan tradisional di kawasan konservasi Selat Dampier ; (4) merumuskan strategi pengelolaan zona inti, zona wisata, zona perikanan tradisional di KKPD Selat Dampier. Efektivitas zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi diukur dari kelimpahan ikan di setiap zona, tingkat kepatuhan nelayan terhadap zonasi, dan pelanggaran zonasi yang terjadi. Sistem zonasi pada pengelolaan kawasan konservasi di perairan KKP Selat Dampier dapat dikatakan cukup efektif terlihat dari kelimpahan ikan dan biomasa yang cukup tinggi pada zona inti dan zona wisata, serta tingkat kepatuhan nelayan yang cukup tinggi pada masing-masing desa serta perspektif nelayan tentang zonasi yang berada pada kategori baik. Namun penegakan hukum perlu ditegakan karena masih ditemukannya beberapa kasus nelayan dari luar desa zona wisata masih kedapatan melakukan penangkapan dengan jaring insang dasar di zona wisata Saonek, serta melakukan penangkapan dengan alat pancing di zona inti desa Friwen Hasil analisis data menggunakan MDS mendapatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi pada zona wisata berada pada level berkelanjutan sedangkan pada zona inti dan zona perikanan berada pada level yang kurang berkelanjutan . Untuk zona inti dan zona perikanan dimensi yang berada pada level cukup berkelanjutan hanya ekologi dan lingkungan sedangkan dimensi yang lain, yakni ekonomi, sosial, budaya , dan kelembagaan berada pada level kurang berkelanjutan. Hasil tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan kawasan zona inti dan zona perikanan di KKPD Selat Dampier lebih menonjolkan perlindungan/konservasi terhadap sumberdaya hayati perairan tetapi masih sangat sedikit memberikan perhatian terhadap aspek manusia. Oleh karena itu, untuk mencapai sistem pengelolaan yang berkelanjutan maka harus memberikan fokus yang seimbang bagi semua dimensi. Strategi pengelolaan yang disarankan untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan zona inti, zona wisata dan zona perikanan adalah (1) peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan pada ketiga zona melalui penegakan hukum yang tegas seperti pelarangan kegiatan penggunaan alat tangkap dasar yang merusak sumberdaya terumbu karang; (2) penciptaan pasar yang konstinyu bagi nelayan tangkap dan pemilik homeatay wisata, ; (3) melibatkan nelayan/masayarakat dalam pengeloaan KKP secara aktif , serta sinergnitas intra/antar lembaga di setiap stakeholder KKP Selat Dampier. Keyword:Kawasan konservasi, ikan karang, efektivitas zonasi, keberlajutan dan strategi pengelolaan
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Potential of Adenostemma lavenia, A. madurense, and A. platyphyllum as Antimicrobials: Metabolomics, In silico and In vitro Approaches, and Extraction Optimization Abstrak:Adenostemma (legetan warak) secara tradisional digunakan sebagai ramuan obat untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti radang paru-paru, pneumonia, demam, hepatitis, inflamasi, luka pada kulit, dan gangguan kesehatan mulut. Senyawa diterpenoid kaurena hasil isolasi A. lavenia mampu menginduksi ekspresi protein antioksidan Heme Oxygenase (HO-1) melalui faktor transkripsi Nuclear Factor-E2-Related Factor 2 (NRF2) pada sel melanoma mencit yang diusulkan sebagai salah satu target seluler bagi penyembuhan pasien Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Namun, belum ada penelitian mengenai potensi antimikroba dari Adenostemma. Maka, fokus penelitian ini adalah mengkaji potensi antimikroba khususnya antivirus dan antibakteri terhadap tiga spesies Adenostemma yang paling sering diteliti, yaitu A. lavenia, A. madurense, dan A. platyphyllum melalui pendekatan metabolomik, in silico, dan in vitro, serta optimasi ekstraksi. Penelitian ini dibagi dalam lima tahap, yaitu (1) literature review mengenai genus Adenostemma, (2) evaluasi karakter morfologi, fenolik, dan flavonoid pada tiga spesies Adenostemma (3) uji in silico antivirus COVID 19, (4) pemprofilan metabolit tiga spesies Adenostemma dengan pendekatan metabolomik dan uji in silico antibakteri, (5) optimasi ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak teraktif antibakteri secara in vitro. Kajian literatur mengenai genus Adenostemma menunjukkan bahwa A. lavenia, A. madurense, dan A. platyphyllum merupakan spesies Adenostemma yang paling sering diteliti dan dilaporkan. Beberapa laporan mengenai kandungan senyawa kimia dan bioaktivitasnya telah dipublikasi seperti antioksidan, anti-inflamasi, antimelanogenesis, dan antitumor, tetapi bioaktivitas lain seperti antimikroba belum pernah dilaporkan. A. lavenia terdapat di beberapa provinsi di Indonesia, tetapi belum dibudidayakan secara luas. A. madurense dan A. platyphyllum memiliki morfologi yang mirip dengan A. lavenia, dilaporkan memiliki senyawa aktif berpotensi antibakteri. Hasil evaluasi karakter morfologi mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan ciri morfologi pada ketiga spesies Adenostemma. Panjang dan lebar daun, tinggi tanaman dan jarak antar nodus dapat digunakan sebagai kriteria seleksi penting untuk menentukan jenis Adenostemma tinggi kandungan fenolik dan flavonoid. Senyawa fenolik dan flavonoid merupakan metabolit sekunder yang memiliki potensi antimikroba. A. lavenia mengandung total fenolik dan total flavonoid tertinggi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk memperoleh sediaan biofarmaka Adenostemma yang tinggi kandungan fenolik dan flavonoidnya, untuk dimanfaatkan sebagai pangan fungsional dan obat herbal. Pada kajian potensi senyawa-senyawa diterpenoid kaurena sebagai antivirus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) melalui pendekatan in silico menunjukkan bahwa senyawa diterpena kaurena glikosida dan adenostemmoside B memiliki aktivitas penghambatan terbaik terhadap protein SARS CoV-2 dan lebih tinggi dibandingkan obat antivirus seperti remdesivir dan favipiravir. Simulasi dinamika molekul menunjukkan hampir semua kompleks ligan-protein stabil. Analisis ADMET menunjukkan semua diterpenoid kaurena diserap oleh usus manusia dengan baik, nonkarsinogenik, dan tidak menyebabkan mutasi pada DNA. Hasil studi ini dapat menjadi informasi awal untuk penelitian lebih lanjut dalam pengembangan obat antivirus baru. Penelitian selanjutnya, hasil analisis profil metabolit ketiga spesies Adenostemma dengan pendekatan metabolomik menggunakan LC-MS/MS menunjukkan 35 metabolit berhasil diidentifikasi secara putatif. Hampir semua senyawa tersebut pertama kali dilaporkan terkandung dalam Adenostemma. Analisis kemometrik berhasil mengelompokkan metabolit yang berbeda diantara ekstrak, yang menunjukkan variasi kimia yang signifikan di tiap spesies. Uji in silico antibakteri menunjukkan bahwa asam dikafeoilkuinat memiliki afinitas pengikatan terbaik terhadap Staphylococcus aureus UDP-GlcNAc 2-epimerase, pektolinarigenin terhadap Escherichia coli UDP-3O-(3- hidroksimiristoil)glukosamin-N-asiltransferase, dan eriodiktiol 7-O-soforosida terhadap Pseudomonas aeruginosa pyochelin sintase PchD. Simulasi dinamika molekuler menunjukkan bahwa semua kompleks ligan-protein stabil. Pektolinarigenin dan eriodiktiol 7-O-soforosida (flavonoid) diidentifikasi memiliki persentase luas puncak kromatogram tertinggi pada A. lavenia, sedangkan persentase luas puncak asam dikafeoilkuinat (fenolik) tertinggi di A. platyphyllum. Hasil analisis profil metabolit Adenostemma tidak menunjukkan adanya senyawa asam ent-6-11-dihidroksi-15-okso 16-kauren-19-oat β-D-glukopiranosil ester dan adenostemmosida B yang memiliki potensi antivirus SARS-CoV-2. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya tidak dilakukan uji in vitro antivirus. Hasil analisis profil dan in silico menjadi dasar untuk optimasi ekstraksi guna memperoleh ekstrak teraktif antibakteri secara in vitro. Pada tahap akhir, ekstraksi serbuk simplisia daun A. lavenia dan A. platyphyllum menggunakan metode Microwave Assisted Extraction (MAE) dan optimasi ekstraksi menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Methodology, RSM) dengan desain eksperimen Box-Behnken Design. Didapatkan kondisi optimum ekstraksi A. lavenia adalah pada konsentrasi etanol 75%, rasio simplisia terhadap pelarut 1:15, dan waktu ekstraksi 3 menit. Kondisi optimum tersebut menghasilkan respon rendemen 15,89%, kandungan total fenolik 49,49 mg GAE/g ekstrak, kandungan total flavonoid 25,66 mg QE/g ekstrak, zona hambat terhadap S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa berturut-turut, yaitu 7,01; 1,45; dan 2,52 mm. Kondisi optimum ekstraksi A. platyphyllum adalah pada konsentrasi etanol 58%, rasio simplisia terhadap pelarut 1:7, dan waktu ekstraksi 3 menit. Kondisi optimum tersebut menghasilkan respon rendemen 15,29%, kandungan total fenolik 42,84 mg GAE/g ekstrak, kandungan total flavonoid 28,82 mg QE/g ekstrak, zona hambat terhadap S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa berturut-turut, yaitu 2,83; 1,62; dan 1,68 mm. Hasil verifikasi kondisi optimum yang direkomendasikan menghasilkan respon yang sesuai prediksi dan metode yang digunakan valid. Aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan oleh ekstrak A. lavenia terhadap S. aureus, yaitu aktivitas sedang hingga kuat. Hasil uji in vitro antibakteri tersebut sesuai dengan hasil prediksi in silico. Dengan demikian, pendekatan metabolomik dan in silico mampu memprediksi bioaktivitas antibakteri. Penelitian lebih lanjut perlu dikembangkan, diantaranya pengujian in silico terhadap berbagai protein pada bakteri tersebut, dan melakukan isolasi senyawa target pada Adenostemma untuk lebih menegaskan bioaktivitasnya., Adenostemma (known as legetan warak) is traditionally used as a herbal remedy for diseases caused by bacteria, such as lung inflammation, pneumonia, fever, hepatitis, inflammation, skin wounds, and oral health disorders. The isolated diterpenoid kaurene compounds from Adenostemma lavenia have demonstrated the induction of Heme Oxygenase (HO-1) antioxidant protein expression through the Nuclear Factor-E2- Related Factor 2 (NRF2) transcription factor in mouse melanoma cells. This suggests their potential as cellular targets for treating patients with Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). However, there is limited research on the antimicrobial potential of Adenostemma. Therefore, this study explored the antimicrobial potential, especially antiviral and antibacterial properties, of three frequently studied Adenostemma species: A. lavenia, A. madurense, and A. platyphyllum. This exploration employs metabolomic, in silico, and in vitro approaches, along with extraction optimization. The research was divided into five phases: (1) literature review on the genus Adenostemma, (2) evaluation of morphological, phenolic, and flavonoid characteristics of the three Adenostemma species, (3) in silico analysis for COVID-19 antiviral activity, (4) metabolite profiling of the three Adenostemma species using metabolomic approaches and in silico antibacterial analysis, and (5) extraction optimization for obtaining the most active antibacterial extract in vitro. A literature review on the genus Adenostemma revealed that A. lavenia, A. madurense, and A. platyphyllum are the most studied and reported species. Some reports on their chemical compounds and bioactivities, such as antioxidants, anti-inflammatory, antimelanogenesis, and antitumor properties, have been published. However, their antimicrobial bioactivity has not been reported. A. lavenia was found in several provinces in Indonesia but has not been extensively cultivated. A. madurense and A. platyphyllum, with morphological similarities to A. lavenia, were reported to contain potentially antibacterial active compounds. Morphological character evaluation exhibited differences among the three Adenostemma species. Leaf length and width, plant height, and internodal distance were important selection criteria for determining Adenostemma species with high phenolic and flavonoid content. Phenolic and flavonoid compounds are secondary metabolites with antimicrobial potential. A. lavenia contains the highest total phenolics and total flavonoids. The results of this research were expected to be valuable information for obtaining Adenostemma biopharmaceutical preparations with high phenolic and flavonoid content for use as a functional food and herbal medicine. The investigation into the potential of diterpenoid kaurene compounds as Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) antivirals through in silico approaches showed that kaurene glycoside and adenostemmoside B had the best inhibitory activity against the SARS-CoV-2 protein, surpassing established antiviral drugs like remdesivir and favipiravir. Molecular dynamics simulations indicated the stability of almost all ligand-protein complexes. ADMET analysis showed that all kaurene diterpenoids are well-absorbed by the human intestine, non-carcinogenic, and do not induce DNA mutations. These findings served as preliminary information for further research in developing new antiviral drugs. Subsequent research involved the analysis of metabolite profiles of the three Adenostemma species using LC-MS/MS metabolomics. Based on these results, 35 putative metabolites were identified, many of which have not been previously reported in Adenostemma species. Chemometric analysis revealed separate clusters for the three species, confirming the substantial chemical differences between their extracts. In silico antibacterial analysis showed that dicaffeoylquinic acid had the strongest binding for Staphylococcus aureus UDP-GlcNAc 2-epimerase (PDB ID:5ENZ). Eriodictyol 7-O sophoroside and pectolinarigenin exhibited the best docking scores for Pseudomonas aeruginosa pyochelin synthase PchD (PDB ID:7TYB) and Escherichia coli LpxD acyltransferase (PDB ID:6P86) respectively. Molecular dynamics simulations revealed that all ligand-protein complexes were stable. Pectolinarigenin and eriodictyol 7-O sophoroside (flavonoids) were identified with the highest peak area percentage in A. lavenia, while caffeoylquinic acid (phenolics) has the highest peak area percentage in A. platyphyllum. The profiling analysis did not show the presence of compounds such as ent-6-11-dihydroxy-15-oxo-16-kauren-19-oic acid β-D-glucopyranosyl ester and adenostemmoside B, which have potent SARS-CoV-2 antiviral properties. Therefore, in vitro antiviral analysis was not carried out in the subsequent research. The profiling and in silico analysis results served as a basis for extraction optimization to obtain the most active antibacterial extracts in vitro. In the final phase, powdered leaves of A. lavenia and A. platyphyllum was extracted using microwave-assisted extraction (MAE), and extraction optimization was performed using response surface methodology (RSM) with Box-Behnken design experimental design. The optimal extraction conditions for A. lavenia were determined to be 75% ethanol concentration, a 1:15 ratio of simplicia to solvent, and a 3-minute extraction time. These conditions produced a yield of 15.89%, a total phenolic content of 49.49 mg GAE/g extract, a total flavonoid content of 25.66 mg QE/g extract, and inhibition zones against S. aureus, E. coli, and P. aeruginosa of 7.01, 1.45, and 2.52 mm, respectively. Meanwhile, the optimal extraction conditions for A. platyphyllum were determined to be 58% ethanol concentration, a 1:7 ratio of simplicia to solvent, and a 3-minute extraction time. These conditions produced a yield of 15.29%, a total phenolic content of 42.84 mg GAE/g extract, a total flavonoid content of 28.82 mg QE/g extract, and inhibition zones against S. aureus, E. coli, and P. aeruginosa of 2.83; 1.62; and 1.68 mm, respectively. The verification of the recommended optimum conditions showed that responses were consistent with predictions, validating the method used. The A. lavenia extract demonstrated the best antibacterial activity against S. aureus (moderate to strong activity). The in vitro antibacterial results aligned with the in silico predictions, demonstrating the predictive capability of metabolomics and in silico approaches for antibacterial bioactivity. Further research is needed, including in silico analysis against various proteins in these bacteria and the isolation of target compounds in Adenostemma to confirm their bioactivity further. Keyword:Adenostemma, antibakteri, antivirus, optimasi ekstraksi, profil metabolit, Adenostemma, antibacterial, antiviral, extraction optimization, metabolite profile
Judul: Antiproliferative and Antioxidant Compounds from Acacia auriculiformis and Acacia crassicarpa Woods Abstrak:Eksplorasi senyawa aktif alami semakin banyak diminati seiring dengan perkembangan teknologi yang lebih maju dalam penemuan obat baru. Genus Acacia merupakan genus cepat tumbuh dan tersebar luas di dunia termasuk di Indonesia. Acacia auriculiformis dan A. crassicarpa adalah dua spesies Acacia yang ditemukan di Indonesia. Kedua spesies tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang baik dibandingkan 3 spesies lain (A. mangium, A. leucophloea, dan A. deccurens) pada studi sebelumnya. Informasi terkait pemanfaatan kayu teras dari kedua spesies sangat sedikit termasuk komponen senyawanya. Aktivitas yang baik dari kayu teras kedua spesies tersebut menunjukkan adanya kemungkinan potensi aktivitas lain yang berkaitan dengan antioksidan dan stress oksidatif yakni kanker. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi kayu teras dan komponen zat ekstraktif dari A. auriculiformis dan A. crassicarpa untuk pengembangan bahan baku obat. Tahapan pengujian dalam penelitian dibagi menjadi tiga, yakni identifikasi senyawa secara metabolomik, prediksi senyawa bioaktif secara in silico, serta isolasi dan elusidasi senyawa bioaktif. Bagian daun, kulit, dan kayu teras diekstraksi dengan metanol dan diidentifikasi profil zat ekstraktif yang berkorelasi terhadap aktivitas antioksidan dan antiproliferasi melalui pendekatan metabolomik berbasis kromatografi cair spektrometri massa. Senyawa hasil prediksi metabolomik selanjutnya dipilih lebih lanjut menggunakan penautan molekul secara in silico. Senyawa yang terprediksi berdasarkan dua pendekatan tersebut dijadikan sebagai senyawa target dalam isolasi dan elusidasi struktur molekulnya. Tiga uji antioksidan in vitro yang digunakan adalah radikal 2,2-difnil-1-pikrilhidrazil, radikal 2,2'-azino-bis(asam 3-etilbenzotiazolina-6-sulfonat) dan kemampuan reduksi dengan uji ferric reducing antioxidant power. Sel kanker yang digunakan dalam uji antiproliferasi adalah sel kanker kolon (WiDr) dan payudara (MCF-7). Elusidasi struktur molekul pada isolat senyawa menggunakan spektrometri massa dan resonans magnetik inti. Ekstrak kayu teras memiliki potensi terbaik dibandingkan ekstrak lainnya. Kayu teras A. crassicarpa memiliki aktivitas antioksidan terbaik serta antiproliferasi terbaik. Selain itu, kayu teras A. auriculiformis menunjukkan potensi antioksidan yang baik dan antiproliferasi yang cukup baik. Profil zat ekstraktif yang dikaitkan dengan aktivitas antioksidan dan antiproliferasi pada pendekatan metabolomik mengidentifikasi senyawa penanda dengan korelasi tinggi berupa senyawa flavonoid serta turunannya berupa flavonoid termetilasi. Senyawa-senyawa ini berhasil diidentifikasi secara tentatif dan memiliki bobot molekul dengan kisaran 272–320. Secara kelimpahan, senyawa-senyawa penanda ini banyak terdapat di bagian kayu teras Analisis penautan molekul secara in silico berhasil memprediksi senyawa-senyawa dengan aktivitas penautan terbaik terhadap 3 reseptor kanker kolon, 3 reseptor kanker payudara, dan 2 reseptor stress oksidatif. Senyawa dengan potensi terbaik untuk kanker kolon adalah 3',4',7,8-tetrahidroksiflavanon, 7-O-glukosida kuersetin, dan 3-(3,4-dihidroksibenzil)-7-hidroksichroman-4-on. Senyawa dengan potensi terbaik untuk kanker payudara adalah auriculosida dan 3-(3,4-dihidroksibenzil)-7-hidroksichroman-4-on. Sementara itu, senyawa dengan potensi terbaik untuk stress oksidatif adalah 7-O-glukosida kaempferol dan cis-3,4’,7,8-tetrahidroksiflavanon. Penentuan senyawa dengan potensi terbaik dari A. auriculiformis dan A. crassicarpa menghasilkan senyawa dengan bobot molekul 272, 286, 288 dan 290 Da (flavonoid) dari kayu teras A. auriculiformis serta senyawa dengan bobot molekul 288, 300, 302, dan 316 Da (flavonoid dan flavonoid termetilasi) dari A. crassicarpa menunjukkan potensi penautan yang baik terhadap reseptor kanker dan stress oksidatif. Isolasi dan elusidasi senyawa menghasilkan 6 isolat senyawa dari kayu teras A. auriculiformis dan 7 isolat senyawa dari A. crassicarpa. Beberapa senyawa tersebut merupakan senyawa yang telah ditargetkan sebelumnya dengan melihat bobot molekul dari puncak kromatogram. Senyawa tersebut adalah (E)-3-(4-hidroksifenil)-1-(2,3,4-trihidroksifenil)prop-2-en-1-on (272 Da) serta teracacidin (290 Da), 3,4’,7,8-tetrahidroksiflavanon (288 Da), dan 4’,7,8-trihidroksiflavon (286 Da) dari kayu teras A. auriculiformis serta (E)-3-(3,4-dihidroksifenil)-1-(2,3,4-trihidroksifenil)prop-2-en-1-on (288 Da), 3’,4’,7,8-tetrahidroksiflavanon (288 Da), 3’,4’,7,8-tetrahidroksiflavonol (302 Da), dan 3-O-metil-3',4',7,8-tetrahidroksiflavon (316 Da) dari kayu teras A. crassicarpa. Terdapat tujuh senyawa yang untuk pertama kalinya diidentifikasi di kedua jenis kayu teras tersebut berupa senyawa kalkon, flavonoid termetilasi, dan biflavonoid. Secara umum, semua isolat senyawa memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik dibandingkan asam askorbat dan troloks, serta beberapa isolat memiliki aktivitas antiproliferasi yang juga baik dibandingkan dengan kontrol positif (capecitabine)., Exploration of natural active compounds is increasingly in demand along with more advanced technological developments in the discovery of new drugs. The Acacia genus is a fast-growing genus and is widely distributed in the world, including in Indonesia. Acacia auriculiformis and A. crassicarpa are two Acacia species found in Indonesia. These two species had good antioxidant activity compared to the other 3 species (A. mangium, A. leucophloea, and A. deccurens) in the preliminary study. There is limited information regarding the utilization of heartwood from the two species including their phytochemical components. The good activity of the heartwood of the two species indicates the possibility of other potential activities related to antioxidants and oxidative stress, namely cancer. Therefore, the purpose of this study was to identify the potential of heartwood and extractive components from A. auriculiformis and A. crassicarpa for the development of medicinal raw materials. The stages of testing in this research were divided into three, namely identification of compounds using metabolomic approach, prediction of bioactive compounds using in silico approach, and isolation and elucidation of bioactive compounds. The leaves, barks and heartwoods were extracted with methanol and the potent extractive compounds as antioxidant and antiproliferative were identified using a liquid chromatography mass spectrometry based metabolomic. Marker compounds resulting from metabolomic predictions were further selected using in silico. The predicted compound based on the two approaches was used as the target compound in the isolation and elucidation of its molecular structure. Three in vitro antioxidant tests used were 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl radicals, 2,2'-azino-bis(3-ethylbenzothiazoline-6-sulfonic acid) radicals and reducing ability with the ferric reducing antioxidant power assay. The cancer cells used in the antiproliferation test were colorectal (WiDr) and breast (MCF-7) cells. The molecular structures of isolated compounds were elucidated using mass spectrometry and nuclear magnetic resonance. Heartwood extracts have the best potential compared to other extracts. A. crassicarpa heartwood possessed the best antioxidant and antiproliferative activity. In addition, the heartwood of A. auriculiformis showed good antioxidant and antiproliferative activity. The predicted extractive compounds with antioxidant and antiproliferative activities in the metabolomics were dominated with flavonoid and their derivatives (methylated flavonoids). These compounds were tentatively identified and had molecular weights in the range of 2720]]–320 Da. Based on the relative abundance, these marker compounds were dominantly found in the heartwood. In silico molecular docking analysis succeeds in predicting the compounds with the best binding activity against 3 colorectal cancer receptors, 3 breast cancer receptors, and 2 oxidative stress receptors. Potent compounds for inhbiting the colorectal cancer receptors were 3',4',7,8-tetrahydroxyflavanone, 7-O-glucoside quercetin, and 3-(3,4-dihydroxybenzyl)-7-hydroxychroman-4-one. Potent compounds for inhbiting the breast cancer receptors were auriculoside and 3-(3,4-dihydroxybenzyl)-7-hydroxychroman-4-one. Meanwhile, Potent compounds for inhbiting the stress oxidative receptors were 7-O-glucoside kaempferol and cis-3,4',7,8-tetrahydroxyflavanone. Potent compounds from A. auriculiformis had molecular weights of 272, 286, 288 and 290 Da (flavonoids). Meanwhile, potent compounds from A. crassicarpa consisted of compounds with molecular weights of 288, 300, 302 and 316 Da (flavonoids and methylated flavonoids). These compounds were used as the compound target for isolation and elucidation. Isolation and elucidation stage yields 6 isolated compound from A. auriculiformis heartwood and 7 isolated compounds from A. crassicarpa heartwood. Some of these compounds were the compound which previously targeted (based on in silico prediction) by looking at the molecular weights from the peaks of the chromatograms. These compounds were (E)-3-(4-hidroxyphenyl)-1-(2,3,4-trihydroxyphenyl)prop-2-en-1-on (272 Da) and teracacidin (290 Da), 3,4',7,8-tetrahydroxyflavanone (288 Da), and 4',7,8-trihydroxyflavone (286 Da) from the heartwood of A. auriculiformis and (E)-3-(3,4-dihidroxyphenyl)-1-(2,3,4-trihydroxyphenil)prop-2-en-1-on (288 Da), 3',4',7,8-tetrahydroxyflavanone (288 Da), 3',4',7,8-tetrahydroxyflavonol (302 Da), and 3-O-methyl-3',4 ',7,8-tetrahydroxyflavone (316 Da) from the heartwood of A. crassicarpa. There were seven compounds identified for the first time in both types of heartwood, namely chalcone compounds, methylated flavonoids, and biflavonoids. In general, all of the isolated compounds had very good antioxidant activity compared to ascorbic acid (vitamin C) and trolox, and some isolated compounds had good antiproliferative activity compared to the positive control (capecitabine). Keyword:elusidasi, flavonoid, in silico, in vitro, isolasi, metabolomik
Judul: Budget deficits, government debt and fiscal sustainability: application of vector error correction model Abstrak:Buruknya kinerja deficit anggaran dan utang perintah sejak krisis ekonomi telah membuat kondisi fiscal menjadi unsustainab;e. Indikatornya, pemerintah tidak mampu membayar angsuran pokok utang dari sumber dananya sendiri melainkan dari penarikan pinjaman baru. Pemerintah cenderung membiarkan saja defisit terjadi dan membiayainya melalui pinjaman baru. Hal ini membuat ketergantungan deficit utang menjadi sangat tinggi. Sehingga untuk mengatasinya, pada saat yang sama harus mengatasi utang dan sebaliknya. Seandainya tingkat ketergantungan kedua variable tersebut tidak setinggi kenyataannya, upaya mengatasi kedua masalah tersebut akan jauh lebih mudah. Keyword:
Judul: Four Essays on Optimal Sustainable and Shariah Investment in Indonesia Abstrak:Sustainable Responsible Investment (SRI) is expected to provide not only financial and social impact but also sustainable benefits in the long run. An investor must consider between the fund performance and volatility in a crisis. This study will try to fill the above-mentioned gaps focusing on how sustainable and Shariah investment in Indonesia can achieve the SDGs by developing various strategic options to optimize the portfolio model from 2009 to 2020. The first essay aims to compare the performance with the ratio of Sharpe versus Coefficient Variance (CV) and to estimate the determinants and correlations between the return and volatility of SRI and Shariah considered to be another kind of ethical index. The framework also applies the ARIMA model and the volatility- asymmetric model with additional exchange rate and crisis-period data to determine the return and volatility of each index, which is generalized by the Asymmetric E- GARCH. The study showed that only SRI-KEHATI and LQ45 were affected by the highest volatility during the Covid-19 crisis. The impact of the exchange rate and the consequences of the recession on yields and uncertainty is insignificant on Sharia, which is applicable to the high-risk and high-return theory. The second essay discusses the reaction of mixture variables to the ESG Index in Indonesia's business climate since Environmental, Sustainable Governance (ESG) as another perspective of the Sustainable Responsible Investment Index (SRI) is on a global trend. The VAR VECM model was used to research the relationship between the ESG and other endogenous variables: Dow Jones index, Fed rate, JCI index, exchange rate, and BI-rate. The market-based impact analysis on Indonesia's SRI Index will not only benefit investors' portfolio and risk management plans, but will also have significant implications for regulators, in particular the Financial Services Authority (FSA or OJK) of Indonesia and the Bank of Indonesia. The third essay reveals that SRI-KEHATI has the highest average risk and return among others. It also demonstrates that SRI-KEHATI is ideally suited to gain financial, social and ethical returns at the same time. We also find from the Mann- Whitney and Kruskal-Wallis U test that one of the reasons for the success of SRI- KEHATI is the major allocation to the four major banks. There is a significant difference between SRI-KEHATI and the results of the four banks that have been market movers all the while, so investors can choose a cherry pick approach that focuses on those stocks instead. The fourth essay innovates the replacement of the SRI-KEHATI and JII index members with two Islamic bank stocks shown that their performance is superior with manageable risk. The return of the Shariah SKEHATI index is higher than the return of the previous SRI-KEHATI index with a lower standard deviation. This also means that two Islamic banks boost return and remove mafsadat, purifying the SRI-KEHATI Index to become more Sharia. The addition of two Islamic bank stocks in the Jakarta Islamic Index has raised the return, variance, and standard deviation in the same Shariah universe. Granger Causality's results concluded that Shariah is significantly the leading predictor and clear superiority as JII is continuously Granger caused SRI-KEHATI and modified SRI-KEHATI, whereas the modified JII only affects the modified SRI-KEHATI. These results are the signals of improvements towards achieving SDGs. Keyword:equity, shariah, stability, sustainable responsible investment, volatility
Judul: Pengaruh Lingkungan, Sosial, Tata Kelola terhadap Keputusan Investasi dan Kinerja Saham di Indonesia pada Periode Pandemi Abstrak:Indonesia merupakan negara yang peduli akan adanya isu pemanasan global dan permasalahan lingkungan, sehingga untuk mengurangi permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi hijau (green investment). Wujud kesungguhan pemerintah dalam hal mewujudkan investasi bertanggungjawab sosial dan lingkungan di pasar modal Indonesia, Bursa Efek Indonesia bekerjasama dengan Yayasan KEHATI menerbitkan green index bernama Indeks Saham Sustainable and Responsible Investment (SRI-KEHATI) yang diluncurkan pada tanggal 8 Juni 2009. Pada Desember 2020 Bursa Efek Indonesia kembali mengeluarkan indeks saham yang berpedoman pada prinsip Environmental, Social dan Governance (ESG), yang diberi nama indeks saham ESG Leaders. Kinerja indeks SRI-Kehati dan ESG Leaders menunjukkan bahwa kinerja yang lebih baik baik daripada indeks IHSG secara keseluruhan dan indeks LQ45. Berdasarkan latar belakang tentang pentingnya melihat faktor Environmental, Social, dan Governance (ESG) oleh seorang investor dalam pengambilan keputusan investasinya, serta mempertimbangkan faktor fundamental perusahaan berupa kinerja keuangan dan faktor makroekonomi pada penilaian kinerja saham. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh ESG score, kinerja keuangan perusahaan, dan faktor makro ekonomi terhadap kinerja saham ESG pada periode sebelum dan selama terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia; mengidentifikasi profil demografi investor yang menginvestasikan di saham kategori ESG dan menganalisis perbedaan demografi investor saham ESG dan Non-ESG; serta menguji dan menganalisis pengaruh faktor Environmental, Social, Governance, dan tujuan investasi terhadap keputusan investasi serta menguji dan menganalisis fungsi moderasi rentang waktu investasi pada pengaruh faktor Environmental, Social, dan Governance terhadap keputusan investasi. Penelitian ini adalah experiment dan explanatory research. Sampel penelitian adalah sebanyak 415 invertor dan 26 perusahaan dari 26 perusahaan non-bank yang terdaftar pada indeks Sri Kehati dan IDX ESGLeaders pada tahun 2015 hingga 2020. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada investor pasar saham Bursa Efek Indonesia. Data sekunder yang digunakan berupa data skor ESG, laporan keuangan perusahaan, makroekonomi, dan harga saham perusahaan. Dalam penelitian ini terdapat 3 model penelitian, yang pertama adalah model yang menunjukkan pengaruh variabel ESG score, kinerja keuangan perusahaan, dan faktor makro ekonomi terhadap kinerja saham ESG pada periode sebelum dan selama terjadi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Model kedua menunjukkan pengaruh variabel profil demografi investor terhadap keputusan investasi pada saham ESG dan Non-ESG. Model ketiga adalah menunjukkan pengaruh faktor Environmental, Social, Governance, tujuan investasi, dan fungsi moderasi rentang waktu investasi terhadap keputusan investasi. Metode penelitian yang digunakan dalam model pertama menggunakan Regresi Panel, model kedua adalah Chi-Square test, serta model ketiga menggunakan metode Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya variabel Debt to Equity Ratio yang berpengaruh positif signifikan terhadap return saham, sedangan variabel skor ESG, Return on Asset, ukuran perusahaan, tingkat perubahan harga mata uang rupiah terhadap dollar AS, suku bunga, inflasi, perubahan harga minya dunia, pertumbuhan produk domestic bruto, dan periode pandemi covid-19 di Indonesia tidak berpengaruh terhadap return saham. Faktor demografi, usia, pendidikan terakhir, pendapatan, dan pekerjaan berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan investasi. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara investor saham ESG dan non-ESG. Faktor gender tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara investor saham ESG dan non- ESG. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan investasi pada saham ESG atau non-ESG, investor pria dan wanita memiliki varians yang sama. Investor pria dan wanita memiliki persentase kepemilikan saham ESG yang sama jika dibandingkan dengan saham non-ESG. Investor, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kebijakan pengambilan keputusan investasi yang juga memperhatikan faktor ESG. Hasil penelitian ini memberikan gambaran profil demografis investor yang berminat saham ESG di Bursa Efek Indonesia dan memberikan analisis perbedaan investor saham ESG dan non-ESG berdasarkan faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, pendapatan, dan pekerjaan investor. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan investasi seorang investor pada saham-saham berindeks ESG adalah faktor isu tata kelola (governance), isu lingkungan (environmental) dan sosial (social). Tujuan investasi investor baik dengan tujuan mendapatkan capital gain dan mendapatkan dividen juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan investasi investor. Variabel jangka waktu investasi baik jangka waktu pendek, menengah dan panjang terbukti secara signifikan memengaruhi keputusan investasi investor. Kebaruan penelitian (novelty) penelitian ini adalah penelitian ini mendeskripsikan profil demografi investor yang melakukan investasi saham pada indeks kategori ESG di pasar modal Indonesia, menggunakan variabel investment horizon sebagai rentang waktu investasi jangka panjang, jangka menengah, atau jangka pendek dalam memoderasi hubungan antara variabel faktor ESG dan pengambilan keputusan investasi saham, menggunakan variabel periode investasi sebelum dan saat terjadinya pandemi COVID-19 di Indonesia sebagai variabel kontrol keputusan investasi saham. Keyword:Indonesia, Lingkungan, Pandemi, Sosial, Tata Kelola, Environmental, Governance, Indonesia, Pandemic
Judul: Detection system development using camera for lemon orange (Citrus Medica) manipulator Abstrak:This research aim to develop detection system using charged coupled device (CCD) camera as a censor that the results are expected to be used by manipulator of the lemon fruit harvesting robot. To achieve the purpose, the research was made to develop detec tion algorithm of lemon fruit, formula developing of object three dimensional position, and experiment determination of three dimensional lemon position on the plants. Keyword:
Judul: Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) selection for adaptation to shade stress Abstrak:Tujuan penelitian ini ialah 1) memperoleh informasi karakter morfologi dan agronomi plasma nutfah talas untuk memilih klon-klon sebagai bahan seleksi terhadap toleransi naungan; 2) menganalisis kekerabatan antar plasma nutfah talas; 3) memperoleh informasi tentang mekanisme adaptasi plasma nutfah talas terhadap rutinitas cahaya rendah; 4) melakukan verivikasi daya adaptasi klon talas toleran naungan dalam sistem tumpangsari/tanaman sela dengan tanaman karet yang belum menghasilkan (TBM). Keyword:
Judul: Drought Tolerance of Diploid, Triploid and Tetraploid Taro (Colocasia esculenta (L.)Schott) Abstrak:Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) telah lama dikenal masyarakat sebagai salah satu sumber pangan lokal sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif. Pengembangan talas untuk peningkatan produktivitas dan adaptasi terhadap lahan kering sebagai dampak perubahan iklim dan pemanasan global perlu dilakukan guna mendukung ketahananan pangan nasional. Poliploidisasi dapat menjadi salah satu metode untuk pemuliaan talas yang terkendala oleh pembungaan untuk hibridisasi talas. Klon-klon talas tetraploid hasil induksi poliploidisasi berpeluang besar untuk dilepas sebagai varietas unggul. Perubahan jumlah kromosom berpengaruh terhadap karakteristik morfologi, anatomi, fisiologi, dan molekuler tanaman. Poliploid menunjukkan efek gigas melalui peningkatan ukuran sel akibat tambahan salinan gen yang mengarah pada peningkatan produksi, perubahan kandungan metabolit sekunder, peningkatan karakter agronomi serta toleransi terhadap cekaman lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi karakter morfologi, anatomi, molekuler, tingkat toleransi serta metabolit klon-klon talas diploid, triploid, dan tetraploid yang terkait toleransi terhadap cekaman kekeringan. Penelitian ini terdiri atas empat percobaan. Percobaan pertama yaitu karakterisasi morfologi, anatomi dan molekuler klon-klon talas diploid, triploid dan tetraploid. Percobaan kedua adalah uji toleransi kekeringan secara in vitro menggunakan PEG (polyethylene glycol). Percobaan ketiga adalah uji toleransi kekeringan secara in vivo di rumah kaca dengan perlakuan interval penyiraman. Percobaan keempat adalah analisis profil metabolit talas pada kondisi cekaman kekeringan di rumah kaca berdasarkan analisis pyrolysis GCMS. Klon-klon talas yang diuji yaitu klon Bentul diploid, Bentul tetraploid, Kaliurang diploid, Kaliurang tetraploid dan Bolang triploid. Klon Bentul tetraploid dan Kaliurang tetraploid merupakan hasil induksi poliploid, sedangkan klon Bolang triploid merupakan hasil mutasi secara alami. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa keragaman habitus tanaman, helai daun, petiol dan stolon atau sucker yang terkait dengan tingkat ploidi. Analisis klaster karakter morfologi menghasilkan keragaman sebesar 32 %. Karakterisasi anatomi menunjukkan bahwa perbedaan tingkat ploidi mempengaruhi ketebalan organ dan jaringan tetapi tidak mengubah komposisi jaringan daun, petiol dan akar. Karakterisasi molekuler menggunakan primer ISSR menunjukkan persentase polimorfisme 100 % pada primer UBC-22, UBC-64 dan UBC-65. Analisis keragaman terhadap 91 pita polimorfik menghasilkan keragaman sebesar 20 %. Beberapa fragmen DNA yang spesifik telah dihasilkan dari ketiga primer tersebut yang dapat digunakan untuk pengembangan seleksi molekuler pada talas diploid dan poliploid. Uji toleransi kekeringan secara in vitro menggunakan PEG menghambat pertumbuhan dan mempengaruhi fisiologi kultur tunas talas. Penurunan relatif 50 % ditunjukkan pada konsentrasi PEG 10 % sebagai ambang batas konsentrasi untuk uji toleransi dan penentuan sensitivitas kekeringan talas secara in vitro. Hasil uji toleransi menunjukkan karakter seleksi yang berkorelasi positif dan kuat adalah panjang petiol, jumlah akar, bobot segar dan bobot kering, kandungan fenolik total, kandungan prolin, kadar air, dan kerusakan membran. Berdasarkan nilai indeks sensitivitas kekeringan, klon diploid termasuk kategori sensitif sedangkan klon tetraploid dan triploid termasuk kategori moderat. Cluster heatmap memisahkan klon-klon talas dalam tiga kelompok sesuai tingkat ploidinya. Uji toleransi kekeringan secara in vivo di rumah kaca menggunakan perlakuan interval penyiraman menunjukkan pertumbuhan tanaman yang terhambat dan mempengaruhi respon fisiologinya. Penurunan relatif 50 % ditunjukkan oleh interval penyiraman tujuh hari sekali sebagai ambang batas interval penyiraman untuk uji toleransi dan penentuan sensitivitas kekeringan talas secara in vivo di rumah kaca. Karakter seleksi yang berkorelasi positif dan kuat adalah jumlah daun, jumlah anakan, diameter pangkal petiol, bobot segar dan bobot kering tanaman, tajuk, umbi, jumlah akar, panjang akar dan bobot kering akar. Berdasarkan nilai indeks sensitivitas kekeringan, klon diploid termasuk kategori sensitif sedangkan klon tetraploid dan triploid termasuk kategori moderat. Cluster heatmap membagi lima klon talas dalam tiga kelompok sesuai tingkat ploidinya. Uji toleransi secara in vivo dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil uji toleransi secara in vitro, sehingga untuk mengetahui signifikansi antara kedua metode uji toleransi tersebut, maka dilakukan uji t-independent. Uji t-independent menghasilkan p-value: 0,2971 yang artinya tidak ada perbedaan antara uji toleransi secara in vitro dan secara in vivo. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menilai korelasi antara kedua metode uji. Analisis korelasi Pearson menghasilkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,82 yang artinya kedua metode uji memiliki korelasi positif dan kuat. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka uji toleransi secara in vitro dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat toleransi atau sensitivitas talas terhadap cekaman kekeringan. Uji toleransi secara in vitro dapat memberikan informasi awal tentang respon tanaman terhadap cekaman lingkungan. Analisis metabolomik menggunakan py-GCMS berhasil mendeteksi 205 metabolit tanaman talas pada kondisi kontrol dan cekaman. Perbedaan tingkat ploidi mempengaruhi tingkat toleransi setiap klon talas yang diuji serta perlakuan cekaman kekeringan mempengaruhi komposisi metabolit yang terdeteksi. Terdapat 21 metabolit yang terkait dengan toleransi tanaman talas terhadap perlakuan cekaman kekeringan, tiga metabolit diantaranya (glycolaldehyde dimer, neophytadiene dan diethyl oxalate) menunjukkan korelasi yang kuat terhadap karakter jumlah daun, panjang akar, jumlah akar, dan diameter pangkal petiol. Glycolaldeyde dimer berkorelasi positif dengan jumlah daun (r=0,94), neophytadiene berkorelasi positif dengan panjang akar (r= 0,84), sedangkan diethyl oxalate berkorelasi negatif dengan diameter pangkal petiol (r= -0,98) dan jumlah akar (r= -0,82). Berdasarkan data metabolit yang telah diperoleh, maka metabolit glycolaldehyde dimer dan neophytadiene dapat digunakan sebagai kontrol positif sedangkan metabolit diethyl oxalate dapat digunakan sebagai kontrol negatif untuk seleksi talas toleran cekaman kekeringan., Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) has long been recognized by the community as a local food source, and thus has the potential to be developed as an alternative food. To increase productivity and adaptation to drylands because of climate change and global warming, taro development must be undertaken to support national food security. Polyploidization represents a potential method for taro breeding, although it is constrained by the requirement for flowering in taro hybridization. Tetraploid taro clones resulting from polyploidization induction have the potential to be released as superior varieties. Changes in chromosome number have been demonstrated to affect the morphological, anatomical, physiological, and molecular characteristics of plants. Polyploids exhibit a gigas effect, characterized by increased cell size due to the presence of additional gene copies, which results in enhanced production, alterations in secondary metabolite content, improvements in agronomic traits, and tolerance to environmental stress. The objective of this study was to evaluate the morphological, anatomical, molecular, tolerance level, and metabolites of diploid, triploid, and tetraploid taro clones associated with tolerance to drought stress. The research was conducted in four experiments. The first experiment of the study involved the morphological, anatomical, and molecular characterization of diploid, triploid, and tetraploid taro clones. The second experiment of the experiment involved a drought tolerance test in vitro using polyethylene glycol (PEG). The third experiment was the in vivo drought tolerance test in the greenhouse with a watering interval treatment. The fourth experiment was the analysis of taro metabolite profiles under drought stress conditions in the greenhouse based on pyrolysis GCMS analysis. The results of the characterization study indicate that the diversity of plant habitus, leaf blade, petiole, and stolon or sucker was related to the level of ploidy. A cluster analysis of the morphological characters yielded a diversity of 32 %. Anatomical characterization revealed that different levels of ploidy affected organ and tissue thickness, but did not alter leaf, petiole, and root tissue composition. Molecular characterization using ISSR primers revealed a 100 % polymorphism rate for primers UBC-22, UBC-64, and UBC-65. The analysis of 91 polymorphic bands yielded a diversity index of 20 %. Several specific DNA fragments have been generated from the three primers, which can be employed in the development of molecular selection in diploid and polyploid taro. The in vitro drought tolerance test using PEG inhibits growth and affects the physiology of taro shoot culture. A relative decrease of 50 % was shown by a threshold concentration of 10 % PEG as the concentration for a tolerance test and the determination of drought sensitivity of taro in vitro. The results of the tolerance test demonstrated that the selection characters that exhibited a positive and strong correlation were petiole length, number of roots, fresh weight, dry weight, total phenolic content, proline content, moisture content, and membrane damage. The drought sensitivity index value was employed to categorize the clones, with diploid clones classified as sensitive, tetraploid and triploid clones classified as moderate. The cluster heatmap divided the taro clones into three groups according to their ploidy level. In vivo drought tolerance tests conducted in a greenhouse using watering intervals demonstrated a significant inhibition of plant growth and a corresponding alteration in physiological responses. A relative decrease of 50% was observed in the seven-day watering interval, which was identified as the threshold interval for the tolerance test and determination of drought sensitivity of taro in vivo in the greenhouse. The selection characters that were positively and strongly correlated included the number of leaves, number of tillers, petiole base diameter, fresh weight and dry weight of plants, shoots, tubers, number of roots, root length and root dry weight. The drought sensitivity index value was employed to categorize the clones, with diploid clones classified as sensitive, tetraploid, and triploid clones classified as moderate. The cluster heatmap divided the five taro clones into three groups according to their ploidy level. The in vivo tolerance test was conducted to confirm the results of the in vitro tolerance test. The objective was to determine the significance between the two tolerance test methods. To this end, an independent t-test was conducted. The t-independent test yielded a p-value of 0.2971, indicating that there is no statistically significant difference between the in vitro and in vivo tolerance tests. Further analysis was conducted to assess the correlation between the two test methods. A Pearson correlation analysis yielded a correlation coefficient value of 0.82, indicating a positive and strong correlation between the two test methods. The results of this analysis indicate that the in vitro tolerance test can be employed to estimate the level of tolerance or sensitivity of taro to drought stress. In vitro tolerance tests can provide preliminary information about the plant responses to environmental stress. Metabolomic analysis, conducted using py-GCMS, successfully identified 205 metabolites in taro plants subjected to control and stress conditions. The ploidy level of each taro clone exhibited a differential impact on its tolerance level, while the drought stress treatment influenced the composition of the metabolites detected. A total of 21 metabolites have been identified as being associated with the tolerance of taro plants to drought stress treatment. Of these, three (glycolaldehyde dimer, neophytadiene and diethyl oxalate) show a strong correlation with the number of leaves, root length, number of roots, and petiole base diameter. The glycolaldehyde dimer is positively correlated with the number of leaves (r = 0.94), neophytadiene is positively correlated with root length (r = 0.84), while diethyl oxalate is negatively correlated with petiole base diameter (r = -0.98) and number of roots (r = -0.82). The metabolite data obtained can be used to identify glycolaldehyde dimer and neophytadiene as positive controls for drought stress tolerance in taro, while diethyl oxalate can be used as a negative control. Keyword:cekaman kekeringan, Colocasia esculenta (L.)Schott, poliploidisasi, tetraploid, triploid, drought stress
Judul: Dampak komposisi belanja pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan Abstrak:Komposisi belanja pemerintah Indonesia setelah krisis ekonomi 1997 semakin didominasi oleh belanja rutin. Jika sebelum krisis rata-rata proporsi belanja rutin sebesar 60 persen dan belanja pembangunan 40 persen, namun pada tahun 2010 belanja rutin hampir mencapai 80 persen. Peningkatan porsi belanja rutin tersebut, awalnya merupakan konsekuensi dampak dari krisis. Sebagaimana diketahui, krisis telah mengakibatkan tingginya inflasi, tingkat suku bunga dan depresiasi nilai tukar. Pada tahun 1998 inflasi mencapai 77 persen, suku bunga SBI 3 bulan mencapai 50 persen dan Rupiah terdepresiasi hingga berada pada level Rp9 875 per dollar (235 persen). Instabilitas sektor moneter tersebut tentunya berpengaruh pada belanja rutin Pemerintah, utamanya untuk belanja gaji pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang. Selama enam (6) tahun terakhir kondisi makro ekonomi Indonesia relatif berada dalam kondisi yang stabil. Selama 2006-2010 rata-rata tingkat inflasi sudah kembali berada pada kisaran 6.8 persen, suku bunga SBI 3 bulan sekitar 8.7 persen dan nilai tukar relatif stabil berada pada kisaran Rp9 499 per dolar. Namun demikian porsi belanja rutin Pemerintah tetap terus mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar pada belanja subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. Selama 2006-2010, belanja subsidi rata-rata meningkat sebesar 19.7%, terutama untuk subsidi BBM. Kenaikkan subsidi BBM disebabkan oleh peningkatan konsumsi BBM rata-rata 5 persen per tahun. Pada tahun 2010 konsumsi BBM Indonesia sekitar 1.3 juta barel per hari. Sementara produksi kilang minyak Indonesia rata-rata hanya mencapai sekitar 700 ribu barel per hari. Indonesia merupakan negara importer neto BBM, sementara harga BBM ditentukan oleh Pemerintah (administered Price). Akibatnya ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia kebutuhan subsidi menjadi membengkak. Demikian juga belanja pegawai rata-rata meningkat sebesar 22.48 persen. Peningkatan ini disamping dipicu oleh inflasi juga didorong adanya kebijakan pemekaran wilayah sehingga jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengalami peningkatan drastis. Disisi lain defisit anggaran yang dibiayai dengan utang, telah berdampak pada meningkatnya akumulasi utang pemerintah, sehingga porsi beban pembayaran bunga utang mencapai 14.7 persen dari total belanja pusat. Tingginya beban belanja rutin tersebut berakibat belanja modal hanya mendapatkan porsi sekitar 12.5 persen, sehingga sangat terbatas untuk dapat membiayai pembangunan infrastruktur. Proporsi belanja modal tersebut jelas tidak ideal, apalagi jika dibandingkan dengan proporsi belanja modal negara-negara lain. Malaysia mempunyai porsi belanja modal mencapai 31 persen, Thailand 20.2 persen, dan Vietnam 28.4 persen. Kondisi ini menyebabkan ruang fiskal hanya berkisar 4-5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rendahnya ruang..dst Keyword:kebijakan fiskal, keseimbangan fiskal, dampak ekonomi, pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah
Judul: Efisiensi penggunaan energi dan kebutuhan untuk hidup pokok pada ayam broiler dan ayam tipe petelur serta hubungannya dengan pembentukan lemak tubuh Abstrak:Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian Tahap I bertujuan untuk menentukan angka kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam broiler dan ayam petelur tipe medium dalam dua periode umur serta untuk menentukan efisiensi penggunaan energi. Penelitian Tahap II adalah untuk menentukan kelebihan energi di atas kebutuhan energi untuh: hidup pokok yang dibentuk menjadi lemak tubuh sebagai salah satu syarat untuk menentukan kualitas karkas. Keyword:
Judul: Pendugaan kebutuhan energi metabolis dan protein ayam broiler berdasarkan hasil pemberian makanan cara kafetaria Abstrak:Telah dilakukan penelitian di Fakultas Peternakan IPB Bogor, bertujuan menggali informasi seberapa jauh kemampuan ayam broiler dengan perilaku dan pengalamannya ikut menentukan menyusun ransum memenuhi kebutuhannya. Ransu yang disusun tidak saja berdasarkan kandungan nutriennya tetapi juga berdasarkan selera ayam diduga akan lebih efektif penggunaannya. Ransum yang disusun bagaimanapun baiknya akan gagal memenuhi fungsinya bila tidak dimakan atau di tolak. Ransum sempurna adalah ransum yang cukup mengandung nutrien dan disukai ayam. Berdasarkan hasil hipotesa yang didapatkan ,ditetapkan perlunya modifikasi penyusunan dan penyediaan ransum untuk meningkatkan keefektifan dan keefisienan penggunaan ransum sesuai kondisi lingkungan khas Indonesia. Keyword:
Judul: Strategi mitigasi tsunami berbasis ekosistem mangrove dalam aplikasi pemanfaatan ruang pantai timur Pulau Weh Abstrak:Pulau Weh located in the path of earthquake zone is an area vulnerable to disasters that can be followed by a tsunami earth quake. Geological disasters which occurred on 24 December 2004 with magnitude 9.0MW power resulted in lost of lives and properties, and damage to mangrove ecosystems, especially on the eastern side of Pulau Weh which is facing the Teluk Loh Pria Laot. The impacts of tsunami on mangrove ecosystem namely lodging, uprooting and breaking. The purposes of this study are:1.Mapping of after tsunami land cover and land use to identify the damage caused by the tsunami inundation, 2. Mapping mangrove ecosystem after tsunami in Taman Wisata Alam Alur Paneh, Teluk Boih, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1,Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong, 3.Creating a distribution model based on run up, 4. Creating a level of vulnerability to tsunami hazards, 5. Developing mitigation strategies to reduce tsunami hazards by optimizing the local carrying capacity including increasing the density of mangrove ecosystems and expanding the area of mangrove ecosystems. To know the spread of inundation tsunami, a model builder as one of the GIS applications is used. In this research a run up of 30 meter is applied to know the extent of the inundation distribution that can occur in the land use. The composition of total puddle area of 427.9633 ha is as follows: Mangrove forests: 39,7549 ha, Forest of 303,0701 ha, Vegetation: 25,6609 ha, Land Built: 6,1840 ha, Open land: 53,0234 ha and the area not affected by the tsunami: 568, 4441 ha. Mitigation efforts were carried out by mangrove vegetation. The inundation was reduced to 290.7681 ha with the distribution of mangrove vegetation. Inundation was still there on the east coast of Weh Island, then as mitigation strategies to reduce inundation are by planting mangroves to 102 meters ocean ward and increasing the mangrove ecosystem density to 15 trees per 100m2. Keyword:Tsunami inundation, mangrove carrying capacity, mitigation strategy, Mangrove Ecosystem, Spatial Utilization, East Coast, Weh Island
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: The economic impact of international tourism in Indonesian economy: an econometric and input-output analysis approach Abstrak:Pariwisata telah berperan penting dalam perekonomian Indonesia khususnya karena wisatawan mancanegara yang membawa devisa dari luar negeri. Di sisi lain penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri juga membelanjakan uangnya di luar negeri. Ini akan mempengaruhi neraca pariwisata yang selama ini masih surplus. Penelitian ini menunjukkan bahwa surplus neraca pariwisata cenderung menurun di mana peningkatan jumlah penduduk yang pergi ke luar negeri beserta pengeluarannya lebih cepat jika dibandingkan dengan peningkatan jumlah wisman yang masuk ke Indonesia beserta uang yang mereka belanjakan. Dengan menggunakan model ekonometrika penelitian ini juga mengidentifikasi variable-variabel yang mempengaruhi jumlah wisman datang ke Indonesia maupun penduduk yang pergi ke luar negeri beserta uang yang mereka belanjakan. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) adalah salah satu variabel penting yang mempengaruhi pariwisata internasional di Indonesia selain harga pariwisata Indonesia maupun harga pariwisata negara tetangga sebagai pesaing Indonesia. Keyword:
Judul: Pemanfaatan Pelepah Sawit Sebagai Bahan Baku Papan Zephyr Abstrak:Pelepah sawit adalah limbah padat dari kebun kelapa sawit. Bahan ini mempunyai potensi yang sangat baik sebagai bahan baku papan bio-komposit antara lain papan zephyr karena merupakan bahan berlignoselulosa. Kendala pemanfaatan pelepah sawit sebagai bahan baku papan zephyr adalah adanya perbedaan dimensi bagian pangkal sampai ke ujung. Selain itu dalam pembuatan papan zephyr dibutuhkan keseragaman tebal dan lebar pada helaian zephyr penyusun lembarannya. Lembaran zephyr tersusun dari helaian zephyr yang panjang dengan ketebalan yang tidak merata dalam suatu ikatan tanpa putus. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan papan zephyr dari limbah pelepah sawit (Elais guenensis Jacq) yang layak digunakan sebagai bahan bangunan. Penelitian terdiri dari lima tahapan yang dimulai dengan kegiatan karakterisasi sifat dasar pelepah sawit berdasarkan pembagian pelepah (pangkal, tengah, dan ujung). Sifat dasar ini meliputi komponen kimia, sifat fisis-mekanis dan anatomi pelepah sawit. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan informasi perbedaan sifat mekanis, anatomi dan kandungan kimia dari bagian pangkal, tengah dan ujung pelepah. Manfaat dari penelitian ini dimaksud untuk menganalisis perubahan sifat pelepah sawit dari bahan alami menjadi papan zephyr dan problematika yang dapat menjadi kendala dalam proses pembentukan papan zephyr yang berkualitas. Determinasi sifat dasar ini meliputi sifat fisis-mekanis (berat jenis/kerapatan, kadar air, MOE dan MOR). Analisis sifat anatomi pelepah sawit, meliputi bentuk, sebaran dan jumlah ikatan pembuluh dan diameter dinding sel. Determinasi kandungan kimia pelepah sawit meliputi kandungan selulosa, hemiselulosa, lignin, kadar abu dan ekstraktif. Berdasarkan pembagian pelepah sawit tersebut dilanjutkan dengan perbedaan jumlah ulangan penggilasan untuk mendapatkan helaian zephyr yang berdimensi seragam dan tanpa putus. Penelitian tahap kedua adalah pembuatan papan zephyr dengan membedakan bagian pelepah sawit (pangkal, tengah dan ujung) pada jumlah penggilasan yang berbeda. Indikator yang digunakan untuk penilaian kualitas papan zephyr adalah parameter sifat fisis dan mekanis yang dbandingkan dengan standar JIS A5908 (JAS 2003) serta ketahanan terhadap serangan rayap SNI 01.7207 (BSN 2006) Hasil terbaik dari penelitian tahap kedua dilanjutkan dengan penelitian tahap ketiga yaitu mengeksplorasi pengaruh arah atau orientasi pelapisan lembaran zephyr dan pengaruh jenis perekat terhadap kualitas papan zephyr. Upaya meningkatkan estetika papan zephyr dengan menguji ketahanan lapisan finishing pada permukaan papan zephyr terhadap pengaruh kimia rumah tangga (saos, kecap, air panas, sabun) dan hasilnya dibandingkan dengan standar ASTM D 1308-02, serta pengujian ketahanan atau daya lekat bahan finishing terhadap kayu (ASTM D 3359-02). Selanjutnya dilakukan pengujian ketahanan terhadap serangan rayap SNI 01.7207-2006. Tahap akhir penelitian ini adalah membandingkan kualitas papan zephyr yang menggunakan perekat urea 6 formaldehida dengan papan komersial lain seperti kayu lapis, papan partikel dan papan blok yang tersedia di pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepah sawit mempunyai sifat asam (pH6.1), kerapatan 0.27-0.46 g cm⁻³ dengan kandungan air yang tinggi > 400 % dengan penyusutan 18-49 %. Mempunyai perbedaan sifat mekanis pada bagian ujung sampai pangkal dengan nilai MOE 1629-4147 kg cm⁻², MOR 64.37-110.64 kg cm⁻² dan kekerasan 91.9-125.9 kg cm⁻². Terdapat perbedaan sifat fisis dan mekanis yang signifikan pada pelepah sawit. Pelepah sawit sebagai bahan berlignoselulosa disusun oleh tiga elemen utama yaitu pembuluh kayu yang terdiri dari sklerenkim dan pembuluh, ikatan serat dan jaringan dasar berupa sel-sel yang bersifat parenkimatis. Diameter ikatan pembuluh antara 522.84- 909.90 μm dimana ukurannya pada bagian pangkal 702.99-909.90 μm, tengah 526.0-748.8 μm, dan ujung 522.84-739.82 μm. Jumlah ikatan pembuluh antara 15-17 per mm². Kandungan kimia seperti selulosa 39.53-43.19%, holoselulosa 76.86-82.45 %, lignin 13.61-20.54%. Determinasi sifat ini menjadi dasar analisis perubahan sifat fisis-mekanis papan zephyr. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa terjadi perubahan sifat fisis mekanis yang signifikan dari pelepah sawit menjadi papan zephyr. Pemberian bahan perekat phenol formaldehida sebanyak 12% dalam sebuah proses kempa pada tekanan 25 kg cm⁻² dan suhu 120⁰ C selama 10 menit menunjukan bahwa pelepah sawit dapat menjadi papan zephyr yang berkualitas. Perbedaan jumlah/ulangan penggilasan untuk mendapatkan homogenitas helaian zephyr menunjukkan bahwa pada penggilasan 5 dan 6 kali diperoleh kualitas papan yang relatif sama, akan tetapi secara visual penggilasan 5 kali menghasilkan helaian zephyr yang tidak terputus. Analisis lanjut dari perbedaan penggilasan memperlihatkan sebaran dan luas void yang terbentuk pada papan zephyr relatif sangat kecil. Hasil uji sifat fisis dan mekanis papan zephyr ini dapat memenuhi standar JIS A 5908(JAS 2003) dan papan zephyr terhadap serangan rayap kayu kering termasuk kelas ketahanan I-II (sangat tahan-tahan). Eksplorasi pemanfaatan pelepah sawit menjadi papan zephyr yang berkualitas dilanjutkan dengan menguji sifat fisis dan mekanis papan dengan perbedaan jenis perekat dan orientasi pelapisan zephyr pelepah dengan menggunakan pelepah sawit 5 kali penggilasan dan proses kempa dibuat sama dengan kadar perekat 12%, hasilnya dibandingkan dengan standar JIS A 5908 (JAS 2003) type 18. Hasil rangkaian penelitian menyatakan bahwa pelepah sawit dengan ulangan penggilasan 5 kali tanpa membedakan bagian pelepah dapat dijadikan papan zephyr yang berkualitas baik berdasarkan standar JIS A 5908 (2003) type 18. Pola pelapisan pada arah pelapisan sejajar dari zephyr pelepah sawit direkomendasikan daripada arah bersilangan. Sedangkan jenis perekat dapat dipilih sesuai dengan tujuan penggunaan papan zephyr. Upaya peningkatan kualitas papan zephyr dengan memberikan lapisan finishing memberian hasil yang sangat baik. Uji kelayakan kualitas papan zephyr pelepah sawit dibandingkan dengan papan komersial lain menunjukkan bahwa papan zephyr dengan perekat UF mempunyai kelas yang sama dengan kayu lapis dengan kerapatan 0.81 g.cm⁻³. Keyword:pelepah sawit, papan zephyr, sifat fisis-mekanis, finishing Remove
Judul: Model Ekonomi Kesejahteraan Nelayan Perikanan Tangkap (Studi Kasus Multispecies dan Multigear) Abstrak:Masyarakat pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura) sebagian besar melakukan aktivitas ekonomi perikanan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Laut Jawa telah terindikasi mengalami overfishing karena jumlah armada penangkapan telah melebihi kapasitas sumberdaya perikanan tersebut. Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan beberapa kebijakan yang menimbulkan polemik antara pro dan kontra. Salah satu kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menimbulkan polemik tersebut adalah Permen KP No. 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine net) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kebijakan pelarangan pukat hela dan pukat tarik tersebut kemudian disempurnakan dengan Permen KP No. 71/PERMEN-KP/2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Berkaitan regulasi tersebut maka setiap penggunan alat tangkap perikanan yang dilarang menjadi kategori perikanan ilegal. Para pelaku usaha perikanan tangkap pukat hela dan pukat tarik pada intinya menginginkan alat tangkap tersebut tetap diperbolehkan untuk digunakan dalam menangkap ikan. Para nelayan perikanan tangkap demersal yang menggunakan pukat hela dan pukat tarik beranggapan seharusnya bukan ditutup sama sekali untuk digunakan (pelarangan), namun lebih baik dilakukan pembatasan. Pembatasan akan memberikan ruang bagi nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan demersal yang akan mati secara alamiah apabila tidak dimanfaatkan masyarakat. Pembatasan tersebut dapat berupa pembatasan jumlah alat yang boleh dioperasikan, jumlah tangkapan yang diijinkan, berdasarkan musim atau pembatasan penangkapan yang tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan dalam jangka panjang dan keberlanjutan kesejahteraan nelayan. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Mengkaji kesejahteraan nelayan perikanan tangkap demersal skala kecil di Provinsi Jawa Tengah; (2) Mendesain model dinamika multispecies dan multigear pengelolaan perikanan tangkap demersal skala kecil di Provinsi Jawa Tengah; (3) Membangun skenario kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap demersal di Provinsi Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dengan metode analisis yaitu model bioekonomi dan model dinamis multispecies-multigear. Penelitian menggunakan data primer yang dikumpulkan pada saat dilakukan penelitian dan data sekunder dari data statistik yang diterbitkan secara resmi oleh lembaga terkait. Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Tengah yang merupakan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 712 yakni pada perikanan tangkap demersal menggunakan pukat hela dan pukat tarik. Analisis model surplus produksi dilakukan terhadap model Schaefer, Fox, Walter-Hilborn dan CYP terhadap data udang yang ditangkap menggunakan pukat hela dan pukat tarik serta ikan demersal yang ditangkap menggunakan pukat hela dan pukat tarik serta ikan demersal yang ditangkap menggunakan payang. Model Walter-Hilborn memberikan nilai statistik yang baik dibandingkan model lainnya seperti kesesuaian tanda, nilai R2, uji F dan uji T. Selanjutnya dilakukan desain model dinamis ekonomi kesejahteraan perikanan tangkap demersal dengan analisis bioekonomi multispecies dan multigear. Total surplus produsen nelayan skala kecil yang menggunakan pukat sebesar Rp.57,24 milyar per tahun sedangkan payang sebesar Rp.32,25 milyar per tahun di pesisir utara Provinsi Jawa Tengah. Upah Minimum Provinsi (UMP) di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp.1,59 juta per bulan. Oleh karena itu dapat terlihat bahwa kesejahteraan nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat lebih tinggi (10% di atas UMP) dibandingkan kesejahteraan nelayan yang menggunakan alat tangkap payang (70% dibawah UMP). Hal ini yang menyebabkan nelayan perikanan tangkap demersal enggan beralih menggunakan alat tangkap lain selain pukat sehingga sesuai dengan kondisi lapang bahwa pukat masih sangat banyak digunakan sampai saat ini. Model dinamis pada kondisi baseline, produksi udang mengalami peningkatan sampai tahun 2021 dengan jumlah produksi 6.457 ton, kemudian mengalami penurunan sampai akhir periode dengan jumlah produksi 58 ton pada tahun 2040. Total produksi ikan mengalami peningkatan sampai tahun 2022, kemudian mengalami penurunan dan mencapai steady state pada jumlah produksi 104.000 ton. Rente pukat lebih tinggi dibandingkan rente payang. Rente pukat tertinggi terjadi pada tahun 2022 sebesar Rp.828 milyar dan mencapai steady state sebesar Rp.400 milyar. Rente payang tertinggi terjadi pada tahun 2017 sebesar Rp.201 milyar, kemudian terus mengalami penurunan. Rata-rata penurunan rente payang periode 2015-2040 sebesar 14% per tahun dengan penurunan yang semakin kecil, sehingga rente payang pada tahun 2040 menjadi Rp.5,68 milyar. Simulasi yang dilakukan adalah penghapusan jumlah pukat (Permen KP No 2 Tahun 2015 dan Permen KP No 71 Tahun 2016), pengurangan jumlah pukat 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%. Kebijakan terbaik adalah skenario dengan pengurangan jumlah pukat sebanyak 20% yang memberikan nilai optimal dengan jumlah biomas sebesar 278.922 ton per tahun dan total rente sebesar Rp.659,1 milyar. Kebijakan pengurangan jumlah pukat sebanyak 20% tetap dapat melestarikan sumberdaya udang dan ikan, namun tetap memberikan manfaat optimal bagi nelayan yang ditunjukkan tingginya total rente dari seluruh skenario. Kebijakan penghapusan jumlah pukat merupakan skenario pilihan terakhir walaupun menghasilkan total biomas paling tinggi sebesar 347.496 ton, namun menghasilkan total rente paling rendah sebesar Rp.256,3 milyar dari keseluruhan skenario. Keyword:bioekonomi, ikan demersal, kesejahteraan, nelayan kecil, Jawa Tengah, model multispecies-multigear, sistem dinamis
Judul: Evaluasi Ekonomi Kebijakan Moratorium Perizinan Kapal Eks Asing terhadap Sumberdaya Perikanan Demersal di Wilayah Pengelolaan Perikanan 718. Abstrak:Status pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Laut Arafura sudah pada tingkat pemanfaatan penuh, maka pengelolaan perikanan harus dilakukan secara hati-hati. Pembatasan jumlah penangkapan (limited entry) merupakan salah satu upaya untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya perikanan. Kebijakan limited entry yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia adalah tidak memberikan perpanjangan izin dan menerbitkan izin baru bagi kapal perikanan milik asing atau milik pengusaha Indonesia yang bekerjasama dengan asing (kapal perikanan eks asing) untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Dengan kebijakan tersebut, sebanyak seribu lebih kapal perikanan eks asing tidak dapat beroperasi. Kebijakan moratorium perizinan kapal perikanan eks asing telah menyebabkan turunnya produksi perikanan di beberapa pelabuhan terutama pelabuhan perikanan pangkalan kapal yang melakukan penangkapan ikan di WPP 718. Sebanyak 59% kapal yang terdampak kebijakan moratorium, melakukan penangkapan ikan di WPP 718. Alat tangkap yang digunakan oleh kapal tersebut adalah pukat ikan, pukat udang, jaring insang oseanik dan purse seine. Pukat ikan dan pukat udang meliputi 92% dari jumlah kapal eks asing di WPP 718 dengan target tangkapan ikan ekonomis penting seperti udang dan kakap. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis status pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal di WPP 718. 2) Menganalisis dinamika pemanfaatan perikanan demersal di WPP 718 pada kondisi tidak adanya kebijakan moratorium. 3) Menganalisis dampak kebijakan moratorium perizinan kapal eks asing terhadap pemanfaatan perikanan demersal di WPP 718 dan 4) Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan demersal di WPP 718 setelah adanya kebijakan moratorium perizinan kapal eks asing. Cakupan penelitian ini meliputi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718 (Laut Aru, Laut Arafuru/Arafura, Laut Timor bagian Timur). Secara administratif tercakup dalam wilayah Provinsi Papua, Papua Barat dan sebagian Maluku. Pemilihan WPP 718 sebagai lokasi penelitian karena sebagian besar kapal perikanan yang terkena dampak kebijakan moratorium kapal eks asing melakukan operasi penangkapan ikan di WPP 718. Potensi sumberdaya perikanan tertinggi diantara 11 wilayah pengelolaan perikanan terdapat di WPP 718. Penelitian berlangsung mulai dari Juni 2016 sampai dengan Maret 2018. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Kapal eks asing yang terdampak kebijakan moratorium menggunakan alat tangkap pukat dengan target tangkapan adalah ikan demersal. Analisis model surplus produksi dilakukan terhadap model Schaefer, Fox, Walter-Hilborn dan CYP. Model Walter-Hilborn memberikan nilai R2 yang paling tinggi dan kesesuain tanda yang tepat, sedangkan model yang lainnya memiliki nilai R2 lebih rendah (Schaefer dan Fox) dan ketidaksesuain tanda (CYP). Tingkat optimal yang digunakan mengacu pada nilai maximum economic yield (MEY). Tingkat eksploitasi optimal secara ekonomi (MEY) yaitu 4.393 unit jumlah kapal setara kapal dengan alat tangkap pancing rawai dasar 75 GT, produksi 188.725 ton per tahun dan rente 4,41 triliun rupiah. Kebijakan moratorium menyebabkan semakin rendahnya tingkat pemanfaatan ikan demersal di WPP 718. Kebijakan moratorium kapal eks asing menyebabkan jumlah biomas lebih tinggi dibandingkan kondisi baseline dan kondisi optimal, jumlah pertumbuhan ikan lebih kecil dan tingkat kematian alami ikan menjadi lebih tinggi. Untuk memanfaatkan perikanan pada kondisi optimal, maka diperlukan penambahan jumlah kapal untuk meningkatkan eksploitasi sehingga pertumbuhan ikan menjadi optimal dan tingkat kematian alami menjadi lebih rendah. Dalam menangani rendahnya tingkat pemanfaatan ikan demersal di WPP 718 pada kondisi baseline dan adanya kebijakan moratorium, maka penelitian ini merekomendasikan untuk melakukan penambahan jumlah kapal pancing rawai. Jumlah kapal yang disarankan adalah sebanyak 1.910 unit dengan penambahan yang dilakukan secara bertahap. Total penambahan sampai dengan 1.910 unit tercapai pada tahun 2030 dengan memerlukan tambahan investasi sebesar 1,82 triliun rupiah. Tahapan penambahan jumlah kapal ini dilakukan sebesar unit tertentu dengan tetap menjaga rente perikanan paling tinggi. Dengan adanya penambahan jumlah kapal sebanyak 1.910 unit sampai tahun 2030, maka produksi mengalami peningkatan sebesar 36.511 ton. Penerimaan juga mengalami peningkatan sebesar 1,78 triliun rupiah serta rente perikanan mengalami peningkatan 490 miliar rupiah dibandingkan kondisi baseline tahun 2014. Kebutuhan tenaga kerja (ABK) mengalami peningkatan sebesar 32.477 orang sampai dengan tahun 2030 Penambahan kapal dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat dan pihak swasta dengan spesifikasi jenis alat tangkap, ukuran dan teknologi kapal perikanan ramah lingkungan yang sesuai untuk melakukan penangkapan ikan di ZEE 718 dan laut lepas setara 1.910 unit kapal pancing rawai dasar 75 GT. Dalam memperlancar aktivitas penangkapan ikan di WPP 718 diperlukan tambahan infrastruktur penangkapan seperti pelabuhan, dermaga, fasilitas pendaratan ikan, fasilitas penyimpanan, fasilitas pengolahan dan pemasaran perikanan, sehingga sumberdaya perikanan memberikan manfaat optimal. Keyword:bioekonomi, ikan demersal, kebijakan moratorium kapal eks asing, sistem dinamis, WPP 718
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Stabilitas Klorofil Daun Suji (Dracaena angustifolia (Medik.) Roxb) Abstrak:Klorofil, sebagai pigmen alami, memainkan peranan penting terhadap tampilan warna hijau pada tanaman. Warna hijau klorofil sejak lama telah digunakan sebagai bahan pewarna alami. Jenis klorofil yang umumnya ditemukan pada tanaman adalah klorofil a dan klorofil b. Keduanya memiliki polaritas berbeda karena perbedaan gugus fungsi yang terikat pada strukturnya (-CH3 untuk klorofil a dan -CHO untuk klorofil b). Eksplorasi kandungan klorofil dari berbagai tanaman telah dilakukan, termasuk pada Suji (Dracaena angustifolia (Medik.) Roxb.). Suji terkenal sebagai tanaman penghasil bahan pewarna dan tanaman obat. Belum ada laporan ilmiah yang khusus mempelajari karakteristik klorofil pada daun Suji yang menyebabkan daun suji lebih dipilih sebagai bahan pewarna dibandingkan tanaman sumber klorofil lainnya. Produksi pewarna alami dari klorofil daun Suji pada skala rumah tangga dilakukan dengan menggiling daun dan mengekstraknya menggunakan air. Daun yang digunakan harus segar agar menghasilkan ekstrak dengan warna hijau yang baik. Warna hijau yang baik menandakan kandungan klorofil yang tinggi. Meskipun praktik tersebut telah dilakukan sejak lama, namun penelitian yang melaporkan hubungan antara tingkat kesegaran bahan (daun) dan profil klorofilnya selama penyimpanan belum pernah dilakukan sebelumnya. Klorofil Suji, dan tanaman lain, diketahui mudah sekali terdegradasi karena reaksi enzimatik dan non-enzimatik yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pengolahan dengan panas atau kondisi proses pada pH rendah menyebabkan perubahan pada klorofil yaitu kehilangan atom Mg dan membentuk senyawa turunan feofitin. Degradasi klorofil berlangsung cepat dan menyebabkan struktur klorofil berubah menjadi senyawa turunannya yang tidak lagi berwarna hijau. Pengolahan dengan panas pada sayuran menyebabkan perubahan warna hijau karena degradasi klorofil yang bersifat tidak dapat kembali (irreversible). Stabilitas klorofil pada suhu tinggi dengan waktu pemrosesan yang lama dibutuhkan pada skala pengolahan di industri agar proses yang berlangsung mampu mempertahankan warna produk agar tetap menarik. Upaya paling umum yang dilaporkan mampu mempertahankan warna hijau klorofil adalah melalui pembentukan senyawa metalo-klorofil dengan penambahan logam (Cu atau Zn). Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk mengevaluasi stabilitas klorofil daun Suji. Tujuan tersebut dijabarkan menjadi tiga tujuan khusus, yaitu: (1) mengidentifikasi korelasi antara kadar klorofil a, klorofil b, dan rasionya pada tanaman yang menunjukkan keunggulan daun Suji dibandingkan tanaman lain; (2) mengevaluasi profil stabilitas klorofil daun Suji selama penyimpanan segar; dan (3) mengevaluasi pengaruh penambahan Zn2+ sebagai penstabil terhadap stabilitas klorofil pure daun Suji yang mengalami perlakuan pada suhu tinggi selama waktu tertentu. Spektrum absorbansi daun Suji memperlihatkan bahwa pigmen utama pada daun Suji adalah klorofil a, klorofil b, dan β-karoten. Konsentrasi klorofil daun Suji segar adalah 16.06 g/kg (basis kering, bk). Selama penyimpanan, konsentrasi klorofil turun 22.89% dalam tiga hari pertama, kemudian naik hingga mencapai puncaknya pada hari ke-5 dengan kadar 18.56 g/kg (bk), dan setelah itu kadarnya turun kembali. Tampilan ultragraf menunjukkan bahwa struktur kloroplas pada daun Suji mengalami penyusutan karena kehilangan air selama penyimpanan sebelum akhirnya lisis ke dalam cairan sitosol. Peningkatan konsentrasi klorofil bukan disebabkan oleh adanya sintesis namun diduga karena luruhnya tumpukan grana tilakoid dan adanya klorofil yang terkonsentrasi. Kondisi tersebut mempermudah terjadinya ekstraksi klorofil keluar dari jaringan daun saat terjadi kerusakan fisik dan pemberian gaya mekanik, contohnya saat penggilingan menggunakan blender. Perilaku unik klorofil daun Suji tersebut sejalan dengan profil perubahan rendemennya. Namun, profil perubahan yang terjadi berbeda dengan profil klorofil dalam ekstrak daun Suji. Dengan menggunakan metode ekstraksi tradisional, total klorofil yang diperoleh dalam ekstrak daun Suji segar adalah 0.0389 g/kg (bk) dan kadarnya terus turun menjadi 0.0111 g/kg (bk) setelah 7 hari penyimpanan. Evaluasi terhadap stabilitas klorofil daun Suji dengan penambahan Zn2+ sebagai penstabil dilakukan dalam bentuk pure. Parameter uji yang digunakan adalah profil absorbansi, kandungan klorofil, serta nilai warna hijau (a*) dengan sampel berupa pure C (kontrol, pure daun Suji tanpa Zn) dan pure Zn (pure daun Suji dengan Zn2+). Spektrum absorbansi visual menunjukkan terjadinya efek batokromik pada pure C sedangkan pure Zn mengalami kondisi hipsokromik. Penambahan Zn2+ tidak berpengaruh terhadap kandungan klorofil awal karena secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar klorofil pure daun Suji dan kadar klorofil pure daun Suji yang ditambah Zn. Warna daun Suji tetap hijau ketika disimpan pada suhu 30 °C namun warnanya memudar dan hilang dengan cepat pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi. Fenomena unik terjadi pada pure Zn yang disimpan pada suhu 75 °C. Terjadi perubahan hipsokromik, kadar klorofil menurun, dan perubahan nilai a* yang lebih rendah dibandingkan dengan pure Zn yang disimpan pada suhu lebih rendah dan pure C. Temuan pada tahapan penelitian ini mengindikasikan bahwa penambahan Zn2+ tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki stabilitas klorofil pure daun Suji pada kondisi pengolahan atau penyimpanan di suhu-suhu yang lebih tinggi. Degradasi klorofil pure Zn lebih besar daripada pure kontrol jika dilihat dari selisih kadar klorofilnya. Keyword:degradasi, kloroplas, penyimpanan, pewarna, stabilitas termal, warna hijau
Judul: Kapasitas Antioksidan dan Daya Hipokolesterolemik Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) Abstrak:Klorofil dan beberapa turunannya menunjukkan kemampuan antioksidatif secara in vitro dan ex vivo, serta daya hipokolesterolemik secara in vivo. Kedua aktivitas biologis ini berperan penting dalam menekan aterogenesis. Aterosklerosis dipicu oleh kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) yang teroksidasi. Mengingat ketersediaan klorofil di alam sangat besar, maka perlu adanya kajian manfaat klorofil untuk kesehatan, khususnya dalam menekan kejadian aterosklerosis. Dalam penelitian ini digunakan daun suji jenis minor (Pleomele angustifolia N.E. Brown) sebagai sumber klorofil yang sejak dahulu kala telah digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber pewarna hijau alami untuk pangan dan juga untuk beberapa pengobatan tradisional. Klorofil alami bersifat lipofilik (larut lemak) karena keberadaan gugus fitolnya. Hidrolisis dengan asam atau klorofilase terhadap gugus tersebut akan mengubah klorofil menjadi turunannya yang larut air (hidrofilik), antara lain klorofilid dan klorofilin. Pencernaan secara in vitro dan pengujian tingkat penyerapan dengan menggunakan sel Caco2 menunjukkan bahwa penyerapan klorofilin 6-9 kali lebih besar dibanding klorofil alami. Oleh karena itu, konversi klorofil menjadi bentuk yang larut air diharapkan dapat meningkatkan manfaat biologisnya bagi kesehatan. Keyword:Kardiovaskuler, Klorofil, Reaksi oksidasi
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Dampak pengeluaran pemerintahan terhadap pertumbuhan dan distribusi pendapatan di sumatera utara Abstrak:Desentralisasi fiskal yang ditandai oleh pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola sendiri daerahnya dan meningkatnya dana anggaran ke daerah sebagai wujud adanya desentralisasi fiskal. Penelitian ini bertujuan menganalisis: (1) dampak pengeluaran pemerintah terhadap sektor produksi, institusi rumah tangga, dan nilai tambah faktor produksi, (2) distribusi pendapatan antar rumah tangga, (3) keterkaitan antar sektor, (4) jalur struktural sektor pemerintahan, dan (5) simulasi kebijakan. Model yang digunakan adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dalam bentuk matriks 53 x 53 sektor dan menggunakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan instansi lainnya. Hasil analisis pengganda menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal pengeluaran pemerintah memberikan dampak yang lebih besar terhadap sektor produksi, institusi rumah tangga, dan nilai tambah faktor produksi dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Distribusi pendapatan menunjukkan terjadinya pengurangan ketimpangan pendapatan diantara golongan rumah tangga setelah desentralisasi fiskal. Keterkaitan antar sektor menunjukkan keterkaitan kedepan sektor pemerintahan lebih besar dibandingkan keterkaitan kebelakang. Analisis jaringan struktural pada sektor pemerintahan menunjukkan jalur melalui faktor produksi tenaga kerja memperoleh dampak yang lebih besar terhadap golongan rumah tangga dibandingkan melalui jalur modal. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pengeluaran rutin, pembangunan dan dana dekonsentrasi memberikan dampak positif terhadap sektor produksi, institusi rumah tangga, dan nilai tambah faktor produksi. Artinya, peningkatan pengeluaran pemerintah diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah. Simulasi peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah dan investasi swasta (investasi) untuk sektor tanaman bahan makanan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan sekaligus pemerataan pendapatan atau pro growth with equity. Simulasi peningkatan investasi untuk sektor perkebunan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi belum memberikan pemerataan pendapatan antar rumah tangga. Simulasi peningkatan investasi untuk sektor perikanan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan belum mampu menjadikan sektor ini sebagai salah satu tulangpunggung perekonomian. Simulasi subsidi langsung tunai ke rumah tangga miskin memberikan dampak peningkatkan pendapatan rumah tangga miskin dan pertumbuhan ekonomi atau pro poor growth. Keyword:Government expenditure, Economic growth, Fiscal decentralization, Income distribution, SAM, Linkage between sectors, Structural path
Judul: Dampak pengeluaran pemerintahan terhadap pertumbuhan dan distribusi pendapatan di sumatera utara Abstrak:Desentralisasi fiskal yang ditandai oleh pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola sendiri daerahnya dan meningkatnya dana anggaran ke daerah sebagai wujud adanya desentralisasi fiskal. Penelitian ini bertujuan menganalisis: (1) dampak pengeluaran pemerintah terhadap sektor produksi, institusi rumah tangga, dan nilai tambah faktor produksi, (2) distribusi pendapatan antar rumah tangga, (3) keterkaitan antar sektor, (4) jalur struktural sektor pemerintahan, dan (5) simulasi kebijakan. Model yang digunakan adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dalam bentuk matriks 53 x 53 sektor dan menggunakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan Stansi lainnya. Hasil analisis pengganda menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal pengeluaran pemerintah memberikan dampak yang lebih besar terhadap sektor produksi, institusi rumah tangga, dan nilai tambah faktor produksi dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Distribusi pendapatan menunjukkan terjadinya pengurangan ketimpangan pendapatan diantara golongan rumah tangga setelah desentralisasi fiskal. Keterkaitan antar sektor menunjukkan keterkaitan kedepan sektor pemerintahan lebih besar dibandingkan keterkaitan kebelakang. Analisis ringan struktural pada sektor pemerintahan menunjukkan jalur melalui faktor produksi tenaga kerja memperoleh dampak yang lebih besar terhadap golongan rumah tangga dibandingkan melalui jalur modal. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pengeluaran rutin, pembangunan dan dana dekonsentrasi memberikan dampak positif terhadap sektor produksi, institusi rumah tangga, dan nilai tambah faktor produksi. Artinya, peningkatan pengeluaran pemerintah diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah. Simulasi peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah dan investasi swasta (investasi) untuk sektor tanaman bahan makanan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan sekaligus pemerataan pendapatan atau pro growth with equity. Simulasi peningkatan investasi untuk sektor perkebunan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi belum memberikan pemerataan pendapatan antar rumah tangga. Simulasi peningkatan investasi untuk sektor perikanan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan belum mampu menjadikan sektor ini sebagai salah satu tulangpunggung perekonomian. Simulasi subsidi langsung tunai ke rumah tangga miskin memberikan dampak peningkatkan pendapatan rumah tangga miskin dan pertumbuhan ekonomi atau pro poor growth. Keyword:Pengeluaran pemerintah, Distribusi pendapatan, Keterkaitan antar sektor, Jalur struktural, Desentralisasi fiskal, SNSE
Judul: Chrysantheum B carlavirus (CVB) that infected Chrysanthemum in Indonesia: characterization and development of detection methode Abstrak:Infection of chrysantheum B carlavirus (CVB) in chrysanthemum has reported from many countries where the plants were cultivated. In a survey of chrysanthemum growing fields (and greenhouse) in Cianjur regency, West Java, Indonesia, some chrysanthemum cultivars exhibited a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves; and color breaking of flowers. Keyword:biological characters, molecular characters, serological technique, electron microscopy analysis, West java
Judul: Distribusi, Karakterisasi Molekuler, dan Pengelolaan Terpadu Virus pada Kacang Tanah (Arachis hypogaea L) Di Sulawesi Selatan. Abstrak:Kacang tanah ditanam secara luas di Indonesia sepanjang tahun secara monokultur dan sebagai tanaman sela. Sulawesi Selatan merupakan provinsi penghasil kacang tanah terbesar kedua di luar Jawa, setelah Nusa Tenggara Barat. Sejak tahun 2016, luas dan produksi kacang tanah mengalami penurunan di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. Penyebaran infeksi virus tanaman merupakan salah satu faktor penyebab penurunan produksi. Informasi keberadaan dan sebaran virus-virus pada kacang tanah seperti Peanut mottle virus (PMoV), Bean common mosaic virus strain peanut stripe virus (BCMV-PSt), Peanut mosaic virus (PMV), Cowpea mild mottle carlavirus (CPMMV), dan Peanut bud necrosis virus (PBNV) masih terbatas di Pulau Jawa. Virus yang telah dilaporkan menginfeksi kacang tanah di Sulawesi Selatan adalah BCMV-Pst, namun keberadaan virus lainnya belum diketahui. Pengelolaan virus pada kacang tanah mengandalkan penggunaan insektisida. Penelitian bertujuan untuk menentukan jenis, frekuensi, sebaran, identitas virus yang menginfeksi kacang tanah di Sulawesi Selatan; memperoleh identitas molekuler virus yang dominan dan virus yang belum pernah dilaporkan menginfeksi pada tanaman kacang tanah di Provinsi Sulawesi Selatan; mengidentifikasi faktor-faktor pemicu perkembangan penyakit virus kacang tanah; dan mengkaji efektivitas beberapa paket pengelolaan virus tular kutudaun secara terpadu pada kacang tanah di lapangan. Survei dan sampel tanaman bergejala diambil dari pertanaman kacang tanah yang terdapat pada 8 kabupaten. Frekuensi dan sebaran virus diketahui berdasarkan hasil deteksi secara serologi dengan metode dot immunobinding assay (DIBA) dan diidentifikasi menggunakan teknik Next Generation Sequencing (NGS) dan dikonfirmasi dengan menggunakan metode Reverse transcription - Polymerase Chain Reaction (RTPCR). ... Keyword:Aphid, Groundnut, IPM, NGS, Polerovirus
Judul: Peanut Stripe Virus Strain Inonesia : Variasi Biologi, Deteksi Molekuler, Pengklonan, dan Determinasi Urutan Nukleotida 3' Genom RNA PStV, serta Analisis Keragaman dan Filogenetika Berdasarkan Gen CP dan 3'UTR Abstrak:Hasil kacang tanah di Indonesia tahun 1996 adalah 746.600 ton dengan luas panen 696.600 Ha (1.07 tonha) (BPS, 1996). Di negara-negara penghasil kacang tanah lain, seperti Korea Selatan, Jepang, dan RRC hasil rata-rata perhektar berturut-turut adalah 1.77 ton, 1.72 ton, dan 1.92 ton (Xu, 1992). Rendahnya produktivitas kacang tanah di Indonesia antara lain disebabkan serangan virus. Di Indonesia, PStV paling dominan menyerang kacang tanah dibandingkan dengan virus-virus yang lain. Keyword:
Judul: Design and construction of mini flume tank for fish swimming behaviour experiment Abstrak:This research is carried out to design and construct mini flume tank that is reliable and ideal used for fish swimming behavior experiment through a series testing the flume tank for its technical performance. The mini flume tank has a maximum water velocity 85 cm/s (1.7 knots), with dimensions of 250 x 135 x 55 cm, and water capacity 155 litres. Based on the operation test, field observation on the tanks was clearly visible due to minimal air bubbles in the water flow. The observations for fish swimming behaviour experiment could be conducted from the two view fields (top and side) that allow observation of swimming endurance and fish tail flick easily. The water velocity visually was in laminar category at each level of the tested flow speeds. The rpm of motor was relatively stable for more than 200 minutes. The motor temperature was below 60 oC at frequency of 10 to 40 Hz. At frequency of 50 Hz the temperature reached 60 °C in 25 minutes and stable at 73oC after an hour. Water temperature changes during the test for more than 200 minutes at different speeds which have differences of 0.2 to 1.8 oC. The test result showed that the mini flume tank performance was reliable and ideal used for fish swimming behavior experiment. Keyword:
Judul: Efek Ekstrak Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) terhadap Ekspresi Gen Pengatur Homeostasis Glukosa pada Tikus Hiperglikemia. Abstrak:Salah satu jenis gangguan metabolisme banyak dijumpai adalah diabetes mellitus (DM). Gangguan ini merupakan kondisi hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh berkurangnya produksi atau kerja insulin. Gejala yang umum terjadi abnormalitas dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat adanya gangguan pada sekresi insulin, sensitivitas terhadap insulin, atau keduanya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) telah dilaporkan mampu menurunkan kadar glukosa darah pada tikus percobaan namun mekanismenya secara molekuler belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek ekstrak daun Torbangun terhadap ekspresi gen pengatur homeostasis glukosa pada tikus hiperglikemia. Tahapan penelitian meliputi penanaman Torbangun, pemanenan, dan pengeringan daun Torbangun. Tahap berikutnya adalah analisis kadar air simplisia, analisis kandungan total flavonoid ekstrak daun Torbangun, pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak daun Torbangun, dan uji pada hewan untuk menganalisis efek pemberian ekstrak terhadap kadar glukosa darah, kadar insulin serum, antioksidan enzimatis, sel- pankreas, kadar glikogen hati dan otot, serta analisis efek ekstrak daun Torbangun terhadap ekspresi gen homeostasis glukosa. Rancangan percobaan pada hewan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus yang dipilih adalah tikus normal dewasa Sprague Dawley berumur delapan minggu sebanyak 25 ekor. Tujuh ekor tikus dipisahkan sebagai kelompok normal (N) dan tikus lainnya diinjeksi streptozotocin (STZ). Konfirmasi hiperglikemia terjadi pada hari ke tiga pasca induksi, ditandai dengan glukosa darah puasa (GDP) >126 mg/dl. Tikus hiperglikemia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu H-IM (kontrol obat metformin hidroklorida dosis 62.5 mg/kg BB), H-IT (ekstrak daun Torbangun dosis 620 mm/kg BB), dan kelompok NG (kontrol negatif). Tikus coba diberikan intervensi selama 14 hari dan sediaan diberikan melalui oral. Pengukuran kadar glukosa darah dan penimbangan dilakukan pada hari ke- 0, 1, 4, 7, 10, 14 pasca induksi STZ. Nekropsi dilaksanakan pada hari ke-15 untuk selanjutnya dilakukan pengukuran serum insulin, aktivitas antioksidan enzimatis (SOD, CAT, dan GPx), histopatologi pankreas, glikogen hati, glikogen otot, dan ekspresi gen PEPCK, G6Pase, dan GLUT4. Data hasil pengukuran parameter yang diperoleh dianalisis dengan uji beda-t untuk melihat perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan, serta sidik ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 99% untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan rendemen simplisia daun Torbangun pada penelitian ini adalah sebesar 7.99±0.55%. Ekstraksi daun Torbangun menghasilkan rendemen sebesar 4.69% dengan kandungan total flavonoid 3.91±0.00%, dan memiliki aktivitas antioksidan 306.28±0.087 ppm/1ppm vitamin C. Uji pada hewan membuktikan bahwa pemberian ekstrak daun Torbangun sebanyak 620 mg/kgBB pada kelompok H-IT secara signifikan mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus dari 155.83±96 ke 105.17±5.043 (p=0.005, =0.01) dan meningkatkan deposit glikogen hati (p=0.001, =0.01) serta secara nyata (p=0.000, =0.01) menstimulasi peningkatan produksi insulin hampir sama efektifnya dengan metformin dengan dosis 62.5 mg/kgBB. Pemberian ekstrak daun Torbangun pada kelompok H-IT tidak signifikan mempengaruhi penurunan pada sel-α, tetapi menunjukkan adanya perbaikan sel-β. Terjadi peningkatan aktivitas antioksidan enzimatis SOD dan GPx, namun terjadi penurunan pada aktivitas CAT pada kelompok yang dilakukan pemberian ekstrak daun Torbangun. Hasil analisis ekspresi gen menunjukkan bahwa kelompok H-IT menunjukkan penurunan ekspresi gen PEPCK sebesar 0.80 kali dan G6Pase sebesar 0.65 kali dibanding kelompok NG. Di sisi lain, terjadi peningkatan ekspresi gen GLUT4 sebesar 1.58 kali dibandingkankan kelompok NG. Dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun Torbangun mampu memberi efek pada peningkatan aktivitas antioksidan enzimatis SOD dan GPx; penurunan antioksidan CAT; peningkatan produksi insulin; peningkatan deposit glikogen; perbaikan sel-β pankreas; penurunan kadar glukosa darah; serta terlibat dalam mekanisme penghambatan ekspresi gen PEPCK dan G6Pase; dan peningkatan ekspresi gen GLUT4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi manfaat ekstrak daun Torbangun dalam peningkatan efisiensi kerja insulin penderita DM. Selain itu, perlu juga dilakukan analisis protein yang dihasilkan untuk mengonfirmasi data ekspresi gen pada tingkat transkripsi yang telah dilakukan pada penelitian ini. Selanjutnya, dapat dilakukan riset lebih jauh untuk menguji manfaat Torbangun sebagai pencegahan dan pengendalian DM dengan studi klinis pemberian daun Torbangun dalam bentuk produk pangan fungsional kepada pasien DM. Keyword:Coleus amboinicus, ekspresi gen, G6Pase, GLUT-4, hiperglikemia, PEPCK, Torbangun
Judul: Efektivitas Serbuk Minuman Kelapa (Cocos nucifera) Muda dalam Memperbaiki Metabolisme pada Tikus Diabetes yang Diinduksi oleh Streptozotocin Abstrak:Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia akibat gangguan sekresi dan/atau sensitivitas insulin. Komplikasi hiperglikemia dalam jangka panjang yaitu retinopati, neuropati, dan angiopati dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian (World Health Organization 2020) sehingga DM perlu dikendalikan agar dapat menurunkan risiko komplikasi. Penelitian sebelumnya telah mengembangkan suatu produk baru berbahan dasar air dan daging kelapa dari varietas hibrida usia 6 bulan menjadi serbuk minuman kelapa muda (SMKM) dengan teknologi freeze drying yang berpotensi dalam manajemen DM (Azra et al. 2021). Selain memiliki umur simpan yang relatif lama dengan karakteristik fisikokimia yang lebih terjaga, SMKM juga mengandung arginin yang relatif tinggi yang berpotensi dalam membantu manajemen DM (Azra 2019). Pengujian efektivitas SMKM untuk manajemen DM dilakukan secara in vivo menggunakan bahan diabetogenik seperti streptozotocin (STZ). STZ umumnya digunakan untuk menginduksi DM pada hewan coba melalui toksisitas yang selektif terhadap sel β pankreas. Hal ini dikarenakan struktur kimia STZ mirip dengan glukosa dan N-acetyl glucoseamine (GIcNAc) sehingga memudahkan STZ masuk ke dalam sel β pankreas melalui GLUT2 pada membran plasma dan menimbulkan kematian sel (Eleazu et al. 2013). Injeksi STZ dengan dosis tertentu menghasilkan model diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) (Szkudelski 2001). Penelitian ini menggunakan injeksi intraperitoneal ganda STZ 50 mg/kg (IIG 50) pada tikus Sprague-Dawley sebagai model DMT2 untuk menguji efektivitas SMKM. Intervensi SMKM pada tikus DM selama 45 hari menghasilkan efek hipoglikemik dibuktikan dengan peningkatan berat badan dan penurunan kadar glukosa darah puasa (GDP) serta hemoglobin terglikasi (HbA1c) secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol diabetes (KD). Hasil ini memiliki tren yang sama dengan pengamatan sebelumnya pada tikus DM yang diberikan intervensi air kelapa (Preetha et al. 2013). Peningkatan berat badan pada kelompok intervensi konsisten dengan penurunan GDP dan HbA1c. Penurunan HbA1c dapat terjadi berkaitan dengan pemulihan kadar glukosa darah sehingga mengurangi intensitas glikosilasi hemoglobin (antiglikasi). Namun, penelitian ini tidak menemukan kelainan profil lipid pada kelompok KD. Hal ini diduga karena periode percobaan yang masih singkat. Trigliserida (TGA) dan very low density lipoprotein (VLDL) pada tikus DM akut cenderung menurun, sedangkan pada tikus DM kronis (DM berlangsung selama 8 minggu atau 56 hari) meningkat secara signifikan, jika dibandingkan dengan tikus KN (Soltani et al. 2007). Efek hipoglikemik dari SMKM (penurunan glukosa darah dan HbA1c) dapat dikaitkan dengan kemampuannya untuk meningkatkan sekresi insulin dan sensitivitas insulin. Penjelasan ini didukung dengan terdapatnya kecenderungan peningkatan serum insulin, peningkatan quantitative insulin sensitivity check index (QUICKI) (sebagai penanda sensitivitas insulin) dan fungsi sel HOMA-β yang signifikan, serta penurunan HOMA-IR (sebagai indeks resistensi insulin) yang signifikan setelah diberikan intervensi dengan SMKM dengan hasil lebih efektif pada tikus DM yang diberi intervensi SMKM 3500 mg/kg (DSK3,5). Intervensi dengan SMKM dan glibenklamid mampu melindungi pankreas dari kerusakan seperti vakuolasi sitoplasma acinar, atropi Langerhans, apoptosis sel Langerhans, dan rendahnya densitas sel normal pankreas secara signifikan yang terlihat pada tikus KD. Selain itu, tikus yang diberikan intervensi SMKM dan glibenklamid memiliki densitas sel normal Langerhans pankreas yang tinggi signifikan dibandingkan KD. Semakin tingginya densitas sel endokrin, diduga dapat meningkatan jumlah sel β pankreas untuk menghasilkan hormon insulin sehingga dapat membantu mengontrol glukosa darah dalam kondisi DM (Vetere et al. 2014). Hasil ini menunjukkan bahwa selain SMKM memiliki efek hipoglikemik, produk ini juga memiliki efek protektif terhadap pankreas pada tikus DM. Parameter kerusakan fungsi hati (aspartate amino transferase (AST), alanine amino transferase (ALT), alkaline phosphatase (ALP), bilirubin total, dan bilirubin direct) dapat diturunkan secara signifikan yang disertai dengan perbaikan morfologi hati dan peningkatan jumlah hepatosit normal setelah pemberian SMKM dan glibenklamid. Efek hepatoprotektif ini sebanding dengan hasil yang diamati pada tikus yang diberi air kelapa muda dan air kelapa yang diliofilisasi (Prathapan dan Rajamohan 2011; Renjith et al. 2013). Penelitian ini membuktikan bahwa selama 45 hari intervensi, SMKM tidak menimbulkan toksik bagi hewan pengerat. Namun, protein total dan albumin serum semua tikus berada dalam kisaran normal dan tidak berbeda signifikan antar semua kelompok percobaan (P < 0,05). Selain itu, intervensi SMKM memberikan efek nefroprotektif yaitu menurunkan kadar ureum serum, memperbaiki morfologi ginjal, dan menurunkan luas glomerulus ginjal. Komponen bioaktif SMKM yang diduga berperan dalam perbaikan DM melalui sensitivitas insulin adalah arginin, polifenol, dan serat pangan. Penelitian ini lebih fokus terhadap pengaruh perbaikan DM dari komponen arginin SMKM (17,35 mg/g) (Azra 2019). Hasil menunjukkan bahwa arginin merupakan salah satu faktor yang dapat memperbaiki kondisi DM. Terdapat kecenderungan peningkatan konsentrasi arginin serum dan peningkatan sensitivitas insulin yang signifikan setelah diberikan intervensi SMKM pada tikus DM. Arginin sebagai prekusor NO dapat memengaruhi sensitivitas insulin melalui jalur phosphoinositide-3-kinase (PI3K) (Hu et al. 2017). Perbaikan kondisi DM dalam penelitian ini tidak menutup kemungkinan disebabkan juga oleh komponen bioaktif lainnya seperti polifenol dan serat pangan. Polifenol merupakan penangkap radikal bebas yang sangat baik dan mengurangi stres oksidatif pada tikus DM (Bhagya et al. 2012) selain dapat meningkatkan sensitivitas serta mengurangi resistensi insulin (Narayanankutty et al. 2016). Selain itu, polifenol dikenal dengan aktivitas nefroprotektif antioksidan dan mengurangi kadar urea. Polifenol juga dapat menyebabkan perbaikan apoptosis jaringan dan kerusakan inflamasi pada organ. Sementara itu, serat pangan tidak larut selain dapat mencegah atau memperbaiki metabolisme DMT2, juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan resistensi insulin, dan menurunkan waktu transit di usus (Weickert dan Pfeiffer 2008; Weickert dan Pfeiffer 2018). Keyword:diabetes mellitus, hepatrotektif, hipoglikemik, serbuk minuman kelapa muda, streptozotocin,
Judul: Pedagangan Perantara dan Peningkatan Peran Perempuan Dalam Sistem Perekonomian Pesisir Kasus Desa Cemera Labat, Kecamatan Kapuas Kuala, Kabupaten Kapuas, Propinsi Kalimantan Tengah Abstrak:Pedagang perantara dan perempuan adalah orang-orang yang mempunyai perah yang strategis dalam sistem perekonomian pesisir. Pedagang perantara merupakan penghubung bagi pedagang lain untuk mengakses tangkapan nelayan dan berjasa mengembangkan sektor informasi bagi istri nelayan dan anggota rumah tangga lainnya. perempuan telah memberikan kontibusi yang besar bagi perekonomian keluarga khususnya dan perekonomian pesisir umumnya dengan ketertiban mereka dalam berbagai kegiatan ekonomi. Keyword:
Judul: Desain Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Karang di Taman Nasional Wakatobi Abstrak:Ikan karang merupakan salah satu sumber daya penting di Kabupaten Wakatobi dan ikan karang ditangkap dengan alat tangkap pancing dan bubu. Aktifitas penangkapan ikan karang semakin meningkat dari tahun ke tahun seperti data dari Dinas Perikanan Wakatobi (2015), pada tahun 2011 berjumlah 448 menjadi 987 tahun 2015 yang berarti bahwa semakin meningkat aktifitas penangkapan ikan di Kabupaten Wakatobi. Aktifitas penangkapan meningkat tetapi data tentang ikan karang masih terbatas terutama tentang status ikan karang dan ukuran ikan yang layak tangkap. Selain itu, aktivitas penangkapan ikan di Kabupaten Wakatobi masih ditemukan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan sianida. Pemanfaatan ikan karang tersebut akan mempengaruhi sumber daya ikan karang dan habitatnya sehingga diperlukan desain pemanfaatan perikanan untuk menjaga keberlanjutan dari sumber daya ikan karang. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menggambarkan sistem perikanan karang di Pulau Wangi-wangi mencakup sumber daya ikan, armada penangkapan ikan, alat penangkapan ikan, nelayan, daerah penangkapan ikan karang, terumbu karang, rantai pemasaran ikan, pemangku kepentingan dan peraturan yang berlaku; (2) menghitung status produktivitas dan tingkat kerentanan ikan karang serta panjang pertama tertangkap (Length at first capture) dan panjang pertama matang gonad (Length at first maturity); (3) menentukan kelayakan usaha, margin pemasaran dan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan berdasarkan Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) untuk perikanan karang di Kabupaten Wakatobi; (4) mengidentifikasi dan merumuskan peran agen dan aktor serta menentukan persamaan dan perbedaannya pada agen dan aktor dalam pemanfaatan perikanan karang di Taman Nasional Wakatobi; (5) menentukan prioritas pengelolaan perikanan karang di Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa status ikan karang yaitu ikan kakap (Letrinus harak dan Lutjanus gibbus) dan ikan sunu (Plectropomus oligacanthus dan Plectropomus areolatus) terindikasi overfishing sehingga diperlukan pengaturan ukuran ikan yang tertangkap seperti yang telah diterapkan oleh UD Pulau Mas. Selain status ikan karang, dilakukan pemetaan stakeholder dalam pengelolaan perikanan dan hasil memperlihatkan bahwa semua pemangku kepentingan berpengaruh pada pengelolaan perikanan khususnya Bupati, Balai Taman Nasional (BTNW) Kabupaten Wakatobi dan Lembaga Adat. Rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini bahwa pemanfaatan perikanan perlu menerapkan harvest strategy. Pengaturan yang diperlukan di Kabupaten Wakatobi yaitu (1) pengaturan ukuran ikan; (2) pengaturan armada penangkapan ikan; (3) pengaturan alat penangkapan ikan; (4) pengaturan waktu penangkapan ikan. Harvest strategy telah banyak diterapkan di berbagai kawasan konservasi di dunia salah satunya adalah Australia. Pengelolaan perikanan di Kabupaten Wakatobi tidak dapat dipisahkan dari kearifan lokal karena beberapa kearifan lokal di Kabupaten Wakatobi dapat menjaga ketersediaan dari sumberdaya ikan dan kelestarian lingkungan. Hal yang sama dengan hak komunal dapat diterapkan karena pulau Wangi-wangi mempunyai lembaga adat seperti kadie Liya, Wanci, Mandati dan Kapota. Hak komunal dapat mendukung pengawasan sumberdaya ikan dan lingkungan karena lembaga adat memiliki kewenangan yaitu menyusun, menetapkan dan menegakkan hukum adat serta mengawasi pengelolaan sumberdaya laut. Keyword:Ikan karang, pemanfaatan, pemangku kepentingan
Judul: Teknologi Pemantauan Perairan Waktu Berseri Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Karang Abstrak:Perairan pesisir yang memiliki ekosistem terumbu karang yang baik dapat menyumbang panen ikan maksimum 44 ton setiap kilometer persegi dalam satu tahun (Sale 2002). Namun demikian, menurut Russ (1991) jumlah tangkapan ikan yang berkelanjutan adalah sebanyak 10-20 ton km-2 th-1. Agar penangkapan ikan demersal bisa berkelanjutan, perlu dikelola antara aktivitas eksploitasi dan konservasi. Aktivitas eksploitasi sumber daya di kawasan pesisir antara lain: penangkapan ikan, budidaya perikanan laut, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, wisata bahari, penambangan pasir laut, galangan kapal, transportasi, pipa minyak/gas, kabel serat kaca (fibre optic), dan infrastruktur properti. Pada sisi konservasi, hal yang jadi pertimbangan antara lain area pengasuhan (nursery ground) bagi biota perairan, keunikan kawasan/biota, kekhususan wilayah pada tahapan hidup (contoh: kura-kura), kawasan yang rentan dan lambat pulih (terumbu karang dan padang lamun), diversitas biologi, dan kondisi alam spesifik (Ehler dan Douvere 2010; Shucksmith dan Kelly 2014). Sebagai kawasan Taman Nasional (Keputusan Menteri Kehutanan No.7651/ Kpts-II/ 2002) dan juga menjadi kabupaten baru (Undang–Undang Nomor 29 tahun 2003), Wakatobi telah mengalami tekanan antropogenik dan terancam keberlanjutan aktivitas perikanan karangnya. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran kondisi perairannya terkait dengan aspek perikanan karang dan dampak dari berdirinya kabupaten baru. Pengelolaan perikanan dan ekosistem terumbu karang berdasarkan pengukuran data kuantitatif dan waktu berseri dapat menghasilkan berkelanjutan. Pengukuran kuantitatif parameter fisika-kimia sangat membantu pengelolaan perikanan karena memiliki satuan, standar (nasional dan internasional) dan mudah dipahami (Elliott 2011). Penelitian ini bertujuan: (1) Merekayasa alat untuk melakukan pengukuran parameter perairan secara waktu berseri (time series). (2) Menentukan parameterparameter fisika-kimia dan pengukuran dinamika perairan pesisir dalam aspek perikanan karang (demersal) di pulau Wangi-wangi, Wakatobi. (3) Menentukan risiko pada sumber daya perikanan dan ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil pengukuran. (4) Menentukan zonasi khusus perairan pesisir untuk aktivitas perikanan berkelanjutan. Perkayasaan alat buoy (pelampung) dengan sistem telemetri bekerja dengan baik. Data terukur secara waktu berseri setiap 1 jam. Sistem ini menggunakan beberapa sensor untuk mengamati suhu, DO, pH dan salinitas. Ukuran buoy memiliki karakteristik yaitu: daya apung 47 kg, diameter 55 cm, tinggi 21 cm, sarat 13 cm dan koefisien blok 0,78. Instalasi peralatan buoy pada kedalaman perairan 30 m, dengan titik pengukuran sensor pada kedalaman 5 m (suhu dan DO), kedalaman 25 m (suhu, DO, pH dan salinitas). Telah berhasil diperoleh data waktu berseri untuk parameter suhu, DO, pH dan salinitas di kedalaman 5 m dan 25 m selama 5 bulan. Data waktu berseri terbukti memberikan makna yang sangat penting. Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan dinamika perairan dapat terbaca dan juga menunjukkan nilai yang berbeda saat musim angin timur dan angin barat. Suhu lebih tinggi saat musim angin barat, namun kandungan oksigen lebih rendah. Suhu rerata lebih tinggi 30C (di kedua kedalaman). Kandungan oksigen lebih rendah 2,5 mg L-1 pada kedalaman 5 m dan lebih rendah 6,5 mg L-1 pada kedalaman 25 m. Perbedaan salinitas (hanya di kedalaman 25 m) dari pengukuran awal dan akhir sebesar 3,6 ppt, dimana terjadi penurunan dari rerata 33,2 ppt di bulan September menjadi 29,6 ppt di bulan Desember. Nilai pH cuma berbeda 0,1 lebih tinggi diakhir pengukuran. Risiko pada perikanan demersal dalam jangka panjang adalah turunnya hasil tangkapan jika kondisi hipoksia berlangsung terus menerus (hipoksia akut). Rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah meminimalisasi faktor antropogenik atau eksogenik yang tidak terkendali/terkontrol dengan cara membuat zona konservasi, sehingga potensi kondisi hipoksia akut bisa dihindari. Ikan-ikan akan menunjukkan mortalitas pada konsentrasi oksigen 1 sampai 2 mg L-1. Gray et al. (2002) menginformasikan bahwa hanya jenis ikan Mudskipper (Oxudercinae, famili: Goby) yang tidak terpengaruh sampai kadar oksigen 0,5 mg L-1. Pada kandungan oksigen 3 mg L-1 menyebabkan mortalitas akut pada kebanyakan ikan-ikan non-salmonoid. Penurunan pertumbuhan akan terjadi pada kerang-kerangan (Ostrideae) spesies Crassostrea virginica dan Mytilus edulis pada kandungan oksigen antar 1,5 sampai dengan 0,6 mg L-1. Perencanaan zonasi khusus berkelanjutan untuk pulau Wangi-wangi terbagi atas tiga bagian utama: zona konservasi, pemanfaatan umum dan pemanfaatan tradisional. Zona konservasi di bagian utara dan timur. Zona pemanfaatan tradisional di selatan, dan zona pemanfaatan umum di bagian barat. Pada saat musim angin barat, saat kualitas air menurun (level kualitas pelabuhan), dapat dilakukan moratorium wisata pada pantai pesisir di kawasan konservasi. Konsep pengelolaan kawasan perairan pesisir berbasis teknologi pemantauan waktu berseri sebagai prospek kedepan, merupakan peluang baru dan dapat diusulkan menjadi suatu aturan hukum seperti tertuang dalam UU No.1 tahun 2014 dan Permen KP No. 16 tahun 2008. Tambahan cara pengukuran yang dapat dimasukkan dalam teknik survei lapangan (observasi, pengambilan sampel, pengukuran, wawancara, penyebaran kuesioner, dan diskusi grup khusus (FGD)) untuk rencana zonasi (RZ-WP3K) dan rencana pengelolaan (RP-WP3K) adalah teknologi pengukuran waktu berseri menggunakan buoy yang mana berdasarkan penelitian ini terbukti bermanfaat. Menilik waktu berlakunya RZ-WP3K selama 25 tahun dan 5 tahun buat RP-WP3K, maka usulan/rekomendasi pengelolaan zona perairan pesisir berbasis teknologi adalah realistis (dari segi biaya dan penguasaan teknologi) dan logis (dari hasil yang dapat dimanfaatkan), serta memberikan kemampuan resiliensi ekosistem terumbu karang dari aspek pengelolaannya. Keyword:parameter fisika-kimia, terumbu karang, perikanan karang, hipoksia, taman nasional
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina (silvofishery) di Kawasan Pesisir Kabupaten Sinjai Abstrak:Kelurahan Samataring dan Desa Tongke Tongke Kecamatan Sinjai Timur mempunyai potensi ekosistem mangrove Kelurahan Samataring seluas 288,50 ha dan Desa Tongke Tongke seluas 350,50 ha sehingga total ekosistem mangrove pada kedua desa dan kelurahan mencapai luas 639,00 ha atau 47,28% dari total luas ekosistem mangrove yang dimiliki Kabupaten Sinjai yaitu seluas 1.351,50 ha. Agar keberadaan ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai tetap optimal dan bekelanjutan, maka perlu dibuat suatu konsep pengelolaan yang menyeimbangkan antara upaya pelestarian dan pemanfaatan. Salah salah satu konsep pengelolaan ekosistem mangrove untuk mewujudkan optimal dan berkelanjutan adalah model silvofishery yaitu suatu pendekatan yang memadukan dan mensinergikan aspek ekologi yang berorientasi pada pelestarian dan aspek ekonomi yang berorientasi pada pemanfaatan. Penentuan persentase rasio mangrove dan tambak pada pengelolaan silvofishery memerlukan analisis dan pengkajian untuk mendapatkan nilai optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis seberapa besar daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery, (2) menganalisis kelayakan usaha bagi pengelolaan silvofishery, (3) menganalisis korelasi antara persentase luas ekosistem mangrove per rasio tambak silvofishery dengan peningkatan produksi perikanan budidaya dan hasil tangkapan perikanan pesisir, dan (4) menentukan rasio optimal antara mangrove dan tambak pada pengelolaan silvofishery. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Samataring dan Desa Tongke Tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, selama satu tahun yaitu Januari sampai Desember 2011. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi; (1) pengukuran langsung di lapangan (insitu) beberapa parameter kualitas tanah dan air, pengukuran karakteristik ekosistem mangrove, dan kondisi konstruksi tambak silvofishery, (2) analisis kualitas tanah dan air, kandungan unsur hara yang terdapat pada serasah mangrove, dan (3) data produksi budidaya tambak silvofishery wawancara dengan pengelola. Sedangkan data sekunder meliputi; (1) data karakteristik petaai dan nelayan, (2) data kepemilikan lahan mangrove dan tambak, (3) data kelembagaan petani dan pengelola hutan mangrove, dan (4) data kondisi umum perikanan Kabupaten Sinjai. Data sekunder ini bersumber dari potensi desa, Statistik Kecamatan Sinjai Timur, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sinjai, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai. Analisis data yang digunakan dalam penelitian meliputi; (1) analisis supply dan demand unsur hara, (2) analisis benefit cost ratio, (3) analisis regresi, dan (4) Multi Criterium Decision Making Analysis (MCDMA)..dst Keyword:vegetasi mangove, kelestarian mangrove, ekosistem mangrove, perikanan tangkap/budidaya, ekowisata
Judul: Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina (silvofishery) di Kawasan Pesisir Kabupaten Sinjai Abstrak:Kelurahan Samataring dan Desa Tongke Tongke Kecamatan Sinjai Timur mempunyai potensi ekosistem mangrove Kelurahan Samataring seluas 288,50 ha dan Desa Tongke Tongke seluas 350,50 ha sehingga total ekosistem mangrove pada kedua desa dan kelurahan mencapai luas 639,00 ha atau 47,28% dari total luas ekosistem mangrove yang dimiliki Kabupaten Sinjai yaitu seluas 1.351,50 ha. Agar keberadaan ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai tetap optimal dan bekelanjutan, maka perlu dibuat suatu konsep pengelolaan yang menyeimbangkan antara upaya pelestarian dan pemanfaatan. Salah salah satu konsep pengelolaan ekosistem mangrove untuk mewujudkan optimal dan berkelanjutan adalah model silvofishery yaitu suatu pendekatan yang memadukan dan mensinergikan aspek ekologi yang berorientasi pada pelestarian dan aspek ekonomi yang berorientasi pada pemanfaatan. Penentuan persentase rasio mangrove dan tambak pada pengelolaan silvofishery memerlukan analisis dan pengkajian untuk mendapatkan nilai optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis seberapa besar daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery, (2) menganalisis kelayakan usaha bagi pengelolaan silvofishery, (3) menganalisis korelasi antara persentase luas ekosistem mangrove per rasio tambak silvofishery dengan peningkatan produksi perikanan budidaya dan hasil tangkapan perikanan pesisir, dan (4) menentukan rasio optimal antara mangrove dan tambak pada pengelolaan silvofishery. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Samataring dan Desa Tongke Tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, selama satu tahun yaitu Januari sampai Desember 2011. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi; (1) pengukuran langsung di lapangan (insitu) beberapa parameter kualitas tanah dan air, pengukuran karakteristik ekosistem mangrove, dan kondisi konstruksi tambak silvofishery, (2) analisis kualitas tanah dan air, kandungan unsur hara yang terdapat pada serasah mangrove, dan (3) data produksi budidaya tambak silvofishery wawancara dengan pengelola. Sedangkan data sekunder meliputi; (1) data karakteristik petaai dan nelayan, (2) data kepemilikan lahan mangrove dan tambak, (3) data kelembagaan petani dan pengelola hutan mangrove, dan (4) data kondisi umum perikanan Kabupaten Sinjai. Data sekunder ini bersumber dari potensi desa, Statistik Kecamatan Sinjai Timur, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sinjai, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai. Analisis data yang digunakan dalam penelitian meliputi; (1) analisis supply dan demand unsur hara, (2) analisis benefit cost ratio, (3) analisis regresi, dan (4) Multi Criterium Decision Making Analysis (MCDMA). dst ... Keyword:Ekosistem mangrove, Pengelolaan silvofishery, Produksi perikanan, Tambak, Kandungan hara
Judul: The effect on niacin supplementation on production and egg cholesterol of hysex brown laying hens Abstrak:Telur merupakan salah satu bahan makanan asal ternak unggas yang kaya akan gizi, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, disamping harganya murah, sehingga disebut wonderful food. Oleh karena itu, tidak mengherankan konsumsi telur di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan bahan makanan sumber protein hewani lain. Disisi lain, adanya persepsi, bahwa sebutir telur mengandung kolesterol relatif cukup tinggi, yaitu 200 - 250 mg atau 1280 mg per 100 g kuning telur (yolk). Keyword:
Judul: Biodiversitas Ektomikoriza pada Castanopsis buruana Miq dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Semai Abstrak:Castanopsis buruana Miq. termasuk famili Fagaceae yang merupakan salah satu spesies penting yang tumbuh di hutan dataran rendah. Di Indonesia C. buruana tersebar di Sulawesi dan Maluku dan mempunyai nilai ekonomi penting sebagai sumber kayu dan kacang-kacangan yang bernilai gizi tinggi. Castanopsis dilaporkan berasosiasi dengan ektomikoriza, namun C. buruana yang tumbuh di hutan hujan tropis Indonesia belum diketahui status dan keanekaragaman ektomikorizanya. Tujuan penelitian ini ialah: 1) mengkaji keanekaragaman dan struktur komunitas ektomikoriza pada C. buruana di lapangan; 2) mengkaji keanekaragaman ektomikoriza pada C. buruana di rumah kaca; 3) mendapatkan metode pematahan dormansi biji C. buruana; 4) mengkaji peran ektomkoriza alami dalam meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara C. buruana. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan dengan metode survei menggunakan teknik garis berpetak. Sampel tubuh buah dan akar ektomikoriza dilakukan dengan metode runut akar. Analisis akar terkolonisasi ektomikoriza menggunakan metode garis singggung (gridline intersection). Analisis morfotipe akar ektomikoriza menggunakan Colour Atlas of Ectomycorrhizae, anatomi akar dengan sayatan akar menggunakan mikrotom. Analisis molekuler akar yang bersimbiosis dilakukan menggunakan sekuen DNA daerah ITS rDNA. Analisis morfologi benih menggunakan metode deskriptif. Anatomi kulit benih dianalisis dengan menggunakan metode Sass yang dimodifikasi. Analisis kadar lignin menggunakan metode Klason, kadar selulosa dan hemiselulosa menggunakan metode Cross dan Bevan sedangkan kadar lemak menggunakan metode destilasi. Analisis pematahan dormansi benih dan respon tumbuh menggunakan rancangan acak lengkap. Hasil penelitian “Keanekaragaman dan Struktur Komunitas Jamur Ektomikoriza pada C. buruana di Lapangan” menunjukkan bahwa keanekaragaman dan struktur komunitas jamur ektomikoza C. buruana dipengaruhi oleh musim. Pada bulan Juni keanekaragaman dan struktur komunitas jamur ektomikoza C. buruana lebih tinggi dari pada bulan Desember. Keanekaragaman dan struktur komunitas jamur ektomikoza C. buruana di atas tanah lebih tinggi daripada di dalam tanah. Cantharellus sp 1., Hebeloma sp 1., dan Tylopilus sp. adalah jamur ektomikoriza yang dominan pada bulan Desember dengan kekayaan spesises masing-masing 7.21, 5.46 dan 3.28. Boletus sp 3, Heimiosporus sp., dan Russula sp 6 adalah jamur ektomikoriza yang dominan pada bulan Juni dengan kekayaan spesises masing-masing 7.10, 5.43 dan 3.97. Morfotipe sederhana atau tanpa percabangan berwarna hitam merupakan morfotipe dominan dan sering ditemukan di kedua musim dengan persentase lebih besar 50%. Berdasarkan sekuensing DNA ribosom daerah ITS morfotipe tersebut terindetifikasi sebagai Cenococcum geophilum dengan tingkat kesamaan 96%. Hasil penelitian “Keanekaragaman Jamur Ektomikoriza pada Castanopsis buruana di rumah kaca” menunjukkan bahwa bibit C. buruana dari anakan alam dan ditumbuhkan di rumah kaca dikolonisasi oleh jamur ektomikoriza dengan membentuk morfotipre root tip dengan percabangan sederhana atau tanpa percabangan (unramified), permukaan mantel seperti wol (woolly), mantel berwarna abu-abu. Berdasarkan hasil analisis molekuler morfotipe root tips tersebut teridentifikasi sebagai T. parmastoana. Hasil penelitian “Karakteristik Morfologi, Anatomi dan Pematahan Dormansi Benih C. buruana sebagai Tumbuhan Endemik Sulawesi” menunjukkan bahwa biji C. buruana memiliki variasi yang sangat tinggi baik bentuk fisik maupun ukuran biji. Ukuran panjang biji berkisar 17.46-19.34 mm, dengan diameter antara 12.84-15.03 mm dan berat biji antara 1.03-1.64 g dengan tebal testa berkisar antara 169.0-231.9 μm. Biji yang berukuran besar dengan perlakuan IBA 50 ppm merupakan perlakuan terbaik untuk mematahkan dormansi benih karena dapat menghasilkan daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum dan kecepatan tumbuh benih C. buruana masing-masing sebesar 83.33%, 88.89% dan 1.33%/etmal. Hasil penelitian “Kolonisasi Ektomikoriza Alami Basidiomycetes dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara C. buruana bahwa kolonisasi alami jamur ektomikoriza T. alpina berhasil membentuk simbiosis dan menghasilkan morfotipe root tip pada bibit C. burana. Morfotipe root tip tersebut memiliki karakteristik percabangan sederhana atau tanpa percabangan (unramified), permukaan mantel seperti kapas (cottony) mantel berwarna coklat terang. Kolonisasi jamur ektomikoriza T. alpina dapat meningkatkan serapan N di tajuk dan akar lebih tinggi yaitu masing-masing sebesar 41.67% dan 50% serta serapan P di tajuk dan akar masing-masing sebesar 38.46% dan 46.15% dibandingkan dengan yang tidak terkolonisasi. Keyword:biodiversity, C. buruana, ectomycorrhiza, molecular identification, diversity, root tip morphotypes
Judul: Peran Faktor-Faktor Lingkungan dan Tanaman dalam Perkembangan Penyakit Kanker Batang Duku yang Disebabkan oleh Phytophthora palmivora Abstrak:Penyakit kanker batang pada pohon duku telah meluas di Provinsi Jambi semenjak tahun 2005. Busuk akar, kanker batang dan dieback adalah sindrom penyakit ini. Tanaman yang mengalami kejadian penyakit ini terletak di sentra produksi di sepanjang Sungai Batanghari yang mengalami banjir berulang. Penyakit ini sudah menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi. Penyebab penyakit diketahui sebagai Phytophthora palmivora, termasuk famili Chromista. Sampai saat ini permasalahan penyakit ini masih saja berlangsung, sedangkan pengetahuan bioekologi patogen, dan faktor yang mendorong perkembangan penyakit tidak banyak diketahui. Tujuan penelitian adalah: 1) mengkaji peran pupuk organik dalam perkembangan penyakit kanker batang pada tanaman duku; 2) mengkaji pengaruh genangan terhadap perkembangan penyakit kanker batang duku dan; 3) mengkaji karakter agronomi duku terkait sifat tahan terhadap patogen penyebab kanker batang duku. Temuan penelitian ini berguna sebagai pengetahuan untuk menentukan pilihan dalam pengelolaan penyakit kanker batang duku. Pelaksanaan penelitian terdiri atas tiga fase yaitu penelitian tentang: 1) peran pupuk organik dalam perkembangan penyakit; 2) peran genangan terhadap perkembangan penyakit dan; 3) karakter agronomi aksesi duku yang terkait dengan ketahanan terhadap patogen P. palmivora. Penelitian pupuk organik mencakup kajian tentang keparahan penyakit dan pertumbuhan tanaman di media tanam dengan berbagai tingkat dosis pupuk organik. Faktor penggenangan dilakukan guna mengkaji keparahan penyakit pada tanah dengan berbagai kadar air, yaitu keadaan tergenang, kadar air kapasitas lapang dan kadar air 50% kapasitas lapang. Percobaan mengenai aksesi difokuskan untuk mengevaluasi karakter agronomi yang bisa digunakan sebagai penanda ketahanan tanaman duku tehadap penyakit kanker batang. Penelitian I dilakukan terhadap bibit duku berumur 6 bulan, tinggi 20 cm dengan rata rata mempunyai 5 atau 6 helai daun. Bibit duku ditanam pada media tanah yang sudah dicampur dengan pupuk organik sebanyak 0% (kontrol), 10%, 20%, 30% (v/v), kemudian diinokulasi secara buatan dengan P. palmivora dengan kerapatan 105 zoospora/ml. Penelitian diatur berdasarkan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan, di mana setiap ulangan terdiri atas 5 tanaman. Variabel yang diamati yaitu keparahan penyakit, sifat kimia tanah, konsentrasi mikrob tanah, dan pertumbuhan tanaman. Perbandingan keparahan penyakit, sifat kimia tanah, kepadatan mikrob tanah, dan pertumbuhan tanaman dianalisis ragam dan diuji lanjut dengan Student Newman Keul pada α = 0.05. Penelitian tahap I menemukan bahwa penambahan pupuk organik bisa menekan keparahan penyakit oleh P. palmivora ini. Peningkatan total bakteri tanah dan peningkatan beberapa sifat kimia tanah seperti N, P, K, Ca, Mg, dan Zn merupakan faktor yang berkontribusi atas menurunnya keparahan penyakit karena pemakaian pupuk organik. Penelitian II dilakukan pada bibit duku dengan kondisi umur yang sama dengan penelitian I. Bibit ditanam pada media tanah dengan berbagai kadar air, yaitu keadaan tergenang, kapasitas lapang, dan 50% kapasitas lapang. Selanjutnya penelitian diatur berdasarkan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan, dan setiap ulangan terdiri atas 5 tanaman. Variabel yang diamati adalah keparahan penyakit, sifat kimia tanah, dan kepadatan mikrob tanah. Terhadap masing-masing variabel pengamatan tersebut dilakukan analisis ragam dan diuji lanjut dengan Student Newman Keul pada α = 0.05. Penelitian ini menunjukkan bahwa keparahan penyakit menjadi tinggi pada keadaan tergenang, dibandingkan dengan keadaan kapasitas lapang dan 50% kapasitas lapang. Faktor yang terlibat pada keadaan ini yaitu cekaman akar karena genangan, dan menurunnya kadar Zn di dalam tanah. Penelitian III terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama mengidentifikasi karakter agronomi pohon induk yang tampak sehat yang tumbuh di 4 lokasi pertanaman duku di Provinsi Jambi. Tahap kedua menganalisis ketahanan bibit yang berasal dari pohon induk yang telah diidentifikasi pada tahap pertama. Bibit berumur 3 bulan diinokulasi secara buatan dengan P. palmivora, dan diatur menggunakan rancangan acak lengkap. Penelitian ini menemukan 19 pohon induk yang sehat, dan menunjukkan indeks kesamaan 0.40 berdasarkan 11 karakter agronomi pohon induk yang diidentifikasi. Analisis klaster berdasarkan indeks kesamaan tersebut, membagi tanaman induk ke dalam 2 kelompok dan hasil pengelompokan ini bersifat independen terhadap lokasi pertumbuhan tanaman. Analisis ketahanan bibit menunjukkan bahwa hanya ada 5 bibit yang menunjukkan sifat tahan. Bibit yang tahan berasal dari pohon induk yang cenderung memiliki daun lebih pendek, lebih sedikit buah per cabang. Penelitian ini telah menemukan pengetahuan tentang mekanisme terjadinya epidemi penyakit kanker batang duku di Provinsi Jambi. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan faktor-faktor yang mendukung terjadinya epidemi, sehingga diharapkan bisa menjadi rujukan bagi strategi pengendalian penyakit kanker batang duku di lapangan. Keyword:agronomi, aksesi, Jambi, penggenangan, pupuk organik
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Pengaruh Kredit dan Bantuan Modal pada Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Rumahtangga Tani di Provinsi Nusa Tenggara Timur Abstrak:Rumahtangga tani adalah unit ekonomi yang memiliki keputusan produksi dan konsumsi. Kredit dan bantuan modal yang diperoleh rumahtangga tani dialokasikan penggunaannya dalam konteks rumahtangga. Status penelitian tentang kredit dan bantuan modal pertanian ke rumahtangga tani saat ini bersifat parsial, memandang petani sebagai individu yang dapat membuat keputusan sendiri, menilai kredit dan bantuan modal secara tersendiri, dan menganalisis sisi eksternal rumahtangga tani. Penelitian ini bertujuan untuk, (1) menganalisis alokasi kredit dan bantuan modal untuk usaha produktif, pengeluaran konsumtif, dan investasi, (2) menganalisis pengaruh kredit dan bantuan modal terhadap perilaku ekonomi rumahtangga tani, yaitu perilaku produksi, perilaku penggunaan input, dan perilaku pengeluaran, dan (3) menganalisis dampak perubahan kebijakan kredit dan bantuan modal, perubahan produktivitas input, perubahan harga sapi, dan perubahan upah terhadap produksi, pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga tani. Penelitian dilakukan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu wilayah sasaran kebijakan kredit dan bantuan modal pemerintah. Pengambilan data dilakukan pada Bulan April sampai Juni 2013. Jumlah rumahtangga sampel 178 rumahtangga tani. Spesifikasi model menggunakan Model Ekonomi Rumahtangga dalam bentuk sistem persamaan simultan non recursive, terdiri atas 38 persamaan, yaitu 28 persamaan perilaku dan 10 persamaan identitas yang dibuat dalam enam blok. Identifikasi model menghasilkan metode estimasi menggunakan metode 2SLS (two stage least squares estimation). Validasi model menggunakan kriteria R2 dan U-Theil. Simulasi dengan sembilan skenario, yaitu skenario: (1) kenaikan jumlah kredit dan bantuan modal, (2) peningkatan produktivitas input, (3) kenaikan harga sapi bakalan dan harga jual sapi dewasa, (4) kenaikan upah usaha ternak sapi dan usahatani lain, (5) kombinasi kenaikan kredit dan bantuan modal dengan peningkatan produktivitas input, (6) kombinasi kenaikan harga sapi bakalan, harga jual sapi dewasa dengan kenaikan upah pada usaha ternak sapi dan upah pada usahatani lain, (7) kombinasi kenaikan kredit dan bantuan modal dengan kenaikan harga sapi bakalan dan harga jual sapi dewasa, (8) kombinasi kenaikan kredit dan bantuan modal dengan kenaikan upah pada usaha ternak sapi dan upah pada usahatani lain, serta (9) kombinasi kenaikan kredit dan bantuan modal dengan kenaikan harga sapi bakalan dan harga jual sapi dewasa, kenaikan upah pada usaha ternak sapi dan upah pada usahatani lain. Analisis deksripsi menunjukkan umur kepala keluarga berada pada uur produktif, tingat pendidikan tidak tamat SMP, jumlah anggota keluarga lima orang, jumlah angkatan kerja tiga orang setiap rumahtangga. Luas lahan sawah garapan 0.47 ha setiap rumahtangga, lahan ladang 1.25 ha setiap rumahtangga. Jumlah sapi yang dipelihara satu sampai 2 ekor setiap rumahtangga. Alokasi kredit dan bantuan modal dominan untuk usaha ternak sapi (76 persen), usahatani lain 7 persen dan usaha non pertanian 2 persen, atau total alokasi untuk kegiatan produktif mencapai 85.56 persen. Alokasi untuk konsumsi sebesar 6.31 persen dan investasi 8.12 persen. Pengembalian kredit mencapai 78.67 persen dan pengembalian bantuan modal 28.03 persen. Dalam penggunaan input, biaya pembelian bakalan merupakan pengeluaran terbesar mencapai 92 persen dari total biaya usaha ternak sapi. Alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi sebesar 25.22 persen, untuk usahatani lain sebesar 38.25 persen, untuk usaha non pertanian sebesar 8.84 persen. Total alokasi tenaga kerja pria dan wanita dalam keluarga untuk usaha produktif sebesar 72.3 persen. Struktur pendapatan rumahtangga tani sebagai berikut, usaha ternak sapi menyumbang 19 persen kepada pembentukan pendapatan rumahtangga, usahatani lain sebesar 54 persen, usaha non pertanian sebesar 13.6 persen dan pendapatan lain-lain sebesar 13.4 persen. Struktur pengeluaran rumahtangga tani sebagai berikut, pengeluaran pangan sebesar 29.68 persen, pengeluaran non pangan sebesar 24.67 persen, pengeluaran investasi sebesar 45.65 persen. Pengeluaran investasi terdiri atas investasi usaha produktif, investasi sosial dan rumahtangga, serta investasi sumberdaya manusia (pendidikan dan kesehatan). Keputusan rumahtangga mengalokasi kredit dan bantuan modal ke usaha ternak sapi tergantung pada besarnya biaya sapi bakalan dan jumlah kredit dan bantuan modal yang didapat. Keputusan alokasi untuk usahatani lain dan usaha non pertanian terutama tergantung pada jumlah ketersediaan kredit dan bantuan modal. Begitupun keputusan alokasi untuk konsumsi pangan dan non pangan serta investasi. Pengembalian kredit dan bantuan modal tergantung pada tingkat bunga dan jangka waktu pengembalian yang ditetapkan. Produksi sapi tergantung pada penggunaan input untuk usaha ternak sapi. Keputusan rumahtangga menjual sapi dipengaruhi oleh pengeluaran rumahtangga, terutama pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran sosial dan pengeluaran pendidikan dan akses jasa kesehatan. Permintaan input untuk usaha ternak sapi terutama tergantung pada harga input sendiri. Curahan tenaga kerja dalam keluarga dipengaruhi oleh upah tenaga kerja baik upah untuk usaha ternak sapi maupun upah usahatani lain. Hubungan substitusi terjadi antara tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga dan antara jenis pekerjaan usaha ternak sapi dengan usahatani lain. Hubungan komplementer antar tenaga kerja dalam keluarga pada jenis pekerjaan yang sama misalnya pekerjaan di usaha ternak sapi atau usahatani lain. Pengeluaran rumahtangga terdiri atas pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi. Pengeluaran konsumsi pangan dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pangan yang disediakan oleh produksi usahatani sendiri. Pengeluaran konsumsi non pangan dan pengeluaran investasi dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga. Dampak peningkatan kesejahteraan yang paling besar dalam skenario simulasi perubahan kebijakan dan perubahan variabel ekonomi yaitu skenario kesembilan yang memberian peningkatan kesejahteraan sebesar 4.55 persen. Kebijakan meningkatkan kredit dan bantuan modal tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga tani, diperlukan juga dukungan kebijakan dan lainnya, misalnya dukungan teknologi. Keyword:kredit dan bantuan modal, perilaku ekonomi, rumahtangga tani, kesejahteraan
Judul: Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Lahan Kering di Kabupaten Sukabumi. Abstrak:Ketahanan pangan harus diwujudkan tidak hanya pada tingkat wilayah, tetapi juga pada tingkat rumahtangga. Rumahtangga petani lahan kering berusahatani di lahan dengan kesuburan lahan, sumber air, dan curah hujan yang terbatas, sehingga seringkali menjadi sumber kemiskinan dan rawan pangan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis (1) kondisi ketahanan pangan rumahtangga petani di lahan kering, (2) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga petani lahan kering, dan (3) dampak perubahan faktor eksternal dan internal terhadap perilaku ekonomi dan ketahanan pangan rumahtangga petani lahan kering. Penelitian menggunakan data primer yang berasal dari survey rumahtangga petani lahan kering yang menanam padi gogo dan padi sawah di Kabupaten Sukabumi. Analisis menggunakan model ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan. Model yang dibagun terdiri dari 30 persamaan struktural dan 23 persamaan identitas, dan diestimasi menggunakan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Status ketahanan pangan rumahtangga petani lahan kering berdasarkan derajat kecukupan energi dan porsi pengeluaran pangan berada pada kondisi kurang dan rawan pangan. Faktor penentu ketahanan pangan rumahtangga petani lahan kering adalah jumlah dan harga input produksi, harga output, alokasi waktu kerja pertanian dan non pertanian, pendapatan, pengeluaran pangan dan non pangan, serta jumlah anggota keluarga. Alokasi waktu kerja pria dan wanita di usahatani bersifat saling melengkapi (complementary). Alokasi waktu kerja wanita di usahatani padi gogo responsif terhadap perubahan alokasi waktu kerja pria. Perubahan alokasi waktu kerja pria di kegiatan non pertanian berpengaruh negatif terhadap alokasi waktu kerja di pertanian. Alokasi waktu kerja wanita di kegiatan non pertanian responsif terhadap peningkatan pengeluaran konsumsi rumahtangga, tingkat pendidikan dan diversifikasi usaha. Perubahan alokasi waktu di kegiatan usahatani mempengaruhi penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan biaya tenaga kerja. Produksi padi gogo dan padi sawah dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja luar keluarga dan jumlah pupuk yang digunakan. Jumlah benih padi gogo responsif terhadap upah tenaga kerja pria luar keluarga. Jumlah pupuk untuk padi gogo responsif terhadap harga padi gogo. Jumlah pupuk dan benih padi sawah responsif terhadap upah tenaga kerja pria luar keluarga. Pendapatan rumahtangga petani lahan kering bersumber dari pendapatan usahatani padi gogo dan sawah, usahatani non padi, non pertanian dan pendapatan dari tidak bekerja (non working income). Pendapatan dari kegiatan non pertanian dipengaruhi oleh alokasi waktu pria dan wanita di kegiatan non pertanian. Peningkatan produksi padi dan pendapatan rumahtangga mampu meningkatkan cadangan pangan dan akses pangan. Pengeluaran pangan dipengaruhi oleh pendapatan usahatani non padi, pendapatan non pertanian dan jumlah anggota keluarga. Pengeluaran non pangan dipengaruhi oleh pendapatan disposible, nilai padi yang tidak dijual dan jumlah anggota keluarga. Peningkatan pengeluaran pangan, mempengaruhi peningkatan angka kecukupan energi. Sedangkan peningkatan pengeluaran non pangan dan pengeluaran investasi dapat menurunkan angka kecukupan energi. Peningkatan angka kecukupan energi menentukan derajat kecukupan energi. Nilai cadangan pangan menggambarkan ketersediaan pangan rumahtangga petani lahan kering. Nilai cadangan pangan dipengaruhi oleh produksi padi gogo, dan pengeluaran pangan rumahtangga. Nilai cadangan pangan ini menjadi dana cadangan bagi investasi usahatani padi Perubahan harga input produksi berdampak pada perubahan ketahanan pangan rumahtangga dengan indikator derajat kecukupan energi dan nilai cadanagan pangan. Penurunan harga pupuk berdampak pada peningkatan produksi padi dan nilai cadangan pangan, tapi belum mampu meningkatkan derajat kecukupan energi. Peningkatan harga benih dan upah tenaga kerja berdampak pada penurunan kinerja ketahanan pangan rumahtangga. Peningkatan alokasi waktu kerja rumahtangga pada kegiatan pertanian dan non pertanian, berdampak pada peningkatan derajat kecukupan energi. Peningkatan produksi marginal input (pupuk, benih dan tenaga kerja) berdampak pada peningkatan produksi padi, pendapatan total, derajat kecukupan energi dan nilai cadangan pangan. Keputusan rumahtangga untuk meningkatkan alokasi waktu kerja dan produksi marginal pupuk pada saat penurunan harga pupuk mampu meningkatkan kinerja ketahanan pangan. Kinerja ketahanan pangan yang meningkat adalah produksi padi gogo dan sawah, pendapatan total, derajat kecukupan energi dan cadangan pangan. Peningkatan derajat kecukupan energi disertai dengan penurunan rasio pengeluaran pangan terjadi saat rumahtangga memutuskan untuk meningkatkan alokasi waktu kerja di kegiatan non pertanian. Keputusan rumahtangga untuk meningkatkan produksi marginal benih padi gogo dan alokasi waktu kerja (usahatani padi dan non pertanian) pada saat harga benih padi gogo naik, berdampak pada peningkatan kinerja ketahanan pangan. Peningkatan pendapatan rumahtangga dan derajat kecukupan energi lebih besar lagi ketika rumahtangga meningkatkan kegiatannya di sektor non pertanian Peningkatan alokasi waktu di kegiatan non pertanian berdampak pada penurunan alokasi waktu kerja di kegiatan pertanian dan penggunaan tenaga kerja, sehingga produksi padi dan cadangan pangan menurun. Tetapi peningkatan pendapatan dari kegiatan non pertanian mampu mengkompensasi penurunan tersebut sehingga pendapatan dan derajat kecukupan energi meningkat. Pengembangan kegiatan ekonomi di pertanian dan non pertanian penting dilakukan untuk meningkatkan pendapatan serta mendorong peningkatan ketahanan pangan rumahtangga petani di lahan kering. Keyword:dry land, farmer household, food security, time allocation
Judul: Methodologies for Maintaining and Comparing Designs in a Cooperative Design Environment Abstrak:This thesis examinedl the problem of how to support several designers working on one or more project s so that they can pool their design ideas and produce improved designs from wmparing and integrating various designs. The core of the syetem is a design repitory based on the triangle madel, which stores the designs and computes the differences hetween them. The designs are rep resented as sets of features and a language (FBSM) is provided to describe them. Meta-features can be defined so that designs can be viewed at different levels of abstraction and formed into groups. Keyword:
Judul: Pengaruh Intervensi Suplementasi Vitamin A, Minyak Goreng Fortifikasi dan Edukasi Gizi terhadap Retinol Air Susu Ibu serta Morbiditas Ibu dan Bayi Abstrak:Tahun 2011 badan kesehatan dunia (WHO) telah mengeluarkan rekomendasi bahwa pemberian suplementasi vitamin A kepada ibu nifas sesaat setelah melahirkan tidak diperlukan lagi karena tidak memberikan efek yang signifikan baik pada morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi usia 0-6 bulan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pemberian vitamin A dosis 2x200 000 SI sesaat setelah ibu melahirkan (kelompok A), vitamin A dosis 1x200 000 SI pada minggu ke 6 setelah ibu melahirkan (kelompok B), minyak goreng yang difortifikasi 62 SI retinil palmitat selama 3 bulan (kelompok C), dan edukasi gizi saat hamil dan menyusui (kelompok D) terhadap kadar retinol air susu ibu (ASI) serta morbiditas ibu maupun bayi. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment yang dilaksanakan di 7 (tujuh) wilayah puskesmas Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Juni 2017 sampai Maret 2018. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu nifas yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi seperti melahirkan bayi tunggal dan cukup bulan, melahirkan secara normal, dan maksimal paritas ketiga. Besar subjek untuk wawancara morbiditas pada awal penelitian adalah 297 orang dan diakhir penelitian 2 orang drop out karena pindah tempat tinggal. Selanjutnya dari 160 ibu nifas untuk sampel retinol ASI pada awal penelitian, 31 orang drop out karena tidak memiliki ASI saat pengambilan sampel ASI tahap 2 maupun tahap 3. Hasil analisis data menunjukkan bahwa proporsi subjek berumur 20–25 tahun lebih banyak (41.7%) dibandingkan dengan kelompok umur lain. Sekitar 42% subjek telah menamatkan pendidikan sampai tingkat sekolah menengah atas (SMA). Hampir semua (94%) ibu nifas tidak bekerja (ibu rumah tangga). Dalam hal tingkat paritas, proporsi subjek yang masuk kategori multipara (paritas ≥2) adalah sebesar 76%. Berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh, sekitar 60.5% subjek memiliki status gizi normal. Proporsi berat lahir bayi pada kategori ukuran 2500g – 3000g paling banyak (40.7%) dibandingkan kelompok lain. Sekitar 86.4% anak yang dilahirkan telah mendapatkan imunisasi lengkap sampai berusia 3 bulan. Rata-rata kadar retinol ASI kolostrum subjek adalah 58.2 μg/dl dan sekitar 81.3% subjek memiliki kadar retinol ASI kolostrum dengan kategori normal. Hasil uji bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan antara sosial ekonomi, riwayat kehamilan maupun tingkat kecukupan gizi (protein, lemak, vitamin A,besi dan seng) dengan kadar retinol ASI kolostrum (p>0.05). Jenis sayuran yang paling sering dikonsumsi sesaat setelah ibu melahirkan adalah sayur tomat (85.1%), kangkung (84.0%), dan bayam (81.7%). Setelah tiga bulan melahirkan terjadi penurunan proporsi frekuensi konsumsi sayur kangkung (74.9%) dan bayam (66.8%), akan tetapi tidak pada tomat (86.4%). Frekuensi konsumsi buah sumber vitamin A masih rendah dan tidak termasuk dalam pola konsumsi buah masyarakat setempat karena masih kurang dari 50% subjek yang mengonsumsi buah baik sesaat maupun tiga bulan setelah melahirkan. Selanjutnya pangan sumber hewani yang paling sering dikonsumsi sesaat setelah melahirkan adalah telur ayam (91.5%) dan susu (61.2%), setelah tiga bulan melahirkan terjadi peningkatan proporsi frekuensi konsumsi telur ayam (93.3%) akan tetapi tidak untuk proporsi frekuensi konsumsi susu (50.2%). Hasil uji Anova menunjukkan terdapat perbedaan signifikan dalam hal ratarata tingkat kecukupan asupan (protein, lemak, vitamin A, zat besi) antara kelompok sebelum dilakukan intervensi (p<0.05). Sebelum intervensi terlihat bahwa rata-rata tingkat kecukupan asupan semua zat gizi paling tinggi ditemukan pada kelompok B dibandingkan kelompok lain. Begitupun setelah intervensi, ratarata tingkat kecukupan asupan zat gizi lebih tinggi pada kelompok B kecuali zat besi. Sebelum intervensi, rata-rata kadar retinol ASI untuk masing-masing kelompok A, B, C dan D adalah 52.7μg/dl, 46.2μg/dl, 47.9μg/dl, dan 61.25μg/dl. Selama intervensi mengalami penurunan menjadi 44.1μg/dl, 42.1μg/dl, 41.0μg/dl dan 33.7μg/dl. Selanjutnya setelah intervensi kembali menurun menjadi 34.3 μg/dl, 32.2μg/dl, 38.0μg/dl dan 33.9μg/dl. Hasil uji Anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar retinol ASI pada saat sebelum, selama dan setelah intervensi antar kelompok perlakuan (p>0.05). Jika dianalisis berdasarkan kelompok (intragroup) terlihat bahwa terdapat penurunan yang signifikan kadar retinol sebelum, selama dan setelah intervensi pada kelompok A dan D (p<0.05), akan tetapi tidak demikian untuk kelompok B dan C (p>0.05). Rata-rata frekuensi kejadian sakit ISPA maupun diare pada ibu lebih rendah ditemukan pada kelompok C dibandingkan dengan kelompok A, B dan D. Begitu pula halnya dengan rata-rata frekuensi sakit ISPA dan diare pada anak, kelompok C lebih rendah dibandingkan 3 kelompok lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata frekuensi sakit ISPA dan diare pada ibu maupun anak antar kelompok intervensi (p<0.05). Dalam hal durasi (lama) sakit, hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan lama sakit antara kelompok intervensi baik pada ibu maupun pada bayi (p>0.05). Meskipun demikian, terdapat kecenderungan lama sakit yang lebih rendah pada kelompok C dibandingkan dengan 3 kelompok lainnya. Proporsi kejadian ISPA pada ibu dan bayi kategori tinggi paling banyak ditemukan pada kelompok B dan paling sedikit pada kelompok C, begitupun dengan proporsi sakit diare pada ibu dan bayi. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa intervensi yang diberikan kepada subjek baik berupa suplementasi vitamin A (1 kapsul dan 2 kapsul), minyak goreng fortifikasi, maupun edukasi gizi memberikan efek yang sama terhadap kadar retinol ASI. Akan tetapi, untuk efek intervensi terhadap frekuensi kejadian ISPA dan diare terlihat ada perbedaan antara kelompok perlakuan. Pemberian minyak goreng yang telah difortifikasi dengan vitamin A lebih efektif dalam mengurangi frekuensi ISPA dan diare baik pada ibu maupun bayi dibandingkan dengan pemberian suplementasi vitamin A dan edukasi gizi. Penelitian ini hanya melihat status vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 3 bulan, sehingga perlu adanya penelitian yang melihat status vitamin A pada bayi khususnya sampai berusia 6 bulan mengingat asupan vitamin A bayi hanya bersumber dari ASI. Selain itu, perlu adanya penelitian lanjutan yang melihat bagaimana kapsul vitamin A didistribusikan dalam tubuh, apakah disimpan dalam tubuh ataukah disekresikan langsung dalam ASI dan bagaimana bila disekresikan. Keyword:edukasi, ibu nifas, minyak fortifikasi, morbiditas, retinol ASI
Judul: The Effect of Galohgor Cookies on Inflammatory Biomarkers of Postpartum Mother and Infant Growth Abstrak:Prevalensi stunting di Indonesia terus meningkat. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif merupakan salah satu cara mencegah kejadian stunting. ASI mengandung berbagai zat gizi dan komponen aktif salah satunya yaitu insulin-like growth factor-I (IGF-I). Kadar IGF-1 juga berhubungan dengan status vitamin A. Jamu Galohgor sudah dikembangkan menjadi produk cookies Galohgor dan sudah diintervensikan pada ibu postpartum selama 14 hari. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan cookies galohgor dapat meningkatkan β-karoten serum dan memperbaiki kondisi stres oksidatif yang diukur dengan biomarker MDA serum (Ma’rifah et al. 2019) selain itu juga cookies Galohgor berpengaruh terhadap peningkatan berat bayi menurut umur (Nuraelah et al. 2020). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manfaat cookies Galohgor pada ibu postpartum dengan cara pemeriksaan biomarker inflamasi terhadap pertumbuhan bayi. Desain penelitian yang digunakan adalah desain quasy experimental, menggunakan 2 kelompok perlakuan yaitu: 1) kelompok subjek yang diberikan produk makanan cookies Galohgor; 2) kelompok subjek yang diberikan produk makanan cookies kontrol. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitan Roosita et al. (2018) yang berjudul Studi Efikasi Nutrasetikal Galohgor untuk Peningkatan Produksi ASI dan Ekspresi Gen Penanda Laktasi Pada Ibu Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Protokol penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik yang Melibatkan Subjek Manusia, IPB No. 081/IT3.KEPMSMIPB/SK/2018. Kriteria inklusi subjek yang terlibat pada penelitian yaitu ibu postpartum berusia 26-40 tahun, kehamilan ke-2 hingga kehamilan ke-5, tidak menderita penyakit kronis, tidak merokok, ibu bersedia menjadi subjek penelitian yang ditegaskan melalui persetujuan informed consent, ibu dalam keadaan sadar dan dapat berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi, bila bayi lahir prematur atau berat badan lahir kurang dari 2500 g dan persalinan tidak secara normal atau dengan cara operasi sesar. Subjek kelompok cookies Galohgor (n = 9) dan kelompok kontrol (n = 9) diberikan cookies sesuai dengan kelompok perlakuan selama 40 hari. Cookies Galohgor adalah cookies yang mengandung 1 gram Galohgor per keping cookies. Pada hari ke-13 dan 39 dilakukan pengambilan sampel ASI dan hari ke-14 dan 40 dilakukan pengambilan darah. Hari ke-13 dan ke-39 digunakan untuk menilai status gizi, dan tingkat konsumsi. Hasil analisis statistik karakteristik responden yang meliputi usia, paritas, indeks massa tubuh (IMT), lingkar lengan atas (LILA), berat badan bayi, Panjang badan bayi, lingkar kepala bayi, tidak berbeda nyata antara kelompok cookies galohgor dan kelompok kontrol (p>0.05). Kadar TNF-α ibu postpartum hari ke-14 dan hari ke-40 setelah pemberian cookies rata-rata tidak berbeda nyata (p>0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok cookies Galohgor. Pada hari ke 40 kadar TNF-α kelompok kontrol tidak ada perubahan rata- rata 22.430±3.047 pg/ml dan pada kelompok cookies mengalami penurunan menjadi 20.668±6.919 pg/ml. Penurunan TNF-α diduga adanya pengaruh β-karoten dari cookies Galohgor. β-karoten menekan aktivitas NF-kB yang penting untuk produksi TNF-α. Hasil analisis ANCOVA kadar retinol dan β-karoten setelah pemberian cookies hari ke-14 dan ke-40 menunjukkan nilai rata-rata tidak berbeda nyata (p>0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok cookies Galohgor. Rata-rata kadar retinol kelompok kontrol (1.24±0.25 μmol/L) dan kelompok cookies Galohgor (1.05±0.43 μmol/L) masuk kategori normal. Begitu juga kadar retinol pada hari ke- 40, meskipun mengalami penurunan rata-rata kadar retinol kelompok kontrol (0.90±0.16 μmol/L) dan kelompok cookies Galohgor (0.94±0.13 μmol/L) masih masuk kategori normal. Kadar β-karoten serum ibu postpartum hari ke-14 pada kelompok kontrol (0.11±0.06 μmol/L) dan kelompok cookies Galohgor (0.10±0.07 μmol/L) masuk kategori rendah. Setelah pemberian intervensi sampai hari keempat 40, rata-rata kadar retinol kelompok kontrol (0.10±0.06 μmol/L) dan kelompok cookies Galohgor (0.10±0.02 μmol/L) masih masuk kategori rendah. Kadar TNF-α mengalami peningkatan pada ibu postpartum selama empat minggu pasca melahirkan. Rendahnya β-karoten pada serum darah diduga membantu menetralkan radikal bebas yang terjadi pada ibu postpartum. Hasil analisis ANCOVA pada kadar retinol dan β-karoten ASI ibu menunjukkan bahwa, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok cookies, baik pada hari ke-14 dan hari ke-40. Kadar rata-rata retinol ASI hari ke-14 kelompok kontrol (38.284±6.451mg/kg) dan kelompok cookies Galohgor (41.405±15.438 mg/kg) mengalami peningkatan menjadi 67.312±43.291 mg/kg dan 55.651±33.659 mg/kg. Sedangkan kadar rata-rata β-karoten ASI pada hari ke-14 pada kelompok kontrol (0.953±0.769 mg/kg) mengalami penurunan pada hari ke-40 menjadi 0.472±0.369 mg/kg. Sebaliknya kadar rata-rata β-karoten ASI pada hari ke-14 pada kelompok cookies Galohgor (0.455±0.527 mg/kg) mengalami peningkatan pada hari ke-40 menjadi (0.691±0.462 mg/kg). Kandungan retinol dan β-karoten tidak berbeda nyata diduga karena asupan kedua kelompok tidak berbeda, kandungan retinol dan β-karoten sudah tinggi saat awal-awal melahirkan. Hasil analisis IGF-1 ASI pada hari ke-40 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok cookies. Hasil analisis ANCOVA didapatkan variabel usia ibu berhubungan dengan kadar IGF-1 pada ASI. Kadar IGF-1 ASI kelompok cookies Galohgor lebih tinggi diduga terdapat kontribusi β-karoten dari cookies jamu galohgor. Hasil pengukuran antropometri menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) berat badan bayi hari ke-14 dan hari ke-40 antara ke kelompok kontrol dan kelompok cookies Galohgor. Pada pengukuran lingkar kepala bayi, terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) lingkar kepala bayi hari ke-14 antara kelompok kontrol dan kelompok cookies galohgor. Berat badan dan lingkar kepala bayi kelompok cookies Galohgor yang lebih besar diduga terdapat peran β-karoten dari cookies Galohgor. Pemberian cookies Galohgor diduga membantu mempertahankan kadar IGF-1 ASI., The prevalence of stunting in Indonesia continues to increase. Exclusive breastfeeding is one of the ways to prevent stunting. Breast milk contains various nutrients and active components, one of which is insulin-like growth factor-1 (IGF-1). IGF-1 contents are also associated with vitamin A status. Galohgor herb has been developed into a product of Galohgor cookies and it has been intervened in postpartum mothers for 14 days. The finding indicates that Galohgor cookies can increase β-serum carotene and improve the condition of oxidative stress as measured by serum MDA biomarkers (Ma’rifah et al. 2019) in addition, Galohgor cookies affect the increase of baby weight in accordance with age (Nuraelah et al. 2020). The aim of this study was to analyze the benefits of Galohgor cookies on postpartum mothers by examining inflammatory biomarkers on the growth of the infant. The research design used was a quasy experimental design, using 2 treatment groups, namely: 1) the subject group was given the Galohgor cookie food product; 2) the subject group was given a control cookie food product. This study was advanced research from the research of Roosita et al. (2018) entitled The Study of Nutraceutical Efficacy on Galohgor for Increasing Breast Milk Production and Expression of Lactation Marker Genes in Mothers with Type 2 Diabetes Mellitus. This study protocol has been approved by the Ethics Commission Involving Human Subjects, IPB No. 081/IT3.KEPMSMIPB/SK/2018. The inclusion criteria of the subjects involved in the study were postpartum mothers aged 26-40 years, 2nd to 5th pregnancy, did not suffer from chronic diseases, did not smoke, mothers were willing to be research subjects confirmed by informed consent, mothers were in a conscious state and could communicate well. Exclusion criteria, if the baby was born prematurely or birth weight less than 2500 g and childbirth was not normal or by cesarean section. The subjects of the Galohgor cookies group (n = 9) and the control group (n = 9) were given cookies according to the treatment group for 40 days. Galohgor cookies are cookies that contain 1 gram of Galohgor per cookie. On the 13th day, breast milk samples were taken and on the 14th day blood samples were taken. The intervention of giving cookies was continued until the 40th day. On the 39th day, breast milk samples were taken and blood was taken again on the 40th day. On the 13th and 39th days were used to assess nutritional status, and consumption levels. The results of statistical analysis of respondents’ characteristics, which included of age, parity, body mass index (BMI), upper arm circumference (LILA), baby’s weight, baby’s body length, baby’s head circumference, were not significantly different between the Galohgor cookies group and the control group (p> 0.05). The level of TNF- α in postpartum mothers on the 14th and 40th days after administering cookies were not significantly different (p>0.05) between the control group and the Galohgor cookies group. On the 40th day, the level of TNF- α in the control group did not change an average of 22,430±3,047 pg/ml and the cookies group decreased to 20,668±6,919 pg/ml. The decrease in TNF-α was assumed due to the effect of β-carotene from Galohgor cookies. β-carotene suppresses the activity of NF-kB which is essential for the production of TNF-α. The results of ANCOVA analysis of retinol and β-carotene levels after the administration of cookies on the 14th and 40th days pointed out that the average value was not significantly different (p>0.05) between the control group and the Galohgor cookies group. The average of retinol levels in the control group (1.24±0.25 mol/L) and Galohgor cookies group (1.05±0.43 mol/L) were in the normal category. Likewise, retinol levels on the 40th day, even though, the average retinol levels decreased in the control group (0.90±0.16 mol/L) and the Galohgor cookies group (0.94±0.13 mol/L) were still in the normal category. Serum-carotene levels in postpartum mothers on the 14th day in the control group (0.11±0.06 mol/L) and galohgor cookies group (0.10±0.07 mol/L) were in the low category. After administering the intervention until the fourth day of 40, the average retinol levels in the control group (0.10±0.06 mol/L) and Galohgor cookies group (0.10±0.02 mol/L) were still in the low category. TNF-α levels increased in postpartum women for four weeks postpartum. The low of β-carotene in blood serum was assumed to assist neutralize free radicals that occurred in postpartum mother. The results of ANCOVA analysis on retinol and β-carotene levels in maternal milk showed that there was no significant difference between the control group and the cookies group, both on 14th and 40th days. The average levels of retinol in breast milk on 14th day of the control group (38.284±6.451mg/kg) and the Galohgor cookies group (41.405±15,438 mg/kg) increased to 67,312±43,291 mg/kg and 55,651±33,659 mg/kg. Meanwhile, the average level of β-carotene in breast milk on the 14th day in the control group (0.953±0.769 mg/kg) decreased on the 40th day to 0.472±0.369 mg/kg. On the other hand, the average level of β-carotene in breast milk on the 14th day in the Galohgor cookies group (0.455±0.527 mg/kg) increased on the 40th day to (0.691±0.462 mg/kg). The content of retinol and β-carotene was not significantly different, it was presumably because the intake of the two groups was not different, the content of retinol and β-carotene was already high in the early days of childbirth. The results of IGF-1 analysis of breast milk on the 40th day showed that there was a significant difference (p<0.05) between the control group and the cookies group. The results of ANCOVA analysis indicated that maternal age was associated with IGF-1 levels in breast milk. The higher levels of IGF-1ASI in the Galohgor cookies group were assumed to have a contribution of β-carotene from the Galohgor herbal cookies. The results of anthropometric measurements indicated that there was a significant difference (p<0.05) in the baby’s weight on the 14th and 40th days between the control group and the Galohgor cookies group. In the measurement of the infant’s head circumference, there was a significant difference (p<0.05) on the 14th day of the baby’s head circumference between the control group and the galohgor cookies group. The weight and head circumference of infants in the larger group of Galohgor cookies were assumed that there was a role of β-carotene from galohgor cookies. Intervention Galohgor cookies were thought to help maintaining breast milk IGF-1 levels. Keyword:betakaroten, galohgor, pertumbuhan bayi, postpartum
Judul: Performance analysis of various geometric structures of moulboard ploughs fot tillage on wetland paddy field Abstrak:The disertation discusses about soil-tool system related to the operation feasibility of moulboard ploughs on wetland paddy fields. The facing problems are the facts that various geometrics structures of dryland ploughs are being employed fot tillage on wetland paddy fiels. Keyword:
Judul: Dinamika Institusi Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten Paser Kalimantan Timur Abstrak:Peran institusi dalam menentukan kelestarian sumberdaya alam dipertanyakan dengan meningkatnya laju deforestasi yang berlangsung di saat krisis ekonomi tahun 1996 dan berlanjut dengan reformasi politik di tahun 1999. Laju deforestasi, yang dilaporkan stabil dengan rata-rata 1,86 juta hektar selama 12 tahun dari 1986 hingga 1996, meningkat hingga mendekati tiga juta hektar dengan adanya konversi hutan menjadi non-hutan dalam kurun waktu tiga tahun. Situasi krisis ekonomi yang berlanjut dengan reformasi politik diduga mempengaruhi stabilitas institusi yang mengendalikan kebijakan pengelolaan hutan dan pelaksanaannya di lapangan. Penelitian ini bermaksud melakukan eksploratori faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas institusi dalam mewujudkan kelestarian hutan, melalui empat tahapan analisis sebagai berikut, yaitu: (1) menganalisis perubahan tutupan lahan berhutan menjadi non-hutan, (2) menganalisis faktor penyebab dari terjadinya perubahan tutupan lahan tersebut, (3) menganalisis kebijakan pengelolaan hutan yang mempengaruhi terjadinya perubahan tutupan lahan, (4) Mendiskusikan implikasi dari pembaharuan undang-undang Pemerintahan Daerah terhadap upaya untuk melestarikan hutan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur dengan mempertimbangkan karakteristik sumberdaya hutan yang menghasilkan berbagai macam manfaat guna memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, serta mempertimbangkan karakter pengguna hutan yang memiliki berbagai kepentingan terhadap sumberdaya hutan. Jenis data yang digunakan bersifat kuantitatif dan kualitatif yang bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data kuantitatif dalam bentuk Citra Landsat TM7 bersumber dari Kementerian Kehutanan digunakan untuk menghitung luas lahan berhutan yang dibuka menjadi non-hutan dan dianalisis secara spasial dengan menggunakan prosedur baku SNI 8803:2014 (Anonimus 2014). Penyebab pembukaan hutan ditelusuri dengan menggunakan metode snowballing, untuk mengetahui aktor, kelompok pengguna hutan, yang berdasarkan kepentingannya dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: pemerintah, non-pemerintah atau organisasi sipil masyarakat, pengusaha serta kelompok masyarakat setempat (Grimble dan Wellard 1997). Wawancara mendalam dengan aktor yang dilengkapi dengan pengamatan terlibat dilakukan untuk mengetahui terjadinya perubahan kondisi hutan serta perubahan pengelolaan hutan dari pandangan aktor yang mencerminkan realitas sosial (Suhardjito 2014). Analisis aktor menggunakan teori akses untuk mengetahui sumberdaya aktor dalam bentuk a.l kedudukan sosial, finansial, identitas, pengetahuan, dan teknologi yang digunakan untuk memperoleh, mempertahankan, mengendalikan kontrol terhadap penggunaan dan manfaat dari hutan (Ribot dan Peluso 2003). Realitas sosial yang dipahami oleh aktor divalidasi dengan data sekunder guna menjelaskan efektivitas kebijakan pengelolaan hutan. Sumber data sekunder adalah peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program kehutanan, laporan kegiatan dan evaluasi yang merefleksikan aturan formal tentang pengelolaan hutan. Hubungan antara perkembangan institusi dengan meluasnya pembukaan hutan didiskusikan dengan mengemukakan kenyataan empiris tentang elemen institusi yang menentukan kelestarian hutan. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa lahan berhutan yang menutupi kabupaten Paser berada di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Pembukaan hutan sebelum tahun 2000 berlangsung di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Hutan di kawasan konservasi dibuka menjadi tambak, sedangkan hutan di kawasan hutan produksi dibuka menjadi belukar dan hutan yang diluar kawasan dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit. Pembukaan hutan berlanjut setelah tahun 2000, yang mengakibatkan meluasnya tambang di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Penyebab pembukaan hutan di kabupaten Paser ada tiga, yaitu: (1) kawasan hutan digunakan untuk mengembangkan investasi berbasis sumberdaya lahan; (2) hutan ditransaksikan untuk berbagai kepentingan; (3) Situasi kaotik pengelolaan hutan dengan terbukanya jejaring organisasi di masyarakat. Hutan digunakan untuk memenuhi kepentingan yang beragam dan divergent, bersifat short sighted atau borientasi ekonomi jangka pendek, serta beresiko tinggi. Re-formulasi aturan pengelolaan hutan (reformed rules) belum ter-internalisasi ke dalam praktek sehari-hari sedangkan aturan yang lama tidak dipatuhi dan kehilangan legitimasinya. Hasil analisis kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan hutan menghadapi persoalan kepentingan untuk menggunakan hutan yang beragam serta berkembang. Penggunaan hutan yang awalnya untuk produksi kayu dan non-kayu menjadi sarana untuk membuka isolasi pemukiman, membangun infrastruktur, membuka lapangan kerja serta mengembangkan usaha dan juga membangun kekuasaan politik serta memekarkan wilayah administrasi. Pengguna hutan yang awalnya pengusaha besar dengan ijin dari pusat, bertambah dengan pengusaha lokal dan masyarakat adat dengan ijin dari kabupaten. Hak untuk memanfaatkan hasil hutan yang diberikan oleh pemerintah menghadapi persoalan akses yang dikembangkan dengan menggunakan pengetahuan, teknologi dan kemampuan finansial, ataupun posisi di masyarakat dalam mengelola hutan. Akibatnya, lahan berhutan yang awalnya mendominasi lanskap di Kabupaten Paser menjadi semakin berkurang luasnya, digantikan dengan tutupan lahan non-hutan yang semakin meningkat luasnya. Kebijakan pengelolaan hutan menghadapi persoalan jejaring kekuasaan yang berkembang untuk menguasai manfaat dari hutan. Ill-defined property rights mempengaruhi berlanjutnya pembukaan hutan di masa desentralisasi, yang ditunjukkan melalui de jure aturan formal tentang pengertian hutan dan penunjukkan serta penetapan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan de facto penggunaan lahan di lapangan (Nugroho 2013). Pembaharuan aturan penyelenggaraan negara melalui UU no 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah membuka peluang (window of opportunity) bagi sektor kehutanan untuk mewujudkan kelestarian hutan sekaligus kemakmuran rakyat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa stabilitas politik dan ekonomi di tingkat nasional mempengaruhi laju kerusakan hutan di tingkat lokal. Hasil penelitian ini merekomendasikan agar kebijakan pengelolaan hutan diarahakan untuk mengakomodasi berkembangnya informasi dan organisasi pengelolaan hutan, serta menggalang aksi kolektif guna melestarikan hutan. Keyword:dinamika institusi, kabupaten Paser, desentralisasi, pengelolaan hutan
Judul: Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga Abstrak:Pasak bumi merupakan salah satu hasil hutan asli di Kalimantan Barat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kondisi populasi pasak bumi saat ini sudah dikategorikan sebagai tumbuhan langka dengan status terkikis (Rifai 1992). Pemenuhan pasak bumi selama ini masih bergantung pada hasil pemungutan dari hutan. Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengkaji preferensi habitat pasak bumi dan melakukan estimasi stok pasak bumi yang bisa dipungut agar produktivitas pasak bumi tetap lestari, (2) mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Ambawang- Pemancingan (HLGAP), (3) menganalisis isi peraturan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), (4) menganalisis kinerja kelembagaan tataniaga pasak bumi yang ada. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam. Analisis data menggunakan kerangka analisis pengembangan institusi (institutional analysis and development framework) (Ostrom 2005). Penelitian terdiri atas empat bagian yang mengkaji konservasi pasak bumi mulai dari kondisi preferensi habitat dan kondisi stok pasak bumi di hutan yang layak tebang dalam satuan kg/ha; karakteristik pengelolaan HLGAP; analisis kebijakan pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan arena aksi kelembagaan tata niaga pasak bumi. Kerangka berpikir mengikuti kerangka Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku (rules in use)), yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor pada kegiatan tata niaga pasak bumi Penelitian pertama bertujuan mengkaji preferensi habitat dan estimasi stok pasak bumi sehingga diharapkan bisa untuk menghitung stok pemanenan pasak bumi secara lestari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi stok akar yang dapat dipanen sebesar 0,33 kg/ha. Hal ini disebabkan komposisi struktur tinggi batang didominasi pada rentang 1-3 meter. Kondisi demikian menunjukkan bahwa di areal petak pengamatan lebih banyak ditemukan pada tingkat semai dan pancang, sehingga berpengaruh terhadap banyaknya stok pasak bumi yang baik untuk dipanen. Hasil analisis komponen utama keberadaan jumlah individu pasak bumi dicirikan oleh kelembaban udara. Hal tersebut sesuai dengan sifat pasak bumi yang toleran terhadap cahaya pada tingkat semai. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya dijumpai individu pasak bumi yang tumbuh di sekitar pohon induknya dan berasosiasi dengan pohon yang bertajuk lebar Penelitian kedua bertujuan mengkaji mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan HLGAP. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku para aktor terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan khususnya pasak bumi. Kajian dilakukan dengan pendekatan kelembagaan bahwa institusi mampu mengendalikan karakteristik inheren sumberdaya hutan. Hasil penelitian menunjukkan situasi di lapangan bahwa pengelolaan HLGAP sebagai state property tidak ada aturan formal pada tingkat operasional sehingga penegakan hukum atas hak properti lemah. Kondisi ini menyebabkan HLGAP dalam kondisi open acces yang memicu munculnya perilaku free rider untuk tidak melakukan investasi terhadap kelestarian pasak bumi yang berakibat terjadinya kelangkaan. Situasi ini menggambarkan pemanfaatan HLGAP menimbulkan biaya ekslusi tinggi untuk penegakan hak dan kelestarian hutan. Penelitian ketiga bertujuan untuk menganalisis isi peraturan perundangundangan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan analisis substansi berdasarkan indikator yang telah ditetapkan, yaitu : pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pengelolaan hasil hutan bukan kayu, pelibatan masyarakat, dan wewenang pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan HHBK saat ini belum terkoordinasi dengan baik. Pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan HHBK belum bekerjasama secara sinergi dan belum memberikan hasil yang optimal untuk pengelolaan sumber daya hasil hutan bukan kayu. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan satu di antara upaya mengatasi permasalahan kehutanan Indonesia. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada tingkat provinsi, kabupaten/kotan serta pada unit pengelolaan. Penelitian pada bagian keempat bertujuan untuk mengkaji kinerja tata niaga pasak bumi serta memahami karakteristik kelembagaan tata niaga dengan perilaku pemungut dan pedagang. Penelitian dilakukan dengan pendekatan ekonomi kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik alami pengusahaan pasak bumi, atribut komunitas masyarakat sekitar Gunung Ambawang dan kondisi fisik alam serta pengelolaan state property yang tidak efektif telah melahirkan interaksi saling ketergantungan komunitas tata niaga pasak bumi. Adanya pihak yang berada dalam posisi lebih baik dibanding pihak lain melahirkan bentuk kelembagaan tataniaga pasak bumi dengan sistem patron klien. Berdasarkan hasil analisis kinerja, tata niaga pasak bumi tidak efisien dimana margin share yang diperoleh tiap pelaku pemasaran tidak merata untuk tiap tingkat pemasaran di mana pengumpul memperoleh keuntungan yang paling kecil, namun memiliki nilai pengembalian investasi (return of investment) paling besar. Artinya, dari aspek kelestarian kondisi ini mengancam keberadaan pasak bumi di alam karena akan memacu pemungut untuk mengumpulkan pasak bumi sebanyak-banyaknya. Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan menghasilkan implikasi kebijakan perlu adanya stimulus kerelaan pasak bumi sebagai aset yang bernilai ekonomis yang didukung dengan prasyarat teknis/inovasi, kelembagaan, kebijakan dan sumber daya manusia. Prasyarat teknis perlu upaya pengembangan budidaya; prasyarat kelembagaan mendorong perubahan kelembagaan dengan pembangunan KPH dan devolusi hutan desa; prasyarat kebijakan mendorong terciptanya regulasi pemerintah satu pintu yang mampu mengkoordinasikan berbagai lembaga terkait dengan pengelolaan HHBK; dan prasyarat sumberdaya manusia : peningkatan kapasitas masyarakt lokal dalam melakukan pengelolaan kawasan HLGAP. Keyword:Pasak bumi, konservasi, kelembagaan, tata niaga
Judul: Antiyeast activities of cumin oil (Cuminum cyminum) toward osmophilic yeast strains isolated from high sugar food Abstrak:The antiyeast activities of cumin oil toward osmophilic yeast strains isolated from high sugar food were studied. Sixty-eight osmophilic yeasts were isolated from sample i.e. strawberry jam (26 isolates), pineapple jam (25 isolates), and South Sumatera honey (17 isolates). No yeast was obtained from condensed milk, Sumbawa honey, sweet soy sauce, and palmsugar. These yeast isolates were identified based on sequence analysis of the ITS region as Candida metapsilosis, C. parapsilosis, C. orthopsilosis, C. etchellsii and Sterigmatomyces halophilus. Phylogenetic analysis showed that most of the osmophilic yeasts (67 out of 68 isolates) were located in the phylum Ascomycota and only 1 isolate was located in the phylum Basidiomycota. Candida etchellsii was the predominant species in South Sumatera honey, while C. metapsilosis, C. parapsilosis, C. orthopsilosis were predominant species in jam. In both jam and honey samples C. metapsilosis and C. parapsilosis were found, whilst C. orthopsilosis was found only in pineapple jam. All five identified yeast species were used further to examine the antiyeast activities of cumin oil. Cumin oil was analyzed by GC-MS, and it was consisted of some compound i.e. cuminaldehide (35.44%), ρ-cymene (34.77%), β-pynene (15.08 %), γ-terpinene (8.15%), α-thujene, α-pinene, trans-limonene, cis-limonene, pentylcyclohexane, cyclohexane, and apiole. The examination of antiyeast activity based on disc agar diffusion method showed that all of the tested yeasts were sensitive to cumin oil. Keyword:Cuminum cyminum
Judul: Soybean transformation with proteinase inhibitor 11 gene through agrobacterium and particle bombardment Abstrak:The objectives of these research were (1) to obtain the best protocols of soybean transformation using Agrobacterhm-mediated bransformation and Particle Bombardment, (2) to transfer and regenerate soybean explants transformed with the proteinase inhibitor I1 gene, and to obtain soybean plants that contained the proteinme inhibitor II gene and resistant to pod barer. Research was included three experiments i.e 1) Soybean transformation using gus gen, 2) Soybean trmsfarmation using proteinase inhibitor (pin) II gene, and 3) Evaluation of soybean transformant plants. Two soybean cdtivars (Wilis and Tidar) were used in this experiments. Both cdtivars were chosen because it shown good response on early in vitro plant regeneration study and very popular to the farmers, especially cv. Wilis. On the first activity, soybean explants were inoculated with A. tumefaciens strain EHA 105 which is contained plasmid pCambia 1301 with p s gene in T-DNA region. The treatments were included an optical density (0.5; 1 and 1.5), inoculation time (60 and 90 minutes), co-cultivation time (3 and 5 days) and type of explants (young embryo and cotyledon). Result indicated that the best protocol for inoculation was using young cotyledon as explants with 1 x 10' celYrnl of Agrobacterium for 90 minutes inoculation and 5 days co-cdtivation. While on the particle bombardment method, young embryos and cotyledons were bombarded with pRQ6 plasmid. Treatment were included Helium gas pressure (1 1 00 and 1 300 psi), shooting distance (5 and 7 cm) and number of bombardment (once and twice). The best treatment was using young cotyledon as explant, bombarded once or twice with gold particles at 1 100 psi of the Helium gas pressure and 5 crn of shooting distance. On the second activity, 1539 young cotyledon explants from Wilis and 984 explants from Tidar were inoculated with A. tumefaciens which is contained proteinase inhibitor II gene on plasmids pGApin LI construct. Result from plant regeneration and selection of tsansformant explants on media with 200 mgA Kariamycine (spesific for nptII gene selection) indicated that c.v Wilis were better than Tidar, because its produced more plantlets/plants 8 plants (coded: A W I -AW8), while Tidar produced only one plant (coded: AT& On the Particle Bombardment experiments, 1274 young cotyledon explants of Wilis and 1 763 explants of Tidar were bombarded using gold particle coated with pTWa plasmids (contained pinn and bar genes). Result of plant regeneration and selection of transformant explants on media with 3 mg~l Basta (spesific for bar gene selection) indicated that cv. Tidar produced three plants (TPI-TP3) while cv.Wi1is produced only 2 plants (WPI and WP2). On the third activity, transformant plants were evaluated through molecular and bioassay analysis. Molecular analysis of nine soybean plants obtained from Agrobacterium-mediated transformation (8 Wilis and 1 Tidar) using Polymerase Chain Reaction (PCR) technique indicated that only event ATI (Tidar) was positive to pin I1 gene test, while 8 plants from event AW (Wilis) were negative. PCR test of five soybean plants obtained from bombardments experiments (2 Wilis and 3 Tidar ) indicated that no plants were positive to pin 11 gene, except WP2 (Wilis). Seeds fiom these positive plants were collected for further evaluation. Furthermore, PCR test of 50 WPtRl plants and 40 AT1 R1 plants indicated that there were several of Rl plants still positive on PCR test. Jt indicated that the proteinase inhibitor II gene was transmitted from parent plants (h)to the progeny @I). There were three DNA samples of WPzRl(No. 44,45,46) and six DNA samples of ATIRl(No. 6, 9, 11,20,22,25) were positive to pin I1 gene. Those RI plants were also challenged to pod borer (Etielfa zinckenella, Tr.) larvae in the Biosafety Containment. Observation on pod and seed damages percentage after harvesting indicated that WP2 progeny were categoried into rather susceptible to pod borer (pod damages = 45.4%), while AT1 progeny were susceptible to pod borer @od damages = 58.8%). WP2aS and W2-46 were the best event of WP2 progeny (categoried into rather resistant to pod borer with 20°/0 pod damages) and ATI-11 was the best event of ATl progeny (categoried into rather susceptible to pod born with 30% pod damages). those piants were also positive on PCR test. Keyword:
Judul: Transformasi Genetik Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Melalui Jalur Tabung Polen. Abstrak:Jarak pagar merupakan tanaman potensial penghasil bahan bakar nabati maupun untuk keperluan bidang farmasi, kosmetik dan lainnya. Upaya peningkatan produksi melalui perbaikan genetik, teknik budidaya dan sistem usaha tani lainnya perlu terus dilakukan. Pengembangan jarak pagar masih menghadapi banyak kendala antara lain belum tersedianya varietas dengan produktivitas tinggi, karena itu, upaya perbaikan genetik perlu terus dilakukan baik menggunakan metode pemuliaan konvensional maupun bioteknologi. Transformasi jarak pagar dengan media Agrobacterium maupun particle bombardment telah banyak dilakukan, namun keberhasilan memperoleh tanaman transgenik dewasa masih rendah akibat hambatan regenerasi pada kultur jaringannya. Transformasi tanaman melalui jalur tabung polen merupakan metode alternatif untuk mengatasi kendala rendahnya keberhasilan transformasi tanaman-tanaman tertentu yang sulit diperbanyak melalui kultur in vitro. Tujuan utama penelitian ini ialah untuk memperoleh metode transformasi genetik secara langsung melalui jalur tabung polen pada tanaman jarak pagar. Penelitian terdiri atas tiga percobaan. Percobaan I terdiri atas dua tahap percobaan, bertujuan untuk memperoleh informasi pengaruh perlakuan konsentrasi dan waktu penetesan DNA plasmid pCAMBIA1301 pada proses transformasi langsung melalui jalur tabung polen terhadap pembentukan buah, biji dan perkecambahan tiga genotipe tanaman jarak pagar. Percobaan I tahap pertama disusun dalam rancangan petak terbagi. Konsentrasi DNA plasmid sebagai petak utama (0.05, 0.25, 0.50 μg μL-1) dan waktu penetesan plasmid DNA sebagai anak petak (1, 2, 4, 7 dan 10 jam setelah polinasi). Percobaan I tahap kedua disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak faktor tunggal dengan 15 kombinasi perlakuan konsentrasi dengan waktu tetes DNA plasmid dan 1 kontrol wild type. Percobaan II merupakan kelanjutan percobaan I tahap kedua yang bertujuan untuk memperoleh informasi keberhasilan transformasi berdasarkan pengujian secara histokimia dan molekuler pada tanaman-tanaman transgenik putatif generasi T0. Percobaan III terdiri atas dua tahap bertujuan untuk memperoleh informasi pembentukan buah dan biji jarak pagar pada transformasi langsung melalui jalur tabung polen menggunakan plasmid pCAMBIA1301 yang membawa gen OsDREB1A serta efisiensi keberhasilannya berdasarkan analisis histokimia dan molekuler pada tanaman-tanaman transgenik putatif generasi T0. Percobaan III tahap pertama disusun dalam rancangan petak terbagi. Konsentrasi DNA plasmid pCAMBIA1301-OsDREB1A sebagai petak utama (0.05, 0.25, 0.50 μg μL-1) dan waktu penetesan plasmid DNA sebagai anak petak (1, 2, 4, 7 dan 10 jam setelah polinasi). Percobaan III tahap kedua disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak faktor tunggal dengan 15 kombinasi perlakuan konsentrasi dengan waktu tetes DNA plasmid pCAMBIA1301-OsDREB1A dan 1 kontrol wild type. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi dan waktu pemberian DNA plasmid tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan buah dan biji serta perkecambahan jarak pagar IP3A, IP3P dan JcUMM18. Namun, konsentrasi DNA plasmid berpengaruh nyata terhadap persentase buah panen jarak pagar JcUMM18 dan waktu aplikasi DNA plasmid berpengaruh nyata terhadap persentase buah dipanen dan berat biji per buah jarak pagar IP3A. Kombinasi konsentrasi DNA plasmid dan waktu tetes berpengaruh nyata terhadap tingkat perkecambahan benih genotipe IP3A, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap peubah-peubah lain pada tiga genotipe jarak pagar yang diujikan. Konsentrasi DNA plasmid 0.05-0.5 μg μL- 1 dan waktu penetesan plasmid 1-10 jam setelah polinasi dapat diterapkan pada transformasi genetik jarak pagar melalui jalur tabung polen. Efisiensi transformasi melalui jalur tabung polen tiga genotipe jarak pagar (IP3A, IP3P dan JcUMM18) berkisar antara 1.5-16.7% berdasarkan analisis histokimia dan molekuler. Secara berurutan berdasarkan analisis PCR dengan primer spesifik gen hptII dan gus, tanaman transgenik diperoleh pada 1-3 dan 3-7 perlakuan dari 15 kombinasi perlakuan konsentrasi dengan waktu penetesan DNA plasmid. Efisiensi transformasi melalui jalur tabung polen relatif berbeda pada masing-masing genotipe jarak pagar. Perlakuan konsentrasi dan waktu penetesan plasmid pCAMBIA1301 yang membawa gen OsDREB1A pada transformasi langsung melalui jalur tabung polen tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan buah dan biji jarak pagar. Berdasarkan analisis histokimia terhadap ekspresi gen hptII dan gus diperoleh efisiensi keberhasilan transformasi antara 25-100%, tetapi berdasarkan PCR dengan primer spesifik hptII dan gus efisiensinya sebesar 25% (1 tanaman positif PCR hptII dan gus diperoleh dari 4 tanaman yang diuji). Keyword:DNA plasmid, OsDREB1A, pCAMBIA1301, tetes stigma
Judul: Budget deficits, government debt and fiscal sustainability: application of vector error correction model Abstrak:Buruknya kinerja deficit anggaran dan utang perintah sejak krisis ekonomi telah membuat kondisi fiscal menjadi unsustainab;e. Indikatornya, pemerintah tidak mampu membayar angsuran pokok utang dari sumber dananya sendiri melainkan dari penarikan pinjaman baru. Pemerintah cenderung membiarkan saja defisit terjadi dan membiayainya melalui pinjaman baru. Hal ini membuat ketergantungan deficit utang menjadi sangat tinggi. Sehingga untuk mengatasinya, pada saat yang sama harus mengatasi utang dan sebaliknya. Seandainya tingkat ketergantungan kedua variable tersebut tidak setinggi kenyataannya, upaya mengatasi kedua masalah tersebut akan jauh lebih mudah. Keyword:
Judul: Zoning System of Marine National Park Management by Using Environmental Sensitivity Index, Case Study in Karimunjawa lslands, Jepara. District of Central Java Province Abstrak:Sistem zonasi pengelolaan taman nasional laut merupakan suatu bentuk penjabaran perencanaan zonasi, implementasi penataan, pemanfaatan dan pengelolaan yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi pembentukan dan pengelolaan taman nasional laut. Kepulauan Karimunjawa yang terletak di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut melalui SK Menteri Kehutanan No.161/MenHut - Wl988 dan sebagai tindaklanjutnya telah disusun Rencana Induk Taman Nasional Laut Karimunjawa (RITNLK) oleh kanwil Kehutanan Propinsi Jawa Tengah. Hasil dari RITNLK tersebut temyata tidak menunjukkan keserasian antara kegiatan konservasi, wisata alam, kegiatan perikanan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini ditunjukan oleh ketidak berhasilan pengelolaan Taman Nasional Laut Karimunjawa (TNLK) dengan berbagai permasalahan baik yang mendasari penentuan zonasi maupun penataan dan pemanfaatan tiap zonasi yang dikhawatirkan akan mengancam kegagalan fungsi TNLK. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan adanya kajian bersifat terpadu tentang Sistem Zonasi Pengelolaan TNL Karimunjawa berdasarkan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL ). Sesuai dengan prinsip perencanaan pengelolaan, penelitian ini bertujuan I) membuat basis data yang menggambarkan keakuratan luasan, penggunaan dan penutupan lahan yang menggambarkan keberadaan ekosistem di tiap pulau secara geografis, 2) menyusun nilai IK.L dari tiap ekosistem di setiap pulau, 3) mengkaji dinamika hidro-oceanografi clan kelayakan sosekbud, 4) membuat zonasi, penataan dan pemanfatan dari setiap zonasi dan 5) Mengembangkan program pengelolaan TNLK. Dari tujuan tersebut, diharapan basil penelitian ini dapat menyerasikan kegiatan perikanan, pengelolaan wisata dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kaidah konservasi, sehingga secara kebijakan penelitiap. ini dapat digunakan dalam perubahan atau re-desain zonasi, penataan dan pemanfaatan tiap zonasi sampai pada pengelolaan TNLK sehingga mempunyai kegunaan sesuai dengan tujuan penetapan TNLK clan secara ilmiah penelitian ini dapat dijadikan dasar acuan dalam sistem zonasi taman nasional laut yaitu berdasarkan nilai Indeks Kepekaan Lingkungan, dinamika hidrooceanografi dan kelayakan sosial ekonomi budaya masyarakat., Karimunjawa islands was decided as.. Marine National Park ("MNP ") which has master plan of MNP (Rencana Induk ·Taman Nasional Laut Karimunjawa = R/TNLK). However, some problems faced on this .m._aster plan are; zoning deciding, and planning for development of utilizing zones, these matters may result in failure of MNP function. In order to avoid these failures, so it is needed to reformulate the MNP management planning based on the balance activities of conservation, ecotourism, fisheries and community empowerment. . Environmental Sensitivity Index (ES/ =lndeks Kepekaan Lingkungan) is better way to be applied in reformulating the zoning re-design, planning for development of utilizing zone, so that the objectives of these MNP management can be obtained. This research had been conducted during 28 months (from September 1997 to December 1999), location of research is in Karimun Jawa islands, Jepara District of Central Java Province. Objectives of the research are: 1) Compiling the baseline data based on the accuracy of area, geographical, land use or ecosystem conditions in each islands. 2) Formulating the Environmental Sensitivity index (ES/) for each ecosystem and islands, 3) Analyzing the dynamical of hydro-oceanography condition as well as socio, economic and cultural suitability, 4) Formulation of zoning system and planning for development of utilizing zones, 5) Development of management program for Karimunjawa MNP. Result of this research can be concluded as follows; 1) Karimunjawa MNP has 27 islands, 6 sandy islands (gosong pasit), the waters has slightly slope (JO to 37 %), and the sea depth is < 50 meter. There are eight types of land use, which dominated by mix farming (36,54 %) and low land tropical forest (22,69 %). All of islands are surrounded by coral reef waters cover by sandy 3. 707,63 ha (64,93 %) and active coral reef 4/8,67 ha (1,33 %). 2) ES/ of islands is in the range of 56 to 92 (slightly sensitive to very sensitive). The most sensitive islands are Geleang, Burung, Krakal Besar, Krakal Kecil and Tengah islands, and the highest ES/ is coral reef (> 70), 3) The ecosystem in this area consist of coral reef, mangrove, seaweed, and sea grass which has own unique (high sensitive) and high diversity of habitat, this condition rise as result of various wide of island and dynamical of hydrooceanography, while the people socio, economic and cultural condition are also influence to this ecosystem, 4) Result of zoning analysis leads to 4 zones of MNP, the respective area for each zone are; a) Sanctuary zone 10.046,25 ha (9%), b) Wilderness zone 21.208, 75 ha (19%), c) Use zone 29.022,50 ha (26%), and d) Buffer zone 51.347,50 ha (46%). There are I I locations of use zone can be developed for sea and beach tourism area, and there are 36 locations in I I islands are suitable for fishery activities, such as sea grass, sea fishery and pearl clam cultivations. Keyword:Zanation, Ecosystems, Marine parks
Judul: Model of marine national park development: optimization of capture fisheries management in Karimunjawa National Park Abstrak:Karimunjawa National Park (KNP) inhabited mostly by fishery household, surrounds by 111.625 ha of waters. Fishing zone is dedicated for traditional fisheries. Therefore the capture fisheries in KNP should be adjusted to accommodate conservancy and utilization objectives. The objectives of the research are: (1) to design management model of capture fishery in KNP; and (2) to design fishing zone model within traditional fishery zone. To address problems related to the park’s management, a system approach was used in this research. Method for evaluating park’s management effectiveness was multi-criteria analysis (MCA) with bio-physic, social economic, and management aspects, and also economic valuation. Managerial model of capture fisheries was performed by implementing some analyzes: comparative performance index (CPI), bioeconomic, linear goal programming (LGP), MCA, feasibility study, and institutional analysis. Model of fishing zone is performed by using geographical information system (GIS). Strategic policy was conducted by using strength weaknesses opportunity and threats (SWOT) and interpretative structural modeling (ISM). Evaluation of park’s management show the value 0,44 on scale 0 to 1 or effectiveness level at 44%. Governance aspect provides the largest contribution in the assessment, followed by economic and biophysical aspects. The economic valuation result Rp. 53.051 million. Fishing activities accounted for the largest value Rp. 30.513 million (58%). The managerial model of capture fisheries named PITASI is composed by the leading fish from reef fish is jack trevallies and anchovy for pelagic fish. Reef fish potency is 149 ton/year and pelagic fish 19.080 ton/year. The optimal number of fishing gear for reef fisheries are hand line 336 units and trap 21 units; for pelagic fish are troll line 336 units, boat lift net 115 units, and gillnet 168 units. Hand line and fish trap for reef fisheries, and troll line, boat lift net, and gillnet for pelagic fisheries, are competent to develop continuously in KNP. The fishing zone is divided to be three areas: (1) 0-3 nautical mil (nm) from coastal line is for reef fisheries (hand line and fish trap); (2) 3-4 nm is for pelagic fisheries (gillnet and boat lift net); and (3) more than 4 nm is for pelagic fisheries with dynamic fishing gear (troll line). Fisheries management strategic includes developing potency of fish resources, increasing institutional capacity, and also monitoring and law enforcement. Strategy of implementation model includes five elements are affected society sector, the main constraints, the measuring standard, required activities, and involved institutional. Keyword:
Judul: Antioxidant and anti-platelet aggregation activitie of cassia vera (Cinnamomum burmanni nees ax Blume) bark extract and it’s potency in preventing atherosclerosis in rabbit Abstrak:There has been limited report on the biological activities of cassia vera bark extract and the potency of cassia vera bark extract as antioxidant, anti-platelet aggregation, and anti-hypercholesterolemia, and its function as anti-atheroschlerosis in rabbit in not yet known. Keyword:
Judul: Ekspansi Perkebuan Kelapa Sawit: Perubahan Struktur Agraria dan Sistem Nafkah Rumah Tangga Pedesaan Abstrak:Penelitian ini menganalisasi suatu proses ekspansi perkebunan kelapa sawit yang kemudian memberikan dampak pada struktur agraria dan sistem nafkah rumah tangga pedesaan. Dengan menggunakan sequential mix method, penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dan kuantatif untuk melakukan kerja-kerja pengumpulan hingga analisis data. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan Companion Modeling untuk menganalisis proses terjadinya perubahan bentang alam akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Sebagai suatu pendekatan baru dalam kajian Sosiologi Pedesaan, Companion Modeling memberikan suatu cara pandang dalam menganalisa proses perubahan bentang alam akibat ekspansi yang dilakukan oleh beragam aktor termasuk perkebunan kelapa sawit. Ekspansi perkebunan kelapa sawit adalah suatu keniscayaan ditengahditengah menguatnya permintaan pasar global terhadap minyak kelapa sawit. Beragam aktor terlibat dalam ekspansi perkebunan kelapa sawit yaitu diantara perkebunan skala besar (swasta maupun milik negara), petani/pekebun swadaya, dan petani/pekebun plasma. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh perkebunan skala besar dengan difasilitasasi oleh instrumen kebijakan berupa izin lokasi, izin usaha perkebuan, dan hak guna usaha telah melakukan teritorialisasi ruang pedesaan. Proses ini berhadap-hadapan dengan klaim lokal dari masyarakat desa setempat. Perubahan struktur agraria pedesaan terjadi dengan bekerjanya organisasi produksi kelapa sawit. Lahan-lahan yang sebelumnya dikuasai, “dimiliki”, dan dimanfaatkan oleh masyarakat kini berubah fungsi menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit perusahaan. Proses ekspansi perkebunan kelapa sawit ini juga terkait dengan isu-isu tentang deforestasi, konflik sosial, dan hilangnya keanekaragaman hayati akibat monokulturisasi tanaman perkebunan kelapa sawit. Mengangkangi debat tentang sawit sebagai penyebab deforestasi, penelitian ini melakukan penelusuran sejarah agraria atas proses deforestasi yang terjadi sejak era logging hingga era kejayaan perkebunan kelapa sawit. Memang benar bahwa kelapa sawit tidak menyebabkan deforestasi secara langsung (direct), karena deforestasi telah terjadi jauh sebelum era kejayaan perkebunan kelapa sawit. Namun penelitian ini melihat adanya fenomena teori pelanjut deforestasi (maintaining deforestation theory) yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit. Konsekuensi dari ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar, masyarakat juga terseret dalam euforia ekspansi perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini menemukan suatu bentuk ekspansi senyap (silent expansion) yang dilakukan oleh petani/pekebun swadaya. Ekspansi senyap merupakan suatu strategi perluasan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan secara diam-diam, ilegal (di belakang panggung negara), luasan kecil-terfragmentasi, dan dilakukan oleh petani/pekebun yang memiliki relasi dengan aktor-aktor seperti midlle man dan big man. Ekspansi senyap ini juga terjadi akibat adanya dukungan dari program-program ii pemberdayaan masyarakat dalam kerangka kerjasama antara perusahaan dengan pemerintah setempat seperti pembagian bibit kelapa sawit. Ekspansi senyap mempertegas Teori Akses yang memberikan kritik terhadap Teori Hak. Tanpa hak atas lahan atau sekumpulan hak (bundle of right), ternyata aktor mampu melakukan ekspansi perluasan kebun kelapa sawit dengan menggunakan sekumpulan kuasa (bundle of power). Hak (right) menjadi hal yang tidak dianggap penting oleh aktor-aktor yang melakukan ekspansi senyap, padahal dalam kerangka kehidupan bernegara hak merupakan yang terpenting karena terkait dengan instrumen politiko-legal dalam panggung negara. Penelitian ini menujukkan bahwa fenomena ekspansi senyap terjadi akibat terjadinya vacum of authority. Selanjutnya penelitian ini menujukkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah menjadi pipa penghubung antara ekonomi desa dengan sirkuit ekonomi global. Desa-desa di sekitar perkebunan kelapa sawit Kabupaten Kutai Kartanagara mengalami ketergantungan pada ekonomi perkebunan kelapa sawit dan menujukkan gejala penunggalan sumber nafkah rumah tangga pedesaan. Rumah tangga pedesaan mengalami tragedi nafkah, karena semakin menunjukkan fenomena ketergantungan tunggal kepada perkebunan kelapa sawit. Proses monokulturisasi tanaman yang mengubah bentang alam telah mengakibatkan jebakan mono-struktur nafkah yang berbasis komoditas kelapa sawit. Proses ini menjadikan rumah tangga desa dalam posisi yang rentan, karena tidak lagi berdaulat atas usaha pertaniannya sendiri melainkan tergantung pada fluktuasi harga tandan buah segar kelapa sawit. Pada bagian akhir penelitian ini hendak memberikan alternatif terhadap penyelesaian masalah-masalah yang diakibatkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Penyelesaian masalah tersebut dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap institusi legal-formal yang terdapat di Indonesia. Akhirnya pendekatan institusional dalam penyelesaian masalah-masalah ekspansi perkebunan kelapa sawit muaranya sangat bergantung pada political will pemangku kuasa tertinggi di republik ini. Keyword:Akses, bundle of power, bundle of right, companion modeling, ekspansi senyap, struktur agraria
Judul: Dinamika Praktik Sosial di Pedesaan (Kasus Konversi Siklikal Sawah – Kelapa Sawit – Sawah pada Daerah Irigasi Air Manjunto Bengkulu). Abstrak:Konversi lahan pertanian sawah menjadi peruntukan lain telah terjadi di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir. Laju konversi lahan sawah sebagai penghasil padi di kawasan irigasi diperkirakan mencapai 100 ribu hektar per tahun, sedangkan kemampuan mencetak sawah baru per tahun relatif terbatas yaitu hanya 40 ribu hektar, padahal jumlah penduduk terus meningkat yang otomatis mendorong peningkatan konsumsi beras sebagai pangan pokok rakyat. Hal ini berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional. Konversi lahan sawah telah banyak terjadi di Indonesia. Konversi lahan sawah irigasi sebagian besar terjadi di Pulau Jawa sebagai lumbung beras nasional karena tekanan pemenuhan lahan perumahan, pabrik, infrastruktur, dan akitivitas industri. Berbeda dengan di Pulau Jawa, lahan sawah irigasi di Sumatera banyak dikonversi menjadi kebun kelapa sawit rakyat. Suatu kasus yang menarik terjadi di daerah irigasi Air Manjunto Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu yang pola konversi lahan sawahnya berlangsung secara siklikal dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Air Manjunto merupakan daerah irigasi terluas di Provinsi Bengkulu (9.493 ha) yang meliputi areal persawahan di 21 desa pada 4 kecamatan. Lahan sawah irigasi di Air Manjunto sebelumnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan kemudian diubah kembali menjadi sawah. Fenomena konversi lahan sawah irigasi di Air Manjunto secara siklikal menjadi fokus pembahasan dalam disertasi ini. Masalah yang diangkat adalah “mengapa dan bagaimana terjadinya interaksi agensi – struktur dalam konversi lahan sawah secara siklikal yaitu dari sawah – kelapa sawit – sawah di daerah irigasi Air Manjunto Kabupaten Mukomuko serta perubahan struktural apa yang menyertainya?” Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis penyebab dan proses terjadinya ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko dan dampaknya bagi petani di Air Manjunto, (2) menganalisis penyebab, proses, dan dampak struktural yang terjadi akibat konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat dan intensifikasi budidaya padi di daerah irigasi Air Manjunto, dan (3) menganalisis penyebab dan proses konversi perkebunan kelapa sawit rakyat kembali ke sawah di daerah irigasi Air Manjunto. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan strategi studi kasus yang berparadigma konstruktivisme. Peneliti memandang bahwa fenomena konversi lahan di Air Manjunto bersifat lokal dan spesifik sehingga hanya akan dipahami dengan baik oleh peneliti dengan mengungkap sudut pandang subyek penelitian (tineliti), khususnya petani sebagai pelaku konversi. Praktik konversi lahan di Air Manjunto yang siklikal itu merupakan hasil interaksi antara agensi – struktur dalam semesta sistem sosial ekonomi petani. Oleh karena itu, peneliti menggunakan Teori Strukturasi Giddens untuk menganalisis fenomena ini. Pilihan strategi penelitian dan teori mengarahkan peneliti untuk melibatkan 40 orang informan yang sebagian besar adalah petani sebagai unit analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi/ v pengamatan lapangan yang didukung dengan data sekunder. Individu yang diwawancarai adalah pegawai pemerintah daerah, manajer perusahaan swasta, pedagang pengumpul, tokoh adat/masyarakat, dan petani. Data yang dikumpulkan terkait dengan peranan agensi dan struktur yang mempengaruhi konversi siklikal. Pengambilan data lapangan dikonsentrasikan pada tiga kecamatan di daerah irigasi Air Manjunto yaitu Kecamatan Lubuk Pinang, XIV Koto, dan Air Manjunto. Proses penelitian lapangan menghabiskan waktu 10 bulan sejak bulan Agustus 2016 sampai dengan Mei 2017. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan model interaktif yang memadukan antara proses pengumpulan data, reduksi dan penyajian data, sampai dengan penarikan kesimpulan dalam suatu siklus yang saling berhubungan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit di Mukomuko sangat dipengaruhi oleh struktur pasar dari global sampai lokal. Ekspansi kelapa sawit terjadi “dari atas” melalui investasi perusahaan perkebunan besar swasta dan “dari bawah” melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat yang dilakukan oleh beragam aktor. Struktur yang tercipta berciri faktual dan virtual; (2) konversi sawah menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat di Air Manjunto disebabkan terutama karena tekanan struktural kondisi lahan gambut yang kurang optimal untuk budidaya padi. Di sisi lain, usaha untuk tetap bersawah pada lahan sawah yang lebih produktif menyebabkan terjadinya interaksi sosial antar etnis yang berakibat pada intensifikasi budidaya padi dan pada gilirannya menyebabkan terbentuknya struktur penyakapan lahan, komodifikasi tenaga kerja, dan komersialisasi surplus produksi padi di Air Manjunto. Praktik konversi lahan sawah menjadi kelapa sawit dan intensifikasi budidaya padi menunjukkan gejala dualisme; (3) konversi perkebunan kelapa sawit rakyat kembali ke sawah yang dilakukan secara manual maupun mekanis diinisiasi oleh petani transmigran yang disebabkan oleh motivasi ekonomi dan dukungan struktur budaya, serta perbaikan irigasi melalui berbagai program pemerintah. Konversi kebun kelapa sawit menjadi sawah secara besar-besaran oleh pemerintah kemudian dilakukan melalui program pencetakan sawah di Air Manjunto yang juga didukung petani. Konversi kelapa sawit kembali menjadi sawah hanya mungkin terjadi karena adanya sinergi antara petani dan pemerintah. Hasil penelitian ini berimplikasi secara teoritis maupun kebijakan. Dari sisi teoritis, peneliti menemukan bahwa struktur tidak selalu bersifat maya (virtual) namun juga nyata (factual), tindakan kolektif mampu mempertahankan praktik sosial untuk tetap bersawah di bawah struktur yang menekan, dan interaksi antara agensi – struktur dapat bersifat dualitas dan dualisme. Program pembangunan pertanian yang dilakukan pemerintah disarankan selain memperhatikan aspek teknis dan ekonomis, juga aspek sosial yang sesuai dengan kebutuhan petani. Keyword:agensi, struktur, praktik sosial, konversi siklikal
Judul: Blood Bicchemistry Profile of Pregnant Women Consumed Fortified Cookies with Iron (Fe), Folic Acid, Vitamin A, Vitamin C, Zinc (Zn), and Iodine Abstrak:The aim of this study was to analyze the effect of fortified cookies on blood biochemistry profile of pregnant women. For this purposed, an experimental study design was applied among 269 physically healthy pregnant women in Leuwiliang and Cibungbulang, Bogor for four treatment groups (I, 11, 111, IV) and control group (V), which given one type of formula cookies for each. The five type of formula are: (1) formula A, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A and vitamin C; (2) formula B, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, and Zn; (3) formula C, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A, vitamin C, and iodium; (4) formula D, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, Zn, and iodium; (5) formula E, was not fortified (control). The different formula were given to different group of women every two days during gestation period. Keyword:
Judul: Pengembangan Bubu Ekor Kuning yang Selektif Menuju Perikanan yang Berkelanjutan Abstrak:Pada kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bubu selain hasil tangkapan utama maka banyak tertangkap hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan sampingan (bycatch) merupakan hasil tangkapan non target species yang tertangkap secara insidental (incidental catch). Hasil tangkapan sampingan juga meliputi hasil tangkapan utama namun berukuran kecil. Bycatch saat ini mejadi isu yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Oleh karena itu dengan fakta bahwa bycatch merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian sumberdaya perikanan maka pengembangan teknologi alat tangkap saat ini bergeser dari upaya untuk menangkap sumberdaya ikan sebanyak banyaknya kepada upaya untuk meningkatkan selektivitas baik species selectivity maupun size selectivity. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) menentukan respon dan tingkah laku ikan ekor kuning di dalam bubu; (2) menentukan posisi, bentuk dan ukuran celah pelolosan terbaik untuk menangkap ikan ekor kuning yang layak tangkap; (3) menentukan hasil tangkapan sampingan bubu yang dioperasikan di Perairan Kepulauan Seribu; (4) menentukan selektivitas celah pelolosan terhadap ikan ekor kuning pada bubu uji coba yang digunakan. Pada pengamatan mengenai tingkah laku ikan di dalam bubu terlihat bahwa ikan ekor kuning cenderung bergerak dan berkumpul di area terbuka. Beberapa ikan bergerak secara aktif melakukan eksplorasi di tiap zona. Adanya kecenderungan pola renang ikan untuk bergerak di ruang terbuka mengindikasikan bahwa ikan ekor kuning merupakan kelompok ikan yang cenderung bergerak aktif di area yang luas. Pergerakan ikan ekor kuning di zona sempit di zona 7, 8 dan 9 hanya sesekali dilakukan. Bahkan pergerakan ikan di zona 8 yang merupakan area sempit dibawah mulut bubu jarang sekali dilakukan. Persentase ikan yang melakukan attempt (upaya meloloskan diri) di zona 1 dan zona 3 masing masing sebanyak 26 kali (54,1 %) dan 11 kali (22,9 %). Zona 1 dan 3 merupakan zona terbuka yang saling berseberangan dan menjadi target ikan untuk meloloskan diri dari bubu. Ikan ekor kuning tidak pernah melakukan upaya meloloskan diri melalui zona 5, 8 dan 9. Upaya ikan untuk meloloskan diri dari bubu ditunjukan oleh adanya luka pada bagian kepala ikan. Ikan ketika berada di dalam bubu terkadang melakukan gerakan dengan pola renang yang tenang dan teratur, namun juga terkadang menunjukan perilaku yang agresif. Pola renang yang agresif dapat terlihat dari waktu yang digunakan oleh ikan untuk meloloskan diri dari bubu. Ketika ikan masuk ke dalam bubu maka ikan melakukan berbagai upaya untuk meloloskan diri. Waktu yang digunakan oleh ikan ekor kuning untuk meloloskan diri berkisar antara 4,0 - 1.318 detik. Posisi celah pelolosan yang banyak digunakan oleh ikan ekor kuning untuk meloloskan diri berada pada posisi bagian belakang sebelah kiri yang berada pada zona 1 dengan jumlah ikan ekor kuning yang berhasil lolos sebanyak 20 ekor atau setara dengan 83,3% dari total individu. Zona tersebut banyak digunakan oleh ikan ekor kuning untuk meloloskan diri karena memiliki area terbuka yang lebih luas. Berdasarkan hasil tersebut, dari 9 zona yang terdapat pada bubu pengamatan hanya 3 zona yang digunakan oleh ikan ekor kuning untuk meloloskan diri yakni zona 1, zona 3 dan zona 7. Berdasarkan pengamatan melalui underwater CCTV camera tidak terdapat upaya ikan ekor kuning untuk meloloskan diri melalui dinding bagian atas bubu. Ditinjau dari bentuk celah pelolosan yang digunakan, maka celah pelolosan berbentuk lingkaran merupakan celah pelolosan yang paling banyak digunakan oleh ikan untuk meloloskan diri disusul oleh celah pelolosan berbentuk persegi panjang. Namun demikian tidak ada satupun ikan ekor kuning yang meloloskan diri melalui celah pelolosan berbentuk elipse. Ikan yang tertangkap selama operasi penangkapan bubu terdiri atas 24 famili dan 34 spesies. Jumlah hasil tangkapan hanya didominasi oleh beberapa spesies dari famili Caesonidae dengan proporsi sebanyak 31,98% dari total hasil tangkapan, disusul oleh famili Lutjanidae sebanyak 16,15%, Holocentridae sebanyak 15,67 % dan Nemipteridae sebanyak 14,36% dari total hasil tangkapan. Total jumlah ikan hasil tangkapan yang diperoleh selama operasi penangkapan sebanyak 2.073 ekor dengan bobot 441,31 kg. Hasil tangkapan utama berupa ikan ekor kuning (Caesio cuning) dengan total jumlah sebanyak 634 ekor (30,66%) serta total bobot sebanyak 186,90 kg (42,64%). Hasil tangkapan lainnya yang merupakan hasil tangkapan sampingan paling dominan adalah ikan kakap (Lutjanus vitta) dengan total jumlah hasil tangkapan sebanyak 330 ekor (15,9%) dan total bobot sebanyak 50,86 kg (11,5%). Adapun hasil tangkapan sampingan dominan lainnya adalah ikan swanggi (Sargocentron rubrum) sebanyak 324 ekor (15,6 %) dengan total bobot hasil tangkapan sebesar 51,181 kg (11,6%) dan ikan serak (Scolopsis margaritiferus) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 289 ekor (13,9%) dan bobot sebesar 40,04 kg (9,1%). Pada uji coba penangkapan diperoleh total jumlah hasil tangkapan ikan pada bubu sebanyak 727 ekor sedangkan yang berhasil meloloskan diri melalui celah pelolosan sebanyak 1.346 ekor. Ikan ekor kuning yang merupakan target spesies tertangkap pada bubu dengan jumlah sebanyak 331 ekor dan yang berhasil lolos menuju cover net sebanyak 303 ekor. Hasil uji t terhadap total jumlah tangkapan pada bubu dan yang lolos diperoleh nilai yang secara signifikan berbeda dengan nilai P sebesar 0,010. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah hasil tangkapan yang tertangkap pada bubu dan yang berhasil lolos menuju cover net. Adapun hasil uji t terhadap total hasil tangkapan ikan ekor kuning yang terdapat pada bubu dan yang lolos secara signifikan tidak berbeda nyata dengan nilai P sebesar 0,0918. Panjang total hasil tangkapan ikan ekor kuning yang paling banyak tertangkap pada bubu terdapat pada kisaran ukuran 20-22 cm sedangkan ukuran hasil tangkapan ikan ekor kuning yang berhasil lolos dari bubu masuk ke dalam cover net paling banyak terdapat pada kisaran panjang total 18-20 cm. Berdasarkan uji t terhadap panjang total ikan ekor kuning yang tertangkap pada bubu dan yang lolos ke dalam cover net diperoleh hasil yang secara signifikan berbeda nyata dengan nilai thit sebesar 3,353 dan nilai P sebesar 0,005 Kurva selektivitas celah pelolosan pada bubu eksperimen adalah sigmoid dengan tipe landai (slender type). Kurva celah pelolosan dengan tipe landai menunjukan bahwa alat tangkap tersebut menangkap ikan ekor kuning dengan jangkauan ukuran panjang yang agak lebar. Kurva selektivitas celah pelolosan pada bubu tersebut mencapai maksimum untuk menangkap ikan ekor kuning dengan panjang total di atas 29 cm. Berdasarkan analisis kurva selektivitas celah pelolosan diperoleh nilai L50 sebesar 22,6 cm. Dengan demikian nilai L50 kurva selektivitas celah pelolosan lebih besar dibanding nilai Lm ikan ekor kuning yang sebesar 20 cm. Hal ini berarti bahwa celah pelolosan dapat berfungsi dengan baik untuk mengurangi hasil tangkapan ikan ekor kuning yang berukuran kecil. Keyword:bycatch, escape vent, fish behavior, pot, selectivity, yellowtail
Judul: Rancang Bangun Bubu Lipat Dalam Upaya Peningkatan Efektivitas Dan Efisiensi Penangkapan Kepiting Bakau Yang Ramah Lingkungan Abstrak:Bubu lipat yang banyak digunakan dalam penangkapan kepiting bakau masih memiliki kelemahan. Kelemahannya antara lain jenis dan kualitas umpannya tidak disukai oleh kepiting bakau, hasil tangkapannya lebih banyak terdiri atas kepiting bakau muda, dan konstruksinya mudah dirusak oleh kepiting bakau. Kelemahan bubu tersebut dapat diperbaiki melalui kajian rancang bangun berdasarkan tingkah laku kepiting bakau. Informasi mengenai rancang bangun bubu tersebut dan tingkah laku kepiting bakau masih sedikit. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mendapatkan jenis dan kualitas umpan yang disukai oleh kepiting bakau, menentukan arah dan ketajaman penglihatan kepiting bakau, menentukan respons kepiting bakau terhadap bagian-bagian bubu, merancang dan membuat bubu lipat, menentukan efektivitas dan efisiensi bubu lipat, menentukan tingkat selektivitas bubu lipat dan menentukan tingkat keramahan lingkungan bubu lipat. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian di laboratorium dan di lapangan. Penelitian menggunakan metode pengamatan dan percobaan penangkapan. Penelitian di laboratorium menganalisis respons makan kepiting terhadap umpan, menganalisis kemampuan penglihatan kepiting, mengamati respons kepiting terhadap bagian-bagian bubu, merancang dan membuat bubu. Sementara itu, penelitian di lapangan melakukan percobaan penangkapan kepiting, melakukan ujicoba pelolosan kepiting dan menganalisis tingkat keramahan bubu terhadap lingkungan. Data penelitian dianalisis secara statistika dan secara diskriptif komparatif. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa pilihan kepiting bakau terhadap jenis dan kualitas umpan bervariasi. Persentase rata-rata pilihan kepiting terhadap umpan ikan selar sebesar 77,88%, sedangkan umpan kerang bulu 22,12%. Adapun pilihan kepiting terhadap umpan selar segar adalah 58,54%, umpan selar rendam 24,39% dan umpan selar busuk 17,07%. Sementara itu, perbandingan kandungan kimia umpan segar : rendam : busuk adalah protein (17% : 16,05% : 15,85%), lemak (0,32% : 1,05% : 0,39%), air (77,24% : 74,49% : 78,64%), asam amino (16,12% :15,2% : 15,17%), dan asam lemak (59,26% : 60,07% : 47,05%). Uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa secara statistika pilihan kepiting terhadap umpan selar segar berbeda nyata jika dibandingkan dengan pilihan kepiting terhadap umpan selar rendam maupun selar busuk, sementara pilihan kepiting terhadap umpan selar rendam dan selar busuk tidak berbeda nyata. Pilihan kepiting terhadap umpan didukung oleh kemampuan penglihatannya. Analisis kemampuan penglihatan kepiting bakau menunjukkan bahwa arah dan ketajaman penglihatan kepiting bervariasi. Arah penglihatan kepiting lebih dominan ke arah depan dalam jika dibandingkan dengan arah depan luar, belakang luar maupun belakang dalam karena jumlah sebaran sel kon lebih banyak berada pada bagian mata depan dalam. Adapun posisi dead zone berada pada arah v penglihatan belakang dalam. Sementara itu, ketajaman penglihatan kepiting berkorelasi dengan ukuran lebar karapasnya. Kepiting dengan ukuran lebar karapas 8,6-11,01 cm memiliki ketajaman penglihatan 1,84-3,72 derajat. Berdasarkan analisis jarak penglihatan maksimum, kepiting dapat melihat material bubu seperti jaring dan kawat galvanis. Respons kepiting bakau terhadap bagian-bagian bubu juga bervariasi. Kepiting lebih mudah melewati sudut kemiringan bidang lintasan masuk 20 derajat dan sudut 40 derajat jika dibandingkan dengan sudut 60 derajat. Kepiting mampu melewati bidang lintasan masuk berbentuk lurus maupun berbentuk corong. Kepiting juga secara mudah melewati bentuk mulut masuk yang terbuka jika dibandingkan dengan bentuk mulut masuk yang relatif tertutup. Selanjutnya, respons kepiting tersebut dijadikan acuan dalam perancangan bubu lipat. Perancangan bubu lipat menghasilkan 7 bentuk bubu yaitu bubu B-20, B-40 dan B-60, bubu 2 bidang lintasan masuk (B-II.S), bubu 3 bidang lintasan masuk (B-III.S), bubu 4 bidang lintasan masuk (B-IV.S) dan bubu algonis (A-40). Semua bubu tersebut dapat menangkap kepiting kecuali bubu B-20 dan B-60 yang kurang mampu menangkap kepiting dewasa. Bubu-bubu tersebut memiliki daya tenggelam antara 0,42 - 0,58 kgf sehingga dapat tenggelam ke dalam air dan berada dalam posisi stabil di atas substrat dasar perairan. Kestabilan bubu tersebut di dalam air berhubungan dengan efektivitasnya. Efektivitas bubu lipat bervariasi. Bubu B-IV.S menangkap kepiting lebih banyak dibandingkan dengan bubu lainnya. Adapun bubu A-40 menangkap kepiting lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lainnya, namun semua kepiting tangkapannya berukuran dewasa. Efektivitas setiap bubu sebagai berikut B-IV.S: 32,5%, B-III.S: 23,3%, B-II.S: 20,0%, sementara bubu B-40: 20,8%, B-60: 15,8%, B-20: 14,2% dan A-40: 12,5%. Efektivitas bubu tersebut juga berhubungan dengan selektivitasnya. Selektivitas bubu lipat juga bervariasi. Nilai selektivitas (LK50) untuk bubu dengan CP depan : 6,6 cm, CP samping bawah: 6,5 cm, CP samping atas: 6,2 cm dan CP sudut atas: 6,4 cm. Adapun nilai selektivitas (LK50) bubu A-40 adalah 8,5 cm. Selektivitas bubu juga berhubungan tingkat keramahannya terhadap lingkungan. Tingkat keramahan lingkungan bubu lipat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu bubu ramah lingkungan, bubu kurang ramah lingkungan dan bubu tidak ramah lingkungan. Bubu ramah lingkungan adalah A-40, bubu kurang ramah lingkungan adalah B-40, B-II.S, B-III.S dan B-IV.S, sedangkan bubu tidak ramah lingkungan adalah B-20 dan B-60. Keyword:Bubu lipat, efektivitas, efisiensi, kepiting bakau, rancang bangun
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Accountability and sustainability study of coral reef management in Lembeh Strait, Bitung Abstrak:Lembeh Strait, under the administration of Bitung city, North Sulawesi Province has a rich variety of marine & coastal resources including coral reefs. Sustainable management of these natural richness is required since the resources play important role to populations living around Lembeh strait which are dependant on marine resources for their livelihoods. De velopment in coral reef area faces management problem leading to conflic t of use. An attempt to include accountability factor using multidimensiona l approach is needed to implement sustainable policy for coral reefs more effectively. Keyword:anthropogenic activities, Principle Component Analysis, ecological dimension, technology dimension, North Sulawesi
Judul: Community-based coral reef management in small islands: a social capital analysis Abstrak:Human activities including bomb and poison fishing and coral mining have threatened Indonesian coral reefs. Many programs have been promoted to alleviate the problem. The focus of social capital’s contribution to sustainable coral reef resource use has been given little attention. Social capital that defined as trust, norms of reciprocity, and networks is argued to facilitate the formation of collective action and institution, which may contribute to sustainable coral reef resource use. The study is carried out in five islands in South Sulawesi and analyses the state of coral reef, destructive fishing, and fishery sustainability. Three dimensions of social capital (i.e. bonding, bridging and linking social capital) are assessed, including the impact of social capital investment. It discusses institutional analysis of community-based institutional arrangements. Further, a simulation experiment of an agent-based modelling is made to understand dynamic impact of social capital on destructive fishing and fishery. Results show that bonding, bridging and linking social capital affect the formulation and enforcement of rules and institution at local level. Social capital investment – through networks, capacity and institution building – is a necessary condition for coral reef management, but not sufficient. Enforcing local rules requires credible commitment, but is difficult to attain because of the problem of fit between rules and resource system. When the community capacity and institution are weak, destructive fishing are proliferated, because social norms are not sufficiently strong to prevent widespread individual opportunism. The study recommends three aspects to achieve sustainable coral reef management: (1) to promote multi-scale governance that can link up different levels of management organization; (2) to improve fishers’ welfare through fulfillment of basic needs, to avert the use of destructive fishing tools for economic reason; (3) to increase disparities of fish price and production costs between fishing using destructive gears and those that do not. Keyword:Terumbu karang, Coral reef ecosystems, Social capital, Multi-Criteria Analysis (MCA)
Judul: Rekayasa Proses Granulasi Gula Aren Cetak Abstrak:Rendahnya produksi gula aren granul selama ini karena produktivitas rendah pada skala produksi kecil dan minat petani memproduksi gula aren granul rendah. Pengumpulan nira aren dalam jumlah besar sulit dilaksanakan sehingga peningkatan skala produksi gula aren granul dengan bahan baku langsung dari nira aren segar sulit dilakukan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan alternatif proses granulasi dengan bahan baku dari gula aren cetak. Pengumpulan bahan baku gula aren cetak dalam jumlah besar lebih mudah dibandingkan dengan pengumpulan nira aren segar, selain itu petani sudah sangat terbiasa dan paham membuat gula aren cetak. Dengan demikian skala produksi gula aren granul dengan menggunakan gula aren cetak akan mudah dapat dilakukan pada skala produksi yang lebih besar (industri). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi dan fenomena proses granulasi gula aren cetak (GAC) menjadi gula aren granul. Penelitian dilakukan dengan karakterisasi gula aren cetak sebagai bahan baku gula aren granul, pembuatan gula aren granul dari nira aren segar (GAG kontrol) dan pembuatan gula aren granul dari gula aren cetak (GAG) dengan perlakuan suhu udara pemanas 70, 80 dan 90 oC dan pengadukan setiap 5 menit sampai 45 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik fisiko kimia GAC bervariasi diatara sampel dengan kadar air antara 11.05-14.36 %db, gula pereduksi 1.00-4.27 %db, total asam 143.36-319.84 mg NaOH/100 g bahan, sukrosa 83.74-93.45 %db, bahan tidak larut air 0.35-0.67 %db dan abu 2.06-3.65 %db. Secara umum karakteristik GAC memenuhi standar mutu SNI, kecuali kadar air dan abu. Karakteristik GAC di atas secara umum memenuhi standar bahan baku untuk GAG. GAC yang memiliki kadar sukrosa tertinggi, kadar gula pereduksi terendah dan total asam terendah lebih diutamakan digunakan sebagai bahan baku proses granulasi. Karakteristik warna sampel GAC mempunyai nilai chroma antara 80 dan 83 dengan sudut Hue sekitar 67 (warna kecoklatan) tidak menunjukkan perbedaan nyata. Struktur sampel GAC menunjukkan kristalinitas bervariasi antara 57.12-68.68 %. Gugus fungsional GAC terdiri dari gula dengan gugus aldehida dan beberapa senyawa lainnya seperti asam dan aromatik Selama proses granulasi gula aren cetak, kristalinitas bahan meningkat sampai 75% pada menit ke-20 tetapi kemudian menurun menjadi sekitar 71% pada akhir proses granulasi (menit ke-40). Keberadaan fraksi amorf pada GAC sekitar 35-37 % dan pada GAG sekitar 29-30 % mengakibatkan GAC dan GAG bersifat higroskopis dan tidak tahan disimpan pada RH tinggi. Selama granulasi, suhu bahan meningkat sampai menit ke-20 sampai ke-25 kemudian relatif tetap sampai akhir proses untuk semua perlakuan suhu (70, 80 dan 90 oC). Profil kadar air bahan menurun tajam sampai menit ke-30-35, lalu kecepatan penurunannya semakin berkurang sampai akhir proses. Pembentukan granul berupa pemecahan gumpalan terjadi sekitar kadar air 3.4-4.2 % atau kadar air multilayer (3.86 %db) yang berlangsung pada menit ke-25-30 untuk suhu pemanasan 80 dan 90 oC. Selama proses granulasi warna granul berubah lebih cerah, lebih merah dan lebih kuning, chroma meningkat dari 83 menjadi 85 dan sudut Hue berubah sekitar 2.5 oHue ke arah lebih kuning dibanding GAC. Pengaruh suhu 70, 80 dan 90 oC menghasilkan morfologi granul makin kasar, tonjolan keluar makin jelas dan kuat dengan makin meningkatnya suhu dan waktu proses. Gugus fungsional GAG tidak berbeda dengan GAG-kontrol kecuali intensitas transmitansi GAG lebih tinggi dibandingkan GAG-kontrol. Kadar air terikat pada GAG, GAG-kontrol dan GAC masing-masing 3.77, 3.87 dan 5.08 % dengan aw kesetimbangan berturut-turut 57 %, 64 % dan 66 % menunjukkan bahwa GAG perlu disimpan pada RH yang lebih rendah dibandingkan GAC. GAG yang dihasilkan melalui granulasi GAC memberikan nilai tambah yang lebih besar (Rp 1 298 per kg) dibandingkan dengan GAG dengan bahan baku langsung dari nira aren segar (Rp 835 per kg), sehingga proses granulasi GAC berpotensi untuk diimplementasikan. Keyword:gula aren cetak, gula aren granul, fisiko-kimia, kadar air kesetimbangan, struktur mikro, morfologi, indeks glikemik
Judul: Dampak revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi : Pendekatan sistem neraca sosial ekonomi Abstrak:Peran sektor kehutanan dalam perekonomian baik pada tingkat regional provinsi Jambi maupun tingkat nasional, dalam sepuluh tahun terakhir terus merosot. Kemerosotan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya deforestasi dan degradasi hutan. Di lain pihak sektor kehutanan di provinsi Jambi didukung dengan alokasi sumberdaya lahan berupa kawasan hutan dengan luas lebih dari 40% wilayah provinsi Jambi. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembangunan sektor kehutanan yang disebut sebagai lima program prioritas sektor kehutanan tahun 2004-2009. Salah satu program diantaranya adalah program revitalisasi sektor kehutanan, sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan sektor-sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi serta menganalisis dampak revitalisasi kehutanan terhadap distribusi pendapatan dan kesenjangan pendapatan antarrumahtangga serta penyerapan tenaga kerja di provinsi Jambi. Dalam penelitian ini sektor kehutanan didisagregasi menjadi beberapa sektor baik di sektor primer (penghasil bahan baku) maupun sektor hilir (industri pengolahan hasil hutan). Penelitian menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) untuk menghitung kontribusi, struktur dan multiplier ekonomi. Multiplier ekonomi digunakan untuk menghitung dampak investasi baru atau perluasan dalam pembangunan kehutanan sebagai implementasi kebijakan revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi Keyword:neraca sosial ekonomi, ekonomi regional, distribusi pendapatan, ekonomi regional, sistem neraca sosial ekonomi, jambi
Judul: Role of forestry in the economy of the Central Java Province: an analysis on forest utilization and revenue leakage Abstrak:Provinsi Jawa Tengah memiliki kekayaan hutan seluas 64756.81 ha dan tahun 2003 memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) output sebesar Rp 342.15 triliun. Dengan menggunakan klasifikasi standar baku, peranan ekonomi kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 1.73 triliun atau sekitar 0.51% dari total output provinsi terseb ut. Tetapi, setelah dilakukan perhitungan kembali dengan memperhitungkan total manfaat hutan maka peranan ekonomi sektor kehutanan bertambah menjadi Rp 14.49 triliun atau sekitar 4.23% dari total output provinsi, dan total outpout Provinsi Jawa Tengah men ingkat menjadi Rp 354.19 triliun. Tambahan manfaat ekonomi hutan di Provinsi Jawa Tengah tersebut antara lain berupa hasil yang langsung dikonsumsi masyarakat sebesar Rp 16.62 miliar, illegal logging sebesar Rp 61.65 miliar, illegal trading sebesar Rp 106.81 miliar, nilai tambah sebesar Rp 217 juta, air sebesar Rp 5.51 triliun, dan udara bersih sebesar Rp 429.33 miliar. Di samping itu sektor kehutanan juga memiliki potensi manfaat ekonomi lain berupa efisiensi kelembagaan dan keberadaan/pelestarian hutan sebesar Rp 5.73 triliun, dan juga memiliki manfaat ekonomi yang negatif berupa deforestasi dan erosi sebesar Rp 9.87 triliun. Dengan demikian PDRB bersih (Green PDRB) Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 168.44 triliun. Rumah tangga kehutanan baik buruh maupun rumah tangga umumnya menikmati pendapatan sektoral sebesar 11% dari total pendapatan sektor yang berjumlah Rp 8.34 trliun. Dengan demikian sekitar 89% dari pendaptan sektor kehutanan dinikmati industri dan pengusaha kehutanan serta sektor lain non kehutanan. Dengan skenario memberantas kegiatan illegal kehutanan sampai dengan tidak terjadi sama sekali (0%) maka terjadi penurunan output sebesar sampai Rp 492.78 miliar. Tetapi jika membiarkan kegiatan illegal, maka hanya akan mendapat tambahan output sebesar Rp. 340.74 miliar. Dengan melakukan penanggulangan erosi sebesar 5% maka kenaikkan output sekitar 0.6% dari PDRB Provinsi Jawa Tengah. Keyword:
Judul: Transformation of potato cultivar atlantic with coat protein PVY gene Abstrak:The objective of the first experiment was to obtained transgenic plant resistant to PVY infection. First the lethal concentration of kanamycin was determined for cultivar Atlantic, that will be used a marker to select the select transgenic plant. In addition transformation method and effective bacteria culture for potato transformation were studied. The percentage of plantlet regeneration and survived were evaluated as response variables. Keyword:
Judul: Pengembangan Papan Laminasi Bersilang Dari Bambu Andong (Gigantochloa Pseudoarundinacea) Abstrak:Pasokan kayu pertukangan berkualitas belum mencukupi kebutuhan yang ada. Kondisi ini mendorong usaha pencarian material alternatif sebagai substitusi kayu pertukangan terus meningkat. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu adalah bambu. Sebagai bahan substitusi kayu, bambu yang bentuknya bulat dan berlubang harus dikonversi menjadi suatu produk yang memiliki dimensi seperti papan atau balok kayu. Dengan menggunakan perekat tertentu, bambu dapat diolah menjadi produk perekatan bambu dengan dimensi dan kualitas yang sesuai dengan tujuan penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan papan bambu komposit (PBK) berkualitas tinggi berupa papan laminasi bersilang (PLB) dari bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) yang dapat berfungsi sebagai kayu pertukangan. Penelitian ini terdiri atas enam tahap. Penelitian tahap pertama dilakukan untuk mendapatkan data sifat dasar meliputi komponen kimia, sifat fisis dan mekanis bambu andong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bambu andong memiliki diameter besar, dinding tebal, dan sifat dasar yang sesuai sebagai bahan baku bilah bambu penyusun PBK atau PLB. Penelitian tahap kedua dilakukan untuk mempelajari respon bambu andong terhadap perekat isosianat (water based polymer-isocyanate, WBPI) dengan cara menguji keteguhan rekat laminasi bambu andong dengan perekat isosianat. Bilah bambu dibedakan antara bagian pangkal, tengah dan ujung batang, serta antara kontrol dan yang diawetkan dengan cara direndam dalam larutan boron 7% selama 2 jam. Laminasi bambu dibuat dengan merekatkan 2 bilah bambu sejajar serat menggunakan perekat isosianat dengan berat labur perekat 250 g m-2 dan dikempa dingin selama 1 jam dengan 3 macam kombinasi muka bilah bambu yang direkat (muka dalam dengan muka luar, muka dalam dengan muka dalam, muka luar dengan muka luar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon bambu andong terhadap perekat isosianat sangat dipengaruhi oleh posisi pada batang, pengawetan bilah bambu dan kombinasi muka bilah bambu yang direkat. Pengawetan bilah bambu menurunkan keteguhan rekat laminasi bambu. Penelitian tahap ketiga dilakukan untuk mengetahui pengaruh keberadaan buku pada bilah bambu penyusun PBK terhadap sifat papan yang dihasilkan, rendemen bilah bambu, retensi dan penetrasi bahan pengawet dalam bilah bambu andong. PBK 3 lapis dari bilah bambu andong dibuat dengan 5 variasi komposisi letak buku dalam lapisan penyusun PBK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa sifat PBK tidak dipengaruhi oleh adanya buku pada bilah bambu penyusun PBK kecuali pengembangan tebal dan keteguhan tekan. Berdasarkan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia, PBK 3 lapis yang dibuat dari bilah bambu andong dengan berbagai posisi buku pada lapisan penyusunnya dan direkat dengan perekat isosianat setara dengan kayu kelas kuat dua (II). Rendemen rata- rata bilah bambu andong adalah 38.5%, sedangkan retensi dan penetrasi larutan boron dalam bilah bambu andong berturut-turut adalah 7.34 kg m-3 dan 100%. Penelitian tahap keempat dilakukan untuk mempelajari pengaruh berat labur perekat dan waktu kempa yang diterapkan dalam pembuatan PBK terhadap sifat papan yang dihasilkan. PBK 5 lapis dibuat dari bilah bambu andong degan 3 variasi berat labur perekat (200 g m-2 , 250 g m-2 dan 300 g m-2 ) dan 3 variasi waktu kempa (30 menit, 45 menit dan 60 menit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan berat labur perekat 250 g m-2 dan waktu kempa 45 menit merupakan kondisi terbaik dalam pembuatan PBK dari bilah bambu andong yang dibuat dengan proses pengempaan dingin dan menggunakan perekat isosianat. PBK hasil penelitian ini memiliki sifat fisis dan mekanis yang baik dan setara dengan kayu kelas kuat II-I, memiliki kelas ketahanan III terhadap serangan rayap tanah, sedangkan kadar emisi formaldehidanya termasuk kelas mutu F****. Penelitian tahap kelima dilakukan untuk mempelajari pengaruh komposisi arah lapisan terhadap sifat PBK yang dihasilkan. PBK 5 lapis dibuat dari bilah bambu andong menggunakan perekat isosianat dengan berat labur 250 g m-2 dan dikempa dingin selama 45 menit, dengan 4 variasi komposisi arah lapisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBK berupa PLB dari bambu andong dengan variasi komposisi arah lapisan memiliki kualitas perekatan dan kestabilan dimensi yang baik. Sifat fisis dan mekanis PBK sangat dipengaruhi oleh variasi komposisi arah lapisan. Adanya lapisan silang pada komposisi lapisan penyusun PBK menurunkan keteguhan lentur dan keteguhan tekan tetapi meningkatkan kekerasan dan kestabilan dimensi PBK yang dihasilkan. Papan komposit berupa papan laminasi bersilang dari bambu andong sesuai untuk substitusi kayu pertukangan. Penelitian tahap keenam dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi kekentalan dan macam bahan finishing terhadap kualitas hasil finishing PBK. Bahan finishing berpelarut minyak dan berpelarut air masing-masing dengan 2 variasi kekentalan diterapkan pada permukaan PBK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan bahan finishing berpelarut air atau berpelarut minyak dapat memperjelas keunikan dan keindahan penampilan permukaan PBK. Lapisan finishing berpelarut minyak lebih tahan terhadap bahan kimia rumah tangga dan air dingin dibandingkan dengan bahan finishing berpelarut air. PBK dari bambu andong, direkat dengan perekat isosianat dan dilapisi bahan finishing berpelarut air atau berpelarut minyak menghasilkan bahan substitusi kayu dengan kadar emisi formaldehida rendah dan termasuk kelas mutu F*** sampai F****. Papan laminasi bersilang (PLB) dari bambu andong yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah PLB dengan konstruksi seimbang atau simetris. PLB 5 lapis yang sesuai untuk dikembangkan adalah papan dengan lapisan silang pada lapisan inti atau lapisan ketiga dan papan dengan lapisan silang pada lapisan kedua dan keempat. PLB berkualitas tinggi secara teknis dapat dibuat dengan menggunakan bilah bambu andong, perekat isosianat dengan berat labur perekat 250 g m-2 dan dikempa dingin selama 45 menit. PLB dari bilah bambu andong dapat digunakan sebagai substitusi kayu pertukangan dan menyediakan alternatif bahan baku untuk mebel dan bangunan. Keyword:papan laminasi bersilang, isosianat, berat labur dan waktu kempa, komposisi arah lapisan, finishing
Judul: Pengembangan Papan Komposit Berlapis Anyaman Bambu Dari Jenis Kayu Cepat Tumbuh Dengan Perekat Poliuretan Abstrak:Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas papan partikel, digunakan lapisan pada face dan back papan. Penggunaan bambu dalam bentuk anyaman sebagai lapisan pada papan partikel merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas papan. Selain itu, untuk mendapatkan papan yang lebih ramah lingkungan, maka penggunaan perekat non-formaldehida terutama perekat berbasis methyllene diphenyl diisocyanate (MDI) seperti poliuretan (PU) juga semakin berkembang, khususnya di negara-negara maju. Di Indonesia, perekat non-formaldehida belum banyak digunakan karena ketersediaan dan peruntukan yang sangat terbatas dan harga yang masih sangat tinggi dibandingkan perekat berbasis formaldehida. Keyword:quality of composite board, bamboo (Gigantochloa apus, sengon (Paraserianthes falcataria), akasia (Acacia mangium), gmelina (Gmelina arborea)
Judul: Eksistensi Nikah Siri di Masyarakat dan Posisi Perempuan Abstrak:Nikah siri bukanlah merupakan fenomena baru di Indonesia, namun sudah ada sejak puluhan tahun silam, sebelum ada pencatatan pernikahan maka nikah siri adalah pernikahan yang sah menurut agama dan masyarakat, karena moda sosial ekonomi dan strategi nafkah berubah maka hak civil juga berubah dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh nikah siri terutama bagi perempuan dan anak. Secara umum penelitian ini untuk mengungkap : (1) Tipologi nikah siri yang ada di Desa Warurejo dan aktor-aktor yang terlibat, fungsi manifes dan laten nikah siri pada masyarakat dan aktor-aktor yang menikmati fungsi manifes dan laten nikah siri. (2) Sistem nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat, mengungkap pengaruh struktur terhadap posisi perempuan yang menikah siri, mendiskripsikan pemahaman agama Islam oleh masyarakat dan individu terhadap nikah siri. Pandangan individu, tokoh agama Islam, budaya, sosial dan masyarakat secara umum terhadap nikah siri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) terdapat empat tipologi nikah siri pada masyarakat Warurejo, yaitu: perjodohan antar kerabat, perjodohan oleh orangtua dan broker, menikah siri dengan batuan broker dan menikah siri atas kemauan sendiri. Nikah siri tidak hanya berdampak negatif tetapi memiliki fungsi positif yaitu mampu meningkatkan kehidupan ekonomi individu, jaringan nikah siri, Kyai dan infra struktur masyarakat. Pernikahan siri merupakan mekanisme untuk meringankan beban ekonomi orangtua. Mengawinkan anak dibawah umur walaupun dengan cara siri berarti pula meringankan beban ekonomi keluarga. Anak perempuan yang sudah menikah bukan lagi tanggungjawab orangtua, namun tanggungjawab seorang suami. Struktur berpengaruh terhadap posisi perempuan nikah siri, perempuan yang menikah walaupun siri, lebih dihormati dan dihargai dalam masyarakat daripada perempuan janda atau perawan yang belum menikah walaupun cukup umur. Selain itu, Kyai memiliki kekuasaan untuk menginterpretasikan hukum Islam untuk merasionalisasikan dan melegitimasi nikah siri, daripada melakukan perbuatan yang dilarang agama yaitu berzina dan berdosa. Interpretasi hukum agama disosialisasikan oleh Kyai bahwa sahnya suatu pernikahan dalam hukum Islam ditandai oleh adanya ijab qobul, sedangkan perayaannya merupakan sunnah yang boleh saja tidak dilaksanakan. Karena hukum agama Islam, memperbolehkan seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu, sehingga terbentuk pola berupa aturan-aturan dan norma-norma untuk melegalkan nikah siri. Keyword:Nikah siri actors, nikah siri network, economy, religious norms
Judul: Potensi Prebiotik Madu untuk Meningkatkan Kinerja Pertumbuhan dan Status Kesehatan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Abstrak:Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas utama perikanan budidaya di Indonesia dan di dunia. Produksi ikan nila di Indonesia dan di dunia terus mengalami peningkatan, antara lain didukung oleh intensifikasi produksi. Kendala yang dihadapi dalam penerapan budidaya intensif antara lain kinerja pertumbuhan yang rendah dan meningkatnya risiko serangan penyakit. Salah satu penyakit yang sering menyerang pada budidaya ikan nila adalah streptococcosis, yang salah satu agen penyebabnya adalah bakteri Streptococcus agalactiae. Penggunaan prebiotik merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan dan respons imun sehingga resistan terhadap infeksi patogen. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi potensi madu sebagai prebiotik dalam meningkatkan kinerja pertumbuhan, respons imun, dan resistansi ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae. Penelitian tahap pertama bertujuan mengkarakterisasi kriteria prebiotik pada madu klengkeng, madu randu dan madu organik. Kriteria prebiotik yang diuji meliputi kandungan oligosakarida dari madu dan ekstraknya menggunakan KLT (kromatografi lapis tipis), karbohidrat total dan gula pereduksi madu dan ekstraknya, hidrolisis asam lambung dan α-amilase dari ketiga ekstrak madu, serta aktivitas prebiotik dari ekstrak ketiga jenis madu. Hasil pengujian dengan KLT menunjukkan bahwa ekstrak madu klengkeng dan ekstrak madu randu memiliki retardation factor (Rf) yang sama dengan standar oligosakarida yang digunakan (rafinosa), sehingga ekstrak madu klengkeng dan madu randu yang dihasilkan merupakan oligosakarida. Madu randu memiliki kadar FOS 14.76% dan kadar inulin 6.60%, lebih tinggi dibandingkan dua jenis madu lainnya. Karbohidrat total tertinggi terdapat pada madu randu yaitu 80±0%, lebih tinggi dibandingkan madu klengkeng, madu organik, dan inulin. Sedangkan gula pereduksi dari ketiga madu berada dalam kisaran 27-55%, lebih tinggi dibandingkan inulin. Hidrolisis asam lambung dan asam α-amilase selama 3 jam pengamatan mengalami peningkatan, baik dari ekstrak madu klengkeng, madu randu, madu organik. Ekstrak madu klengkeng, ekstrak madu randu, dan ekstrak madu organik memiliki aktivitas prebiotik. Ekstrak madu randu memiliki aktivitas prebiotik paling baik dibandingkan dengan dua jenis madu yang lain, karena memberikan stimulasi tertinggi terhadap L. plantarum, serta memiliki skor prebiotik hingga 3.82±0.78 pada jam ke-12, dan mampu sampai jam ke-24 sebesar 0.71±0.03. Secara keseluruhan, madu klengkeng, madu randu dan madu organik memenuhi kriteria sebagai prebiotik, dengan kinerja terbaik terdapat pada madu randu. Penelitian tahap kedua bertujuan mengevaluasi pemberian prebiotik madu randu dengan dosis berbeda melalui pakan terhadap kinerja pertumbuhan, aktivitas enzim pencernaan, mikrovili usus, asam lemak rantai pendek, dan keragaman mikrobiota pada saluran pencernaan ikan nila. Penelitian menggunakan empat perlakuan yaitu kontrol (tanpa penambahan madu) dan pakan dengan penambahan madu dosis 0.25%, 0.5%, dan 1%. Setiap perlakuan diulang empat kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian prebiotik madu melalui pakan mampu memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap biomassa akhir, pertambahan bobot, laju pertumbuhan spesifik, dan rasio konversi pakan dibandingkan kontrol, dengan hasil terbaik pada perlakuan madu dosis 1%. Pemberian prebiotik madu juga mampu meningkatkan aktivitas enzim pencernaan (amilase, protease, dan lipase), dengan nilai yang lebih tinggi (P<0.05) dibanding kontrol. Panjang mikrovili, perimeter dan kerapatan mikrovili pada semua perlakuan berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol. Pemberian prebiotik madu mampu meningkatkan asam lemak rantai pendek meliputi asam asetat, propionat, isobutirat, N-butirat, isovalerat dan N-valerat dengan nilai yang berbeda nyata antar perlakuan (P<0.05), memicu munculnya Bacillus dan Clostridium-sensu-stricto, meningkatkan keragaman mikrobiota yang berpotensi sebagai probiotik yaitu Cetobacterium. Penelitian tahap ketiga bertujuan mengevaluasi efektivitas prebiotik madu randu yang diberikan melalui pakan terhadap imunitas, proteksi dan keragaman mikrobiota saluran pencernaan ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae. Penelitian menggunakan empat perlakuan yaitu kontrol (tanpa penambahan madu) dan pakan dengan penambahan madu dosis 0.25%, 0.5%, dan 1%. Setiap perlakuan diulang empat kali. Uji tantang dilakukan setelah ikan nila dipelihara selama 30 hari. Ikan nila diinjeksi dengan suspensi S. agalactiae secara intramuskular sebanyak 0.1 mL ekor-1 pada konsentrasi 105 CFU mL-1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian prebiotik madu selama 30 hari melalui pakan mampu meningkatkan respiratory burst dan lisozim, serta menurunkan nilai ekspresi gen IL8 dan TNFα yang signifikan lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol. Pemberian prebiotik madu juga mampu menurunkan jumlah S. agalactiae di organ target. Jumlah S. agalactiae pada perlakuan kontrol positif pada semua organ (hati, ginjal, limpa, otak, dan usus) signifikan lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan semua perlakuan pemberian prebiotik madu. Pemberian prebiotik madu mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan nila ketika diinfeksi bakteri S. agalactiae, dengan nilai kelangsungan hidup 75.66-89.33%, signifikan lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol positif (51.66%). Hasil pengamatan organ hati dan limpa ikan nila setelah uji tantang menunjukkan pada perlakuan kontrol positif mengalami kerusakan yang lebih parah dibanding pada perlakuan pemberian prebiotik madu. Perlakuan kontrol positif didominasi genus Streptococcus hingga mencapai 98%, sedangkan pada perlakuan madu didominasi genus Cetobacterium (70%). Perlakuan prebiotik madu dosis 1% menghasilkan OTU lebih banyak dengan OTU dominan genus Cetobacterium. Hasil seluruh tahap penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian madu sebagai prebiotik mampu meningkatkan keragaman mikrobiota usus, kinerja pertumbuhan, respons imun, dan resistansi ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae, dengan hasil terbaik pada pemberian madu randu dengan dosis 1%. Keyword:Growth performance, health status, honey, Oreochromis niloticus, prebiotic
Judul: Kajian Fisiologis, Biokimia, Status Kesehatan dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis sp.) yang Diberi Pakan Mengandung Sisteamin dan Kreatin Abstrak:Ikan nila (Oreochromis sp.) adalah salah satu komoditas perikanan unggulan yang memberikan kontribusi nomor empat terhadap total produksi ikan dunia. Indonesia merupakan salah satu negara produsen utama ikan nila yang mampu meningkatkan jumlah produksi setiap tahunnya menurut data produksi ikan nila nasional. Namun, budidaya ikan nila sebagai komoditas ekspor unggulan seringkali menemui tantangan terutama terkait tingginya biaya pakan dan kualitas daging (fillet) ikan yang diinginkan oleh konsumen. Biaya pakan bergantung pada besar kandungan protein sedangkan kualitas fillet dipengaruhi oleh proses deaminasi oksidatif pada sel-sel daging yang terkait pemanfaatan protein pakan oleh ikan. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi suplementasi sisteamin dan kreatin serta kombinasi keduanya melalui pakan terhadap kinerja biokimia, fisiologi, dan pertumbuhan ikan nila. Selain itu, suplementasi sisteamin dan atau kreatin juga diberikan untuk melihat kualitas fillet dan status kesehatan ikan nila. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengevaluasi manfaat suplementasi sisteamin terhadap kinerja pertumbuhan serta ketahanan terhadap stres pada ikan nila merah (Oreochromis sp.). Penelitian ini menguji lima level dosis sisteamin (quadruplicate), terdiri dari kontrol (N = 0 g/kg sisteamin), A1 (0.25 g/kg sisteamin), A2 (0.50 g/kg sisteamin), A3 (0.75 g/kg sisteamin) dan A4 (1.00 g/kg sisteamin). Pakan diberikan sebanyak 3 kali sehari sampai ikan kenyang selama 56 hari periode pemeliharaan. Uji tantang dilakukan dengan menggunakan teknik paparan udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat badan akhir, rasio konversi pakan (FCR), retensi protein dan protein otot meningkat secara signifikan (p<0.05) dengan suplementasi sisteamin. Analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa model regresi kuadrat suplementasi sisteamin untuk laju pertumbuhan spesifik (LPS) adalah y = -0.5867 2 + 0.6932 + 3.7973(p=0.01) dengan tingkat optimal dosis sisteamin sebesar 0.59 g/kg pakan. Suplementasi sisteamin berhasil menurunkan kadar glukosa darah, protein dan trigliserida darah (p<0.05), yang menunjukkan pemanfaatan energi non protein lebih baik. Kadar somatostatin plasma menurun seiring dengan peningkatan suplementasi sisteamin. Ekspresi gen IGF-1 dan GLUT4 dihati secara signifikan (p<0.05) upregulasi dengan suplementasi sisteamin. Selain itu, suplemen sisteamin berhasil meningkatkan ketahanan ikan terhadap stres, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan superoxide dismutase (SOD), kelangsungan hidup pasca uji tantang yang lebih tinggi serta kortisol plasma, malondialdehyde (MDA) dan kadar glukosa (p<0.05) yang lebih rendah. Sebagai kesimpulan, suplementasi sisteamin optimal sebesar 0.59 g/kgmeningkatkan kinerja pertumbuhan dan ketahanan terhadap stres pada nila merah. Penelitian tahap kedua menguji lima macam pakan (quadruplicate), yang terdiri dari kontrol (N = 0 g/kg kreatin), B1 (1.00 g/kg glisin), B2 (0.4 g/kg kreatin), B3 (0.80 g/kg kreatin) dan B4 (1.20 g/kg kreatin) bertujuan untuk mengevaluasi manfaat suplementasi kreatin terhadap kinerja pertumbuhan serta ketahanan terhadap stres pada ikan nila merah (Oreochromis sp.). Pakan diberikan pada ikan sampai kenyang sebanyak 3 kali sehari selama 56 hari periode pemeliharaan. Uji toleransi terhadap stres dilakukan dengan menggunakan teknik air exposure challenge. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LPS, FCR dan retensi protein meningkat dengan suplementasi kreatin. Analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa model regresi kuadrat untuk LPS adalah = 0.5916 2 + 0.7904 + 3.797(p=0.01). Suplementasi kreatin yang optimal menghasilkan penurunan kadar glukosa darah, protein dan trigliserida darah (p<0.05) yang mengindikasikan pemanfaatan energi non protein lebih efektif. Kadar insulin plasma juga menurun dan ekspresi gen IGF-1 dan GLUT4 dihati upregulasi secara signifikan. Selain itu, suplementasi kreatin meningkatkan ketahanan ikan terhadap stres, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan SOD, kelangsungan hidup pasca uji tantang yang lebih tinggi serta kortisol plasma, MDA dan kadar glukosa yang lebih rendah. Sebagai kesimpulan, suplementasi kreatin dengan dosis 0.668-0.882 g/kg meningkatkan nilai LPS, meningkatkan nilai SOD dan kesiapan menghadapi stres pada ikan nila merah. Penelitian tahap ketiga ini bertujuan untuk mengevaluasi efek suplementasi sisteamin,kreatin serta kombinasi keduanya terhadap kinerja pertumbuhan, status anti oksidan, kualitas daging dan ketahanan terhadap infeksi bakteri Streptococcus agalactiae pada ikan nila merah. Penelitian ini menguji lima macam pakan (quadruplicate) dengan kandungan energi dan protein yang sama, yaitu terdiri dari N (kontrol negatif), A (0.5 g/kg sisteamin), B (0.4 g/kg kreatin), C (0.5 g/kg sisteamin plus 0.4 g/kg kreatin) dan D (0.25 g/kg sisteamin plus 0.2 g/kg kreatin). Pakan diberikan pada ikan sampai kenyang dengan interval 3 kali sehari selama 56 hari periode pemeliharaan. Uji tantang dilakukan dengan menggunakan Streptococcus agalactiae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi sisteamin dan kreatin sukses menurunkan (p<0.05) kadar air tubuh (whole body), namun meningkatkan (p<0.05) kadar protein tubuh dan retensi protein. Nilai SOD hati meningkat (p<0.05), namun kadar MDA, lemak dan glikogen hati menurun (p<0.05) akibat kombinasi sisteamin dan kreatin tersebut. Kondisi ini diperkuat dengan adanya perbaikan penggunaan energi non protein yang ditandai dengan penurunan (p<0.05) kadar protein darah dan glikogen otot yang berdampak pada pengurangan (p<0.05) kadar air dan MDA daging ikan nila selama proses penyimpanan 24 jam. Selain itu, kombinasi sisteamin dan kreatin meningkatkan ketahanan ikan terhadap uji tantang, seperti ditunjukkan oleh tingginya (p<0.05) survival rate (SR), aktivitas lysozyme, respiratory burst serta penurunan (p<0.05) nilai glukosa, protein, kolestrol dan trigliserida. Sebagai kesimpulan, kombinasi sisteamin sebesar 0.5 g/kg dan kreatin sebesar 0.4 g/kg pakan meningkatkan kinerja pertumbuhan, kapasitas anti oksidan, kualitas daging dan ketahan terhadap infeksi bakteri. Keyword:ikan nila, insulin, kinerja pertumbuhan, kreatin, sisteamin
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Diversity of Marine Crab (Decapoda, Brachyura) in Indonesia Abstrak:Eksplorasi terhadap keberadaan infraordo Brachyura Indonesia sudah dilakukan sejak abad ke-17 dan mulai dilaporkan pada abad ke-18. Laporannya pun lambat laun menurun, salah satunya dikarenakan sedikitnya peneliti Indonesia yang terjun dalam bidang taksonomi kelompok infraordo tersebut. Akibatnya, masih banyak spesies dari kelompok infraordo ini yang masih belum diketahui (unknown), baik informasi keberadaannya, maupun terkait kebermanfaatannya (melalui kajian bioprospeksi). Selain itu, tingginya aktivitas antropogenik di beberapa wilayah perairan saat ini dikhawatirkan dapat mengganggu keberadaan infraordo tersebut. Brachyura diketahui memiliki adaptasi yang baik terhadap perubahan lingkungan. Brachyura dapat ditemukan hingga kedalaman laut 6000 m. Sebagian besar anggota infraordo Brachyura merupakan hasil perikanan yang bernilai non-ekonomis. Namun, di dalam ekosistem perairan, kelompok ini berperan sebagai supporting organism yang berperan penting dalam jaring-jaring makanan. Infraordo Brachyura memberikan ecosystem service yang dapat menunjang produktivitas sebuah ekosistem, salah satunya meningkatkan hasil perikanan yang bernilai ekonomis. Oleh karena itu, infraordo Brachyura dikenal sebagai keystone species, sehingga data keberadaannya menjadi penting. Penelitian ini bertujuan mendata anggota infraordo Brachyura di pantai barat Sumatra Utara, Kepulauan Seribu, dan Kalimantan Barat. Selain itu, penelitian ini bertujuan memetakan wilayah distribusi baru genus Matuta, deskripsi anggota genus Izanami (new record), dan mengonfirmasi keberadaan anggota genus Cryptopodia Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dan convenience sampling. Penentuan lokasi sampling berdasarkan kriteria berikut: (1) wilayah perairan Indonesia yang belum dieksplorasi secara merata; (2) wilayah terancam. Koleksi sampel melibatkan bantuan enumerator (pembantu teknis di lapangan). Selain itu, digunakan sampel Brachyura milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang melakukan field sampling dengan metode systematic sampling. Analisis sampel dengan melakukan identifikasi morfologi. Hasil penelitian ini mencatat 22 spesies dari 6 famili infraordo Brachyura dari pantai barat Sumatra Utara (14 spesies merupakan catatan distribusi baru di wilayah tersebut, dua di antaranya merupakan catatan baru atau new record di Indonesia). Brachyura yang tercatat di Kepulauan Seribu terdiri dari 23 spesies yang berasal dari sembilan famili (12 spesies merupakan catatan distribusi baru di wilayah ini, dan empat diantaranya merupakan catatan baru di Indonesia). Brachyura yang tercatat di Kalimantan Barat terdiri dari 14 spesies yang berasal dari tujuh famili (tiga di antaranya merupakan catatan baru di Indonesia). Wilayah distribusi baru Matuta purnama di Indonesia yaitu pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatra, yang memiliki karakteristik pantai berpasir yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Spesies ini memiliki corak enam lingkaran kecil berwarna merah di bagian dorsal karapas. Ciri ini membuat spesies ini memiliki kemiripan yang sangat dekat dengan Matuta circulifera yang memiliki delapan lingkaran kecil di bagian dorsal karapas. M. circulifera terdistribusi di pantai Panjang (pantai barat Sumatra), dan dua spesies lainnya yaitu M. victor dan M. planipes memiliki sebaran yang paling luas yaitu di bagian barat hingga timur Indonesia. Berdasarkan hasil identifikasi, spesimen yang berasal dari Balai Riset Perikanan Laut, KKP, merupakan new record untuk perairan Indonesia. Genus Izanami (famili Matutidae) memiliki karakter yang berbeda di bagian duri anterolateral, duri tersebut mengalami pertumbuhan yang terhenti (rudimenter), sementara pada genus Matuta, duri ini memiliki ukuran yang panjang dan tajam. Selain itu, penelitian ini mencatat Cryptopodia fornicata (famili Parthenopidae) yang terakhir kali dilaporkan dari perairan Indonesia sejak 70 tahun yang lalu. Famili Parthenopidae ini dikenal dengan elbow crab (kepiting siku) karena memiliki cheliped yang jelas sekali membentuk sudut, namun genus Cryptopodia memiliki ciri yang khas yaitu memiliki sisi samping karapas yang mengalami perluasan dan menutupi seluruh kaki jalan (pereiopod). Penemuan Cryptopodia fornicata ini mengonfirmasi keberadaan spesies ini di Indonesia, yang sebelumnya hanya berupa laporan dugaan dan redeskripsi dari individu juvenile., Exploration of the existence of the Brachyura infraorder in Indonesia has been carried out since the 17th century and began to be reported in the 18th century. Reports are also gradually decreasing, one of which is due to the lack of Indonesian researchers who are involved in the taxonomy of the infraorder groups. Therefore, there are still many species from this infraorder group that are still unknown, both with information on their existence and related to their usefull (through bioprospection studies). In addition, the current high level of anthropogenic activity in several water areas is feared to disrupt the existence of the infraorder. Brachyura is known to have good adaptation to the environmental changes. Brachyura can be found to a depth of 6000 m under sea level. Most of the infraorder Brachyura members are fishery products of non-economic value. However, in aquatic ecosystems, this group acts as a supporting organism that plays an important role in food webs. Infraorder Brachyura provides ecosystem services that can support the productivity of an ecosystem, one of which is increasing fishery products with economic value. Therefore, the infraorder Brachyura is known as a keystone species, so the data on its existence is important. This study aimed to record the species member of the infraorder Brachyura on the west coast of North Sumatra, Seribu Islands and West Kalimantan. In addition, this study aimed to map the new distribution area of the Matuta genus, description of Izanami genus (new record), and confirmed the occurrence of Cryptopodia genus in Indonesia. This research used purposive sampling and convenience sampling. Determination of sampling locations based on the following criteria: (1) Indonesian waters that have not been explored evenly; (2) threatened areas. Sample collection involves enumerator assistance (technical assistant in the field). Furthermore, the Brachyura sample belonging to the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries was also used. Sample analysis used a morphological approach. The results of this study recorded about 22 species from 6 families of infraorder Brachyura from the west coast of North Sumatra (14 species were new distribution records in the region and two species of which were new records in Indonesia). Brachyura recorded from Seribu Islands as many as 23 species from nine families (12 species of which were new distribution records in this region, and four species of which were new records in Indonesia). Brachyura recorded from West Kalimantan as many as 14 species from seven families (three of which were new records in Indonesia). The new distribution area of Matuta purnama in Indonesia is on the south coast of Java and the west coast of Sumatra, which has a sandy beach characteristic that is directly opposite the Indian Ocean. This species has a pattern of six small red circles on the dorsal carapace. This feature gives this species a very close resemblance to the Matuta circulifera which has eight small red circles on the dorsal carapace. M. circulifera is distributed on the Panjang coast (west coast of Sumatra), and two other species, namely M. victor and M. planipes, have the widest distribution in the western to eastern parts of Indonesia. Based on the identification results, the specimen from the Marine Fisheries Research Institut, was a new record for Indonesian waters. The genus Izanami (family Matutidae) had a difference in the character of the anterolateral spines, in this genus the spines is rudimentary growth, while in the Matuta genus, these spines have a long and sharp size. In addition, this study also recorded the Cryptopodia fornicata (family Parthenopidae) which was last reported from Indonesian waters 70 years ago. This Parthenopidae family is known as the elbow crab because it has chelipeds that clearly form an angle, but the Cryptopodia genus has a distinctive feature, namely having a carapace side that expands and covers the entire walking legs (pereiopod). The discovery of Cryptopodia fornicata confirmed the existence of this species in Indonesia, which previously only consisted of presumptive report and redescriptions of a juvenile individual. Keyword:Biodiversitas, Crustacea, Decapoda, Invertebrata, Sebaran
Judul: Morfologi dan filogeografi of Clavularia inflata Schenk, 1896 Schenk, 1896 (Karang Lunak: Stolonifera) in daerah pesisir Indonesian Abstrak:The Coral Triangle is recognized as the center of the world’s marine biodiversity, with species richness declining gradually from this region to the east across the Pacific Ocean and west across Indian Ocean. This region covers many countries, such as Indonesia, Malaysia, Philippines, Brunei, East Timor (Timor Leste), Papua New Guinea, and Solomon Islands. There are around 96 genera and 23 families of soft coral in the Indo-Pacific. In Indonesia around 219 species, 28 genera, and 4 families of soft corals have been recorded. Clavularia is spread widely throughout the Indian and Pacific Ocean, stretching from the Red Sea and East Africa across the Indo-Pacific, reaching as far east as Micronesia. Clavularia is stoloniforous zooxanthellae soft coral, each one of the polyps is connected to the base. Polyps are pink to brownish gray and about 30 mm in diameter. Stolons are brown to dark red, and are often covered with algae or sponges. Genetic connectivity is the key of conservation because it plays important roles in maintaining populations and the potential for restoring damage to the marine environment. The connectivity patterns of sessile animals are affected by reproduction and larval spread. The stage of pelagic larvae is the initial stage of life for recruitment, so that it can maintain its population from extinction. Besides, the pattern of genetic connectivity can help in designing management plans for marine protected areas, which in turn can help to preserve biodiversity. Genetic connectivity between coral reefs is often overlooked when designing an area, but it is very important to ensure the continuity of populations or protection of biodiversity. This study aimed to confirm the identity of 25 colonies collected from 13 Indonesian coral reef location putatively identified as Clavularia inflata using molecular tools, and to describe them morphologically to verify defining characteristics and describe their morphological plasticity. Specimens were morphologically described based on their sclerite characteristics and compared between sites. All specimens were confirmed as Clavularia inflata by molecular identification using mitochondrial DNA with the mtMuts gene. Sclerite observations were divided into four parts for each colony, namely pinnules (finger-like extensions along the tentacless sides), crowns (tentacles covering the upper side of polyps, located between tentacles and calyx), calyx (the middle part of polyps), and stolons (branching between polyps). The form of sclerites found in Clavularia inflata comprised various forms such as rods, fingers, sticks, and brackets. The shortest size sclerites were found in the pinnule. These sclerites had a variety of sclerites such as grains with various geometric shapes such as platelet or finger biscuit shape. In the crown, the form of sclerites found was spindle-shaped sclerites (oval shaped with a shaft in the middle) with a curved shape. The middle part of the polyp (the calyx) is mostly covered by rod-shaped sclerites. Morphometric measurements of Clavularia inflata showed specimens from Kepulauan Seribu, Jakarta had the largest pinnule, calyx, and stolon compared to other locations. The maximum mean length of pinnule, calyx, and stolon were 145.1±19.27 µm, 1605.6±30.58 µm, and 749.5±52.8 µm, respectively. The maximum mean length of crown was 672,6±39.58 µm, found in Maluku Tenggara Barat. The phylogenetic tree of the soft coral Clavularia inflata, built using the Neighbor-Joining (NJ) method with the Kimura 2-parameter model, and a bootstrap value of 1000x, shows two large clades of the sample used to indicate the compatibility of the nucleotide base chain with the data from Gen bank. Hence, all samples belong to one (the same) species. Information from Automatic Barcode Gap Discovery (ABGD) shows that there are two major groups of Clavilaria inflata found in Indonesia. Together with the morphological data, this suggests the presence of cryptic species in this taxon. This research aimed to determine the intraspecific genetic diversity and connectivity based on partial sequences of the mitochondrial mtMUTs gene of the of Clavularia inflata population from multiple coral reef communities in Indonesia. Population samples were obtained from eight coral reef locations namely Natuna Sea, Tanjung Lesung, Seribu Islands, Bontang, Lombok, Kangean, Sulawesi Sea, and Banda Sea. A total of individuals was collected and amplified using mtMUTs of mitochondrial DNA. Furthermore, genetic diversity was analysed based on the parameters of haplotype diversity (Hd) and nucleotide diversity (π), while genetic structure and connectivity were analysed by AMOVA and network analyses, respectively. The results showed that the lowest haplotype diversity (Hd) value was found at Natuna Sea and Kangean, and the highest at Bontang. The haplotype diversity ranged between 0 and 0.7421, while nucleotide diversity ranged between 0 and 0.2613. Therefore, the lowest values of π were observed at Natuna and Kangean, and the highest at Bontang. The genetic diversity of Clavularia inflata varied significantly between eight location and signified the presence of genetic connectivity between populations at eight sampling locations across the Indonesian region. However, no significant genetic structure was observed throughout the study region. The results obtained serve as an important baseline for further assessments which include additional populations from adjacent regions., Coral Triangle diakui sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, dengan kekayaan spesies menurun secara bertahap dari wilayah ini ke timur melintasi Samudra Pasifik dan barat melintasi Samudra Hindia. Wilayah ini mencakup banyak wilayah, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei, Timor Leste (Timor Leste), Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Terdapat sekitar 96 marga dan 23 famili karang lunak di Indo-Pasifik. Terumbu karang lunak di Indonesia tercatat sekitar 219 spesies, 28 marga, dan 4 famili. Clavularia tersebar luas di seluruh Samudra Hindia dan Pasifik, membentang dari Laut Merah dan Afrika Timur melintasi Indo-Pasifik, mencapai sejauh timur Mikronesia. Clavularia yang dikenal dengan stolonifera merupakan karang lunak dari genus zooxanthellae, yang masing-masing polipnya terhubung ke dasar. Polip bisa berwarna merah muda sampai abu-abu kecoklatan dan berdiameter sekitar 30 mm. Stolon berwarna coklat sampai merah tua, dan sering kali ditutupi dengan alga atau spons. Konektivitas genetik merupakan kunci konservasi karena berperan penting dalam memelihara populasi dan memulihkan kerusakan lingkungan laut. Pola hubungan hewan sesil dipengaruhi oleh reproduksi dan penyebaran larva. Tahap larva pelagis merupakan tahap awal kehidupan regenerasi, sehingga dapat menjaga populasinya dari kepunahan. Selain itu, pola konektivitas genetik dapat membantu pengelolaan kawasan konservasi perairan. selanjutnya, pada gilirannya akan melestarikan keanekaragaman hayati. Keterhubungan genetik antar terumbu karang seringkali terabaikan saat merancang suatu kawasan, namun sangat penting untuk menjamin kelangsungan populasi atau perlindungan keanekaragaman hayati. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonfirmasi identitas 25 koloni yang dikumpulkan dari 13 lokasi terumbu karang Indonesia Clavularia inflata dengan menggunakan alat molekuler, dan mendeskripsikannya secara morfologis untuk memverifikasi karakteristik pendefinisian dan mendeskripsikan plastisitas morfologisnya. Spesimen dideskripsikan secara morfologis berdasarkan karakteristik skleritnya dan dibandingkan antar lokasi. Semua spesimen dikonfirmasi sebagai Clavularia inflata dengan identifikasi molekuler menggunakan DNA mitokondria dengan gen mtMuts. Pengamatan sklerit dibagi menjadi empat bagian untuk setiap koloni, yaitu pinnule (ekstensi seperti jari di sepanjang sisi tentakel), crown mahkota (tentakel menutupi sisi atas polip, terletak di antara tentakel dan kelopak), calyx (bagian tengah polip), dan stolon (percabangan di antara polip). Bentuk sklerit yang terdapat pada Clavularia inflata terdiri dari berbagai macam bentuk seperti batang, jari, stik, dan keranjang. Sklerit ukuran terpendek ditemukan di pinnule. Sklerit ini memiliki variasi sklerit berupa butiran dengan berbagai bentuk geometris seperti bentuk platelet atau biskuit jari. Pada crown, bentuk sklerit yang ditemukan adalah sklerit berbentuk gelendong (berbentuk lonjong dengan tangkai di tengah) dengan bentuk melengkung. Bagian tengah polip (calyx) sebagian besar tertutup oleh jenis sklerit berbentuk batang. Hasil pengukuran morfometri Clavularia inflata menunjukkan spesimen dari Pramuka memiliki pinnule, calyx, dan stolon terbesar dibandingkan lokasi lain. Panjang rata-rata maksimum pinnule, calyx, dan stolon masing-masing adalah 145,1 ± 19,27 µm, 1605,6 ± 30,58 µm, dan 749,5 ± 52,8 µm. Rata-rata panjang maksimal 672,6 ± 39,58 µm terdapat di Maluku Tenggara Barat. Pohon filogenetik karang lunak Clavularia inflata menggunakan metode Neighbor-Joining (NJ) dengan model Kimura 2-parameter, nilai bootstrap 1000x, menunjukkan dua klade besar sampel yang digunakan untuk menunjukkan kesesuaian rantai dasar nukleotida dengan data dari Genbank. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampel berada dalam satu spesies. Informasi dari Automatic Barcode Gap Discovery (ABGD) menunjukkan bahwa ada dua kelompok besar Clavilaria inflata yang ditemukan di Indonesia. Bersama dengan data morfologi, hal ini menunjukkan adanya spesies kriptik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan konektivitas genetik intraspesifik berdasarkan sekuens parsial gen mtMUTs mitokondria populasi Clavularia inflata dari berbagai komunitas terumbu karang di Indonesia. Sampel populasi diperoleh dari delapan lokasi terumbu karang tersebut yaitu Laut Natuna, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Bontang, Lombok, Kangean, Laut Sulawesi, dan Laut Banda. Total individu dikumpulkan dan diamplifikasi menggunakan DNA mitokondria mtMUTs. Selanjutnya keragaman genetik dianalisis berdasarkan parameter keanekaragaman haplotipe (Hd) dan keanekaragaman nukleotida (π), sedangkan struktur genetik dan konektivitas masing-masing dianalisis dengan AMOVA dan analisis jaringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman haplotipe (Hd) terendah terdapat di Laut Natuna dan Kangean, dan tertinggi di Bontang. Keragaman haplotipe berkisar antara 0 dan 0,7421, sedangkan keanekaragaman nukleotida berkisar antara 0 dan 0,2613. Oleh karena itu, nilai π terendah diamati di Natuna dan Kangean, dan tertinggi di Bontang. Keragaman genetik Clavularia inflata sangat bervariasi antara delapan lokalitas dan menandakan adanya keterhubungan genetik antar populasi pada delapan lokalitas sampling di seluruh wilayah Indonesia. Namun, tidak ada struktur genetik yang signifikan yang diamati di seluruh wilayah studi. Hasil yang diperoleh berfungsi sebagai dasar penting untuk penilaian lebih lanjut yang mencakup populasi tambahan dari wilayah yang berdekatan. Keyword:Alcyonacea, Coral triangle, Molecular taxonomy, Phylogeography, Population genetics
Judul: Respons hormonal dan imunologis wanita premenopause terhadap minuman fungsional berbahan dasar susu skim yang disuplementasi dengan isoflavon kedelai dan Zn Abstrak:The decrease of ovarian estrogen level in women causes various menopaused systems of premenopausal women. Along with the decrease of estrogen production, immune system also declines causing degenerative diseases to occur. Keyword:
Judul: Kajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)pada kondisi lingkungan pemeliharaan berbeda Abstrak:Major constrain in the pearl oyster breeding that are lowest of growth and development of larvae to spat and also low survival rate. One of the affected factors its unknown the optimum of rearing environment conditions, such as temperature, salinity, dissolved oxygen and light intensity. The objective of this research was to determine feeding activity, levels of food consumption, types and correct density of feed for optimizing of larvae growth and development of spat so that obtained high survival rate. This research consisted of four levels experiments, which are the study of larvae rearing in laboratory, spat rearing in laboratory, rearing of larvae and spat under optimum environment condition and study of spat rearing in the sea. Factorial completely randomized design was applied to know that effect of types and feed density, physiology response of larvae and spat to the levels of temperature and salinity. Completely randomized design was applied to the study of response of larvae and spat to the levels of light intensity. Randomized block design was applied to the study of spat in natural sea waters. Keyword:Spat Pearl Oyster, Feeding Schedule, Food Consumption
Judul: Evaluation of Physiological Response and Growth Performance of Scalloped Spiny Lobster Puerulus with Different Color Tank, Selter and Calcium Doses Abstrak:Kegiatan budidaya lobster di Indonesia telah dilakukan namun belum berkembang, hanya 12 provinsi yang telah melakukan kegiatan budidaya lobster baik pendederan maupun pembesaran. Adapun kendala utama belum berkembangnya kegiatan budidaya lobster di Indonesia adalah rendahnya kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang diakibatkan oleh tingginya tingkat stres. Faktor lingkungan yang tidak mendukung seperti ketidaksesuaian warna wadah, selter dan kekurangan kalsium diduga penyebab tingkat stres yang tinggi yang selanjutnya akan menganggu kinerja pertumbuhan lobster pasir. Kondisi pemeliharaan puerulus sistem indoors memerlukan kondisi lingkungan sesuai habitat aslinya. Ketidaksesuaian warna wadah diduga akan mengurangi kemampuan lobster dalam mendeteksi pakan pada habitat alaminya. Warna wadah dapat menjadi pemicu stres dengan mempengaruhi perilaku, preferensi habitat dan laju metabolisme krustasea. Lobster memiliki sifat yang agresif dan kanibal pada saat molting sehingga perlu tempat untuk berlindung. Penggunaan selter yang diadaptasi dari tingkah laku lobster di alam yang cenderung sering bersembunyi di batu, liang-liang, dan karang, diharapkan dapat menekan kanibalisme. Berkurangnya ketersediaan makro-mineral seperti kalsium diduga akan menganggu proses molting, karena kalsium banyak diserap dan digunakan selama molting yang merupakan proses penting untuk pertumbuhan krustasea. Keberhasilan molting dan peningkatan kinerja pertumbuhan adalah respons adaptif dari puerulus terhadap faktor lingkungan seperti warna wadah, selter dan dosis kalsium optimum. Tujuan umum penelitian ini adalah mengevalusi respons fisiologis dan kinerja pertumbuhan puerulus lobster pasir yang dipelihara dengan warna wadah, selter dan dan dosis kalsium yang berbeda. Penelitian ini terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1) preferensi puerulus lobster pasir terhadap warna wadah berbeda; 2) evaluasi respons fisiologis dan kinerja pertumbuhan puerulus lobster pasir yang dipelihara pada warna wadah berbeda; 3) evaluasi respons fisiologis dan kinerja pertumbuhan puerulus lobster pasir yang dipelihara pada selter berbeda dan 4) evaluasi respons fisiologis dan kinerja pertumbuhan lobster pasir yang dipelihara dengan dosis kalsium berbeda. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengetahui preferensi puerulus lobster pasir terhadap warna wadah yang berbeda. Pada tahap ini, pergerakan lobster menuju warna yang disukai diamati selama 30 menit sekali selama 24 jam. Frekuensi pengamatan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Ada 6 warna wadah yang digunakan pada penelitian ini yaitu warna wadah merah, hitam, hijau, biru, kuning dan putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa puerulus lobster pasir memiliki preferensi yang tinggi terhadap warna wadah merah sebesar 34 persen pada pagi hari dan 28 persen pada malam hari. Penelitian tahap kedua bertujuan untuk mengevaluasi respons fisiologis dan kinerja pertumbuhan puerulus lobster pasir yang dipelihara dengan warna wadah berbeda. Wadah yang digunakan berupa akuarium sebanyak 12 buah dengan dimensi 100 x 50 x 50 cm3 yang telah ditempel sticker scotlight berwarna merah, hitam dan biru. Kepadatan puerulus selama pemeliharaan adalah 25 ekor akuarium-1. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap empat perlakuan tiga ulangan, terdiri atas warna wadah merah, hitam, biru dan transparan (kontrol). Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna wadah merah mampu menghasilkan tingkat kelangsungan tertinggi dan tingkat stres yang rendah yaitu tingkat kelangsungan hidup 81,33 ± 2,31%, nilai total haemocyte count 7,05 ± 0,68 x 106 sel mL-1, SGPT 4,10 ± 0,66 U L-1, SGOT 4,46 ± 1,55 U L-1, ALP 192,60 ± 1,75 U L-1, total kolesterol 207,2 ± 3,36 mg dL-1, total protein 4,39 ± 1,04 g dL-1, glukosa hemolim 94,5 ± 2,05 mg dL-1. Warna wadah merah mampu menghasilkan kecerahan relatif tertinggi yaitu 108,31 ± 0,98 % kontrol pada bagian abdomen dan 425 ± 5 % kontrol pada bagian cephalotorax. Penelitian tahap ketiga bertujuan untuk mengevaluasi preferensi, respons fisiologis dan kinerja pertumbuhan puerulus lobster pasir yang dipelihara dengan selter berbeda. Pada tahap ini, pengamatan preferensi meliputi pergerakan puerulus menuju lubang selter diamati pada pagi hari, siang hari dan malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa puerulus lobster pasir memiliki preferensi yang tinggi terhadap selter batako kotak sebesar 67,11 persen pada pagi hari, 72,89 persen pada siang hari dan 74,22 persen pada malam hari. Selter batako kotak mampu menghasilkan kinerja pertumbuhan tertinggi yaitu pertumbuhan bobot mutlak sebesar 1,05 ± 0,16 g dan laju pertumbuhan spesifik sebesar 5,29 ± 0,31 % hari-1, SGPT 18,37 ± 0,34 U L-1, SGOT 15,36 ± 6,07 U L-1, total trigliserida 171, 30 ± 27,2 mg dL-1, total kolesterol 249,78 ± 71,3 mg dL-1, total protein 6,71 ± 0,24 g dL-1, glukosa hemolim 27,61 ± 0,44 mg dL-1. Penelitian tahap keempat bertujuan mengevaluasi respons fisiologis dan kinerja produksi puerulus lobster pasir yang dipelihara dengan dosis kalsium yang berbeda. Pemberian perlakuan kalsit dilarutkan dalam air akuarium sesuai dosis perlakuan, kemudian dibiarkan selama dua hari sebelum hewan uji masukan ke dalam akuarium. Pemberian perlakuan kalsit hanya diberikan sekali pada awal penelitian. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dosis kalsium berbeda yaitu 0, 20, 40 dan 60 mg L-1 CaCO3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan dosis kalsium 40 mg L-1 mampu menghasilkan kinerja pertumbuhan tertinggi yaitu pertumbuhan bobot mutlak sebesar 0,64±0,08 g dan tingkat kelangsungan hidup sebesar 62,22±0,64 %, AST 927,10 ± 0,32 U L-1, ALT 196,72 ± 0,16 U L-1, ALP 79,69 ± 3,18 U L-1 , 30 ± 27,2 mg dL-1, total kolesterol 249,78 ± 71,3 mg dL-1, total protein 37,80 ± 3,14 g dL-1, glukosa hemolim 37,80 ± 0,49 mg dL-1, glikogen 3,89 ± 0,17 mg dL-1, MDA 0,68 ± 0,02 mikromol L-1. Berdasarkan hasil dari seluruh tahap penelitian dapat disimpulkan puerulus memiliki preferensi yang tinggi terhadap warna wadah merah dan selter batako kotak. Warna wadah merah mampu menghasilkan kinerja pertumbuhan tertinggi yaitu tingkat kelangsungan hidup 81,33 ± 2,31%. Selter batako kotak mampu menghasilkan kinerja pertumbuhan tertinggi yaitu pertumbuhan bobot mutlak 1,05 ± 0,16 g dan laju pertumbuhan spesifik 5,29 ± 0.31 % hari-1. Penambahan dosis kalsium 40 mg L-1 mampu menghasilkan kinerja pertumbuhan tertinggi yaitu pertumbuhan bobot mutlak 0,64 ± 0,08 g dan tingkat kelangsungan hidup 62,22 ± 0,64 %. Keyword:CaCO3, production performance, physiological response, shelters, tank color
Judul: Strategi Komunikasi Konflik di Ruang Publik Virtual pada Fenomena Aksi Bela Islam Abstrak:Peristiwa Aksi Bela Islam menarik perhatian publik Indonesia baik secara luring maupun daring. Platform digital dijadikan sebagai ruang publik virtual pada peristiwa Aksi Bela Islam seperti media Twitter, Facebook, Instagram dan Google, untuk membentuk dan membagikan wacana yang mendukung atau menolak Aksi Bela Islam. Beragam wacana tersebut membentuk suatu pola konflik di ruang publik virtual atas fenomena Aksi Bela Islam. Analisa dilakukan menggunakan tiga dimensi yang diperkenalkan oleh Dahlgren (1995, 2005, 2018): struktural, representasi dan interaksi, sebuah konsep untuk menggambarkan suatu ruang publik virtual. Penelitian ini membandingkan ruang publik online media sosial Twitter dan media google trends untuk menguji konsep tersebut. Deskriptif analisis data kualitatif dilakukan pada akun-akun yang berinteraksi, membentuk wacana dan komunitas di media sosial Twitter dan pada data pencarian yang terekam di Google trends, sehingga membentuk suatu pola interaksi sosial. Penelitian ini menghasilkan bahwa pada media sosial Twitter, struktur media yang memungkinkan keterlibatan pengguna dalam mengeksplorasi fitur-fitur yang disediakan oleh Twitter, memegang peran kunci pada terbentuknya interaksi sosial yang bersifat menyebar sehingga tercapai representasi dan interaksi yang sehat di ruang publik virtual. Pengguna Twitter mengeksploitasi fitur hashtag dan fitur trending topic, agar media sosial Twitter memiliki struktur media yang memungkinkan terjadinya kebebasan akses, kebebasan berpendapat dan berserikat yang berdampak pada terpenuhinya representasi dan interaksi di ruang publik virtual sebagaimana konsep Dahlgren. Sedangkan pada media virtual Google trends terjadi hegemoni akses melalui fitur kata kunci yang disediakan oleh media virtual Google yang mengakibatkan interaksi bersifat terpusat, sehingga tidak tercapainya representasi dan interaksi meskipun tersedia ruang bagi keterbukaan akses dan interaksi. Keyword:Communication Convergency, Conflict Communication Strategy
Judul: A design of sustainable predictive model for capture fishery agroindustry Abstrak:Potensi keunggulan komparatif sumber daya perikanan Indonesia sudah selayaknya diikuti dengan upaya pengembangan agroindustri perikanan tangkap secara berkelanjutan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif sektor perikanan. Upaya tersebut diharapkan dapat mempercepat terwujudnya 3 pilar tujuan pembangunan ekonomi, yaitu pro-growth strategy (mewujudkan pertumbuhan ekonomi), pro-job strategy (penyerapan tenaga kerja) dan pro-poor strategy (pengentasan kemiskinan). Realisasi pencapaian tujuan tersebut ternyata masih sulit diwujudkan karena agroindustri perikanan tangkap skala kecil dan menengah masih mempunyai sejumlah permasalahan yang mengancam potensi keberlanjutannya pada masa mendatang antara lain, lemahnya daya saing, penguasaan teknologi, mutu produk, modal dan ketrampilan sumber daya manusia yang relatif masih rendah. Ancaman terhadap keberlanjutannya semakin serius karena pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap bersifat terbuka sehingga mudah terdegradasi dari segi jumlah (stok) dan mengalami over fishing. Situasi tersebut menggambarkan bahwa keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap merupakan sistem yang kompleks sehingga penilaiannya bukanlah hal yang sederhana dan mudah karena mencakup berbagai aspek yang sifatnya saling terkait dan dinamis. Hal ini memperkuat bahwa model prediksi keberlanjutan sangat dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap pada masa mendatang sehingga langkah-langkah kebijakan peningkatan keberlanjutannya dapat diformulasikan secara tepat. Salah satu agroindustri perikanan tangkap yang menghadapi ancaman keberlanjutan adalah agroindustri teri nasi. Agroindustri teri nasi merupakan salah satu agroindustri perikanan tangkap yang pernah menjadi primadona di Indonesia. Hal ini ditandai dengan nilai ekspor produk teri nasi kering (chirimen) ke sejumlah negara, terutama Jepang, yang relatif tinggi. Akan tetapi volume ekspor dalam sepuluh tahun terakhir terus mengalami penurunan akibat keterbatasan bahan baku. Agroindustri teri nasi juga menghadapi persoalan lainnya diantaranya adalah kontinuitas bahan baku, mutu bahan baku, teknologi pengolahan, inovasi produk dan jaringan kerja dengan pelaku lainnya (partnership). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa agroindustri teri nasi mempunyai permasalahan yang cukup kompleks sehingga berpotensi mengancam keberlanjutannya pada masa mendatang. Keyword:
Judul: A Prospective Strategies of Competitive and Sustainable Aquaculture Development in Indonesia Abstrak:Perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional dan stagnasi produksi perikanan tangkap untuk mensuplai kebutuhan konsumsi ikan menjadi permasalahan sosial dan ekonomi nasional saat ini. Penurunan permintaan pasar ekspor dan harga komoditas unggulan di pasar global menjadi penyebab utama terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dan defisit neraca perdagangan di Indonesia. Untuk itu diperlukan strategi dan kebijakan untuk memperkuat struktur perekonomian nasional dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan salah satunya melalui pengembangan komoditaskomoditas unggulan non migas yang memiliki daya saing di pasar global. Perikanan budi daya merupakan salah satu subsektor yang mempunyai potensi sebagai alternatif untuk peningkatan ketahanan pangan nasional, kesejahteraan sosial dan perkonomian nasional. Namun potensi perikanan budi daya nasional belum dimanfaatkan secara optimal karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi baik yang bersifat teknis dan non teknis. Hal ini mengakibatkan terjadinya gap yang sangat besar antara hasil kinerja pembangunan dengan target yang telah ditetapkan dalam perencanaan jangka menengah maupun tahunan. Penelitian ini bertujuan utama untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan perikanan budi daya nasional yang berkelanjutan dan berdaya saing secara untuk mendukung peningkatan perekonomian di masa datang dengan menggunakan pendekatan prospektif. Untuk mencapai tujuan utama tersebut maka ada beberapa sub tujuan yang perlu dianalisis yaitu terkait (1) realisasi kinerja pembangunan perikanan budi daya di Indonesia selama ini dan potensi pengembangannya ke depan berdasarkan tipologi ekosistem, (2) tingkat daya saing komoditas-komoditas utama perikanan budi daya Indonesia di pasar global, (3) faktor/variabel kunci dalam pengembangan perikanan budi daya yang dilakukan secara selektif berdasarkan komoditas terpilih, (4) pengaruh dan preferensi multistakeholder pengembangan perikanan budi daya berkelanjutan dan berdaya saing yang dilakukan secara selektif berdasarkan komoditas terpilih, (5) merumuskan skenario kebijakan yang optimal dalam pembangunan perikanan budi daya yang berkelanjutan dan berdaya saing untuk mendukung peningkatan perekonomian nasional di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dan kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan data primer. Periode waktu penelitian menggunakan data sekunder pada periode 2013–2017. Hasil evaluasi kinerja pembangunan perikanan budi daya di setiap tipologi ekosistem selama periode 2013–2017 dengan alat analisis non parametrik menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) menunjukkan bahwa selama ini pembangunan yang dilakukan belum optimal dilakukan di beberapa sentra produksi nasional. Hal ini ditunjukan dengan nilai efisiensi yang masih rendah di beberapa lokasi sentra produksi di setiap tipologi ekosistem meskipun secara rata-rata mengalami peningkatan produktivitas pada periode 2013–2017. Hasil analisis juga mengidentifikasi bahwa potensi peningkatan pengembangan perikanan budi daya laut untuk peningkatan kesejahteraan pembudidaya ikan di masa datang adalah paling besar dibandingkan tipologi eksosistem yang lain. Hal ini sejalan dengan potensi luas lahan yang masih tersedia cukup luas untuk pengembangan perikanan budi daya laut di masa datang. Hasil analisa daya saing dilakukan pada sebelas komoditas utama perikanan budi daya yang diklasifikasikan berdasarkan kode HS 6 digit. Penelitian ini menggunakan lima metode analisis untuk mengukur daya saing komoditas perikanan budi daya yaitu Revealed Compared Advantage (RCA), Revealed Symetric Compared Advantage (RSCA), Indek Spesialiasi Perdagangan (ISP), Constant Market Share Analysis (CMSA) dan analisis elastisitas permintaan. Hasil penelitian mengidentifikasi empat komoditas perikanan budi daya yang mempunyai daya saing komparatif dan kompetitif di pasar global yaitu rumput laut, ikan nila, ikan kerapu dan udang. Secara ekonomi keempat komoditas ini dapat direkomendasikan sebagai alternatif komoditas unggulan ekspor dari subsektor perikanan budi daya untuk mendorong perekonomian nasional. Namun dalam penelitian ini difokuskan pada komoditas kerapu sebagai komoditas unggulan ekspor yang direkomendasikan. Hal ini dengan mempertimbangkan besarnya potensi tipologi perikanan budi daya laut untuk dikembangkan di masa datang, tingkat daya saing komoditas yang cukup tinggi di pasar global, komoditas ini adalah komoditas luxury good yang permintaan berpotensi selalu meningkat setiap tahun, teknologi sudah dikuasai dari proses perbenihan sampai dengan pembesaran oleh pembudidaya ikan. Hasil penelitian dengan alat analisis MICMAC mengidentifikasi bahwa variabel kunci yang paling mempengaruhi keberhasilan pengembangan budi daya ikan kerapu berkelanjutan di masa datang adalah regulasi yang terkait dengan aspek lingkungan yaitu terkait pengaturan kapal angkut dan pelarangan alat tangkap cantrang. Ini menjadi salah satu temuan menarik dari penelitian ini karena selama ini pemrintah fokus pada penguatan sistem produksi saja. Sedangkan variabel produksi adalah variabel yang paling sensistif dimana memiliki nilai pengaruh dan dan dipengaruhi yang paling besar. Berdasarkan analisis MACTOR dapat diidentifikasi bahwa aktor kunci dalam pengembangan budi daya ikan kerapu berkelanjutan di masa datang adalah pemerintah pusat dan provinsi. Hasil analisis ini juga menemukan ada lima tujuan yang mempunyai potensi konflik antar aktor sehingga perlu dipertimbangkan dalam penyusunan rencana strategi di masa datang. Tujuan utama yang disepakati oleh seluruh multistakehoder sebagai key driver dalam pengembangan budi daya ikan kerapu untuk mendorong perekonomian nasional adalah adalah peningkatan produksi dan peningkatan nilai ekpor ikan kerapu. Hasil analisis SMIC Prob merekomendasikan kombinasi skenario 11101 yang memiliki peluang 17,9% sebagai strategi strategi pengembangan budi daya ikan kerapu yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk peningkatan perekonomian di masa datang. Kombinasi skenario 11101 meliputi skenario 1 adalah orientasi peningkatan produksi, skenario 2 adalah orientasi peningkatan nilai ekspor, skenario 3 adalah orientasi peningkatan kesejahteraan dan skenario 5 adalah orientasi pendekatan eksosistem. Keyword:aquaculture, competitiveness, Data Envelopment Analysis, MICMAC, MACTOR, SMIC Prob
Judul: Blood Bicchemistry Profile of Pregnant Women Consumed Fortified Cookies with Iron (Fe), Folic Acid, Vitamin A, Vitamin C, Zinc (Zn), and Iodine Abstrak:The aim of this study was to analyze the effect of fortified cookies on blood biochemistry profile of pregnant women. For this purposed, an experimental study design was applied among 269 physically healthy pregnant women in Leuwiliang and Cibungbulang, Bogor for four treatment groups (I, 11, 111, IV) and control group (V), which given one type of formula cookies for each. The five type of formula are: (1) formula A, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A and vitamin C; (2) formula B, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, and Zn; (3) formula C, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A, vitamin C, and iodium; (4) formula D, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, Zn, and iodium; (5) formula E, was not fortified (control). The different formula were given to different group of women every two days during gestation period. Keyword:
Judul: Dynamics of Phosphorus Release on Direct Application of Reactive Phosphate Rock in Indonesia's Upland Acid Soils Abstrak:Keterbatasan budidaya lahan kering masam adalah pH tanah, kandungan hara C-organik dan P tanah yang rendah, serta aluminium yang dapat dipertukarkan tinggi, yang dapat meracuni tanaman. Bahan induk tanah ini miskin hara baik makro maupun mikro. Hara P yang dilepaskan ke dalam larutan tanah dengan cepat diikat oleh Al, Fe dan Mn menjadi bentuk yag tidak tersedia bagi tanaman. Upaya untuk mengatasi kendala di atas telah banyak diteliti, antara lain: penambahan/ameliorasi dengan dolomit dan bahan organik untuk meningkatkan pH, karbon organik, dan ketersediaan hara tanah. Perbaikan status hara P tanah dapat dilakukan dengan pemupukan P, baik pupuk P larut air seperti TSP, SP-36, NPK, ataupun sumber pupuk P lainnya yaitu fosfat alam (FA). Hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aplikasi langsung FA melepaskan P secara slow release dan memiliki efek yang hampir sama dengan pupuk larut air, membuatnya lebih ekonomis dan ramah lingkungan. FA berkualitas baik disebut FA reaktif (FAR). FA, dolomit, dan bahan organik memainkan peran yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas tanah kering masam. Pupuk kandang dengan dosis 10 t ha−1 relevan untuk diaplikasikan di lahah kering masam. Sebelumnya, FA dan dolomit diaplikasikan secara terpisah. FA diaplikasikan di tanah dengan pH tanah kurang dari 5,5. Disolusi FA berkurang dengan meningkatnya pH di atas 5,5 sehingga P yang dilepaskan ke larutan tanah akan berkurang. Adapun dolomit diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan hara secara umum di tanah masam dengan meningkatnya pH tanah hingga netral (pH 6–7). Mengingat mekanisme yang berlawanan ini, pengapuran harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menghambat proses disolusi FAR, yang dapat mengurangi ketersediaan P untuk tanaman. Berangkat dari latar belakang di atas, maka perlu diteliti bagaimana jika FA diberikan bersama dengan dolomit, pupuk kandang, dan asam organik. Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: (1) mendapatkan jenis dan dosis terbaik asam organik yang diberikan bersama dengan FAR untuk tanaman jagung; (2) mendapatkan dosis dan waktu terbaik aplikasi dolomit yang diberikan bersama dengan aplikasi langsung FAR untuk tanaman jagung; (3) mendapatkan paket teknologi aplikasi langsung FAR untuk tanaman jagung, dan (4) mempelajari dinamika pelepasan hara P pada paket teknologi aplikasi langsung FAR untuk tanaman jagung. Penelitian ini merupakan penelitian pot yang dilaksanakan di rumah kaca dan laboratorium Balai Penelitian Tanah di Bogor. Media tanah yang digunakan merupakan tanah kering masam (Typic Plinthudults) yang diambil dari kawasan sentra jagung di Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Penelitian dilaksanakan mulai April 2021 sampai Juni 2022. Penelitian rumah kaca dilaksanakan melalui 2 tahap, yaitu tahap pertama melaksanakan 2 (dua) percobaan yaitu percobaan jenis dan takaran aplikasi asam organik bersama dengan FAR untuk tanaman jagung, dan percobaan takaran dan waktu aplikasi dolomit bersama dengan FAR untuk tanaman jagung. Hasil dari percobaan ke-1 dan ke-2 digunakan pada percobaan ke-3 untuk menyusun paket teknologi aplikasi langsung FAR yang terdiri atas komponen FAR, pupuk kandang, dolomit, dan asam organik. Rancangan percobaan yang digunakan pada percobaan ke-1 adalah acak kelompok lengkap dengan 2 faktor. Sebagai faktor pertama adalah jenis asam organik, yaitu asam sitrat, asam humat, asam suksinat, dan asam oksalat dan sebagai faktor kedua adalah takaran asam organik, yaitu 0, 25, 50, 100, dan 200 ppm. Setiap perlakuan diulang 3 kali, sehingga terdapat 60 pot perlakuan. Rancangan percobaan yang digunakan pada percobaan ke-2 adalah acak kelompok lengkap dengan 2 faktor. Sebagai faktor pertama adalah waktu aplikasi dolomit, yaitu 7 hari sebelum FAR diaplikaskan (T-1), pada hari yang sama dengan FAR diaplikasikan (T0), 7 hari setelah FAR diaplikasikan (T+1), dan 14 hari setelah FAR diaplikasikan. Sebagai faktor kedua adalah takaran dolomit, yaitu setara 0 (D0); 0,5 (D1); 1,0 (D2); 2,0 (D3); dan 4,0 t ha−1 (D4). Setiap perlakuan diulang 3 kali, sehingga terdapat 60 pot perlakuan. Rancangan percobaan yang digunakan pada percobaan ke-3 adalah acak lengkap dengan 9 perlakuan. Perlakuan yang diuji adalah P0 (kontrol); P1 (FAR); P2 (FAR+dolomit); P3 (FAR+pupuk kandang); P4 (FAR+asam organik); P5 (FAR+dolomit+pupuk kandang); P6 (FAR+dolomit+asam organik); P7 (FAR+pupuk kandang+asam organik), dan P8 (FAR+dolomit+pupuk kandang+asam organik). Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 27 pot perlakuan. FAR diaplikasikan ke tanah dengan takaran 1 t ha−1, pupuk kandang diaplikasikan bersama dengan FA dengan takaran 10 t ha−1. Asam organik yang diaplikasikan adalah dari hasil percobaan ke-1 yaitu asam okasalat dengan takaran 126,9 ppm. Dolomit diaplikasikan adalah hasil dari percobaan ke-2, yaitu takaran 0,75 x Aldd (1,04 t ha−1) Pengambilan contoh tanah untuk percobaan ke-1 dan ke-2 dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu 7 hari setelah tanam (HST), 14 HST, 28 HST, dan 105 HST, sedangkan pada percobaan ke-3 dilakukan sebanyak 6 kali, yaitu 10 hari setelah aplikasi FAR (HSFA), 17 HSFA, 24 HSFA, 38 HSFA, 52 HSFA, dan 115 HSFA. Parameter yang diamati untuk percobaan ke-1 dan ke-2 adalah sifat kimia tanah yaitu pH, kemasam aktif (Al dapat dipertukarkan/Aldd dan Hdd), kandungan kation-kation, P-tersedia/P-Bray 1/P-Olsen, kapasitas tukar kation (KTK), fraksi P anorganik tanah (P-terlarut, Al-P, Fe-P, P-tereduksi, P-terselubung, dan Ca-P), dan berat kering (BK) biji jagung, sedangkan untuk percobaan ke-3 adalah sifat kimia tanah yaitu pH, kemasam aktif (Aldd dan Hdd), C-organik, P-tersedia (P-Bray 1), kandungan kation-kation, KTK, fraksi P tanah (P-terlarut, Al-P, Fe-P, P-tereduksi, P-terselubung, Ca-P, P-organik, dan P-total), serta berat kering (BK) biji jagung. Hasil percobaan ke-1 menunjukkan bahwa jenis asam organik tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter sifat kimia tanah dan BK jagung, tetapi takaran asam organik berpengaruh nyata pada taraf P<0,05 DMRT terhadap pH tanah, Aldd., Cadd., KTK, dan P-Bray 1, dan fraksi P tanah kecuali pada fraksi P-tereduksi dan terselubung, serta BK biji jagung. Peningkatan pH tanah sekitar 0,3 unit akibat aplikasi asam organik akan menurunkan ion Hdd (0,6–0,2 cmol (+) kg−1) dan Aldd (0,09–0,28 cmol (+) kg−1) yang pada gilirannya nyata meningkatkan ion Cadd (0,24–0,73 cmol (+) kg−1), KTK (0,19–0,65 cmol (+) kg−1), dan P-tersedia (0,37–2,49 ppm), serta fraksi P tanah kecuali fraksi P-tereduksi dan P-terselubung. Pengaruh perlakuan jenis asam organik tidak berpengaruh nyata pada taraf p < 0,05 terhadap semua parameter fraksi inorganik P tanah kecuali fraksi Ca-P. Sebaliknya perlakuan takaran asam organik berpengaruh nyata terhadap semua fraksi inorganik P, kecuali fraksi P-tereduksi. Peningkatan konsentrasi asam organik nyata meningkatkan fraksi P-terlarut tanah (4,8 ppm atau 64,8%), fraksi Al-P (13 ppm atau 10,1%), fraksi Fe-P (16,8 ppm atau 27,7%), fraksi Ca-P (20 ppm atau 31,7%) dan nyata menurunkan fraksi P-terselubung (8 ppm atau 13,6%). Terdapat korelasi nyata dan positif antara pH dan fraksi P-inorganik tanah dengan hasil jagung kecuali untuk fraksi P-tereduksi dan P-terselubung. Diantara fraksi P menunjukkan korelasi yang nyata dengan hubungan hingga kuat, kecuali fraksi P-tereduksi dan P-terselubung sangat lemah. Walaupun tidak nyata jenis asam organik terbaik adalah asam oksalat dan asam sitrat dengan takaran terbaik adalah 126,9 ppm, dan setelah takaran ini, hasil jagung menurun. Pada percobaan ke-2, perlakuan waktu aplikasi dolomit bersama dengan FAR berpengaruh nyata pada taraf P< 0,05 DMR terhadap perubahan semua parameter sifat kimia tanah yang diamati. Perlakuan waktu dan takaran aplikasi dolomit bersama dengan FAR berpengaruh nyata pada taraf p < 0,05 uji DMR terhadap perubahan semua parameter sifat kimia tanah yang diamati. Perlakuan T+1 (aplikasi dolomit 7 hari setelah FAR) nyata lebih tinggi 70,7 dan 96% dibandingkan dengan perlakuan T-1 dan T-0 (aplikasi dolomit sebelum FAR), dan perlakuan takaran 1 t ha−1 nyata meningkatkan P-Olsen sebesar 9,6% dan 8,7% dibandingkan dengan perlakuan D3 (2 t ha−1) dan D4 (4 t ha−1). Peningkatan takaran dolomit juga nyata meningkatkan KTK dan pH tanah serta menurunkan Aldd tanah. Perlakuan waktu aplikasi dan takaran dolomit dengan FAR berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil jagung. Waktu dan takaran aplikasi dolomit terbaik diperoleh pada 7 hari setelah FAR dengan takaran 0,75 × Aldd atau pada kasus tanah ini setara 0,8 t ha−1. pH tanah berkorelasi nyata dengan perubahan fraksi anorganik tanah. Secara umum pelarutan FAR mencapai maksimum pada pH tanah antara 5,9 hingga 6.5. Fraksi P-terlarut mencapai maksimum pada pH tanah 5,9, fraksi Al-P pada pH 6,3, dan fraksi Ca-P pada 6,5, sedangkan fraksi Fe-P mencapai konsentrasi minimum pada pH 6,4. Pada percobaan ke-3, perlakuan paket teknologi aplikasi langsung FAR nyata meningkatkan sifat kimia tanah (pH P-Bray 1, P-HCl, C-organik, basa-basa, dan KTK) pada taraf 0,05 uji DMR, serta nyata menurunkan Aldd dan Hdd. Paket teknologi aplikasi langsung FAR berpengaruh nyata terhadap fraksi P-terlarut, Al-P, Fe-P, P-tereduksi, Ca-P, P-organik, dan P-total, kecuali terhadap fraksi P-terselubung. Paket teknologi kombinasi FAR dengan pupuk kandang (perlakuan P3) dan kombinasi FAR dengan dolomit dan pupuk kandang (perlakuan 5) merupakan 2 kombinasi paket teknologi terbaik untuk meningkatkan BK biji jagung dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Terdapat korelasi positif yang nyata antara pH dengan fraksi P-terlarut, Al-P, Fe-P, P-tereduksi, Ca-P, dan P-total. Diantara fraksi-fraksi, terdapat korelasi positif nyata antara fraksi P-total dengan seluruh fraksi P, antara P-terlarut dengan Al-P, Ca-P, dan P-organik, antara fraksi Fe-P dengan fraksi P-tereduksi dan Ca-P, antara fraksi P-tereduksi dengan P-terselubung dan Ca-P, antara fraksi P-terselubung dengan Ca-P., The constraints of dry land acid soil cultivation are low soil pH, C-organic and P nutrient content, and high exchangeability of aluminium, which can poison plants. The parent material of this soil is poor in both macro and micronutrients. P released into the soil solution is quickly bound by Al, Fe, and Mn into a form that is not available to plants. Efforts to overcome the above constraints have been widely studied, including adding amelioration with dolomite and organic matter to increase pH, organic carbon, and soil nutrient availability. Improvement of soil P nutrient status can be done by P fertilization, both water-soluble P fertilizers such as TSP, SP-36, NPK, or other sources of P fertilizers, namely phosphate rock (PR). The results of previous studies showed that direct application of PR will release P in a slow release and had almost the same effect as water soluble fertilizers, making it more economical and environmentally friendly. Good quality PR is called reactive PR (RPR). PR, dolomite, and organic matter play a very important role in increasing the productivity of dry land acid soils. Previously, PR and dolomite were applied separately. PR is applied in soil with a soil pH of less than 5.5. PR dissolution decreases with increasing pH up to 5.5 so that the P realesed into soil solution will alson decrease. Dolomite is needed to increase soil pH to neutral (pH 6–7) so that the availability of macro and micronutrients is maximum. Given these opposing mechanisms, liming must be done carefully so as not to inhibit the dissolution of RPR, which can reduce the availability of P to plants. Departing from the background above, it is necessary to examine what if PR is given together with dolomite, manure, and organic acids. This study aims as follows: (1) to obtain the best type and dosage of organic acids given together with RPR for maize plants; (2) to obtain the best dose and time of dolomite application given together with the direct application of RPR for maize; (3) to obtain the technology package for direct application of RPR for maize, and (4) to study the dynamics of nutrient P release in the technology package of direct application of RPR for maize. This research was a pot study carried out in a greenhouse and laboratory at the Soil Research Institute in Bogor. The soil medium used was dry land acid soil (Typic Plinthudults) taken from the maize center area in Jati Agung District, South Lampung Regency, Lampung Province. The research was carried out from April 2021 to June 2022. The greenhouse research was carried out in 2 stages, namely the first stage carried out 2 (two) experiments, namely an experiment on the type and dose of organic acid application together with RPR for maize plants, and an experiment for the dose and time of application of dolomite together with RPR for maize plants. The results from the 1st and 2nd experiments were used in the 3rd experiment to develop a direct application of the RPR technology package consisting of RPR components, manure, dolomite, and organic acids. The experimental design used in the first experiment was randomized complete block design (RCBD) with two factors. As the first factor is the type of organic acid, namely citric acid, humic acid, succinic acid, and oxalic acid and the second factor is the dose of organic acid, namely 0, 25, 50, 100, and 200 ppm. Each treatment was repeated 3 times, so there were 60 treatment pots. The experimental design used in the 2nd experiment was RCBD with two factors. The first factor was the dolomite application time, which were 7 days before RPR was applied (T-1), on the same day RPR was applied (T0), 7 days after RPR was applied (T+1), and 14 days after RPR was applied. As the 2nd factor was the dolomite dose, which were equivalent to 0 (D0); 0.5 (D1); 1.0 (D2); 2.0 (D3); and 4.0 t ha−1 (D4). Each treatment was repeated 3 times, so there were 60 treatment pots. The experimental design used in the 3rd experiment was randomized complete design (RCD) with 9 treatments and 3 replications. The treatments tested were P0 (control); P1 (RPR); P2 (RPR+dolomite); P3 (RPR+manure); P4 (RPR+organic acid); P5 (RPR+dolomite+manure); P6 (RPR+dolomite+organic acid); P7 (RPR+manure+organic acid), and P8 (RPR+dolomite+manure+organic acid). Each treatment was repeated 3 times so that there were 27 treatment pots. RPR was applied to the soil at a dose of 1 t ha–1, the manure was applied 10 t ha−1, and the Oxalic acid was applied at 126,9 ppm which was the result of the 1st experiment and dolomite applied at 0,75 x Alexch. (1,04 t ha−1) which was the result of the 2nd experiment. Soil sampling for the 1st and 2nd experiments was carried out 4 times, namely 7 days after planting (DAP), 14 DAP, 28 DAP, and 105 HST (harvested time), while in the 3rd experiment, it was carried out 6 times, namely 10 days after RPR applications (DAPR), 17 DAPR, 24 DAPR, 38 DAPR, 52 DAPR, and 115 DAPR. The parameters observed for the 1st and 2nd experiments were the chemical properties of the soil, namely pH, active acidity (Alexch. and Hexch.), cations content, available P/P-Bray 1/P-Olsen, cation exchange capacity (CEC), soil inorganic P fraction (dissolved P, Al-P, Fe-P, reductant-P, occluded-P, and Ca-P), and dry weight (DW) of maize kernels, while for the 3rd experiment were soil chemical properties namely pH, active acidity (Alexch and Hexch), C-organic, available P, the content of cations, CEC, fraction of soil P (saloid-P, Al-P, Fe-P, reductant-P, occluded-P, Ca-P, P-organic, and P-total), as well as dry weight (DM) of maize kernels The results of the 1st experiment showed that the type of organic acid did not significantly affect all parameters of soil chemical properties and DW of maize, but the dose of organic acid had a significant effect at the level of P <0.05 DMRT on soil pH, Alexch, Caexch, CEC, and available P (P-Bray 1), and soil P fraction except for reductant-P and occluded-P fractions, as well as DW of maize seeds. An increase in soil pH of about 0.3 units due to the application of organic acids will reduce Hexch ions (0.6–0.2 cmol (+) kg−1) and Alexch (0.09–0.28 cmol (+) kg−1) which in turn markedly increased Caexch ions (0.24–0.73 cmol (+) kg−1), CEC (0.19–0,65 cmol (+) kg−1), and available P (0.37–2.49 ppm), as well as the soil P fraction except for reductant-P and occluded-P fractions. The effect of type of organic acid treatment had no significant effect at the level p < 0.05 on all parameters of the soil inorganic P fraction except for the Ca-P fraction. On the other hand, the organic acid dose treatment had a significant effect on all inorganic P fractions, except for the reductant-P fraction. Increasing the concentration of organic acids markedly increased the occluded-P fraction of the soil (4.8 ppm or 64.8%), the Al-P fraction (13 ppm or 10.1%), the Fe-P fraction (16.8 ppm or 27.7 %), Ca-P fraction (20 ppm or 31.7%) and a significantly decreased occluded-P fraction (8 ppm or 13.6%). There was a significant and positive correlation between pH and soil inorganic P-fraction and maize yield except for reductant--P and occluded-P fractions. Among the P fractions showed a significant correlation with a strong finite relationship, except for the reductant-P and occluded-P fractions which were weak. Although it was not significant that the best types of organic acids are oxalic acid and citric acid with the best organic acid dose of 126.9 ppm, after this dose, the yield of maize decreased. In the 2nd experiment, the dolomite application time together with RPR significantly affected the P level <0.05 DMR on changes in all observed soil chemical properties parameters. T+1 treatment (application of dolomite 7 days after FAR) was significantly higher 70.7 and 96% compared to treatments T-1 and T-0 (application of dolomite before FAR), and treatment with a dose of 1 t ha−1 significantly increased P-Olsen by 9.6% and 8.7% compared to treatments D3 (2 t ha−1) and D4 (4 t ha−1). Increasing the dose of dolomite also significantly increased CEC and soil pH and decreased soil Al-exch. Treatment of application time and dose of dolomite with FAR had a significant effect on increasing maize yields. The best dolomite application time and rate was obtained 7 days after FAR with a dose of 0.75 × Al-exch. or in this soil case the equivalent of 0.8 t ha−1. Soil pH was significantly correlated with changes in soil inorganic fractions. In general, FAR dissolution reached a maximum at soil pH between 5.9 to 6.5. The saloid-P fraction reached a maximum at soil pH 5.9, the Al-P fraction at pH 6.3, and the Ca-P fraction at 6.5, while the Fe-P fraction reached a minimum concentration at pH 6.4. In the 3rd experiment, the direct application of RPR technology package treatment significantly increased the chemical properties of the soil (pH P-Bray 1, P-HCl, C-organic, base cations, and CEC), and significantly decreased Alexch and Hexch. The technology package of RPR direct application significantly affected the saloid-P, Al-P, Fe-P, reductant-P, Ca-P, organic P, and total P fractions, except for the occluded-P fraction. The technology package combination of RPR with manure (T3 treatment) and the combination of RPR with dolomite and manure (treatment 5) were the best two combination technology packages to increase the DW of maize seeds compared to other treatment combinations. There was a significant positive correlation between pH and saloid-P, Al-P, Fe-P, reductant-P, Ca-P, and total P fractions. Among the fractions, there was a significant positive correlation between the P fraction and all P fractions except with reductant-P and occluded-P fraction. Keyword:Fraksi P, Hasil jagung, Korelasi fraksi P, Takaran asam organik, Takaran dolomit
Judul: Penetapan Rekomendasi Pemupukan Fosfor dan Kalium Berdasarkan Uji Tanah untuk Tanaman Tomat (Solanum lycopersicum L.) pada Tanah Andisol Abstrak:Andisol adalah jenis tanah produktif yang berkembang dari bahan vulkanik. Luasnya mencapai 5.39 juta ha setara dengan 2.9% dari total tanah pertanian Indonesia yang berasal dari bahan vulkanik. Wilayah tanah Andisol dikenal sebagai sentra utama komoditas sayuran keluarga Solanaceae terutama tomat, kentang dan cabai. Ketersediaan hara fosfor (P) dan Kalium (K) yang rendah pada tanah andisol menjadi masalah untuk budidaya tanaman tomat, karena dapat menyebabkan produktivitas tanaman dan kualitas buah yang rendah. Hara P yang rendah menjadi faktor pembatas pertumbuhan awal tanaman tomat sedangkan hara K tanah yang rendah dilaporkan selain membatasi pertumbuhan tanaman juga menurunkan ketahanan tanaman terhadap cekaman lingkungan dan serangan penyakit. Upaya pemupukan P dan K pada tanah Andisol untuk meningkatkan produksi tanaman dan kualitas buah tomat sudah dilakukan petani, tetapi hasilnya belum memuaskan. Salah satu penyebabnya adalah cara penentuan dosis pupuk yang masih belum tepat. Pemberian pupuk P dan K yang tidak tepat selain kurang efektif dan tidak ekonomis, juga dapat meningkatkan pencemaran lingkungan. Penelitian penentuan rekomendasi pemupukan P dan K penting dilakukan karena sampai saat ini belum ada rekomendasi pupuk P dan K berdasarkan uji tanah untuk tanaman tomat di tanah Andisol, khususnya di Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk: (1) menentukan dan mendapatkan metode pengekstrak terbaik untuk hara P dan K tanah, (2) menetapkan kelas ketersediaan hara P dan K tanah, dan (3) menetapkan dosis maksimum pupuk P dan K untuk tanaman tomat pada tanah Andisol. Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan lokasi tunggal (single location) di lahan bera Kebun Percobaan IPB Pasirsarongge Cianjur. Penelitian dilakukan dalam empat tahap kegiatan, yaitu: 1. Pembuatan status hara P dan K tanah; 2. Uji korelasi hara P dan K di rumah kasa; 3. Uji kalibrasi P dan K tanaman di lahan; dan 4. Penentuan rekomendasi pupuk P dan K. Setiap tahapan penelitian dilakukan secara terpisah untuk masing-masing hara P maupun K, dan dilaksanakan dari bulan November 2015 – Juni 2017. Penelitian tahap 1, perlakuan pembuatan status hara P dan K menggunakan Rancangan Acak Kelompok lima ulangan. Pembuatan status hara P dan K tanah, masing – masing dilakukan dengan lima takaran, yaitu; 0, 1/4X, 1/2X, 3/4X, dan X. Takaran X untuk status hara P adalah jumlah P sebanyak 2240 kg P ha-1 diberikan dalam bentuk larutan asam fosfat (H3PO4) sebanyak 4893 L H3PO4 ha-1 untuk mencapai konsentrasi P tertinggi dalam larutan tanah yaitu 0.2 μg P L-1. Sedangkan X untuk status hara K adalah jumlah K sebanyak 413.4 kg K ha-1 diberikan dalam bentuk kalium sulfat (K2SO4) sebanyak 996.4 kg ha-1 untuk mencapai kadar K tertinggi dalam larutan tanah 0.6 cmol kg-1. Tanah yang sudah diberi perlakuan diinkubasi selama 4 bulan, lalu dianalisis kandungan P dan K, masing - masing menggunakan lima metode pengekstrak, yaitu: Bray 1), HCl 25%, Morgan Wolf, Mechlich 1 , dan NH4OAc. Hasil analisis tanah menunjukkan nilai P terekstrak oleh setiap metode pengekstrak meningkat seiring dengan penambahan larutan H3PO4 kedalam tanah. Juga, nilai K terekstrak menunjukkan peningkatan dengan penambahan K2SO4 kedalam tanah. Tanah hasil inkubasi pada tahap 1, diambil secara acak dari setiap petaknya untuk dikeringanginkan dan digunakan untuk penelitian tahap 2, yaitu uji korelasi yang dilakukan di rumah kasa. Tanah ukuran 2 mm sebanyak 10 kg selanjutnya dimasukan ke dalam polybag kemudian ditanami satu bibit tomat varietas Marta F1 umur 21 hari setelah semai per polybag. Penelitian tahap 2 menggunakan rancangan acak kelompok dengan lima ulangan bertujuan untuk menentukan metode ekstraksi terbaik untuk tanaman tomat di tanah Andisol. Setiap nilai hara P dan K terekstrak dari lima metode pengekstrak dikorelasikan dengan bobot biomas tanaman tomat. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa metode ekstraksi P tanah Andisol terbaik untuk tanaman tomat adalah Morgan Wolf dengan nilai koefisien korelasi: 0.79, sedangkan metode ekstraksi K tanah Andisol adalah NH4OAc dengan nilai koefisien korelasi: 0.75. Penelitian tahap 3, yaitu uji kalibrasi hara tanah yang dilakukan melalui percobaan lapangan untuk mempelajari respon pertumbuhan dan hasil tanaman tomat terhadap pemupukan P dan K pada berbagai status hara P dan K tanah yang telah dibuat dari terendah sampai tertinggi. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah lima ulangan. Pada uji kalibrasi P tanah, petak utama adalah status hara P tanah (hasil inkubasi P tanah penelitian tahap 1), dan anak petak adalah dosis pemupukan P (0, 79.8, 159.6, 239.4 dan 319.2 kg P2O5 ha-1). Sedangkan uji kalibrasi K tanah, petak utama adalah status K tanah (hasil inkubasi K tanah penelitian tahap 1) dan anak petak adalah dosis pemupukan K (0, 125, 249, 374 dan 498 kg K2O ha-1). Penentuan masing – masing kelas ketersediaan hara P dan K tanah dilakukan berdasarkan persamaan regresi dari kurva kalibrasi yang menghubungkan antara nilai hara P atau K terekstrak (X) dengan hasil relatif (Y). Kelas ketersediaan hara P tanah Andisol berdasarkan pengekstrak terbaik Morgan Wolf diklasifikasikan menjadi sangat rendah, rendah, sedang, serta tinggi dan sangat tinggi adalah <4; 4 - < 7; 7 - < 15; dan > 15 ppm P. Sedangkan kelas ketersediaan hara K tanah Andisol berdasarkan pengekstrak terbaik NH4OAc diklasifikasikan menjadi sangat rendah, rendah, sedang, serta tinggi dan sangat tinggi adalah <0.22; 0.22 - < 0.31; 0.31 - < 0.53; dan > 0.53 cmol kg-1 K. Penelitian tahap 4 adalah penetapan rekomendasi pemupukan P dan K. Rekomendasi dosis pupuk yang ditetapkan adalah dosis pupuk maksimum yang dibutuhkan tanaman untuk mencapai hasil relatif 100% dan dosis optimum yang dihubungkan dengan biaya pupuk dan harga hasil panen. Kebutuhan pupuk dihitung berdasarkan persamaan regresi hasil kurva respon hasil tanaman untuk setiap kelas ketersediaan hara P dan K tanah. Dosis pupuk P maksimum untuk kelas ketersediaan hara P sangat rendah, rendah dan sedang masing – masing adalah: 273, 257 dan 222 kg P2O5 ha-1, sedangkan dosis optimumnya adalah: 267, 251 dan 216 kg P2O5 ha-1 . Dosis pupuk K maksimum untuk kelas ketersediaan hara K sangat rendah, rendah dan sedang masing – masing adalah: 442, 363,dan 298 kg K2O ha-1, sedangkan dosis optimumnya adalah: 426, 348 dan 283 kg K2O ha-1. Pemberian pupuk P maupun K tidak perlu dilakukan pada kelas ketersediaan hara P dan K tanah yang tinggi dan sangat tinggi. Keyword:Uji korelasi, uji kalibrasi, Morgan Wolf, NH4OAc, NH4OAc, status tanah
Judul: Metazoan parasites from the narrow-barred Spanish mackerel, Scomberomorus commerson (Lacepede, 1800) around Sulawesi waters Abstrak:Ikan tenggiri adalah salah satu ikan ekonomis penting yang dijual untuk memenuhi pasaran lokal dan salah satu komoditi ekspor. Untuk menjaga kualitas ikan tersebut, maka perlu dik etahui tentang stok dan parasitnya. Studi parasit merupakan salah satu informasi penting dalam bidang ekologi seperti peranan parasit pada suatu ekosistem dan informasi dasar bagi industri perikanan dalam menjaga kualitas ikan, dan dalam bidang manajemen, kemungkinan dapat juga digunakan sebagai indikator stok populasi ikan. Keyword:
Judul: Respon Fisiologis, Metabolit, dan Molekuler Tanaman Padi terhadap Cekaman Keracunan Besi (Fe). Abstrak:Cekaman keracunan Fe menyebabkan berbagai gangguan fisiologis yang sangat kompleks sehingga menurunkan pertumbuhan tanaman. Secara genetik, sifat toleransi tanaman terhadap cekaman keracunan Fe dikendalikan oleh banyak gen (poligenik). Hal tersebut yang menyebabkan hingga saat ini studi terkait cekaman keracunan Fe pada tanaman masih perlu dilakukan terutama berkaitan dengan sifat toleransinya. Berbagai pendekatan diperlukan untuk mengungkap dan memberikan gambaran tentang kondisi tanaman dalam mentoleransi cekaman keracunan Fe. Tingkat toleransi tanaman padi terhadap cekaman keracunan Fe sangat dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungannya. Pendekatan secara fisiologis, metabolomik, dan molekuler diperlukan untuk mengungkap lebih mendalam tentang cekaman keracunan Fe pada tanaman padi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari toleransi tanaman padi terhadap cekaman keracunan Fe melalui analisis fisiologis, metabolomik, dan molekuler. Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan utama. Tahapan pertama yaitu analisis respon anatomis dan fisiologis tanaman padi pada kondisi tergenang dan jenuh air di lahan dengan kandungan Fe tinggi. Kondisi tergenang untuk menunjukkan cekaman keracunan Fe yang terjadi di lapang. Tahapan kedua yaitu analisis profil metabolit tanaman padi pada kondisi cekaman keracunan Fe berdasarkan analisis GC-MS tanpa proses derivatisasi dan LC-MS. Tahapan ketiga yaitu analisis aktivitas gen PLA2 dan PPO pada konsentrasi Fe yang berbeda melalui quantitative real time polymerase chain reaction (qRT-PCR). Terdapat empat varietas tanaman padi yang digunakan pada penelitian ini yaitu IR64, Inpara 5, Inpara 2, dan Pokkali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi tanah berpengaruh terhadap respon anatomis dan fisiologis tanaman padi. Tanah yang tergenang di lahan dengan kandungan Fe tinggi menyebabkan penurunan biomassa, diameter akar, kandungan Fe jaringan akar dan tajuk, kandungan klorofil, laju fotosintesis, laju transpirasi, dan konduktansi stomata. Pada kondisi tergenang hanya Pokkali yang mampu menunjukkan pertumbuhan yang baik dibandingkan varietas padi lainnya. Pokkali menunjukkan kandungan Fe plak dan jaringan dengan konsentrasi yang besar pada saat kondisi tanah tergenang. Pada kondisi jenuh air Inpara 2 dan Pokkali mampu tumbuh baik dengan cara meningkatkan jumlah plak akar sebagai bentuk penghidaran (avoidance) dan meminimalisir dari cekaman yang berlebih. Namun pada kondisi jenuh air, Pokkali juga meningkatkan kemampuan kompartementasi Fe di dalam jaringan serta detoksifikasi ROS sebagai bentuk toleransinya. Kondisi jenuh air juga menyebabkan tanaman padi varietas sensitif yaitu IR64 dan Inpara 5 mampu tumbuh dengan baik dibandingkan kondisi tergenang. Analisis metabolomik menggunakan GC-MS dan LC-MS masing-masing diperoleh 163 dan 58 senyawa metabolit dari 4 varietas tanaman padi meliputi IR64, Inpara 5, Inpara 2, dan Pokkali. Tiga senyawa kelompok asam lemak (asam elaidat, asam linoleat, asam linolenat) dan riboflavin menjadi senyawa metabolit penanda cekaman keracunan Fe pada tanaman padi. Terdapat korelasi positif antara asam elaidat dan laju pertumbuhan tajuk (r = 0.60) dan klorofil (r = 0.76). Konsentrasi asam linoleat akar berkorelasi negatif dengan kandungan MDA akar (r = -0.56). Korelasi negatif ditunjukkan antara konsentrasi asam linolenat tajuk dengan kandungan klorofil (r = -0.92). Korelasi secara positif ditunjukkan antara riboflavin dan klorofil (r = 0.88) serta laju pertumbuhan tajuk (r = 0.9) ketika kondisi cekaman keracunan Fe. Tingkat toleransi tanaman dan perbedaan konsentrasi Fe memengaruhi tingkat ekspresi gen PLA2 dan PPO pada jaringan tajuk. Aktivitas gen PLA2 berkorelasi positif (r = 0.62) terhadap kandungan klorofil dan negatif (r = -0.46) terhadap tingkat bronzing daun pada saat kondisi tanaman padi tercekam keracunan Fe. Aktivitas gen PPO juga diketahui berkorelasi positif (r = 0.75) terhadap kandungan klorofil dan negatif (r = -0.90) terhadap tingkat bronzing daun pada saat kondisi tanaman padi tercekam keracunan Fe. Simpulan umum dari penelitian ini yaitu biomassa, diameter akar, kandungan Fe jaringan, tingkat peroksidasi lipid, kandungan klorofil, laju fotosintesis, laju transpirasi, dan konduktansi stomata secara konsisten mampu membedakan respon tanaman padi varietas sensitif (IR64 dan Inpara 5), moderat (Inpara 2), dan toleran (Pokkali) terhadap cekaman keracunan Fe. Mekanisme toleransi tanaman padi terhadap cekaman keracunan Fe melibatkan beberapa asam lemak (asam linolenat, asam linoleat, dan asam elaidat) dan riboflavin. Peningkatan ekspresi gen PLA2 berkaitan dengan konsentrasi asam lemak sebagai komponen penting membran sel dan peningkatan ekspresi gen PPO saat terjadi cekaman keracunan Fe berkaitan dengan mekanisme toleransi tanaman padi terhadap kondisi cekaman keracunan Fe. Peningkatan ekspresi gen PLA2 dan PPO berkorelasi positif dengan kandungan klorofil dan negatif dengan bronzing pada daun. Keyword:asam lemak, avoidance, gen PLA2, gen PPO, riboflavin, tergenang tolerance
Judul: Studi Genetik dan Morfofisiologi Toleransi Padi terhadap Cekaman Rendaman dan Kekeringan Mendukung Perakitan Varietas Multi Toleran. Abstrak:Cekaman rendaman dan kekeringan merupakan cekaman yang seringkali terjadi di lahan rawa lebak terutama lahan rawa lebak dangkal. Masalah utama pada lahan rawa lebak ialah sulitnya memprediksi dinamika tinggi muka air sehingga tanaman padi sering mengalami kekeringan pada musim kemarau dan terendam akibat curah hujan setempat atau banjir kiriman dari hulu. Lahan rawa lebak dangkal dan tengahan seringkali mengalami cekaman rendaman pada awal musim tanamatau pada fase vegetatif dan cekaman kekeringan pada akhir musim atau pada fase generatif, sehingga padi mengalami dua cekaman sekaligus pada satu periode hidupnya. Luas lahan rawa lebak dangkal dan tengahan di Indonesia mencapai 7 512 800 ha. Lahan tersebut potensial untuk budidaya pertanian salah satunya komoditas padi sebagai tanaman pangan utama masyarakat Indonesia. Pada disertasi ini ditampilkan hasil penapisan terhadap galur-galur padi terhadap cekaman rendaman dan kekeringan, konfirmasi toleransi padi terhadap cekaman kekeringan menggunakan marka molekuler, penelitian karakter morfologi dan fisiologi yang terkait dengan toleransi rendaman dan kekeringan, studi genetik padi terkait dengan toleransi kekeringan fase generatif menggunakan populasi yang toleran terhadap cekaman rendaman fase vegetatif, dan evaluasi galur terpilih pada lahan rawa lebak dan lahan bercekaman ganda secara artifisial. Tujuan pertama penelitian ini ialah mendapatkan informasi toleransi galurgalur padi terhadap cekaman rendaman fase vegetatif dan kekeringan fase generatif. Sebanyak 18 galur diketahui toleran terhadap rendaman dan tujuh galur yang toleran terhadap kekeringan yang terkonfirmasi secara molekuler. Diantara galurgalur tersebut, diperoleh tiga galur yang toleran terhadap cekaman rendaman fase vegetatif dan sekaligus toleran terhadap cekaman kekeringan fase generatif. Ketiga galur tersebut ialah galur 60 (BP20452e-PWK-0-SKI-3-3), galur 48 (BP20452e- PWK-0-SKI-1-1), dan galur 56 (BP20452e-PWK-0-SKI-2-4). Berdasarkan informasi toleransi galur-galur padi terhadap cekaman rendaman dan kekeringan dipilih beberapa galur yang mewakili genotipe peka dan toleran salah satu maupun kedua cekaman untuk digunakan pada studi morfofisiologi. Tujuan kedua penelitian ini ialah mempelajari karakter morfologi, agronomi, dan fisiologi terkait sifat toleransi dan adaptasi tanaman padi terhadap cekaman rendaman pada fase vegetatif dan cekaman kekeringan fase generatif. Toleransi tanaman padi terhadap cekaman rendaman maupun cekaman kekeringan diduga berdasarkan nilai indeks kepekaan tanaman pada karakter produktivitas. Indeks tersebut diperoleh dengan melibatkan data produktivitas pada lingkungan tidak tercekam dan lingkungan tercekam, dimana semakin rendah indeks suatu genotipe maka semakin toleran genotipe tersebut. Indeks kepekaan tersebut menggambarkan perubahan produktivitas antara lingkungan tidak tercekam dengan lingkungan tercekam. Sementara itu, adaptabilitas tanaman padi terhadap cekaman rendaman maupun cekaman kekeringan diduga berdasarkan nilai produktivitas pada kondisi cekaman. Berdasarkan penelitian ini diperoleh informasi bahwa karakter v kandungan karoten pada 5 hari perendaman, jumlah gabah isi per malai, dan kandungan klorofil total pada 5 hari perendaman yang tinggi merupakan indikator suatu genotipe tanaman yang adaptif terhadap cekaman rendaman fase vegetatif. Karakter selisih tinggi bibit, jumlah gabah isi per malai, fertilitas malai, dan umur berbunga yang rendah serta selisih kandungan prolin tajuk pada 10 hari perendaman yang tinggi antara kondisi tidak tercekam dan kondisi rendaman merupakan indikator sifat toleran terhadap cekaman rendaman fase vegetatif. Karakter indeks kepekaan kekeringan (IKK) jumlah gabah hampa per malai, IKK fertilitas malai, IKK tinggi tanaman, IKK N total, MDA dan prolin akar 15 hari kekeringan merupakan indikator sifat toleran terhadap cekaman kekeringan fase generatif. Karakter yang merupakan indikator toleransi dan adaptasi untuk kedua cekaman ialah fertilitas malai dan kandungan prolin pada saat cekaman. Tujuan ke tiga penelitian ini ialah mengetahui pewarisan toleransi kekeringan fase generatif menggunakan populasi yang toleran terhadap rendaman fase vegetatif. Populasi persilangan Lipigo 2 x Inpari 30 Ciherang Sub1 dianalisis menggunakan nilai tengah enam generasi (P1, P2, F1, BCP1, BCP2, dan F2) pada kondisi tidak tercekam dan tercekam ganda, dimana pada fase vegetatif diberi cekaman rendaman dan pada fase generatif diberi cekaman kekeringan. Berdasarkan percobaan pada kondisi tidak tercekam karakter panjang malai dipengaruhi aksi gen aditif dan dominan, sedangkan karakter yang lain baik pada kondisi tercekam maupun tidak tercekam dipengaruhi oleh aksi gen epistasis. Pada kondisi tercekam terdapat pengaruh tetua betina pada karakter jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, dan hasil gabah per rumpun. Mempertahankan variasi genetik hingga generasi lanjut dapat dijadikan strategi untuk mendapatkan hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman kekeringan. Tujuan ke empat penelitian ini adalah mengevaluasi galur-galur terpilih pada kondisi sesungguhnya di rawa lebak. Hasil evaluasi selanjutnya dibandingkan dengan hasil evaluasi kondisi artifisial menggunakan kolam rendaman dan kondisi tidak tercekam di lahan irigasi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa genotipe padi yang menghasilkan produktivitas terbaik lahan rawa lebak ialah Inpara 9, sementara pada pengujian artifisial menggunakan kolam rendaman ialah IR11T210. Berdasarkan studi dalam disertasi ini galur 46 (IR11T210), galur 60 (BP20452e- PWK-0-SKI-3-3), galur 48 (BP20452e-PWK-0-SKI-1-1), dan galur 56 (BP20452e- PWK-0-SKI-2-4) dapat direkomendasikan untuk uji daya hasil lanjutan dalam perakitan varietas multitoleran. Implikasi dari keseluruhan rangkaian penelitian ini diantaranya ialah bahwa sejumlah karakter agronomi terkait toleransi padi terhadap cekaman kekeringan dikendalikan oleh aksi gen epistasis, sehingga seleksi toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan hendaknya dilakukan di akhir generasi. Disamping itu, ditemukan beberapa karakter seperti jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, dan hasil gabah per rumpun pada kondisi cekaman yang dipengaruhi oleh tetua betina, sehingga dalam hal ini pemilihan tetua betina dalam perakitan varietas toleran kekeringan harus menjadi pertimbangan khusus. Berdasarkan penelitian ini juga disarankan agar penyusunan metode skrining cekaman ganda secara buatan perlu dilakukan kembali dengan menggunakan media yang lebih besar sehingga perlakuan kekeringan lebih mudah diatur, serta ukuran contoh yang lebih besar pula. Keyword:epistasis, model regresi, padi, pengaruh tetua betina, seleksi
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Seed Treatment for Improvement in Plant Growth,Yield and Seed Quality, Controlling Bacterial Leaf Blight and Reducing Use of Phosphate Fertilizer Abstrak:Keberhasilan produksi tanaman di lapang ditentukan juga oleh penggunaan benih yang baik dan bermutu. Mutu benih terdiri atas mutu fisik, fisiologis, mutu genetik, dan mutu kesehatan atau patologis. Mutu fisik, fisiologis, dan genetik telah mendapat perhatian dalam peredaran benih di Indonesia. Akan tetapi mutu patologis belum menjadi perhatian. Padahal benih merupakan salah satu sarana penyebaran penyakit, disamping sebagai faktor penentu keberhasilan produksi tanaman, termasuk tanaman padi. Salah satu penyebab masih rendahnya produksi padi di Indonesia adalah serangan penyakit hawar daun bakteri dan defisiensi hara fosfat. Penyakit hawar daun bakteri (HDB) adalah salah satu penyakit terbawa benih. Perlakuan benih dengan agens hayati yang menggunakan mikroba yang berasal dari rizosfer tanaman padi merupakan salah satu cara yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah di atas. Hal ini karena agens hayati tersebut memiliki kemampuan sebagai fitostimulator, biofertilizer, dan biopestisida. Keyword:
Judul: Dinamika Daerah Penangkapan Ikan: Kasus Perikanan Pelagis Kecil di Laut Jawa - Selat Makassar - Laut Flores Abstrak:Lahan rawa merupakan lahan yang potensial untuk pengembangan produksi padi, tetapi memiliki pH yang rendah, tinggi kadar Fe nya dan ada ketidakseimbangan hara dalam budidaya padi di ekologi tersebut. Padi IPB 3S memiliki potensi hasil yang tinggi, tetapi produktivitasnya masih dilaporkan rendah karena masih tingginya benih hampa, masalah kerebahan dan ketidakseimbangan hara. Produktivitas yang rendah dapat diatasi dengan pemupukan N, Silica (Si), Zinc (Zn) dan mikroba. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu benih padi IPB 3S dengan pemupukan urea, silika, zink dan mikroba di agroekologi lahan rawa lebak. Percobaan pada penelitian pertama disusun dalam rancangan acak kelompok factorial dengan faktor pertama adalah dosis silika (1,33 L ha-1 dalam 2 kali aplikasi, 2 L ha-1 dalam satu kali aplikasi dan 2 L ha-1 dalam dua kali aplikasi), dan faktor kedua adalah dosis urea (2,5 kg ha-1 , 3,3 kg ha-1 , and 5 kg ha-1 ) dalam dua kali aplikasi. Penelitian kedua disusun dalam rancangan acak kelompok factorial dengan faktor pertama adalah dosis Zn (0 kg ha-1 , 15 kg ha-1 , 30 kg ha-1 , and 45 kg ha-1 ), dan faktor kedua adalah perlakuan benih dengan mikroba probiotik (control, Bacillus sp, Bacillus sp (+), Chromobacterium sp, Chromobacterium sp (+)). Pemupukan urea berpengaruh terhadap jumlah biji per malai dan jumlah biji bernas per malai, dimana dosis 5 kg ha-1 menunjukkan nilai paling tinggi untuk karakter tersebut. Silika berpengaruh terhadap jumlah anakan, jumlah anakan produktif, jumlah biji per malai, jumlah biji bernas per malai, dimana dosis 1,33 L ha-1 menunjukkan nilai tertinggi untuk karakter tersebut. Interaksi urea dan silika berpengaruh terhadap jumlah anakan, jumlah anakan produktif, jumlah biji per malai, jumlah biji bernas per malai, dimana interaksi dosis 1,33 L ha-1 dan 5 kg ha-1 menunjukkan nilai tertinggi untuk karakter tersebut. Baik silika maupun urea tidak berpengaruh terhadap mutu benih, tetapi interaksi dosis 1,33 L and 2,5 kg ha-1 menunjukkan niai tertinggi untuk kecepatan tumbuhnya. Pemupukan Zn tidak mampu meningkatkan hasil maupun mutu benih padi IPB 3S. Perlakuan dengan mikroba Chromobacterium sp. mampu meningkatkan komponen hasil seperti tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, panjang malai dan calon benih kering sawahnya, sedangkan mikroba Bacillus sp. meningkatkan mutu benih melalui indeks vigornya. Interaksi pemupukan Zn dosis 15 kg ha-1 dan mikroba Chromobacterium sp. meningkatkan panjang daun bendera, panjang malai dan hasil (8,3 ton ha-1 ), sedangkan interaksi pemupukan Zn dosis 30 kg ha-1 dan mikroba Bacillus sp. meningkatkan mutu benih melalui indeks vigornya. Keyword:foliar fertilization, germination, PGPR, productivity, viability, vigour, yield characters
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: A Sustainable Supply Chain Model of Palm Kernel Shell as Renewable Energy Source for Industries in Cikarang Area Abstrak:Depleting stockpile of fossil fuels and rising global temperature due to the greenhouse effect are probably the two most threatening factors to civilization sustainability. Converting biomass into a readily available energy source would help reduce dependency on fossil fuels, whilst at the same time moderating greenhouse gas emission due to its carbon neutrality. Among various wastes from palm oil processing, palm kernel shell (PKS) is an oil palm biomass with high potential to be applied as a source of renewable energy for industries, given its high caloric value and distinctive physical properties. This source of renewable energy can be utilized by industries with thermal conversion processes. The current poor performance of palm kernel shell supply chain may hamper the realization of this renewable energy potential, it is therefore necessary to build a more effective, efficient, and sustainable supply chain model. Biomass like PKS can be utilized for industrial purposes after it is proven to be technically, environmentally and economically feasible. In this study, a combination of literature study and field observation was conducted to determine the feasibility of palm kernel shell in the case study of ceramic powder spray drying. From technical aspects, relevant thermophysical properties, suitable heat conversion technologies, and applicable quality parameters were identified. The drying performance and thermal efficiency were selected as key indicators to prove the feasibility of palm kernel shell. In terms of the environmental feasibility, the life-cycle assessment method was deployed to determine greenhouse gas emissions from the usage of palm kernel shell in comparison with natural gas and coal under a similar industrial application. To determine the economic feasibility, discounted cash flow analyses were carried out across three alternative fuels. Palm kernel shell has some distinctive supply and demand characteristics that need to be well understood prior to build a robust, effective, efficient, and sustainable supply chain model for industrial applications. This study attempted to investigate those characteristics along with regulatory aspects that may influence supply, demand, and supply chain of palm kernel shells. Various factors, impacting supply quantity, cost, lead-time, and quality uncertainties, were identified through a series of in-depth interviews, questionnaires, and field observations, involving the chain actors. The potential demand of palm kernel shell for industries in Cikarang area was estimated based on questionnaires and industries scanning. Whilst demand criteria for the fuel selection among palm kernel shell, natural gas, and coal were determined by deploying the fuzzy analytic hierarchy process method. As with other biomass, the supply chain of palm kernel shell involves collection processes, storage facilities, and a transportation network, which is dynamic and optimizable. Soft systems dynamics methodology (SSDM) was implemented in this study, by which its key feature of system dynamics has been recognized as one of the most ideal modeling techniques for studying complex and multivariate systems. The study demonstrated how to apply system dynamics in combination with discrete event simulations in analyzing and designing a sustainable supply system of palm kernel shell through mathematical modeling and simulations, which captured the long-term effect of and the interactions among supply chain design variables and parameters. This research proved the feasibility of PKS as a source of renewable energy for industrial uses from all the three aspects, i.e. technical, environmental, and economic. The proven PKS feasibilities would facilitate the shift towards renewable energy usage in the industrial sector. The shift would also be a sustainable solution in solving the agriculture waste issues as the generating palm oil industry is continuously growing. This win-win situation will in turn accelerate the achievement of Indonesia sustainability goal on net zero carbon emission. The performance of current PKS supply chain is still unsatisfactory, due to supply uncertainties, namely quantity, cost, lead-time, and quality. Whilst based on the industrial survey, there is a potential demand between 500,000 to 600,000 tons of PKS per year within Cikarang area, which theoretically should be well fulfilled by sourcing PKS from the four nearest palm oil producing provinces with the estimated unused quantity up to 1,500,000 tons PKS per year. Nonetheless, the current poor performance of PKS supply chain is not reflecting this potential match of supply and demand. From a comparative review between push and pull models, the current PKS supply chain was found to resemble the push model, which is heavily reliant on the stock availability at palm oil mills and influenced by the changes in competing demands. The performance improvement would be accomplished presumably by transforming the supply chain into the pull model, which provides better controlled inventory and is less susceptible to supply disruptions from generation rate and competing demand variabilities, as it was proven mathematically using system dynamics concepts. The application of pull model would also change the way of interactions between the chain actors from transactional to contractual basis. The simulation results showed that the pull supply chain model would be able to deliver continuous availability of PKS at the end customer by achieving the goals of minimum in-full order delivery at 95% with the lower and more stable inventory level in spite of decreasing generation rate from the source and increasing other consumption rates. Through this approach, decision makers can identify and implement necessary changes and recommendations to improve the existing supply chain system. In refer to a newly developed supply chain framework, determining control mechanism is a critical step in designing a supply chain system, as it will drive how it will be managed, what are business processes and resources required in order to achieve the chain objectives and the expected performance. In addition, the incorporation of business continuity management in setting up a supply chain is a necessary element to prevent value loss in the case of disruptive events. It was demonstrated that SSDM can be applied in designing a more robust supply chain model of PKS, which is more effective, more efficient, and sustainable. Findings from this study are expected to motivate decision makers for utilizing PKS as a renewable energy source, given its environmental and economic advantages. Keyword:palm kernel shell, push and pull supply chains, renewable energy, soft system dynamics, supply chain modeling
Judul: Sustainability Determinants of Independent Oil Palm Farmers in Multi-tier Supply Chain in Kutai Kartanegara District East Kalimantan Abstrak:Tren pasokan komoditas minyak sawit global telah menciptakan Multi-Tier Supply Chains (MSCs) yang panjang, kompleks, dan terfragmentasi. Meningkatnya permintaan global dan peraturan tata kelola kelapa sawit yang lemah merupakan pendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia dengan 40% dari total produksi secara nasional disumbangkan dari Petani Sawit Mandiri. Sumber bahan pasok kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, tren ekspansi budidaya kelapa sawit, deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati seringkali diasosiasikan dengan kompleksitas persoalan rumit (wicked problems) rantai pasokan minyak sawit yang dihadapi langsung oleh Petani Sawit Mandiri (PSM). Penelitian ini menganalisis determinan faktor dan aktor dengan menggunakan MICMAC dan MACTOR, status keberlanjutan dari MSCs yang ada dengan penerapan diagnosis Rapfish dengan Multi-Dimensional Scaling (MDS) dan strategi pelaku dengan menggunakan systems thinking dalam kaitannya dengan pabrik kelapa sawit, pemasok, dan PSM. Hasil penelitian menunjukkan determinan keberlanjutan rantai pasok kelapa sawit petani sawit swadaya, pedagang, koperasi, dan pabrik kelapa sawit adalah kesesuaian lahan. Selain itu, hasil penelitian juga memperlihatkan pelaku rantai pasok yang memiliki posisi salient adalah PSM-Koperasi-PKS-Pemerintah Desa untuk membangun visi bersama dengan Dinas Perkebunan Kabupaten dalam Public Private Partnership (PPP). Kondisi determinan dan para pelaku menghasilkan tipologi triadik MSCs di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dan posisi enam dimensi keberlanjutan, yaitu ekonomi, sosial, ekologi, politik, dan institusi sebagai input untuk meningkatkan strategi regional perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Timur. Temuan menunjukkan tipologi triadik tertutup di Desa Gunungsari dan Desa Pulau Pinang memiliki kinerja yang lebih baik pada empat dimensi keberlanjutan karena pabrik kelapa sawit dapat terhubung langsung dengan PSM dan dapat mengurangi informasi asimetris dan perilaku rent seeking melalui sistem ID lahan perusahaan dalam dimensi lingkungan. Tipologi triadik terbuka yang ditemukan di Desa Kutai Lama dan Desa Handil Terusan memperlihatkan persoalan ketidakberlanjutan sektor rantai pasok dan sektor publik. Di antara kedua tipologi tersebut, tipologi triadik transisional ditemukan di Desa Sabintulung dan Desa Handil Terusan., The global palm oil commodity supply trend has created a long, complex and fragmented multi-tier supply chains (MSCs). The increased global demand and weak governance regulations of palm oil are among the drivers of expansion of oil palm plantations in Indonesia with 40% of the total production nationally were contributed from the smallholder oil palm plantations. The wicked problem of unsustainable oil palm sourcing, the expansion trend of oil palm cultivation, deforestation and biodiversity loss are often associated with the impact of the palm oil supply chain faced directly by Independent Smallholder Oil Palm Farmers (SHFs). The objective of this dissertation is to analyze actors and factors that influence the sustainability of oil palm production and diagnostic the status of the existing Multi-Tier Supply Chain Management and the application of Rapfish diagnosis with Multi-Dimensional Scaling (MDS) in the relation of oil palm mill, suppliers, and SHFs. The results showed that the determinant of the sustainability of the palm oil supply chain for independent oil palm smallholders, traders, cooperatives and palm oil mills was land suitability. In addition, the study shows that supply chain actors who have a salient position are PSM-Cooperatives-PKS-Village Governments to build a shared vision with the District Plantation Office in a Public Private Partnership. The results showed the triadic typologies of MSCs in Kutai Kartanegara District, East Kalimantan and the position of six dimensions of sustainability namely economic, social, ecology, politic, and institution as an input to improve the regional strategy for sustainable palm oil plantations in the East Kalimantan Province. The findings showed the closed triadic models in Gunungsari and Pulau Pinang Villages have better performances on four sustainability dimensions as the oil palm mills were able to connect directly with SHFs and to reduce asymmetric information and rent seeking behaviour through corporate land ID system in environmental dimension. The open triadic typology found in Kutai Lama Village and Handil Terusan Village showed the problem of unsustainability of the supply chain sector and the public sector. Among the two typologies, the transitional triadic typology can be found in Sabintulung Village and Handil Terusan Village. Keyword:aktor dan faktor, hubungan triadik, minyak sawit berkelanjutan, multi-dimensional scaling, multi-tier supply chain
Judul: Karakterisasi Genom Mitokondria Labi-Labi, Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) Abstrak:Runutan nukleotida lengkap genom mitokondria (mtDNA) labi-labi, Dogania subplana, telah dilakukan. Ukuran mtDNA labi-labi adalah 17289 bp. Organisasi, orientasi dan ukuran setiap gen dari 13 gen penyandi protein mtDNA, 22 gen penyandi tRNA dan dua gen penyandi rRNA serta daerah kontrol adalah serupa dengan yang telah ditemukan pada vertebrata lainnya. Panjang daerah kontrol adalah 1820 bp, yang di dalamnya bisa ditemukan tiga motif runutan DNA berulang. Motif pertama dan kedua berturut-turut adalah 15 bp dan 37 bp, yang keduanya berulang secara tandem sampai 728 bp. Motif ketiga adalah ruas TA berulang, yaitu (TA)n dan (ATAlT)n. Motif ketiga ini disebut mitokondria. Analisis terhadap daerah kontrol menemukan adanya domain tengah yang stabil untuk semua anggota Testudines, dan adanya tiga macarn Conserve Sequence Blocks yang homolog dengan daerah kontrol mtDNA vertebrata. Keyword:
Judul: Some aspects of the host-pathogen relationship in colletotrichum leaf fall disease of Hevea brasiliensis Muell. Arg. Abstrak:Percobaan di laboratorium dan rumah kaca dilakukan untuk mengetahui variabilitas berbagai isolat Coiletotrichum cglorosporioides yang didisolasi dari daun karet. Dalam rangka mempelajari hubungan patogen inang, pengamatan akibat infeksi dengan isolat yang berbeda (Medan, Sumetera Utara; Sembawa, Sumatera Selatan; Bogor, Jawa Barat; Banyumas, Jawa Tengah; dan Jember, Jawa Timur)pada tiga klon yang berbeda (IAN 873, GT 1 dan PR 305), dititik beratkan pada mekanisme infeksi pada tanaman inang, produksi senyawa turunan fenol, kandungan asam amino bebas, perubahan dalam laju fotosintesis dan respirasi sebagai respons inang terhadap patogen, dan kerusakan jaringan daun pada tingkat sel., Laboratory and greenhouse experiments were carried out study the variability of Colletotrichum gloesporioides isolates from Hevea leaves. In the frame work of the study of host-phatogen relationship, observation on the effects of infection by different isolates (Medan, North Sumatra; Sembawa, South Sumatra; Bogor, West Java; Banyumas, Central Java; and Jamber, East Java) on three different clones (IAN 873, GT 1 and PR 305) were focused on infection mechanisms on the host plant, the production of phenolic compounds, the content of free amino acids, the changes in the photosynthetic and respiratory rates in response to the pathogen invasion, and the leaf tissue injury at the cellular level. Keyword:
Judul: Genetic diversity and virulence of Phytophthora palmivora isolates from coconut and cocoa Abstrak:Phytophthora palmivora as the causal of coconut nutfall and cacao black pod is the potentially destructive diseases. This study was conducted to differentiate the isolates of P. palmivora from coconut and cocoa pod based on morphology and molecular characters, diversity, virulence and cross inoculation. Comparative morphological : diameter of colony, length and width of sporangium, l/w ratio , type of colony and sequence ITS-DNA tes ts showed that all isolates of Phytophthora isolated from coconut and cocoa in Indonesia are Phytophthora palmivora. Morphological characters of pathogen isolated from cocoa were smaller and significantly different in length, width, length/width ratio of sporangium and diameter of colony compared to isolates from coconut Keyword:ITS-DNA sequenzing, molecular characters, Comparative morphological, diameter of colony, length and width of sporangium
Judul: Design of strategic management model of snack’s micro and small enterprises performance evaluation Abstrak:Competitiveness of Micro and Small Enterprises (MSE) depends on total business performance. Those performance could be managed effectively and efficiently if it was supported by an optimal performance evaluation process, that was consisted of measurement and improvement model. The performance evaluation model was developed through strategic management system approach, where experts knowledge were acquired by brainstorming and in depth interview methods. Some of technique utilized were validity and reliability test, Ordered Weighted Averaging (OWA) Operators, Fuzzy Analytic Hierarchy Process, Balanced Score card (BSC), Quality Function Deployment (QFD), and Neural Network. Keyword:expert management system, strategic management system, bussines performance, balanced scorecard
Judul: Perbaikan Mutu Genetik Sapi Peranakan Ongole (Bos Indicus) Melalui Pendekatan Fenotipik Dan Pemetaan Total Genom Abstrak:Perbaikan mutu genetik sapi Peranakan Ongole melalui pendekatan fenotipik dan pemetaan total genom sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Selama ini kegiatan seleksi untuk menghasilkan bibit unggul lebih banyak dilakukan secara konvensional yang difokuskan hanya pada performan kuantitatif seperti bobot badan dan ukuran dimensi tubuh sehingga belum memberikan hasil yang optimal pada perbaikan genetik sapi PO. Dengan kemajuan teknologi molekuler memungkinkan untuk dilakukan seleksi dengan menggunakan penanda DNA guna mendukung kegiatan pemuliaan konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi parameter genetik sapi PO yang ada di Loka Penelitian Sapi Potong berdasarkan tampilan fenotipik, menganalisis keragaman (polimorfisme) total genom pada sapi PO jantan dan mengkaji lokus-lokus yang berasosiasi dengan sifat bobot badan pada sapi PO dengan pendekatan GWAS serta mengkaji asal usul geografis sapi PO berdasarkan analisis keturunan genetik. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap dengan rincian tahapan penelitian sebagai berikut : (1) Evaluasi parameter genetik sapi PO (Bos indicus) melalui pendekatan fenotipik, meliputi : evaluasi pengaruh genetik dan non genetik, seleksi calon pejantan sapi PO dan respon seleksi (2) Analisis total genom sapi PO menggunakan Bovine SNP50 Beadchip, meliputi : analisis asosiasi dan eksplorasi kandidat gen, (3) Penentuan asal usul sapi PO menggunakan data total genom Bovine SNP50 Beadchip, meliputi : keragaman total genom, filogenetik dan analisis admixture. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam kegiatan seleksi guna mendukung program pemuliaan dan pelestarian plasma nutfah sapi PO. Evaluasi parameter genetik sapi PO menunjukkan bahwa nilai heritabilitas yang diperoleh termasuk kategori sedang dan tinggi dengan estimasi untuk bobot lahir, bobot sapih dan bobot setahun masing-masing sebesar 0.28 + 0.12, 0.47 + 0.15 dan 0.63 + 0.17, sedangkan hasil analisis korelasi genetik tertinggi diperoleh antara bobot sapih dengan bobot setahun yaitu sebesar 0.78 dan korelasi genetik terendah diperoleh pada bobot lahir dengan bobot setahun yaitu 0.27 sedangkan korelasi antara bobot lahir dengan bobot sapih sebesar 0.33. Pengaruh non genetik signifikan pada jenis kelamin dan tahun kelahiran pada ketiga bobot badan sapi PO. Hasil seleksi berdasarkan nilai pemuliaan diperoleh sebanyak 24 ekor calon pejantan sapi PO yang memenuhi kriteria bobot lahir, bobot sapih dan bobot setahun dengan respon seleksi untuk bobot lahir sapi PO diperoleh sebesar 0.22 kg/generasi, sedangkan bobot sapih dan bobot setahun memiliki respon seleksi sebesar 5.01 kg/generasi dan 11.4 kg/generasi. Hasil analisis GWAS menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang signifikan pada bobot lahir sapi PO dan ditemukan 19 SNP yang polimorfik pada kromosom 14. Pemetaan lokus telah dilakukan pada kromosom 14 ini dan ditemukan 14 gen yang yang paling signifikan pada bobot lahir yaitu LYN (TyrosineproteinkinaseLyn), PLAG1 (Pleiomorphic adenoma gene 1), MOS (VmosMoloneymurine sarcoma viral), RPS20 (40S ribosomalprotein S20), U1 (U1 spliceosomal RNA) snoU54 (Small nucleolar RNA U54), CHCHD7 (Coiled-coilhelix- coiled-coil-helix domaincontaining protein 7), SDR16C5 (RDHE2/Epidermal retinol dehydrogenase 2), PENK (Proenkephalin-A), XKR4, TMEM68, TGS1, ENSBTAG000000321 (SDR16C6) dan Unknown (ENSBTA000000321). Kandidat gen ini sebagian besar berperan pada sifat reproduksi, seperti fertilitas, kemudahan beranak, umur pubertas, postpartum anestrus, pertumbuhan janin, bobot lahir dan pertumbuhan. SNP-SNP yang polimorfik sangat potensial untuk digunakan sebagai marker assisted selection (MAS). Hasil analisis keragaman total genom menunjukkan bahwa sapi PO memiliki nilai heterozigositas sebesar 30.9 %, sedangkan sapi Bali memiliki nilai heterozigositas sebesar 24.6 %. Nilai heterozigositas tertinggi ditemukan pada bangsa sapi komposit BMA yaitu sebesar 38.2 %. Estimasi diferensiasi populasi (𝐹���𝑆���𝑇��� ) antara sapi PO dengan kelompok Bos indicus lainnya (Nellore, GIR dan BRM) memiliki nilai terendah dibanding kelompok bangsa sapi lainnya yaitu berkisar antara 0.024 – 0.059, ini menunjukkan bahwa sapi PO memiliki hubungan genetik yang dekat dengan Nellore, GIR dan BRM. Nilai 𝐹���𝑆���𝑇��� tertinggi ditemukan antara sapi Bali dengan Holstein yang bararti bahwa secara genetik kedua bangsa sapi ini berbeda. Hasil ini selaras dengan hasil analisis jarak genetik (filogenetik) yang menunjukkan bahwa sapi PO memiliki tetua yang sama dengan sapi Nellore, GIR dan BRM yaitu Bos primigenius, sedangkan analisis admixture menunjukkan bahwa sapi PO diduga berasal dari tetua Nellore yang memberikan kontribusi sebesar 20.3% dan pada sapi PO juga ditemukan kontribusi Bos javanicus sebesar 6%. Keyword:perbaikan mutu genetik, sapi PO, seleksi fenotipik, pemetaan total genom
Judul: Kajian Penanda Genetik, Performa, Profil Hormon Testosteron dan Kualitas Semen Sapi Pasundan Abstrak:Sapi pasundan salah satu plasma nutfah sapi lokal Indonesia yang perlu dikembangkan dan dilestarikan. Sapi pasundan merupakan hasil persilangan antara Bos javanicus (sapi bali) dan Bos indicus (sapi ongole dan sapi madura). Perbaikan mutu genetik sapi pasundan diupayakan oleh pemerintah melalui program inseminasi buatan (IB) menggunakan semen beku. Pemilihan pejantan unggul melalui breeding soundness examination (BSE) mensyaratkan kualitas semen baik. Kualitas semen ditentukan oleh usia ketika hewan tersebut telah mencapai pubertas. Prediksi fertilitas pejantan belum cukup akurat berdasarkan penilaian kualitas semen menggunakan parameter konvensional. Pengujian secara molekuler menjadi salah satu upaya dalam mendeteksi kualitas sperma. Teknik seleksi secara genomik terhadap kualitas semen yang cepat, tepat, dan akurat belum dikembangkan. Gen yang diekspresikan terkait dengan kualitas semen belum banyak dilaporkan dan perlu dilakukan konfirmasi, khususnya sapi pasundan belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan metode deteksi molekular dalam penilaian kualitas semen sapi pejantan. Penelitian terdiri atas 4 bagian. Penelitian bagian pertama bertujuan untuk melakukan kajian terhadap morfometrik tubuh serta korelasinya dengan konsentrasi testosteron pada kelompok sapi jantan prepubertas berumur <6 bulan (I), peripubertas berumur 6-12 bulan (II), post-pubertas (III) dan pejantan (IV) sapi pasundan berumur >12 bulan. Hasil penelitian menunjukkan lebar dada, tinggi panggul, panjang kepala, dan lebar kepala berbeda (P<0,05) antara kelompok I dengan II. Parameter morfomotrik seluruhnya berbeda nyata (P<0,05) pada kelompok III dan IV. Persentase peningkatan rerata morfometrik tubuh sebesar 59,05% (fase prepubertas ke peri-pubertas) dan 71,38% (fase peri-pubertas ke postpubertas). Indeks morfometrik height slope, length index (2), depth index, dan foreleg length berbeda (P<0,05) antara III dengan IV. Rerata konsentrasi hormon testosteron berbeda (P<0,05) antara kelompok I (3,25±0,76 ng ml-1), II (9,13±0,85 ml-1) dan III (12,16±0,40 ng ml-1). Umur berkorelasi (P<0,05) dengan lingkar skrotum pada fase prepubertas (R² = 0,9973) dan post-pubertas (R² = 0,4150), tetapi tidak dapat dijadikan sebagai penentu kadar testosteron. Penelitian bagian kedua bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik tubuh, libido, dan konsentrasi testosteron serta korelasinya antar parameter pada sapi jantan pasundan. Sapi pasundan dikelompokkan berdasarkan motilitas sperma semen segar ke dalam kelompok A (70-79%) dan B (80-89%). Hasil penelitian menunjukkan fenotipik dan umur tidak berbeda (P>0,05) antara kelompok A dan B. Perbedaan morfometrik (P<0,05) dijumpai pada lebar kepala (A: 23,04±0,24 cm dan B: 21,60±0,60 cm). Rerata konsentrasi testosteron sebesar 13,38±0,21 ng ml-1. Waktu consummation kelompok A (108,20±20,16 sa) lebih cepat (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok B (184,60±26,66 sa). Panjang badan berkorelasi dengan waktu courtship sebesar (R2=0,9596) dan consummation (R2=0,9487) pada kelompok A. Disimpulkan bahwa konsentrasi testosteron, umur, dan lingkar skrotum tidak dapat digunakan untuk menduga motilitas sperma. SAN Kua GU dik mu inse mel Kua kua men gen dik ban per mo mel test pub pas pan den kelo 59, pub fore test ng skro tida libi jant sem men P Wa dib den kelo skro Penelitian ketiga bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik semen dan potensi produksi semen beku pejantan sapi pasundan. Hasil penelitian menunjukkan pH semen segar kelompok B lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok A. Konsentrasi sperma per ejakulat pada kedua kelompok tidak berbeda (P>0,05) dengan kisaran 4312,36x106 - 6303,52 x106 sperma. Abnormalitas, viabilitas dan keutuhan DNA sperma semen segar tidak berbeda (P>0,05) antara kelompok A (9,41±1,21%; 84,41±0,99%; 91,19±0,79%) dan kelompok B (10,22±0,66%; 86,35±2,16%; 92,58±0,35%). Keutuhan DNA sperma semen beku kelompok B (89,81±1,18%) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok A (86,83±0,60%). Motilitas sperma semen beku kelompok A (<40%) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok B. Parameter kinematik motilitas sperma yaitu curvilinear velocity (VCL), straight-line velocity (VSL), average pathway velocity (VAP), amplitude of lateral displacement (ALH), dan beat cross frequency (BCF) tidak berbeda (P<0,05) antara kelompok A dan B. Produksi semen beku pejantan pasundan antara 144,18 sampai 191,29 straw/ejakulat. Penelitian disimpulkan bahwa kelompok B memenuhi syarat sebagai sumber semen untuk dibekukan dan digunakan dalam IB. Penelitian bagian keempat bertujuan mengisolasi RNA dari sperma serta mempelajari profil ekspresi gen protamin 1 (PRM1), protamin 2 (PRM2) dan deleted in azoospermia-like (DAZL). Hasil transkrip PRM1, PRM2, DAZL, dan ß- Actine (ACTB) diperlihatkan dalam sperma menggunakan primer PCR yang sesuai. Ekspresi gen PRM1, PRM2, dan DAZL dievaluasi menggunakan qRT-PCR dan ACTB digunakan sebagai kontrol. Motilitas progresif sperma semen segar 80- 89% memperlihatkan tingkat ekspresi mRNA PRM1 dan PRM2 secara signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan motilitas progresif sperma 70-79%. Hal ini menunjukkan adanya peran gen terhadap parameter motilitas progresif sperma. Hasil kajian penanda genetik mampu menjelaskan gen yang berperan dalam kualitas sperma. Gen yang dikaji merupakan penanda genetik spesifik dan metode akurat untuk seleksi pejantan. Ekspresi gen PRM1 dan PRM2 dengan tingkat ekspresi relative >1,0 dapat digunakan sebagai parameter biomulekular dalam seleksi pejantan unggul sapi pasundan. Keyword:Pasundan bulls, gene expression, body morphometrics, sperm characteristics
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Management policy options of Danau Sentarum National Park West Kalimantan Province Abstrak:Management of Danau Sentarum National Park (DSNP) is conducted through DSNP Unit. Until now, the management has not achieved the expected objectives, namely the preservation of the area and welfare of the community. This condition indicates the single management by the government is not able to achieve the management objectives. This study aims to formulate the policy options of DSNP management through economic, social and policy approaches, in order to obtain better policy options economically (knowledge of economy as well as benefits generated), socially (reducing conflicts, culturally appropriate), and policy (governance; efficient/effective, less cost). These goals will be achieved through several studies, namely: 1) suspecting benefits and total economic potential of DSNP; 3) analyzing the stakeholders in the management of DSNP; 3) outlining the government’s social capital and capabilities in the management of DSNP; and 4) analyzing policy of DSNP management. The research had been conducted in the area of DSNP in the West Kalimantan Province. The data was collected using the techniques of: 1) Document research, 2) interview, 3) direct observation. The number of community samples quota is 60 (sixty) households in each location (3 SPTN) which was determined by random sampling. To comply with information obtained from the respondents, interviews were conducted with key informants in each study site. As for other stakeholders, the interviews were carried out with a snowball method. The data were analyzed quantitatively (categorization) and qualitatively. There were many kind of benefits in DSNP with high economic value. The TEV of DSNP covers Rp 139 billion per year. This result when compared with the cost of managing DSNP that covered Rp 6.7 billion in 2010 shows that only 4.82 percent of the benefits generated. It means that DSNP as conservation area that have been considered as a cost center is not true. This potential economic value of DSNP could be real by implementing incentive mechanism in the management of DSNP, where for the current time the incentive mechanism that is likely to run is water for environmental service for households. Various benefits and the high economic value contained in DSNP attract various stakeholders to utilize and manage them. There are 18 (eighteen) stakeholders involved in the management of DSNP, consisting of government, community, Non-Governmental Organization (NGO) and research institution. Based on their influence and importance, the stakeholders serve as subjects, key players, context setter and crowd; and the relation among them is conflicts, complementary and cooperation. The existence of these various stakeholders brings along the consequence that the management conducted in DSNP needs to be changed from a single management by the government to management involving the stakeholders. The form of stakeholders’ involvement can be seen from social capital at the community level and capability of the government in managing DSNP. Social capital in the community within the area of DSNP which is assessed from trust, norms and social networks shows the strong/high of social capital of the community. Public trust to the role of community leaders in managing natural resources is very high, which indicates that more people obey what is commanded by their leader. The norms governing the management of natural resources both written and unwritten are very concerned about sustainability, and since they have been done for generations that the infraction rarely happens; while social networks are formed to gain common welfare and more to the interest of economy. What already exists in the community shows that all orders are running a functional management and secure its sustainability. Meanwhile, the capability of the government measured from the intrinsic characteristic indicators and relation between state and community indicators shows the weak capability of the government in managing DSNP. It shows the fact that government is not able to manage DSNP, and it means there are problems in the policies implemented in the management of DSNP today. There are 31 (thirty-one) policies/regulations used by DNSP Unit as a foundation in DSNP management. The regulations are in the forms of relevant Statute, Government Regulation, Ministerial Regulation, Presidential Decree, Ministerial Decree, Regional Regulation, Decree and Regulation of Directorate General, and Decree of the Head of District. These regulations are mostly centralized, in the forms of command and control, and all the same for the whole conservation areas. The condition causes the ineffective of the management, therefore the management policies need to be changed specifically at location in the conservation areas. Devolution of the management of DSNP is necessary because it will further streamline the management of natural resources and will provide justice to the community as the stakeholder. Synchronizing the interests of community and government in the areas of DSNP is indeed an optimal solution in the activities of management. Collaboration in managing DSNP will minimize management cost borne by the government and in the same time will generate a sense of responsibility of the community in the management of DSNP. Keyword:
Judul: Analysis of policy making process and implementation of decentralized management of protected forest policy Abstrak:Base on Regulation 38/2007, the management of protected forests decentralized to regency government. Even though decentralization policy of forest management on protected forests has been enforced, deforestation still continues to occur. This indicates that the policy is not effective. The ineffectiveness of the policy can be caused by the policy itself or failures in its implementation. Content of a policy is closely related to the process of policy making itself. Currently, political framework of the decentralization policy formulation in the management of natural resources and environment (including protected forest management) is based on administrative approach rather than ecosystem approach. This research aims to: i) identify the policy making process of decentralized management of protected forest, ii) analyze the gap between decentralization policy and its implementation, iii) analyze the performance of regency government in managing protected forests, and iv) analyze the appropriate form of decentralized management of protected forests in accordance with Forest Management Unit (FMU/KPH) concept. The research was conducted in three regencies within Batanghari watershed area, namely East Tanjung Jabung regency (downstream), Sarolangun regency (middle stream), and South Solok regency (upstream). Qualitative methods were used to analyze policy making process, discourse analysis, assumption analysis, and qualitative descriptive. Besides quantitative method was used to conduct scoring, in the assesment of regency government performance, economic and ecological benefits, and social capital of communities around the forest areas. In order to support the assesment of regency government performance, analysis of forest cover changes was carried out including forest cover in year 1990, 2000 and 2009. The research showed that there are three discourses in policy making process on authority division, namely i) the democratic discourse, ii) the economic discourse and iii) the economic and democratic discourses. It is difficult to implement externality narative in the process of authority division policy making. Redefinition of externalities and interdependencies can be used as narratives of new policies to improve the policy division of authority among government levels. There still exists some gaps between decentralized policy and its implementation, where each stakeholder has not play its role appropriately yet. The average score of performance of three regencies governments in the management of protected forest is relatively low, which is showed by the high deforestation rate. Theoritically, there are four options of FMU institution, namely: the the central government FMU through delegation to regency goverment, the provincial FMU, the regency FMU, and the national/regionally owned enterprises (BUMN/BUMD). Policy of asymmetric decentralization is an option in decentralised management of protected forest, because forestry is an option matter. Keyword:Decentralized Management, forest management, protected forest
Judul: Pola pewarisan karakter resistensi terigu (Triticium aestivum L.) terhadap kudis malai (Gibberella zeae (Scwh.) Petch) Abstrak:Tujuan penelitian adalah untuk mencari pola pewarisan karakter resistensi terigu terhadap kudis malai dari tiga galur introduksi asal CIMMYT-Meksiko, dua varietas introduksi asal Jepang, dan satu var. lokal: galur R-164, R-176, R-199, var. Oshio Komugi, Omase Komugi, dan var.lokal Pengalengan I. Keyword:
Judul: Orientasi Gizi Masyarakat: Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB) Abstrak:Nusa Tenggara Barat Province is one of provinces in Indonesia experiencing a severe problem on malnutrition and undernourishment. The province is a central of national paddy production; however, its malnutrition problem is increasing yearly. Malnutrition problem is a complicated problem since it involves various dimensions. It is not only involving technical problem but also social system conception related to certain cultural values given by a society for the disease as either positive or negative symbols. The problem is also influenced by food preference during the pregnancy and until the child grows to be an adult person. Any dietetic on a life period of certain group is formed based on local cultural values. For example, in Sasak tribe, it is forbidden for a pregnant woman to consume any fishes and meats. The malnutrition problem is worst for marginal families within the lower level of society group. Children from poor society group mostly experience the problem. The purposes of the research are: (1) to find out and analyze the nutrient status of toddlers in coastal Sasak community and rice field Sasak community; and (2) to study the role of ecological adaptation pattern, social cultural system and developmental policy on toddlers‟ nutrient status in coastal Sasak community and rice field Sasak community. The research is based on the theorizing of Kluckhohn on cultural value orientation of a society, Blau on social structure of a society, and Julian Steward on cultural adaptation. The research is also based on the reality that various developmental policies and malnutrition and undernourishment alleviation are assumed to contribute on the high level of malnutrition and undernourishment cases in those communities. Qualitative and quantitative methods with post-positivism paradigm are used as the research method. The research is conducted in two Sasak communities in coastal and rice paddy areas in East Lombok Regency NTB Province. Two villages in one sub district area are selected from each of both areas as the research location. The research analysis unit is Sasak tribe community in coastal and rice paddy areas. Due to the time and cost limit, in order to understand the social context of Sasak society, the research uses data of household having malnutrition and undernourishment children. Data is analyzed using two approaches, qualitative and quantitative. Cross tabulation is applied on quantitative data to have a picture on malnutrition, undernourishment and normal nutrition cases in both communities. Qualitative data explains the philosophical reason on differentiation factors causing the booming of malnutrition and undernourishment cases. Research result indicates a fact that the relationship between pregnant mother and toddlers through an interpretation is the reflection of cultural value orientation of Sasak society; in which, nutrient is determined by what to eat, the food type, how the food is being processed, and how to give the food to toddlers. The interpretation on number of children has a role in factors causing malnutrition and undernourishment cases in coastal area. In rice field areas, on the contrary, marriage and divorce is the causative factor of fragile family. Description on nutrient status of toddlers is perceived from the parenting pattern for malnutrition and undernourishment toddlers in a household. Based on the number of children owned by a household, coastal Sasak tends to have more children than rice field Sasak. The relatively more number of children has role in parenting pattern and food consumption for toddlers. The way the complementary food of mothers‟ milk is giving by mother to her toddler in coastal and rice field areas is dominated by unhygienic feeding such as using hand and pakpak. In terms of family member who is trusted to give complementary food, it shows that in coastal area, it is not only conducted by papu as normally in rice field area‟s household where malnutrition and undernourishment children are but this responsibility is given to the immature older sister/brother. Based on Weber, social action in this form of childrens parenting is caused by different forms of rationality on the Sasak coastal and Sasak wetland. In coastal areas , parents caring for children can not be separated from instrumental rationality . This fact can‟t be separated from livelihood household strategies in pursuit of material things to sustain life in unpredictable resources. While in the area of wetland , parents caring for children can‟t be separated from the fact that the family of a children is very fragile due to the rise of divorce, remarriage and child marriage. According to ngerorot and nurut nine ', children fall in a malnutrition condition. So that, the root that make malnutrition in Sasak wetland are not separated from the role of Sasak cultural values . Parenting is based on a strong value -oriented rationality. Futhermore, The different rationality between coastal and Sasak wetland can not be separated from the influence of acculturation Sasak culture and Bugis Bajo culture that also the influence of ecological adaptation by Sasak coastal households and Sasak wetland household . This is reflected in the value orientation is closely related to the root causes of malnutrition and under-nourishment . The influence of ecological adaptation by toddler household in coastal and rice field Sasak is indicated by value orientation related to the cause of malnutrition and undernourishment cases. Cultural value orientation is divided into three, the belief system and mythology of coastal and rice field Sasak societies, the developed knowledge and technology system related to malnutrition and undernourishment, and effective local institution and association in overcoming malnutrition and undernourishment cases. Keyword:Cultural orientation, Malnutrition and undernourishment, Sasak, East Lombok
Judul: Community Participation in Nutrition Programme of The National Health Development Abstrak:Participation in nutrition programme is the result of the complex interaction between community and government (Ministry of Health), which plans and carries out activities of the programme. In promoting community participatiton, the behaviour of people needs to change in a positive direction through an effective education process. The purpose of this study was : (1) To investigate community participation of women in nutrition programme activites and the extend of nutrition extension in three areas with different kinship systems i.e. : matriarchal, patriarchal, and bilinearchal. (2) To investigate related factors that may effect community participation (3) To evaluate its association with ~ y 'nustrit ional status. Respondents consisted of pregnant women, lactating women, and non pregnant non lactating women. Each woman had a husband and at least one underiive child in the household. A total of 434 households were studied, of which 188 households were located in the bilinearchal areas located in Cianjur (West Java), 120 households in the patriarchal areas located in Lampung Selatan (Lampung), and 126 households in the matriarchal areas in Tanah Datar (West Sumatra). The selection of households was conducted using the stratified purposive samplmg technique. Keyword:
Judul: Analysis on the Utilization of Helical Barrier as Air-Biogas Mixer in Otto Cycle Engine Abstrak:Ketersediaan kandungan bahan bakar fosil yang semakin menipis, sementara kebutuhan energi meningkat untuk berbagai bidang industri, transportasi serta kebutuhan lainnya, adalah kondisi yang sedang kita hadapi. Peningkatan pemakaian bahan bakar fosil dianggap sebagai penyumbang emisi gas yang menyebabkan efek rumah kaca, pemanasan global dan perubahan iklim. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memanfaatkan energi alternative, seperti biogas yang telah berkembang dan bersifat renewable. Potensi biogas dari lingkup pertanian khususnya limbah tanaman dan ternak sekitar 370 490 setara barel minyak (SBM) (olah data dari Kementan 2015). Biogas dari digester dengan kandungan 45%-70% metan dapat digunakan sebagai bahan bakar dan menghasilkan sedikit emisi gas buang. Penelitian ini bertujuan untuk merancang dan mengaplikasikan suatu alat pencampur udara-biogas yang dapat memanfaatkan biogas secara langsung dari digester untuk bahan bakar motor Otto penggerak generator listrik. Alat pencampur tersebut menggunakan penghalang heliks yang berada di dalam selongsong silinder, sebagai pengganti karburator yang ditempatkan sebelum intake manifold. Bentuk kontur dan panjang penghalang heliks diperoleh melalui perhitungan yang disesuaikan terhadap kebutuhan motor bakar Otto yang dirujuk. Perhitungan didasarkan pada analisis termodinamika siklus standar udara-motor Otto dan analisis dinamika fluida dan prinsip konservasi massa. Parameter hasil pembakaran, yang meliputi debit, kerja-siklus, tekanan efektif rata-rata, efisiensi termal dan efisiensi volumetric, disimulasikan terhadap panjang penghalang helik yang efektif. Efek penghalang menyebabkan ketidakteraturan gerakan pada aliran fluida di luar garis arus dan kecepatan yang berubah secara acak terhadap waktu. Durasi ketidakteraturan pola gerak dan kecepatan pencampuran dapat memengaruhi laju aliran, kecepatan dan penurunan tekanan (pressure drop). Proses pencampuran udara-bahan bakar dapat meningkatkan homogenitas campuran dan kualitas pembakaran. Dengan mengoptimalkan kualitas campuran udara-biogas dan kualitas pembakaran dihasilkan performansi dan emisi gas buang yang lebih baik. Alat pencampur hasil rancangan terdiri dari distributor biogas yang dilengkapi sejumlah lubang distribusi biogas, dan bagian penghalang heliks. Hitungan rancangan menghasilkan dimensi distributor biogas yang dilengkapi dengan 8 lubang dengan diameter 2 mm dengan diameter leher 12 mm dan panjang 50 mm. Penghalang heliks memiliki bentuk kontur berupa ulir terbuat dari baja karbon berfungsi sebagai pencampur udara-biogas. Diameter saluran sebesar 18 mm, panjang selongsong 78 mm, diameter poros penghalang heliks 2 mm dan membentuk sudut 30 derajat. Alat digunakan pada motor Otto generator listrik dengan kapasitas ruang bakar 222 cm³; rasio kompresi 8.5. Bahan bakar yang digunakan adalah biogas dengan kandungan 57.5% metan, dan bensin jenis pertalite dengan nilai oktan 90 sebagai pembanding. Pengoperasian motor Otto mengikuti prosedur standar operasi motor Otto yang baku dari awal hingga akhir pengujian. Performansi motor Otto diperoleh melalui pembebanan bertahap melalui penyalaan lampu pijar dengan daya masing-masing sebesar 300 W. Tahapan pembebanan dilakukan secara berurutan yaitu lampu pijar ke 1, 2, 3 dan seterusnya, masing-masing untuk uji motor Otto berbahan bakar biogas dan pertalite. Pencatatan beban maksimum pada saat kondisi motor Otto masih stabil, yang diperoleh melalui pengaturan dimmer pada pembebanan akhir penggunaan lampu pijar. Pasokan biogas dijamin dengan menggunakan kompresor. Hasil pengujian menunjukkan biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar pada motor pembakaran di dalam (internal combution engine/ICE) Otto. Hasil simulasi terhadap penghalang heliks sepanjang 39 mm pada sistem pencampur udara-biogas menunjukkan bahwa energi pembakaran meningkat 5%. Uji performansi terhadap hasil rancangan menunjukkan hal yang sesuai, yaitu peningkatan 5% daya dan penurunan 4,5% konsumsi bahan bakar spesifik. Namun dalam aplikasinya daya yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar cair fosil disebabkan properti biogas yang lebih rendah. Penggantian karburator dengan sistem pencampur udara memberi dampak pada pengurangan emisi CO sebesar 10% dan HC sebesar 1.5 kali sebagai akibat meningkatnya kalor pembakaran di dalam ruang bakar, The availability of fossil fuel is decreasing, while the energy demand is increasing for various fields of industry, transportation and other needs. Increasing use of fossil fuels is considered as a contributor to gas emission, which causes greenhouse effects, global warming and climate change. One effort to overcome the problem is by utilizing alternative energy such as biogas that has been developed and is renewable. Biogas potential from agricultureal sector, especially from crop and livestock waste, is around 370490 BOE (Ministry of Agriculture 2015). Biogas produced from digesters containing 45%-70% methane, which can be used as fuel and produces less emission. This research was aimed to design an air-biogas mixing device that can be applied to utilize biogas directly from the digester to fuel Otto engine. The mixing device used a helical barrier in a cylinder sleeve, and located before the intake manifold. Contour and length of the helical barrier were obtained by calculation based on the mixture’s flow rate, and adjusted to the requirement of the reference engine. The calculation was based on thermodynamic analysis of standard air-engine cycle, fluid dynamics, and mass conservation principles. The combustion parameters, which included debit, work-cycle, average effective pressure, thermal efficiency and volumetric efficiency, was simulated in to the effective barrier length. The barrier effect caused irregular movement of fluid flow outside the stream line and the speed changes randomly with time. The duration of irregularity in the pattern of motion and the speed of mixing can affect the flow rate, speed and pressure drop. The air-fuel mixing process significantly determines the mixture homogeneity and combustion quality. Optimal homogeniety of the air-biogas mixture produces better combustion quality for better performance and emissions. The mixing device consists of a biogas distributor with a number of nozzles, and a helical barrier section. The design results in the dimensions of the biogas distributor with 8 nozzles and diameter of 2 mm, neck diameter of 12 mm and length 50 mm. The helical barrier is in the form of a screw made of carbon steel that functions as an air-biogas mixer. The dimensions of the channel diameter are 18 mm, the length of the sleeve is 78 mm, the length of the helical barrier is 39 mm, the diameter of the helical barrier shaft is 2 mm and it forms an angle of 30º. The tool is mounted on the Otto electric generator engine with a capacity of 222 cm³; compression ratio 8.5. The fuel used is biogas with 57.5% methane content, and pertalite type gasoline with an octane value of 90 as standard. The operation of the engine follows standard operating procedures of the engine from the beginning to the end of the test. Engine performance was obtained by giving variable load, using incandescent lamps with a power of 300 W. The loading increments was carried out sequentially by using lamps 1, 2, 3 and so on, respectively for biogas and pertalite fueled engine. The maximum load was recorded when the the engine is in stable condition, and was obtained by setting the dimmer at the final load. A compressor was used to ensure the supply of biogas. The test results showed that biogas can be used as fuel for Otto's internal combution engine (ICE). Simulative study on a 39 mm helical barrier in the air-biogas mixing device can increase the output power by 5%. The performance test also confirmed the results, where a 5% increase in power and a 4.5% reduction in specific fuel consumption was obtained. Besides, the helical barrier also give an impact on reducing CO emissions by 10% and HC by 1.5 times as a result of using biogas with stoichiometric AFR to produce relatively more complete combustion. Keyword:Biogas, helical barrier, quality of mixture, emissions
Judul: Efikasi suplemen sinbiotik dan zat gizi terhadap respon imun, status gizi dan konversi apusan dahak penderita tuberkulosis paru orang dewasa Abstrak:Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita tuberkulosis tertinggi keenam setelah India, China, Nigeria, Bangladesh dan Pakistan. Prevalensi penyakit tuberkulosis (TB) paru pada kelompok umur lebih dari 15 tahun sebesar 0,25% (2006) meningkat menjadi 0,40% (2008). Kemiskinan, perilaku dan akses ke sumberdaya merupakan faktor yang sering dikaitkan dengan penyakit tuberkulosis. Penelitian sebelumnya tentang efek suplemen gizi untuk menanggulangi defisiensi gizi dan lemahnya respon imun pada penderita tuberkulosis menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Salah satunya karena strategi suplementasi zat gizi makro dan mikro masih dilakukan secara terpisah, padahal keduanya memiliki sinergitas yang tinggi. Saat ini pengobatan penderita tuberkulosis menggunakan fixed dose combination (FDC) yaitu terdiri atas sejumlah antibiotika (isoniazid, rifampisin, pyrazinamid dan etambuthol) bersifat bakeriosidal dan bakteriostatik, selain untuk menghancurkan Mycobacterium tuberculosis (Mtb) juga untuk menghindari terjadinya resistensi Mtb. Namun demikian, terdapat bukti kuat dari sejumlah penelitian, bahwa penggunaan antibiotika terutama antibiotika spektrum luas (broad spectrum) bisa menimbulkan gangguan keseimbangan mikroflora. Penderita TB paru juga mengalami defisiensi zat gizi makro dan mikro. Menghadapi situasi seperti diatas, strategi intervensi dengan memberikan suplemen protein berbasis susu, sinbiotik dan zat gizi mikro (vitamin A dan seng) terhadap penderita TB paru, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap tiga hal yaitu (a) dapat memelihara keseimbangan mikroflora saluran pencernaan, (b) meningkatkan kapasitas respon imun dan (c) status gizi. Penelitian ini menggunakan disain double-blind randomized treatmentcontrol. Sebanyak 94 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih dan ditempatkan secara acak ke dalam kelompok MSM (milk-synbiotic-micronutrients) dan MO (milk only) menggunakan tehnik random allocation (1:1). Kelompok MSM menerima suplemen protein berbasis susu (PBS), sinbiotik dan zat gizi mikro, sedangkan kelompok MO hanya menerima suplemen PBS. Parameter penelitian meliputi karakteristik subyek, populasi bakteri mikroflora (koloni Lactobacillus sp dan Bifidobacterium sp), respon imun (neutrofil, limfosit sekretori IgA dan IFN-) dan inflamasi (C-reactive protein dan Laju Endap Darah), asupan gizi (makro dan mikro), status gizi (berat badan, Indeks Masa Tubuh, lemak tubuh, masa lean (otot), hemoglobin, vitamin A serum dan seng serum), konversi apusan dahak, biakan dahak dan keadaan klinis (skor Karnofsky) diukur dan dikumpulkan saat awal (baseline), setelah 1, 2 dan 6 bulan menggunakan metode standar oleh tenaga...dst Keyword:respon imun, sinbiotik, protein, vitamin A, seng, tuberkulosis.
Judul: Aspek psikososial, Aktivitas Fisik, konsumsi Makanan, Status Gizi dan Pengaruh Susu Plus Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 (MEDP) Terhadap Respons Imun IgA Lansia Abstrak:Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar. Seiring dengan meningkatnya usia maka muncul permasalahan baru seperti masalah kesehatan fisik maupun mental akibat penurunan fungsi fisiologis dan mental selama proses penuaan. Hal tersebut mengakib atkan terjadinya peningkatan berbagai penyakit infeksi maupun non infeksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk : a) menganalisis aspek psikososial lansia yang berada di panti dan di masyarakat, b) menganalisis aktivitas fisik, konsumsi makanan, dan status gizi lansia yang berada di panti dan di masyarakat, c) menganalisis pengaruh susu plus probiotik asal “dadih” Enterococcus faecum IS- 27526 (MEDP) terhadap respon imun lansia. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposiv berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kota Bogor berdasarkan aktivitas posbindu yaitu di tiga kelurahan : kelurahan Budi Agung, kelurahan Baranangsiang, dan kelurahan Situgede, serta dua panti werdha yaitu Panti Werdha Sukma Raharja dan Panti werdha Kasih Mulia Sejahtera di Kota Bogor. Desain penelitian terdiri dari cross- sectional dengan total sampel 237 lansia, 40 lansia di panti dan 197 lansia di masyarakat (rentangan umur antara 60 – 85 tahun, rata-rata 68 tahun) , dan uji klinik dengan total sampel sebanyak 36 lansia (usia antara 60 – 80 tahun, median 68 tahun) mengikuti dua tahap penelitian. Tahap pertama lansia mengonsumsi susu rendah lemak sebanyak 125 ml setiap hari selama tiga minggu, dan tahap kedua mengonsumsi susu rendah lemak sebanyak 125 ml susu plus probiotik asal dadih Enterococcus faecium IS 27526 selama 3 minggu. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada aspek psikososial yaitu kondisi depresi, kepuasan hidup, aktivitas fisik dan status gizi pada lansia yang tinggal di panti maupun di masyarakat. Perbedaan signifikan terdapat pada persentase kecukupan terdapat pada persentase kecukupan vitamin C. Hasil intervensi susu probiotik menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada konsentrasi IgA serum total pada selang kepercayaan 95% p= 0.001 (p<0.05). Hasil analisis Tukeys menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi IgA total serum terdapat pada perlakuan pemberian susu probiotik, sedangkan pada pemberian susu tanpa probiotik tidak menunjukkan perbedaan nyata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian susu probiotik dapat meningkatkan respons imun IgA pada lansia. Keyword:
Judul: Evaluation system of rattan chair design element using kansei engineering Abstrak:In product design development, it is very important for manufacturers to find out what the customer wants from the product. Kansei engineering as a product development technology can translate consumers Kansei (total feeling and emotion) into product design element. The purpose of this study was to develop an evaluation system of rattan chair design element using Kansei Engineering with rattan dining chair was used as the research object. Kansei words which represent feeling and emotion of consumers, i.e. beautiful, unique, innovative, comfortable, natural, modern, sturdy and simple were collected in this study. The words were grouped into four factors i.e. aesthetics, function, material and construction. Kansei engineering, analytical hierarchy process, association rules and quality function deployment were used to build evaluation system. For the evaluation, a rattan chair was divided into five design elements, i.e. backrest, seat, armrest, legs and rattan woven of the dining chair. Analytical hierarchy process with pair-wise comparison method was used to identify customers Kansei. The results showed that for backrest and base design of the rattan chair, the most influential customers Kansei factor was the construction. For the seat design of the rattan chair, most influential customers Kansei factor was function, while aesthetics was the most influential customers Kansei for the armrest and woven design of the rattan chair. Association rules were used to mine the rules that connecting Kansei words with the design elements of the rattan chair. These rules were transferred to build a house of quality in quality function deployment. It could be concluded from the quality function deployment that priority of customers Kansei words were sturdy, comfortable, and unique, meanwhile the priority of design elements of a rattan chair based on those words were curved armrest design, design of legs covered with woven and semicircular seat design of rattan chair. Keyword:
Judul: Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Fungsional Berbasis Tepung Torbangun pada Ibu yang Mendapat Konseling Menyusui terhadap Pemberian ASI Eksklusif dan Pertumbuhan Bayi. Abstrak:Pemberian ASI eksklusif merupakan praktek pemenuhan gizi yang paling ideal untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan, namun cakupan di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2013 hanya 30.2%. Faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak cukup merupakan faktor penghambat yang paling umum menyebabkan berhentinya praktek pemberian ASI eksklusif. Faktor lainnya adalah pengetahuan ibu tentang manfaat menyusui yang tidak memadai dan kurangnya dukungan keluarga. Di sisi lain, ibu menyusui membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui pada golongan umur yang sama. Namun, hasil survei konsumsi makanan individu di Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 50% dari kelompok umur ibu menyusui dengan konsumsi energi <70% AKG dan sebanyak 33.8% dengan konsumsi protein <80% AKG. Hingga saat ini pengembangan produk makanan tambahan untuk ibu menyusui berbasis bahan pangan lokal yang memiliki fungsi laktagogum atau dapat meningkatkan sekresi dan produksi ASI belum dilakukan. Tanaman torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.) merupakan tanaman pangan yang secara turun-temurun oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara disajikan sebagai sayur atau sop untuk ibu pasca melahirkan dengan tujuan untuk meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun dan mengkaji pengaruh pemberiannya pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi. Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu: 1) pembuatan tepung torbangun; 2) pengembangan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun; 3) pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui menggunakan produk yang dikembangkan pada tahap 2. Pada tahap ke-1, dihasilkan tepung torbangun dengan rendemen sebesar 8.03±0.29%, kadar air 8.79±0.04%, total flavonoid sebesar 1.02±0.08 mgQE/g dan kandungan kaempferol sebesar 9.64 mg/100g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung torbangun yang dihasilkan. Pada tahap ke-2, bahan pangan yang digunakan untuk pengembangan produk adalah tepung torbangun, tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim bubuk dan tepung gula. Formulasi bahan didasarkan pada angka tambahan kalori dan protein per hari bagi ibu menyusui dan porsi per 1 kali penyajian mendekati serbuk sereal komersial. Tepung daun torbangun yang digunakan adalah 9.6 g (F1); 10.8 g (F2); dan 12 g (F3). Formula F1, F2 dan F3 masingmasing diolah menjadi produk dalam bentuk serbuk siap saji. Uji organoleptik produk dilakukan oleh 40 orang panelis konsumen yaitu ibu menyusui bayi umur hingga 6 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa formulasi bahan yang dilakukan pada pembuatan produk tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap rerata kesukaan panelis yang meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan overall produk (p>0.05). Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk F1, F2 dan F3 baik dari segi warna, rasa, aroma, tekstur dan overall produk berada di atas kategori 2 dari 3 skala penilaian. Produk F3 dengan persentase penerimaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan overall, masing-masing diatas 95% dipilih untuk diintervensikan dan dianalisis lebih lanjut. Produk F3 per 100 g mengandung energi sebesar 376 kkal dan protein sebesar 12.15 g, dengan indeks daya serap air sebesar 3.06 dan daya larut dalam air sebesar 76.96%. Pengujian mikrobiologi menunjukkan bahwa produk F3 negatif untuk bakteri E.coli, Salmonella dan S.aureus, dengan nilai angka lempeng total masih dalam batas toleransi menurut SNI 01–4270–1996. Pada tahap ke-3, subyek penelitian adalah 20 orang ibu hamil pada trimester ke-3 yang diikuti hingga melahirkan. Pemberian makanan tambahan dilakukan selama 30 hari dimulai pada hari ke-2 setelah melahirkan. Subyek penelitian dialokasikan secara random ke dalam 2 kelompok perlakuan, yaitu kelompok intervensi (n=10) diberikan produk makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun (FT) dan kelompok kontrol (n=10) diberikan produk tanpa tepung torbangun (F0). Seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui dengan frekuensi 2 kali sebelum melahirkan dan 3 kali selama pemberian makanan tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling menyusui secara signifikan meningkatkan skor pengetahuan dan sikap responden tentang ASI eksklusif pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok intervensi, rerata skor pengetahuan dari 59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9, rerata skor sikap dari 65.8±11.4 menjadi 94.1±8.8 (p<0.05). Pada kelompok kontrol, rerata skor pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi 94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4 menjadi 94.4±11.0 (p<0.05). Pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun berpengaruh signifikan terhadap waktu yang lebih singkat untuk mencapai kembali berat badan lahir bayi, yaitu 5.1±1.4 hari untuk kelompok intervensi sedangkan kelompok kontrol 7.0±2.4 hari (p<0.05). Selama waktu pemberian makanan tambahan, keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif pada kelompok intervensi adalah 90% sedangkan pada kelompok kontrol adalah 80%. Keyword:ASI, bayi, ibu menyusui, konseling, torbangun
Judul: Pengaruh Intervensi Suplementasi Vitamin A, Minyak Goreng Fortifikasi dan Edukasi Gizi terhadap Retinol Air Susu Ibu serta Morbiditas Ibu dan Bayi Abstrak:Tahun 2011 badan kesehatan dunia (WHO) telah mengeluarkan rekomendasi bahwa pemberian suplementasi vitamin A kepada ibu nifas sesaat setelah melahirkan tidak diperlukan lagi karena tidak memberikan efek yang signifikan baik pada morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi usia 0-6 bulan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pemberian vitamin A dosis 2x200 000 SI sesaat setelah ibu melahirkan (kelompok A), vitamin A dosis 1x200 000 SI pada minggu ke 6 setelah ibu melahirkan (kelompok B), minyak goreng yang difortifikasi 62 SI retinil palmitat selama 3 bulan (kelompok C), dan edukasi gizi saat hamil dan menyusui (kelompok D) terhadap kadar retinol air susu ibu (ASI) serta morbiditas ibu maupun bayi. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment yang dilaksanakan di 7 (tujuh) wilayah puskesmas Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Juni 2017 sampai Maret 2018. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu nifas yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi seperti melahirkan bayi tunggal dan cukup bulan, melahirkan secara normal, dan maksimal paritas ketiga. Besar subjek untuk wawancara morbiditas pada awal penelitian adalah 297 orang dan diakhir penelitian 2 orang drop out karena pindah tempat tinggal. Selanjutnya dari 160 ibu nifas untuk sampel retinol ASI pada awal penelitian, 31 orang drop out karena tidak memiliki ASI saat pengambilan sampel ASI tahap 2 maupun tahap 3. Hasil analisis data menunjukkan bahwa proporsi subjek berumur 20–25 tahun lebih banyak (41.7%) dibandingkan dengan kelompok umur lain. Sekitar 42% subjek telah menamatkan pendidikan sampai tingkat sekolah menengah atas (SMA). Hampir semua (94%) ibu nifas tidak bekerja (ibu rumah tangga). Dalam hal tingkat paritas, proporsi subjek yang masuk kategori multipara (paritas ≥2) adalah sebesar 76%. Berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh, sekitar 60.5% subjek memiliki status gizi normal. Proporsi berat lahir bayi pada kategori ukuran 2500g – 3000g paling banyak (40.7%) dibandingkan kelompok lain. Sekitar 86.4% anak yang dilahirkan telah mendapatkan imunisasi lengkap sampai berusia 3 bulan. Rata-rata kadar retinol ASI kolostrum subjek adalah 58.2 μg/dl dan sekitar 81.3% subjek memiliki kadar retinol ASI kolostrum dengan kategori normal. Hasil uji bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan antara sosial ekonomi, riwayat kehamilan maupun tingkat kecukupan gizi (protein, lemak, vitamin A,besi dan seng) dengan kadar retinol ASI kolostrum (p>0.05). Jenis sayuran yang paling sering dikonsumsi sesaat setelah ibu melahirkan adalah sayur tomat (85.1%), kangkung (84.0%), dan bayam (81.7%). Setelah tiga bulan melahirkan terjadi penurunan proporsi frekuensi konsumsi sayur kangkung (74.9%) dan bayam (66.8%), akan tetapi tidak pada tomat (86.4%). Frekuensi konsumsi buah sumber vitamin A masih rendah dan tidak termasuk dalam pola konsumsi buah masyarakat setempat karena masih kurang dari 50% subjek yang mengonsumsi buah baik sesaat maupun tiga bulan setelah melahirkan. Selanjutnya pangan sumber hewani yang paling sering dikonsumsi sesaat setelah melahirkan adalah telur ayam (91.5%) dan susu (61.2%), setelah tiga bulan melahirkan terjadi peningkatan proporsi frekuensi konsumsi telur ayam (93.3%) akan tetapi tidak untuk proporsi frekuensi konsumsi susu (50.2%). Hasil uji Anova menunjukkan terdapat perbedaan signifikan dalam hal ratarata tingkat kecukupan asupan (protein, lemak, vitamin A, zat besi) antara kelompok sebelum dilakukan intervensi (p<0.05). Sebelum intervensi terlihat bahwa rata-rata tingkat kecukupan asupan semua zat gizi paling tinggi ditemukan pada kelompok B dibandingkan kelompok lain. Begitupun setelah intervensi, ratarata tingkat kecukupan asupan zat gizi lebih tinggi pada kelompok B kecuali zat besi. Sebelum intervensi, rata-rata kadar retinol ASI untuk masing-masing kelompok A, B, C dan D adalah 52.7μg/dl, 46.2μg/dl, 47.9μg/dl, dan 61.25μg/dl. Selama intervensi mengalami penurunan menjadi 44.1μg/dl, 42.1μg/dl, 41.0μg/dl dan 33.7μg/dl. Selanjutnya setelah intervensi kembali menurun menjadi 34.3 μg/dl, 32.2μg/dl, 38.0μg/dl dan 33.9μg/dl. Hasil uji Anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar retinol ASI pada saat sebelum, selama dan setelah intervensi antar kelompok perlakuan (p>0.05). Jika dianalisis berdasarkan kelompok (intragroup) terlihat bahwa terdapat penurunan yang signifikan kadar retinol sebelum, selama dan setelah intervensi pada kelompok A dan D (p<0.05), akan tetapi tidak demikian untuk kelompok B dan C (p>0.05). Rata-rata frekuensi kejadian sakit ISPA maupun diare pada ibu lebih rendah ditemukan pada kelompok C dibandingkan dengan kelompok A, B dan D. Begitu pula halnya dengan rata-rata frekuensi sakit ISPA dan diare pada anak, kelompok C lebih rendah dibandingkan 3 kelompok lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata frekuensi sakit ISPA dan diare pada ibu maupun anak antar kelompok intervensi (p<0.05). Dalam hal durasi (lama) sakit, hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan lama sakit antara kelompok intervensi baik pada ibu maupun pada bayi (p>0.05). Meskipun demikian, terdapat kecenderungan lama sakit yang lebih rendah pada kelompok C dibandingkan dengan 3 kelompok lainnya. Proporsi kejadian ISPA pada ibu dan bayi kategori tinggi paling banyak ditemukan pada kelompok B dan paling sedikit pada kelompok C, begitupun dengan proporsi sakit diare pada ibu dan bayi. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa intervensi yang diberikan kepada subjek baik berupa suplementasi vitamin A (1 kapsul dan 2 kapsul), minyak goreng fortifikasi, maupun edukasi gizi memberikan efek yang sama terhadap kadar retinol ASI. Akan tetapi, untuk efek intervensi terhadap frekuensi kejadian ISPA dan diare terlihat ada perbedaan antara kelompok perlakuan. Pemberian minyak goreng yang telah difortifikasi dengan vitamin A lebih efektif dalam mengurangi frekuensi ISPA dan diare baik pada ibu maupun bayi dibandingkan dengan pemberian suplementasi vitamin A dan edukasi gizi. Penelitian ini hanya melihat status vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 3 bulan, sehingga perlu adanya penelitian yang melihat status vitamin A pada bayi khususnya sampai berusia 6 bulan mengingat asupan vitamin A bayi hanya bersumber dari ASI. Selain itu, perlu adanya penelitian lanjutan yang melihat bagaimana kapsul vitamin A didistribusikan dalam tubuh, apakah disimpan dalam tubuh ataukah disekresikan langsung dalam ASI dan bagaimana bila disekresikan. Keyword:edukasi, ibu nifas, minyak fortifikasi, morbiditas, retinol ASI
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: Rancang Bangun Model Manajemen Risiko Agroindustri Gula Tebu . Abstrak:Agroindustri gula tebu merupakan industri yang mempunyai peran stategis karena terkait dengan penyediaan komoditas stategis gula, dimana menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan persediaan mencukupi kebutuhan nasional. Kebutuhan gula nasional sampai saat ini jauh di atas kemampuan produksi dalam negeri. Kekurangan pasokan gula dipenuhi melalui import gula mentah (Raw Sugar) untuk dioleh menjadi gula kristal putih oleh industri gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri. Sementara produksi industri gula berbahan baku tebu untuk memenuhi kebutuhan sektor rumah tangga. Ketidakmampuan agroindustri gula nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak lepas dari berbagai faktor baik internal maupun eksternal, seperti produktivitas dan efesiensi yang rendah dan berkurangnya lahan untuk perkebunan tebu karena alih fungsi lahan. Pada skala pabrik produktivitas dan efesiensi yang rendah terjadi karena berbagai risiko yang terjadi dalam proses produksi gula tebu yang belum teratasi dengan baik. Sebagai suatu proses yang berjalan kontinyu dan berbahan baku yang mudah rusak dan bersifat musiman, maka risiko dalam proses produksi gula menjadi kompleks dan bersifat dinamis. Penelitian ini bertujuan melakukan identifikasi risiko dan menganalisis untuk menentukan risiko prioritas. Identifikasi dan analisis risiko dilakukan dengan metode Fuzzy FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). Tujuan berikutnya adalah menentukan tindakan penanganan risiko prioritas dengan menggunakan metode Fuzzy HOR-2 (House of risk) tahap 2 yang dimodifikasi, digabungkan dengan teknik ISM (interpretative structural modellling). Fungsi dari Fuzzy HOR-2 yang dimodifikasi adalah untuk menilai tingkat efektifitas tindakan terhadap penyebab risiko dan tingkat kesulitan implemetasinya sementara teknik ISM untuk menilai sejauh mana hubungan antar tindakan. Sedangkan tujuan terakhir penelitian adalah mensimulasikantindakan penanganan risiko agroindustri gula tebu terpilih dengan pendekatan dinamika sistem. Hasil identifikasi diperoleh 10 risiko prioritas untuk mendapatkan penanganan yaitu: tebangan kurang dari kapasitas giling, tebu Tebangan tidak bersih, tebu menginap di amplasement > 24 jam, laju proses penggilingan terganggu, tekanan hidrolik tidak stabil, kerusakan roll gilingan, kadar CaO Nira Encer masih tinggi, tekanan atau suhu uap di unit evaporasi rendah, tekanan uap uap minimal dari boiler tidak tercapai. Tindakan penanganan risiko-risiko prioritas ini secara berturut-turut adalah sebagai berikut: 1). perbaikan manajemen perencanaan TMA (tebang muat angkut) dengan prakiraan hari hujan; 2). melakukan perencanaan secara terkendali henti giling bersama-sama jadwal perbaikan mesin; 3). pengetatan SOP TMA melalui peningkatan pengawasan, reward & punishment; 4). perbaikan sistem komunikasi antar bagian produksi dengan TMA; 5).perbaikan manajemen TMA dalam manajemen pasokan; 6).pengendalian kualitas bagas melalui pengendalian gilingan, dan pengendalian kebersihan tebu; 7). perawatan dan perbaikan secara berkala mantel roll gilingan; 8)penggunaan kapur dan proses pembuatan susu kapur sesuai standar; 9). kontrol tebu bersih dari tanah/pasir secara ketat sebelum penggilingan. Hasil analisis dengan menggunakan metode fuzzy HOR-2 yang dimodifikasi dan teknik ISM atas tindakan penanganan risiko untuk risiko prioritas di atas terpilih empat tindakan penanganan prioritas yaitu: perbaikan manajemen perencanaan TMA (Tebang muat angkut) dengan prakiraan hari hujan; pengetatanSOP TMA melalui peningkatan pengawasan, reward & punishment; perbaikan sistem komunikasi antar bagian produksi dengan TMA; dan perbaikan manajemen TMA dalam manajemen pasokan. Simulasi dengan model dinamika sistem dilakukan dengan skenario (1) peningkatan proporsi tebang semi mekanis untuk (2) tindakan perbaikan manajemen TMA sebagai upaya (3) mengatasi ketidakstabilan pasokan tebu dan (4) skenario pengetatan SOP TMA sebagai upaya meningkatkan tingkat kebersihan tebu. Hasil simulasi untuk kondisi kebun yang sama (luas dan tingkat produktivitas tebu), jika 2 skenario tersebut dilakukan secara paralel menghasilkan peningkatan pada variabel pasokan tebu harian, tebu giling harian, produksi gula SHS, rendemen, pendapatan., penurunan jumlah hari giling dan penurunan prosentase trash. Keyword:agroindustri gula, dinamika sistem, fuzzy logic, manajemen risiko, risiko
Judul: System dynamic modeling of complex decision making for the development of sugar cane agroindstry Abstrak:Agroindustri gula tebu merupakan industri dengan karakter sistem dinamis yang kompleks (complex dynamic system), bercirikan adanya hubungan terus menerus antar pelaku atau anggota sistem. Penggunaan pendekatan sistem dinamis dapat diterapkan dalam rangka melakukan kajian agroindustri gula tebu seperti pada kajian proses pegambilan keputusan untuk tujuan pengembangan. Pasokan produksi gula tebu nasional lebih rendah jumlahnya dari pada permintaan, sehingga terjadi defisit pasokan gula. Hingga saat ini persoalan defisit pasokan belum dapat teratasi dengan baik. Kompleksitas permasalahan dimulai ketika tingkat produktifitas pertanian tebu dan pabrik gula masih rendah. Rendahnya produktifitas pertanian tebu ditengarai terjadi karena penurunan luas lahan tanam, pergeseran lahan dari lahan basah ke lahan kering yang disebabkan karena persaingan penggunaan lahan tanam oleh berbagai jenis tanaman lainya serta meningkatnya alih fungsi lahan bagi keperluan lain di luar pertanian. Penurunan produktifitas pabrik gula disebabkan karena semakin tua usia mesin yang kurang diimbangi oleh peremajaan mesin baru yang lebih produktif. Permasalahan non teknis pertanian masih sering timbul, seperti terjadi ketidaktepatan pelaksanaan kebijakan importasi gula yang dilakukan pada saat tingkat persediaan gula dalam negeri masih tinggi dan mencukupi. Persediaan gula yang berlebih ini dapat mengakibatkan penurunan harga. Permasalahan inilah yang secara perlahan telah mengurangi daya mampu petani tebu dan pabrik gula sehingga produktifitas menurun, pasok bahan baku tebu menurun, efisiensi pabrik menurun dan peremajaan pabrik terlantar hingga gejolak harga gula sewaktu-waktu dapat terjadi secara tinggi. Keyword:
Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks. Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition. Keyword:
Judul: Study on physical and chemical properties of strach isolated from new clone sweet potato and their enzymatic and acidic hydrolysis pattern Abstrak:Pati yang memenuhi syarat dapat dijadikan sebagai bahan baku industri dan di Indonesia informasi mengenai sifat fisik, lumia, fungsional dan parameter proses produksi dari berbabagi pati yang dihasilkan belum tersedia. Sifat pati dan parameter prosesnya saling berinteraksi daiam proses produksi dan hal tersebut menentukan komposisi polimer produk akhir yang selanjutnya dan menentukan kespesifikan arah dan nilai pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajaii sifat fisik dan kimia pati ubi jalar yang memenuhi persyaratan bahan baku industri hidrolisis serta menentukan parameter proses hldrolisisnya secara enzimatis dan asan, dan (2) mempelajari pola hidrolisis dan mengkarakterisasi hasilnya, uji coba pruduksi dekstrin dan maltodekstrin dari pati ubi jalar jenis unggul secara enzimatis dan asam serta menstandardisasi mutunya guna melihat peluang pemanfaatannya dan keunggulan hasil produknya. Keyword:
Judul: Pati Sagu Modifikasi Sebagai Bahan Edible Film Abstrak:Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman yang kaya akan kandungan pati dengan potensi yang cukup besar di Indonesia namun pemanfaatan masih rendah. Pati sagu alami dari tiga varietas yaitu, sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart.), Ihur (M. sylvestre Mart.) dan Molat (M. sagu Rottb.) memiliki kandungan amilosa yang tinggi sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembentuk edible film. Mutu pati sagu alami sesuai dengan standar mutu SNI 01-3729-1995 dan SIRIM (1972) kecuali warna pada pati sagu varietas Molat dan Ihur. Pati sagu varietas Molat memiliki kandungan proksimat tertinggi yaitu, kadar protein (0.40% bk), kadar lemak (0.41% bk), kadar amilosa (38.79%), kadar pati (90.27% bk), ukuran granula yang besar (40.60 μm), swelling power rendah (32.57%), kejernihan pasta rendah (62.50%T), freeze-thaw tinggi (79.92% sineresis) dan memiliki keunggulan sifat amilografi dari yang lainnya dengan karakter gel yang kuat dan stabil terhadap pengadukan, pemanasan dan pendinginan. Pati sagu varietas Tuni memiliki warna L (tingkat kecerahan) (95.93%) dan kejernihan pasta yang tinggi (74.35%T). Pati alami dengan kadar amilosa yang tinggi memiliki sifat pembentuk film yang baik, namun edible film yang dihasilkan memiliki sifat fisik dan mekanis yang rendah dan bersifat hidrofilik dengan nilai contact angle (CA) 32.0o. Hidrofobisitas edible film berbasis pati sagu alami dapat ditingkatkan dengan meningkatkan derajat substitusi (DS) pati melalui reaksi asetilasi. Akan tetapi peningkatan nilai DS tersebut dapat menurunkan kekuatan tarik edible film. Untuk mendapatkan nilai DS optimum perlu dilakukan optimasi kondisi proses asetilasi. Optimasi proses asetilasi pati sagu terhadap tensile strength (TS) dan CA edible film dilakukan dengan metode permukaan respon (RSM). Kondisi proses asetilasi adalah konsentrasi asam asetat anhidrida, waktu reaksi dan pH. Hasil penelitian ditemukan konsentrasi asam asetat anhidrida dan pH berpengaruh nyata terhadap kadar asetil dan DS pati sagu asetat sedangkan nilai TS dan CA edible film pati sagu asetat hanya dipengaruhi konsentrasi asam asetat anhidrida dan pH. Konsentrasi asam asetat anhidrida dan nilai pH berpengaruh negatif terhadap TS dan berpengaruh positif terhadap CA. Kondisi optimum asetilasi untuk TS dan CA edible film pati sagu asetat adalah konsentrasi asam asetat anhidrid 44%, pH 8.24 dan waktu reaksi 60 menit. Kondisi optimal ini menghasilkan nilai TS 2.80 MPa dan CA 42.18o. Karakteristik sifat pati sagu ketika diaplikasikan dalam pengolahan pangan akan berdampak pada produk akhir. Informasi mengenai karakteristik sifat fisik, kimia, fungsional dan sifat pasting sangat diperlukan, karena pati dari sumber botani yang berbeda memiliki karakteristik yang berbeda. Sifat-sifat tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber pati, ukuran granula dan kadar amilosa. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi karakteristik pati sagu sebagai bahan edible film, menentukan kondisi proses asetilasi optimum untuk meningkatkan sifat hidrofobisitas edible film dan mengevaluasi stabilitas edible film selama penyimpanan. Setelah dilakukan validasi diperoleh hasil eksperimen TS 2.80 MPa dan CA 49.78o, hasil ini mirip dengan nilai prediksi. Perbedaan antara nilai aktual dan optimum adalah 0% untuk TS dan CA 13.5%. Model optimasi dapat diterima karena nilai eksperimen sesuai dengan prediksi model. Asetilasi pati sagu dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas edible film. Pada kondisi proses asetilasi yang optimal karakteristik pati sagu asetat lebih baik dari pati alami. Asetilasi pati sagu meningkatkan tingkat kecerahan (L) bubuk pati sagu dari 76.62 menjadi 91.64, menurunkan nilai chroma dari 34.01 menjadi 6.95, kadar abu (0.23% bk), kadar lemak (0.15% bk), kadar protein (0.33% bk), kadar amilosa (29.56%), meningkatkan nilai kelarutan dalam air dari 15.44% menjadi 36.70%, swelling power 32.57 menjadi 62.32, kejernihan pasta dari 62.50%T menjadi 76.25%T, dan menurunkan nilai freeze-thaw stability dari 79.92% sineresis menjadi 75.23% sineresis. Asetilasi pati sagu juga menurunkan sifat amilografi, peak viscosity dari 6 671 cP menjadi 2 416 cP, breakdown viscosity dari 4 713 cP menjadi 1 158 cP, final viscosity dari 3 552 cP menjadi 2 066 cP dan setback viscosity dari 1 594 cP menjadi 808 cP dan kristalinitas pati asetat (20.37%) dan edible film pati asetat (10.10%). Karakteristik pati ini selanjutnya digunakan untuk melihat stabilitas edible film selama penyimpanan. Keyword:contact angle, edible film, optimasi, pati sagu asetat, stabilitas, tensile strength
Judul: Pengembangan kekekaran Model Additive Main Effect – Multiplicative Interaction (AMMI) Abstrak:AMMI model for interactions in two-way table provide the major mean for studying stability and adaptability through GEI, which modeled by full interaction model. Eligibility of AMMI model depends on the assumption of normally independent distributed error with a constant variance. Nowadays, AMMI models have been developed for any condition of MET data i.e the violence of normality and homegeneity assumptions. We can mention in this class of modelling as MAMMI for Mixed AMMI model and GAMMI for Generalized AMMI model. GAMMI model handles non-normality i.e categorical response variables using an algorithm of alternating regression. While handling the non-homogeneity in mixed-models sense, one may use a model called factor analytic multiplicative for a MAMMI models. Outlier might be found in the data coincides with non-homogeneity variance. A method of handling outlier in additive and multiplicative modeling by applying Robust Alternating Regression (RAR) in FANOVA model. RAR FANOVA model was downweighting outlying scores and loadings in the k-dimensional spaces of scores and loadings, and robust estimator will be minimized under the constraints that are consistent with robust approach of the median of parameters. Application of GAMMI was found in several distribution of exponential family. The most interesting here is Poisson distribution which it has a unique property of equal mean and variance. Many zero observations make some dificulties and fatal consequence in Poisson modeling. We consider to facilitates an analysis of two-way tables of count with many zero observations in AMMI model. We develop GAMMI model for Poisson with zeroes problem, by a statistical framework of RCAM. Some link function apply to the mean of a cell equalling a row effect plus a column effect plus interaction terms are modelled as a reduced-rank regression with rank of 2, then it will be visualized by Biplot through SVD reparameterization. The ZIP-GAMMI model handle the excess-zero and also the overdispersion at once. The interaction structures are extracted from the non-zero cell. ZIP model provide us the probability become zero and the fitted value of the Poisson. The modelling scheme involves two important things: (1) the distribution (and link-function) and (2) the rank of model. Both are confounded, especially if there is overdispersion or excess-zero. Best-model fit can be provided by proper link function with respect to data’s distribution, at the same time it’s also possible by the rank of the model in decomposing the interaction terms. In this case the likelihood ratio test provides us the hypothesis testing. Keyword:
Judul: Pengembangan Kewirausahaan Sosial Buruh Migran Perempuan di Daerah Asal Pada Era Digital Abstrak:Migrasi internasional pada beberapa dekade terakhir didominasi oleh perempuan (Guest 2003, Martin 2003). Pada konteks Indonesia, perempuan juga mendominasi jumlah pekerja migran yang bekerja keluar negeri (sektor domestik dan informal). Badan Nasional Penyelenggara Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melaporkan bahwa Buruh Migran Perempuan di luar negeri adalah sebesar 62% dari total TKI (BNP2TKI 2016). Buruh Migran Perempuan mengalami berbagai permasalahan baik pada saat keberangkatan, bekerja dan pada saat kembali dari luar negeri. Permasalahan ini tidak terlepas dari tekanan struktur yang memposisikan perempuan pada posisi yang termarjinalkan. Tekanan struktur dari dalam negeri karena tidak memiliki akses dan sumber daya pada pekerjaan yang mengakibatkan perempuan pergi untuk bekerja di luar negeri (Wulan 2010). Kepergian Buruh Migran Perempuan ke luar negeri berlangsung secara terus menerus meskipun memiliki tekanan dan risiko yang tinggi. Massey (1990) pada pisau analisisnya menjelaskan bahwa migrasi dapat berlangsung secara terus menerus dalam sebuah masyarakat. Terdapat enam faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi migrasi secara kumulatif menurut Massey (1990) sebagai berikut pertama, distribusi pendapatan yang memicu peningkatan migrasi internasional karena ketimpangan pendapatan, penguasaan tanah, organisasi produksi, nilai, norma dan persepsi masyarakat terkait, dan keenam, labeling sosial pada pekerjaan di negara tujuan. Kerangka teori Massey ini didukung dengan kerangka teoritik migrasi kembali, teori jaringan dan kewirausahaan sosial untuk membedah fenomena kewirausahaan sosial BMP. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengambilan data melalui wawancara mendalam, pengamatan, FGD dan didukung dengan kuesioner. Penelitian ini dilakukan di Wonosobo dan Sukabumi secara sengaja dengan pertimbangan seperti pola migrasi dan konteks kondisi sosial ekonomi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Buruh Migran Perempuan mengembangkan kewirausahaan sosial karena untuk memanfaatkan dana sisa remitan pembelian aset. Pengembangan wirausaha sosial yang dilakukan para untuk menjaga pendapat alternatif setelah Buruh Migran Perempuan bermigrasi dan menjaga modal agar tidak diklaim oleh pihak suami ketika bercerai. Meskipun, Pengembangan kewirausahaan sosial tidak mampu menahan laju migrasi kembali yang dilakukan para BMP. Kedua, temuan lapangan menunjukkan bahwa Desa Kuripan, Kabupaten Wonosobo pada aspek komunitas dan jaringan kewirausahaan lebih banyak dibandingkan dengan desa Jambenenggang. Keberagaman komunitas berbanding lurus dengan variasi produk yang dihasilkan, Desa Kuripan lebih heterogen jenis usaha yang dikembangkan dimulai dari olahan pangan, warung, souvenir khas, kain batik, dan karya kerajinan sedangkan Jambenenggang hanya bergerak pada komoditas olahan pangan dan warung. Ketiga, aktor-aktor yang terlibat dalam pengembangan dan pemberdayaan kewirausahaan sosial adalah Pemerintah, LSM, dan aktivis memiliki peranan yang penting dalam proses pembentukan komunitas dan pengembangan kewirausahaan sosial. Aktor-aktor ini dalam pendampingan usaha untuk meningkatkan penguasaan teknologi, bantuan modal, dan fasilitas pemasaran. Peran elemen ini belum cukup signifikan dalam membantu para BMP karena secara umum Kedua desa ini masih terkendala ekonomi khususnya Desa Jambenenggang, Sukabumi begitupun desa Kuripan, Wonosobo yang terkendala pemasaran. selain itu, kendala yang mereka hadapi adalah kendala penguasaan teknologi dalam proses produksi yang masih mengandalkan teknologi sederhana dan berbasis rumah tangga. Keempat, peran jaringan offline dalam pengembangan kewirausaahan sosial yakni berperan mendistribusikan produk-produk secara langsung ke konsumen. Jaringan oflline bermanfaat dalam membantu produksi mulai pengolahan, pengemasan, dan pemasaran. Sementara, jaringan online memperluas pemasaran menjangkau berbagai daerah/wilayah, memperlancar komunikasi antara BMP satu sama lain. Keberadaan media sosial dapat memantau perkembangan usaha yang dirintis secara bersama-bersama yang berada di luar negeri. Jaringan online juga berperan mempermudah akses informasi dan pembelajaran seputar dunia usaha maupun jaring pengaman dalam melakukan bermigrasi. Kelima, Kewirausahaan sosial tidak mampu menghentikan aliran tenaga kerja ke luar negeri tetapi mampu memberikan alternatif pekerjaan BMP pada saat kembali dari luar negeri. Meskipun, kewirausahaan sosial yang dikembangkan oleh BMP telah didukung dengan media sosial memberikan peluang dalam mempromosikan hasil produksi para BMP baik lokal, nasional bahkan internasional. Penelitian ini memberikan saran baik secara teoritis, metodologis, praktis dan kebijakan. Pertama secara teoritis perlu ada kajian lebih lanjut mengenai remitan digital dilevel makro, Mezo, dan mikro untuk menyusun kerangka teoritik dan konseptual. Dari aspek metodologis perlu ada pendekatan dengan menggunakan teknologi digital pada penelitian BMP di pedesaan Indonesia. Pada aspek praktis dan kebijakan penelitian ini menyarankan pendidikan keahlian atau profesi khusus kepada BMP terkait pengelolaan keuangan dan pemerintah diharapkan mampu memberikan platform khusus kepada BMP terkait pengelolaan keuangan. Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu menguatkan basis data bagi BMP, baik dalam perekrutan, pada saat bekerja dan kembali sehingga kebijakan yang dibuat menjadi akurat dan presisi. Kewirausahaan komunitas perlu didorong lebih kuat dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, UMKM, dan pangan lokal. Pada pengembangan kewirausahaan sosial pada BMP harus mendapatkan dukungan media digital untuk pemasaran dan akses informasi. Keyword:Buruh Migran Perempuan, Kewirausahaan Sosial, Migrasi Internasional, Era Digital
Judul: Model of Sustainable Women's Entrepreneurship Development Strategy in the Digital Era Abstrak:Indonesia merupakan pasar yang potensial dengan jumlah penduduk sebanyak 270.203.917 jiwa dengan proporsi berdasarkan jenis kelamin yaitu 136.661.899 laki-laki dan 133.542.018 perempuan, dimana perempuan mendominasi dibandingkan laki-laki dalam hal proporsi. Proporsi perempuan yang besar memberikan peluang bagi kelompok ini untuk menjadi pelaku penggerak ekonomi sebagai pengusaha atau pelaku usaha. Terdapat fakta menarik bahwa tingkat kematian yang disebabkan oleh fenomena valley of death (lembah kematian) pada UMKM terutama pada tiga tahun operasinya cukup tinggi sehingga kondisi ini menjadi perhatian bagi UMKM untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi fenomena tersebut. Penelitian ini mencoba membuktikan apakah fenomena valley of death terjadi pada partisipan dalam penelitian ini. Sebagai langkah untuk membuktikannya, penelitian ini menganalisis peran kewirausahaan perempuan dalam skala mikro terhadap dua bidang usaha yaitu kuliner dan fesyen. Unit analisis penelitian ini adalah dua kelompok kewirausahaan perempuan yang terbagi menjadi wirausaha di bidang usaha kuliner dan fesyen. Kriteria lain terkait unit usaha adalah mikro. Salah satu ciri keberhasilan kewirausahaan adalah mempertahankan operasi bisnis yang menguntungkan selama lebih dari lima tahun. Penelitian dilakukan berdasarkan empat tahap yaitu tahap pertama, dilakukan studi pendahuluan melalui kajian literatur terkait tema kewirausahaan perempuan yang meliputi karakteristik, kelemahan, dan permasalahan yang dihadapi kewirausahaan perempuan dalam menjalankan bisnis mereka. Tahap kedua, menganalisis dan menggambarkan model bisnis yang sudah dijalankan, tahap ketiga, menganalisis kontribusi teknologi bisnis kewirausahaan perempuan, tahap keempat, menganalisis proyeksi bisnis kedepan, dan tahap kelima, menyusun model pengembangan bisnis wirausaha yang berkelanjutan di era digital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan wirausaha memulai usaha karena perempuan wirausaha memaknai bisnis sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, oleh sebab itu perlu ada penyesuaian terhadap pasar, Agen, Reseller, mitra (penguatan saluran distribusi) dan dorongan motivasi internal (keinginan untuk belajar). Motif perempuan wirausaha berbisnis disebabkan karena Loyalitas terhadap produk yang ditawarkan dan motivasi internal (mengup-grade dan keinginan terus belajar). Sementara itu kelemahan yang ditemui adalah pada aspek infrastruktur manajemen (key resource, key activities, dan key partnership, Key resource) dan cyber crime sebagai dampak komunikasi digital. Kekuatan Bisnis kewirausahaan perempuan lebih kepada kemampuan yang tinggi dalam mengelola bisnis dan pengambilan keputusan. Perempuan dapat situasional menentukan keputusan dalam bisnisnya seperti menentukan pasar, segmen, bahan baku, produksi, promosi, bahkan keputusan dalam mendesain kemasan pada produk yang akan ditawarkan masih menjadi keputusan perempuan. Semua kekuatan itu didasari oleh silaturahmi yang akhirnya membentuk modal sosial (social capital). Berdasarkan model bisnis dan feedback grid, bisnis perempuan wirausaha terbagi menjadi dua bidang usaha, yaitu kuliner dan fesyen. Model bisnis kuliner v yang sudah dilakukan dalam aspek value proposition, yaitu konsistensi terhadap kualitas produk, selalu menjaga customer relationship dengan baik Berdasarkan kondisi tersebut, ide yang ditawarkan adalah mengoptimalisasikan media sosial, meningkatkan partnership baik terhadap reseller maupun komunitas yang berasal dari konsumen potensial maupun bukan, serta menciptakan standard operating procedure (SOP). Sementara model bisnis bidang Fesyen yang sudah dilakukan lebih menitikberatkan pada customer segment yang jelas, channels, dan komunitas. Sementara aspek value proposition adalah up-date design dan bahan berkualitas. Berdasarkan kondisi tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mendapatkan SDM yang baik, produksi yang harus banyak (customize) dan up-date design. Sehingga perubahan yang diperlukan adalah bagaimana memiliki petugas gerai yang baik dan kompeten, serta memiliki strategi untuk mengoptimalkan media sosial untuk promosi dan penjualan. Oleh sebab itu, ide yang disarankan adalah mengoptimalkan media sosial, memberikan bonus untuk SDM, melakukan survei pelanggan, dan terbuka untuk dapat mengadopsi teknologi baru. Berdasarkan analisis kontribusi komponen teknologi yang terbagi dalam empat komponen (technoware, humanware, infoware, dan orgaware), kunci kesuksesan usaha yang dikelola perempuan wirausaha berasal dari infoware dan humanware. Aspek technoware serta orgaware dari usaha yang dikelola masih lemah, sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan kemampuan kedua hal tersebut. Aspek humanware dan infoware perempuan wirausaha merupakan tulang punggung bisnis yang selama ini berjalan. Berdasarkan hasil analisis profil kewirausahaan perempuan, bisnis model, dan analisis kontibusi teknologinya, rekomendasi strategi dihasilkan dengan mempertimbangkan lima unsur dalam diamond analysis terfokus kepada lima unsur utama yang terintegrasi satu dengan yang lain menjadi sesuatu yang divisualisasikan sebagai diamond. Unsur-unsur tersebut meliputi arena, vehicle, differentiator, staging dan economic logic. Selanjutnya, Sebuah bisnis bukan sekedar jual beli, tapi bagaimana menciptakan nilai. Proses penciptaan nilai pelanggan dapat dilakukan jika bisnis dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara optimal untuk menciptakan keunggulan bersaing. Apalagi berlaku untuk sektor usaha mikro, dimana faktor konsumen tidak lepas dari perhitungan dan dasar kualitas yang disajikan oleh organisasi bisnis, baik jasa maupun barang. Usaha mikro kuliner dan fesyen juga dapat menciptakan nilai sesuai dengan kebutuhan konsumen. Penciptaan nilai adalah sesuatu yang membedakan satu organisasi bisnis dari organisasi bisnis lainnya, menarik minat pelanggan potensial, dan merupakan salah satu alasannya. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, untuk usaha mikro yang dijalankan oleh perempuan wirausaha perlu memperhatikan persona konsumen yang dituju. Hal-hal lain, seperti pembeda produk, tidak diragukan lagi terkait dengan user-persona. Untuk pementasan perlu mendapat perhatian lebih agar produk bisa bertahan untuk jangka panjang. Logika ekonomi, strategi yang digunakan adalah biaya rendah dan efisiensi sehingga produk dapat bersaing dengan produk lain. Keyword:Business Development, Digital-Era, Strategy, Sustainability, Women's Entrepreneurship
Judul: Evaluation of Dietary Cinnamaldehyde Supplementation On The Growth, Nutrient Utilization, Protein Sparing, and Fillet Quality of Nile Tilapia Oreochromis niloticus Abstrak:Cinnamaldehyde is an active organic compound and an aromatic aldehyde substance found in cinnamon oil. It is a new feed supplement for animals that can improve growth, nutrient digestion and absorption, lipid use, and immunity. The present study evaluated the effects of dietary trans-cinnamaldehyde 98 % (CIN) on nutrient utilization, antioxidant capacity, and growth performance in Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Juveniles used was weighing at about 19.77 ± 0.10 g received dietary CIN at different doses (0, 0.25, 0.5, 0.75, and 1.0 g/kg feed). The fish were maintained in a glass aquarium of 95 × 45 × 35 cm3 in size at a stocking density of 20 fish per aquarium and fed three times a day to clear satiation. Dietary carbohydrate digestion and absorption were significantly improved in fish fed 0.75 g/kg CIN, as indicated by increased amylase activity and glucose tolerance test. The latter was subsequently confirmed by increases in relative ir, glut4, hx and gs expression that indicated the increase in glucose absorption led to an increase in glucose utilization as an energy source and the synthesis of glycogen as an energy reserve. Interestingly, dietary CIN supplementation also resulted in the downregulation of fas, which facilitates the conversion of glucose to fatty acids, and the upregulation of cpt1a and hsl, indicating increased fatty acid oxidation for energy. CIN at a range of 0.5–0.75 g/kg improved the antioxidant status in the liver, as illustrated by elevated glutathione peroxidase and superoxide dismutase activities (both P < 0.05). Final weight, feed consumption, the specific growth rate, feed efficiency, and protein retention increased were significantly in all CIN groups, with the highest values reached in the 0.5 g/kg CIN (all P < 0.05). Based on a polynomial orthogonal analysis of the fish-specific growth rate, the optimum dosage of CIN inclusion is 0.42 g/kg. Keyword:antioxidant
Judul: Expression of pathogen responsive genes toward Corynespora cassiicola in rubber plant (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Abstrak:Leaf fall disease caused by Corynespora cassiicola fungus is an important disease in rubber plantation. This research aims to identify and isolates genes or part of genes involved in plant defense response in rubber clones Keyword:
Judul: Produksi dan Inaktivitas In Vitro Toksin Isolat Corynespora cassiicola (Berk.&Curt.) Wei Asal Daun Karet Abstrak:Penyakit Gugur Daun Corynespora pada tanaman karet yang disebabkan oleh Corynespora cassiicola [Berk. & Curt.] Wei telah menjadi ancaman bagi produksi karet di Indonesia. Cendawan patogenik tersebut menghasilkan toksin yang dinamakan cassiicoloa yang berperan penting dalam patogenisitasnya. Hingga saat ini masih belum diketahui strategi pengendalian yang efektif dan efisien untuk mencegah epidemi penyakit tersebut Keyword:
Judul: The impacts of infrastructure development on regional economy of east kalimantan province: an interregional input-output analysis Abstrak:Studi ini secara khusus bertujuan untuk mencari penjelasan mengenai dampak dari pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian wilayah Provinsi Kalimantan Timur, khususnya yang terkait dengan indikator-indikator makroregional yakni pertumbuhan output perekonomian, tenaga kerja, nilai tambah, pendapatan, keterkaitan dan ketimpangan antar wilayah. Fungsi strategis infrastruktur jelas tidak diragukan lagi, tanpa pembangunan infrastruktur yang mencukupi kegiatan investasi pembangunan lainnya, seperti kegiatan produksi, jelas tidak akan meningkat secara signifikan. Mendorong keterkaitan antar wilayah yang sinergis, lebih berimbang dan sekaligus menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan, menyebabkan identifikasi struktur keterkaitan aktivitas lintas wilayah dan lintas sektor menjadi penting. Salah satu teknik yang umum digunakan untuk menganalisis hal tersebut adalah Input-Output antar wilayah. Melalui analisis Input-Output antar wilayah dapat dilihat secara jelas bagaimana integrasi sektoral dan antar wilayah itu terjadi yang direfleksikan melalui keterkaitan ke belakang (backward linkage), keterkaitan ke depan (forward linkage) dan analisis dampak pembangunan sektor atau wilayah. Dari hasil analisis tersebut akan diperoleh banyak informasi yang sangat bermanfaat untuk pengembangan perekonomian daerah Kalimantan Timur di masa mendatang, terutama bila dikaitkan dengan kebijakan pembangunan infrastruktur, dan isu atau wacana pemekaran wilayah Kalimantan Timur, diantaranya dampak terhadap peningkatan produksi regional, pendapatan rumahtangga, nilai tambah dan perekonomian wilayah secara sektoral maupun antar wilayah. Oleh karena itu dalam studi ini telah digunakan model Input-Output antar wilayah Kalimantan Timur yakni dengan membagi dua wilayah ekonomi menjadi wilayah Kalimantan Timur bagian Selatan (Kaltimsela) dan Kalimantan Timur bagian Utara (Kaltimtara). Berdasarkan analisis dampak multiplier Input-Output antar wilayah Kaltimsela dan Kaltimtara diperoleh gambaran secara umum bahwa sektor bangunan di wilayah Kaltimsela mempunyai dampak multiplier nilai tambah yang paling tinggi yakni sebesar 0.97855, sedangkan di wilayah Kaltimtara adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan angka multiplier nilai tambah sebesar 0.90160. Adapun sektor infrastruktur yang paling besar dampak multiplier terhadap pendapatan rumahtangga di Kalimantan Timur adalah sektor bangunan yaitu masing-masing di wilayah Kaltimsela sebesar 0.28537, dan wilayah Kaltimtara sebesar 0.20554. Sama halnya dengan dampak terhadap pendapatan, sektor infrastruktur yang mempunyai dampak paling besar terhadap tenaga kerja di Provinsi Kalimantan Timur adalah sektor bangunan yaitu masing-masing di wilayah Kaltimsela sebesar 0.03713, dan Kaltimtara sebesar 0.01451. Pembangunan infrastruktur sektor bangunan juga dapat meningkatkan keterkaitan ekonomi antara wilayah selatan dan utara di Provinsi Kalimantan Timur yang lebih besar dibandingkan infrastruktur lainnya. Akan tetapi manfaat ekonomi dari keterkaitan antar wilayah ini lebih banyak diterima oleh wilayah selatan. Misalnya, peningkatan permintaan akhir sektor bangunan di wilayah utara sebesar 1 milyar rupiah mampu menciptakan IFS (interregional feed-back and spill-over) pada output wilayah Kaltimsela sebesar 0.3700 miliar rupiah. Sebaliknya, jika permintaan akhir sektor bangunan di Kaltimsela meningkat sebanyak 1 milyar rupiah, maka output perekonomian wilayah Kaltimtara hanya mendapat efek IFS sebesar 0.0027 milyar rupiah. Terjadi ketidakseimbangan dalam transaksi antarwilayah di sektor bangunan, dimana Kaltimsela lebih banyak menerima manfaat dari Kaltimtara, namun sebaliknya Kaltimsela memberi manfaat yang sedikit terhadap Kaltimtara. Fenomena ketidakseimbangan manfaat transaksi antar wilayah di atas tidak hanya berlaku pada sektor bangunan saja. Untuk semua transaksi antara wilayah Kaltimsela dengan Kaltimtara, khususnya di sektor infrastruktur, seluruh manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh wilayah Kaltimsela. Rata-rata manfaat yang diterima Kaltimsela dalam transaksi antar wilayah dengan Kaltimtara adalah sebesar 6.13%, sementara Kaltimtara hanya mendapat manfaat rata-rata 0.18%. Fenomena ini mengindikasikan adanya backwash effect dari keterkaitan ekonomi antar wilayah di Kalimantan Timur, dimana daerah-daerah yang maju yang umumnya berada di sebelah selatan menerima manfaat ekonomi yang lebih tinggi karena melakukan ekspansi ekonomi ke daerah-daerah sebelah utara yang sebagian besar merupakan daerah kurang berkembang. Kebijakan pembangunan infrastruktur bangunan dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah di Provinsi Kalimantan Timur, yakni upaya untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah tersebut lebih efektif dilakukan apabila fokus pembangunan infrastruktur dikosentrasikan ke wilayah Utara. Keyword:
Judul: Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia. Abstrak:Fenomena Natural Resource Curse (NRC) telah diamati di banyak negara. Istilah resource curse secara resmi pertama kali diperkenalkan oleh Auty pada tahun 1993 setelah penelitiannya menemukan bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya alam tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk mendorong perekonomiannya sehingga memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari negara-negara yang hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit. Sachs dan Warner (1995) adalah yang pertama kali melakukan studi empiris untuk membuktikan adanya pengaruh negatif antara ketergantungan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi. Setelah temuan Sachs dan Warner, banyak kajian empiris dengan berbagai pendekatan dan alat analisis memperkuat temuan tentang adanya fenomena tersebut di banyak negara. Di Indonesia fenomena NRC diduga terjadi di tingkat daerah, namun masih sangat jarang penelitian empiris yang menganalisis secara mendalam fenomena tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengukur indeks NRC di tingkat provinsi di Indonesia; 2) Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi kausal yang dapat menjelaskan terjadinya fenomena NRC di antara provinsi-provinsi penghasil utama tambang di Indonesia; 3) Memprediksi fenomena NRC di provinsi-provinsi tersebut di masa mendatang; dan 4) Melakukan analisis prospektif untuk merumuskan variabel strategis dan peran para stakeholders dalam upaya mengatasi fenomena NRC di provinsi yang mengalami fenomena NRC tertinggi. Penelitian ini menggunakan empat jenis metode analisis. Metode Indeks Komposit digunakan untuk menghitung Natural Resource Dependency Index (NRDI), Regional Sustainable Development Index (RSDI) dan Regional Resource Curse Index (RRCI) di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Kalimantan Utara. Untuk menganalisis kondisi kausal yang dapat menjelaskan terjadinya fenomena NRC pada tujuan kedua digunakan metode fuzzy-set Qualitative-Quantitative Comparative Analysis (fsQCA). Metode Artificial Neural Network (ANN) digunakan untuk menjawab tujuan ketiga yaitu melakukan prediksi fenomena NRC di masa datang. Terakhir, untuk melakukan analisis prospektif pada tujuan keempat digunakan metode MICMAC dan MACTOR. Analisis dibatasi pada sumber daya alam tambang. Analisis pada tujuan pertama hingga ketiga menggunakan data sekunder kurun waktu 2013-2017, sedangkan tujuan keempat menggunakan data primer yang diperoleh dari focus group discussion dan wawancara mendalam dengan sejumlah stakeholders yang terkait dan terlibat dengan pengelolaan sumber daya alam tambang. Hasil penelitian membuktikan bahwa fenomena NRC terjadi di tingkat provinsi di Indonesia. Ada empat temuan terkait hubungan antara tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber daya alam tambang dengan capaian kinerja pembangunan berkelanjutan. Pertama, ketergantungan ekonomi dan keuangan yang besar terhadap sumber daya alam tambang tidak menjamin suatu daerah mampu menciptakan kinerja pembangunan berkelanjutan yang tinggi. Kedua, fenomena NRC lebih rentan terjadi pada provinsi dengan ketergantungan sumber daya alam tambang yang lebih besar. Ketiga, provinsi penghasil minyak dan gas bumi mengalami fenomena NRC yang lebih besar dibandingkan provinsi lain yang hanya mengandalkan mineral dan batubara. Keempat, provinsi dengan skor keberlanjutan yang lebih tinggi dalam pembangunan daerahnya menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk terhindar dari fenomena NRC. Di antara 20 provinsi penghasil utama tambang di Indonesia, Kalimantan Timur merupakan provinsi yang mengalami fenomena NRC paling tinggi, diikuti oleh Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh. Tujuh kondisi kausal membentuk kombinasi pada empat pathway berbeda dan secara baik mampu menjelaskan terjadinya fenomena NRC di 15 provinsi yang dikategorikan mengalami fenomena NRC tinggi. Tujuh kondisi kausal tersebut adalah: 1) rendahnya sumbangan sektor di luar pertambangan dan penggalian terhadap PDRB; 2) banyaknya korupsi pada birokrasi pemerintahan; 3) rendahnya kapasitas dan integritas kepala daerah; 4) rendahnya persentase jumlah ijin usaha pertambangan yang berstatus clean and clear; 5) rendahnya alokasi belanja pemerintah daerah untuk pendidikan; 6) rendahnya alokasi belanja pemerintah daerah untuk kesehatan; dan 7) rendahnya alokasi belanja pemerintah daerah untuk ekonomi. Tingkat korupsi yang tinggi muncul di seluruh pathway dan rendahnya integritas kepala daerah muncul pada pathway yang dilewati oleh sejumlah provinsi yang mengalami fenomena NRC tertinggi. Model ANN memprediksi ke depan bahwa tumbuhnya sektor nonpertambangan, berkurangnya tingkat korupsi pada birokrasi pemerintahan, peningkatan kapasitas dan integritas kepala daerah, peningkatan persentase jumlah ijin usaha pertambangan berstatus clean and clear, kenaikan alokasi belanja pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan dan ekonomi dapat menurunkan besaran fenomena NRC di masa datang pada hampir semua provinsi. Hasil studi kasus di Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa variabel pada dimensi kelembagaan, politik dan tata kelola sumber daya alam menjadi variabel kunci yang menentukan keberhasilan mengatasi fenomena NRC. Variabel tersebut adalah: 1) kapasitas dan integritas kepala daerah; 2) kapasitas dan integritas aparat birokrasi pemerintahan; 3) tingkat korupsi pada bisnis tambang; 4) keberadaan oligarki pada bisnis tambang; 5) transparansi dalam sistem perijinan usaha tambang; 6) koordinasi antar-organisasi pemerintah dalam tata kelola tambang; 7) penegakan hukum; dan 8) pengawasan pemerintah terhadap aktivitas tambang. Variabel-variabel tersebut terutama berpengaruh terhadap variabel lainnya, yaitu: 1) akurasi data produksi yang dilaporkan oleh pengusaha; 2) akurasi pembayaran royalti yang disetorkan oleh pengusaha ke kas negara; 3) pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang; 4) kualitas lingkungan hidup di kawasan tambang dan sekitarnya; dan 5) penanganan konflik yang terjadi antara pengusaha tambang dan masyarakat di kawasan lingkar tambang. Dinas ESDM, inspektur tambang dan Bappeda merupakan influence stakeholder dengan tingkat pengaruh neto paling tinggi. Ketiganya menjadi aktor kunci untuk melakukan perbaikan pada sebagian besar variabel-variabel penting di atas agar dapat mendorong daerah keluar dari fenomena NRC. Upaya tersebut akan semakin kuat jika ketiga aktor tersebut membangun aliansi atau kerja sama yang efektif dengan aktor lainnya. Variabel yang paling efektif untuk memobilitasi para aktor untuk membangun aliansi tersebut adalah variabel reklamasi paska tambang, variabel pengawasan pemerintah terhadap aktivitas tambang dan variabel peningkatan kapasitas dan integritas kepala daerah. Sementara itu, aktor dengan derajat mobilisasi paling tinggi adalah Dinas ESDM dan CSO tambang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah Pusat dalam menentukan kebijakan hubungan keuangan Pusat dan daerah terutama dalam merumuskan formulasi Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan sumber daya alam yang lebih transparan, efisien, akuntabel dan mengedepankan prinsip keadilan bagi daerah penghasil. Perbaikan kualitas kelembagaan pemerintahan harus menjadi perhatian utama. Peningkatan integritas kepala daerah dan birokrasi pemerintah dapat dilakukan dengan membuat regulasi daerah yang mengedepankan aspek partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem perijinan usaha pertambangan. Perlu dilakukan penambahan jumlah inspektur tambang dan penyidik ASN di sektor mineral dan batubara untuk menghindari pelaporan data produksi, penjualan dan pembayaran royalty yang tidak akurat dan berpotensi merugikan keuangan negara. Untuk mengatasi oligarki, diperlukan regulasi yang mewajibkan perusahaan dalam industri tambang untuk mengungkapkan nama pemilik manfaat (beneficiary owner) atau Politically Exposed Person (PEP). Saat ini perusahaan hanya diwajibkan untuk menyebutkan nama dewan direktur dan pemegang saham (pemilik legal). Dalam jangka panjang, perlu disusun sebuah road map daerah untuk melakukan transisi struktur ekonomi dari ekonomi berbasis tambang ke ekonomi berbasis non tambang, serta percepatan transisi energi dari batubara ke energi bersih dan terbarukan. Pemulihan kualitas lingkungan hidup pada kawasan tambang dan sekitarnya perlu didorong dengan penegakan hukum yang lebih berani terhadap pengusaha tambang yang melakukan pelanggaran kewajiban reklamasi dan juga mendorong diterapkannya PP No.46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Keyword:natural resource curse, pembangunan berkelanjutan, fuzzy set qualiquantitative comparative analysis, korupsi, analisis prospektif
Judul: Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia Abstrak:Fenomena Natural Resource Curse (NRC) telah diamati di banyak negara. Istilah resource curse secara resmi pertama kali diperkenalkan oleh Auty pada tahun 1993 setelah penelitiannya menemukan bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya alam tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk mendorong perekonomiannya sehingga memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari negara-negara yang hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit. Sachs dan Warner (1995) adalah yang pertama kali melakukan studi empiris untuk membuktikan adanya pengaruh negatif antara ketergantungan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi. Setelah temuan Sachs dan Warner, banyak kajian empiris dengan berbagai pendekatan dan alat analisis memperkuat temuan tentang adanya fenomena tersebut di banyak negara. Di Indonesia fenomena NRC diduga terjadi di tingkat daerah, namun masih sangat jarang penelitian empiris yang menganalisis secara mendalam fenomena tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengukur indeks NRC di tingkat provinsi di Indonesia; 2) Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi kausal yang dapat menjelaskan terjadinya fenomena NRC di antara provinsi-provinsi penghasil utama tambang di Indonesia; 3) Memprediksi fenomena NRC di provinsi-provinsi tersebut di masa mendatang; dan 4) Melakukan analisis prospektif untuk merumuskan variabel strategis dan peran para stakeholders dalam upaya mengatasi fenomena NRC di provinsi yang mengalami fenomena NRC tertinggi. Penelitian ini menggunakan empat jenis metode analisis. Metode Indeks Komposit digunakan untuk menghitung Natural Resource Dependency Index (NRDI), Regional Sustainable Development Index (RSDI) dan Regional Resource Curse Index (RRCI) di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Kalimantan Utara. Untuk menganalisis kondisi kausal yang dapat menjelaskan terjadinya fenomena NRC pada tujuan kedua digunakan metode fuzzy-set Qualitative-Quantitative Comparative Analysis (fsQCA). Metode Artificial Neural Network (ANN) digunakan untuk menjawab tujuan ketiga yaitu melakukan prediksi fenomena NRC di masa datang. Terakhir, untuk melakukan analisis prospektif pada tujuan keempat digunakan metode MICMAC dan MACTOR. Analisis dibatasi pada sumber daya alam tambang. Analisis pada tujuan pertama hingga ketiga menggunakan data sekunder kurun waktu 2013-2017, sedangkan tujuan keempat menggunakan data primer yang diperoleh dari focus group discussion dan wawancara mendalam dengan sejumlah stakeholders yang terkait dan terlibat dengan pengelolaan sumber daya alam tambang. Hasil penelitian membuktikan bahwa fenomena NRC terjadi di tingkat provinsi di Indonesia. Ada empat temuan terkait hubungan antara tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber daya alam tambang dengan capaian kinerja pembangunan berkelanjutan. Pertama, ketergantungan ekonomi dan keuangan yang besar terhadap sumber daya alam tambang tidak menjamin suatu daerah mampu menciptakan kinerja pembangunan berkelanjutan yang tinggi. Kedua, fenomena NRC lebih rentan terjadi pada provinsi dengan ketergantungan sumber daya alam tambang yang lebih besar. Ketiga, provinsi penghasil minyak dan gas bumi mengalami fenomena NRC yang lebih besar dibandingkan provinsi lain yang hanya mengandalkan mineral dan batubara. Keempat, provinsi dengan skor keberlanjutan yang lebih tinggi dalam pembangunan daerahnya menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk terhindar dari fenomena NRC. Di antara 20 provinsi penghasil utama tambang di Indonesia, Kalimantan Timur merupakan provinsi yang mengalami fenomena NRC paling tinggi, diikuti oleh Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh. Tujuh kondisi kausal membentuk kombinasi pada empat pathway berbeda dan secara baik mampu menjelaskan terjadinya fenomena NRC di 15 provinsi yang dikategorikan mengalami fenomena NRC tinggi. Tujuh kondisi kausal tersebut adalah: 1) rendahnya sumbangan sektor di luar pertambangan dan penggalian terhadap PDRB; 2) banyaknya korupsi pada birokrasi pemerintahan; 3) rendahnya kapasitas dan integritas kepala daerah; 4) rendahnya persentase jumlah ijin usaha pertambangan yang berstatus clean and clear; 5) rendahnya alokasi belanja pemerintah daerah untuk pendidikan; 6) rendahnya alokasi belanja pemerintah daerah untuk kesehatan; dan 7) rendahnya alokasi belanja pemerintah daerah untuk ekonomi. Tingkat korupsi yang tinggi muncul di seluruh pathway dan rendahnya integritas kepala daerah muncul pada pathway yang dilewati oleh sejumlah provinsi yang mengalami fenomena NRC tertinggi. Model ANN memprediksi ke depan bahwa tumbuhnya sektor nonpertambangan, berkurangnya tingkat korupsi pada birokrasi pemerintahan, peningkatan kapasitas dan integritas kepala daerah, peningkatan persentase jumlah ijin usaha pertambangan berstatus clean and clear, kenaikan alokasi belanja pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan dan ekonomi dapat menurunkan besaran fenomena NRC di masa datang pada hampir semua provinsi. Hasil studi kasus di Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa variabel pada dimensi kelembagaan, politik dan tata kelola sumber daya alam menjadi variabel kunci yang menentukan keberhasilan mengatasi fenomena NRC. Variabel tersebut adalah: 1) kapasitas dan integritas kepala daerah; 2) kapasitas dan integritas aparat birokrasi pemerintahan; 3) tingkat korupsi pada bisnis tambang; 4) keberadaan oligarki pada bisnis tambang; 5) transparansi dalam sistem perijinan usaha tambang; 6) koordinasi antar-organisasi pemerintah dalam tata kelola tambang; 7) penegakan hukum; dan 8) pengawasan pemerintah terhadap aktivitas tambang. Variabel-variabel tersebut terutama berpengaruh terhadap variabel lainnya, yaitu: 1) akurasi data produksi yang dilaporkan oleh pengusaha; 2) akurasi pembayaran royalti yang disetorkan oleh pengusaha ke kas negara; 3) pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang; 4) kualitas lingkungan hidup di kawasan tambang dan sekitarnya; dan 5) penanganan konflik yang terjadi antara pengusaha tambang dan masyarakat di kawasan lingkar tambang. Dinas ESDM, inspektur tambang dan Bappeda merupakan influence stakeholder dengan tingkat pengaruh neto paling tinggi. Ketiganya menjadi aktor kunci untuk melakukan perbaikan pada sebagian besar variabel-variabel penting di atas agar dapat mendorong daerah keluar dari fenomena NRC. Upaya tersebut akan semakin kuat jika ketiga aktor tersebut membangun aliansi atau kerja sama yang efektif dengan aktor lainnya. Variabel yang paling efektif untuk memobilitasi para aktor untuk membangun aliansi tersebut adalah variabel reklamasi paska tambang, variabel pengawasan pemerintah terhadap aktivitas tambang dan variabel peningkatan kapasitas dan integritas kepala daerah. Sementara itu, aktor dengan derajat mobilisasi paling tinggi adalah Dinas ESDM dan CSO tambang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah Pusat dalam menentukan kebijakan hubungan keuangan Pusat dan daerah terutama dalam merumuskan formulasi Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan sumber daya alam yang lebih transparan, efisien, akuntabel dan mengedepankan prinsip keadilan bagi daerah penghasil. Perbaikan kualitas kelembagaan pemerintahan harus menjadi perhatian utama. Peningkatan integritas kepala daerah dan birokrasi pemerintah dapat dilakukan dengan membuat regulasi daerah yang mengedepankan aspek partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem perijinan usaha pertambangan. Perlu dilakukan penambahan jumlah inspektur tambang dan penyidik ASN di sektor mineral dan batubara untuk menghindari pelaporan data produksi, penjualan dan pembayaran royalty yang tidak akurat dan berpotensi merugikan keuangan negara. Untuk mengatasi oligarki, diperlukan regulasi yang mewajibkan perusahaan dalam industri tambang untuk mengungkapkan nama pemilik manfaat (beneficiary owner) atau Politically Exposed Person (PEP). Saat ini perusahaan hanya diwajibkan untuk menyebutkan nama dewan direktur dan pemegang saham (pemilik legal). Dalam jangka panjang, perlu disusun sebuah road map daerah untuk melakukan transisi struktur ekonomi dari ekonomi berbasis tambang ke ekonomi berbasis non tambang, serta percepatan transisi energi dari batubara ke energi bersih dan terbarukan. Pemulihan kualitas lingkungan hidup pada kawasan tambang dan sekitarnya perlu didorong dengan penegakan hukum yang lebih berani terhadap pengusaha tambang yang melakukan pelanggaran kewajiban reklamasi dan juga mendorong diterapkannya PP No.46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Keyword:natural resource curse, pembangunan berkelanjutan, fuzzy set qualiquantitative comparative analysis, korupsi, analisis prospektif
Judul: Androgenesis: a breakthrough effort for preparing haploid or double-haploid plants in anthurium Abstrak:Androgenesis via anther or microspore culture is one of important technological breakthrough in producing plant homozygous lines. Conventially, producing the plants is laborious and time consuming. More or less 219 haploid technology protocols for 33 species were established. Ninety percent (90%) of them was established via anther culture and 8% through microscope culture. Keyword:Winarto (MW-1), Rachmawati-3 (MWR-3), Explant Ploidy, Anther and Microspore Culture, Completely Randomized Design
Judul: Praktik Sosial Pilihan Pangan untuk Anak Balita (Studi pada Komunitas Perdesaan Jawa Barat). Abstrak:Tingginya angka prevalensi gizi underweight anak balita pada sebagian besar provinsi di Indonesia menandai bahwa Indonesia sedang menghadapi masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka ini, namun belum sepenuhnya berhasil. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa status gizi dan kesehatan mempunyai kaitan dengan tindakan memilih pangan. Namun demikian, kebanyakan penelitian ini masih sangat menekankan penjelasan otonomi individu dalam menentukan pilihan pangan. Perspektif sosial yang secara khas mengandaikan pilihan pangan sebagai pola aktifitas manusia yang mencerminkan konteks sosialnya, sebagian besar masih terabaikan. Kesenjangan penjelasan bagaimana konteks struktur sosial turut memengaruhi keputusan dan tindakan individu tersebut, sedikit banyak turut andil mengaburkan persoalan dan upaya-upaya transformasi pola diet dan status gizi anak balita. Melalui pisau analisis teori strukturasi (Giddens 2004), kajian ini bermaksud menguak dan menjelaskan sejauhmana struktur sosial memengaruhi praktik pilihan pangan. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menemukan pola-pola praktik pilihan pangan untuk anak usia balita, (2) menganalisis peran struktur dan agensi pada praktik pilihan pangan untuk anak usia balita, (3) menganalisis implikasi praktik pilihan pangan untuk anak usia balita terhadap upaya perbaikan status gizi. Penelitian ini menggunakan metode campuran yaitu: (1) survei dan (2) studi kasus. Pengumpulan data survei dilakukan dengan mewawancarai sebanyak 200 responden menggunakan kuesioner terstruktur. Pengumpulan data studi kasus dilakukan dengan mewawancarai secara mendalam 14 informan kasus dan observasi/pengamatan. Penelitian ini menemukan 6 gejala praktik sosial pilihan pangan yang rutin dilakukan oleh setiap pengelola pangan. Uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tiga kategori praktik dengan status gizi anak, yaitu praktik memonitor asupan pangan sehat, membatasi kesempatan anak memilih pangan sendiri, dan memastikan anak makan full meals. Berdasar pengamatan kasus, teridentifikasi dua kategori praktik yang berpotensi membawa perbaikan status gizi anak balita, yaitu praktik “membatasi kesempatan anak memilih pangan yang diinginkannya (terutama jenis pangan jajanan)” dan praktik “memodifikasi masakan dan menciptakan camilan”. Interplay struktur-agensi pada praktik pilihan pangan tampak jelas dalam kajian ini. Tiga gugus besar struktur yaitu struktur signifikasi, struktur dominasi dan struktur legitimasi yang tidak kasat mata, dalam penelitian ini dapat dirasakan keberadaannya dalam ragam gejala berupa: (1) wacana tentang kualitas pangan sehat dan tidak sehat, pangan pantangan ketika anak sakit, kualitas anak sehat, dan lain-lain (melibatkan skemata simbolik) (2) derajat penguasaan atas ragam pangan yang masuk dari luar komunitas, derajat penguasaan atas penghasilan/sumber finansial, derajat penguasaan lahan, derajat penguasaan sarana transportasi, derajat dukungan keluarga, dan derajat penguasaan atas kehendak anak balita (melibatkan skemata dominasi), dan (3) penerapan sanksi/imbalan atas pelanggaran atau penerapan kebiasaan berpantang pangan untuk anak yang menderita sakit maupun pelanggaran atau penerapan kebiasaan mengabulkan setiap keinginan anak atas pangan (melibatkan skemata legitimasi) Dari ke-enam gejala praktik sosial pilihan pangan, sebagian besar melibatkan peran struktur secara cukup dominan. Bahkan praktik-praktik yang ditengarai melibatkan agensi dari pengelola pangan seperti (1) “praktik membatasi keinginan anak untuk memilih sendiri pangan yang diinginkannya” dan (2) “praktik memodifikasi masakan dan menciptakan camilan”, juga tidak luput dari keterlibatan struktur. Praktik ibu untuk membatasi keinginan anak memilih pangan yang diinginkannya, beroperasi dalam bingkai struktur dominasi alokatif (minimnya kontrol ibu atas sumberdaya finansial). Sementara praktik ibu memodifikasi masakan dan membuat camilan, beroperasi dalam bingkai struktur signifikasi (pemaknaan “enak” seperti apa yang dialami anak) dan dalam bingkai struktur dominasi alokatif (minimnya kontrol ibu atas sumberdaya sarana transportasi). Atas dasar temuan penelitian ini, tesis yang dapat diajukan terdiri dari tiga lapis sub tesis yaitu: (1) Tidak ada tindakan maupun praktik pilihan pangan untuk anak balita yang tidak melibatkan bingkai struktur tertentu, baik apakah berupa skema selera makanan (struktur signifikasi), skema penguasaan atas ketersediaan fasilitas dan kontrol atas pilihan makanan anak (struktur dominasi), maupun skema pembenaran atas pilihan pangan (struktur legitimasi). Ciri tersembunyi kinerja struktur ini sedemikian rupa sehingga cenderung tersisih dalam beberapa penelitian sebelumnya. Lugasnya, bahkan dalam pilihan pangan yang terkesan otonom, kinerja daya struktur begitu nyata. (2) Kinerja struktur dalam tindakan atau praktik pilihan pangan mengungkapkan ciri normatif. Artinya, agar perbaikan mutu pilihan pangan terjadi secara kolektif, pembentukan praktik-praktik baru mengandaikan kemampuan semakin banyak aktor (dalam hal ini para ibu) mengambil jarak (merefleksi/menilai ulang) dari praktik-praktik lama. Dengan pengambilan jarak itu, struktur lama secara perlahan surut dan struktur baru mulai terbentuk melalui rutinisasi praktik-praktik baru. (3) Kedua sub tesis tersebut menunjuk implikasi penting. Tugas sentral pendidikan dan penyuluhan gizi adalah mendampingi semakin banyak aktor (agensi) untuk sanggup mengambil jarak secara kritis dari praktik yang sudah rutin dan memulai praktik-praktik baru yang mengungkapkan pilihan gizi balita lebih berkualitas. Semakin praktik baru itu dilakukan oleh semakin banyak aktor, semakin ciri kolektif itu akan berpotensi menciptakan struktur baru yang membantu perbaikan gizi balita. Kebijakan pemerintah (policy) untuk pangan dan gizi niscaya diperlukan sebagai kerangka politik, tetapi kebijakan terutama bertugas secara regulatif dan insentif membantu pembentukan praktik-praktik baru pilihan gizi balita seluas mungkin hingga menciptakan struktur baru. Keyword:agensi, pilihan pangan, praktik sosial, status gizi, struktur sosial
Judul: Peningkatan Literasi Gizi dan Dampaknya pada Kualitas Diet Remaja pada Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Pascabencana Abstrak:Diet remaja Indonesia saat ini masih tergolong kurang baik. Pada wilayah pascabencana, diet remaja dapat lebih buruk karena kondisi rawan pangan. Banyak faktor yang dapat memengaruhi perilaku gizi pada remaja Theory of Planned Behaviour menekankan bahwa perilaku dipengaruhi oleh niat yang ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan kontrol perilaku. Literasi gizi memainkan peranan penting dalam sikap serta kontrol perilaku individu. literasi gizi juga berhubungan positif dengan kualitas diet sehingga memengaruhi status gizi remaja. Pendidikan gizi merupakan cara yang sering dilakukan untuk mengubah perilaku makan. Pelaksanaannya di sekolah sangat penting dalam membangun dukungan teman sebaya melalui interaksi dalam kelompok hingga mampu meningkatkan norma subjektif individu. Namun remaja sering kesulitan dalam menetapkan prioritas, tujuan dan rencana aksi untuk mengubah perilaku gizinya. Pada kelompok rentan seperti remaja yang berada pada rumah tangga rawan pangan, kunjungan rumah memberikan dukungan pada remaja dan keluarga terhadap kendala yang dihadapi dalam perubahan perilaku makan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kombinasi pendidikan gizi di sekolah dan kunjungan rumah terhadap peningkatan literasi gizi serta dumpaknya pada kualitas diet remaja dan kebiasaan makan ibu pada rumah tangga rawan pangan di wilayah pascabencana. Secara khusus penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi remaja, tingkat ketahanan pangan, literasi gizi, sikap, kontrol perilaku, norma subjektif, niat, kebiasaan makan, kualitas diet, dan status gizi remaja di wilayah pascabencana Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pendahuluan dan intervensi Penelitian dilaksanakan di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada Agustus 2021 hingga Agustus 2022. Dessin penelitian cro-sectional digunakan pada penelitian pendahuluan yang melakukan survei dengan pengambilan sampel secara acak pada empat SMA negeri yang berada di lokasi dekat wilayah paling besar terdampak tsunami, likuifaki dan gempa pada tahun 2018, Total sampel sebanyak 405 remaja berusia 15-17 tahun dengan 395 remaja yang bersedia berpartisipasi hingga pengambilan data selesai. Pada tahap intervensi digunakan desain Chater Randomized Controled Trial (CRCT) dengan alokasi pengacakan random berdasarkan sekolah. Terdapat 52 remaja pada kelompok intervensi dan 53 remaja pada kelompok kontrol yang berpartisipasi hingga akhir penelitian intervensi Kelompok intervensi menerima kombinasi pendidikan gizi di sekolah dan kunjungan rumah. Pendidikan gizi di sekolah diberikan sebanyak delapan sesi, sedangkan kunjungan rumah dengan pendekatan wawancara motivasi dilakukan sebanyak empat kali. Kelompok kontrol menerima leafler diet gizi seimbang. Setiap kelompok mendapatkan kupon makanan yang dapat ditukar dengan bahan makanan. Pengukuran akhir dilaksanakan setelah proses intervensi pendidikan gizi dilakukan selama tiga bulan. Pengukuran lanjutan dilaksanakan setelah tiga bulan intervensi selesai dilaksanakan Analisis multivariat regresi logistik dilakukan untuk mempelajari faktor yang berhubungan dengan kualitas diet remaja dan status gizi remaja. Perbedaan literasi gizi dan kualitas diet serta kebiasaan makan ibu sebelum, setelah, dan tindak lanjut Intervensi pada kelompok intervensi dan kontrol dianalisis melalui uji Wilcoxon dan Mann Whitney. P-value yang digunakan untuk menolak hipotesis adalah <0.05. Sebanyak 61% remaja tinggal pada rumah tangga rawun pangan dengan interactive nutrition literacy (INL) (84,6%) dan critical nutrition literacy (CNL) (84.3%) rendah. Kebiasaan makan bergizi seimbang rendah yaitu sayur (63%). buah (98,2%), sumber protein hewani (63.5%), dan sumber protein nabati (80%) dikonsumsi tidak lebih dari satu kali sehari. Pada kebiasaan makan kurang baik, persentase remaja mengonsumsi makanan berlemak lebih dari satu kali dalam chari (47,1%) lebih tinggi dari persentase nasional. Kualitas diet remaja berdasarkan Indeks Gizi Seimbang (IGS) tergolong rundah. Nilai rata-rata indeks gizi seimbang remaja hanya 22.9% dari skor total. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa functional nutrition literacy (FNL) yang tinggi, kebiasaan makan sumber protein hewani lebih dari satu kali per lar, tidak sakit, dan status gizi normal pada remaja berpengaruh positif pada tingginya kualitas diet (p <0,05). Tingginya kualitas diet juga dipengaruhi oleh kebiasaan minum manis ibu lehth dari sekali sehari, kebiasaan makan manis ibu kurang dari sekali sehari, kebiasaan makan sumber protein hewan ibu kurang dari sekali sehari, norma makan sayur ibu lebih dari satu kali sehari, dan norma makan sumber karbohidrat kurang dari satu kali dalam sehari (p<0,05). Sebagian besar remaja memiliki status gizi baik (normal) berdasarkan indeks missa tubuh menurut umur (77,5%). Jenis kelamin laki-laki, INL rendah, semakin ingin gemuk, serta memiliki asupan air yang renilah berpengaruh positif pada status gin kurang (p<0,05). Sebaliknya, remaja yang memiliki INL tinggi, semakin ingin kurus dan asupan air yang tinggi berpengaruh positif pada status gizi ichih (p< 0.05). Kombinasi pendidikan gizi di sekolah dan kunjungan rumah berpengaruh positif signifikan pada peningkatan FNL dan CNL serta pembentuk perilaku yaitu sikap, kontrol perilaku dan niat serta kebiasaan makan sayur pada remaja. Intervensi pendidikan gizi juga berdampak pada peningkatan kualitas diet remaja dan kebiasaan makan sumber karbohidrat, sayur dan sumber protein hewani pada ibu (p=0.05). Peningkatan FNL, CNL serta komponen pembentuk perilaku yaitu sikap dan mat serta kebiasaan makan sayur pada remaja menetap tiga bulan setelah intervensi, begitu juga dengan kebiasaan makan sumber karbohidrat, sayur dan sumber protein bewani pada ibu. Namun skor kontrol perilaku dan kualitas diet menurun setelah tiga bulan intervensi meskipun nilainya masih di atas skor sebelum intervensi Intervensi pendidikan gizi di sekolah dan kunjungan rumah yang dirancang berdasarkan teori perubahan perilaku, multistrategi dan multikomponen dapat digunakan sebagai strategi peningkatan literasi gizi, kebiasaan makan bergizi eimbang, dan peningkatan kualitas diet pada remaja pada rumah tangga rentan di Wilayah pascabencana. Keyword:ketahanan pangan, kualitas diet, pascabencana, pendidikan gizi, remaja
Judul: Production and formulation of methyl ester sulfonate-based surfactant from palm olein for enhanced oil recovery application Abstrak:The remaining oil in a reservoir that cannot be produced using the natural driving force (primary recovery) is about 50 to 80% of the initial oil volumes (IOIP). A secondary recovery technique such as waterflooding can only increase the recovery as much as 5 to 20% of the IOIP. Therefore, a method known as Enhanced Oil Recovery (EOR) has to be implemented in the reservoir in the effort to recover much more oil. One of the EOR methods is surfactant injection. The injection of surfactant solution is aimed to significantly reduce the capillary forces in the reservoir by lowering the oil-water interfacial tension within the pore spaces. Once the capillary force is diminished, the reservoir oil is much easier to be displaced and moved toward the production wells. This is an excellent opportunity to develop a type of vegetable oil-based surfactants. One of potential surfactant types to develop is methyl ester sulphonate surfactant (MES). This study was aimed at producing MES surfactant and formula-based methyl ester sulfonate surfactant from palm olein to be applied for in the process of improving oil recovery using carbonate formation fluids. Results of the study showed that the best condition was achieved in a sulphonation process done in 3-4 hours with the flowrate of dry air of 1.8 kg/hour and a purification performed without the addition of methanol in a pH of 8. The best MES surfactant-based formula for EOR applications on the formation of carbonate was the one with the composition of 0.3% MES surfactant, 0.3% Na2CO3, and 15,000 ppm salinity. MES surfactant produced from this formula had more heat resistance, higher salinity, and higher hardness than the commercial surfactants did. Results of the performance test of surfactant-based formula showed that the MES surfactant formula was compatible with formation water and injection water. The formed phase was a lower phase which was relatively stable on a heating up to day 77 (reservoir temperature of 70 and 112 °C) with a range of interfacial tension of 10-2 dynes/cm. The adsorption reached 152.86 μg active matter/g core and the incremental oil recovery using synthetic core of 8-19% and using native core of 9.1%. Surfactant solution coreflooding test with bottom-up flow direction resulted in a greater oil recovery (16%) than that with top-down flow direction. This was caused by the influence of gravity. Keyword:Palm Olein
Judul: Pemodelan Linier Sebaran Gamma Dan Pareto Terampat Dengan Regularisasi L1 Pada Statistical Downscaling Untuk Pendugaan Curah Hujan Bulanan Abstrak:Pemodelan Statistical Downscaling (SDS) merupakan suatu teknik dalam klimatologi yang menggunakan pemodelan statistika untuk menganalisis hubungan antara data iklim skala besar (global) dengan data iklim skala kecil (lokal). Pemodelan SDS umumnya melibatkan kovariat skala besar terkondisi buruk (ill-conditioned) (tidak bebas/korelasi tinggi). Teknik-teknik seperti pereduksian dimensi, seleksi peubah, dan penyusutan koefisien (shrinkage) dapat digunakan untuk mengatasinya. Teknik regularisasi L1 merupakan salah satu teknik yang dikembangkan untuk menangani masalah kovariat terkondisi buruk oleh Tibshirani (1996) dengan cara seleksi peubah dan penyusutan koefisien. Penelitian yang dilakukan merupakan kajian tentang penggunaan dan pengembangan teknik regularisasi L1 pada model linier untuk mendapatkan solusi bagi permasalahan kovariat terkondisi buruk dalam pemodelan SDS. Dalam hal ini peubah kovariat mengambil nilai dari luaran model GCM dari CMIP5 dan data observasi GPCP versi 2.2 pada grid domain 7 7 yang ditetapkan di atas wilayah Kabupaten Indramayu. Pemodelan yang digunakan merupakan pemodelan linier berbasis sebaran, yaitu respons diasumsikan berasal dari sebaran normal, sebaran Gamma dan sebaran pareto terampat. Penelitian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kajian pengembangan teknik regularisasi L1 untuk pemodelan linier sebaran Gamma dan sebaran pareto terampat, dan kelompok kajian aplikasi pemodelan SDS untuk pendugaan curah hujan bulanan menggunakan pemodelan linier. Pengembangan teknik regularisasi L1 dilakukan dengan menggunakan teknik optimisasi umum Nelder-Mead. Pada model linier terampat sebaran Gamma, nilai awal parameter diduga melalui teknik iterative reweighted least square (IRWLS), sedangkan pada model linier sebaran pareto terampat nilai awal diduga menggunakan metode IRWLS dan p 6 var(y) p . Teknik optimisasi Nelder-Mead pada pemodelan linier terampat sebaran Gamma berhasil mendapatkan penduga parameter yang konvergen, tetapi pada pemodelan linier sebaran pareto terampat penduga parameter tidak konvergen ke parameter sebenarnya dengan menggunakan data simulasi. Simulasi dilakukan untuk membandingkan teknik regularisasi L1 dengan analisis komponen utama dalam pendugaan respons. Tiga skenario digunakan dalam simulasi, yaitu skenario berdasarkan data kovariat yang digunakan, nilai koefisien bj dan sebaran respons. Dua skenario kovariat digunakan dalam kajian yaitu data observasi GPCP versi 2.2 dan data luaran CMIP5. Skenario koefisien bj diambil dari kombinasi (< 1, 0 dan > 1) dan bj seragam < 1. Skenario sebaran respons yang digunakan adalah sebaran normal, Gamma dan pareto terampat dengan 3 nilai parameter simpangan baku (s) untuk sebaran normal dan 3 nilai parameter bentuk/shape (x) untuk sebaran Gamma dan pareto terampat. Hasil simulasi menunjukkan teknik regularisasi L1 memberikan hasil pendugaan yang lebih baik atau relatif sama baiknya dibanding dengan analisis komponen utama. Teknik lasso (regresi dengan regularisasi L1) pada aplikasi pemodelan SDS memberikan hasil yang lebih baik dalam memprediksi curah hujan di 11 pos hujan di Indramayu dan sekitarnya dibanding dengan metode regresi komponen utama. Pada pendugaan curah hujan menggunakan model linier terampat sebaran Gamma, penambahan peubah dummy bulan mempengaruhi pendugaan curah hujan secara signifikan. Beberapa hasil menunjukkan nilai RMSE dari pendugaan model linier terampat sebaran Gamma memberikan nilai yang lebih kecil dibanding dengan pendugaan dari regresi komponen utama. Tetapi dalam pendugaan nilai ekstrim di atas batas nilai pencilan, pemodelan linier terampat sebaran Gamma memberikan nilai RMSE yang lebih kecil di banding regresi komponen utama. Pada kasus ini, curah hujan ekstrim bulanan lebih baik diduga menggunakan nilai dugaan pada quantil 0.90 dan 0.95. Model linier sebaran pareto terampat memberikan nilai RMSE yang lebih besar pada pendugaan rataan curah hujan bulanan di atas nilai ambang, dibanding dengan model linier terampat sebaran Gamma atau metode regresi komponen utama. Tetapi, pada pendugaan curah hujan bulanan di atas pencilan, model linier sebaran pareto terampat memberikan hasil sama baiknya dibanding dua metode lainnya dengan menggunakan pendugaan quantil 0.90 dan 0.95. Keyword:regularisasi L1, statistical downscaling, model linier terampat sebaran Gamma, model linier sebaran pareto terampat, curah hujan ekstrim, curah hujan ekstrim
Judul: Pemodelan Linier Sebaran Gamma dan Pareto Terampat dengan Regularisasi L1 pada Statistical Downscaling untuk Pendugaan Curah Hujan Bulanan. Aplikasi Pada Pemodelan Curah Hujan di Kabupaten Indramayu Abstrak:Pemodelan Statistical Downscaling (SDS) merupakan suatu teknik dalam klimatologi yang menggunakan pemodelan statistika untuk menganalisis hubungan antara data iklim skala besar (global) dengan data iklim skala kecil (lokal). Pemodelan SDS umumnya melibatkan kovariat skala besar terkondisi buruk (ill-conditioned) (tidak bebas/korelasi tinggi). Teknik-teknik seperti pereduksian dimensi, seleksi peubah, dan penyusutan koefisien (shrinkage) dapat digunakan untuk mengatasinya. Teknik regularisasi L1 merupakan salah satu teknik yang dikembangkan untuk menangani masalah kovariat terkondisi buruk oleh Tibshirani (1996) dengan cara seleksi peubah dan penyusutan koefisien. Penelitian yang dilakukan merupakan kajian tentang penggunaan dan pengembangan teknik regularisasi L1 pada model linier untuk mendapatkan solusi bagi permasalahan kovariat terkondisi buruk dalam pemodelan SDS. Dalam hal ini peubah kovariat mengambil nilai dari luaran model GCM dari CMIP5 dan data observasi GPCP versi 2.2 pada grid domain 7 7 yang ditetapkan di atas wilayah Kabupaten Indramayu. Pemodelan yang digunakan merupakan pemodelan linier berbasis sebaran, yaitu respons diasumsikan berasal dari sebaran normal, sebaran Gamma dan sebaran pareto terampat. Penelitian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kajian pengembangan teknik regularisasi L1 untuk pemodelan linier sebaran Gamma dan sebaran pareto terampat, dan kelompok kajian aplikasi pemodelan SDS untuk pendugaan curah hujan bulanan menggunakan pemodelan linier. Pengembangan teknik regularisasi L1 dilakukan dengan menggunakan teknik optimisasi umum Nelder-Mead. Pada model linier terampat sebaran Gamma, nilai awal parameter diduga melalui teknik iterative reweighted least square (IRWLS), sedangkan pada model linier sebaran pareto terampat nilai awal diduga menggunakan metode IRWLS dan p 6 var(y) p . Teknik optimisasi Nelder-Mead pada pemodelan linier terampat sebaran Gamma berhasil mendapatkan penduga parameter yang konvergen, tetapi pada pemodelan linier sebaran pareto terampat penduga parameter tidak konvergen ke parameter sebenarnya dengan menggunakan data simulasi. Simulasi dilakukan untuk membandingkan teknik regularisasi L1 dengan analisis komponen utama dalam pendugaan respons. Tiga skenario digunakan dalam simulasi, yaitu skenario berdasarkan data kovariat yang digunakan, nilai koefisien bj dan sebaran respons. Dua skenario kovariat digunakan dalam kajian yaitu data observasi GPCP versi 2.2 dan data luaran CMIP5. Skenario koefisien bj diambil dari kombinasi (< 1, 0 dan > 1) dan bj seragam < 1. Skenario sebaran respons yang digunakan adalah sebaran normal, Gamma dan pareto terampat dengan 3 nilai parameter simpangan baku (s) untuk sebaran normal dan 3 nilai parameter bentuk/shape (x) untuk sebaran Gamma dan pareto terampat. Hasil simulasi menunjukkan teknik regularisasi L1 memberikan hasil pendugaan yang lebih baik atau relatif sama baiknya dibanding dengan analisis komponen utama. Teknik lasso (regresi dengan regularisasi L1) pada aplikasi pemodelan SDS memberikan hasil yang lebih baik dalam memprediksi curah hujan di 11 pos hujan di Indramayu dan sekitarnya dibanding dengan metode regresi komponen utama. Pada pendugaan curah hujan menggunakan model linier terampat sebaran Gamma, penambahan peubah dummy bulan mempengaruhi pendugaan curah hujan secara signifikan. Beberapa hasil menunjukkan nilai RMSE dari pendugaan model linier terampat sebaran Gamma memberikan nilai yang lebih kecil dibanding dengan pendugaan dari regresi komponen utama. Tetapi dalam pendugaan nilai ekstrim di atas batas nilai pencilan, pemodelan linier terampat sebaran Gamma memberikan nilai RMSE yang lebih kecil di banding regresi komponen utama. Pada kasus ini, curah hujan ekstrim bulanan lebih baik diduga menggunakan nilai dugaan pada quantil 0.90 dan 0.95. Model linier sebaran pareto terampat memberikan nilai RMSE yang lebih besar pada pendugaan rataan curah hujan bulanan di atas nilai ambang, dibanding dengan model linier terampat sebaran Gamma atau metode regresi komponen utama. Tetapi, pada pendugaan curah hujan bulanan di atas pencilan, model linier sebaran pareto terampat memberikan hasil sama baiknya dibanding dua metode lainnya dengan menggunakan pendugaan quantil 0.90 dan 0.95. Keyword:regularisasi L1, statistical downscaling, model linier terampat sebaran Gamma, model linier sebaran pareto terampat, curah hujan ekstrim
Judul: Antioxidant and anti-platelet aggregation activitie of cassia vera (Cinnamomum burmanni nees ax Blume) bark extract and it’s potency in preventing atherosclerosis in rabbit Abstrak:There has been limited report on the biological activities of cassia vera bark extract and the potency of cassia vera bark extract as antioxidant, anti-platelet aggregation, and anti-hypercholesterolemia, and its function as anti-atheroschlerosis in rabbit in not yet known. Keyword:
Judul: The rehabilitation of actual acid sulphate soils of tidal swamp rice fields by using ameliorant, intensive shallow dranaige system and four rice (Oryza sativa L.) varieties Abstrak:Banyak lahan sawah rawa pasang surut sulfat masam aktual yang ditinggalkan terlantar oleh petani. Kendala utama tanah sulfat masam aktual untuk pertanian adalah tingginya kemasaman tanah (pH <3.5), rendahnya kadar hara serta keracunan besi dan sulfat akibat teroksidasinya pirit. Salah satu pendekatan untuk merehabilitasi lahan sawah pada tanah sulfat masam rawa pasang surut yang sudah menjadi lahan bongkor adalah dengan ameliorasi tanah, menerapkan teknik pengelolaan air dan teknik budidaya tanaman padi. Keyword:
Judul: Penggunaan Rhizobium dan bakteri pelarut fosfat pada tanah mineral masam untuk memperbaiki pertumbuhan bibit sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) Abstrak:The main problem of acid soil is the availability of nutrients and high exchangeable A1 content. Soil acidity will reduce many legum plant growth, decrease number of rhizobia and nodule initiation and inhibit the function and growth of ndule. Based on these problems, the experiment was cmducted to obtain the acid and A1 tolerant strain of Rhizobium isolated from sengon nodules, and to obtain the effective strain of Rhizobium in fixing atmospheric nitrogen, and phosphate solubilizing bacteria in increasing P availability, thus support plant growth. The study was focused on three aspects: ( I ) Research on Rhizobim consist of (a) collection of Ahitobiurn strains from sengon nodules, (b) screening Rhizobium toward acidity and high concentration of Al, (c) screening Rhizobium based on their ability to fix nitrogen, (d) marking the selected Rhizobim with antibiotic, and screening the resistant mutants, (e) assesing the effectiveness of the selected Rhizobim on acid soil in greenhouse; (2) Research on phosphate solubilizing bacteria, consist of (a) isolation of phosphate solubilizing bacteria, (b) selection of phosphate solubilizing bacteria in dissolving P from rock phosphate and Alms in liquid medium and acid soil, (c) identification of selected phosphate solubilizing bacteria, (d) determination of organic acid produced by selective phosphate solubilizing bacteria, (e) assessing the effectiveness of selected phosphate solubilizing bacteria in greenhouse; (3) winmulation between Rhizobim and phosphate solubilizing bactetia in greenhouse and field experiments., Permasalahan yang utama dari tanah masam adalah cadangan unsur hara kesuburan tanah yang rendah, kandungan Al dapat ditukar tinggi, dan mempunyai kapasitas retensi P yang tinggi. Kemasaman tanah pada tanaman leguminosa akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman, jumlah rhizobia dan pembentukan bintil akar berkurang serta terhambatnya fungsi dan perkembangan bintil. Keyword:
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: E-Commerce Design in Palm Oil Agroindustry Supply Chain with Blockchain Approach Abstrak:Perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi ekonomi yang besar bagi Negara. Perkebunan petani swadaya kelapa sawit memberikan kontribusi 35% produksi kelapa sawit kelapa sawit nasional. Perkebunan swadaya lebih mengandalkan pengalaman dan pengetahuan sesama petani. Hal ini membuat rendemen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit tidak maksimal yang mengakibatkan rendahnya nilai jual. Pada pemasaran hasil panen, petani swadaya mengandalkan pedagang yang memiliki akses ke pabrik kelapa sawit. Penentuan harga jual sangat tergantung pada pedagang. Standar harga yang telah ditetapkan pemerintah daerah hanya formalitas, karena perubahan harga tidak langsung sampai kepada petani. Informasi harga dari orang ke orang membuat harga kelapa sawit di tingkat petani sangat rendah. Tidak tersedianya pasar formal seperti pada komoditas karet atau komoditas pertanian lainnya membuat harga pasaran TBS sulit untuk dikontrol oleh pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi konfigurasi dan mekanisme rantai pasok agroindustri kelapa sawit. (2) Melakukan analisis metode Capacitated Vehicle Routing Problem (CVRP) dan Ant Colony untuk rekomendasi rute penjemputan TBS. (3) Merancang e-commerce rantai pasok TBS kelapa sawit. (4) Merancang Prototipe e-commerce rantai pasok kelapa sawit TBS dengan pendekatan blockchain. Metode yang digunakan adalah kerangka Van der Vorst untuk identifikasi konfigurasi bisnis petani swadaya; Metode CVRP dan Ant Colony untuk rekomendasi rute penjemputan TBS; Business Model Process Notation dalam pemodelan transaksi dalam sistem; Metode system development life cycle untuk perancangan sistem. Hasil identifikasi konfigurasi dan mekanisme petani swadaya kelapa sawit, kondisi bisnis rantai pasok melibatkan 6 pelaku utama, yaitu: petani, pengepul, grosir, koperasi, dan pemilik Delivery order (DO) dan PKS. Sementara rantai pasok terjadi di lapangan, ada tiga tingkatan: petani adalah pemilik pertama TBS. Kedua, pengepul, pedagang besar, dan koperasi sebagai pembeli atau pihak kedua pemilik TBS setelah petani. Ketiga PKS adalah pihak yang akan membeli TBS terakhir dari pihak kedua dengan pengantar surat DO, dimana pemilik DO hanya menerima fee dari pihak kedua setelah pembayaran TBS oleh PKS. Analisa rute penjemputan TBS kelapa sawit menggunakan metode capacitated vehicle routing problem dengan algoritma ant colony pada 20 titik penjemputan TBS petani memberikan hasil perhitungan penjemputan yang lebih baik yaitunya dari sisi rata rata isi kapasitas kendaraan yang menuju depot pedagang 7,1 ton/kendaraan dan jumlah rute kendaraan juga lebih sedikit yaitu 9 rute. Pada rute nyata didapatkan rata-rata isi kendaraan yang menuju depot pedagang adalah 6,4 ton/ kendaraan dan jumlah rute kendaraan juga lebih banyak yaitunya 10 rute. Efisiensi. Total jarak tempuh juga lebih efisien yaitu 25 km/hari. Perancangan aplikasi e-commerce rantai pasok TBS kelapa sawit yang menghubungkan petani, pedagang, PKS, dan transportasi. Hasilnya telah berhasil diujicobakan pada 20 Petani, 1 pabrik, dan 3 pedagang dengan nilai indeks ketercapaian aplikasi 90,77 %. Petani dapat mengiklankan panen TBS mereka setelah panen selesai. Iklan TBS Petani akan langsung menjangkau pedagang dan PKS. Bersamaan dengan itu mereka dapat langsung menawarkan TBS Petani. Kecepatan dalam memperoleh TBS sangat penting untuk menjaga kualitas TBS dan kandungan minyak sawit. PKS bisa mendapatkan TBS dengan rantai pasok yang pendek karena bisa langsung ke petani. Mereka mendapatkan harga pertama tanpa perantara. Ketersediaan TBS sesuai kapasitas dan rute penjemputan yang diinginkan. Meminimalkan pedagang dalam menentukan harga TBS pada tingkat petani. Prototipe e-commerce pada rantai pasok TBS kelapa sawit dengan pendekatan blockchain yang telah berhasil dibangun, dan dilakukan pengujian blackbox pada semua fungsi dengan hasil yang berjalan sesuai rencana. Prototipe mampu melakukan fungsi-fungsi transaksi, yaitu: memasukkan penawaran panen TBS yang dilakukan oleh petani dengan atribut nama petani, alamat kebun sawit, jenis bibit, umur sawit, luas lahan, nama kelompok tani, jumlah panen TBS, sertifikat bibit, tanggal panen dan harga TBS. Masukan panen TBS petani akan dikunci dengan hash. Hash sebagai ciri terciptanya blok baru. Tampilan blok baru dapat dilihat oleh semua anggota pengguna pada kolom daftar input panen sawit, untuk melihat secara detail informasi blok yang tercipta, pengguna masuk pada kolom Console data dan hash dari blok terakhir akan terlihat lebih detail pada kolom ini. Pada transaksi pengguna sebagai pembeli, terdapat kolom daftar penawaran sawit dari petani. Pembeli dapat mengajukan penawaran pada semua petani yang masuk, tetapi dilakukan dengan memilih satu petani terlebih dahulu, dan akan ditampilkan secara detail informasi blok yang dipilih. Pembeli harus memasukkan nama, harga penawaran, dan mengklik ajukan sebagai pengakhir. Pengajuan pembeli tampil pada kolom daftar penawaran, selain itu juga terdapat hasil penawaran yang diajukan oleh pembeli lain. Pengajuan pembeli harus menunggu konfirmasi petani, jika disetujui, maka transaksi akan selesai. Semua transaksi yang dilakukan berhasil terkirim dengan ciri hash yang unik pada setiap transaksi yang dibuat. Pada saat transaksi dikirim maka transaksi akan masuk pada semua pengguna, tetapi tujuan transaksi tertuju pada hash yang dituju. Perubahan data transaksi tidak dapat dilakukan, karena setiap transaksi yang terkirim akan dicirikan dengan blok hash yang unik atau tidak sama, hal ini akan menjadikan bukti data transaksi yang kekal. Transparansi data transaksi akan terlihat jelas oleh semua anggota. Ketelusuran sumber TBS yang ditransaksikan dalam sistem akan terekam, dan perlu kejujuran setiap anggota dalam memasukkan data untuk menjaga peforma dari setiap anggota pengguna. Keyword:blockchain, e-commerce, rantai pasok, TBS kelapa sawit
Judul: Design and Build a White Crystal Sugar Agroindustry Supply Chain System Based on Blockchain Technology Abstrak:Rancangan sistem merupakan gambaran, rencana, dan aturan dari elemen- elemen serangkaian operasi. Arsitektur sistem bertujuan untuk memperoleh proses yang optimal serta kinerja efektif dan efisien. Hasil perancangan sistem menjadi strategi perusahaan dalam mengembangkan, menerapkan, dan mengelola sumber daya. Hasil perancangan ini dapat juga sebagai media koordinasi antar pelaku internal maupun eksternal rantai pasok. Rantai pasok modern saat ini sangat kompleks dengan perubahan yang cepat, sehingga pengambil keputusan harus cepat dalam bertindak untuk meningkatkan kinerja berdasarkan data real time. Rantai pasok dalam penelitian ini membahas produk gula kristal putih yang berasal dari tebu dan gula mentah. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah keragaman, ketidakakuratan, serta keterlambatan data yang dibutuhkan tentang jumlah, kualitas serta asal produk gula tersebut. Hal tersebut menyebabkan ketidakpercayaan, keraguan dan kebingungan konsumen pengguna data sepanjang rantai pasok, mengenai kualitas data gula yang beredar di masyarakat maupun web. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi yang dapat menyediakan data dengan cepat, aman, terpercaya dan teritegrasi dari hulu ke hilir secara real time. Teknologi blockchain dapat memberikan solusi pada permasalahan tersebut di atas. Teknologi ini dapat digunakan untuk memperbaiki sistem rantai pasok gula kristal putih melalui desentralisasi pengelolaan data, sehingga memberikan dampak yang signifikan pada keamanan dan transparansi data. Cara kerja blockchain ini di mulai ketika sebuah blok menerima data baru, di mana setiap blok berisikan rangkaian hash kriptografi yang dapat membentuk sebuah jaringan peer to peer. Hash kriptografi mengubah data yang di input menjadi rangkaian kode unik yang dapat mendeteksi adanya kemungkinan kecurangan. Dengan demikian, jaringan peer to peer ini dapat memeriksa dan memastikan data yang masuk kedalam blok tersebut valid. Hal ini karena transaksi data telah diverifikasi dan divalidasi oleh komunitas yang loyal. Pengembangan sistem terdesentralisasi berbasiskan blockchain dapat diintegrasikan dengan smart contract sebagai perangkat lunak yang terotomatisasi. Smart contract disimpan dalam blockchain yang tersebar di setiap node dan dapat dieksekusi jika ada permintaan yang dikirim oleh klien. Hasil dari smart contract berbentuk respon data yang diperlukan secara otomatis. Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan rancangan sistem penerapan teknologi berbasiskan blockchain pada rantai pasok agroindustri gula kristal putih. Tujuan khusus penelitian ini adalah i) mengidentifikasi proses bisnis, ii) merancang prototype yang terpercaya, transparan, aman, immutability dan dapat ditelusuri berbasis smart contract, dan iii) mengimplementasikannya dalam dashboard web aplikasi. Tahapan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan prinsip kerja software development life cycle (SDLC) waterfall. SDLC waterfall bekerja berurutan dan sistematis dengan rangkaian alur sistem yang jelas, di mana setiap informasi akan tercatat dengan tepat dan cepat asalkan memiliki sambungan internet. Prinsip kerja ini sangat sesuai untuk pembuatan aplikasi yang melibatkan banyak pelaku dan prosedur kerja yang kompleks. Tahapan awal penelitian adalah analisis situasional yang menguraikan deskripsi rantai pasok agroindustri gula saat ini. Wawancara serta survey awal dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan sistem yang akan dirancang meliputi pelaku dan tools yang diperlukan. Langkah selanjutnya adalah menganalisis rancangan awal sistem yang menggambarkan use case, BPMN, dan ERD. Representasi sistem selanjutnya adalah merancang model arsitektur, framework serta prototype. Proses implementasi web aplikasi dijalankan dengan menggunakan dashboard yang tersedia dalam server http://68.183.235.127:3002/. Operasi dan pemeliharaan dapat dilakukan berdasarkan source code, proses transaksi dan output yang dihasilkan. Verifikasi dan validasi data dapat dilakukan berdasarkan konsorsium proof of work para komunitas yang aktif dalam jaringan ropsten testnet ethereum. Pengujian keberhasilan input data dilakukan dengan black box testing, dan dikatakan berhasil jika transaksi terexplore pada etherscan. Hasil identifikasi proses bisnis rantai pasok gula kristal putih menunjukkan bahwa ada kebutuhan akan perekaman catatan distribusi atau transaksi data mengenai ketersediaan jumlah, kualitas dan lokasi produk gula. Hal ini untuk kemudahan, keamanan, dan keakuratan data tersebut. Sistem rantai pasok yang dibangun berbasis blockchain ini efektif untuk menyimpan rekaman informasi dan transaksi data, sehingga implementasi sistem ini dapat jauh lebih cepat, efisien dan efektif. Dengan penerapan sistem tersebut maka akan terjadi integrasi antar pelaku di sepanjang rantai pasok. Dalam hal ini, kerangka kerja dan solusi akan terdesentralisasi sebagai sarana untuk pengendalian dan pengawasan distribusi dan transaksi data. Smart contract yang dibangun dapat untuk memastikan aturan khusus yang memungkinkan dan mempromosikan kolaborasi antar pelaku dalam jaringan rantai pasok. Analisis kepercayaan dan keamanan aplikasi menunjukkan bahwa solusi ini dapat mencapai perlindungan terhadap ketersediaan, pengelolaan, integritas, dan akurasi data transaksi pada sistem rantai pasok agroindustri gula kristal putih. Keyword:blockchain technology, Ethereum ropsten testnet, SDLC waterfall, smart contract, sugar supply chain system
Judul: Respons hormonal dan imunologis wanita premenopause terhadap minuman fungsional berbahan dasar susu skim yang disuplementasi dengan isoflavon kedelai dan Zn Abstrak:The decrease of ovarian estrogen level in women causes various menopaused systems of premenopausal women. Along with the decrease of estrogen production, immune system also declines causing degenerative diseases to occur. Keyword:
Judul: Wood decay hazard analyses of residential buildings in Java Island. Abstrak:Dengan jumlah penduduk 136.563.000 jiwa, Pulau Jawa merupakan pulau yang terbanyak dan terpadat penduduknya di Nusantara. Sebagian besar penduduknya tinggal di rumah-rumah yang beresiko tinggi terserang jamur pelapuk kayu karena banyak menggunakan kayu yang tidak awet (non durable species), selain itu juga karena berada di daerah beriklim tropis yang sangat kondusif bagi pertumbuhan jamur pelapuk. Namun hingga kini belum ada informasi ilmiah yang mengungkapkan kelas bahaya pelapukan kayu maupun dampaknya secara teknis dan ekonomis pada perumahan di Pulau Jawa yang sesungguhnya sangat diperlukan sebagai pertimbangan bagi para arsitek, perusahaan konstruksi, instansi pemerintah terkait dan masyarakat umum dalam mengendalikan serangan jamur pelapuk pada bangunan. Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat bahaya pelapukan kayu pada perumahan di Pulau Jawa berdasarkan analisis terhadap kondisi iklim, potensi jamur pelapuk kayu, dan karakteristik bangunan perumahan di Pulau Jawa. Keyword:Paraserianthes falcataria, Schizophyllum commune, Ganoderma applanatum
Judul: Eksplorasi dan identifikasi senyawa anti jamur dari beberapa jenis kayu tropis Abstrak:Widely used wood preservation is made from synthetic chemistry, where the raw material is non-renewable and environmental unfriendly. One solution is to look for alternative preservations using certain extractive substances from a durable tropical wood as a wood preservative. The main objectives of this study were to determine the potential extractive substances in woods of kupa (Syzygium polycephalum (Mig)), pelawan (Tristaniopsis whiteana (Griff)), palepek baringin (Shorea laevis Ridl), and mahalilis (Palaquium sp.), to evaluate the use of extractive substances as anti-fungal wood decay Schizophyllum commune Fries and Pleurotus ostreatus, and to identify the structure of anti-fungal compound. The maceration extraction method used methanol solvent, and multilevel fractionation used n-hexane, chloroform, ethyl acetate and butanol solvents. The extracts, subsequently, were carried out fungus S. commune and P. ostreatus the tests, and CCB preservative was used as negative control. The result showed that the highest extractive content was in S. laevis, followed by Palaquium sp., T. whiteana and S. polycephalum. Moreover, the results of column chromatography showed that ethyl acetate fraction of S. polycephalum was obtained 8 (G.1-G.8) compounds, the fraction of chloroform of T. whiteana was obtained 8 (PL.1-PL.8) compounds, the fraction of butanol of S. laevis was obtained 16 (PB.1-PB.16) compounds and the fractions of chloroform of Palaquium sp. was obtained 5 (M.1-M.5). Based on the maceration extract, fractionation and column chromatography, all the wood types were capable of inhibiting the growth of the fungus S. commune and P. ostreatus. Structure identifications with LC-MS, 1H and 13C NMR anti-fungal compound for G.2, Pl.3, PB.1.1, and M.2 were 3-O-glucosyl-3’,4’,5-trihydroxyflavonol, Heptanoic acid, 2,3-dihydroxyoctadecanoic acid and 2,3-dihydroxypropylpentadecanoate, respectively . Keyword:
Judul: Enrichment of organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in quail products through its supplementation in the diet and its potency of quail eggs as an ingredient in selenium-rich egg juice Abstrak:This study was aimed to achieve an optimum level of combine organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in obtaining the best production and reproduction as well as the highest level of selenium in quail eggs. This study was conducted from January to August 2008. Numbers of observed quails were 720 (360 females and 360 males). The treatments were applied when the quails were six weeks old. Nine treatment diets were: To (commercial diet), T1(0.46 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T2 (0.46 ppm inorganic Se + 87.00 ppm vitamin E), T3 (0.92 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T4 (0.92 ppm inorganic Se +87.00 ppm vitamin E), T5 (0.46 ppm organic Se + 43.50 ppm vitamin E), T6 (0.46 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E), T7(0.92 ppm organic Se + 43.50 vitamin E) and T8(0.92 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E). Keyword:egg yolk, glutathione peroxidase ( GSH-Px), hedonic test, rank test
Judul: Program Pemberdayaan Small And Medium Enterprise Promotion (Smep) Oleh Swisscontact (Studi Kasus: Kelompok Usaha Kecil Jins di Cipulir, Jakarta Selatan ) Abstrak:This research purpose was to analyze the empowerment strategy in Small and Medium Enterprise (SMEP) program and to analyze the empowerment process in SMEP program. This program has operated by Swisscontact (one of the international NGO), and the beneficiaries is a denim cluster in Cipulir. This method research was qualitative method and sampling method was snowball sampling. The result was empowering strategy that Swisscontact use is facilitation strategy. It means the denim cluster in Cipulir is already knows what they problem but they don’t know how to solve it. This strategy make Swisscontact has an agent of change in this SMEP program. The second result was, empowering process in this program split in two phases. First is primer process, in this process the denim cluster in Cipulir having a training to improve their productivity. Second is secondary process, in this process the denim cluster in Cipulir having a group discussion with Swisscontact and other players in this area. The discussion purpose is to encourage and motivated them during this program. Keyword:snowball sampling, denim cluster, Focus Group Discussion, Jakarta, Small and medium businesses
Judul: The analysis of organizational capability and business environment on business performance and its implications for business development in traditional market PD Pasar Jaya Abstrak:Small and Medium Enterprises (SMEs) occupies the largest proportion of the industrial sector and plays an important role in economic development, improvement of social welfare and employment in many countries, especially developing countries (including Indonesia). The contradiction between the role of SMEs and limited capability organization of SMEs is a reality that needs to get its own research. The organizational capability in aspects of program implementation and strategic policy and environmental changes in aspects of availability resources, supplier and buyer power, new competitors, and government regulations are expected to be a factor determining achievement of level of the expected business performance. The purpose of this study is to determine the dominant factors in the organizational capability and corporate environments that have real impact on entrepreneur business performance in specific traditional markets PD Pasar Jaya DKI Jakarta. This study use Analysis of variance (ANOVA) to analyze sales data and the Structural Equation Modeling (SEM) to analyze perception data. In addition, this study tries to propose priority business development strategy which is the result of Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) analysis. Data used in this study are primary and derived from the 260 respondents which are separated in seven markets PD Pasar Jaya selected as research objects. Based on SEM analysis has found dimensions and the dominant factors that affect positive and real. They are technology that perceived as way of working and controlling planned, marketing performance that perceived by loyal customers, sales of qualified product with competitive price, and old customers that move to other sellers. All of these are being stimulus that can improve business performance in aspect of profit. Based on SWOT analysis, it is proposed several business development strategies that will be productive if implemented simultaneously. These strategies include market orientation strategy, (S-O strategies); technology orientation strategy (S-T strategy), market and technology orientation strategy (W-O strategy), human resources development and financial management orientation strategy (W-T strategy). Keyword:SMEs, Small and Medium Enterprises, traditional market, perception scale, organizational capability, environmental business, marketing and business performances, ANOVA, SEM, Structural Equation Modeling, SWOT, development strategy, UKM, pasar tradisional, kapabilitas operasional, kapabilitas manajerial, lingkungan usaha internal, kinerja pemasaran, kinerja bisnis, analysis of variance, Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats, strategi pengembangan.
Judul: Identifikasi Sifat Ketahanan Penyakit Viral Menggunakan Gen Mx sebagai Marka Genetik pada Ayam Tolaki Abstrak:Gen Mx (Myxovirus) memiliki peran penting dalam mengatur dan mengendalikan respon kekebalan tubuh ternak terhadap serangan penyakit viral. Gen Mx pada ayam bersifat native antiviral yang mampu merespon infeksi virus influenza seperti avian influenza. Gen Mx mengkode protein Mx dengan aktivitas antiviral. Polimorfisme nukleotida G/A pada posisi 2.032 gen Mx menghasilkan perubahan pada asam amino 631 dari protein Mx. Substitusi Serin menjadi Asparagin mengindikasikan ayam memiliki kekebalan terhadap penyakit viral. Ayam Tolaki merupakan ayam lokal Indonesia yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Postur dan ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan dengan ayam Kampung, namun memiliki ketahanan terhadap penyakit yang cukup tinggi. Ketahanan terhadap penyakit viral ini diduga kuat dikendalikan oleh gen Mx. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dirancang untuk membuat genotipe ayam Tolaki berbasis gen Mx, melakukan karakterisasi genetik gen Mx dan selanjutnya mengasosiasikan genotipe ayam Tolaki dengan sifat ketahanan penyakit viral dan produksinya. Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi efektivitas gen Mx sebagai kandidat gen penciri dan dihasilkan populasi ayam Tolaki yang tahan terhadap Newcastle Disease (ND) sebagai populasi dasar untuk keperluan seleksi lebih lanjut. Materi penelitian ini terdiri atas : 1) 150 sampel ayam Tolaki, dengan rincian 47 ekor generasi tetua dan 103 ekor generasi anak; 2) Petak berukuran 60x60x40 cm3 yang diletakkan dalam kandang berukuran 5 x 15 m2; 3) DNA sampel berupa DNA gen Mx lokus Hpy81; 4) Primer foward (5’-GCA CTG TCA CCT CTT AAT AGA-3’) dan reverse (5’-GTA TTG GTA GGC TTT GTT GA-3’); 5) Enzim retriksi Hpy81; 6) Gel elektroforesis berupa gel agarose 2% (0.5 g/25 ml 0.5x TBE dan gel dokumentasi visualisasi (gel Alpha Imager); 7) Kit ektraksi Phire Animal Tissue Direct PCR Kit (Thermo Fisher Scientific Inc.), dan 8) Mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Metode penelitian yang digunakan terdiri atas: 1) Metode ekstraksi DNA dari sampel bulu dilakukan menggunakan kit ekstraksi dan ekstraksi DNA sampel darah menggunakan metode phenol-chloroform; 2) Metode amplifikasi DNA dengan PCR; 3) Metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-restriction fragment length polymorphism) untuk mengidentifikasi keragaman genetik gen Mx; 4) Uji Hemaglutinasi (HA) dan uji Hemaglutinasi Inhibition (HI) untuk deteksi antibodi anti ND pada ayam; 5) Uji tantang dengan virus ND gen VII secara tetes mata pada dosis 104 CLD50 /0.5 ml/ekor, dan 6) Metode fenotyping untuk mendapatkan koleksi data sifat produksi melalui pengukuran dan pencatatan. Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah karakterisasi genotipik pada ayam Tolaki berdasarkan gen Mx. Tahap ini melakukan genotyping dengan teknik PCR-RFLP pada exon 13 situs 2032 cDNA gen Mx. Tahap kedua adalah asosiasi genotipe ayam Tolaki berbasis gen Mx dengan sifat produksi dan ketahanannya terhadap infeksi virus ND secara alami. Tahap ketiga adalah asosiasi genotipe ayam Tolaki berbasis gen Mx dengan sifat produksi dan ketahanannya melalui uji tantang virus ND. Studi asosiasi antara genotipe ayam Tolaki berbasis gen Mx dengan sifat yang diamati dianalisis menggunakan prosedur ANOVA. Penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa genotyping dengan PCRRFLP diperoleh fragmen gen Mx polimorfik berukuran 299 pb. Pada situs 2032 cDNA exon 13 gen Mx terdeteksi adanya mutasi basa transisi dari Guanin menjadi Adenin, menyebabkan perubahan asam amino Serin (G) menjadi Asparagin (A). Pemotongan dengan enzim Hpy81 menghasilkan dua alel (A dan G) dan tiga genotipe ayam Tolaki (AA, AG, dan GG). Genotipe AA ditemukan lebih dominan. Frekuensi alel A (0.72) lebih tinggi daripada alel G (0.28). Penelitian tahap kedua diperoleh hasil genotipe ayam Tolaki berdasarkan gen Mx berpengaruh nyata terhadap produksi telur, konversi, berat badan harian dan titer antibodi terhadap ND pada ayam Tolaki. Genotipe AA dan AG memiliki konversi pakan, berat badan harian, daya hidup dan titer antibodi yang lebih tinggi daripada GG. Penelitian tahap akhir melalui uji tantang virus ND gen VIIb (dosis 104 CLD50) menunjukkan ayam telah terinfeksi virus ND velogenik. Indikator ini dapat dilihat dari gejala klinis dan gambaran patologik anatominya. Berdasarkan prosentase daya hidup, titer antibodi serta fenotyping, genotipe AA dan AG memiliki ketahanan terhadap infeksi virus ND yang lebih tinggi dari GG. Ketahanan yang diperoleh ini berdampak secara tidak langsung terhadap produksinya. Genotipe AA dan AG mampu mengeliminir infeksi virus ND, sedangkan pada genotipe GG, patogenitas virus ND menyebabkan kerusakan beberapa organ tubuhnya (limpa, trakea, dan usus) yang berdampak pada terganggunya fungsi sistem organ tubuh sehingga menyebabkan metabolisme tubuh ayam tidak berjalan secara optimal. Hasil penelitian ini bermakna bahwa genotipe ayam Tolaki yang berbeda menunjukkan respon kekebalan terhadap penyakit ND yang berbeda pula. Respon kekebalan ayam Tolaki ini berdampak secara tidak langsung terhadap sifat produksinya. Penelitian ini membuktikan adanya asosiasi genotipe ayam Tolaki berbasis gen Mx|Hpy81 dengan sifat produksi dan sifat antiviral. Genotipe ayam Tolaki yang mengandung alel A memiliki produksi dan ketahanan yang lebih tinggi daripada genotipe ayam yang mengandung alel G. Gen Mx pada lokus Hpy81 efektif digunakan sebagai marka genetik untuk sifat ketahanan ayam lokal terhadap infeksi virus Newcastle Disease. Keyword:ayam Tolaki, gen Mx, antiviral, Newcastle Disease
Judul: Ecosystem Services Assessment for Ecosystem-Based Peatland Management Abstrak:Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan perjalanan politik dan budaya. Pemanfaatan lahan gambut dalam beberapa dekade menunjukan kondisi degradasi yang memprihatinkan. Kondisi ini mengindikasikan pentingnya untuk mengakomodasi nilai ekonomi dan biofisik dari aset ekosistem gambut kedalam kegiatan ekonomi. Interaksi yang kuat antara dinamika tutupan lahan dan pola pemanfaatan lahan telah dikonfirmasi oleh banyak studi. Dalam asumsi ini, intervensi pada jenis pengelolaan lahan akan berpotensi untuk meningkatkan suatu jasa ekosistem dan menurunkan jasa ekosistem lainnya. Pada studi ini, kami melakukan kajian yang komprehensif mengenai pengelolaan lahan gambut berbasis Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG). Pada Bab 3, kami memulai penelitian dengan mengkaji pendekatan dalam penentuan luasan kebakaran lahan gambut, salah satu gangguan pada ekosistem yang menghasilkan kerugian ekonomi dan non-ekonomi. Hasil dari kajian pada Bab 3 digunakan pada Bab 4 untuk mengevaluasi bagaimana sistem pengelolaan lahan gambut menentukan rejim kebakaran pada skala KHG. Di Bab 5, kami melakukan analisis ecosystem accounting dalam skala tabular (non-spasial) untuk mengidentifikasi interaksi dari dua jasa ekosistem esensial: jasa penyediaan sumberdaya material dan bahan pangan, dan jasa penyerapan karbon. Dengan menggunakan hasil dari Bab 5, kami mengembangkan kajian jasa ekosistem berbasis spasial pada Bab 6. Pendekatan spasial jasa ekosistem diujikan pada skenario Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan skenario Indonesia LongTerm Strategy menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau kondisi FOLU Net Sink pada 2030. Hasil dari Bab 6 akan menunjukan kemampuan masing-masing skenario dalam mempertahankan dan/atau meningkatkan peran dan kualitas multi jasa ekosistem di lahan gambut. Untuk mengkaji proses bottom-up dari kegiatan restorasi lahan gambut, kami melakukan kajian sosial di Bab 7 untuk mengidentifikasi peran sektor swasta, sebagai salah satu pemangku kepentingan dan penerima manfaat dari ekosistem lahan gambut. Kajian pada Bab 7 difokuskan pada pengembangan pasar untuk komoditas lahan gambut dan bisnis berbasis jasa lingkungan. Dari hasil kajian di Bab 3, kami menekankan pentingnya untuk menghasilkan data ekosistem lahan gambut yang akurat, terutama data spasial kebakaran lahan gambut. Kebakaran gambut adalah salah satu gangguan ekosistem yang paling dinamik nilainya secara spasial dan temporal. Kami menemukan bahwa pendekatan tradisional yang menggunakan informasi hotspot untuk menetukan areal kebakaran memiliki akurasi dibawah 50%, dimana kebakaran lahan gambut cenderung menjadi overestimate. Pada Bab 4, kami menggunakan informasi spasial kebakaran lahan gambut dan kondisi biofisiknya untuk memahami bagaimana faktor antropogenik menentukan pola kebakaran lahan gambut di wilayah studi. Kami menemukan bahwa tingkat drainase menentukan pola kebakaran di lahan hutan, sedangkan di lahan non-hutan faktor intensitas drainase tidak signifikan. Temuan ini menekankan pentingnya untuk melakukan kegiatan pembasahan kembali di area hutan untuk menurunkan kemungkinan kejadian kebakaran di area dengan kerapatan kanal tinggi. Berdasarkan hasil kajian jasa ekosistem di Bab 5, terdapat tren penurunan jasa regulasi karbon seiring dengan peningkatan nilai jasa penyediaan sumberdaya. Pada Bab 6, kami mencoba mengaplikasikan pendekatan spasial jasa ekosistem pada skenario RTRW dan FOLU Net Sink. Hasil kajian menunjukan, meskipun skenario RTRW mampu menghasilkan manfaat ekonomi tertinggi dari jasa penyediaan sumberdaya material dan bahan pangan, zonasi pemanfaatan lahan pada RTRW tidak mampu mempertahankan dan/atau meningkatkan jasa pengaturan penyerapan karbon. Secara ekologi, skenario FOLU net sink mampu memberikan performa paling optimum untuk manfaat berbasis pasar dan non-pasar. Namun sistem penilaian manfaat lingkungan yang saat ini hanya menangkap manfaat karbon tidak cukup dan tidak sejalan dengan visi besar dalam men dekarbonisasi sektor lahan dan kehutanan. Pada Bab 7, hasil penelitian menunjukan posisi penting sektor swasta dalam mewujudkan target Net Zero Emission. Hasil kajian kami adalah yang pertama yang mengkonfirmasi ketertarikan sektor swasta untuk menyediakan skema pembiayaan untuk pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan. Meskipun pihak swasta mayoritas sudah menjalankan peraturan dan mekansime kebijakan pengelolaan lahan gambut, responden menyatakan masih kurangnya dukungan dan skema insentif oleh pemerintah, terutama untuk menyelesaikan sengketa lahan dengan masyarakat. Untuk meningkatkan partisipasi swasta, pemerintah harus meningkatkan posisi tawar swasta dengan menyediakan lingkungan bisnis yang sesuai untuk pemanfaatan jasa lingkungan. Keyword:ecosystem services, multifunctionality, market benefit, non-market benefit, peatland
Judul: Model Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan Hutan Rakyat di Daerah Tangkapan Air Waduk Jatigede Abstrak:Hutan rakyat memberikan berbagai manfaat baik manfaat lingkungan maupun ekonomi. Manfaat lingkungan hutan rakyat dalam suatu daerah aliran sungai, seperti hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede, diantaranya sebagai pengendali ketersediaan air. Air merupakan public good sehingga keberadaan hutan rakyat memberikan manfaat kepada publik. Saat ini hutan rakyat cenderung baru ditujukan untuk manfaat ekonomi seperti produksi kayu dimana hasilnya dapat di klaim. Lahan hutan rakyat merupakan private property sehingga berimplikasi pada independensi dalam pengambilan keputusan pengelolaan pemiliknya. Independensi tidak hanya berpengaruh pada pengaturan waktu penebangan, tetapi juga berpengaruh terhadap keputusan jenis komoditas yang diusahakan, dan keputusan mempertahankan hutan rakyat atau tidak. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap fungsi hidrologisnya. Agar fungsi hidrologisnya dapat tetap terjaga, maka diperlukan insentif bagi pemilik hutan rakyat. Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh adalah skema pembayaran jasa lingkungan dengan tujuan agar hutan rakyat tetap dipertahankan keberadaannya sekaligus memberikan insentif bagi pemiliknya. Tujuan umum dari penelitian adalah terbangunnya model skema insentif pembayaran jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede. Tujuan tersebut dijabarkan dalam beberapa kajian yaitu 1) menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap fungsi hidrologis di daerah tangkapan air Waduk Jatigede dengan luarannya adalah peran hutan rakyat dan penggunaan lahan lainnya, 2) menganalisis karakteristik kepemilikan lahan dalam kaitannya dengan tingkat kelayakan usaha hutan rakyat dan usaha berbasis lahan, persepsi terhadap hutan rakyat serta ketergantungan masyarakat terhadap lahan. Luarannya adalah tingkat kelayakan usaha hutan rakyat, persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan, dan 3) menganalisis modal sosial masyarakat dan potensi aksi kolektif dengan luarannya adalah tingkat modal sosial masyarakat. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif berdasarkan kebutuhan masing-masing kajian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, semakin sedikit lahan yang tertutupi tanaman, maka semakin besar debit air sungai yang terjadi. Simulasi terhadap penurunan luas hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede telah menyebabkan terjadinya peningkatan debit air, peningkatan surface runoff dan penurunan groundwater. Hal sebaliknya terjadi dimana peningkatan luas hutan rakyat dapat menurunkan jumlah debit air, menurunkan surface runoff dan meningkatkan groundwater. Hal ini menunjukkan bahwa hutan rakyat memiliki peranan dalam mengendalikan ketersediaan air. Bentuk pengelolaan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah lahan khusus ditanami kayu dan lahan pola agroforestry. Bentuk pengelolaan lahan lainnya adalah pola pengelolaan sawah, dan khusus palawija. Semua bentuk iii pengelolaan lahan menguntungkan dan layak untuk diusahakan (NPV > 0, BCR>1 dan IRR > dari tingkat suku bunga yang diharapkan). Perbedaan bentuk pengelolaan mengakibatkan perbedaan nilai parameter kelayakan finansial. Secara umum, nilai parameter NPV meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan dari produk yang dihasilkan. Parameter tingkat bunga pengembalian atas investasi (IRR) tertinggi adalah lahan sawah. Sedangkan parameter BCR menunjukkan bahwa pengelolaan lahan hutan rakyat dengan pola khusus kayu memberikan nilai yang paling tinggi. Meskipun hutan rakyat layak secara finansial dan dalam persepsi masyarakat memiliki manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial, namun kondisi tersebut belum menjamin tidak akan terjadi alih bentuk pengelolaan. Faktor pendorong alih bentuk pengelolaan hutan rakyat diantaranya nilai finansial yang lebih baik pada bentuk pengelolaan lahan lain serta jaminan pasar dari jenis kayu yang ditanam. Mayoritas pemilik hutan rakyat di lokasi penelitian akan tetap mempertahankan hutannya, serta respon masyarakat terhadap kemungkinan insentif jasa lingkungan dimana dapat mengubah keputusan pengelolaan lahan, telah memberikan gambaran bahwa skema insentif jasa lingkungan memiliki peluang untuk diterapkan. Pemberian insentif hendaknya lebih diarahkan pada penghargaan atas upaya masyarakat dalam mengelola hutannya. Penerapan skema pembayaran jasa lingkungan memerlukan aksi kolektif termasuk dari masyarakat pemilik hutan. Aksi kolektif akan lebih mudah dilaksanakan pada masyarakat yang telah memiliki modal sosial yang baik. Modal sosial (trust, norma, jaringan) di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tokoh masyarakat, yaitu tokoh agama atau yang dituakan, adalah pihak yang sangat dipercaya masyarakat. Dalam interaksinya, masyarakat memiliki norma-norma yang menjadi acuan dalam beraktivitas. Interaksi masyarakat dengan sumberdaya alam seperti lahan/hutan diantaranya mengacu pada norma perlindungan terhadap sumber mata air yaitu melakukan penanaman pohon-pohon di sekitarnya. Dalam praktiknya, norma tidak tertulis lebih dipahami masyarakat dibandingkan dengan norma tertulis. Sedangkan perwujudan dari interaksi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lain diantaranya terbentuknya kelompok tani. Kelompok tani sebagai cerminan potensi aksi kolektif dapat diberdayakan dan diperkuat untuk mendukung implementasi skema pembayaran jasa lingkungan Pendekatan yang tepat untuk skema pembayaran jasa lingkungan hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede adalah pendekatan hybrid PES. Pendekatan ini penting mengingat jasa lingkungan yang merupakan public good dalam penyediaannya memerlukan keterlibatan dari pemerintah dan partisipasi dari pihak private secara voluntary. Pendekatan ini juga diperlukan dalam membangun kepercayaan antara penyedia jasa dan pembeli jasa serta penyelarasan dengan peraturan/kebijakan yang berlaku. Dalam implementasinya, keterlibatan stakeholder secara aktif merupakan syarat penting agar skema pembayaran jasa lingkungan dapat berjalan secara efektif. Faktor penting lainnya yang harus dipertimbangkan adalah bentuk pengelolaan lahan yang diijinkan serta payung hukum pelaksanaan skema. Keyword:hutan rakyat, Jatigede, kelembagaan, modal sosial, pembayaran jasa lingkungan
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: Model Komunikasi Penyuluhan Kesehatan dalam Meningkatkan Perilaku Hidup Sehat : Peran Ekuitas Penyuluhan Abstrak:Tujuan pembangunan kesehatan nasional adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu masalah kesehatan di Indonesia adalah terjadinya peningkatan kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM), seperti kanker, stroke, ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. PTM meningkat karena makin banyak masyarakat tidak menjalankan perilaku hidup sehat (PHS). Rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menerapkan perilaku hidup sehat menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah orang yang tidak menjalankan perilaku hidup sehat. Kondisi tersebut juga berlaku di Kota/Kabupaten Bogor dan Tangerang. Salah satu upaya untuk menurunkan jumlah PTM di Indonesia adalah melalui penyuluhan (promosi) kesehatan. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat perilaku hidup sehat dan faktor determinannya dalam konteks masyarakat perkotaan dan perdesaan di Kota/Kabupaten Bogor dan Tangerang dan menganalisis faktor-faktor yang secara nyata memengaruhi perilaku hidup sehat masyarakat di Kota/Kabupaten Bogor dan Tangerang agar pada akhirnya dapat merumuskan strategi komunikasi penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan perilaku hidup sehat masyarakat di Kota/Kabupaten Bogor dan Tangerang. Pada penelitian ini terdapat lima variabel bebas, yaitu karakteristik media (X1), karakteristik komunikator (X2), karakteristik isi pesan (X3), karakteristik komunikan (X4), dan lingkungan sosial (X5). Variabel-variabel dependen yang dipelajari pada penelitian ini adalah ekuitas penyuluhan (Y1), faktor psikologis kesehatan (Y2), dan perilaku hidup sehat (Y3). Pengumpulan data utama dilakukan dengan metode survei di Kota/Kabupaten Bogor dan Tangerang. Sampel penelitian adalah 385 responden yang merupakan penduduk Kota/Kabupaten Bogor dan Tangerang berusia 15 tahun ke atas dan pernah terpapar penyuluhan kesehatan perilaku hidup sehat (PHS), seperti aktivitas fisik, konsumsi buah, konsumsi sayur, cek kesehatan berkala, tidak merokok, tidak minum alkohol, konsumsi herbal. Analisis data dilakukan menggunakan statistik deskriptif, analisis uji beda, dan Structural Equation Modelling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perilaku hidup sehat masyarakat Kota/Kabupaten Bogor dan Tangerang tergolong rendah, baik yang tinggal di perkotaan dan perdesaan. Lebih spesifik, perilaku hidup sehat yang sudah baik adalah perilaku tidak merokok dan tidak minum alkohol. Sementara itu, perilaku hidup sehat yang masih tergolong rendah adalah aktivitas fisik, konsumsi buah, sayur, dan herbal, serta cek kesehatan berkala. Selain itu, terdapat perbedaan persepsi masyarakat perkotaan dan perdesaan secara signifikan terhadap beberapa faktor determinan perilaku hidup sehat, seperti tingkat beberapa faktor determinan perilaku hidup sehat, literasi kesehatan, kebutuhan informasi kesehatan, dukungan keluarga, teman, dan masyarakat, kualitas penyuluhan, sikap, efikasi diri, dan keparahan PTM. Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku hidup sehat masyarakat secara langsung dan signifikan adalah karakteristik media, karakteristik pesan, ekuitas penyuluhan, dan psikologis kesehatan. Di sisi lain, faktor yang berpengaruh positif secara tidak langsung dan signifikan adalah karakteristik media, karakteristik komunikator, karakteristik pesan, karakteristik komunikasi, dan lingkungan sosial. Penelitian ini mengusulkan strategi komunikasi penyuluhan untuk meningkatkan perilaku hidup sehat masyarakat berdasarkan pendekatan model logis. Strategi komunikasi tersebut adalah (1) meningkatkan intensitas penyuluhan kesehatan dengan mengintegrasikan berbagai media komunikasi, seperti media satu arah, semi dua arah, dan dua arah, (2) optimalisasi isi pesan penyuluhan dengan memberikan informasi kesehatan yang informatif, menghibur, dan personalisasi, (3) meningkatkan reputasi komunikator penyuluhan PHS dengan memperhatikan aspek keahlian, daya tarik, dan kredibilitas komunikator, (4) menciptakan dukungan lingkungan sosial, baik di level keluarga, teman, dan masyarakat, dan (5) mengidentifikasi karakteristik masyarakat yang akan menjadi pengguna penyuluhan kesehatan PHS. Pada penelitian ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, penelitian ini tidak menganalisis perbedaan perilaku hidup sehat antara masyarakat yang tidak terkena PTM dan terkena PTM. Penelitian selanjutnya dapat menguji perbedaan kedua masyarakat tersebut, sehingga hasilnya dapat memperkaya model penelitian ini. Kedua, penelitian ini juga dilakukan pada saat berlangsungnya pandemi COVID-19. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat dilakukan setelah pandemi COVID-19 agar diketahui ada tidaknya perbedaan perilaku hidup sehat antara saat pandemi COVID-19 berlangsung dan pascapandemi. Keyword:ekuitas, komunikasi kesehatan, penyakit tidak menular, penyuluhan kesehatan, perilaku hidup sehat
Judul: Komunikasi Pembangunan Kesehatan Program "Community TB Care Aisyiyah" Dalam Meningkatkan Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberculosis Di Kota Makassar Abstrak:Tuberkulosis (TB) telah ada selama ribuan tahun yang lalu dan masih menjadi masalah utama kesehatan global. Hal ini menyebabkan kesakitan bagi sekitar 10 juta orang setiap tahun dan merupakan salah satu dari sepuluh penyebab kematian di seluruh dunia. Selama 5 tahun terakhir telah menjadi penyebab utama kematian dengan peringkat di atas HIV/AIDS. Penanggulangan TB bukan hanya tanggung jawab pemerintah, perlu dukungan dan keterlibatan semua elemen masyarakat, termasuk tokoh masyarakat, tokoh agama dan organisasi masyarakat. Program community TB care diinisiasi Aisyiyah salah satu wadah kegiatan pembangunan di bidang kesehatan, berperan penting untuk berpartisipasi dibidang kesehatan khususnya mengatasi TB. Adapun tujuan program community TB care Aisyiyah adalah meningkatnya kepatuhan pengobatan dan kesembuhan TB yang berujung pada kemandirian individu dan masyarakat menanggulangi TB. Rumusan masalah penelitian ini: (1) Bagaimana kepatuhan pengobatan penderita TB program community TB care Aisyiyah. (2) Bagaimana komunikasi kesehatan yang terjadi pada program community TB care Aisyiyah. (3) Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan penderita TB pada program community TB care Aisyiyah. (4) Bagaimana model meningkatkan kepatuhan pengobatan penderita TB pada program community TB care Aisyiyah. (5) Bagaimana implementasi kegiatan advokasi, komunikasi, mobilisasi sosial dan rehabilitasi program community TB care Aisyiyah. Sedangakn tujuan penelitian ini adalah: (1) Analisis kepatuhan pengobatan penderita TB pada program community TB care Aisyiyah. (2) Analisis komunikasi kesehatan yang terjadi pada program community TB care Aisyiyah. (3) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan penderita TB pada program community TB care Aisyiyah. (4) Rumusan model meningkatkan kepatuhan pengobatan penderita TB program community TB care Aisyiyah. (5) Deskripsi kegiatan advokasi, komunikasi, mobilisasi sosial program community TB care Aisyiyah. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar meliputi: Kecamatan Panakukang, Makassar, Rapoocini dan Tallo pada Bulan Februari sampai Mei 2018. Sampel penelitian adalah penderita TB dalam proses pengobatan yang terdaftar pada program community TB care Aisyiyah Kota Makassar berjumlah 128. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, pengamatan dan wawancara mendalam. Analisis data menggunakan analisis statistik dan kualitatif. Analisis statistik meliputi: deskriptif dan structural equation modeling (SEM) menggunakan bantuan software Smart Partial Least Squares (Smart PLS 2.0). Analisis kualitatif bersifat deskriptif untuk menjelaskan kegiatan advokasi, komunikasi, mobilisasi sosial, dan keberlanjutan program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pengobatan penderita TB pada program community TB care Aisyiyah direfleksikan oleh frekuensi minum obat, kesesuaian dosis dan jadwal pemeriksaan di Kota Makassar tergolong tinggi. Artinya sebagian besar penderita patuh menjalani proses pengobatan. Komunikasi kesehatan program community TB care Aisyiyah yang meliputi: daya tarik pesan kader, komunikasi kader dengan penderita TB, sesama penderita TB lainnya, dan frekuensi komunikasi massa penderita TB termasuk kategori rendah. Faktor penentu yang berpengaruh secara nyata terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB adalah persepsi mengenai TB melalui indikator hambatan yang dirasakan dan efikasi diri. Sedangkan faktor karakteristik individu penderita TB, komunikasi kesehatan, peran kader dan dukungan lingkungan sosial ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kepatuhan pengobatan penderita TB. Model peningkatan kepatuhan pengobatan penderita TB pada program community TB care Aisyiyah Kota Makassar untuk: peningkatan kemampuan komunikasi dan peran kader dalam mengurangi hambatan pengobatan penderita TB, dan penguatan efikasi diri penderita TB melalui peningkatan komunikasi dan peran kader TB. Aspek promotif program melalui kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial. Advokasi sebagai upaya meminta komitmen dan dukungan kebijakan pemerintah Kota Makassar (eksekutif, legislatif) untuk penanggulangan TB dan maksimalisasi pembentukan komunitas masyarakat yang peduli TB. Upaya tersebut dilakukan melalui memperkuat dan mempererat kerjasama dengan elemen masyarakat termasuk internal pengurus Muhammadiyah dan media lokal. Keseluruhan kegiatan advokasi adalah sebuah upaya menghadirkan penanggulangan TB yang berkelanjutan. Pengurus program telah melakukan berbagai program komunikasi. Program komunikasi yang dilakukan disesuaikan dengan target kelompok sasarannya. Kegiatan mobilisasi sosial yang telah dilakukan pengurus program bertujuan meningkatkan partisipasi dan kerjasama berbagai organisasi termasuk masyarakat umum untuk menciptakan kesadaran dan mendukung penanggulangan atau eliminasi TB. Berbagai kegiatan tersebut dilakukan utamanya dalam rangka memperingati hari TB dunia. Pengurus program community TB care Aisyiyah Sulawesi Selatan sebagai Sub Recipient (SR) agar melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program Community TB care Aisyiyah Kota Makassar sebagai Sub Sub Recipient (SSR) khususnya kegiatan pengobatan. Pengurus program community TB care Aisyiyah Kota Makassar sebagai Sub Sub Recipient (SSR) perlu meningkatan kompetensi kader agar perannya sebagai “ujung tombak” di lapangan dapat lebih berpengaruh nyata kepada kepatuhan pengobatan penderita TB. Pengurus program juga agar menjalin kerjasama yang berkesinambungan dengan Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan dalam rangka penanggulangan TB baik yang bersifat kuratif maupun promotif. Bagi Pemerintah Kota Makassar khususnya Dinas Kesehatan dan pihak Legislatif agar secara maksimal memberikan dukungan kebijakan penanggulangan atau eliminasi TB yang bersifat kolaboratif dan berkelanjutan baik yang bersifat pengobatan maupun promotif. Pemerintah Kota Makassar juga agar lebih mendukung dan memperkuat peran kader melalui alokasi anggaran serta peningkatkan kemampuan kader melalui pelatihanpelatihan khususnya kemampuan komunikasi dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Keyword:aisyiyah, community TB care, compliance, health communication, self-efficacy
Judul: Study on dry fractionation behaviour and crystallization kinetics of coconut oil Abstrak:Dry fractionation of oils consists of two stages, namely crystallization to produce solid crystals in a liquid matrices and filtration to separate the crystals formed from a liquid matrix. Changes that occur at the molecular level during the crystallisation process such as nucleation, crystall growth and changes in the phase behavior (folymorphism, solid-solutions). The overall changes at the molecular level is highly influenced by the treatment at the physical level in the form of heat removal. Methods of cooling (crystallization temperature, cooling rate and duration of the crystallization is applied) will largely determine the success of coconut oil fractionation process. This research aims to study the typical fractionation method for coconut oil at pilot plant scale (120 kg) and identify the conditions and essential requirements that must be managed and maintained in a dry fractionation stages of coconut oil; establish the crucial cooling systems in the dry fractionation of coconut oil as a guide in designing practical coconut oil fractionation; establish an effective cooling procedure to produce coconut oil fractions with a high content of MCT; determine the effect of cooling rate and crystallization temperature on the composition and profile of TAG, the kinetics of crystallization and melting properties of coconut oil fractionation products ; determine the relationship (model equations) between the parameters of fractionation with cooling procedure during the crystallization process, to predict the TAG composition, physical and thermal-mechanical properties of fractions produced. Coconut oil is dominant with lauric (C12:O), miristic (C14:0) and caprilic (C8:0)acid which composed the main trilaurin (LaLaLa), caprodilaurin (CaLaLa) and dilauromiristin (LaLaM) TAG. The content of lauric, miristic and caprilic acid in coconut oil are 51.73; 15.57 and 10.61%, respectively; while LaLaLa, CaLaLa and LaLaM TAG are 20.43; 16.23 and 15.38%, respectively. Coconut oil contains medium chain trigliserides (MCT) of 53.71%, trisaturated (St3) of 82.54%, disaturated (St2U) of 14:24%, monosaturated (StU2) of 3:22% and the proportion of high/low-melting TAG (S/L) by 49.25%. Coconut oil has a high SFC at low temperatures and a sharp decline to a temperature of 25 °C and then constant up to a temperature of about 30 ºC. Coconut oil’s SFC with about 32% was measured in temperature interval 21-22 °C, indicating that coconut oil has a good spreadibility at ambient temperature for countries that have 4 seasons. Coconut oil has SMP ranged between 24.5-26.2 °C, the water content of 0.021% and a free fatty acid content of 0.018%. Our study showed that there were three distinct cooling regimes critical to crystallization process, i.e. initial cooling, critical cooling and crystallization regime. Initial cooling was cooling from certain temperature that the oil has been rejuvenated and there was no more crystalized TAG (in this study rejuvenation was done at 70 oC for 10 minutes) to the onzet of oil crystallization temperature. For coconut oil the onzet of crystallization temperature was found at 29 oC. Critical cooling was cooling from the onzet of crystallization temperature (29 °C) to crystallization temperature. We predicted that during the critical cooling regime the crystal nucleation process was intensively occured (propagation). Crystallization regime was cooling to keep the oil temperature constant at predetermined crystallization temperature. It is estimated that crystallization regime was the stage of crystal nuclei merging to form larger crystals (crystal growth). In the first regime, melted coconut oil might be cooled quickly to save time but in the second regime should be done with a cooling rate of less than 0.176 °C/min to produce physically stable crystal. Oil with high MCT content could be obtained from olein fraction of coconut oil. At the crystallization temperature 21.30-21.73 °C for the critical cooling rate between 0.013 to 0.176 °C/min, the higher MCT content of olein fraction were produced by the lower critical cooling rate and the longer crystallization process. Critical cooling rate has positive correlation with the S/L ratio, the content of St3 and SFC profile of olein fraction but has negative correlation with the content of St2U and StU2 TAG. Interval crystallization temperature between 21.30 to 21.73 °C produced the S/L ratio, the content of St3 TAG and SFC profiles of olein fractions lower and the content of St2U and StU2 TAG higher than the temperature interval below or above it. Coconut oil fractionation more effective in hihger crystallization temperature or lower critical cooling rate. In these cooling treatments, St3 TAG which has high melting point would be concentrated at stearin fraction, while St2U and StU2 TAG and MCT would be at olein fraction. Therefore, it will increase melting properties of stearin fraction and decrease olein fraction. Avrami and Gompertz models are able to quantitatively describe coconut oil crystallization kinetics. Lower critical cooling rate decreases Avrami index, crystallization half time and induction time but increases crystallization rate constant and maximum increase rate in crystallization. Crystallization temperature has positive correlation with the crystallization rate contstant and Avrami index but has negative correlation with induction time and maximum increase rate in crystallization. Critical cooling rates and crystallization temperatures only effected on the thermodynamics and crystallization kinetics of coconut oil but not on its polymorphic occurrence. This study had successfully obtained a typical dry fractionation for coconut oil at pilot plant scale (120 kg) and had resulted in an effective cooling procedure to produce oil fractions with physico-chemical properties as expected. Conditions and essential requirements that must be managed and maintained in a dry fractionation stages of coconut oil had been identified and were known, so the fractionation process for specific purposes have been able to be designed practically. Keyword:
Judul: Model Pengelolaan Adaptif Konservasi Penyu di Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat. Abstrak:Perairan Kaimana dan sekitarnya di Papua Barat merupakan tempat bermain bagi keempat jenis penyu, yaitu penyu hijau / nama lokal disebut Jelepi (Chelonia mydas), penyu lekang / Bambawar (Lepidochelys olivacea), penyu sisik / Kerang (Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing / Klep (Dermochelys coriacea). Ketiga jenis penyu, yaitu: penyu hijau, penyu lekang, dan penyu sisik ditemukan melakukan aktifitas peneluran di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat. Kawasan SMPV ditunjuk sebagai kawasan pengelolaan konservasi penyu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Fakfak No. 503/1204 Tahun 1991 sebagai usulan, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.783/Menhut-II/2014 sebagai tindak lanjut penunjukkan kawasan tersebut. Institusional pengelolanya adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat. Kawasan ini belum menjadi bagian dari 9 kawasan konservasi prioritas dalam pengelolaannya. Selama ini, kawasan ini masih dalam tahapan pengusulan sebelum bulan September 2014, ditunjuk menjadi perlindungan kawasan hutan provinsi di Papua dan Papua Barat, dan belum ditata batas. Kebijakan terbaru Tahun 2015 telah mengakomodir pengelolaan di kawasan SMPV, tidak hanya perlindungan kawasan semata. Kantor Seksi KSDA Wilayah IV Kaimana merupakan institusional yang baru dinaikkan status pengelolaan menjadi kantor Seksi Tahun 2008, yang membawahi resort Kaimana dan resort Fakfak. Kawasan yang menjadi salah satu tugasnya adalah di resort Kaimana yaitu kawasan Cagar Alam Pegunungan Kumawa dan Suaka Margasatwa Pulau Venu, dan di resort Fakfak yaitu kawasan Cagar Alam Pegunungan Fakfak (kawasan prioritas) dan Suaka Margasatwa Pulau Sabuda Tuturaga. Di sisi lain, beberapa stakeholder memiliki kepentingan atas kawasan ini, sebelum kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu ditunjuk sebagai bagian dari kawasan hutan propinsi di Papua dan Papua Barat. Kawasan ini juga merupakan “kepemilikan (“Petuanan”)” dari hak ulayat suku Koiway (marga Aituarauw, Samaigrauw, dan Seningrauw). Di satu sisi, kawasan ini merupakan bagian dari pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kaimana berdasarkan Peraturan Daerah No.4 Tahun 2014. Di sisi lain, kawasan ini merupakan bagian dari pengelolaan segitiga terumbu karang dunia di bentang laut Kepala Burung Papua (Huffard et al. 2012; dan Allen & Erdmann 2009). Kawasan ini memiliki potensi keanekaragaman baik di terestrial maupun di perairannya, antara lain: a) habitat bagi penyu bersarang (Huffard et al. 2012; Allen & Erdmann 2012; Parinding 2011; Pada & Andi 2010; Bawole et al. 2009); b) pemanfaatan tradisional oleh masyarakat adat di sebut sasi / Nggama (UNPPKK vi 2005, 2007), berupa teripang, Trochus niloticus, dan Turbo marmoratus; c) terdapat makam tua / keramat dari suku Koiway dan di Pulau Venu, dan pintu antar bagian Timur dan Selatan diyakini sebagai pintu perjalanan para leluhurnya; d) adanya laguna / atol berair asin; dan e) burung maleo, burung elang irian, dan jenis kalong. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat. Metode analisis data digunakan berdasarkan tujuan khususnya, yaitu: 1) Descriptive analysis; 2) Principal Component Analysis (PCA) dan step-wise analysis; 3) Management Effectiveness Tracking Tools (METT); 4) content analysis, dan simple mathematica statistic; 5) UCINET dan NetDraw; 6) Metode pendekatan Soft Systems Methodology dengan aplikasi Vensim digunakan untuk membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV. Hasil penelitian pembangunan model pengelolaan adaptif konservasi penyu ini berhasil ditemukan, antara lain: a) Kelestarian penyu di kawasan SMPV dapat dikontrol dalam pemantauan populasinya, cenderung meningkat, b) pengelolaan kawasan SMPV belum berjalan efektif dalam menjamin kelestaraian penyu, karena ketidakjelasan status hukum kawasn SMPV, c) konsistensi dan koherensi kebijakan pengelolaan konservasi penyu di kawasan SMPV tidak konsisten dan tidak koheren, d) Integrasi sektoral (berbagi keuntungan, berbagi peran, berbagi manfaat, dll) diantara stakeholder utama dibutuhkan dalam pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, dan e) Pembangunan model pengelolaan di kawasan SMPV membutuhkan pembuatan kebijakan dan keputusan pengelolaan yang mampu mengatur pengelolaan berkaitan dengan waktu pengelolaan, jumlah dan lokasi pengambilan atau pemanfaatan sumber daya alamnya. Tindakan pengelolaan adaptif konservasi penyu yang dapat diukur adalah pembuatan kebijakan dan keputusan berkaitan dengan waktu pengelolaan, jumlah pengambilan sumber daya alam, dan lokasi pengambilannya. Adapun institusi tersebut dalam bentuk “Badan Pengelola Multi-stakeholder” sebagai integrasi sektoral dalam pengelolaannya. Keberadaan institusi tersebut adalah setingkat Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kebijakannya mengakomodir kegiatan monitoring populasi penyu dan habitatnya serta pemanfaatannya dalam kesepakatan melalui Lokakarya. Di sisi lain memerlukan blok perlindungan / perlindungan bahari, dan “Blok Multi-Fungsi”. Perubahan status kawasan Suaka Margasatwa (SM) menjadi “Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut” berbasis Penyu. Keyword:“Balai Pengelola Multi-Stakeholder”, “Blok Multi-Fungsi”, media sosial, “Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut” berbasis penyu
Judul: Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Selat Dampier , Kabupaten Radja Ampat Abstrak:Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan. Kawasan Konservasi Perairan di dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 jo UU No 45 Tahun 2009 dikategorikan menjadi 4, yaitu : (a) Taman Nasional Perairan, (b), Suaka Alam Perairan, (c) Taman Wisata Perairan, (d) Suaka Perikanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan RI No. 36/KEPMEN-KP/2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat di Propinsi Papua Barat menetapkan sebagian wilayah perairan Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Selanjutnya kawasan tersebut dikelola sebagai Taman Wisata Perairan . Taman Wisata Perairan (TWP) adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. Taman Wisata Perairan Kepulauan Raja Ampat tersebut terdiri atas 5 area yakni : Perairan Kepulauan Ayau-Asia , Teluk Mayalibit , Selat Dampier , Perairan Kepulauan Misool serta Perairan Kepulauan Kofiau dan Boo. Penelitian dilaksanakan pada salah satu Taman Wisata Perairan di Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan dengan purposive sampling melalui wawancara dan pengisian kuesioner responden, dan pengamatan lapangan (observasi), juga dari berbagai instansi di Kabupaten Raja Ampat Aspek yang diamati meliputi aspek-aspek: biofisik; sosial, ekonomi, dan budaya; dan Kelembagaan . Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap pengambilan data yakni: Oktober - November 2016 dan Oktober – November 2017. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi status keberlanjutan dari pengelolaan kawasan konservasi (zona inti, zona wisata dan zona perikanan) di Selat Dampier . Penelitian ini memiliki empat tujuan khusus, yakni: (1.) menganalis kondisi karang dan biodiversitas ikan karang serta biomasa ikan karang pada zon inti, zona wisata dan zona perikanan tradisional; (2) menganalisis efektivitas zonasi dalam pengelolaan perikanan karang di Selat Dampier ; (4) menentukan tingkat keberlanjutan pengelolaan zona inti, zona wisata dan zona perikanan tradisional di kawasan konservasi Selat Dampier ; (4) merumuskan strategi pengelolaan zona inti, zona wisata, zona perikanan tradisional di KKPD Selat Dampier. Efektivitas zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi diukur dari kelimpahan ikan di setiap zona, tingkat kepatuhan nelayan terhadap zonasi, dan pelanggaran zonasi yang terjadi. Sistem zonasi pada pengelolaan kawasan konservasi di perairan KKP Selat Dampier dapat dikatakan cukup efektif terlihat dari kelimpahan ikan dan biomasa yang cukup tinggi pada zona inti dan zona wisata, serta tingkat kepatuhan nelayan yang cukup tinggi pada masing-masing desa serta perspektif nelayan tentang zonasi yang berada pada kategori baik. Namun penegakan hukum perlu ditegakan karena masih ditemukannya beberapa kasus nelayan dari luar desa zona wisata masih kedapatan melakukan penangkapan dengan jaring insang dasar di zona wisata Saonek, serta melakukan penangkapan dengan alat pancing di zona inti desa Friwen Hasil analisis data menggunakan MDS mendapatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi pada zona wisata berada pada level berkelanjutan sedangkan pada zona inti dan zona perikanan berada pada level yang kurang berkelanjutan . Untuk zona inti dan zona perikanan dimensi yang berada pada level cukup berkelanjutan hanya ekologi dan lingkungan sedangkan dimensi yang lain, yakni ekonomi, sosial, budaya , dan kelembagaan berada pada level kurang berkelanjutan. Hasil tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan kawasan zona inti dan zona perikanan di KKPD Selat Dampier lebih menonjolkan perlindungan/konservasi terhadap sumberdaya hayati perairan tetapi masih sangat sedikit memberikan perhatian terhadap aspek manusia. Oleh karena itu, untuk mencapai sistem pengelolaan yang berkelanjutan maka harus memberikan fokus yang seimbang bagi semua dimensi. Strategi pengelolaan yang disarankan untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan zona inti, zona wisata dan zona perikanan adalah (1) peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan pada ketiga zona melalui penegakan hukum yang tegas seperti pelarangan kegiatan penggunaan alat tangkap dasar yang merusak sumberdaya terumbu karang; (2) penciptaan pasar yang konstinyu bagi nelayan tangkap dan pemilik homeatay wisata, ; (3) melibatkan nelayan/masayarakat dalam pengeloaan KKP secara aktif , serta sinergnitas intra/antar lembaga di setiap stakeholder KKP Selat Dampier. Keyword:Kawasan konservasi, ikan karang, efektivitas zonasi, keberlajutan dan strategi pengelolaan
Judul: penjakit mati budjang dari tjengkeh Abstrak:Already in 1936 AL advocated the extension of the culture of cloves in Indonesia by postulating the first theorem of his thesis: ''The importance of cloves in the industry of native cigarettes called" "kretek", is of such a nature that on account of this reason alone" "it would be remunerative to pay more attention to the culture of" "cloves in the Netherlands East India than has been the case up till" Previously, the Commissioner of State had mentioned in the National Assembly during a crisis-debate on February 10, 1932, that in trying out new sources of prosperity the culture of cloves might prove to be promising. Keyword:
Judul: Evaluation of Potato (Solanum tuberosum L.) Tolerance to Drought under In vitro and In vivo Condition Abstrak:Perubahan iklim menyebabkan kekeringan yang menyebabkan ketersediaan air untuk pertanaman kentang akan berkurang, hal ini karena pertanaman kentang di daerah pegunungan yang pengairannya bergantung pada curah hujan. Tanaman kentang sangat sensitif terhadap cekaman kekeringan dengan penurunan hasil panen yang signifikan. Untuk mengatasi masalah pengairan saat kekeringan dapat menggunakan kentang toleran kekeringan yang dapat berproduksi baik saat tercekam kekeringan. Sistem pergantian pertanaman kentang dengan genotipe toleran terhadap cekaman kekeringan harus berjalan lebih cepat, hal ini dapat dipenuhi melalui siklus pemuliaan yang akurat, salah satunya didukung oleh metode seleksi yang efektif yaitu mudah dan cepat. Tujuan umum penelitian ini untuk mengevaluasi toleransi kekeringan kentang berupa respon morfologi, fisologi dan biokima serta mengembangkan metode seleksi in vitro dan in vivo dalam upaya meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam menetapkan genotipe toleran kekeringan sebagai pendukung ketersediaan pangan. Tujuan khusus penelitian ini untuk (1) memperoleh karakter morfologi dan fisiologi yang dapat dijadikan karakter seleksi serta memperoleh genotipe yang terindikasi toleran kekeringan secara in vitro, (2) memperoleh karakter morfologi dan fisiologi yang dapat dijadikan karakter seleksi serta memperoleh genotipe yang terindikasi toleran kekeringan secara in vivo (3) menjelaskan korelasi antara karakter morfologi dan umbi in vitro dengan umbi in vivo (4) memperoleh informasi kandungan metabolit sekunder yang berasosiasi dengan cekaman kekeringan in vivo. Materi yang digunakan dalam penapisan genotipe toleran kekeringan in vitro adalah koleksi Laboratorium PKHT. Metode yang digunakan adalah penambahan sorbitol (0.1, 0.2, 0.3, 0.4 M) sebagai agen seleksi dalam media induksi tunas, selanjutnya sebagian diamati sebagai respon morfologi dan fisologi sedangkan sebagian lagi dilanjutkan dengan penyiraman media pengumbian untuk melihat respon pengumbian in vitro. Hasil kajian menunjukkan sorbitol 0.2 M dapat digunakan sebagai agen seleksi dalam penapisan in vitro. Penentuan karakter seleksi secara in vitro berdasarkan penurunan relatif dan anilisis ragam menghasilkan karakter panjang akar dan tinggi tanaman yang terpilih menjadi karakter seleksi. Berdasarkan analisis pada karakter seleksi dan hasil umbi in vitro menghasilkan genotipe toleran secara in vitro adalah PKHT4 dan PKHT6. Penapisan secara in vitro dapat digunakan sebagai penapisan awal untuk mendapatkan genotipe toleran. Materi yang digunakan dalam penapisan genotipe toleran kekeringan in vivo adalah koleksi dari Laboratorium PKHT dan dua varietas komersial pembanding. Metode yang digunakan adalah tanaman kentang yang berasal dari planlet yang telah diaklimatisasi tiga kali di budidaya didalam screening house. Setelah tanaman kentang berumur 25 HST dibagi ke dalam tiga kelompok, kelompok pertama adalah kontrol dengan pengairan setiap hari, kelompok kedua dikeringkan tanpa penyiraman selama 21 hari, kelompok ketiga tanaman umur 50 HST dikeringkan tanpa penyiraman selama 14 hari. Setelah perlakuan kekeringan tanaman diairi kembali sampai tanaman kentang umur 90 HST ketiga kelompok dipanen bersamaan. Hasil kajian penapisan genotipe toleran in vivo menunjukkan karakter yang termasuk dalam karakter yang memiliki interaksi tidak saling silang (non-crossover) dapat dijadikan kandidat karakter seleksi yang memiliki potensi dalam pembentukan indeks seleksi. STI (Stress Tolerance Index) sebagai indeks toleransi dapat membedakan kelompok koleksi PKHT IPB yang memiliki keunggulan di lingkungan optimal maupun tercekam dengan genotipe komersial. Analisis komponen utama Indeks seleksi STI yang terbentuk adalah 0.64 bobot segar umbi+0.46 bobot kering batang+0.61 bobot kering umbi. Berdasarkan cluster heat map dan pemetaan STI Indeks seleksi pada kekeringan 25 HST dengan STI stomata kekeringan 25 HST genotipe PKHT7 dan PKHT6 berpotensi toleran kekeringan pada umur 25 HST maupun 50 HST sedangkan PKHT4 berpotensi toleran bila kekeringan pada umur 25 HST di mana ketiga genotipe memiliki mekanisme penangkapan karbon yang berbeda karena ketiga genotipe toleran memiliki kerapatan stomata saat kekeringan ada yang meningkatkan namun ada genotipe toleran yang menurunkan kerapatan stomata. Hasil kajian korelasi morfologi dan umbi in vitro dengan umbi in vivo menunjukkan karakter panjang akar dan tinggi tanaman in vitro merupakan karakter seleksi in vitro yang dapat memprediksi genotipe toleran kekeringan secara in vivo saat umur tanaman 25 HST namun tidak dapat memprediksi genotipe toleran kekeringannya secara in vivo saat umur tanaman 50 hari. PKHT4 dan PKHT6 merupakan genotipe toleran terhadap kekeringan berdasarkan karakter seleksi in vitro. Hasil kajian metabolit sekunder umbi kentang yang berasosiasi dengan cekaman kekeringan menunjukkan ada tiga kelompok di mana senyawa dalam kelompok A merupakan senyawa yang selalu dimetabolisme pada umbi kentang, kelompok B sebagian besar terinduksi pada genotipe PKHT4, hanya sebagian kecil yang terinduksi pada genotipe Granola dan PKHT6, kelompok C adalah kelompok senyawa yang sebagian besar terinduksi pada PKHT6. Senyawa penciri kekeringan pada kelompok A adalah stigmasterol, pada kelompok B adalah 5 - [2 -(Dimethylamino)ethyl] – 2 - (4-methoxyphenyl) – 4 – oxo - 2, 3, 4, 5 – tetrahydro -1,5 benzothiazepin – 3 – yl - acetate dengan nama dagang Diltiazem dan pada kelompok C adalah 9,12,15 - Octadecatrienoic acid, ethyl ester, dengan nama lain ethyl linolenate., Climate change causes drought, and if there is a drought, the availability of water for potato planting will decrease, this is because potato cultivation is in mountainous areas whose irrigation depends on rainfall. Potato plants are very sensitive to drought stress with a significant reduction in yields. To overcome the problem of watering during drought, drought tolerant potatoes can be used which can produce well when stressed by drought. The replacement system for drought-tolerant varieties must run faster, this can be met through an accurate breeding cycle, one of which is supported by an effective selection method that is easy and fast. The general purpose of this study was to evaluate potato drought tolerance in the form of morphological, physiological and biochemical responses and to develop in vitro and in vivo selection methods in an effort to increase efficiency and accuracy in determining drought tolerant genotipes as a supporter of food availability. The specific objectives of this study were to (1) obtain morphological and physiological characters that could be used as selection characters and obtain genotipes indicated to be drought tolerant in vitro, (2) obtain morphological and physiological characters that could be used as selection characters and obtain genotipes indicated to be drought tolerant in vitro. in vivo (3) explained the correlation between morphological characters and tubers in vitro with tubers in vivo (4) obtained information on the content of secondary metabolites associated with drought stress in vivo. The material used in screening for drought tolerant genotipes in vitro is the collection of the PKHT Laboratory. The method used was the addition of sorbitol (0.1, 0.2, 0.3, 0.4 M) as a selection agent in the shoot induction medium, then some were observed as a morphological and physiological response, while the other was followed by watering the tuber media to see the tuber response in vitro. The results showed that 0.2 M sorbitol could be used as a selection agent in in vitro screening. Determination of the selection character in vitro based on relative decline and analysis of variance resulted in the character of root length and plant height being selected as selection characters. Based on the analysis of the selection character and in vitro tuber yield, the in vitro tolerant genotipes were PKHT4 and PKHT6. In vitro screening can be used as an initial screening to obtain tolerant genotipes. The material used in this research is a collection from the PKHT Laboratory. The method used is potato plants derived from plantlets that have been acclimatized three times in cultivation in the screening house. After 25 DAP potato plants were divided into three groups, the first group was control with daily irrigation, the second group was dried without watering for 21 days, and the third group was dried without watering for 14 days. After the drought treatment, the plants were irrigated again until the potato plants were 90 DAP, the three groups were harvested simultaneously. The results of the in vivo tolerant genotipe screening study showed that characters belonging to characters that had non-crossover interactions could be used as candidate selection characters that have the potential to form a selection index. STI as a tolerance index can distinguish IPB PKHT collection groups that have advantages in optimal or stressed environments with commercial genotipes. Main component analysis The STI selection index formed was 0.64 fresh weight of tubers + 0.46 dry weight of stems + 0.61 dry weight of tubers. Based on the cluster heatmap and STI mapping, the selection index at 25 DAP drought with STI drought stomata at 25 DAP genotipes PKHT7 and PKHT6 were potentially drought tolerant at 25 DAP and 50 DAP, while PKHT4 was potentially drought tolerant at 25 DAP where the three genotipes had different carbon capture mechanisms. The results of the study of the correlation of morphology and in vitro tubers with in vivo tubers showed that the characters of root length and plant height in vitro were in vitro selection characters that could predict drought tolerant genotipes in vivo at 25 DAP but could not predict their drought tolerant genotipes in vivo at 25 HST. crop 50 days. PKHT4 and PKHT6 are drought tolerant genotipes based on in vitro selection characters. The results of the study of secondary metabolites of potato tubers associated with drought stress showed that there were three groups where the compounds in group A were compounds that were always metabolized in potato tubers, group B was mostly induced in the PKHT4 genotipe, only a small part was induced in the Granola genotipe and PKHT6, group C is a group of compounds that are mostly induced in PKHT6. The dryness marker compound in group A is stigmasterol, in group B is 5-[2-(Dimethylamino)ethyl]-2-(4-methoxyphenyl)-4-oxo-2,3,4,5-tetrahydro-1,5 benzothiazepine -3-yl-acetate with the trade name Diltiazem and in group C is 9,12,15-Octadecatrienoic acid, ethyl ester, with another name ethyl linolenate. Keyword:Solanum tuberosum,, sorbitol, drought tolerance, selection character,, in vitro, in vivo,, drought marker compounds
Judul: Study of Tolerance of Cocoa Prope legitimate Seeds Under Drought Stress Abstrak:Kondisi kekeringan merupakan ancaman bagi budidaya tanaman kakao, karena mengakibatkan kematian benih, menurunkan produksi, meningkatkan serangan hama dan penyakit, serta degradasi lahan. Benih kakao yang toleran dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan akibat cekaman kekeringan. Keberadaan batang bawah yang toleran kekeringan sangat bermanfaat dalam pemuliaan benih kakao, karena peranannya yang berhubungan langsung dengan kondisi defisit air pada lingkungan tumbuh tanaman. Batang bawah kakao dapat diproduksi dari perbanyakan biji propelegitim yang tersedia banyak. Benih asal biji propelegitim menjadi alternatif untuk batang bawah kakao yang toleran kekeringan. Tujuan umum penelitian adalah untuk mendapatkan genotipe benih propelegitim kakao harapan yang bersifat toleran kekeringan untuk digunakan sebagai batang bawah kakao. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi toleransi kekeringan benih propelegitim terhadap cekaman kekeringan, (2) mengidentifikasi karakter fisiologi dari genotipe benih propelegitem pada kondisi kekeringan, (3) mengidentifikasi toleransi biji propelegitim terhadap cekaman kekeringan, dan (4) mengidentifikasi sifat toleran kekeringam berbasis marka spesifik asal gen DREB2. Materi genetik koleksi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) yang terdiri dari 13 klon kakao lindak, yaitu KW 516, KW 617, KW 641, ICCRI 03, Scavina 06, TSH 858, KEE 02, KKM 22, ICS 60, MCC 02, Sulawesi 01, Sulawesi 02, dan Sulawesi 03. Materi genetik merupakan klon-klon unggulan yang diantaranya yaitu KW 516, KW 641, Sulawesi 01, Sulawesi 03, dan KKM 22 terindikasi bersifat toleran, sedangkan ICS 60 tergolong peka. Hasil seleksi toleransi kekeringan benih yang ditumbuhkan pada media tanam berkadar lengas air 25 %, mendapatkan bobot basah akar sebagai kriteria untuk membedakan sifat toleransi kekeringan benih. Analisis indek sensitivitas kekeringan (ISK) dan penurunan relatif (PR) terhadap karakter seleksi mendapatkan 2 tipe sifat toleransi kekeringan pada genotipe benih, yaitu: (1) genotipe bersifat toleran moderat meliputi genotipe benih asal klon KKM 22, ICCRI 03, ICS 60, TSH 858, MCC 02, dan KW 641; dan (2) genotipe bersifat peka meliputi genotipe benih asal klon Scavina 06, KW 516, Sulawesi 01, KEE 02, Sulawesi 03, KW 617, dan Sulawesi 02. Hasil identifikasi terhadap kandungan air relatif, densitas stomata, dan kandungan prolin dari genotipe benih propelegitim yang mengalami cekaman kekeringan, mendapatkan; (1) cekaman kekeringan menyebabkan perubahan signifikan terhadap kandungan air relatif dan kandungan prolin, tetapi tidak mempengaruhi densitas stomata pada genotipe benih, (2) Sebagian genotipe benih bersifat toleran mengalami penurunan kandungan air relatif dan kenaikan prolin yang signifikan berbeda terhadap genotipe benih bersifat peka, sedangkanpenurunan densitas stomata antara kedua kelompok benih cenderung tidak berbeda. Evaluasi sifat toleransi kekeringan pada stadia perkecambahan dalam media yang diinduksi larutan PEG, menjadikan karakter daya berkecambah sebagai kriteria seleksi untuk menentukan toleransi kekeringan dari genotipe biji. Analisis indek senstivitas kekeringan (ISK) dan penurunan relatif (PR) karakter daya berkecambah didapatkan 6 (enam) genotipe biji bersifat toleran moderat, yaitu genotipe biji asal klon Scavina 06, KW 641, ICCRI 03, KW 617, TSH 858, dan Sulawesi 02; dan 7 (tujuh) genotipe biji bersifat peka, yaitu genotipe biji asal klon Sulawesi 03, KEE 02, KKM 22, ICS 60, MCC 02, KW 516, dan Sulawesi 01. Pendugaan sifat toleransi kekeringan klon dan genotipe benih berbasis marka gen DREB2 menunjukkan: (1) 12 klon selain TSH 858 memiliki gen DREB2 atau terindikasi bersifat toleran, (2) benih yang memiliki gen DREB2 atau terindikasi bersifat toleran antara lain genotipe benih asal KW 617, Sulawesi 03, Sulawesi 01, KW 516, KKM 22, dan ICCRI 03, dan (3) sekuensing terhadap DNA DREB2 asal klon mendapatkan sejumah kecil perubahan pada runutan basa nukleotida DNA_F (forward) dan DNA_R (reverse). Perubahan basa nukleotida pada tiap-tiap sekuen terindikasi akibat mutasi dari proses substitusi, tranversi, delesi, dan insersi. Analisis kemiripan tipe mutasi dan jumlah perubahan basa mendapatkan 11 sekuen DNA DREB2 asal klon tetua yang memiliki tingat kemiripan 72.26 %, sedangkan sekuen DNA DREB2 asal klon Scavina 06 memiliki tingkat kemiripan paling rendah. Mutasi pada basa nukleotida menghasilkan keragaman pada sekeun DNA_F dan DNA_R asal klon tetua, sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengelompokkan sekeun DNA DREB2 pada hasil analisis filogenetik . Berdasarkan hasi studi didapatkan hasil inkonsistensi pada sifat toleran kekeringan. Terdapat genotipe yang bersifat toleran pada fase benih menunjukkan sifat peka pada fase biji atau berdasarkan marka gen DREB2. Inkonsistesi sifat toleransi kekeringan diduga karena keragaman sifat ketahanan yang diwarisi oleh genotipe progeni (benih atau biji) propelegitim dari klon tetua yang bersari bebas. Klon tetua yang bersilang acak memungkinkan terjadinya proses rekombinasi genetik yang akan diwariskan pada keturunannya (progeni). Sifat atau karakter tanaman tidak dikendalikan oleh satu gen, melainkan setiap gen berinteraksi dengan gen lainnya dalam membentuk fenotipe. Kata kunci: Benih, propelegitim, kakao, toleransi kekeringan, Drought conditions are a threat to cocoa cultivation, because they cause the death of seedling, decreasing production, increasing pest and disease, and degrading the land. Tolerant cocoa seedlings are needed to overcome problems caused by drought stress. The existence of drought-resistant rootstocks is very useful in breeding the tolerant cocoa seedlings because this is directly related to water deficit conditions in the plant's growing environment. Cocoa rootstock can be produced from the propagation of widely available prope legitimate seeds. The prope legitimate seeds are an alternative for drought-tolerant cocoa rootstock. The general objective of the study was to obtain the drought tolerance genotypes of the expected cocoa prope legitimate for rootstock. The specific objectives of this study were to: (1) identify the drought tolerance of prope legitimate seedlings to drought stress, (2) identify the physiological characteristics of the prope legitimate seedling genotypes under drought conditions, (3) identify the tolerance of the prope legitimate seeds to drought stress, and (4) identify drought tolerant based on the DREB2 gene marker. The genetic material collected by the Indonesian Coffee and Cocoa Research Center (Puslitkoka) consisting of 13 cocoa clones, namely KW 516, KW 617, KW 641, ICCRI 03, Scavina 06, TSH 858, KEE 02, KKM 22, ICS 60, MCC 02, Sulawesi 01, Sulawesi 02, and Sulawesi 03. Genetic material is superior clones, including KW 516, KW 641, Sulawesi 01, Sulawesi 03, and KKM 22 indicated as tolerant, while ICS 60 is classified as sensitive. The results of the drought tolerance selection for seedlings grown on a 25% moisture content planting medium obtained the root wet weight as a criterion to differentiate the drought tolerance properties of seeds. Analysis of the drought susceptibility index (DSI) and relative reduction (RR) on the character selection obtained 2 types of drought tolerance traits in the seed genotype, namely: (1) the genotype was moderately tolerant including the genotype of seeds from clone KKM 22, ICCRI 03, ICS 60, TSH 858, MCC 02, and KW 641; and (2) sensitive genotypes include seed genotypes from clones of Scavina 06, KW 516, Sulawesi 01, KEE 02, Sulawesi 03, KW 617, and Sulawesi 02. The identification results of the relative water content, stomatal density, and proline content of the prope legitimate seedling genotypes experiencing drought stress, obtained; (1) drought stress caused significant changes in relative water content and proline content, but did not affect stomatal density in seedling genotypes, (2) Some of the tolerance genotypes were showed a decrease in relative water content and a significantly different increase in a proline to the sensitive genotypes, whereas the decrease in stomata density between the two groups of seedling genotypes were not different. The evaluation of drought tolerance for the germination stage in media induced by PEG solution, obtained the character of germination capacity as a selection criterion to determine drought tolerance of seed genotypes. Analysis of drought susceptibility index (DSI) and relative reduction (RR) of germination character showed that 6 (six) of the seed genotypes were moderately tolerant, namely the genotypes from clones of Scavina 06, KW 641, ICCRI 03, KW 617, TSH 858, and Sulawesi 02; and 7 (seven) of the sensitive seed genotypes, namely the genotypes from clones of Sulawesi 03, KEE 02, KKM 22, ICS 60, MCC 02, KW 516, and Sulawesi 01. The estimation of the drought tolerance of clones and seedlings based on DREB2 gene markers showed: (1) 12 clones other than TSH 858 had DREB2 genes or indicated to be tolerant, (2) the seedlings that had DREB2 genes or indicated to be tolerant, among others, genotypes of seeds from KW 617, Sulawesi 03, Sulawesi 01, KW 516, KKM 22, and ICCRI 03, and (3) sequencing of DREB2 DNA from clones obtained a small number of changes in the DNA_F (forward) and DNA_R (reverse) nucleotide base sequences. Changes in nucleotide bases in each sequence were indicated as the result of mutations from the substitution, transversion, deletion, and insertion processes. Analysis of the similarity of mutation type and number of base changes obtained the eleven (11) DREB2 DNA sequences from parent clones which had a similarity level of 72.26%, while DREB2 DNA sequences from Scavina 06 clone had the lowest similarity level. The mutations of the nucleotide bases resulted in variations of the DNA_F and DNA_R sequences from the parent clones, as shown by DREB2 DNA sequence grouping in the results of the phylogenetic analysis. Based on the results of the study, inconsistency results were obtained of the drought-tolerant. There are genotypes that are tolerant at the seedling stage showing sensitivity in the seed stage or based on DREB2 gene markers. The inconsistency of the drought-tolerant is thought to be due to the diversity of the resistance traits inherited by the progeny genotype (seedlings or seeds) of the prope legitimate from randomly crossed parental clones. The parental clones that cross randomly allow the genetic recombination process to be inherited from the offspring/progeny. The characters are not controlled by one gene, but each gene interacts with other genes to form phenotypes. Keywords: Seedlings, prope legitimate, cocoa, drought tolerance Keyword:Seedlings, prope legitimate, cocoa, drought tolerance
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Morfophysiology responses of Al tolerant and sensitive grasses through to the application of microorganism and soil conditioner Abstrak:Umumnya lahan yang digunakan untuk penanaman hijauan makanan ternak adalah Tahun kelas IV ke atas yang merupakan lahan-lahan merjinal dengan pH masam. Jenis tanah masam yang paling luas di Indonesia adalah tanah podzolik merah kuning meliputi 10% luasan daratan Indonesia. Keyword:
Judul: Monophysiology Responses of AI Tolerant and Sensitive Grasses through to the Application of Microorganism and Soil Conditioner. Abstrak:Umumnya lahan yang digunakan untuk penanaman hijauan makanan temak adalah lahan kelas IV ke atas yang merupakan laban-laban marjinai dengan pH masatn. Jenis tanah masam yang psiing luas di Indonesia adalah mnah podzolik merah kuning meliputi 30 % luasan daIatan Indonesia. Pennasalahan yang dihadapi pada tanah podzolik merah kuning yaitu 1) tingginya konsentrasi H\ Al, Fe dan Mn, 2) rendahnya unsur hara seperti P, N, K, Ca, Mg, dan Mo, 3) penghambatan pertumbuhan akar dan penyerapan air dan unsur hara Untuk mengatasi masalab tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cam yaitu I) penambahan pembenah tanah (kapur, asam humat), 2) penggunaan jenis menaman yang toleran, 3) penambahan mikroorganisme tanah potensial (Cendawan mikoriza Arbuskula, mikroorganisme pelarut fosfat, dan mikroorganisme penambat nitrogen). Penelitian ini terdiri dari 7 percobaan yaitu : 1) identiftkasi eumput toleran dan peka terhadap aluminium 2) kompatabilitas rumput toleran dan peka aluminium terhadap beberapajenis Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA), 3) respon rumpu! toleran dan peka aluminium terhadap penambahan CMA dan asam humat, 4) Mikroorganisme pelarut fosfitt yang toleran dan peka aluminium dan mekanisme pelarutan, 5) Penentuan Azospirillum yang toleran terhadap aluminium. 6) respon rumput tolemn dan peka aluminium terhadap penambahan CMA. Mikroorganisme peiarut fosfat. Azospirillum, kapur dan asam bumat, 7) penentuan mekanisme ketahanan terhadap aluminium pada rumput yang toleran. Kesimpulan dari penelitain ini adalah : I) C gayana dan S splendida dipilih sebagai rumput yang peka dan toleran AI berdasarkan penurunan bobot kering akar yang paling tinggi dan paling rendah 2) Mekanisme toleransi terhadap kadar AI tinggi pada rumput Ssplendida dengan mengeluarkan asam organik dari akar yaitu asam oksalat dan asam sitmt ke larutan tanah. mekanisme tersebut merupakan salah saru mekanisme toleransi ekstemal. Pada jaringan akar dan tajuk terjadi akumulasi asam organik yaitu : asam oksalat dengan asam malat merupakan salah satu mekanisme tolemnsi internal. 3)Pemnan kemampuan adaptasi morfologi akar terhadap cekaman AI merupakan factor penentu respon tanaman terhadap perbaikan lingkungan media rumbuh, sifat fisik, kimia dan biologi tanah. 4). Inokulasi CMA mampu memacu pertumbuhan dan produksi rumput serta sempan fosfor khususnya pada C gayana, Penambaban Azospirillum dan PSB, memperbaiki status ham kedua rumput. 5) Penggunaan asam humik sampai level 180 ppm dapat meningkatkan kadar P, N tajuk dan akar serta serapan P, N kedua rumput. Pengaruh tersebut diperbaiki oleh penambahan Azospirillum dan PSB khususnya produksi biomassa dan status ham S splendida. 6) Penambahan pembenah tanah dan mikroorganisrne potensial tanah, dan kornbinasinya dapat memperbaiki pertumbuhan, produksi dan serapan P, N, Ca C gayana. Keyword:Soil microbiology, Microorganisms, Soil chemistry, Plant physiology
Judul: Ketahanan Industri Bordir Di Tasikmalaya: Studi Etika Moral Ekonomi Islami Pada Komunitas Tatar Sunda Abstrak:Terbentuknya ekonomi lokal dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya ditandai oleh kemunculan golongan sosial pengusaha bordir yang keberadaannya dapat dirunut berikut ini. Pertama, berdasarkan asal-usul sosialnya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha bordir dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya berasal dari kelompok non elit/ kelas bawah/ masyarakat ekonomi marginal, terutama dari kalangan orang kebanyakan (cacah/somah) dalam struktur feodal Sunda. Kedua, terkait dengan mekanisme kemunculannya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha bordir dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya, merupakan hasil dari adanya keterlekatan etika moral agama (Islam) dan etika moral budaya (Sunda) dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir dan terbukanya kesempatan yang sama bagi siapa saja yang dapat meraihnya (stratifikasi sosial terbuka). Kelangsungan sosial golongan pengusaha lokal mencakup dua dimensi sekaligus. Pertama, berdasarkan dimensi status/ peranan sosial golongan pengusaha lokal di Tasikmalaya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha lokal tersebut hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai pendukung ekonomi lokal, dengan ciri-ciri formasi sosial pengusaha lokal yang khas (hybrid). Penelitian ini menunjukkan bahwa para pengusaha lokal mampu bangkit dan berkembang (survive) dengan campur-tangan negara, mereka bahkan tumbuh secara progresif, melakukan pengembangan atas usahanya dengan cara mengikuti persaingan global melalui ekspansi penjualan skala nasional/internasional dan mengeksport ke luar negeri dan ikut menopang kertepurukan ekonomi bangsa ketika tertimpa krisis ekonomi 1997/ 1998 serta krisis 2008. Mereka tidak hanya menyumbang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi lokal, namun juga menjadi penggerak transformasi sosial-ekonomi masyarakat Sunda Tasikmalaya dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Bertahan dan berkembangnya ekonomi industri bordir tersebut tidak lepas dari dinamika yang terjadi pada para pengusaha bordir di Tasikmalaya tersebut dengan muncul dan tenggelamnya berbagai tipe pengusaha. Keterlekatan etika Islam dan Sunda pada tindakan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya menghasilkan tiga tipe pengusaha. Pertama, Pengusaha Islami-Sundanis yaitu pengusaha terlekat kuat dengan etika agama (Islam). Kedua, Pengusaha Sunda-Islami yaitu pengusaha yang terlekat kuat dengan etika budaya Sunda. Ketiga, Pengusaha Sunda Kapitalis yaitu yang terlekat kuat pada etika kapitalis. Pengusaha Sunda-islami merupakan tipe pengusaha yang stagnan disebabkan terlalu kuat terlekat dengan tradisi atau kebiasaan yang diwariskan oleh orang tua atau nenek moyangnya, sehingga lambat dalam mengadopsi inovasi baru dlam industri bordir. Pengusaha Islami-sundanis adalah tipe pengusaha yang mengalami kemajuan atau peningkatan dalam usahanya. Pada tipe ini selain terlekat kuat dengan nilai-nilai agama juga nilai budaya serta terbuka pada nilai-nilai modern yang meunjang kemajuan dan tidak bertentangan dengan nilai lokal. Sedangkan tipe yang pengusaha yang rentan hancur adalah pengusaha kapitalis yang tidak siap dengan kebangkrutan (collpas) dan terlalu lemah dalam ikatan nilai-nilai agama dan budaya. Etika Religiusitas Islam pengusaha bordir di Tasikmalaya menolong pengusaha untuk dapat bertahan dalam bisnis bordir, tetapi sejarah bisnis keluarga tidak bisa ditinggalkan. Kelas menak dalam industri bordir, memiliki kecenderungan lebih bertahan dibanding kelas cacah /somah disebabkan pada kelas menak usaha mereka sudah turun temurun dan memiliki pengalaman serta latar pendidikan yang relatif tinggi. Sebenarnya kelas cacah pun memiliki kesempatan yang sama untuk dapat maju, tetapi memiliki kecenderungan rentan hancur. Jadi pengusaha yang cenderung bertahan dan mengalami kemajuan adalah kelas pengusaha menak religius, sedang yang rentan hancur/bangkut adalah pengusaha cacah modern Keyword:islamic moral ethics, sundanese moral ethics, islamic-sundanese entrepreneurs, sundanese-islamic entrepreneurs, capitalist entrepreneurs
Judul: Pengembangan Teknik Fitoremediasi Air Asam Tambang dengan Lahan Basah Mengapung Abstrak:Air asam tambang (AAT) saat ini telah menjadi masalah penting di berbagai penjuru dunia yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Dengan ribuan perusahaan tambang yang tersebar di Indonesia, yang masing-masing memiliki luas wilayah produksi hingga ratusan ribu hektar, tentu AAT ini akan menjadi masalah besar bagi perairan Indonesia. Selain dari terbentuknya AAT, kegiatan pertambangan juga berdampak pada berubahnya bentang alam, seperti terbentuknya kolam-kolam bekas tambang (void). Kolam bekas tambang seringkali dikelilingi batuan pembentuk asam (potentially acid forming/PAF) yang menyebabkan terisinya kolam tersebut oleh AAT, dimana setelah void penuh AAT akan mengalir ke perairan umum dan memerlukan perlakuan penetralan terus menerus. Teknologi penetralan secara pasif yang dilakukan saat ini adalah dengan konstruksi lahan basah buatan (wetland), dimana air dari dalam kolam bekas tambang (void) dialirkan ke kompartemen lahan basah buatan dan proses penetralan akan terjadi di dalamnya. Namun keterbatasan dari lahan basah buatan yaitu kedalaman kolam yang dangkal karena terbatas pada tinggi tanaman dalam kolam, sehingga kapasitas pengelolaan airnya yang kecil. Jika volume air yang akan dikelola besar, maka membutuhkan lahan yang sangat luas untuk membuat wetland. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi untuk meningkatkan volume air yang dapat diolah dalam kolam treatment. Penggunaan rakit apung yang dikombinasikan dengan penanaman tanaman hyperaccumulator (selanjutnya disebut lahan basah mengapung/constructed floating wetland) menjadi alternatif upaya remediasi AAT pada kolam yang dalam. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan sebuah prototype lahan basah mengapung yang mampu memperbaiki kualitas AAT di kolam-kolam bekas tambang dan fasilitas pengolahan air tambang sebagai upaya menuju mitigasi kerusakan lingkungan perairan. Tahapan dari penelitian ini adalah: (1) Seleksi material rakit apung untuk perbaikan sistem lahan basah mengapung; (2) Aplikasi sistem lahan basah mengapung dalam skala lapangan di PT Bukit Asam Tbk; (3) Potensi tanaman gambut untuk fitoremediasi AAT pada sistem lahan basah mengapung, dan; (4) Penggunaan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) untuk pembersihan polutan organik. Pada penelitian “Seleksi material rakit apung untuk perbaikan sistem lahan basah mengapung” diujikan beberapa material rakit apung yaitu bahan apung dari bambu, bahan apung dari pipa PVC, dan bahan apung dari drum plastik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis rakit apung dengan bahan dasar pipa PVC menjadi pilihan yang paling baik untuk membuat konstruksi lahan basah mengapung. Hal ini didasarkan pada ketahanan konstruksi apung pipa yang lebih lama dengan kapasitas angkut bahan organik yang lebih besar dibandingkan rakit apung bambu dan juga biaya yang diperlukan lebih kecil dibandingkan dengan rakit berbahan dasar drum plastik. Tanaman yang ditanam secara mengapung dapat menyerap logam berat dalam jumlah yang tinggi. Jenis tanaman yang mampu mengakumulasi logam Fe paling tinggi adalah kayu putih, sementara akumulasi logam Mn tertinggi terdapat pada tanaman L. hyssopifolia. Penelitian “Aplikasi sistem lahan basah mengapung dalam skala lapangan di PT Bukit Asam Tbk” terdiri atas dua tahapan, yaitu tahap pertama terlebih dahulu menggenangi kompartemen penelitian dengan AAT. Setelah pH air netral dan stabil, kemudian kompartemen dialiri AAT dengan debit 0,002 m3/s selama 14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaplikasian sistem lahan basah mengapung di lapangan mampu meningkatkan pH dari 3,83 menjadi rata-rata 6,95 dan menurunkan logam terlarut Fe dan Mn rata-rata sebesar 77% dan 77,2% pada kondisi air menggenang. Pada kondisi air mengalir, peningkatan pH terjadi dari pH 4,5 menjadi 5,8 dengan waktu tinggal 18 jam dan menurunkan kadar Fe dan Mn terlarut berturut-turut sebesar 82,5% dan 75%. Selain itu, sistem lahan basah mengapung juga efektif menekan biaya dari pengeluaran kapur dalam pengelolaan AAT yaitu sebesar Rp 125.187.000/3 tahun atau sekitar Rp 41,7 juta/tahun untuk debit hanya sebesar 0,002 m3/detik. Penelitian selanjutnya, “Potensi tanaman gambut untuk fitoremediasi AAT pada sistem lahan basah mengapung” menguji sembilan jenis tanaman lokal dan atau tanaman rawa gambut yang ditanam pada sistem lahan basah mengapung dengan cekaman AAT. Hasil penelitian menunjukkan tanaman kayu putih, lonkida, gelam, tembesu, dan jelutung memiliki daya hidup yang tinggi (100%), pulai memiliki daya hidup sedang (67%), balangeran daya hidup rendah (33%), sementara jenis klakok dan geronggang semua mati. Tanaman kayu putih, lonkida, gelam, tembesu, jelutung, dan pulai dapat dimanfaatkan untuk penanaman di lahan basah mengapung ataupun di lahan tergenang AAT, sedangkan tanaman balangeran, klakok, dan geronggang tidak direkomendasikan. Hasil penelitian “Penggunaan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) untuk pembersihan polutan organik” menunjukkan bahwa pengolahan air limbah dengan mengkombinasikan tanaman eceng gondok dan pemberian sirkulasi aliran mampu meningkatkan pH serta menurunkan polutan BOD, COD, dan nitrat. Peningkatan pH terjadi dari 5,7 menjadi 8,2 dan penurunan BOD, COD, dan nitrat berturut-turut sebesar 63,1%, 59,2%, dan 91,7%. Namun terjadi kenaikan kadar ortofosfat dalam air yaitu sebesar 7,5%. Penelitian menunjukkan bahwa pengolahan air limbah dengan mengkombinasikan tanaman dan sirkulasi aliran akan mempercepat proses reduksi polutan dibandingkan jika hanya diberi perlakuan secara tunggal. Keyword:tandan sawit, air asam tambang, fitoremediasi, lahan basah mengapung, tanaman gambut
Judul: Cajuput (Melaleuca cajuputi (L.) Powell.) and Citronella (Cymbopogon nardus (L.) Rendle.) Agroforestry in Ex-Coal Mining Reclamation Land. Abstrak:Upaya reklamasi lahan bekas tambang di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Sebelum tahun 1990, reklamasi banyak mengalami kendala akibat pengetahuan dan pengalaman yang terbatas. Perusahaan yang berhasil mereklamasi lahan bekas tambangnya masih sedikit. Periode tahun 1990–2000, usaha reklamasi lahan bekas tambang telah mengalami kemajuan. Perusahaan berhasil mereklamasi lahan bekas tambang dengan menanami jenis rumput dan cover crop jenis legum untuk mengurangi erosi. Selanjutnya ditanami jenis pohon yang cepat tumbuh dan adaptif terhadap kondisi lahan. Jenis pohon yang ditanam diantaranya adalah Akasia (Acacia mangium) dan Sengon (Paraserianthes falcataria). Periode setelah tahun 2000, pemilihan jenis pohon kehutanan dalam reklamasi lahan bekas tambang menjadi prioritas utama, terutama jenis pohon lokal komersial. Serangkaian penelitian dilakukan untuk menghasilkan teknologi tepat guna bagi tanaman lokal komersial dalam mereklamasi lahan bekas tambang. Periode ini menjadi awal dari upaya reklamasi lahan bekas tambang dengan tujuan memperbaiki lingkungan dan meningkatkan produktivitas lahan. Pohon lokal komersial yang ditanam diharapkan mempercepat penutupan lahan dan secara ekonomi menghasilkan hasil hutan dan bukan kayu, seperti buah, bunga, biji, getah, kulit dan minyak atsiri. Salah satu jenis tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang ditanam di lahan bekas tambang adalah jenis kayu putih. Kayu putih (Melaleuca cajuputi) merupakan salah satu jenis MPTS (Multiple Purpose Tree Species) dan HHBK yang ditanam di areal reklamasi bekas tambang dengan status APL (Areal Penggunaan Lain). Kayu putih dipilih sebagai tanaman pokok dalam reklamasi karena termasuk jenis pionir, memiliki adaptasi tinggi, cepat tumbuh, mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi, dan menghasilkan minyak atsiri. Revegetasi merupakan salah satu kegiatan dalam mereklamasi lahan bekas tambang. Model revegetasi yang cocok dalam upaya pemanfaatan lahan di antara tanaman pokok adalah agroforestri. Model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi, reforestrasi dan agroforestri. Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman pertanian dan bertujuan meningkatkan keuntungan secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Pemanfaatan lahan diantara tanaman pokok bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan. Upaya peningkatan produktivitas lahan dilakukan dengan menanam kayu putih dan serehwangi dengan pola agroforestri. Aplikasi pola agroforestri pada lahan reklamasi diharapkan meningkatkan kualitas lingkungan dan produksi tanaman. Serehwangi dipilih sebagai cover crop, karena tidak disukai ternak, pertumbuhannya cepat, adaptif, mampu menahan erosi, cepat membentuk kanopi, bernilai ekonomis, dan tidak toksik bagi tanaman pokok. Penelitian dilakukan meliputi 3 tahapan kegiatan yaitu: (1) Agroforestri kayu putih dan serehwangi di lahan reklamasi bekas tambang batubara; (2) Kualitas fisik dan kimia tanah di lahan monokultur kayu putih dan agroforestri, dan (3) Pertumbuhan kayu putih di lahan bekas tambang batubara dengan aplikasi pupuk kompos. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pertumbuhan, rendemen, dan minyak atsiri kayu putih dan serehwangi, menganalisis perubahan sifat fisik dan kimia tanah di lahan monokultur kayu putih dan agroforestri, dan menganalisis pengaruh pemberian kompos pada pertumbuhan kayu putih. Pada penelitian dengan topik ‘Agroforestri kayu putih dan serehwangi di lahan reklamasi bekas tambang batubara’, dilakukan pengamatan pertumbuhan, rendemen dan kandungan minyak atsiri kayu putih dan serehwangi selama 12 bulan. Rancangan penelitian adalah Rancangan Petak-Petak Terbagi (Split-split Plot Design) dengan 3 faktor, yaitu faktor pola tanam, dosis pupuk kompos dan jarak tanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pola tanam tidak meningkatkan tinggi, diameter, lebar tajuk dan kandungan Sineol kayu putih, tetapi meningkatkan produksi daun kayu putih produksi panen 2 dan rendemen panen 1. Pola tanam agroforestri (varietas G2 dan Sitrona 2 Agribun) menghasilkan produksi daun kayu putih pada panen 2 dan rendemen panen 1 lebih tinggi dibandingkan pola tanam monokultur. Interaksi agroforestri–serehwangi varietas G2– dosis pupuk kompos 0,3 kg–jarak tanam 0,5m x 0,5m menghasilkan produksi daun panen 2 dan Sineol panen 2 lebih tinggi dibandingkan interaksi perlakuan lainnya. Hasil penelitian serehwangi menunjukkan bahwa perlakuan pola tanam meningkatkan jumlah anakan per rumpun, panjang daun, lebar tajuk, produksi daun, dan rendemen serehwangi namun tidak meningkatkan kandungan Sitronellal dan Geraniol serehwangi. Pola tanam agroforestri G2 menghasilkan jumlah anakan per rumpun, panjang daun, lebar tajuk dan produksi daun serehwangi lebih besar dibandingkan monokultur–varietas G2, monokultur–varietas Sitrona 2A dan agroforestri–varietas Sitrona 2A. Serehwangi varietas G2 menghasilkan pertumbuhan terbaik (monokultur dan agroforestri). Serehwangi varietas Sitrona 2 agribun (monokultur dan agroforestri) menghasilkan rendemen terbaik. Hasil penelitian dengan topik ‘Kualitas fisik dan kimia tanah di lahan monokultur kayu putih dan agroforestri’, menunjukkan bahwa pola agroforestri belum menghasilkan perubahan sifat fisik dan kimia tanah selama 1 tahun, kecuali penurunan rasio C / N dan KTK secara signifikan dibandingkan dengan pola tanah monokultur kayu putih. Perubahan rasio C / N dari sangat tinggi ke sedang dan KTK dari sangat tinggi ke rendah Pertumbuhan kayu putih di lahan bekas tambang batubara dengan aplikasi pupuk kompos dilakukan dengan perlakuan aplikasi pupuk kompos pada taraf tanpa pupuk, 1,6 kg/tanaman, dan 2,4 kg/tanaman. Pengamatan dilaksanakan selama 12 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kompos meningkatkan pertambahan tinggi kayu putih, tetapi tidak meningkatkan pertambahan diameter dan lebar tajuk. Pemberian pupuk kompos sebanyak 2,4 kg/tanaman menghasilkan tinggi kayu putih lebih besar dibandingkan tanpa pupuk, dan pemberian dosis pupuk kompos sebanyak 1,6 kg/tanaman. Keyword:agroforestry, cajuput, citronella, ex-coal mining land, monoculture
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Rancang Bangun Bubu Lipat Dalam Upaya Peningkatan Efektivitas Dan Efisiensi Penangkapan Kepiting Bakau Yang Ramah Lingkungan Abstrak:Bubu lipat yang banyak digunakan dalam penangkapan kepiting bakau masih memiliki kelemahan. Kelemahannya antara lain jenis dan kualitas umpannya tidak disukai oleh kepiting bakau, hasil tangkapannya lebih banyak terdiri atas kepiting bakau muda, dan konstruksinya mudah dirusak oleh kepiting bakau. Kelemahan bubu tersebut dapat diperbaiki melalui kajian rancang bangun berdasarkan tingkah laku kepiting bakau. Informasi mengenai rancang bangun bubu tersebut dan tingkah laku kepiting bakau masih sedikit. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mendapatkan jenis dan kualitas umpan yang disukai oleh kepiting bakau, menentukan arah dan ketajaman penglihatan kepiting bakau, menentukan respons kepiting bakau terhadap bagian-bagian bubu, merancang dan membuat bubu lipat, menentukan efektivitas dan efisiensi bubu lipat, menentukan tingkat selektivitas bubu lipat dan menentukan tingkat keramahan lingkungan bubu lipat. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian di laboratorium dan di lapangan. Penelitian menggunakan metode pengamatan dan percobaan penangkapan. Penelitian di laboratorium menganalisis respons makan kepiting terhadap umpan, menganalisis kemampuan penglihatan kepiting, mengamati respons kepiting terhadap bagian-bagian bubu, merancang dan membuat bubu. Sementara itu, penelitian di lapangan melakukan percobaan penangkapan kepiting, melakukan ujicoba pelolosan kepiting dan menganalisis tingkat keramahan bubu terhadap lingkungan. Data penelitian dianalisis secara statistika dan secara diskriptif komparatif. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa pilihan kepiting bakau terhadap jenis dan kualitas umpan bervariasi. Persentase rata-rata pilihan kepiting terhadap umpan ikan selar sebesar 77,88%, sedangkan umpan kerang bulu 22,12%. Adapun pilihan kepiting terhadap umpan selar segar adalah 58,54%, umpan selar rendam 24,39% dan umpan selar busuk 17,07%. Sementara itu, perbandingan kandungan kimia umpan segar : rendam : busuk adalah protein (17% : 16,05% : 15,85%), lemak (0,32% : 1,05% : 0,39%), air (77,24% : 74,49% : 78,64%), asam amino (16,12% :15,2% : 15,17%), dan asam lemak (59,26% : 60,07% : 47,05%). Uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa secara statistika pilihan kepiting terhadap umpan selar segar berbeda nyata jika dibandingkan dengan pilihan kepiting terhadap umpan selar rendam maupun selar busuk, sementara pilihan kepiting terhadap umpan selar rendam dan selar busuk tidak berbeda nyata. Pilihan kepiting terhadap umpan didukung oleh kemampuan penglihatannya. Analisis kemampuan penglihatan kepiting bakau menunjukkan bahwa arah dan ketajaman penglihatan kepiting bervariasi. Arah penglihatan kepiting lebih dominan ke arah depan dalam jika dibandingkan dengan arah depan luar, belakang luar maupun belakang dalam karena jumlah sebaran sel kon lebih banyak berada pada bagian mata depan dalam. Adapun posisi dead zone berada pada arah v penglihatan belakang dalam. Sementara itu, ketajaman penglihatan kepiting berkorelasi dengan ukuran lebar karapasnya. Kepiting dengan ukuran lebar karapas 8,6-11,01 cm memiliki ketajaman penglihatan 1,84-3,72 derajat. Berdasarkan analisis jarak penglihatan maksimum, kepiting dapat melihat material bubu seperti jaring dan kawat galvanis. Respons kepiting bakau terhadap bagian-bagian bubu juga bervariasi. Kepiting lebih mudah melewati sudut kemiringan bidang lintasan masuk 20 derajat dan sudut 40 derajat jika dibandingkan dengan sudut 60 derajat. Kepiting mampu melewati bidang lintasan masuk berbentuk lurus maupun berbentuk corong. Kepiting juga secara mudah melewati bentuk mulut masuk yang terbuka jika dibandingkan dengan bentuk mulut masuk yang relatif tertutup. Selanjutnya, respons kepiting tersebut dijadikan acuan dalam perancangan bubu lipat. Perancangan bubu lipat menghasilkan 7 bentuk bubu yaitu bubu B-20, B-40 dan B-60, bubu 2 bidang lintasan masuk (B-II.S), bubu 3 bidang lintasan masuk (B-III.S), bubu 4 bidang lintasan masuk (B-IV.S) dan bubu algonis (A-40). Semua bubu tersebut dapat menangkap kepiting kecuali bubu B-20 dan B-60 yang kurang mampu menangkap kepiting dewasa. Bubu-bubu tersebut memiliki daya tenggelam antara 0,42 - 0,58 kgf sehingga dapat tenggelam ke dalam air dan berada dalam posisi stabil di atas substrat dasar perairan. Kestabilan bubu tersebut di dalam air berhubungan dengan efektivitasnya. Efektivitas bubu lipat bervariasi. Bubu B-IV.S menangkap kepiting lebih banyak dibandingkan dengan bubu lainnya. Adapun bubu A-40 menangkap kepiting lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lainnya, namun semua kepiting tangkapannya berukuran dewasa. Efektivitas setiap bubu sebagai berikut B-IV.S: 32,5%, B-III.S: 23,3%, B-II.S: 20,0%, sementara bubu B-40: 20,8%, B-60: 15,8%, B-20: 14,2% dan A-40: 12,5%. Efektivitas bubu tersebut juga berhubungan dengan selektivitasnya. Selektivitas bubu lipat juga bervariasi. Nilai selektivitas (LK50) untuk bubu dengan CP depan : 6,6 cm, CP samping bawah: 6,5 cm, CP samping atas: 6,2 cm dan CP sudut atas: 6,4 cm. Adapun nilai selektivitas (LK50) bubu A-40 adalah 8,5 cm. Selektivitas bubu juga berhubungan tingkat keramahannya terhadap lingkungan. Tingkat keramahan lingkungan bubu lipat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu bubu ramah lingkungan, bubu kurang ramah lingkungan dan bubu tidak ramah lingkungan. Bubu ramah lingkungan adalah A-40, bubu kurang ramah lingkungan adalah B-40, B-II.S, B-III.S dan B-IV.S, sedangkan bubu tidak ramah lingkungan adalah B-20 dan B-60. Keyword:Bubu lipat, efektivitas, efisiensi, kepiting bakau, rancang bangun
Judul: Pengembangan Bubu Ekor Kuning yang Selektif Menuju Perikanan yang Berkelanjutan Abstrak:Pada kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bubu selain hasil tangkapan utama maka banyak tertangkap hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan sampingan (bycatch) merupakan hasil tangkapan non target species yang tertangkap secara insidental (incidental catch). Hasil tangkapan sampingan juga meliputi hasil tangkapan utama namun berukuran kecil. Bycatch saat ini mejadi isu yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Oleh karena itu dengan fakta bahwa bycatch merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian sumberdaya perikanan maka pengembangan teknologi alat tangkap saat ini bergeser dari upaya untuk menangkap sumberdaya ikan sebanyak banyaknya kepada upaya untuk meningkatkan selektivitas baik species selectivity maupun size selectivity. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) menentukan respon dan tingkah laku ikan ekor kuning di dalam bubu; (2) menentukan posisi, bentuk dan ukuran celah pelolosan terbaik untuk menangkap ikan ekor kuning yang layak tangkap; (3) menentukan hasil tangkapan sampingan bubu yang dioperasikan di Perairan Kepulauan Seribu; (4) menentukan selektivitas celah pelolosan terhadap ikan ekor kuning pada bubu uji coba yang digunakan. Pada pengamatan mengenai tingkah laku ikan di dalam bubu terlihat bahwa ikan ekor kuning cenderung bergerak dan berkumpul di area terbuka. Beberapa ikan bergerak secara aktif melakukan eksplorasi di tiap zona. Adanya kecenderungan pola renang ikan untuk bergerak di ruang terbuka mengindikasikan bahwa ikan ekor kuning merupakan kelompok ikan yang cenderung bergerak aktif di area yang luas. Pergerakan ikan ekor kuning di zona sempit di zona 7, 8 dan 9 hanya sesekali dilakukan. Bahkan pergerakan ikan di zona 8 yang merupakan area sempit dibawah mulut bubu jarang sekali dilakukan. Persentase ikan yang melakukan attempt (upaya meloloskan diri) di zona 1 dan zona 3 masing masing sebanyak 26 kali (54,1 %) dan 11 kali (22,9 %). Zona 1 dan 3 merupakan zona terbuka yang saling berseberangan dan menjadi target ikan untuk meloloskan diri dari bubu. Ikan ekor kuning tidak pernah melakukan upaya meloloskan diri melalui zona 5, 8 dan 9. Upaya ikan untuk meloloskan diri dari bubu ditunjukan oleh adanya luka pada bagian kepala ikan. Ikan ketika berada di dalam bubu terkadang melakukan gerakan dengan pola renang yang tenang dan teratur, namun juga terkadang menunjukan perilaku yang agresif. Pola renang yang agresif dapat terlihat dari waktu yang digunakan oleh ikan untuk meloloskan diri dari bubu. Ketika ikan masuk ke dalam bubu maka ikan melakukan berbagai upaya untuk meloloskan diri. Waktu yang digunakan oleh ikan ekor kuning untuk meloloskan diri berkisar antara 4,0 - 1.318 detik. Posisi celah pelolosan yang banyak digunakan oleh ikan ekor kuning untuk meloloskan diri berada pada posisi bagian belakang sebelah kiri yang berada pada zona 1 dengan jumlah ikan ekor kuning yang berhasil lolos sebanyak 20 ekor atau setara dengan 83,3% dari total individu. Zona tersebut banyak digunakan oleh ikan ekor kuning untuk meloloskan diri karena memiliki area terbuka yang lebih luas. Berdasarkan hasil tersebut, dari 9 zona yang terdapat pada bubu pengamatan hanya 3 zona yang digunakan oleh ikan ekor kuning untuk meloloskan diri yakni zona 1, zona 3 dan zona 7. Berdasarkan pengamatan melalui underwater CCTV camera tidak terdapat upaya ikan ekor kuning untuk meloloskan diri melalui dinding bagian atas bubu. Ditinjau dari bentuk celah pelolosan yang digunakan, maka celah pelolosan berbentuk lingkaran merupakan celah pelolosan yang paling banyak digunakan oleh ikan untuk meloloskan diri disusul oleh celah pelolosan berbentuk persegi panjang. Namun demikian tidak ada satupun ikan ekor kuning yang meloloskan diri melalui celah pelolosan berbentuk elipse. Ikan yang tertangkap selama operasi penangkapan bubu terdiri atas 24 famili dan 34 spesies. Jumlah hasil tangkapan hanya didominasi oleh beberapa spesies dari famili Caesonidae dengan proporsi sebanyak 31,98% dari total hasil tangkapan, disusul oleh famili Lutjanidae sebanyak 16,15%, Holocentridae sebanyak 15,67 % dan Nemipteridae sebanyak 14,36% dari total hasil tangkapan. Total jumlah ikan hasil tangkapan yang diperoleh selama operasi penangkapan sebanyak 2.073 ekor dengan bobot 441,31 kg. Hasil tangkapan utama berupa ikan ekor kuning (Caesio cuning) dengan total jumlah sebanyak 634 ekor (30,66%) serta total bobot sebanyak 186,90 kg (42,64%). Hasil tangkapan lainnya yang merupakan hasil tangkapan sampingan paling dominan adalah ikan kakap (Lutjanus vitta) dengan total jumlah hasil tangkapan sebanyak 330 ekor (15,9%) dan total bobot sebanyak 50,86 kg (11,5%). Adapun hasil tangkapan sampingan dominan lainnya adalah ikan swanggi (Sargocentron rubrum) sebanyak 324 ekor (15,6 %) dengan total bobot hasil tangkapan sebesar 51,181 kg (11,6%) dan ikan serak (Scolopsis margaritiferus) dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 289 ekor (13,9%) dan bobot sebesar 40,04 kg (9,1%). Pada uji coba penangkapan diperoleh total jumlah hasil tangkapan ikan pada bubu sebanyak 727 ekor sedangkan yang berhasil meloloskan diri melalui celah pelolosan sebanyak 1.346 ekor. Ikan ekor kuning yang merupakan target spesies tertangkap pada bubu dengan jumlah sebanyak 331 ekor dan yang berhasil lolos menuju cover net sebanyak 303 ekor. Hasil uji t terhadap total jumlah tangkapan pada bubu dan yang lolos diperoleh nilai yang secara signifikan berbeda dengan nilai P sebesar 0,010. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah hasil tangkapan yang tertangkap pada bubu dan yang berhasil lolos menuju cover net. Adapun hasil uji t terhadap total hasil tangkapan ikan ekor kuning yang terdapat pada bubu dan yang lolos secara signifikan tidak berbeda nyata dengan nilai P sebesar 0,0918. Panjang total hasil tangkapan ikan ekor kuning yang paling banyak tertangkap pada bubu terdapat pada kisaran ukuran 20-22 cm sedangkan ukuran hasil tangkapan ikan ekor kuning yang berhasil lolos dari bubu masuk ke dalam cover net paling banyak terdapat pada kisaran panjang total 18-20 cm. Berdasarkan uji t terhadap panjang total ikan ekor kuning yang tertangkap pada bubu dan yang lolos ke dalam cover net diperoleh hasil yang secara signifikan berbeda nyata dengan nilai thit sebesar 3,353 dan nilai P sebesar 0,005 Kurva selektivitas celah pelolosan pada bubu eksperimen adalah sigmoid dengan tipe landai (slender type). Kurva celah pelolosan dengan tipe landai menunjukan bahwa alat tangkap tersebut menangkap ikan ekor kuning dengan jangkauan ukuran panjang yang agak lebar. Kurva selektivitas celah pelolosan pada bubu tersebut mencapai maksimum untuk menangkap ikan ekor kuning dengan panjang total di atas 29 cm. Berdasarkan analisis kurva selektivitas celah pelolosan diperoleh nilai L50 sebesar 22,6 cm. Dengan demikian nilai L50 kurva selektivitas celah pelolosan lebih besar dibanding nilai Lm ikan ekor kuning yang sebesar 20 cm. Hal ini berarti bahwa celah pelolosan dapat berfungsi dengan baik untuk mengurangi hasil tangkapan ikan ekor kuning yang berukuran kecil. Keyword:bycatch, escape vent, fish behavior, pot, selectivity, yellowtail
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Analysis of Photobioreactor Performance on Microalgae Cultivation with IOTs (Internet of Things) Abstrak:Internet of Things (IOTs) merupakan sebuah evolusi konsep penggunaan internet yang bertujuan untuk memperluas manfaat dari konektivitas internet yang tersambung secara terus-menerus dengan kemampuan mengendalikan dari jarak jauh (remote control), berbagi data (data sharing), melakukan pengawasan secara terus menerus (real time monitoring) dan terkini (up to date). Aplikasinya sangat luas, misalnya mengendalikan dan memonitor benda-benda fisik, bahan pangan, elektronik dan peralatan apa saja, termasuk benda hidup yang semuanya tersambung ke jaringan lokal dan global melalui sensor elektronik yang tertanam di objek yang diamati dan selalu “on” selama jaringan tersedia. Penelitian ini berkaitan dengan kultivasi mikroalga sebagai sumber pangan dan energi masa depan, dalam desain fotobioreaktor yang terintegrasi dengan IOTs, sehingga dapat dimonitor secara terus-menerus, dikendalikan dan dijadikan model untuk pengembangan teknologi kultivasi mikroalga yang lebih besar. Pengembangan otomasi pada kultivasi mikroalga perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga kualitas sehingga kultivasi mikroalga dapat mengarah kepada industrialisasi, sehingga pengembangan mikroalga sebagai bahan baku berbagai kebutuhan dapat lebih dioptimalkan. Kultivasi pada penelitian ini adalah fotobioreaktor sistem tertutup, yang akan menghasilkan mikroalga yang tidak terkontaminasi oleh kontaminan dari luar, sehingga dapat dilakukan analisis pertumbuhan berdasarkan parameter yang mempengaruhinya, diantaranya adalah suhu ruang kultivasi, tingkat pencahayaan (luminasi), dan warna air dalam proses fotosintesis mikroalga, dan juga kontrol terhadap sirkulasi air. Begitu juga proses otomasi pada sistem pemanenan dengan solenoid valve yang dapat mengontrol debit aliran mikroalga dalam ruang kultivasi. Semua proses yang dilakukan pada kultivasi ini dilakukan semi otomatis, karena masih ada proses interaksi manusia dalam melakukan setting parameter dan kontrol pada proses pemanenan mikroalga. Pada penelitian ini dianalisa proses perkembangan kultivasi mikroalga dengan menggunakan 4 tabung kultivasi dengan menggunakan perlakuan terhadap dosis konsentrasi awal bibit pada 10%, 20% dan 30% dari media kultivasi. Visualisasi parameter yang dikontrol meliputi, parameter suhu, intensitas cahaya, perubahan dan warna air. Parameter yang diamati akan ditampilkan dalam graphical user interface (GUI) secara real time dengan menggunakan internet. Interaksi cyber physic bisa dilakukan dari perangkat yang terdapat dalam instrumen kultivasi dengan komunikasi dua arah antara sistem kultivasi dan kontrol dari luar dengan piranti yang terhubung ke internet, seperti laptop atau gadget. Hasil yang didapatkan bahwa sistem dapat melihat pertumbuhan mikroalga secara detil dari waktu ke waktu berdasarkan data pengamatan terhadap paremater Suhu, Intensitas cahaya dan warna. Respon paling baik pertumbuhan pada konsentrasi 10% dimana pertumbuhannya paling optimal., Internet of Things (IOTs) is an evolution of the concept of internet use that aims to expand the benefits of internet connectivity that is connected continuously with the ability to control remotely (remote control), share data (data sharing), carry out continuous monitoring (real time monitoring) and current (up to date). The application is very broad, for example controlling and monitoring physical objects. food materials, electronics, and any equipment, including living objects, all of which are connected to local and global networks through electronic sensors that are embedded in the observed object and are always "on" as long as the network is available. In this dissertation research proposal related to the cultivation of microalgae as a source of food and energy of the future, in the design of photobioreactors that are integrated with IOTs, so that it can be monitored continuously, controlled and used as a model for the development of greater microalgae cultivation technology. Development of automation in the cultivation of microalgae needs to be done to improve productivity and maintain quality so that the cultivation of microalgae can lead to industrialization, so that the development of microalgae as raw material for various needs can be optimized. Cultivation in this study is a closed system photobioreactor, will produce microalgae that are not contaminated by external contaminants, growth analysis can be done based on the parameters that affect it, including the cultivation room temperature, lighting level (luminance), and the color of water in the photosynthesis process of microalgae, and also control of aeration. All processes carried out in this cultivation are done semi-automatically, because there is still a process of human interaction in setting parameters and controls in the process of harvesting microalgae. In this study microalgae were evaluated using 4 cultivation tubes that uses 3 different treatment with initial concentration 10%, 20% and 30%.. Visualization of controlled parameters includes, parameters of temperature, light intensity, change and color of water. The observed parameters will be displayed in a graphical user interface (GUI) in real time using the internet. Cyber physic interaction can be done from devices contained in cultivation instruments with two-way communication between cultivation systems and external control with devices connected to the internet, such as laptops or gadgets. The optimal growth in this from 10% concentration. Keyword:kultivasi mikroalga, fotobioreaktor, Internet of things
Judul: Development of a Control and Monitoring System for Hydroponic Lettuce Cultivation in Tropical Lowland Abstrak:Budidaya tanaman selada di daerah tropika sering dilakukan di dataran tinggi. Untuk mengurangi risiko erosi tanah dan cemaran pestisida maka budidaya tanaman selada di lahan terbuka di dataran tinggi perlu dikurangi. Konsekuensinya, budidaya tanaman selada secara hidroponik di dalam rumah tanaman di dataran rendah perlu diperluas karena memiliki kelebihan dalam kemudahan menerapkan budidaya tanaman bebas pestisida. Budidaya tanaman selada dalam sistem hidroponik di dataran rendah tropika memerlukan pendinginan. Pendinginan daerah perakaran memerlukan energi listrik yang sangat besar. Namun, hal ini dapat diatasi dengan mengendalikan suhu secara otomatik. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem kontrol dan monitoring daerah perakaran pada sistem hidroponik yang menggunakan root zone cooling untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Selanjutnya, sistem kontrol dan monitoring perlu dikembangkan untuk mengendalikan dan memonitor suhu daerah perakaran dengan dilengkapi Resistance Temperature Detector (RTD). Parameter lain yang perlu dikendalikan dan dimonitor oleh sistem kontrol dan monitoring tersebut adalah Electrical Conductivity (EC), puissance negatif de hydrogen (pH), Dissolved Oxygen (DO), dan Oxidation Reduction Potential (ORP). Penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu (1) rancang bangun sistem kontrol dan monitoring budidaya tanaman selada hidroponik rakit apung di dataran rendah tropika, (2) evaluasi kinerja sistem kontrol dan monitoring dalam budidaya tanaman selada hidroponik rakit apung, dan (3) laju asimilasi tanaman selada dalam sistem hidroponik rakit apung menggunakan sistem kontrol dan monitoring yang dikembangkan untuk pengendalian larutan nutrisi. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk melakukan rancang bangun sistem kontrol otomatik on/off untuk budidaya tanaman selada dalam sistem hidroponik rakit apung. Rancang bangun tersebut meliputi perancangan hardware dan perancangan software. Hardware sistem kontrol mencakup tujuh input dan sepuluh output. Tujuh input tersebut adalah sensor RTD, EC, pH, DO, ORP, ultrasonik, dan keypad, sedangkan sepuluh output meliputi pompa untuk chiller, pompa untuk menambah EC, pompa untuk menurunkan EC, pompa untuk menambah pH, pompa untuk menurunkan pH, pompa aerator untuk meningkatkan DO, pompa untuk menambah ORP, pompa untuk mengurangi ORP, pompa untuk meningkatkan tingkat permukaan larutan nutrisi, dan pompa mixer. Desain software dalam mikrokontroler arduino mega 2560 telah dikembangkan dengan menggunakan bahasa pemrograman C. Penelitian tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan gambaran kinerja sistem kontrol dan monitoring dalam budidaya tanaman selada menggunakan sistem hidroponik rakit apung. Kinerja sistem kontrol telah dievaluasi untuk mengontrol parameter larutan nutrisi pada budidaya tanaman selada dalam sistem hidroponik rakit apung. Bibit tanaman selada “Grand Rapids” ditempatkan di papan styrofoam dengan netpot tanaman berisi rockwool pada jarak tanam 20 cm. Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman selada dilakukan dengan mengukur bobot kering dari tiga sampel tanaman setiap dua hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hari ke 24 setelah tanam berat kering shoot dan root tanaman selada yang dibudidayakan dalam sistem hidroponik rakit apung dengan sistem kontrol yang dikembangkan ternyata lebih baik secara signifikan dibandingkan tanaman yang dibudidayakan pada sistem hidroponik rakit apung tanpa sistem kontrol larutan nutrisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kontrol dan monitoring yang dikembangkan bekerja dengan baik dalam mengendalikan larutan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman selada yang lebih baik dalam sistem hidroponik rakit apung. Penelitian tahap ketiga bertujuan untuk mengetahui laju fotosintesis tanaman selada yang dibudidayakan dalam sistem hidroponik rakit apung dengan sistem kontrol dan monitoring yang dikembangkan. Tanaman selada yang digunakan dalam penelitian ini adalah Grand Rapids. Laju fotosintesis tanaman selada diukur menggunakan photosynthetisis meter. Analisis statistika dilakukan untuk menarik kesimpulan tentang keragaman laju fotosintesis tanaman selada pada dua kondisi : (1) larutan nutrisi dikontrol menggunakan sistem kontrol yang dikembangkan, dan (2) larutan nutrisi tidak dikontrol. Selanjutnya, model ANN dikembangkan untuk memprediksi laju fotosintesis tanaman selada. Laju fotosintesis tersebut tergantung kepada faktor-faktor lingkungan yaitu suhu, EC, pH, DO, dan ORP larutan nutrisi, suhu udara, kelembaban udara, dan PPFD. Hasil pengukuran faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi laju fotosintesis tersebut digunakan sebagai input dalam struktur model ANN sedangkan laju fotosintesis digunakan sebagai output model tersebut. Jumlah data yang diperoleh dari hasil pengukuran sebanyak 230 pasang data atau 115 pasang data untuk masing-masing sistem hidroponik. Masing-masing data tersebut dibagi lagi menjadi dua dataset yaitu training_set dan test_set yaitu masing-masing 77 dan 38 dataset. Hasil validasi menunjukkan bahwa model ANN memprediksi tingkat asimilasi CO2 dalam akurasi yang sangat baik dengan nilai MSE masing-masing 0.9163 dan 0.3242 untuk tanaman selada yang dibudidayakan dalam sistem hidroponik rakit apung tanpa sistem kontrol dan dengan sistem kontrol yang dikembangkan. Nilai RMSE masing-masing adalah 0.9572 dan 0.5694 untuk tanaman selada yang dibudidayakan dalam sistem hidroponik rakit apung tanpa dan dengan sistem kontrol. Koefisien determinasi (R2) untuk tanaman selada yang dibudidayakan dalam larutan nutrisi tanpa sistem kontrol dan dengan sistem kontrol masing-masing adalah 0.8101 dan 0.8662. Hal ini berarti bahwa untuk tanaman selada tanpa sistem kontrol sekitar 81% variabel bebas (x) dapat menjelaskan variabel terikat (y) dan sekitar 19% dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak diketahui. Untuk tanaman selada dengan sistem kontrol nilai R2 tersebut berarti bahwa sekitar 87 % variabel bebas (x) dapat menjelaskan variabel terikat (y) dan sekitar 13% dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak diketahui. Model ANN yang dikembangkan ternyata efektif dan dapat digunakan untuk memprediksi laju asimilasi CO2 tanaman selada yang dibudidayakan pada sistem hidroponik rakit apung. Kata kunci: tanaman selada, sistem kontrol dan monitoring, sensor, mikrokontroler, sistem hidroponik rakit apung, model ANN, Lettuce cultivation in the tropics is frequently done in highland. However, open-field lettuce farming in highland should be limited to reduce the risk of soil erosion and pesticide contamination. Consequently, hydroponic lettuce cultivation inside a greenhouse in lowland is necessary to be developed for its advantages of practical free-pesticide farming. Hydroponic lettuce farming in tropical lowland requires cooling. Root zone cooling involves the use of enormous amount of electrical energy. Fortunately, this can be overcome by controlling the temperature automatically. Hence, it is necessary to develop a control and monitoring system for root zone in hydroponic system that applies root zone cooling in order to increase the efficiency of energy use. Moreover, development of control and monitoring system is required to control and monitor root zone temperature along with the use of Resistance Temperature Detector (RTD). Other parameters that should be controlled and monitored include Electrical Conductivity (EC), puissance negative de hydrogen (pH), Dissolved Oxygen (DO), and Oxidation Reduction Potential (ORP). This study consisted of three stages, namely (1) the design of a control and monitoring system for lettuce cultivated in floating raft hydroponics in tropical lowland, (2) performance evaluation of a control and monitoring system for floating raft hydroponic lettuce cultivation, and (3) determination of assimilation rate of lettuce in floating raft hydroponic system using the control and monitoring system developed to control nutrient solution. The first stage of study was aimed to design an automatic on/off control system for lettuce cultivation in floating raft hydroponic system. The design covered the hardware design and the software design. Hardware of the control system composed of seven inputs and ten outputs. The seven inputs included the sensor of RTD, EC, pH, DO, ORP, ultrasonic, and keypad, while the ten outputs were pump for chiller, pump to increase EC, pump to decrease EC, pump to increase pH, pump to decrease pH, aerator pump to increase DO, pump to increase ORP, pump to decrease ORP, pump to increase the surface level of nutrient solution, and mixer pump. The software design for arduino mega 2560 microcontroller has been developed using the C programming language. The second stage of study was aimed to obtain performance overview of control and monitoring system of lettuce cultivated using a floating raft hydroponics. The performance of control system has been evaluated to control the parameter of nutrient solution in a controlled floating raft hydroponic lettuce cultivation. Lettuce seeds “Grand Rapids” were placed in styrofoam board equipped with net pots contained rock wools at planting distance of 20 cm. Observation of lettuce growth was done by measuring the dry weight of three plant samples every two days. On day-24th after transplanting, it was found that lettuce cultivated hydroponically by floating rafts with the control system developed in this study produced shoot and root dry weight which was much better than plants cultivated with the floating raft hydroponic system without nutrient solution controlled. It was also observed that control and monitoring system developed in this study worked properly in controlling nutrient solution to produce better lettuce growth in floating raft hydroponic system. The third stage of study was aimed to examine the rate of photosynthesis of lettuce cultivated in floating raft hydroponics with control and monitoring system developed in this study. Grand Rapids lettuces were used in this study. Photosynthetic rate of lettuce was measured using photosynthesis meter. Statistical analysis was performed to draw conclusion on the variability of photosynthetic rate of lettuce cultivated under two conditions : (1) the nutrient solution was controlled by the developed control system, and (2) the nutrient solution was not controlled. Moreover, the ANN model was developed to predict the photosynthetic rate of lettuce. The rate of photosynthesis depended on a wide range of environment factors such as temperature, EC, pH, DO, and ORP of nutrient solution, air temperature, humidity, and PPFD. The results of the measurement of environmental factors that affect the rate of photosynthesis are used as input for the ANN model, while photosynthetic rate was used as the output for the model. Total number of data collected from measurements were 230 datasets or 115 datasets for each hydroponic system. The data were further divided into two groups, namely training_set and test_set which consisted of 77 and 38 datasets, respectively. The validation results show that the ANN model predicts the level of CO2 assimilation in very good accuracy with MSE values of 0.9163 and 0.3242 respectively for lettuce cultivated in the floating raft hydroponic system without a control system and with a developed control system. The RMSE values were 0.9572 and 0.5694 respectively for lettuce cultivated in a floating raft hydroponic system without and with a control system. The coefficient of determination (R2) for lettuce plants cultivated in uncontrolled nutrient solution and in controlled nutrient solution were 0.8101 and 0.8662, respectively. This means that for lettuce plants cultivated in uncontrolled nutrient solution, about 81% of the independent variable (x) can explain the dependent variable (y) and about 19% is explained by other unknown variables. For lettuce plants cultivated in controlled nutrient solution, about 87% of the independent variable (x) can explain the dependent variable (y) and about 13% is explained by other unknown variables. The ANN model developed was effective and can be used to predict the rate of CO2 assimilation of lettuce plants cultivated in the floating raft hydroponic system. Keywords: lettuce, control and monitoring system, sensor, microcontroller, hydroponic system, ANN model Keyword:lettuce, control and monitoring system, sensor, microcontroller, hydoponic system, ANN model
Judul: Antioxidant and anti-platelet aggregation activitie of cassia vera (Cinnamomum burmanni nees ax Blume) bark extract and it’s potency in preventing atherosclerosis in rabbit Abstrak:There has been limited report on the biological activities of cassia vera bark extract and the potency of cassia vera bark extract as antioxidant, anti-platelet aggregation, and anti-hypercholesterolemia, and its function as anti-atheroschlerosis in rabbit in not yet known. Keyword:
Judul: Model Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok Agroindustri Kakao Berbasis Insentif Teknologi Abstrak:Kakao merupakan salah satu komoditi strategis Indonesia. Selain menghasilkan devisa, kakao juga diusahakan 90% dari luas areal produksinya oleh rakyat. Mengembangkan agroindustri kakao diharapkan akan berdampak langsung kepada petani sebagai pelaku utama sektor produksi biji kakao. Namun pengembangan agroindustri kakao belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petaninya. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah menghubungkan sektor suplai biji kakao dengan industri pengolahannya dengan mengembangkan industrialisasi kakao di tingkat petani dengan berkelompok. Pengembangan industri kakao dengan strategi ini bersifat sporadis dan belum tertata dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk membangun dan menganalisis model penumbuhan dan pengembangan kelompok agroindustri kakao yang terdiri atas empat sub tujuan yaitu: menyusun model konseptual proses penumbuhan dan perubahan kelompok agroindustri kakao dari kelompok petani berbasiskan insentif teknologi; menganalisis biaya transaksi pada setiap rantai nilai agrindustri kakao dan menganalisis kelayakan integrasi vertikal agroindustri kakao dengan Benefit-Cost rasio analisis, agar diperoleh masukan dalam pengembangan integrasi vertikal agroindustri yang tepat bagi kelompok tani kakao di Indonesia; membuat model pemeringkatan kelompok agroindustri kakao; dan mendesain model strategi intervensi teknologi dalam rangka pengembangan kelompok agroindustri kakao berbasis insentif teknologi. Hasil analisis situasi penumbuhan agroindustri berbasis kelompok yang dilakukan dengan analisis politik, menunjukkan bahwa ada 3 (tiga) pihak yang paling berkepentingan dan berpengaruh dalam transformasi kelompok petani menjadi kelompok agroindustri, yakni; pemerintah, teknopreneur, dan petani. Masing-masing para pihak ini memiliki wewenang yang saling mempengaruhi proses transformasi. Proses transformasi kelompok petani menjadi kelompok agroindustri memiliki 4 sistem aktivitas manusia yang memiliki maksud, yakni : Penumbuhan kelompok agroindustri kakao dari kelompok-kelompok yang telah eksis di masyarakat; Pemeringkatan kelompok agroindustri kakao berdasarkan kebutuhan dan penguasaan teknologi dalam rangka insentif teknologi; Pola-pola internal kelembagaan (pengelolaan, sistem transaksi) dalam rangka penguatan kelembagaan kelompok agroindustri kakao; Mekanisme kelembagaan pemberian insentif teknologi oleh pemerintah terutama oleh pembina yang relevan. Setiap sistem ini memiliki model konseptual masing-masing. Model-model konseptual ini kemudian dibandingkan kembali dengan situasi nyata dan lakukan aksi perbaikan. Salah satu perbaikan dari pendekatan lunak ini adalah perbaikan pada sistim pemeringkatan kelompok dan sistim koordinasi antar pemangku kepentingan pembinaan kelompok agroindustri kakao. Biaya transaksi yang muncul dari integrasi vertikal agroindustri kakao skala kecil ini pada tahap rantai budidaya kakao yang menghasilkan produk biji kakao fermentasi) adalah sebesar Rp. 8416.667/tahun. Pada tahap ke 2 yakni antara rantai budidaya kakao dengan industri pengolahan biji kakao kering/agroindustri yang menghasilkan produk pasta coklat, lemak coklat dan bubuk coklat memiliki biaya transaksi sebesar Rp. 35.545.833/tahun. Pada tahap berikutnya rantai budidaya kakao, agroindustri tahap 1 dengan agroindustri hilir kakao/agroindustri tahap 2 yang menghasilkan produk permen coklat, bubuk coklat mix, menghasilkan biaya transaksi Rp. 27.605.000/tahun. Pada tahap terakhir antara rantai budidaya kakao - agroindustri tahap 1 – agroindustri tahap 2 dengan agroindustri kreatif/kuliner berbahan baku coklat memiliki biaya transaksi sebesar Rp. 13.416.667/tahun. tingginya biaya transaksi pada tahapan agroindustri karena adanya biaya lobby dan penyiapan lahan bagi pabrik mini kakao untuk mendapatkan insentif teknologi dari pemerintah. Integrasi vertikal menunjukkan korelasi positif dengan kelayakan usaha agroindustri kakao. Jika usaha ini dikerjakan secara terpisah-pisah maka usaha yang layak adalah pada rantai tahap awal dan tahap akhir (kuliner coklat). Nilai BC rasio tahap 1, tahap 2 tahap 3 dan tahap 4 dari rantai agroindustri kakao adalah 1,21; 0,84; 0,97 dan 1,31. Jika usaha ini dintegrasikan antara tahap 1 dan tahap 2, nilai BC rasio masih belum layak (0,96). Integrasi vertikal tahap 1, tahap 2 dan tahap 3 memberikan nilai BC rasio 1,12, yang berarti usaha layak secara ekonomis. Model pengembangan kelompok agroindustri harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anggota kelompok agroindustri tersebut. Untuk dapat diperoleh intervensi yang tepat oleh pemerintah maka disusun panduan penilaian dan pemeringkatan kelompok agroindustri. Panduan ini diharapkan mampu memetakan kondisi kelompok saat tersebut. Karena kelompok yang dinilai adalah kelompok agroindustri maka penilaian harus memperhatikan komponen teknologi. Penelitian ini telah menyusun panduan penilaian dan pemeringkatan kelompok berdasarkan aspek teknologi. Telah diusulkan 4 tahap atau 4 kelas kelompok agroindustri kakao, yakni tahap awal, tahap madya, tahap maju dan tahap lanjut. Setiap tahap memiliki karakeristik masing-masing. Penilaian dan panduan ini digunakan untuk melakukan pengembangan kelompok agroindustri meliputi aspek bantuan teknis, penyuluhan dan pelatihan, serta pendampingan. Setiap tahapan memiliki menu pengembangan masing-masing sesuai dengan hasil penilaian dan pemeringkatan. Keyword:soft system methodology, integrasi vertikal, kelompok agroindustri kakao, pemeringkatan kelompok, insentif teknologi
Judul: Rancang Bangun Model Rantai Pasok Agroindustri Kakao Berkelanjutan Dengan Menggunakan Sistem Cerdas Abstrak:Indonesia merupakan produsen kakao ke-3 terbesar di dunia tetapi tidak diimbangi dengan kesejahteraan petani karena rendahnya produktivitas kakao sehingga banyak petani yang melakukan konversi lahan. Tahun 2014, Indonesia diperkirakan mengimpor sekitar 100 000 ton kakao karena produksi terus menyusut dan konversi lahan terus terjadi setiap tahun. Dari luas tanaman kakao 1.5 juta ha kini menyusut menjadi sekitar 1.3 juta Ha. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan pada keberlanjutan rantai pasok agroindustri kakao. Tujuan penelitian yaitu untuk merancang model keberlanjutan rantai pasok agroindustri kakao berdasarkan dimensi sosial, dimensi lingkungan dan dimensi ekonomi. Pada dimensi sosial, diselesaikan dengan menggunakan Soft System Based Multimethodology (SSBM) yaitu melakukan perbandingan model nyata dengan model usulan di langkah 5 Soft systems methodology (SSM) yang digabung dengan hasil analisis Interpretative Structural Modelling (ISM). Pada dimensi lingkungan, diselesaikan dengan menggunakan Fuzzy AHP dan severity index. Pada dimensi ekonomi, diselesaikan dengan menggunakan Fuzzy AHP dan Agent Based Model (ABM). Penelitian ini diawali dengan mengukur indeks keberlanjutan dan penentuan indikator kunci dari setiap dimensi menggunakan MDS dengan teknik Rap-cacao yang merupakan pengembangan dari Rapfish dengan merubah atribut dari masing masing dimensi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan mutidimensi (dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan) adalah sebesar 29.33% (kurang berkelanjutan). Indeks keberlanjutan yang paling rendah adalah pada dimensi ekonomi sebesar 20.75% (tidak berkelanjutan) sehingga harus terwujud adanya keseimbangan distribusi keuntungan yang merupakan indikator kunci dari keberlanjutan pada dimensi ekonomi. Indeks tertinggi adalah pada dimensi lingkungan sebesar 43.41% (kurang berkelanjutan). Hasil analisis keberlanjutan mempunyai tingkat kepercayaan tinggi karena masing masing dimensi mempunyai selisih antara MDS dengan Monte Carlo dibawah 5% atau nilai rata-rata sebesar 0.39%. Indeks keberlanjutan untuk semua dimensi bernilai dibawah 50%, sehingga harus dilakukan perbaikan pada semua dimensi, terutama pada indikator kunci. Perbaikan pada setiap dimensi harus dilakukan secara terintegrasi. Indeks keberlanjutan dimensi sosial sebesar 40.99% (kurang berkelanjutan) dan indikator kunci yang mempengaruhi keberlanjutan dari dimensi sosial adalah kelembagaan. Rancangan kelembagaan yang diusulkan merupakan hasil analisis Soft Systems Based Multimethodology (SSBM) yang merupakan kebaruan dalam metodologi. Hasil yang diperoleh yaitu usulan perubahan fungsi kelembagaan gapoktan yang semula hanya melakukan fungsi pemasaran, kemudian melakukan 3 unit usaha lainnya yaitu unit usaha simpan pinjam untuk sarana dan prasarana produksi bagi petani, unit usaha simpan pinjam dan teknologi pasca panen bagi kelompok tani, unit usaha tani untuk melakukan bimbingan teknis kepada petani dan memberikan lahan percontohan yang dapat diikuti oleh petani dan unit usaha pemasaran yang berhubungan dengan industri Grinding. Kelembagaan yang diusulkan, memerlukan aliansi keahlian yang berfungsi untuk memberikan masukan dan transfer pengetahuan kepada petani. Pendanaan Aliansi keahlian diharapkan berasal dari Industri Grinding, sehingga terjalin kerjasama yang kuat antara Industri Grinding dengan petani dan dapat memfasilitasi petani dalam perolehan ilmu pengetahuan untuk pengelolaan perkebunannya. Indeks keberlanjutan dimensi lingkungan sebesar 43.41% (kurang berkelanjutan) dan indikator kunci yang harus diperhatikan adalah produk sampingan kakao. Kakao menghasilkan produk sampingan yang cukup banyak, yaitu produk sampingan yang berasal dari kulit buah, pulpa biji dan daun. Produk sampingan tersebut apabila tidak diolah lebih lanjut dapat menimbulkan berbagai dampak yang mempengaruhi keberlanjutan rantai pasok agroindustri kakao, diantaranya yaitu dampak terhadap harga, mutu, kuantitas, finansial, lingkungan, pasar, transportasi dan penyimpanan. Untuk mengurangi dampak tersebut maka disusun perancangan strategi untuk mengatasi dampak produk sampingan. Pemilihan strategi dilakukan dengan menggunakan Fuzzy AHP. Strategi yang terpilih adalah Good Agricultural Practices (GAP). Petani harus diberi pengetahuan mengenai GAP dan GAP harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Implementasi GAP dapat meningkatkan kemampuan petani sehingga meningkatkan mutu dan produktivitas. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi adalah sebesar 20.75 % (tidak berkelanjutan) dan elemen kritisnya adalah keseimbangan distribusi keuntungan. Keuntungan yang diterima oleh para pelaku rantai pasok agroindustri kakao saat ini belum seimbang. Hal ini terjadi karena adanya oligopsoni dalam pasar kakao nasional, dimana industri pengolah biji kakao menjadi penentu harga di tingkat petani, sehingga menyebabkan tidak adanya motivasi petani untuk meningkatkan produktivitas kakao maupun mutunya. Untuk memperbaiki hal tersebut, dirancang model keseimbangan distribusi keuntungan dengan menggunakan simulasi Agent Based Model dan Fuzzy AHP. Berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa keuntungan yang seimbang diperoleh pada saat petani memperoleh keuntungan sebesar 28 % atau apabila keuntungan petani ditingkatkan sebesar 15 % dari total keuntungan saat ini. Besarnya informasi keuntungan setiap agent merupakan salah satu kebaruan yang diperoleh pada pemenilitian ini. Besarnya keuntungan setiap agent bervariasi tergantung kepada besarnya bobot risiko dan biaya. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa pada saat kapasitas yang tidak terlalu rendah (lebih dari 20 000 kg), rantai yang sebaiknya dipilih oleh petani adalah rantai 4 (Petani-UPH-Gapoktan-Grinding-Hilir). Pemilihan rantai ini pun memberikan pengertian bahwa petani sebaiknya hanya fokus pada pengolahan perkebunan, sementara untuk aktivitas pasca panen, sebaiknya dilakukan oleh kelompok tani (UPH) karena UPH sudah memiliki peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas pasca panen yang mampu menghasilkan mutu yang lebih baik. Terintegrasinya perbaikan keberlanjutan rantai pasok agroindustri kakao dapat meningkatkan kesejahteraan petani sehingga memotivasi petani untuk mengolah kebunnya dengan baik dan dapat menghindari terjadinya konversi lahan serta meningkatkan keberlanjutan rantai pasok agroindustri kakao. Keyword:Multi Dimensional Scaling, Interpretative Structural Modelling, Soft systems based multimethodology, Agent Based Model, Fuzzy AHP
Judul: Analisis hidtomorfometri dengan sediaan plastik dan parafin pada trabekula tulang ilium Macaca fascicularis hipoestrogenis yang terpapar sinar lampu ultraviolet beta (UV B) Abstrak:Kondisi hipoestrogenis pada wanita peri- dan pascamenopause sangat berkaitan dengan rendahnya massa tulang dan perubahan mikroarsitektur tulang, mengarah ke penyakit osteoporosis. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa paparan sinar lampu UV B terhadap Mecaca fascicularis hipoestrogenis maupun mengendalikan keseimbangan remodeling tulang melalui pemeriksaan kimia darah, namun hal ini belum dikaji lebih jauh pada tingkat seluler. Keyword:
Judul: The study of crude palm oil transportation using pipeline Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh model transportasi minyak kelapa sawit moda pipa dengan mengembangkan rancangan teknis dasar dan melakukan kajian aspek finansial rancangan teknis dasar tersebut. Penelitian mencakup perancangan teknis dasar transportasi MKS moda pipa, analisis finansial rancangan teknis dasar (diamater pipa 2 hingga 12 inci), dan pengembangan model transportasi rninyak kelapa sawit moda pipa. hcangan teknis dasar dikembangkan dengan menerapkan dua pendekatan, yaitu pendekatan berdasarkan volume minyak kelapa sawit yang diangkut saat ini, dan pendekatan berdasarkan kondisi pengaliran ideal. Keyword:
Judul: Kajian transportasi minyak kelapa sawit moda pipa Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk: memperoleh model transportasi minyak kelapa sawit moda pipa dengan mengembangkan rancangan teknis dasar dan melakuk:an kajian aspek finansial rancangan teknis dasar tersebut. Penelitian mencakup perancangan teknis dasar transportasi MKS moda pipa, analisis finansial rancangan teknis dasar ( diamater pipa 2 hingga 12 inci), dan pengembangan model transportasi minyak kelapa sawit moda pipa. Rancangan teknis dasar dikembangkan dengan menerapkan dua pendekatan, yaitu pendekatan berdasarkan volume minyak kelapa sawit yang diangkut saat ini, dan pendekatan berdasarkan kondisi pengaliran ideal. Analisis finansial rancangan teknis dasar dari kedua pendekatan tersebut dilakuk:an untuk: menghitung biaya angkut per km per kg, dan kriteria kelayakan investasi (NPV, IRR, BEP, PBP, dan BIC ratio). Suhu pengaliran minyak kelapa sawit ditetapkan 55°C (130°F). Pabrik kelapa sawit berkapasitas 30 ton TBS/jam dapat rnenggunakan jaringan pipa dengan diameter 3 inci (7,62 cm) untuk: transportasi MKS sebanyak sekitar 4000 ton/bulan dengan kecepatan alir rata-rata 1,3 kaki/detik (sekitar 0,40 rn/detik). Biaya angkut rninyak kelapa sawit per km untuk: jarak tempuh 70, 140, dan 210 km berturut­turut Rp. 2,400/kg; Rp. 2,3201kg; dan Rp. 2,29301kg. Analisis finansial menunjukkan bahwa investasi pada jaringan pipa untuk: rnengangkut sekitar 4000 ton minyak kelapa sawit/bulan bukan merupakan investasi yang menguntungkan. Hasil perancangan teknis dasar yang dikembangkan dengan pendekatan kondisi pengaliran ideal menunjuk:kan bahwa jaringan pipa berdiameter 2 hingga 12 inci dapat rnengalirkan rninyak kelapa sawit setiap hari pada suhu 55°C masing-rnasing sejumlah 147 hingga 5306 ton. Kapasitas PKS yang dibutuhkan untuk: menghasilkan minyak kelapa sawit sejumlah tersebut adalah 41,34 hingga 1492,31 ton TBS/jam. Luas kebun kelapa sawit yang dibutuhkan per tahun untuk memasok tandan buah segar bagi setiap pabrik dengan kapasitas olah tersebut antara 11 025 hingga 397 950 ha. Biaya angkut setiap kg rninyak kelapa sawit per km menggunakan moda pipa berkisar antara Rp 0,242 hingga Rp. 1,075 pada tingkat BEP. Apabila harga jasa transportasi MKS moda pipa ditetapk."n berdasarkan total biaya produksi MKS, investasi pada jaringan pipa layak apabila pipa berdiarneter di atas 6 inci. Model untuk pengembangan transportasi minyak kelapa sawit moda pipa terdiri dari tangki timbun di pabrik kelapa sawit sebagai titik awal, tangki timbun di pelabuhan sebagai titik tujuan, dengan jaringan pipa berdiarneter tertentu jenis AP/ 5L Grade B sebagai media pengaliran minyak kelapa sawit. Pipa dilengkapi insulator serat mineral untuk mempertahankan suhu 55°C. Minyak kelapa sawit mengalir pada kondisi mantap (steady state) pada kecapatan alir 3 kaki/detik. Pengaliran dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi dan tekanan dari pompa. Jaringan pipa untuk: transportasi MKS lebih sederhana karena sifat MKS yang tidak korosif, tidak dapat dimarnpatkan, rnengandung kotoran kurang dari 0,05 persen, dan kadar air kurang dari 0,45 persen. Keyword:minyak sawit; moda pipa; kajian finansial
Judul: Ecological, Genetic, and Conservation Studies of Tanimbar Corella (Cacatua goffiniana) in Tanimbar Islands, Maluku Abstrak:Indonesia is a country with high biodiversity rate, whether at the ecosystem, species, and genetic levels. One of them is the diversity of bird species of around 1883 species. Birds are very popular as pets, more than 2600 species of wild birds are traded internationally, dominated by Passeriformes and Psittaciformes. Indonesia has two families of Psittaciformes, namely Cacatuidae (seven species) and Psittaculidae (81 species), including the Tanimbar Cockatoo (Cacatua goffiniana) which is an endemic bird in the Tanimbar Islands of Maluku. Conservation activities carried out by the government for C. goffiniana still a series of challenges such as habitat loss, population decline, illegal trade, and law enforcement. Various studies are still needed to obtain comprehensive scientific data related to the species and its ecology. This study of Cacatua goffiniana aims to (a) obtain ecological data consisting of habitat, distribution, diet, breeding, and its interactions with other bird communities, (b) generate data on genetic characteristics consisting of mitochondrial genome structure, genetic diversity, and population mapping of C. goffiniana to trace the origin of confiscated birds and estimate their range, and (c) gather data on conservation implementation, potential legal utilization and threats to its sustainability. This study is expected will be of use as a scientific basis in the conservation strategies and policies so that they can be implemented appropriately to preserve C. goffiniana in Tanimbar Islands, Maluku. Direct observations and interviews to obtain ecological data consisting of distribution, habitat, diet, nest trees, bird species diversity and associations with other bird communities. The distribution of C. goffiniana was recorded in Yamdena, Selaru, Larat, Sera, and Molu (Tanimbar Islands, Maluku). Land cover classification analysis using the supervised classification method with Erdas Imagine 2014 on Landsat 8 OLI image data at path/row 106/065 and path/row 106/066. Land cover classification analysis resulting in six categories: forest, dry land and open land agriculture, mixed plantations, mangrove, built-up land, and wetland. The forest classification represents the largest percentage of land cover in Tanimbar Islands, especially on Yamdena, Waliaru, Selu, Molu, and Maru Island. Foraging, nesting and roosting activities were carried out in forest, plantation and open land habitats. Observations in forest and openland habitats identified 27 food species consumed by C. goffiniana in Tanimbar Islands. A total of six main food species in the forest are Canarium indicum, Ficus variegata, Manilkara fasciculata, Osmoxylon insidiator, Maranthes corymbosa, and Shorea polysperma. The breeding period of C. goffiniana occurs between August-December, with 20 nest trees recorded consisting of seven species, namely Canarium indicum, Pometia pinnata, Alstonia scholaris, Maranther corymbosa, Instia bijuga, Sterculita foetida, and Manilkara fasciculata. Observations made on Yamdena, Selaru, Vaimar, and Larat Island recorded 92 species of birds. The diversity of birds in various habitat types allowed for interaction between communities, particularly competing or sharing for food, nesting, and roosting sites. The genetic study of C. goffiniana analyzed the structure and composition of the mitochondrial genome (mitogenome), as well as genetic diversity using samples from Yamdena Island, Larat Island, Selaru Island, and confiscated BBKSDA East Java. Mitogenome analysis obtained a total nucleotide length of 19.083 bp, the structure consists of 13 protein-coding genes, two ribosomal RNA genes, and 24 transfer RNA genes. The complete mitogenome base composition is 29,8% Adenine; 23,9% Thymine; 31,2% Cytosine, and 15, 1% Guanine (AT:GC= 53,6:46,4). Mitogenome analysis showed differences at 74 sites that can be used to distinguish natural and breeding populations. Analysis of 49 samples with the COI, Cyt-B, and ND2 genes obtained a total nucleotide length of 2476 bp showing high genetic diversity, namely there is variation at 44 sites, forming 27 haplotypes, Haplotype diversity: 0,9464 and Nucleotide diversity: 0,0017. This indicates that mutations are still very early and not pose a threat which would lead to a genetic extinction. The birds will maintain a high ability to adapt to environmental changes and survive long term. With the insignificant genetic diversity of C. goffiniana in the Tanimbar Island among the populations of Yamdena, Selaru, and Larat, only a few confiscated samples could be determined for their location of origin, but all current populations might have originally came from Yamdena Island. Analysis of high haplotypes diversity, either due to random interbreeding or low possibility of inbreeding, was further as a basic assumption for estimating home range with resulted the furthest estimated range about 154,51 km. The conservation implementation study of C. goffiniana was conducted by collecting data on international trade reported to CITES, illegal trade threats, and breeding in conservation and captive facilities. The total number of C. goffiniana legally traded from 1981 to 2018 was 151.681 individuals, of which 141.441 individuals were traded before it was designated as a protected bird (1981-1990). The government encourages various parties to carry out exitu conservation through conservation and captive breeding facilities. Ten out of 51 conservation organizations only have bred 46 individuals of C. goffiniana, and six other captive breeders bred a total of 96 individuals. This number is far from enough to produce a second generation that will fulfill the market demand. This situation has led to illegal trade and poaching, with 237 individuals illegally traded between 2009- 2020, a number that may be underestimate the amount of smuggling that occurs because it goes unnoticed and under-reported by various parties. Some suggestion programs for the conservation of C. goffiniana to prevent extinction are population and habitat management, strengthening regulations and policies, developing ex-situ conservation, and providing sustainable funding. Conservation must be carried out through cooperation with collaborative and participatory concepts from various stakeholders, Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, baik pada tingkat ekosistem, jenis, dan genetik. Salah satu diantaranya adalah memiliki keanekaragaman jenis burung sekitar 1883 jenis. Burung sangat diminati masyarakat sebagai hewan kesayangan, tercatat lebih dari 2600 jenis burung liar diperdagangkan secara internasional yang didominasi oleh Passeriformes dan Psittaciformes. Psittaciformes yang ada di Indonesia terdiri dari dua famili yaitu Cacatuidae (tujuh jenis) dan Psittaculidae (81 jenis). Salah satunya adalah kakatua tanimbar (Cacatua goffiniana), burung endemik di Kepulauan Tanimbar, Maluku. Kegiatan konservasi C. goffiniana yang dilakukan pemerintah masih menghadapi berbagai tantangan seperti kehilangan habitat, penurunan populasi, perdagangan illegal, dan penegakan hukum. Berbagai kajian masih diperlukan untuk mendapatkan data ilmiah yang komprehensif terkait jenis maupun ekologinya. Penelitian ini bertujuan untuk (a) mendapatkan data ekologi yang terdiri atas habitat, sebaran, pakan, perkembangbiakan, dan interaksi dengan komunitas burung lainnya, (b) mendapatkan data karakteristik genetik yang terdiri atas struktur dan komposisi mitogenom, keragaman genetik dan pemetaan populasi C. goffiniana untuk penelusuran asal usul burung sitaan dan pendugaan daya jelajahnya, dan (c) mendapatkan data implementasi konservasi, potensi pemanfaatan secara legal dan ancaman kelestariannya. Kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar ilmiah dalam penyusunan strategi dan kebijakan konservasi sehingga dapat diimplementasikan secara tepat. Pengamatan langsung dan wawancara untuk mendapatkan data ekologi C. goffiniana yaitu sebaran, habitat, pakan, masa berbiak, pohon sarang, keragaman jenis burung di Kep. Tanimbar dan asosiasi C. goffiniana dengan komunitas burung lainnya. Sebaran C. goffiniana tercatat di Pulau Yamdena, Pulau Selaru, Pulau Larat, Pulau Sera, dan Pulau Molu. Analisis klasifikasi tutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing dengan Erdas Imagine 2014 pada data citra Landsat 8 OLI di lokasi path/row 106/065 dan path/row 106/066. Analisis klasifikasi tutupan lahan menghasilkan enam kategori: hutan, pertanian lahan kering dan lahan terbuka, perkebunan campuran, mangrove, lahan terbangun, dan lahan basah. Klasifikasi hutan merupakan persentase terbesar tutupan lahan Kep. Tanimbar terutama di P. Yamdena, P.Waliaru, P. Selu, P. Molu, dan P. Maru. Aktivitas mencari pakan, sarang, dan tenggeran dilakukan di habitat hutan, perkebunan campuran, serta pertanian lahan kering dan lahan terbuka. Pengamatan di habitat hutan dan lahan terbuka mengidentifikasi sebanyak 27 jenis pakan yang dikonsumsi C. goffiniana di Kep. Tanimbar. Sebanyak enam jenis pakan utama di hutan yaitu Canarium indicum, Ficus variegata, Manilkara fasciculata, Osmoxylon insidiator, Maranthes corymbosa, dan Shorea polysperma. Masa berbiak terjadi antara Agustus-Desember, tercatat 20 pohon sarang yang terdiri atas tujuh jenis yaitu Canarium indicum, Pometia pinnata, Alstonia scholaris, Maranther corymbosa, Instia bijuga, Sterculita foetida, dan Manilkara fasciculata. Pengamatan keragaman avifauna yang dilakukan di P.Yamdena, P. Selaru, P. Vaimar dan P. Larat mencatat sebanyak 92 jenis. Keragaman burung di berbagai tipe habitat memungkinkan terjadinya interaksi kompetisi dan berbagi untuk mendapatkan pakan, tempat bersarang, dan bertengger. Kajian genetik C. goffiniana menganalisis struktur dan komposisi genom mitokondria (mitogenom), serta keragaman genetik. Sampel berasal dari P.Yamdena, P. Larat, P.Selaru, dan hasil sitaan. Analisis mitogenom mendapatkan panjang nukleotida 19.083 bp, strukturnya terdiri atas 13 gen pengkode protein, dua gen ribosomal RNA, dan 24 gen transfer RNA. Komposisi basa mitogenom lengkapnya yaitu 29,8 % Adenin; 23,9 % Timin; 31,2 % Sitosin, dan 15,1% Guanin (AT:GC=53,6:46,4). Analisis mitogenom menunjukkan adanya perbedaan pada 74 situs sehingga dapat digunakan untuk membedakan populasi alam dan hasil pengembangbiakan. Analisis sebanyak 49 sampel dengan gen COI, CytB dan ND2 memperoleh panjang nukleotida 2476 bp menunjukkan keragaman genetik yang tinggi, yaitu terdapat variasi pada 44 situs, membentuk 27 haplotipe, haplotype diversity: 0,9464 dan nucleotide diversity : 0,0017. Hal ini mengindikasikan bahwa mutasi yang terjadi masih sangat awal dan belum mengancam kepunahan genetik. Burung akan mempunyai kemampuan tinggi dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Keanekaragaman genetik C. goffiniana belum menunjukkan adanya perbedaan yang jelas antara populasi P. Yamdena, P. Selaru, dan P. Larat. Beberapa sampel sitaan dapat diketahui secara detail lokasi asalnya, namun diduga semua populasi awalnya berasal dari P.Yamdena. Keragaman haplotipe tinggi diantaranya terjadi karena perkawinan silang secara acak atau terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding) rendah. Hali ini dapat digunakan sebagai asumsi dasar pendugaan daya jelajah. Hasil pengukuran jarak diperoleh dugaan daya jelajahnya sekitar 154,51 km. Kajian implementasi konservasi C. goffiniana dilakukan dengan pengumpulan data perdagangan internasional yang dilaporkan ke CITES, ancaman perdagangan ilegal, serta pengembangbiakan di lembaga konservasi dan penangkaran. Jumlah total C. goffiniana yang diperdagangkan secara legal tahun 1981-2018 adalah 151.681 ekor, diantaranya sebanyak 141.441 ekor diperdagangkan sebelum ditetapkan sebagai burung yang dilindungi. Pemerintah mendorong berbagai pihak untuk melakukan konservasi eksitu melalui lembaga konservasi dan penangkaran. Sebanyak 10 dari 51 lembaga konservasi hanya memiliki 46 ekor C. goffiniana, dan enam penangkaran mengembangbiakkan dengan jumlah 96 ekor. Jumlah ini belum cukup untuk menghasilkan generasi kedua yang dapat memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini membuka peluang terjadinya perdagangan ilegal dan pengambilan langsung dari alam. Tercatat 237 individu telah diperdagangkan secara ilegal pada tahun 2009-2020, jumlah ini mungkin masih dibawah dari angka penyelundupan yang terjadi karena tidak diketahui dan dilaporkan oleh berbagai pihak. Beberapa usulan program konservasi C. goffiniana untuk mencegah kepunahan yaitu pengelolaan populasi dan habitat, penguatan peraturan dan kebijakan, pengembangan konservasi ek-situ, dan penyediaan pendanaan berkelanjutan. Konservasi harus dilakukan melalui kerjasama dengan konsep kolaboratif dan partisipatif dari berbagai pihak pemangku kepentingan. Keyword:confiscated, conservation, genetic diversity, habitat, Tanimbar Corella
Judul: Ground Surface Dwelling Predatory Arthropods In Soybean Fields: Abundance, Predation Pressure, And Effects Of Cultural Practices Abstrak:Penelitian dilakukan pada pertanaman kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur pada MT 1997 dan 1998, dan di Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Karawang pada MT 2000. Penelitian bertujuan untuk menentukan komposisi dan kelimpahan artropoda predator penghuni permukaan tanah dan tekanan pemangsaannya, dan mengkaji pengaruh beberapa praktek budidaya tanaman seperti mulsa jerami dan aplikasi insektisida dan herbisida. Kelimpahan predator diamati menggunakan lubang perangkap, dan tekanan pemangsaan dievaluasi menggunakan larva dan pupa Spodoptera litura (F.) sebagai mangsa umpan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada permukaan tanah di pertanaman kedelai ditemukan lebih dari 15 jenis artropoda predator. Dua jenis yang paling dominan di Cianjur adalah laba-laba serigala Pardosa pseudoannulata (Boes. & Str.) (Araneae: Lycosidae) dan kumbang tanah Pheropsophus occipitalis (MacLeay) (Coleoptera: Carabidae), sedangkan di Karawang hanya jenis yang disebut pertama yang dominan. Demikian juga tekanan pemangsaan di Cianjur sekitar 9 kali lipat lebih tinggi daripada di Karawang. Perbedaan dominasi dan tekanan pemangsaan ini diduga berhubungan dengan perbedaan struktur lansekap dan intensitas penggunaan insektisida di kedua tempat tersebut. Kelimpahan artropoda predator penghuni permukaan tanah di Cianjur pada MT 1997 lebih rendah dibandingkan MT 1998, demikianjuga halnya dengan. detritivor seperti colembolan dan tungau., Cianjur during the two soybean growing seasons of 1997 and 1998, and in the sub district of Lemahabang, Karawang during 2000. The objectives were to determine the composition and abundance of ground surface dwelling predatory arthropods and their predation pressure, and to evaluate the effects of some cultural practices, i.e. straw mulching, and insecticide and herbicide applications. Ground surface dwelling predatory arthropods were monitored using pitfall traps, and their predation pressure was evaluated using larvae and pupae of Spodoptera litura (F.) as baits. Our research revealed more than 15 species of ground-dwelling predators. The most dominant predators in Cianjur were wolf spider Pardosa pseudoannulata (Boes. & Str.) (Araneae: Lycosidae) and ground beetle Pheropsophus occipitalis (MacLeay) (Coleoptera: Carabidae), whereas in Karawang only the first mentioned species. Predation pressure in Cianjur was 9 times higher than those in Karawang. The differences in species dominance and predation pressure were thought to be related to differences in landscape stuctures and intensity of pesticide uses between the two locations. Abundance of ground-dwelling predators in Cianjur during 1997 growing season was much lower compared to those during 1998, and the same with the detritivores such as collembolans and mites. Predation pressure on lepidopteran larvae placed on soil surface reached 18 individuals per 2 hours which was mostly caused by ground beetles, whereas on pupae 10 individuals per 2 hours caused by shrew. Predation pressure on larvae at distance of 1 m from field bunds were 5 times higher than those placed at 5 m. Predation occurred mostly during the night. Some of the predators climbed the soybean canopy to prey the larvae. Predation pressure decreased with the increasing size of canopy. Incorporation of straw mulch onto soil surface inreased abundance of wolf spiders, dwarf spiders, and ants. The increase of predator population generally occurred several days following mulching. Conversely, burning of straw caused deleterious effects on predators. Immediatelly after burning, abundance of wolf and dwarf spiders, ants, and rove beetles decreased 66 up to 100%, but then they recovered due to recolonization. The negative impacts will last longer if burning covers large areas. Keyword:Arthropods, Soybean, Abudance, Predation pressure
Judul: Hubungan Antara Struktur Lanskap Pertanian Dengan Komunitas Lepidoptera Dan Hymenoptera Parasitika Abstrak:Sektor pertanian masih dihadapkan pada permasalahan rendahnya produksi komoditas pertanian walaupun berbagai cara telah dilakukan baik melalui pendekatan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Di sisi lain, pendekatan tersebut menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati yang diketahui memiliki kontribusi besar pada layanan ekosistem dalam usaha mewujudkan pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, lahan pertanian yang kurang sesuai bagi perkembangan serangga hama namun mendukung perkembangan musuh alami perlu dirancang. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara struktur lanskap, keanekaragaman spesies dan interaksi spesies yang terjadi di pertanaman, sehingga dapat dikembangkan menjadi landasan pengembangan pengendalian hama dalam rangka mewujudkan pertanian berkelanjutan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui komposisi dan konfigurasi lanskap pertanian di kawasan Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, Jawa Barat; (2) mempelajari praktik budi daya mentimun yang dilakukan oleh petani; (3) menjelaskan hubungan antara kompleksitas lanskap pertanian dengan komunitas hama Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika; (4) menjelaskan hubungan antara jarak dari habitat alami dengan komunitas Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika; (5) mempelajari pergerakan parasitoid yang dominan memarasit serangga herbivora pada tanaman mentimun dan mengukur jarak terbang parasitoid tersebut. Daerah penelitian adalah lanskap pertanian yang berada di kawasan Bogor, Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat. Pada daerah tersebut ditentukan 16 lokasi penelitian dengan kriteria memiliki lahan pertanaman mentimun, luas pertanaman mentimun 1 250 m2 (25 m x 50 m), jarak antar lokasi penelitian minimal 3 km dan memiliki habitat alami. Kuantifikasi lanskap dilakukan pada radius 500 m, dengan pertanaman mentimun sebagai titik pusatnya. Secara umum, 16 lokasi penelitian tersebut memiliki jenis penggunaan lahan yang sama, yaitu lahan pertanian, pepohonan, semak, perumahan, jalan dan badan air. Dalam radius 500 m (78.56 ha), kondisi lanskap di masing-masing lokasi penelitian tersebut sangat bervariasi. Proporsi lahan pertanian berkisar 16.20% – 68.56%, sedangkan area pepohonan berkisar antara 4.6% – 61.40%. Jenis tanaman yang dibudidayakan berjumlah 3 – 15 tanaman. Number of patch (NumP) berkisar antara 46 – 190, mean patch size (MPS) berkisar antara 0.41 – 1.72 ha, total edge (TE) berkisar antara 26 735 – 59 812 m. Matriks lokasi penelitian adalah lahan pertanian. Lokasi penelitian dapat dikelompokan menjadi empat tipe lanskap yaitu lanskap sangat sederhana (habitat alami 12%), sederhana (habitat alami 22%), kompleks (habitat alami 31%) dan sangat kompleks (habitat alami 35%). Berdasarkan jarak dari habitat alami, lanskap dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertanaman dekat dari habitat alami (< 200 m) dan jauh dari habitat alami (> 400 m). Petani mentimun di empat tipe lanskap tersebut umumnya memiliki usia produktif, luas lahan garapan < 0.5 ha, pendidikan petani rendah dan tidak pernah mengikuti penyuluhan pertanian. Menurut petani responden, Diaphania indica vi (Lepidoptera: Crambidae) merupakan hama yang ditemukan sepanjang masa pertumbuhan tanaman mentimun, sedangkan Aulacophora similis (Coleoptera: Chrysomelidae) dianggap sebagai hama utama pada masa awal pertumbuhan tanaman mentimun. Seluruh petani responden tidak mengetahui peran serangga sebagai musuh alami dan penyerbuk. Petani umumnya menggunakan pestisida untuk mengendalikan serangan hama. Perilaku petani dalam penggunaan pestisida relatif tidak berbeda antar tipe lanskap. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompleksitas lanskap tidak memengaruhi komunitas Lepidoptera namun memengaruhi kelimpahan parasitoid, keanekaragaman fungsional Hymenoptera parasitika dan parasitisasinya. Rata-rata ukuran patch (MPS) dan jumlah patch (NumP) habitat pertanian memengaruhi parasitisasi dan keanekaragaman fungsional Hymenoptera parasitika. Peningkatan rata-rata ukuran patch habitat pertanian menyebabkan parasitisasi dan keanekaragaman fungsional menurun, dan sebaliknya pertambahan jumlah patch pertanian akan meningkatkan parasitisasi dan keanekaragaman fungsional Hymenoptera parasitika. Jarak pertanaman mentimun dari habitat alami tidak memengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan komunitas Lepidoptera, parasitoid primer dan hiperparasitoid pada pertanaman tersebut. Namun, jarak pertanaman mentimun dari habitat alami memengaruhi persentase Diaphania indica terparasit. Keanekaragaman dan kelimpahan Hymenoptera parasitika cenderung meningkat dengan semakin dekatnya pertanaman mentimun dari habitat alami. Sejumlah 56 (43.1%) spesies Hymenoptera parasitika hanya ditemukan pada pertanaman dengan jarak tertentu saja dari habitat alami. Dari jumlah tersebut, sebanyak 39 spesies (69.6%) Hymenoptera parasitika ditemukan di pertanaman mentimun yang berjarak dekat dari habitat alami, sedangkan pada pertanaman yang berjarak sedang dari habitat alami ditemukan 17 spesies (13.1%). Keragaman fungsional Hymenoptera parasitika cenderung meningkat dengan semakin dekatnya lahan pertanaman ke habitat alami. Perilaku pemencaran parasitoid merupakan informasi yang harus diketahui agar tindakan konservasi parasitoid berlangsung efektif. Pola pemencaran Apanteles taragame (Hymenoptera: Braconidae) dan inangnya adalah berkelompok. Apanteles taragamae mampu terbang hingga 53.6 m dari titik pelepasan. Pemencaran dan kemampuan terbang parasitoid dipengaruhi oleh keberadaan inang dan bukan oleh kondisi habitat sekitar pertanaman. Keyword:Lanskap sederhana, lanskap kompleks, Lepidoptera, Hymenoptera parasitika, Indonesia
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Analisis kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir selatan Gorontalo Abstrak:Penelitian ini dilakukan di pantai selatan Gorontalo, bertujuan untuk menentukan alternatif kebijakan, pola dan strategi pengembangan perikanan tangkap dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir selatan Gorontalo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Data primer dan sekunder diperoleh dari hasil wawancara, observasi langsung di lapangan, lembaga-Iembaga pemerintah dan institusi yang terkait. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi sektor perikanan tangkap terhadap output wilayah, Produk Domestik Regional Bruto dan pendapatan wilayah secara absolut relatif tinggi masing-masing 2.17 %, 2.93 % dan 3.65 %. Alokasi optimum armada penangkapan ikan tersebut dapat menghasilkan:: total produksi untuk perikanan pelagis kecil sebesar 758 648 kg, perikanan pelagis besar 43 476 kg, perikanan karang 22 979 kg, total keuntungan usaba Rp 165 674 447, penyerapan tenaga kelja sebanyak 158 orang, pendapatan asli daerah sebesar RP 52 470 810 dan penerimaan devisa negara melalui ekspor hasil perikanan sebesar US $ 586 470. Tingkat partisipasi masyarakat tinggi terhadap pembentukan prioritas jenis kebutuhan, pengambilan keputusan, membangun kekuatan manejerial , membangun kekuatan produksi , membangun kekuatan pemasaran dan penilaian terhadap sosial ekonomi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis finansial dan ekonomi untuk usaha pancing ulur dan pukat cincin menunjukkan layak untuk dikembangkan. Prioritas yang paling tinggi untuk dikembangkan dalam usaha pancing ulur dan pukat cincin ada1ah mutu dan harga produk, potensi pasar serta sarana dan prasarana. Aktor yang mempunyai peranan paling besar ada1ah pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan koperasi nelayan. Prioritas tertinggi sebagai tujuan pengembangan usaha perikanan tersebut ada1ah sumberdaya ikan lestari, sarana dan prasarana memadai dan pendapatan asli daerah. Kebijakan strategis yang perlu digunakan adalah pengembangan pola kemitraan usaba penangkapan, peningkatan ptoduktivitas usaba penangkapan dan pengembangan produk sesuai permintaan pasar. Keyword:
Judul: Development of fisheries capture in North Gorontalo Abstrak:Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya perikanan yang belum banyak dimanfaatkan adalah sumberdaya perikanan tangkap. Kabupaten Gorontalo Utara yang termasuk pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Laut Sulawesi sampai Samudera Pasifik diperkirakan mempunyai potensi perikanan tangkap sebesar 590.970 ton yang terdiri dari ikan pelagis besar 175.260 ton, ikan pelagis kecil 384.750 ton, dan jenis ikan lainnya sebesar 30.960 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara, 2010). Potensi perikanan tangkap di perairan Kabupaten Gorontalo Utara saat ini, belum diketahui berapa besar potensi per jenis ikan, terutama untuk jenis ikan yang dominan tertangkap di perairan tersebut. Pentingnya mengetahui potensi sumberdaya ikan adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan oleh nelayan, swasta dan pemerintah. Pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Gorontalo Utara masih dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan pengembangan perikanan, hanya saja hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut diantaranya adalah pengembangan teknologi alat tangkap purse seine yang dikelola secara kelompok dan bantuan perahu bermesin yang mengalami kegagalan. Saat ini, kebijakan pengembangan perikanan yang masih dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan minapolitan perikanan tangkap. Berbagai kendala dalam pengembangan perikanan, mengharuskan pemerintah dan stakeholder untuk cermat dalam merumuskan dan menetapkan setiap kebijakan sesuai dengan tujuan yang diharapkan serta faktor-faktor yang mendukung tercapainya suatu kebijakan pengembangan perikanan tangkap. Untuk itu, perlunya suatu kajian pengembangan perikanan tangkap yang menjadi salah satu acuan kebijakan pengembangan perikanan, khususnya perikanan tangkap. Tujuan penelitian yaitu: pertama mengevaluasi implementasi program minapolitan perikanan tangkap Kabupaten Gorontalo Utara, kedua menentukan Keyword:
Judul: Chrysantheum B carlavirus (CVB) that infected Chrysanthemum in Indonesia: characterization and development of detection methode Abstrak:Infection of chrysantheum B carlavirus (CVB) in chrysanthemum has reported from many countries where the plants were cultivated. In a survey of chrysanthemum growing fields (and greenhouse) in Cianjur regency, West Java, Indonesia, some chrysanthemum cultivars exhibited a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves; and color breaking of flowers. Keyword:biological characters, molecular characters, serological technique, electron microscopy analysis, West java
Judul: Integrasi Penggunaan Lecanicillium sp. dan Helicoverpa armigera Nucleopolyhedrovirus (HearNPV) untuk Pengendalian Penggerek Tongkol Helicoverpa armigera (Hubner) pada Jagung Manis Abstrak:Penggerek tongkol jagung Helicoverpa armigera merupakan salah satu hama penting pada tanaman jagung di Indonesia. Hama tersebut menyerang tongkol jagung, pucuk dan malai, sehingga bunga jantan tidak terbentuk yang mengakibatkan hasil tanaman berkurang. Selain itu, infestasi serangga ini dapat menurunkan kualitas dan kuantitas tongkol jagung. Sifat polifagus serangga tersebut dan ketersediaan inang menyebabkan populasi H. armigera selalu tinggi sepanjang musim. H. armigera juga mempunyai kapasitas reproduksi tinggi dengan potensi perkembangan cepat, sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih generasi sepanjang siklus tanaman. Pengendalian hama ini secara kimiawi sebaiknya dihindari agar bisa meminimalkan risiko keracunan terhadap pengguna, dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang menguntungkan. Penggunaan mikroorganisme entomopatogen diharapkan dapat mengendalikan populasi hama dan aman bagi serangga yang bermanfaat, seperti cendawan Lecanicillium sp. dan virus HearNPV yang memiliki kelebihan dibandingkan biopestisida lain. Perbanyakan patogen tersebut lebih murah dari pada bakteri karena dapat diperbanyak secara massal dengan metode sederhana, kapasitas reproduksi tinggi, dan relatif persisten di lapangan. Berdasarkan hal tersebut, Lecanicillium sp. dan HearNPV diharapkan efektif mengendalikan H. armigera. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi dan menguji: patogenisitas Lecanicillium sp. terhadap penggerek tongkol jagung H. armigera, patogenisitas Lecanicillium sp. dan HearNPV yang diaplikasikan secara terpisah dan dalam campuran terhadap H. armigera di laboratorium, keefektifan dan pengaruh residu Lecanicillium sp. dan HearNPV di lapangan, dan karakteristik molekuler Lecanicillium sp. dengan menggunakan primer ITS1 dan ITS4 serta persentase kemiripan isolat dengan beberapa spesies Lecanicillium lainnya. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Percobaan semi lapangan dilakukan di kebun percobaan IPB Cikabayan, sedangkan identifikasi Lecanicillium sp. dilakukan di IPB Culture Collection, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Uji patogenisitas dilakukan dengan aplikasi konidia Lecanicillium sp. terhadap telur dan larva dengan kerapatan konidia 105, 106, 107 konidia/ml dan kontrol diberi perlakukan air steril. Penelitian di laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan data hasil penelitian diolah menggunakan progam SPSS versi 16.1, sedangkan analisis probit untuk menentukan nilai LT25,50,75 dan LC25,50,75 dengan menggunakan progam progam SAS versi 6.12. Penelitian di lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Urutan nukleotida sampel dibandingkan dengan urutan nukleotida Lecanicillium lain yang telah dipublikasikan di situs National Centre v for Biotechnology Information (NCBI) melalui program BLAST (Basic Local Alignment Search Tools). Data urutan nukleotida yang terpilih dianalisis menggunakan program Bioedit ver 7.1.7 dan Clustal W untuk mengetahui homologi nukleotida sampel. Analisis filogeni dilakukan berdasarkan pendekatan Neighbor-Joining dengan Bootstrap 1000x dengan program MEGA-6. Uji virulensi Lecanicillium sp. terhadap penggerek tongkol jagung H. armigera menunjukkan bahwa aplikasi suspensi konidia terhadap telur mampu mengakibatkan mortalitas telur sebesar 13.75%, dan berpengaruh terhadap mortalitas larva instar pertama dengan mortalitas sebesar 98.75% pada perlakuan 107 konidia/ml. Lecanicillium sp. juga mampu menyebabkan mortalitas larva H. armigera, pada perlakuan konsentrasi yang sama sebesar 41.25%, dengan nilai LT25, 50, 75 masing-masing sebesar 3.95, 7.12, 12.82 (hari) dan LC25, 50, 75 masingmasing sebesar 4.6x105, 1.7x106, 4.6x109 (konidia/ml). Uji patogenisitas Lecanicillium sp. dan HearNPV terhadap H. armigera di laboratorium menunjukkan bahwa bahwa aplikasi HearNPV tidak mampu menginfeksi telur, tetapi berpengaruh terhadap mortalitas larva yang baru menetas, pada kerapatan 107 PIBs/ml mencapai 100%, dan mortalitas larva instar dua pada kerapatan yang sama sebesar 90%, sementara pada aplikasi campuran Lecanicillium sp. dan HearNPV terhadap telur pada kerapatan 107 mencapai 17.5%, dan dari telur yang menetas, larva dihasilkan akhirnya mati sebesar 100%. Mortalitas larva hari ke tiga, pada konsentrasi 107 dengan aplikasi campuran (Lecanicillium sp. dan HearNPV) sebesar 26.25%. Nilai LT50 pada aplikasi HearNPV terhadap larva H. armigera lebih rendah dibandingkan dengan aplikasi campuran, pada HearNPV sebesar 2.03 hari sementara pada aplikasi campuran sebesar 3.23 hari. Uji keefektifan Lecanicillium sp. dan HearNPV terhadap H. armigera di lapangan menunjukkan aplikasi HearNPV lebih efektif dari pada aplikasi Lecanicillium sp. Kerusakan tongkol terendah pada aplikasi HearNPV sebesar 17.5%, sementara pada aplikasi Lecanicillium sp. sebesar 50% dan pada aplikasi suspensi campuran kerusakan tongkol sebesar 22.5%. Residu HearNPV dan konidia Lecanicillium sp. masih berhasil diisolasi setelah 15 hari perlakuan, residu konidia pada tanah menghasilkan 13 colony forming units/ml. Hasil analisis urutan DNA menunjukkan Lecanicillium sp. memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan L. kalimantanense strain BTCC F23 dengan tingkat homologi sebesar 94%. Berdasarkan analisis filogenetik Lecanicillium sp. berada dalam cluster yang sama dengan L. kalimantanense strain BTCC F23 dan V. indonesiacum strain BTCC-F36, sedangkan L. lecanii lebih dekat dengan L. attenuatum, dan L. muscarium, namun tidak menutup kemungkinan untuk pemberian nama baru terhadap spesies tersebut. Keyword:Helicoverpa armigera, isolat, larva, mortalitas, telur
Judul: Study of entomopathogenic fungi Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) zare & gams to control pod sucking bug Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: alydidae) Egg. Abstrak:Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams is one of the most entopathogenic fungi that can be used to control pod sucking bug Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) egg. The effectiveness of fungi were affected by intraspecies virulence, conidia density, host developmental stage, and environmental factors. The purposes of this research are: (1) to study the phisiological character of various L. lecanii isolates and their virulence to pod sucking bug R. linearis egg, (2) to obtain the maximal conidia density of L. lecanii to control different ages of R. linearis eggs, and (3) to study the effect of several vegetable oils as adjuvant to increase the effectiveness of fungi. Among 37 isolates tested, isolates Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll- JTM15, and Ll-TB2 were judged as the most virulent. The fungi that were virulent were isolated from insect cadaver killed by fungi in the field, while fungi isolated from the soil in general did not show high infectivity. The virulent isolates showed higher growth rate, formed wholly colony, produced more conidia than avirulent isolates, had large conidial size up to 6.5 x 2.5 ìm. More than 95% germ tubes of virulent isolates were formed after 12 hours incubation in the water. The conidia density of 108/ml was found as an effective preparation against newly laid and less than one day old insect eggs. During in vitro experiment, peanut, soybean, and coconut oil increased the growth and development of the fungi. The persistence of fungal conidia on the soybean leaf surface could be maintained until seven days after application. Mixing the vegetable oil at concentration 10 ml/l fungal suspension, increased infectivity of the fungi and decreased hatchability of the egg until 20%. Therefore, damage intensity as indicated by sum of spots, empty pods, and weight of grains were reduced. Adding vegetable oil to the fungal preparation, yielded 40% more grain weight as compared to control. Among three vegetable oils tested, the effect of peanut oil was more pronounced than soybean and coconut oil. Keyword:Virulence, Soybean pod, Vegetable oils, Conidia
Judul: Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa Abstrak:Pendekatan pembangunan yang banyak diterima para ahli adalah pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang berarti bahwa dalam pembangunan diperlukan keikutsertaan rakyat. Keikutsertaan tidak hanya pada tahap merencanakan pembangunan, akan tetapi juga ikut dalam melaksanakan, bahkan sampai pada menilai hasil-hasil pembangunan (Cohen dan Uphoe 1977; Dusseldorp, 1981; Slamet, 1993). Agar rakyat yang berhimpun dalam kelompok-kelompok dapat ikut serta, mereka harus memiliki sejumlah kualifikasi yang diperlukan untuk itu. Keyword:
Judul: Kajian Pusaran Arus Halmahera (Halmahera Eddy) Menggunakan Data Satelit Multisensor dan Hidrografi Serta Kaitannya Dengan Produktivitas Cakalang (Katsuwonus pelamis) Abstrak:Wilayah perairan ekuator Pasifik barat dikenal mempunyai karakter oseanografi yang sangat dinamis. Perairan wilayah ini merupakan tempat persilangan (cross road) massa air yang berasal dari bumi belahan selatan dan belahan utara Samudera Pasifik serta tempat pembentukan massa air Arlindo dan Arus Sakal Katulistiwa Utara. Perairan ini juga dikenal mempunyai suhu permukaan laut paling hangat di dunia (rata-rata sepanjang tahunnya ≥ 29oC), tingkat presipitasi yang tinggi dibanding evaporasinya. Lapisan permukaannya terisolasi oleh lapisan penghalang (barrier layer) yang menahan naiknya massa air bawahnya (upwelling) menjadikan perairan ini miskin akan klorofil pada lapisan permukaannya (oligotropik). Meskipun produktivitas primernya rendah, pada kenyataannya perairan ini banyak mendukung berbagai habitat jenis ikan tuna. Wilayah yang dikenal dengan Kolam Hangat ini bahkan menyuplai bagian terbesar produksi tuna dunia (> 1.5 juta ton pertahun) di Samudera Pasifik atau sekitar 40% jumlah tangkapan tuna dunia dihasilkan dari wilayah perairan ini. Dua spesies tuna yang ditangkap didominasi oleh Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Madidihang (Thunnus albacores). Salah satu fenomena yang menarik dikaji adalah arus pusar Halmahera (Halmahera Eddy/HE) yang terbentuk akibat tubrukan antara dua arus berlawanan arah yaitu Arus Mindanao dari bumi belahan utara dan Arus Pantai Utara Papua (New Guinea Coastal Current dan New Guinea Coastal Under Current) dari bumi belahan selatan. Halmahera Eddy juga sebagai pembentuk sumber massa air Arlindo (Indonesia Through Flow) di gerbang timur yang merupakan bagian dari sirkulasi arus termohaline global. Pertemuan massa air dari dua belahan bumi ini membentuk front lautan tempat dimana sumber massa air Arus Sakal Katulistiwa Utara (North Equatorial Counter Current) dibentuk. Terbentuknya Halmahera Eddy (dan juga Mindanao Eddy) akan menjadi sumber utama variabilitas dalam proses biologi dan biogeokimia di perairan ini. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji karakteristik HE berdasarkan citra klorofil Aqua MODIS, data altimteri dan data hidrografi; (2) Mengkaji pertumbuhan dan pergeseran HE secara skala waktu dan ruang; (3) Mengkaji hubungan pergeseran HE dengan produktivitas cakalang di sekitar perairan studi. Penelitian ini mengambil lokasi di perairan antara Mindanao dengan Papua dimana HE terbentuk, selama satu dasawarsa mulai Juli 2002 sampai Desember 2012. Data yang digunakan meliputi sebaran klorofil-a permukaan dan Suhu Permukaan Laut dari citra satelit Aqua MODIS, data hidrografi berupa vektor arus dari Shipboard ADCP dan raut suhu dan salinitas dari XCTD/CTD dari Survei Tropical Ocean Climate Study (TOCS), data anomali muka laut dari satelit Jason-1 passingtrack #164 dan passingtrack #253. Sedangkan data tangkapan cakalang diperoleh data log book kapal purse-seine yang berlabuh di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung Sulawesi Utara, Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dalam kategori data public domain, dan Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara. Halmahera Eddy diidentifikasi berdasarkan rona klorofil-a permukaan tinggi yang membentuk jejak pada sirkulasi pusaran arus HE. Verifikasi dilakukan secara kualitatif terhadap karakter umum eddy antisiklonik seperti raut klorofil-a permukaan dan suhu permukaan laut, vektor arus serta sebaran melintang suhu dan salinitas di bawah lapisan permukaannya. Metode sensus digunakan dalam pengambilan data statistik meliputi posisi pusat pusaran, besar diameter pusaran, bentuk rona dan nilai konsentrasi klorofil-a permukaan selama periode penelitian, sehingga diperoleh data deret waktu karakter HE. Analisis dilakukan untuk melihat perkembangan dan pergeseran HE berdasarkan skala waktu dan ruang melalui analisis deret waktu meliputi analisis harmonik dan analisis penapis lintasan jalur. Untuk melihat dinamika permukaan HE dari citra altimetri dilakukan melalui diagram Hovmoller. Hasil penelitian menunjukkan identifikasi struktur permukaan HE menggunakan citra klorofil-a permukaan memperlihatkan timbulnya rona klorofil-a yang terbentuk akibat sirkulasi aliran HE, konsentrasi klorofil-a permukaan tinggi terjadi pada bagian tepi pusaran membentuk sabuk klorofil-a permukaan tinggi, sedangkan bagian dalamnya konsentrasi klorofil-a permukaan lebih rendah. Dalam parameter Suhu Permukaan Laut, karakter Halmahera Eddy ditandai dengan raut suhu permukaan laut yang lebih hangat dibagian tengah pusaran dibandingkan pada bagian tepinya. Hasil verifikasi data klorofil dengan hidrografi menunjukkan bahwa sebaran klorofil-a permukaan tinggi konsisten dengan vektor arus SADCP yang membawa konsentrasi klorofil-a tinggi, vektor arus di sisi utara mengarah ke timur laut dan di sisi selatannya mengarah ke barat laut menandakan adanya sirkulasi antisiklonik eddy. Sebaran melintang suhu pada data CTD/XCTD, Halmahera Eddy ditandai adanya isoterm yang tertekan ke bawah dan bergeser ke utara seiring bertambahnya kedalaman, sedangkan pada sebaran salinitas terlihat massa air South Pacific Tropical Water, North Pacific Tropical Water dan North Pacific Intermediate Water. Hasil pengamatan dan pengukuran karakter Halmahera Eddy dikatahui diameter HE dalam arah zonal berkisar 338-731 km sedangkan arah meridionalnya berkisar 297-725 km. Halmahera Eddy mengalami pergeseran dimana posisi paling utara pusatnya berada di 5.43˚N/129.31 E pada Desember 2008 dan paling selatan pusatnya berada di 1.85˚N/130.13˚E pada September 2009. Halmahera Eddy mempunyai wilayah pergeseran yang membentuk sumbu tenggara – barat laut dengan jarak antar titik pusat terjauh 446 km. Diameter rata-rata Halmahera Eddy diketahui sekitar 520 km. Dalam skala musiman, Halmahera Eddy bergeser ke barat laut selama musim tenggara dan bergeser ke tenggara selama musim barat laut. Pola bulanan pergerakan titik pusat Halmahera Eddy memperlihatkan arah pergerakan yang berlawanan jarum jam. Pada skala antar-tahunan, Halmahera Eddy bergeser ke barat laut selama even La Niña dan ke tenggara selama even El Niño. Pengaruh musiman dan antar-tahunan sangat kuat mempengaruhi pergeseran Halmahera Eddy. Faktor musiman sedikit lebih kuat mempengaruhi pergeseran meridional dibandingkan antar-tahunannya, sedangkan pengaruh antar-tahunannya sedikit lebih kuat pengaruhnya terhadap pergeseran arah zonal dibandingkan musimannya. Terdapat pengaruh South Oscillation Indeks (SOI) terhadap pergerakan Halmahera Eddy terkait relaksasi Kolam Hangat ke Pasifik tengah. Analisis pada data altimetri Jason-1 passing track # 253 menujukkan karakteristik pergerakan Halmahera Eddy yang ditandai dengan anomali muka laut tinggi pada pusat pusaran Halmahera Eddy dan pergeseran Halmahera Eddy. Kapal-kapal purse-seine yang beroperasi di wilayah studi cenderung terkonsentrasi di wilayah bagian dalam dan tepi dari pusaran Halmahera Eddy sekitar timur laut Halmahera dan utara kepala burung Papua. Produktivitas cakalang di wilayah studi mempunyai korelasi kuat terhadap pergeseran meridional Halmahera Eddy dibandingkan dengan pergeseran zonalnya. Demikian pula halnya dengan produksi cakalang yang didaratkan (landing fishing) di pelabuhan sekitar pantai Morotai menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dengan pergeseran meridional Halmahera Eddy. Keyword:Kolam Hangat, Halmahera Eddy, klorofil-a permukaan, pergeseran meridional, pergeseran zonal, El Niño, La Niña, Indeks SOI, produktivitas cakalang
Judul: Structure and morphometri population of Halmahera walking shark (Hemiscyllium halmahera, Allen 2013) based on the habitat characteristics in the North Maluku Islands Abstrak:Status Hiu Berjalan Halmahera berdasarkan data IUCN (International Union for Conservation of Nature) yani hampir terancam (Near Threatened), hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pemanfaatan ataupun degradasi lingkungan yang besar. Spesies endemik seperti Hiu Berjalan Halmahera perlu mendapatkan perhatian dalam pelestarian dan pengelolaan. Kegiatan antropogenik di wilayah pesisir Maluku Utara tinggi dapat menyebabkan kondisi lingkungan terdegradasi. Studi struktur populasi dan morfometrik berdasarkan karakteristik habitat menjadi penting untuk keperluan informasi suatu populasi yang lebih spesifik. Penelitian terdahulu pada lingkup individu Hiu Berjalan Halmahera, namun belum dilakukan pada level populasi sehingga perlu ditingkatkan. Lokasi yang ditentukan pada studi populasi memiliki karakteristik unik yakni pulau Morotai (Pasifik), Kayoa (lintang katulistiwa) dan Teluk Kao. Penelitian dilaksanakan pada November 2022-April 2023 di tiga lokasi yakni pulau Morotai (128 o 15’00”-128 o 48’00”E dan 00”E-2 o 00’00”- 2 o 40’00”N), Teluk Kao (127 o 34'50"-128 o 8'30”E dan 0 o 50'00”-2 o 22'10”N) dan pulau Kayoa (128 o 15’00”- LU 127 o 26' 7.000"E dan 0 o 3'8.000"N). Total sampel Hiu Berjalan Halmahera pada tiga lokasi yakni Morotai (30 individu), Teluk Kao (30 individu) dan Kayoa (30 individu). Variabel morfometrik Hiu Berjalan Halmahera yang di ukur yakni PT (panjang total), PS (panjang standar), TK (tinggi kepala), PK (panjang kepala), LK (lebar kepala), LT (lingkar tubuh), SP (sirip pektoral), SA (sirip anal), SD (sirip dorsal), EBB (ekor bagian belakang) dan berat tubuh. Karakteristik habitat meliputi salinitas, DO (Dissolved oxygen), suhu, pH (Power of hydrogen), arus, pasang surut dan tutupan terumbu karang. Identifikasi kelamin dilakukan secara langsung. Analisis data yakni pengelompokan umur (Kohort), frekuensi panjang, hubungan panjang berat, faktor kondisi, kecepatan dan arah arus, pasang surut, tutupan karang menggunakan CPCe. Hubungan antara karakateristik habitat dengan populasi menggunakan coresponden analysis (CA) dan sebaran karakteristik habitat dengan stasiun menggunakan analisis principil coresponden analysis (PCA). Hasil penelitian dari pengukuran menunjukan secara morfometrik populasi H. halmahera mempunyai ukuran morfometrik beragaman. Perbedaan ukuran menunjukan bahwa terdapat variasi morfometrik disetiap lokasi, hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan dapat mempengaruhi karakteristik morfologi. Hasil analisis koefisien pertumbuhan (b) < 3 pada lokasi (Pulau Morotai, Teluk Kao dan Pulau Tawabi. Kayoa) menunjukan bahwa pola pertumbuhan populasi Hiu Berjalan Halmahera (H.halmahera) yaitu allometrik negatif. Kelamin jantan dan betina di analisis hubungan panjang berat pada (Pulau Morotai, Teluk Kao dan Pulau Tawabi. Kayoa) diperoleh pola pertumbuhan allometrik negatif. Pertumbuhan allometrik negatif menggambarkan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan berat. Pengelompokan umur (cohort) diperoleh berdasarkan hasil analisis distribusi sebaran panjang. Hasil analisis kohort Hiu Berjalan Halmahera pada lokasi (Pulau Morotai, Teluk Kao dan Pulau Tawabi.Kayoa) ditemukan berbeda. Populasi Hiu Berjalan Halmahera di Pulau Morotai dan Teluk Kao terdeskripkan tiga kelompok umur, sedangkan Pulau Tawabi.Kayoa ditemukan dua kelompok umur. Indeks separasi pada ketiga kelompok (Pulau Morotai, Teluk Kao dan Pulau Tawabi Kayoa) ditemukan > 2. Berdasarkan nilai indeks separasi, maka dapat dikatakan bahwa kelompok umur Hiu Berjalan Halmahera di (Pulau Morotai, Teluk Kao dan Pulau Tawabi Kayoa) berasal dari populasi berbeda.Analisis pada 30 individu Hiu Berjalan Halmahera di Pulau Morotai memperlihatkan distribusi selang kelas 21.5-82.3 cm. Distribusi selang kelas pada 33 individu Hiu Berjalan Halmahera di Teluk Kao ditemukan ukuran 22-59 cm. Total 30 individu Hiu Berjalan Halmahera di Pulau Tawabi di analisis dan ditemukan selang kelas bervariasi. Distribusi selang kelas tertinggi pada ukuran 48-51 cm yakni 12 individu. Total nilai faktor kondisi (FK) Hiu Berjalan Halmahera di perairan laut Pulau Morotai memiliki rentang nilai 0.81691.4264 dengan nilai rerata yakni 1.0064. Berdasarkan hasil analisis faktor kondisi pada 33 individu ditemukan nilai faktor kondisi (FK) Hiu Berjalan Halmahera di perairan laut Teluk Kao memiliki kisaran 0.756-1.155 dengan nilai rerata yakni 1.003. Populasi Hiu Berjalan Halmahera ditemukan 30 individu diperoleh nilai faktor kondisi (FK) Hiu Berjalan Halmahera di perairan laut Pulau Tawabi. Kayoa memiliki rentang nilai 0.0822-1.1029 dengan nilai rerata yakni 1.003.Nilai faktor kondisi yang ditemukan pada lokasi (Morotai, Teluk Kao dan Tawabi. Kayoa) menjelaskan bahwa Hiu Berjalan Halmahera memiliki tubuh montok. Hasil pengukuran variabel lingkungan (suhu, salinitas, pH dan DO) pada stasiun pengamatan menunjukan variabilitas. Secara umum nilai parameter lingkungan masih normal berdasarkan standar baku mutu perairan (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004), sehingga mendukung organisme untuk menempati habitat perairan. Hasil pengukuran kecepatan dan arah arus pada lokasi Pulau Morotai, Teluk Kao dan Pulau Tawabi. Kayoa ditemukan berbeda. Pengukuran di tempat (in situ) pada Pulau Morotai ditemukan kecepatan arus 0.66 m/s.Arah pergerakan arus di Pulau Morotai dominan menuju bagian utara dan barat laut. Kecepatan arus hasil pengukuran lapangan di Teluk Kao ditemukan 0.21 m/s. Dominan arah arus di Teluk Kao bergerak dari timur laut dan selatan. Velocitas arus permukaan perairan (sea serface current) ditemukan 0.08 m/s di Pulau Tawabi. Kayoa. Nilai arus yang ditemukan memiliki kriteria lambat dan kuat. Arah pergerakan arus di Pulau Tawabi. Kayoa memiliki kecenderungan menuju bagian barat dan selatan laut. Pengukuran pasang surut pada ketiga lokasi (Pulau Morotai, Teluk Kao dan Pulau Tawabi. Kayoa) ditemukan memiliki kesamaan pola pasang surut yakni semi diurnal. Pulau Morotai dan Tawabi memiliki memiliki tipe semi diurnal condong ganda. Tipe pasang surut semi diurnal tanpa condong harian ganda pada Teluk Kao. Tutupan terumbu karang di tiga lokasi (Pulau Morotai, Teluk Kao dan Tawabi. Kayoa Kayoa) ditemukan tidak terdapat perbedaan signifikan. Persentasi tutupan terumbu karang di Pulau Morotai ditemukan tinggi (53.15%). Tutupan terumbu karang di Teluk Kao kategori baik (51.03%). Kategori tutupan terumbu karang di Pulau Tawabi.Kayoa ditemukan berstatus baik (51.15%). Life form karang Pulau Morotai yakni Acropora branching (ACB) (6.09%), Acropora digitate (ACD) (1.04 %), Acropora encrusting (ACE) (20.13%), Acropora submassive (ACS) (5.74%), Acropora tabulate (ACT) (7.10%), Coral foliose (CF) (1.76%), Coral branching (CB) (2.03%) dan Coral mushroom (CMR) (1.11%), Coral massive (7.05%) dan Coral submassive (CS) (1.09%). Life form karang di Teluk Kao, Acropora branching (ACB) (19.05%), Acropora tabulate (ACT) (16.66%), Coral branching (CB) (4.09%), Coral massive (CM) (10.11%) dan Coral submassive (CS) (1.12%). Pulau Tawabi. Kayoa berdasarkan hasil pengamatan Acropora branching (ACB) (13.16%), Acropora digitate (ACD) (6.10%), Acropora tabulate (ACT) (18.23%), Coral branching (CB) (3.74%) dan Coral massive (CM) (9.92%). Data yang dianalisis memperlihatkan adanya perbedaan klorofil-a dan nutrient berdasarkan lokasi penelitian (Pulau Morotai, Teluk Kao dan Pulau Tawabi). Keterkaitan variabel lingkungan (environmental linkages) terhadap stasiun menunjukan adanya perbedaan setiap stasiun. Hasil analisis di Pulau Morotai ditemukan sumbu F1 dan F2 memiliki ragam total 97.80%. Analisis komponen utama (PCA) untuk melihat distribusi variabel lingkungan terhadap stasiun ditemukan nilai sumbu F1 yakni 61.65% dan sumbu F2 yaitu 24.86%. Koresponden analisis (CA) pada variabel lingkungan terhadap sub stasiun di Teluk Kao menunjukan sebaran spasial F1 (56.98%) dan F2 (41.06%) dengan ragam total (98.05%). Sebaran spasial parameter lingkungan terhadap setiap sub stasiun di Teluk Kao berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) menemukan nilai sumbu F1 yakni 56.04% dan sumbu F2 yaitu 37.47%. Hasil analisis CA sub stasiun di Pulau Tawabi. Kayoa ditemukan bahwa distribusi spasial sumbu F1 (57.08%) dan F2 (29.08%) dengan ragam total (86.15%). Hasil analisis PCA ditemukan bahwa nilai sumbu F1 yakni 60.11% dan sumbu F2 yaitu 23.59%. Hasil analisis PCA menunjukan karakteristik morfometrik pada F1+ di Morotai Selatan Barat dan Morotai Timur dicirikan dengan ukuran morfometrik yaitu panjang total, panjang standar, panjang kepala, lebar kepala, sirip pektoral , sirip anal, sirip dorsal , ekor bagian bawah, lingkar tubuh. Hasil multivariat analisis pada 11 variabel morfometrik memperlihatkan persentase variansi komponen satu (F1) yakni 82.93 % dan komponen dua (F2) yaitu 13.02 % dengan ragam total 95.95 %. Hasil analisis komponen utama (PCA) menunjukan morfometrik Hiu Berjalan Halmahera terpusat pada sumbu F1+ pada lokasi Teluk Kao. Utara dan Teluk Kao. Barat yang dicirikan dengan karakteristik yaitu panjang total, panjang standar, panjang kepala, lebar kepala, sirip pektoral, sirip anal, sirip dorsal , tinggi kepala, lingkar tubuh. Analisis multivariat pada 11 variabel morfometrik diperoleh persentase variansi komponen satu (F1) yakni 92.85 % dan komponen dua (F2) yaitu 5.31 % dengan ragam total 98.17 %. Nilai PCA menunjukan bahwa karakteristik morfometrik di Pulau Tawabi Selatan. Kayoa dan Pulau Tawabi Utara. Kayoa. Utara berada di posisi sumbu F1+ dengan mencirikan varible yaitu panjang total, panjang standar, panjang kepala, lebar kepala, sirip pektoral, sirip anal, sirip dorsal , tinggi kepala, lingkar tubuh. Uji multivariat pada 11 variabel morfometrik memperlihatkan persentase keberagaman nilai ditemukan, dimana komponen satu (F1) yakni 96.34 % dan komponen dua (F2) yaitu 3.39 % dengan ragam total 99.73 %. Secara umum menunjukan bahwa terdapat hubungan kuat antara Hiu Berjalan Halmahera terhadap lingkungan habitat pada setiap stasiun. Karateristik ukuran morfometrik memiliki konektivitas dan penciri utama antara Hiu Berjalan Halmahera di Pulau Morotai dan Teluk Kao, sedangkan Pulau Kayoa memiliki penciri morfometrik tersendiri yakni panjang standar. Keyword:coral triangle, equator, Halmahera, Pasific, population dynamic
Judul: Rancang Bangun Model dan Strategi Transformasi Menuju Entrepreneurial University Abstrak:Model entrepreneurial university diyakini sebagai penggerak utama bagi pengembangan mandiri dan inovasi, serta sebagai respon yang tepat terhadap kondisi turbulensi lingkungan dan perubahan pasar yang sangat cepat. Menjadi entrepreneurial dengan mengemban misi ketiga selain pengajaran dan penelitian, tidak serta merta diraih dengan singkat. Butuh suatu proses transformasi yang digerakkan oleh tuntutan dari stakeholder. Di Indonesia, beberapa perguruan tinggi telah menyatakan diri sebagai entrepreneurial university, yang dapat dilihat baik dari aktivitas maupun melalui output hasil penelitiannya. Namun mengingat bahwa menjadi entrepreneurial merupakan sebuah proses yang tidak serta merta memberikan hasil dalam waktu cepat, serta dibutuhkan komitmen dan konsistensi dari seluruh stakeholder, maka universitas perlu mengetahui faktor-faktor apa yang dapat membuatnya menjadi entrepreneurial. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah model yang dapat menggambarkan bagaimana entrepreneurial university dapat terbentuk melalui beberapa indikator penggeraknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang mendorong terjadinya transformasi menuju entrepreneurial university. Terdapat beberapa metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini. Yang pertama untuk membangun model, digunakan metode ISM (Interpretive Structural Modelling). Dengan menggunakan beberapa narasumber yang dikategorikan sebagai pakar dalam penelitian ini, terbentuk sebuah model konseptual yang dirancang berasal dari faktor-faktor kunci dimana dari hasil pengolah tedapat enam faktor kunci, yaitu lima faktor sukses: 1) aktor; 2) tata kelola universitas; 3) aktivitas entrepreneurial; 4) output entrepreneurial; dan 5) dukungan eksternal; serta adanya 1 faktor sebagai penghambat yaitu kendala yang dihadapi. Model ini dapat digunakan oleh perguruan tinggi berjenis apapun untuk mengukur dan melihat sejauh mana situasi entrepreneurialnya. Selanjutnya metode analisa deskriptif dengan pengambilan data melalui survey dilakukan untuk melihat sebuah studi kasus pada salah satu universitas swasta. Tujuannya adalah untuk melakukan analisa situasional terhadap perilaku entrepreneneurial dari universitas tersebut, serta melakukan pemetaan terhadap posisi transformasinya. Survey dilakukan terhadap 541 responden yang terdiri dari berbagi unsur, mulai dari level pimpinan universitas, akademisi, staf, mahasiswa, alumni, serta ekternal. Hasil kuesioner secara keseluruhan menunjukkan adanya persepsi positif terhadap implementasi entrepreneurial. Universitas tersebut terlihat tengah menapaki jalur entrepreneurial. Sekalipun tidak secara eksplisit menyatakan diri mengarah pada entrepreneurial university, namun perilaku yang diterapkannya menunjukkan bahwa beradaptasi dan memiliki inovasi sangatlah penting agar mampu memenuhi tuntutan perubahan yang semakin dinamis, serta mendorong kemampuan untuk berperan lebih besar bagi masyarakat agar membantu terwujudnya pembangunan ekonomi secara nyata. Dengan mempertimbangkan faktor keberhasilan yang telah diraih hingga saat ini, serta strategi telah dilakukan sebelumnya, maka dilakukan survey terhadap level pimpinan universitas untuk menetapkan rumusan strategi transformasi ke depan. Dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process), diperoleh perumusan strategi dengan prioritas tujuan utama yaitu meningkatkan peran di masyarakat, dengan unsur tata kelola yang paling berperan untuk mencapai tujuan tersebut adalah sumber saya internal. Adapun strategi utama yang hendak dilakukan adalah mengembangkan penelitian yang berdampak bagi masyarakat. Rumusan strategi ini selaras dengan visi yang ditetapkan oleh universitas, yaitu menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat. Keyword:Entrepreneurial University, Faktor Kunci Sukses, ISM, Strategi, Transformasi
Judul: The Relationship of Foreign Direct Investment and Agricultural Credit from Dual Banking System with The Agricultural Sector of Developing Eight (D-8)’s Member Countries Abstrak:Kenaikan jumlah penduduk, termasuk di negara anggota D-8, akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan pangan. Hal ini memerlukan dukungan pertumbuhan sektor pertanian. Namun demikian kebutuhan pangan ini belum mampu dipenuhi oleh internal anggota D-8 dan justru dipenuhi oleh negara non anggota D-8. Sepanjang tahun 2000-2018 kontribusi sektor pertanian dari negara anggota D-8 terhadap PDB negaranya sebesar 9 persen lebih tinggi dari rata-rata dunia sebesar 4 persen. Namun demikian trend tersebut menunjukkan penurunan. Rasio pembentukan modal tetap bruto terhadap nilai tambah pertanian (rasio investasi pertanian) negara anggota D-8 adalah 10.66 persen lebih rendah dibanding negara-negara benua Eropa sebesar 48-52 persen dan negara-negara di benua Amerika sebesar 20-32 persen Untuk menjawab persoalan ini, sektor pertanian memerlukan peran sektor keuangan. Sektor keuangan merupakan bagian sistem perekonomian yang memungkinkan tersedianya akses pada sumber dana. Pada penelitian ini akan dikaji peran foreign direct investment (FDI) dan peran kredit perbankan dari dual banking system untuk pertumbuhan sektor pertanian di negara D-8. Peran FDI makin penting sejak 2000-an ditandai peningkatan arus masuk modal asing dan partisipasi dalam fragmentasi produksi global di negara berkembang, namun faktor apa yang menjadi penarik investasi khususnya di sektor pertanian negara berkembang perlu diteliti. Di lain pihak dual banking system telah dipraktikkan di negara anggota D- 8 dan memiliki potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi namun penelitian secara spesifik bagi sektor pertanian masih terbatas. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang disampaikan, maka penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang menentukan foreign direct investment sektor pertanian, penawaran kredit pertanian bank umum konvensional, dan penawaran pembiayaan pertanian bank umum syariah, (2) menganalisis keterkaitan sektor keuangan dan pertumbuhan sektor pertanian di negara anggota D-8, (3) menganalisis peran sektor keuangan bagi pembentukan modal tetap bruto sektor pertanian di negara anggota D-8, dan (4) menganalisis stabilitas foreign direct investment sektor pertanian, penawaran kredit pertanian bank umum konvensional, dan penawaran pembiayaan pertanian bank umum syariah pada saat terjadi guncangan variabel makroekonomi. Untuk menjawab tujuan ini, penelitian menggunakan data dari 7 negara anggota D-8 dan data time series sejak 2013 kuartal 4 hingga 2022 kuartal 4. Panel Autoregressive Distributed Lag digunakan untuk menjawab tujuan 1,2, dan 3. Tujuan 4 menggunakan Panel Vector Autoregression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menentukan FDI Pertanian secara keseluruhan Negara D-8dalam jangka panjang dan pendek adalah kapasitas pasar dalam hal ini PDB total. Kenaikan kapasitas pasar akan meningkatkan FDI pertanian dalam jangka pendek namun sebaliknya akan menurunkan FDI pertanian dalam jangka panjang. Penurunan potongan pajak akan meningkatan daya tarik FDI pertanian sebesar 33 persen dalam jangka panjang. Pada perbankan umum, kebijakan kenaikan suku bunga acuan akan mendorong kenaikan penawaran kredit pertanian namun berbeda dengan kenaikan suku bunga kredit yang justru menurunkan penawaran kredit. Kenaikan suku bunga merupakan sinyal insentif deposan yang mendorong kenaikan dana pihak ketiga perbankan umum. Satu-satunya variabel yang berperan menentukan penawaran kredit pertanian dalam jangka panjang dan pendek adalah risiko produksi pertanian. Untuk perbankan syariah, keputusan menawarkan pembiayaan pertanian sangat ditentukan ketersediaan dana pihak ketiga baik dalam panjang dapat meningkat hingga 5 persen dengan kenaikan dana pihak ketiga. Di lain pihak pembiayaan bermasalah dapat menurunkan penawaran pembiayaan hingga 11 persen dalam jangka panjang. FDI pertanian, kredit pertanian perbankan umum, pembiayaan pertanian bank umum syariah memiliki peran berbeda bagi pertumbuhan sektor pertanian di negara anggota D-8. Pada jangka panjang kredit perbankan umum meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian senilai 39 persen sedangkan FDI pertanian senilai 0.99 persen. Peran kredit pertanian bank umum juga penting dalam jangka pendek yang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian hingga 45 persen ketika dua sektor keuangan lain belum signifikan. Peran bank syariah belum signifikan untuk pertumbuhan sektor pertanian. FDI pertanian dan pembiayaan pertanian bank syariah merupakan alternative untuk investasi sektor pertanian jangka panjang selain kredit pertanian dari perbankan umum. Pada jangka panjang peran perbankan umum dan perbankan syariah secara bersama- sama komplementer dalam dual banking system mendukung investasi sektor pertanian. Stabilitas FDI pertanian, kredit pertanian perbankan umum, pembiayaan pertanian bank umum syariah di negara anggota D-8 berbeda pada guncangan variabel makroekonomi. FDI pertanian lebih stabil dibanding penawaran kredit perbankan dan pembiayaan syariah pada guncangan nilai tukar. Rekomendasi kebijakan dari penelitian adalah perlunya memperhatikan kapasitas pasar dalam hal ini PDB. Nilai PDB yang meningkat dalam jangka panjang di negara D-8 justru menurunkan nilai FDI pertanian karena beralihnya FDI ke sektor lain. Sehingga diperlukan strategi mempertahankan FDI pertanian agar tetap menarik. Sesuai hasil penelitan maka keterjangkauan infrastruktur listrik harus ditingkatkan dan aspek kelembagaan dalam hal ini persentase pajak atas profit dapat diturunkan. Selanjutnya terkait dual banking system, fokus pada risiko pertanian untuk menjaga penawaran kredit pertanian sedangkan pada pembiayaan bank syariah fokus pada pembiayaan bermasalah dan dana pihak ketiga. Walaupun kenaikan risiko produksi pertanian tidak menurunkan penawaran kredit bank umum namun harus didukung dengan kebijakan suku bunga acuan, suku bunga kredit, dan ketersedian dana dari perbankan umum. FDI pertanian lebih potensial sebagai sumber dana pertumbuhan sektor pertanian jangka panjang dibanding kredit pertanian dan pembiayaan pertanian bank syariah karena lebih stabil ketika terdapat guncangan nilai tukar. kata kunci: FDI pertanian, kredit pertanian, pembiayaan pertanian, dual banking system, pertumbuhan sektor pertanian, Developing Eight, The agricultural sector is important in human life globally and regionally, including in The Developing Eight Economic Cooperation Organization (D-8). A combined Gross Domestic Product (GDP) of around USD 4.8 trillion and a population of around 1.15 billion in 2020 make D-8 one of developing countries' potential economic cooperation groups. The increasing population is accompanied by an increase in food needs, which requires support from the agricultural sector. However, the food needs have not been able to be met by internal D-8 members. The contribution of the agricultural sector from D-8’s member countries is 9 percent, slightly better than the average contribution of the agricultural sector to global GDP in 2000-2018 of 4 percent and the trend shows a decline. The decline in the contribution of the agricultural sector in developing countries is related to the low rate of Gross Fixed Capital Formation of the agriculture sector, the rate shows a different path for developed countries. On average the ratio of gross fixed capital formation to the agricultural added value of D-8’s member countries is 10.66 percent lower than countries of the European continent at 48-52 percent and countries of the American continent at 20-32 percent. To answer this problem, the agricultural sector needs financial sector support. The financial sector is a part of the economic system that allows access to sources of funds. This research examines the role of foreign direct investment (FDI) and the role of credit from the dual banking system for the growth of the agricultural sector in D-8 countries. The role of FDI has become increasingly important since the 2000s, marked by an increase in foreign capital inflows and participation in the fragmentation of global production in developing countries, but what factors attract investment, especially in the agricultural sector of developing countries, need to be researched. On the other hand, the dual banking system has been practiced in D-8 member countries and has great potential for economic growth, but research specifically for the agricultural sector is still limited. Based on the background and problems presented, this research aims to (1) analyze the factors that determine foreign direct investment in the agricultural sector, the supply of agricultural credit from conventional banks, and the supply of agricultural financing from Sharia banks, (2) analyze the relationship between the financial sector and growth of the agricultural sector in D-8 member countries, (3) analyze the role of the financial sector in the formation of the agricultural gross fixed capital formation in D-8 member countries, and (4) analyze the stability of foreign direct investment in the agricultural sector, the supply of agricultural credit from conventional banks, and the supply of agricultural financing from sharia banks during the shock of macroeconomic variables. The research uses data from seven members of D-8 and time series data from 2013 quarter 4 to 2022 quarter 4. Panel Autoregressive Distributed Lag is used to answer the first, second, and third objectives while Panel Vector Auto Regression is used to answer the fourth. The result shows that the factors that determine agricultural FDI in D-8 countries in the long and short term are market capacity. An increase in market capacity will increase agricultural FDI in the short term but on the contrary, will reduce agricultural FDI in the long term. The reduction in tax deductions will increase the attractiveness of agricultural FDI by 33 percent in the long term. In conventional banking, the increasing of the central bank policy rate will encourage an increase in the supply of agricultural credit, on the other hand, an increase in loan rates will reduce the supply of credit. The increase in interest rates is a signal of depositor incentives that encourage an increase in third-party funds in conventional banking. The only variable that determines the supply of agricultural credit in the long and short term is the risk of agricultural production. For Sharia banking, the decision to offer agricultural financing is largely determined by the availability of third-party funds, which can increase the supply by 5 percent. On the other hand, non-performing financing can reduce the supply of agricultural financing by 11 percent in the long term. Agricultural FDI, agricultural credit from conventional banking, and agricultural financing from Sharia banking have different roles in the growth of the agricultural sector in D-8 member countries. In the long term, agricultural credit from conventional banking increases agricultural sector growth by 39 percent, while agricultural FDI is worth by 0.99 percent. The role of agricultural credit from conventional banking is also important in the short term, which can increase the growth of the agricultural sector by 45 percent while the other two financial sectors are not significant. The role of Sharia banks is not yet significant for the growth of the agricultural sector. Agricultural FDI and agricultural financing from Sharia banking are alternatives for long-term agricultural sector investment besides agricultural credit from conventional banking. Conventional banking and Sharia banking are complementary to each other in a dual banking system to support investment in the agricultural sector. The stability is different between agricultural FDI, agricultural credit from conventional banking, and agricultural financing from Sharia banking from shocks to macroeconomic variables. The agricultural FDI is more stable than the supply of agricultural credit from the dual banking system during exchange rate shocks. The supply of agricultural credit from the dual banking system responds positively to the shock of the central bank policy rate. The policy recommendations from the research are: (1) to increase and maintain agricultural FDI (i) concerned to market capacity namely the country’s GDP, (ii) the affordability of electricity infrastructure, and (iii) the institutional aspect by reducing the percentage on tax profits. Furthermore, regarding the dual banking system : (2) Focus on agricultural risks to maintain agricultural credit from conventional banking and (3) Focus on non-performing financing and third-party funds of Sharia banking. Even though the increase in production risk does not reduce the supply of commercial bank credit, it must be supported by policies on central bank policy rates, loan rates, and the availability of third-party funds. (4) Agricultural FDI has the potential to be a source of funding for long-term agricultural sector growth compared to agricultural credit and Sharia bank agricultural financing due to the stability from the exchange rate shock. keywords: agricultural FDI, agricultural credit, agricultural financing, agricultural sector growth, dual banking system, D-8 Keyword:dual banking system, D-8
Judul: Assessment on Agricultural Role in the National Economic Development Strategy: Policy Analysis Simulation with Induced Invesmentn Abstrak:Selama masa Orde Baru lalu, kebijaksanaan makro ekonomi Indonesia bias ke arah pengembangan sektor manufaktur. Kebijaksanaan makro ekonomi yang mendukung sektor pertanian hanyalah untuk pengembangan sektor pangan khususnya beras dan kebijaksanaan itupun untuk mendukung keberhasilan pengembangan sektor manufaktur dengan memberikan kondisi tingkat upah buruh yang murah melalui pengendalian harga beras (wage goods). Dengan demikian, selama periode penerapan strategi ELI, sektor pertanian mensubsidi sektor manufaktur. ELI yang mengandalkan pada permintaan ekspor dengan modal asing (external capital induced - export led) ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan struktural ekonomi nasional yaitu kesenjangan produktivitas sektor pertanian dan non pertanian; dan juga belum mampu mengatasi masalah defisit neraca perdagangan (balance of trade) serta rentan terhadap gejolak ekonomi eksternal seperti perubahan nilai kurs. Dengan demikian, strategi ELI ternyata menciptakan struktur perekonomian nasional yang rapuh. Selama masa krisis ekonomi ini, sektor pertanian ternyata mampu menjadi penyelamat pengangguran akibat dampak krisis ekonomi dengan menyediakan lebih banyak kesempatan kerja. Oleh karena itu mestilah dilakukan reorientasi strategi pembangunan ekonomi nasional dari external capital induced - export led (external market oriented) ke domestic base development yang mengandalkan pada sumberdaya domestik dan pasar domestik. Wil ayah pedesaan dengan struktur ekonomi pertanian yang berbasis pada sumberdaya domestik dan disana bermukim 60 persen penduduk merupakan pasar domestik yang potensial. Peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan menjadi penting untuk membangkitkan permintaan pasar domestik. Untuk itu, maka strategi pembangunan nasional dengan pendekatan domestic base development harus berorientasi pada pembangunan pertanian. Dengan kata lain strategi pembangunan ekonomi pasca krisis haruslah berorientasi pada Agriculturtal Demand Led (ADU). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi strategi pembangunan ekonomi dengan pendekatan ELI (&port Led Industrialization) dalam memperbaiki kinerja perekonomian nasional dan mengkaji peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi nasional melalui analisis komparasi kemampuan strategi pembangunan ekonomi dengan pendekatan ELI dan ADU (Agricultural Demand Led Industrialization) dengan menggunakan empat indikator yaitu: (a) struktur output dan nilai tambah; (b) struktur kesempatan kerja dan produktivitas; (c) struktur komponen input-impor; dan (d) struktur neraca perdagangan. Keyword:Agricultural role, Macroeconomic policy, Induced investment
Judul: Antioxidant and anti-platelet aggregation activitie of cassia vera (Cinnamomum burmanni nees ax Blume) bark extract and it’s potency in preventing atherosclerosis in rabbit Abstrak:There has been limited report on the biological activities of cassia vera bark extract and the potency of cassia vera bark extract as antioxidant, anti-platelet aggregation, and anti-hypercholesterolemia, and its function as anti-atheroschlerosis in rabbit in not yet known. Keyword:
Judul: Berebut Otoritas: Antara Kilau Emas Versus Konservasi (Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional Pada Komunitas Masyarakat "Adat" Kaili di Tahura Poboya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah) Abstrak:Dorongan kuat keberpihakan kepada masyarakat lokal dan perjuangan penyelamatan lingkungan adalah dua kutub yang saling berbenturan (konflik), Terjadinya konflik yang melibatkan komunitas masyarakat adat Kaili dengan Pemerintah Daerah serta korporasi disebabkan karena adanya perbedaan dalam melihat Objek yang sama. Bagi masyarakat Poboya beserta beberapa LSM lokal menganggap bahwa tambang emas yang ditemukan itu adalah anugerah bersama (common property) yang harus dimanfaatkan masyarakat lokal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sementara bagi pemerintah penambangan emas yang dilakukan masyarakat itu dapat mengancam ekosistem, bukan hanya masyarakat Poboya sendiri tapi juga pemukiman masyarakat perkotaan. Meski sudah dilakukan pertemuan atas pihak-pihak yang berkonflik, nampaknya pemerintah belum mampu mengotrol sepenuhnya pengelolaan SDA di Poboya yang ditandai dengan semakin maraknya aktivitas penambangan dan meningkatnya eskalasi konflik. Secara makro penelitian ini sesungguhnya ingin mengeksplorasi pertanyaan tentang konflik pengelolaan SDA di Poboya, aktor yang terlibat untuk mendapatkan akses dan kontrol atas SDA, kelompok yang menerima manfaat dan kerugian dari relasi kekuasaan yang terbangun serta reperesentasi masyarakat adat di tengah arus pusaran pertarungan akses SDA di Poboya. Untuk memberikan arah dan kejelasan metodologis dalam penelitian ini maka digunakan multi paradigma menurut Guba & Lincoln (dalam Denzin, 2000), yaitu paradigma kritis dan paradigma kostruktivis. Keduanya sama-sama varian anti positivistik. Paradigma teori kritis (subjectivism) dapat digunakan untuk membongkar masalah relasi kekuasaan dan kontestasi para aktor yang mendasari pola-pola penguasaan, pemanfaatan dan pemilikan sumber daya Alam di Poboya, sedangkan konstruktivis (Interpretivism) digunakan untuk melihat bagaimana masyarakat adat mengkonstruksi alam dan lingkungannya sehingga mereka dapat merefresentasikan diri dan mengambil manfaat di tengah arus pusaran pertarungan akses SDA. Untuk memberi pemahaman dasar tentang konflik, peneliti perlu mereview beberapa definisi yang sudah dikemukakan para ahli, seperti; Fisher, (2001); Fauzi, (2000); Peluso, (1992); Nader dan Todd, (1978)....dst Keyword:Konflik, Otoritas, Komunitas adat, Tambang Emas
Judul: Kebijakan Resolusi Konflik Usaha Tambang Di Kawasan Hutan: Studi Kasus Di Kalimantan Timur Abstrak:Sistem pengelolaan SDA di Indonesia terdistribusikan dalam sektor-sektor (situation) sehingga mempengaruhi penyusunan aturan main dalam pengelolan SDA yang ada, baik yang tertulis maupun tidak tertulis (structure). Aturan main tersebut mempengaruhi perilaku pengusaha dan penguasa (pemerintah) dalam pelaksanaan pengurusan SDA (behaviour) sehingga memunculkan persoalan konflik pemanfaatan SDA yang masih terus terjadi dan bermuara pada kerusakan SDA itu sendiri (performance). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memformulasikan kebijakan yang tepat dalam mengungkap dan menyelesaikan kebijakan usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan. Untuk mencapai umum tujuan itu, maka dijabarkan tujuan-tujuan khusus sebagai berikut: (1) Menganalisis kinerja dan perilaku aktor dalam kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan; (2) Menganalisis kelembagaan kesejarahan dan situasi dalam kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan; (3) Memformulasikan penataan kelembagaan untuk meningkatkan kinerja kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan. Penelitian ini dilaksanakan di Kalimantan Timur dengan fokus lokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap informan, pengamatan terlibat dan review dokumen. Informan terdiri dari 10 orang di tingkat pusat, 15 orang di tingkat provinsi, 20 orang di tingkat kabupaten terdiri dari Kementerian Kehutanan dan unit pelaksana teknisnya di daerah, Tim Pinjam Pakai Kawasan Hutan, perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), konsultan, masyarakat dan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Informan kunci ini ditentukan secara snowball. Pada penelitian ini digunakan pendekatan kelembagaan dan SSBP (situation, structure, behavior, performance) yang didukung dengan analisis isi (content analysis), analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis) dan analisis deskriptif kualitatif. Situasi kebijakan ditandai oleh karakteristik SDH yang secara dejure dikuasai pemerintah, tetapi defacto open access, sifat keberadaan tambang di atas permukaan lahan, biaya transaksi yang tinggi untuk memperoleh informasi potensi dan sebaran batubara, dan pola interaksi, komunikasi dan koordinasi antar pemerintahan yang kurang lancar sehingga menambah biaya pelaksanaan kebijakan (policing cost). Situasi tersebut mempengaruhi penyusunan struktur kebijakan usaha tambang di kawasan hutan. Kelembagaan kesejarahan menunjukan bahwa kebijakan usaha pertambangan sejak era kolonial hingga era reformasi (path dependency) belum mengalami perubahan, dimana sektor pertambangan dan kehutanan masih ditempatkan sebagai tumpuan dan penopang pertumbuhan ekonomi melalui rezim ekstraksi SDA tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya. Persoalan konflik kebijakan tidak muncul di era Kolonial dan mulai muncul pada era Orde Lama dalam bentuk konflik laten. Pada era Orde Baru muncul konflik permukaan karena penetapan areal yang sama untuk wilayah tambang dan kawasan hutan, namun konflik tersebut dapat diredam dengan keberadaan Inpres No.1/1976 sebagai salah satu solusi atas konflik pemanfaatan lahan. Struktur kebijakan mempengaruhi perilaku aktor pemerintah yang masih melakukan ‘negosiasi’ dan melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam proses perizinan dan pelaksanaan kebijakan dengan pelaku usaha. Pelaku usaha (agent) dengan kekuatan modal berupa rente ekonomi yang tinggi (US$ 20 per ton), SDM yang berkualitas, jejaring kekuasaan yang luas, dan teknologi informasi yang canggih telah mempengaruhi pemerintah (principal) dalam menyusun kebijakan publik yang diarahkan untuk keamanan dan keuntungan bagi kepentingan bisnisnya. Hal ini menunjukkan ada ketidakseimbangan kekuasaan dan ketimpangan informasi antara pelaku usaha dengan aparatur negara yang memunculkan kasus penyalahgunaan kekuasaan dan penyimpangan di lapangan. Contohnya pelaku usaha yang berorientasi hit and run dan rent seekers, tidak memiliki NPWP dan menunggak pembayaran royalti dan dana jaminan reklamasi masih tetap dapat beroperasi dengan aman. Pada akhirnya perilaku aktor menghasilkan pelaksanaan usaha tambang di kawasan hutan yang ditandai dengan biaya transaksi yang tinggi dalam proses perizinan, kegiatan reklamasi yang tidak dilaksanakan, ketimpangan alokasi produk batubara untuk kebutuhan domestik dan ekspor batubara, manipulasi produksi dan ekspor batubara, dan ketidak konsistenan kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan. Dengan demikian, beberapa poin penting perbaikan kelembagaan sebagai opsi kebijakan usaha tambang di kawasan hutan adalah pengaturan atau pengendalian perilaku pelaku usaha tambang; penguatan nilai kebijakan dan birokrasi pemerintah; penyempurnaan aturan yang digunakan; pemenuhan keseimbangan informasi untuk menghindari asymmetric power and information; pengaturan kembali persoalan rente ekonomi; dan peningkatan koordinasi dan komunikasi. Keyword:resolusi konflik, pinjam pakai kawasan hutan, struktur kebijakan, kontestasi dan penataan kelembagaan
Judul: Essential Fatty Acid Requirements of Catfish (Clarias batrachus Linn.) for Broodstock Development Abstrak:This experiment was conducted to determine essential fatty acid requirements of catfish (Clarias batrachus Linn.) for broodstock development. The basic diet supplied to the test fish had protein and fat content 46.51 - 48.29% and 5.8 - 5.96% respectively. The five test diets differed in the essential fatty acid (EFA) level. Diet A contained 0.21% (36-fatty acid and 0.03% S3-fatty acid; diet B 0.67% d6-fatty acid and 2.09%&3-fatty acid; diet C 2.24KU6-fatty acid and 0.07%&3-fatty acid; diet 0 1.85%(;36-fatty acid and 0.56% a3-fatty acid; diet E 0.26% a6 fatty acid and 1.68% d3-fatty acid. Most of US-fatty acid in diet B and D were 1$:3 (33, on the other hand those in diet E were 20:s c33 and 22:6 W3. Keyword:
Judul: Suplementasi daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dan Zicn-vitamin E dalam ransum untuk mempertahankan metabolisme dan produksi susu kambing peternakan etawah Abstrak:Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji suplementasi daun bangun-bangun dan Zn-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme dan produksi susu pada kambing peranakan etawah. Penelitian dilaksanakan dalam dua percobaan, yang diawali dengan penanaman daun bangun-bangun. Pada percobaan pertama, 6 perlakuan dievaluasi melalui percobaan in vitro, yang dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok pola faktorial. Keyword:rumen metabolism, in vitro batch culture, VFA concentration, West Java
Judul: Effects of Urea-Amoniation, Hydrolyzed Poultry Feather, Cassava Leaves, and Mixture of Lysine-Zinc-Lemuru Fish Oil on Feed Utilization in Ruminants. Abstrak:Tujuan penelitian ini adalah mengevaluai penggunaan amoniasi urea pada rumput gajah, hidrolisat bulu ayam sebagai sumber asam amino bersulfur, daun singkong sebagai asam amino bercabang, dan penggunaan campuran lisin-Zn-minyak lemuru sebagai modulator pencernaan rumen dan pascarumen. Penelitian dilakukan dua tahap dengan Iima perlakuan ransum yang dicobakan, sebagai berikut: A= 40% rumput gajah (RG)+ 60% konsentrat (K), B = 40% amoniasi urea RG + 60% K, C = B + 3% hidrolisat bulu ayam, D = C + 15% daun singkong, dan .E = D + 1.06% campuran lisin-Zn-minyak lemuru. Percobaan pertama menggunakan rancangan acak kelompok pada 20 ekor kambing Peranakan Etawah dengan bobot hidup berkisar antara 13 sampai 29 kg. Percobaan kedua mengunakan rancangan bujur sangkar latin 5 x 5 pada sapi perah laktasi. Amoniasi urea rumput gajah dan hidrolisat bulu ayam menurunkan konsumsi bahan kering ransum pada kambing Peranakan Etawah, namun pengaruhnya pada sapi perah tidak berbeda nyata. Hidrolisat bulu ayam meningkatkan (P<0.05) kecernaan bahan organik (71.69 vs 74.35 %) dan produksi susu sapi perah laktasi (12.36 vs 13.47 kg/hari). Daun singkong meningkatkan konsumsi bahan kering ransum (329 vs 402 g/hari), retensi N (7.71 vs 9.30 g/hari) dan rata-rata pertambahan bobo hidup harian kambing Peranakan Etawah (68.45 vs 89.29 g/hari). Campuran lisin-Zn-minyak lemuru berkecenderungan meningkatkan rata-rata pertambahan bobot hidup, menurunkan kadar lemak tubuh, dan kadar kolesterol serum darah pada kambing Peranakan Etawah, serta meningkatkan produksi, kandungan lemak, dan beberapa asam lemak rantai panjang pada sapi perah laktasi. Berdasarkan pertimbangan parameter metabolit dan penampilan produksi, ransum E merupakan ransum yang terbaik., The objectives of this study were to evaluate the efficacy of urea-ammoniation of elephant grass, the use of hydrolysed poultry feather as the source of S-containing amino acids, the use of cassava leaves as the source of branched-chain amino acids, and mixture of lysine-Zn-lemuru fish oil as a modulator for ruminal and postruminal digestion. The study consisted of two trials with five dietary treatments, i. e. A = 40% elephant grass (EG) + 60% concentrate mix (CM), B = 40% urea-ammoniated EG + 60% CM, C = B + 3% hydrolysed poultry feather (HPF), D = C + 15% cassava leaves, and E = D + 1.06% mixture of lysine-Zn-lemuru fish oil. In trial 1, 20 Etawah grade goats of 13-20 kg live weight were assigned in a randomized block design. In trial 2, the treatments and the exprimental cows were assigned ini a 5x5 latin square design. Urea-ammoniation and hydrolysed poultry feather decreased dry matter (DM) intake of goats but the effect of inclusion of these component was not observed in lactating dairy cows. OM digestibility (71.69 vs 74.35 %) and milk production of lactating dairy cows were significantly improved (12.36 vs 13.47 kg day°1) by hydrolysed poultry feather (P< 0.05). Cassava leaves increased DM intake (329 vs 402 g. day"1 ), N retention (7.71 vs 9.30 g day"1 ) and average daily gain of goats (68.45 vs 89.29 g day°1). Mixture of lysine-Zn-lemuru fish oil in Etawah grade goats tended to increase average daily gain, decrease body fat and cholesterol serum. However, milk production, milk fat content, and some long chain fatty acids were significantly affected by the mixture of lysine-Zn-lemuru fish oil inclusion in the diet of lactacting dairy cows. Based on some metabolic parameters and production performance, E diet was superior and it could be recommended for Etawah grade goats and lactating dairy cows diet. Keyword:Amoniation, Hydroyzed, Cassava leaves, Lyzine-zinc, Lemuru fish oil, Feed utilization
Judul: Categorization in Macaca fascicularis. Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations. Keyword:
Judul: Pemodelan Linier Sebaran Gamma dan Pareto Terampat dengan Regularisasi L1 pada Statistical Downscaling untuk Pendugaan Curah Hujan Bulanan. Aplikasi Pada Pemodelan Curah Hujan di Kabupaten Indramayu Abstrak:Pemodelan Statistical Downscaling (SDS) merupakan suatu teknik dalam klimatologi yang menggunakan pemodelan statistika untuk menganalisis hubungan antara data iklim skala besar (global) dengan data iklim skala kecil (lokal). Pemodelan SDS umumnya melibatkan kovariat skala besar terkondisi buruk (ill-conditioned) (tidak bebas/korelasi tinggi). Teknik-teknik seperti pereduksian dimensi, seleksi peubah, dan penyusutan koefisien (shrinkage) dapat digunakan untuk mengatasinya. Teknik regularisasi L1 merupakan salah satu teknik yang dikembangkan untuk menangani masalah kovariat terkondisi buruk oleh Tibshirani (1996) dengan cara seleksi peubah dan penyusutan koefisien. Penelitian yang dilakukan merupakan kajian tentang penggunaan dan pengembangan teknik regularisasi L1 pada model linier untuk mendapatkan solusi bagi permasalahan kovariat terkondisi buruk dalam pemodelan SDS. Dalam hal ini peubah kovariat mengambil nilai dari luaran model GCM dari CMIP5 dan data observasi GPCP versi 2.2 pada grid domain 7 7 yang ditetapkan di atas wilayah Kabupaten Indramayu. Pemodelan yang digunakan merupakan pemodelan linier berbasis sebaran, yaitu respons diasumsikan berasal dari sebaran normal, sebaran Gamma dan sebaran pareto terampat. Penelitian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kajian pengembangan teknik regularisasi L1 untuk pemodelan linier sebaran Gamma dan sebaran pareto terampat, dan kelompok kajian aplikasi pemodelan SDS untuk pendugaan curah hujan bulanan menggunakan pemodelan linier. Pengembangan teknik regularisasi L1 dilakukan dengan menggunakan teknik optimisasi umum Nelder-Mead. Pada model linier terampat sebaran Gamma, nilai awal parameter diduga melalui teknik iterative reweighted least square (IRWLS), sedangkan pada model linier sebaran pareto terampat nilai awal diduga menggunakan metode IRWLS dan p 6 var(y) p . Teknik optimisasi Nelder-Mead pada pemodelan linier terampat sebaran Gamma berhasil mendapatkan penduga parameter yang konvergen, tetapi pada pemodelan linier sebaran pareto terampat penduga parameter tidak konvergen ke parameter sebenarnya dengan menggunakan data simulasi. Simulasi dilakukan untuk membandingkan teknik regularisasi L1 dengan analisis komponen utama dalam pendugaan respons. Tiga skenario digunakan dalam simulasi, yaitu skenario berdasarkan data kovariat yang digunakan, nilai koefisien bj dan sebaran respons. Dua skenario kovariat digunakan dalam kajian yaitu data observasi GPCP versi 2.2 dan data luaran CMIP5. Skenario koefisien bj diambil dari kombinasi (< 1, 0 dan > 1) dan bj seragam < 1. Skenario sebaran respons yang digunakan adalah sebaran normal, Gamma dan pareto terampat dengan 3 nilai parameter simpangan baku (s) untuk sebaran normal dan 3 nilai parameter bentuk/shape (x) untuk sebaran Gamma dan pareto terampat. Hasil simulasi menunjukkan teknik regularisasi L1 memberikan hasil pendugaan yang lebih baik atau relatif sama baiknya dibanding dengan analisis komponen utama. Teknik lasso (regresi dengan regularisasi L1) pada aplikasi pemodelan SDS memberikan hasil yang lebih baik dalam memprediksi curah hujan di 11 pos hujan di Indramayu dan sekitarnya dibanding dengan metode regresi komponen utama. Pada pendugaan curah hujan menggunakan model linier terampat sebaran Gamma, penambahan peubah dummy bulan mempengaruhi pendugaan curah hujan secara signifikan. Beberapa hasil menunjukkan nilai RMSE dari pendugaan model linier terampat sebaran Gamma memberikan nilai yang lebih kecil dibanding dengan pendugaan dari regresi komponen utama. Tetapi dalam pendugaan nilai ekstrim di atas batas nilai pencilan, pemodelan linier terampat sebaran Gamma memberikan nilai RMSE yang lebih kecil di banding regresi komponen utama. Pada kasus ini, curah hujan ekstrim bulanan lebih baik diduga menggunakan nilai dugaan pada quantil 0.90 dan 0.95. Model linier sebaran pareto terampat memberikan nilai RMSE yang lebih besar pada pendugaan rataan curah hujan bulanan di atas nilai ambang, dibanding dengan model linier terampat sebaran Gamma atau metode regresi komponen utama. Tetapi, pada pendugaan curah hujan bulanan di atas pencilan, model linier sebaran pareto terampat memberikan hasil sama baiknya dibanding dua metode lainnya dengan menggunakan pendugaan quantil 0.90 dan 0.95. Keyword:regularisasi L1, statistical downscaling, model linier terampat sebaran Gamma, model linier sebaran pareto terampat, curah hujan ekstrim
Judul: Permodelan Statistical Downscaling dengan Regresi Projection Pursuit untuk Peramalan Curah Hujan Bulanan (Kasus Curah hujan bulanan di Indramayu) Abstrak:Pemodelan Statistical Downscaling (SD) menyusun model hubungan fungsional antara luaran GCM dengan curah hujan lokal. Model SD memerlukan suatu domain (luasan dan lokasi) GCM sebagai peubah prediktor dan curah hujan lokal sebagai peubah respon. Penentuan domain GCM merupakan langkah pertama dalam penyusunan model SD. Secara umum data curah hujan bersifat nonlinear dan tidak berdistribusi normal, sedangkan data luaran GCM (Generalized Circulation Model) bersifat curse of dimensionality dan multikolinearitas, sehingga langkah kedua dalam pemodelan SD adalah mereduksi dimensi data luaran GCM. Metode PPR (Projection Pursuit Regression) dapat digunakan untuk mengantisipasi karakteristik luaran GCM dan data curah hujan lokal, di mana PPR dapat melakukan reduksi dimensi dan menyusun model regresi yang bersifat nonparametrik dan data-driven. Pemodelan SD memerlukan panjang data historis tertentu. Periode data historis yang berbeda akan memberikan dugaan model yang berbeda pula. Suatu uji konsistensi model penduga dilakukan pada berbagai periode dan panjang data historis. Penentuan Daerah Prakiraan Musim (DPM) dilakukan berdasarkan hasil dugaan model SD. Keyword:
Judul: Enrichment of organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in quail products through its supplementation in the diet and its potency of quail eggs as an ingredient in selenium-rich egg juice Abstrak:This study was aimed to achieve an optimum level of combine organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in obtaining the best production and reproduction as well as the highest level of selenium in quail eggs. This study was conducted from January to August 2008. Numbers of observed quails were 720 (360 females and 360 males). The treatments were applied when the quails were six weeks old. Nine treatment diets were: To (commercial diet), T1(0.46 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T2 (0.46 ppm inorganic Se + 87.00 ppm vitamin E), T3 (0.92 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T4 (0.92 ppm inorganic Se +87.00 ppm vitamin E), T5 (0.46 ppm organic Se + 43.50 ppm vitamin E), T6 (0.46 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E), T7(0.92 ppm organic Se + 43.50 vitamin E) and T8(0.92 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E). Keyword:egg yolk, glutathione peroxidase ( GSH-Px), hedonic test, rank test
Judul: Partisipasi Rakyat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Di Jawa Abstrak:Tujuan penelitian ini adalah mengetahui masalah pengelolaan dna pemanfaatan hutan di Jawa dan partisipasi rakyat dalam usaha tersebut. Secara terperinci ingin mengetahui :1. Golongan ekonomi mana dalam masyrakat desa sekitar hutan yang terbanyak ketergantungannya dari hutan. 2. Sampai dimana pekerjaan di hutan dapat memberi kesejahteraan kepada penduduk. 3. Dorongan serta rangsangan serta intensitas partisipasi rakyat dalam pembangunan hutan dan desa. Dan dalam penelitian ini menggunakan metode Penelitian Sosial. Keyword:
Judul: Strategi Penguatan Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Pola Agroforestri di Kabupaten Wonogiri Abstrak:Hutan rakyat menurut UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 adalah hutan yang berada di lahan milik rakyat. Hutan rakyat pola agroforestri adalah hutan rakyat yang mengombinasikan tanaman semusim, tanaman hutan, dan atau ternak secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Perkembangan hutan rakyat yang kurang menggembirakan bukan disebabkan kurangnya partisipasi petani hutan, namun kurangnya dukungan dari stakeholders terkait. Petani sudah sangat aktif berpartisipasi, namun banyak keterbatasan yang dimiliki petani sehingga diperlukan partisipasi stakeholders untuk mengembangkan hutan rakyat agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis profil hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri, menganalisis stakeholders hutan rakyat, menganalisis partisipasi stakeholders dalam pengelolaan hutan rakyat pola agroforestri, dan menyusun strategi penguatan partisipasi stakeholders dalam pengelolaan Hutan Rakyat Pola Agroforestri. Penelitian dilakukan di lima desa/kelurahan (Kelurahan Selopuro, Desa Sejati, Desa Tirtosuworo, Desa Guwotirto, Kelurahan Girikikis), pada Bulan Desember 2015 sampai bulan Juli 2016. Populasi penelitian adalah stakeholders hutan rakyat sejumlah 2513 orang. Jumlah contoh penelitian (research sample) sebanyak 283 orang, yang terdiri dari 244 petani hutan dan 39 stakeholders non petani. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mixed methods), dengan teknik pengumpulan data wawancara terstruktur, wawancara mendalam, observasi, FGD, dan studi literatur. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif, uji korelasi Rank Spearman, analisis korelasi Pearson, Uji Beda Mann Whitney, dan Analisis Jalur. Perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan analisis adalah SPSS 20. Hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri merupakan hutan yang dikelola oleh masyarakat dan berada di lahan milik mereka. Luasan hutan relatif sempit, berkisar 0,03 ha s.d 3,3 ha dengan lokasi yang tersebar, bahkan banyak lokasi hutan rakyat yang berada di luar desa atau dusun dengan rumah tinggal petani. Lahan-lahan yang ditanami tanaman kayu adalah tegalan atau masyarakat menyebutnya sebagai gunung atau alas, kebun, pekarangan, dan sawah. Tegalan dan kebun ditanami dengan tanaman kayu yang didominasi oleh jenis jati, mahoni, akasia, trembesi, dan sonokeling. Beberapa lahan yang relatif subur mulai ditanami dengan jenis sengon karena memiliki daur yang lebih pendek. Pekarangan ditanami dengan tanaman kayu dan tanaman buah, sedangkan sawah ditanami tanaman kayu yang berfungsi juga sebagai batas kepemilikan lahan. Tanaman tumpang sari yang ditanam petani di sela-sela tegakan didominasi oleh tanaman rimpang (empon-empon), sedangkan tanaman lain yang juga ditanam adalah cabai rawit, palawija, dan rumput gajah. Pengelolaan hutan masih dilakukan secara sederhana, mulai dari penyiapan lahan hingga pemasaran. Penyiapan lahan hanya dilakukan pada awal pembangunan hutan rakyat, yaitu pembuatan teras batu untuk mencegah erosi karena kondisi lahan di Wonogiri sebagian besar berupa bukit batu. Penanaman dilakukan dengan memindahkan anakan alami yang banyak tumbuh di bawah tegakan. Anakan ini dipindahkan dari lokasi yang rapat ke lokasi yang masih relatif kosong. Kegiatan pemeliharaan hanya sebatas pemupukan pada saat penanaman dengan menggunakan pupuk kandang hingga tahun pertama. Pemangkasan dan penjarangan tidak dilakukan. Pemanenan dilakukan ketika petani membutuhkan dana tunai yang tidak bisa dipenuhi dari hasil tanaman pertanian atau ternaknya. Pengolahan hasil tidak dilakukan, sedangkan pemasaran dilakukan kepada pedagang kayu keliling karena kayu dijual pada kondisi berdiri. Stakeholders hutan rakyat sangat beragam ditinjau dari kepentingan dan pengaruhnya, namun secara keseluruhan petani hutan merupakan stakeholders kunci dalam pengelolaan hutan rakyat. Petani merupakan pemegang setiap keputusan yang terkait dengan pengelolaan hutan rakyat, namun dukungan dari stakeholders lain tetap sangat dibutuhkan dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri. Partisipasi stakeholders dalam pengelolaan hutan rakyat tergolong sedang pada tahap perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan, sedangkan pada tahap penilaian tergolong rendah. Partisipasi (Y3) dipengaruhi karakteristik stakeholders (X1), dukungan kebijakan dan norma (X2), kualitas penyuluhan (X3), kesempatan (X4), dan motivasi (Y1), dengan persamaan: Y3 = 130,965 + 0,129X1 + 0,350 X2 + 0,361 X3 + 0,909 X4 + 0,289 Y1 + 0,150 Y2. Pola hubungan langsung yang memiliki pengaruh terbesar terhadap partisipasi stakeholders adalah faktor kualitas penyuluhan dan faktor kesempatan. Pola hubungan tidak langsung yang memiliki pengaruh terbesar terhadap partisipasi stakeholders adalah karakteristik internal dan dukungan kebijakan dan norma melalui variabel motivasi. Keyword:agroforestri, hutan rakyat, partisipasi, stakeholders
Judul: Bacteriocin-like Inhibitory Substances Produksi Streptomyces sp. yang Berasosiasi dengan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Abstrak:Kontaminasi mikroorganisme menyebabkan kerusakan pangan dan penyakit bawaan pangan. Salah satu strategi pencegahan masalah tersebut adalah aplikasi bahan pengawet alami seperti bakteriosin. Bakteriosin merupakan peptida antibakteri yang disintesis secara ribosomal oleh bakteri. Mayoritas bakteriosin diproduksi oleh bakteri asam laktat. Namun, hanya nisin (bakteriosin produksi L. lactis) yang telah diizinkan aplikasinya secara luas. Beragam sumber untuk mendapatkan bakteri penghasil atau bahkan bakteriosin baru sebagai alternatif nisin dapat dieksplorasi, salah satunya adalah bakteriosin yang dihasilkan oleh Streptomyces yang berasosiasi dengan ikan bandeng (Chanos chanos). Kemampuan adaptasi pada berbagai ekosistem dan membentuk asosiasi dengan inang eukariotik diduga memberikan Streptomyces kapasitas fisiologis dan genetik untuk mengekspresikan metabolit unik dengan berbagai bioaktivitas. Streptomyces menjadi genus yang menjanjikan namun masih sedikit dipertimbangkan. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi isolat Streptomyces penghasil bakteriosin atau BLIS, serta memurnikan, mengkarakterisasi dan mengidentifikasi bakteriosin atau bacteriocin-like inhibitory substance (BLIS) yang diproduksi Streptomyces sp. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi isolat bakteri penghasil bakteriosin atau bacteriocinlike inhibitory substances yang potensial, 2) menganalisis dan mengidentifikasi medium dan waktu produksi terbaik dari BLIS yang dihasilkan oleh ke-enam isolat Streptomyces terpilih, 3) menganalisis BLIS yang telah dimurnikan sebagian hingga BLIS murni yang didapatkan dari proses fraksinasi tiga tahap, 4) menganalisis toksisitas (LC50) dan stabilitas BLIS terhadap suhu tinggi dan pH berbeda, 5) mengidentifikasi peptida BLIS yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakteri menggunakan HR-LC-ESI-MS-MS, dan 6) mengidentifikasi sifat fisikokimia peptida secara in silico dan studi penambatan molekuler terhadap protein target penicillin-binding protein 3 yang dimiliki methicillin resistant S. aureus. Penelitian ini dilaksanakan dalam lima tahapan. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik isolat A12 dan A17, menganalisis potensi metabolit antibakteri yang dihasilkan, dan mengidentifikasi profil metabolit antibakteri. Hasil dari tahapan ini menambah jumlah isolat yang berasosiasi dengan ikan bandeng yang mampu menghasilkan metabolit antibakteri potensial, yang mana pada penelitian sebelumnya telah didapatkan sebanyak empat isolat (S5, S8, S11 dan A10). Penelitian tahap kedua bertujuan untuk menganalisis medium dan waktu produksi terbaik untuk produksi metabolit antibakteri yang dihasilkan oleh ke-enam isolat (S5, S8, S11, A10, A12 dan A17). Penelitian tahap ketiga bertujuan untuk menseleksi isolat bakteri penghasil BLIS, analisis aktivitas antibakteri dan stabilitas terhadap suhu tinggi dan kisaran pH luas dari crude-BLIS dan analisis aktivitas antibakteri fraksi BLIS berberat molekul <3, 3-10 dan >10 kDa hasil fraksinasi dengan membran ultrafiltrasi. Fraksi BLIS-UF dengan aktivitas antibakteri menjanjikan dilanjutkan analisis ke tahap penelitian ke-empat. Tahap ke-empat bertujuan untuk menganalisis aktivitas fraksi BLIS-filtrasi gel (BLIS-GF) hasil fraksinasi lanjut dengan kromatografi filtrasi gel (Sephadex G-25), menganalisis toksisitas (LC50) dengan metode brine-shrimp lethality assay dan stabilitas BLIS-GF pada suhu tinggi dan kisaran pH yang luas, mengidentifikasi prediksi urutan peptida BLIS berdasarkan analisis dengan HR-LC-ESI-MS-MS yang diikuti analisis multivariat OPLS dan analisis in silico, dan mengidentifikasi sifat fisikokimia dan prediksi probabilitas peptida antibakteri secara in-silico. Fraksi BLIS-GF dengan aktivitas potensial dilanjutkan ke analisis tahap ke-lima, yang mana tahap ini bertujuan untuk mempurifikasi fraksi BLIS-GF dengan RPHPLC hingga didapatkan BLIS, murni mengetahui aktivitas antibakteri BLIS murni, mengevaluasi toksisitas (LC50) dengan metode brine-shrimp lethality assay dan stabilitas BLIS murni pada suhu tinggi dan pH berbeda, mengidentifikasi urutan peptida BLIS-GF dengan HR-LC-ESI-MS-MS, mengidentifikasi sifat fisikokimia dan struktur sekunder BLIS murni secara in silico, dan melakukan studi penambatan molekuler pada BLIS murni terhadap penicillin binding protein (PBP3) yang dimiliki oleh methicillin resistant S. aureus. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan isolat teridentifikasi Streptomyces sp. mampu menghasilkan metabolit antibakteri dengan spektrum penghambatan luas. Pada penelitian tahap kedua, isolat diketahui memproduksi senyawa antibakteri secara optimum pada medium produksi yeast-malt extract broth dengan masa inkubasi 9 hingga 11 hari. Pada penelitian tahap ketiga, uji aktivitas antibakteri dan analisis sifat protein menunjukkan Streptomyces sp. mampu memproduksi peptida antibakteri sebagai bacteriocin-like inhibitory substance (BLIS). BLIS-Streptomyces (dalam bentuk crude-BLIS) menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, dan stabil terhadap panas (hingga 100 C) dan kisaran pH yang luas (pH 2.0 – 7.0). Fraksinasi dengan membran ultrafiltrasi menunjukkan fraksi <3 kDa dan fraksi 3-10 kDa merupakan fraksi paling aktif. Pada penelitian tahap ke-empat, fraksinasi lanjut dengan kromatografi filtrasi gel (Sephadex G-25) terhadap fraksi BLIS aktif menghasilkan masing-masing 8 fraksi BLIS filtrasi gel (BLIS-GF). Fraksinasi dengan kromatografi filtrasi gel juga menunjukkan tren peningkatan aktivitas spesifik-BLIS. Prediksi peptida yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakteri menggunakan pendekatan analisis HR-LC-ESI-MS-MS diikuti analisis multivariat OPLS menemukan 597 peptida prediksi. Sebanyak 42 dari 597 peptida prediksi dengan karakteristik peptida antimikroba dan probabilitas peptida antimikroba berdasarkan iAMPpred tertinggi (>0.5) dipilih. Peptida prediksi terpilih memiliki massa molekul rendah (247.13-615.37 Da), muatan bersih -2 hingga +2, terdiri dari minimal 20 % asam amino hidrofobik, dan memiliki hidrofobisitas hingga 14.72 Kkal mol o . Pada tahap ke-lima, fraksi BLIS-GF dengan aktivitas potensial dimurnikan dengan RP-HPLC dengan deteksi pada 280 nm hingga mendapatkan BLIS murni. Pada kondisi murni, aktivitas spesifik-BLIS meningkat secara signifikan hingga 275.9 kali lipat. Selain itu, BLIS murni juga mampu mempertahankan lebih dari 50% aktivitasnya hingga suhu 100 -1 C dan pH 2.0 – 7.0. Identifikasi isolat peptida BLIS murni (kemurnian 78.71 – 88.93% berdasarkan total area integrasi) dengan HR-LC-ESI-MS-MS diikuti analisis bioaktivitas secara in-silico pada basis data peptida antibakteri dan bakteriosin menunjukkan peptida BLIS murni memiliki urutan asam amino yang tidak o ditemukan homologinya dengan bakteriosin atau peptida antimikroba lain sehingga peptida BLIS murni diduga merupakan bakteriosin baru. Studi in silico untuk mengetahui sifat fisikokimia BLIS murni menunjukkan ke-empat BLIS murni mengandung 50 – 86.4% asam amino hidrofobik, memiliki berat molekul berkisar 1287.51 – 1812.85 Da, muatan bersih -4 hingga +2, titik isoelektrik 2.68 – 11.71, hidrofobisitas 20.44 – 27.46 Kkal mol , dan indeks terapi prediksi 5.41 – 91.30. Studi penambatan molekuler dari peptida BLIS murni terhadap protein PBP-3 methicillin-resistant S. aureus menunjukkan nilai energi pengikatan (binding energy) yang rendah (-7.5 hingga -8.1 Kcal mol -1 , indeks Boman 0.3 – 2.13 kkal mol -1 ), jumlah ikatan hidrogen berkisar 17-25 ikatan dengan jarak terdekat 1.78 Å dan mayoritas interaksi terjadi pada sisi aktif PBP-3. Konfirmasi penambatan molekuler dengan MDockPeP menunjukkan nilai docking score (skor penambatan) yang rendah berkisar -143.656 hingga 176.037. Hasil ini menunjukkan bahwa peptida BLIS murni mampu menambat secara spontan pada protein PBP-3, dan mampu membentuk interaksi yang baik dan stabil antara peptida (ligan) dan protein, serta kemampuan peptida dalam menghambat sintesis dinding atau membran sel bakteri melalui pengikatan pada prekursor pensintesisnya. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini mengungkapkan potensi Streptomyces sp. dalam menghasilkan bakteriosin atau bacteriocin-like inhibitory substance (BLIS). Fraksinasi tiga tahap menggunakan membran ultrafiltrasi, kromatografi filtrasi gel dan RP-HPLC mampu memurnikan BLIS hingga mendapatkan BLIS murni, serta meningkatkan aktivitas spesifik-BLIS hingga 275.9 kali lipat. Berdasarkan hasil analisis dan identifikasi, BLIS Streptomyces memiliki stabilitas yang baik pada suhu tinggi (hingga 100 -1 C) dan kisaran pH yang luas (pH 2.0 – 7.0), serta memiliki urutan asam amino yang tidak homolog dengan urutan asam amino peptida antimikroba atau bakteriosin lain sehingga diduga merupakan bakteriosin baru. Berdasarkan aktivitas, stabilitas dan sifat yang ditunjukkan, BLIS-Streptomyces berpotensi digunakan sebagai bahan pengawet alami pada pangan., Microorganism contamination causes food spoilage and foodborne disease. One strategy to prevent this problem is the application of natural preservatives such as bacteriocins. Bacteriocins are antibacterial peptides synthesized ribosomally by bacteria. Lactic acid bacteria produce the majority of bacteriocins. However, only nisin (a bacteriocin produced by L. lactis) has been widely used. Various sources to obtain producing bacteria or even new bacteriocins as alternatives to nisin can be explored, one of which is the bacteriocin produced by Streptomyces associated with milkfish (Chanos chanos). The ability to adapt to various ecosystems and form associations with eukaryotic hosts gives Streptomyces the physiological and genetic capacity to express unique metabolites with various bioactivities. Streptomyces is a promising genus, but it is still little considered. The purpose of this study was to explore the bacteriocin-producing Streptomyces isolates and to purify, characterize and identify the bacteriocin-like inhibitory substance (BLIS) produced by Streptomyces sp. The specific objectives of this study were: 1) to identify potential isolates of bacteria producing bacteriocinlike inhibitory substances, 2) analyzed and identified the best medium and production time of BLIS produced by the six selected Streptomyces isolates, 3) to analyze semi-purified BLIS and purified-BLIS obtained from three-step fractionation, 4) analyze the toxicity (LC50) and stability of BLIS against high temperature and wide-range of pH, 5) identify the BLIS peptide responsible for antibacterial activity using HR-LC-ESI-MS-MS, and 6) identify the physicochemical properties of the peptide in silico and molecular docking studies of the target protein (PBP-3) of methicillin-resistant S. aureus. This research consists of five stages. The first phase of the study aimed to identify the characteristics of isolates A12 and A17, analyze the potential of the antibacterial metabolites produced, and identify the profile of antibacterial metabolites. This stage is a follow-up study from previous studies, in which four isolates (S5, S8, S11 and A10) were identified that we're able to produce metabolites suspected of being protein with potential antibacterial activity. The second stage of the study aimed to analyze the best medium and time for producing the antibacterial metabolites produced by the six isolates (S5, S8, S11, A10, A12 and A17). The third stage of the study aimed to analyze the antibacterial activity of BLIS with molecular weight <3, 3-10 and >10 kDa fractionated using ultrafiltration membrane (BLIS-UF) and to analyze the stability of BLIS-UF at high temperature and wide-range of pH. BLIS-UF with promising antibacterial activity, continued the analysis to the fourth stage. The fourth stage aims to analyze the activity of BLIS-gel filtration (BLIS-GF) fractionated using gel-filtration chromatography, analyze the toxicity (LC50) and stability of BLIS-GF at high-temperature and widerange of pH, identified BLIS peptide sequences based on HR-LC-ESI-MS-MS followed by multivariate OPLS and in-silico analysis, and identified physicochemical properties and predicted probabilities as candidates for antimicrobial peptides in-silico. BLIS-GF with potential activity was further analyzed in the fifth stage of the study. This stage aimed to purify the BLIS-GF fraction with RP-HPLC to obtain purified-BLIS, determining the antibacterial activity of purified-BLIS, evaluate the toxicity and stability of purified-BLIS at high temperature and different pH, identified the BLIS-GF peptide sequence with HR-LC-ESI-MS-MS, identified the physicochemical properties and secondary structure of purified-BLIS in-silico, and molecular docking study of purified-BLIS against penicillin-binding protein- 3 (PBP-3). The first stage of the study showed that isolates A12 and A17 were part of the genus Streptomyces sp. Both isolates were also able to produce metabolites suspected of having protein potential as antibacterial with a broad spectrum of inhibition. These results increase the number of Streptomyces isolates isolated from the digestive tract of milkfish, which are capable of producing antibacterial metabolites found in previous studies (isolates S5, S8, S11 and A10). In the second stage of the study, six isolates were found to identify the optimum antibacterial metabolite production medium and time. The analysis results showed that all isolates could produce antibacterial compounds optimally in yeast-malt extract broth production medium with an incubation period of 9 to 11 days. In the third stage of the study, the antibacterial activity test and analysis of protein properties showed that Streptomyces sp. can produce antibacterial peptides as bacteriocin or bacteriocin-like inhibitory substance (BLIS). BLIS-Streptomyces (in crude-BLIS form) showed antibacterial activity against Gram-positive and Gram-negative bacteria and were stable to high temperatures (up to 100 C) and a wide-range of pH (pH 2.0 – 7.0). Fractionation with ultrafiltration membrane showed <3 kDa fraction, and 3-10 kDa fraction was the most active BLIS fraction. The fraction showed increased antibacterial activity and stability to pH and high temperature in the same range. In the fourth stage of the study, fractionation using gel-filtration chromatography (Sephadex G-25) to the active BLIS fraction resulted in 8 fractions of BLIS-gel filtration (BLIS-GF) each the fraction eluted at the beginning of the retention time had high BLIS-specific activity. Fractionation by gel filtration chromatography also showed an increasing trend of BLIS-specific activity. Prediction of peptide identification in the BLIS-GF by HR-LC-ESI-MS-MS followed by multivariate OPLS and in-silico analysis found 42 peptides (dipeptide to pentapeptide) responsible for antibacterial activity in E. coli, S. aureus, L. monocytogenes and S. Typhimurium. These peptides have a low molecular weight (247.13 – 614.37 Da), contain at least 20% hydrophobic amino acids in their sequence, are anionic and cationic, and have moderate to high hydrophobicity. Prediction of the bioactivity of the 42 peptides using iAMPpred showed that the majority of peptides had a high probability (>0.5) as antimicrobial peptide candidate. In the fifth stage, the BLIS-GF fraction with potential activity was purified by RP-HPLC with detection at 280 nm to obtain purified-BLIS. In purifiedBLIS conditions, BLIS-specific activity increased significantly up to 275.9 times. In addition, purified-BLIS can maintain more than 50% of its activity up to a temperature of 100 o C and a pH of 2.0 – 7.0. Identification of purified-BLIS (purity 78.71 – 88.93% based on a total area of integration) with HR-LC-ESI-MS-MS followed by in-silico analysis on antibacterial peptide databases (APD3) and bacteriocin database (BACTIBASE) showed no bacteriocin or other antimicrobial peptide sequences homologous to purified-BLIS amino acid sequences were found. o This indicates that the purified-BLIS peptide is a novel bacteriocin or antimicrobial peptide. An in-silico study to determine the physicochemical properties of purifiedBLIS showed that the four purified-BLIS contained 50 – 86.4% hydrophobic amino acids, had molecular weights ranging from 1287.51 – 1812.85 Da, net charge -4 to +2, isoelectric point 2.68 – 11.71, hydrophobicity 20.44 – 27.46 Kcal mol-1, Boman index 0.3 – 2.13 kcal mol-1, and predictive therapeutic index 5.41 – 91.30. Molecular docking study of purified-BLIS against methicillin-resistant S. aureus PBP-3 protein showed a low binding energy value (-7.5 to -8.1 Kcal mol-1), the number of H-bonds ranged from 17-25 bonds with the closest distance of 1.78. and the majority of interactions occur at the active site of PBP-3. Molecular docking confirmation with MDockPeP showed low docking scores ranging from -143.656 to 176,037. These results indicate that the purified-BLIS peptide can bind spontaneously to the PBP-3 and can interact stably on the target protein, and the ability of the peptide to inhibit bacterial cell wall or membrane synthesis through binding to its synthesizing precursor. Overall, the results of this study reveal the potential of Streptomyces sp. in producing bacteriocin or bacteriocin-like inhibitory substance (BLIS). Three-step fractionation using ultrafiltration membrane, gel-filtration chromatography and RPHPLC was able to purify BLIS to obtain purified-BLIS and increase BLIS-specific activity up to 275.9 times. Based on the analysis and identification results, BLISStreptomyces has good stability at high temperatures (up to 100 C) and a wide pH range (pH 2.0 – 7.0), and has an amino acid sequence that is not homologous to the amino acid sequence of other antimicrobial peptides or bacteriocins. This indicates that the four purified-BLIS are thought to be new bacteriocins. Based on the activity, stability and properties shown, BLIS-Streptomyces can be used as a biopreservative in food. Keyword:Bacteriocin, Biopreservative, antimicrobial peptide, three-steps purification, Streptomyces
Judul: Efektivitas Model Edukasi Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak secara Intensif (KPMBA-I) dalam Meningkatkan Kinerja Konseling Kader Posyandu. Abstrak:Kegiatan edukasi di Posyandu yang belum dilakukan oleh kader menyebabkan ibu yang memiliki bayi dan anak usia 0-2 tahun tidak memperoleh informasi tentang kondisi dan cara mengatasi masalah kesehatan bayi atau anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas model edukasi konseling pemberian makan bayi dan anak secara intensif (KPMBA-I) terhadap kinerja konseling kader Posyandu. Penelitian dilaksanakan di Ciomas Bogor Jawa Barat pada bulan Mei sampai Desember 2017. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, menggunakan desain kualitatif pada tahap satu dan dua, pada tahapan penelitian ketiga menggunakan desain eksperimen semu. Populasi target dalam penelitian ini adalah kader yang bekerja dan berada di Kecamatan Ciomas Bogor. Subjek dalam penelitian ini adalah kader yang berasal dari dua desa yaitu Desa Pagelaran dan Desa Ciomas Rahayu di Kecamatan Ciomas Bogor dengan jumlah 55 orang. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah 1) bersedia mengikuti penelitian sampai selesai dengan menandatangani inform consent, 2) Sehat, 3) sebagai kader aktif (hadir setiap bulan kegiatan posyandu), 4) Usia antara 20-55 tahun, 5) sudah menikah, 6) lama bekerja sebagai kader minimal 2 tahun, sedangkan kriteria eksklusi adalah kader yang sakit dan tidak bisa mengikuti penelitian sampai selesai. Kader kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan modul kader standar dan kader kelompok intervensi mendapatkan edukasi konseling PMBA intensif (KPMBA-I). Data yang dianalisis meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan selain kader, pernah tidaknya mendapat pelatihan, lama menjadi kader, pengetahuan, sikap, motivasi dan kinerja konseling PMBA. Data keterampilan konseling kader diperoleh dengan cara observasi selama pendampingan. Data praktik pemberian makan bayi dan anak diperoleh dari hasil konseling kader kepada ibu/pengasuh dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan kader tidak secara rutin memberikan penyuluhan/edukasi gizi dan kesehatan di Posyandu. Edukasi dilakukan secara informal, tidak ada pedoman penyuluhan yang dikuti dan tidak menggunakan alat bantu. Tokoh masyarakat dan petugas kesehatan mendukung kader untuk dapat melaksanakan tugas nya dengan baik. Masyarakat pengguna posyandu juga berharap, ada peningkatan keterampilan kader khususnya keterampilan konseling. Kader berharap mendapat pelatihan yang tepat dan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan konseling yang dapat dipraktikkan di masyarakat. Hasil penelitian tahap dua diperoleh model edukasi konseling PMBA intensif (KPMBA-I) berupa modul modifikasi konseling PMBA dengan penambahan jam praktik konseling dan proses pendampingan. Sebagian (56%) kader berada pada usia produktif yaitu usia 35-45 tahun. Sebanyak 64% kader memiliki pendidikan yang tinggi yaitu tingkat SMA. Selain menjadi kader posyandu, sebagian besar (80%) bekerja sebagai ibu rumah tangga, berstatus sudah menikah dan selama menjalankan tugasnya sebagai kader, hampir seluruhnya (95%) mendapat dukungan dari keluarga khususnya suami. Dalam satu tahun terakhir, terdapat kader yang belum pernah mendapat pelatihan (35%), pernah mendapat pelatihan satu kali (31%) dan pelatihan dua kali atau lebih (34%). Lama dan pengalaman menjadi kader posyandu sebagian besar adalah 2 sampai 5 tahun (71%). Tidak terdapat perbedaan signifikan antara karakteristik kader kelompok intervensi dan kontrol (p>0.05) sehingga tidak mempengaruhi hasil intervensi. Hasil uji paired t-test menunjukkan perbedaan signifikan nilai pengetahuan, sikap dan motivasi kader kelompok intervensi sebelum dan setelah pelatihan (p<0.05). Hasil uji independent t-test menunjukkan perbedaan yang signifikan nilai pengetahuan kedua kelompok setelah mendapat pelatihan (p<0.05) namun nilai sikap dan motivasi tidak menunjukkan perbedaan (p>0.05). Hasil uji paired t-test menunjukkan perbedaan nilai kinerja kader kelompok intervensi sebelum dan setelah pelatihan (p<0.05). Hasil uji independent t-test menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai kinerja kedua kelompok setelah mendapat pelatihan (p<0.05). Skor dari empat indikator kinerja konseling yaitu kuantitas, kualitas, kepedulian dan karakter menunjukkan peningkatan secara signifikan pada kelompok kader yang diberi edukasi KPMBA-I. Hasil analisis ANCOVA menunjukkan secara simultan pengetahuan, sikap kader, pernah mendapat pelatihan dan model edukasi berpengaruh terhadap kinerja konseling kader (p<0.05) dengan nilai R Squared = 0.447. Evaluasi proses pendampingan dilakukan selama kader melakukan praktik konseling kepada ibu bayi dan anak usia 0-24 bulan sebanyak 8 kali. Hasil analisis menunjukkan nilai p= 0.001 yang berarti proses pendampingan memberikan pengaruh terhadap keterampilan konseling kader berdasarkan tahap pendampingan. Jumlah pendampingan yang efisien dan efektif meningkatkan keterampilan konseling kader adalah 3 kali pendampingan. Evaluasi proses praktik konseling kader kepada ibu/pengasuh bayi dan anak usia 0-24 bulan memberikan hasil pada perubahan praktik PMBA ibu/pengasuh. Terjadi peningkatan praktik pemberian makan bayi dan anak usia 6-24 bulan oleh ibu/pengasuh berdasarkan kategori (p= 0.001) dan nilai rerata praktik (p= 0.003). Praktik yang mengalami peningkatan adalah konsumsi lauk hewani, bentuk/kekentalan dan variasi makanan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:(1) Model edukasi KPMBA-I efektif meningkatkan pengetahuan, sikap dan motivasi kader. (2) Model edukasi KPMBA-I efektif meningkatkan kinerja konseling kader dengan indikator kuantitas, kualitas, kepedulian dan karakter. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kinerja konseling adalah model edukasi, pengetahuan, sikap dan pernah tidaknya kader mendapat pelatihan. (3) Proses pendampingan efektif meningkatkan keterampilan konseling PMBA kader. (4) Praktik konseling PMBA kader kepada ibu/pengasuh dapat meningkatkan praktik PMBA usia 6-24 bulan. Untuk itu perlu dilakukan 1) pendampingan rutin dan terstruktur oleh bidan desa maupun petugas gizi untuk mempertahankan keterampilan konseling kader dengan menggunakan alat ukur penilaian keterampilan konseling, 2) peningkatan kapasitas kader secara kontinyu seperti refreshing /penyegaran misalnya dalam pertemuan bulanan kader, 3) peningkatan dukungan dari aparat desa dan tokoh masyarakat agar praktik konseling PMBA kader dapat dilakukan secara rutin. Keyword:cadres, counseling, IYCF, performance, supportive supervision
Judul: Efektivitas Model Edukasi Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak secara Intensif (KPMBA-I) dalam Meningkatkan Kinerja Konseling Kader Posyandu. Abstrak:Kegiatan edukasi di Posyandu yang belum dilakukan oleh kader menyebabkan ibu yang memiliki bayi dan anak usia 0-2 tahun tidak memperoleh informasi tentang kondisi dan cara mengatasi masalah kesehatan bayi atau anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas model edukasi konseling pemberian makan bayi dan anak secara intensif (KPMBA-I) terhadap kinerja konseling kader Posyandu. Penelitian dilaksanakan di Ciomas Bogor Jawa Barat pada bulan Mei sampai Desember 2017. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, menggunakan desain kualitatif pada tahap satu dan dua, pada tahapan penelitian ketiga menggunakan desain eksperimen semu. Populasi target dalam penelitian ini adalah kader yang bekerja dan berada di Kecamatan Ciomas Bogor. Subjek dalam penelitian ini adalah kader yang berasal dari dua desa yaitu Desa Pagelaran dan Desa Ciomas Rahayu di Kecamatan Ciomas Bogor dengan jumlah 55 orang. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah 1) bersedia mengikuti penelitian sampai selesai dengan menandatangani inform consent, 2) Sehat, 3) sebagai kader aktif (hadir setiap bulan kegiatan posyandu), 4) Usia antara 20-55 tahun, 5) sudah menikah, 6) lama bekerja sebagai kader minimal 2 tahun, sedangkan kriteria eksklusi adalah kader yang sakit dan tidak bisa mengikuti penelitian sampai selesai. Kader kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan modul kader standar dan kader kelompok intervensi mendapatkan edukasi konseling PMBA intensif (KPMBA-I). Data yang dianalisis meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan selain kader, pernah tidaknya mendapat pelatihan, lama menjadi kader, pengetahuan, sikap, motivasi dan kinerja konseling PMBA. Data keterampilan konseling kader diperoleh dengan cara observasi selama pendampingan. Data praktik pemberian makan bayi dan anak diperoleh dari hasil konseling kader kepada ibu/pengasuh dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan kader tidak secara rutin memberikan penyuluhan/edukasi gizi dan kesehatan di Posyandu. Edukasi dilakukan secara informal, tidak ada pedoman penyuluhan yang dikuti dan tidak menggunakan alat bantu. Tokoh masyarakat dan petugas kesehatan mendukung kader untuk dapat melaksanakan tugas nya dengan baik. Masyarakat pengguna posyandu juga berharap, ada peningkatan keterampilan kader khususnya keterampilan konseling. Kader berharap mendapat pelatihan yang tepat dan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan konseling yang dapat dipraktikkan di masyarakat. Hasil penelitian tahap dua diperoleh model edukasi konseling PMBA intensif (KPMBA-I) berupa modul modifikasi konseling PMBA dengan penambahan jam praktik konseling dan proses pendampingan. Sebagian (56%) kader berada pada usia produktif yaitu usia 35-45 tahun. Sebanyak 64% kader memiliki pendidikan yang tinggi yaitu tingkat SMA. Selain menjadi kader posyandu, sebagian besar (80%) bekerja sebagai ibu rumah tangga, berstatus sudah menikah dan selama menjalankan tugasnya sebagai kader, hampir seluruhnya (95%) mendapat dukungan dari keluarga khususnya suami. Dalam satu tahun terakhir, terdapat kader yang belum pernah mendapat pelatihan (35%), pernah mendapat pelatihan satu kali (31%) dan pelatihan dua kali atau lebih (34%). Lama dan pengalaman menjadi kader posyandu sebagian besar adalah 2 sampai 5 tahun (71%). Tidak terdapat perbedaan signifikan antara karakteristik kader kelompok intervensi dan kontrol (p>0.05) sehingga tidak mempengaruhi hasil intervensi. Hasil uji paired t-test menunjukkan perbedaan signifikan nilai pengetahuan, sikap dan motivasi kader kelompok intervensi sebelum dan setelah pelatihan (p<0.05). Hasil uji independent t-test menunjukkan perbedaan yang signifikan nilai pengetahuan kedua kelompok setelah mendapat pelatihan (p<0.05) namun nilai sikap dan motivasi tidak menunjukkan perbedaan (p>0.05). Hasil uji paired t-test menunjukkan perbedaan nilai kinerja kader kelompok intervensi sebelum dan setelah pelatihan (p<0.05). Hasil uji independent t-test menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai kinerja kedua kelompok setelah mendapat pelatihan (p<0.05). Skor dari empat indikator kinerja konseling yaitu kuantitas, kualitas, kepedulian dan karakter menunjukkan peningkatan secara signifikan pada kelompok kader yang diberi edukasi KPMBA-I. Hasil analisis ANCOVA menunjukkan secara simultan pengetahuan, sikap kader, pernah mendapat pelatihan dan model edukasi berpengaruh terhadap kinerja konseling kader (p<0.05) dengan nilai R Squared = 0.447. Evaluasi proses pendampingan dilakukan selama kader melakukan praktik konseling kepada ibu bayi dan anak usia 0-24 bulan sebanyak 8 kali. Hasil analisis menunjukkan nilai p= 0.001 yang berarti proses pendampingan memberikan pengaruh terhadap keterampilan konseling kader berdasarkan tahap pendampingan. Jumlah pendampingan yang efisien dan efektif meningkatkan keterampilan konseling kader adalah 3 kali pendampingan. Evaluasi proses praktik konseling kader kepada ibu/pengasuh bayi dan anak usia 0-24 bulan memberikan hasil pada perubahan praktik PMBA ibu/pengasuh. Terjadi peningkatan praktik pemberian makan bayi dan anak usia 6-24 bulan oleh ibu/pengasuh berdasarkan kategori (p= 0.001) dan nilai rerata praktik (p= 0.003). Praktik yang mengalami peningkatan adalah konsumsi lauk hewani, bentuk/kekentalan dan variasi makanan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:(1) Model edukasi KPMBA-I efektif meningkatkan pengetahuan, sikap dan motivasi kader. (2) Model edukasi KPMBA-I efektif meningkatkan kinerja konseling kader dengan indikator kuantitas, kualitas, kepedulian dan karakter. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kinerja konseling adalah model edukasi, pengetahuan, sikap dan pernah tidaknya kader mendapat pelatihan. (3) Proses pendampingan efektif meningkatkan keterampilan konseling PMBA kader. (4) Praktik konseling PMBA kader kepada ibu/pengasuh dapat meningkatkan praktik PMBA usia 6-24 bulan. Untuk itu perlu dilakukan 1) pendampingan rutin dan terstruktur oleh bidan desa maupun petugas gizi untuk mempertahankan keterampilan konseling kader dengan menggunakan alat ukur penilaian keterampilan konseling, 2) peningkatan kapasitas kader secara kontinyu seperti refreshing /penyegaran misalnya dalam pertemuan bulanan kader, 3) peningkatan dukungan dari aparat desa dan tokoh masyarakat agar praktik konseling PMBA kader dapat dilakukan secara rutin. Keyword:kader, kinerja, konseling, pendampingan, PMBA
Judul: Identifikasi Molekuler Kompleks Spesies Himantura uarnak (Batoidea: Dasyatidae) di Indonesia. Abstrak:Stingrays are one of the cartilaginous fish, apart of sharks and skates, and one of Indonesia's fishery resources. Almost of elasmobranch fishes are economically important fish. The refined products and live specimens of this fish are a lot of traded. Himantura uarnak, H. undulata and H. leoparda are stingray species in Himantura and Dasyatidae family, which are the most popular stingrays in Indonesia waters. The stingrays are major target species were used as a consumable product and trading products. Levels of species diversity of cartilaginous fish in Indonesia are very high, and also Indonesia is listed as one of the countries that use elasmobranch resources the highest in the world. Generally, this study aims to identify each species of H. uarnak species complex through molecular approaches. While specifically, this study aims to estimate the evolutionary process of species divergence and to determine the relationship between species. The methods were used in this study included field sampling, sample collection, and specimen identification, collection of genetic samples, analysis of genetic samples and data analysis . Size polymorphism nuclear DNA markers (intron EPIC) were used. Polymorphism alleles translated into genotypes and alleles frequency of five introns loci. The results of Bayesian analysis and Correspondence Analysis (CA) produced informative diagram of the population structure showed 4 different clusters. Cluster 1 and 4 were H. leoparda, Cluster 2 indicated as H. undulata and the Cluster 3 was H. uarnak. Cluster 1 was a variant of Cluster 4, in this time called as H. leoparda var.1. Separation of four clusters according to nuclear DNA need to be proved by mitochondria DNA maker by cytochrome c oxidase subunit I (COI) and cytochrome b (cyt b). Molecular approaches were using mitochondrial DNA gene cytochrome c oxidase subunit I (COI) and cytochrome b produced 4 main groups (Group I, II, III and IV). Both of these molecular approaches showed each individual of groups were in consistent clade and the main group. Hence the H. uarnak species complex in Indonesian waters were divided into 4 main groups, and each was a particular species. The Group I and IV were the two group species that have been released as H. leoparda and Group I was H. leoparda var. 1 identified as cryptic species. Group II was one individual who grouped as H. undulata. Group III was one of other group that identified as H. uarnak and in accordance with the morphological characteristic through spotting pettern. Morphological approach to identified the stingrays of Himantura uarnak species complex clearly less accurate than the molecular approaches. Morphological approach should not be used to identify a species complex in stingrays without helped by other approaches. Keyword:Himantura uarnak species complex, intron EPIC, cyt b, COI, spotting pattern
Judul: Analisis Konflik Penguasaan Sumberdaya Alam: Studi Kasus Konflik Perkebunan Sawit di Halmahera Selatan Abstrak:Konflik berkaitan dengan investasi perkebunan sawit pada kenyataannya menghadapi berbagai protes atau perlawanan dari masyarakat. Bentuk protes yang dilakukan dengan berbagai cara, dari sekedar gunjingan atau gosip, aksi demonstrasi sampai terjadi benturan. Walaupun kehadiran investasi dibidang perkebunan sawit mendapatkan protes atau perlawanan, namun bentuk respon dari masyarakat juga berbeda-beda. Respon umum yang terjadi adalah membangun sikap perlawanan, kendati demikian terdapat respon dengan hanya diam dan melakukan migrasi. Kedua sikap respon (diam dan migrasi) ini dilakukan karena adanya pesimisme masyarakat untuk melawan Negara atau pemerintah. Alasan-alasan atau isyu yang menyertai terjadinya konflik juga beragam. Dari mulai alasan ekonomi, lingkungan, sosial budaya, prosedur perizinan, sampai alasan hilangnya identitas wilayah. Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat konflik akibat dari perencanaan ruang yang tidak disesuakan dengan kemampuan lahan. Dimana, daya dukung atau kemampuan lahan di wilayah penelitian dominannya adalah kelas kemampuan lahan VII, artinya lahan dimaksud hanya sesuai untuk peruntukkan sebagai vegetasi alami dan padang rumput, tidak sesuai untuk perkebunan atau lahan pertanian. Selain itu, ditemukan fakta bahwa terdapat tumpang tindih antara wilayah perizinan dan wilayah kelola rakyat (perkebunan rakyat). Yakni, areal izin konsesi yang diberikan oleh pemerintah didalamnya terdapat kebun masyarakat. Kendati demikian dari sisi perencanaan pola ruang pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Selatan, wilayah konsesi perkebunan sawit sudah sesuai dengan peruntukkan wilayah, yakni sebagai kawasan perkebunan. Akan tetapi, status kawasan juga berbeda dengan izin dari kementrian kehutanan yang menyebutkan bahwa pelepasan sebagian kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) untuk konsesi perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini juga memetakan kepentingan para aktor (pemerintah daerah, swasta, masyarakat). Dimana kepentingan pemerintah dalam kebijakan investasi perkebunan sawit dilokasi penelitian adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pertumbuhan Ekonomi (PE). Selanjutnya kepentingan swasta adalah selain mendapatkan keuntungan juga melakukan ekspansi areal konsesi perizinan perkebunan kelapa sawit. Sedangkan bagi masyarakat tempatan kepentingannya adalah mempertahankan lahan dan sumber kehidupan, serta menjaga kerusakan ekosistem lingkungan. Perbedaan kepentingan antar aktor terkait dengan kebijakan perizinan investasi perkebunan kelapa sawit dilokasi penelitian ini ditunjukkan dengan adanya hubungan yang konvergen dan divergen. Dimana, aktor yang paling konvergensi adalah Bidang Lingkungan Hidup, UPTD Kehutanan dan PTSP. Artinya, terdapat pola hubungan dan kepentingan yang sama terkait dengan kebijakan perizinan. Sedangkan aktor yang paling divergensi adalah masyarakat dan perusahaan. Yakni, terdapat adanya pola hubungan dan kepentingan yang tidak selaras terkait dengan kebijakan perizinan investasi perkebunan kelapa sawit di wilayah penelitian. Pada analisis pengaruh dan ketergantungan antar aktor ditemukan bahwa aktor yang memiliki pengaruh tinggi dengan ketergantungan rendah tidak ada. Namun, terdapat aktor dengan pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi. Aktor-aktor ini diwakili oleh unsur dari pemerintah daerah. Sedangkan perusahaan dan masyarakat berada pada posisi aktor dengan pengaruh rendah dan ketergantungan sangat tinggi. Keyword:Konflik, Kepentingan Aktor, Tumpang Tindih
Judul: Desa dan Masyarakat Adat Dalam Arus Transformasi Agraria dan Ekspansi Sawit Abstrak:Permintaan pasar global atas produk ekonomi berbahan dasar sawit, telah memantik minat pemerintah Indonesia mengembangkan industri perkebunan sawit. Kini, Indonesia telah menjadi negara produsen dan pengekspor sawit terbesar dunia. Masuknya industrialisasi perkebunan sawit ke desa telah mengintegrasikan sistem ekonomi tradisional desa dan masyarakat adat ke dalam sistem ekonomi modern. Ikatan sosial produksi ekonomi ini belum menjamin sepenuhnya stabilitas ekonomi, kesejahteraan sosial dan lingkungan desa. Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat adalah salah satu kabupaten yang memilih jalan industrialisasi perkebunan sawit sebagai media membangun kesejehtaraan daerah. Dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus konflik antara masyarakat adat (Dayak) dengan perusahaan perkebunan sawit swasta berskala besar di empat desa (Perembang, Begori, Bedaha dan Tanjung Raya) dan meminjam pisau analisis, teori konflik dialektika Ralf Dahrendorf, disertasi ini membongkar relasi kuasa, yaitu i) relasi kuasa perusahaan vs petani dengan menitikberatkan pada platform kemitraan, ii) relasi kuasa pemerintah pusat dengan pemerintah desa dalam hal kebijakan pengadaan lahan untuk perusahaan perkebunan sawit dan iii) relasi kuasa antara pemerintah dengan masyarakat adat dalam hal okupasi lahan adat untuk perusahaan. Hasilnya, pertama, skema kemitraan yang dikembangkan oleh pemerintah dan dijalankan oleh perusahaan melahirkan benefit sharing yang tidak adil dan merugikan petani. Kerugian petani ini bersumber pada relasi kemitraan yang eksploitatif, penuh ketidakpercayaan, asimetrik dan dipaksakan. Kedua, proses-proses pengadaan lahan untuk pembangunan perkebunan sawit dilakukan melalui kebijakan teritorialisasi yang menafikan kedaulatan dan hak ulayat masyarakat Dayak. Akibatnya, masyarakat Dayak kehilangan lahan, karena status penguasaan lahan telah beralih ke tangan korporasi. Ketiga, desentralisasi politik dan pemerintahan yang berkelindan dengan laju ekspansi perkebunan sawit berskala besar telah membuka jalan kesejahteraan dan mobilitas vertikal masyarakat Dayak, hingga dapat mendominasi panggung politik kebijakan daerah. Sayangnya, dominasi elit Dayak dalam landscape politik kebijakan lokal belum mampu melahirkan kebijakan publik yang melindungi kedaulatan masyarakat Dayak dari struktur ekonomi yang meminggirkan. Keyword:desa, ekspansi perkebunan sawit, masyarakat adat, relasi kuasa, Oil palm plantations axpansion, indigenous peoples, power relations and village
Judul: Design and construction of mini flume tank for fish swimming behaviour experiment Abstrak:This research is carried out to design and construct mini flume tank that is reliable and ideal used for fish swimming behavior experiment through a series testing the flume tank for its technical performance. The mini flume tank has a maximum water velocity 85 cm/s (1.7 knots), with dimensions of 250 x 135 x 55 cm, and water capacity 155 litres. Based on the operation test, field observation on the tanks was clearly visible due to minimal air bubbles in the water flow. The observations for fish swimming behaviour experiment could be conducted from the two view fields (top and side) that allow observation of swimming endurance and fish tail flick easily. The water velocity visually was in laminar category at each level of the tested flow speeds. The rpm of motor was relatively stable for more than 200 minutes. The motor temperature was below 60 oC at frequency of 10 to 40 Hz. At frequency of 50 Hz the temperature reached 60 °C in 25 minutes and stable at 73oC after an hour. Water temperature changes during the test for more than 200 minutes at different speeds which have differences of 0.2 to 1.8 oC. The test result showed that the mini flume tank performance was reliable and ideal used for fish swimming behavior experiment. Keyword:
Judul: Peningkatan Performa Glass Eel Anguilla bicolor bicolor dalam Sistem Produksi Budidaya melalui Manajemen Aklimatisasi, Transportasi dan Pascatransportasi. Abstrak:Teknologi budidaya ikan sidat secara global masih bergantung pada ketersediaan benih hasil tangkapan alam, karena teknologi reproduksi hingga saat ini belum dapat menghasilkan kualitas dan kuantitas yang maksimal. Hal ini berdampak pada peningkatan eksploitasi benih ikan sidat yang berpotensi terhadap penurunan populasi benih ikan sidat secara drastis di berbagai daerah penangkapan. Stadia glass eel A. bicolor bicolor merupakan fase paling kritis terkait berbagai stressor selama proses penangkapan, penanganan, transportasi hingga periode pendederan. Tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang masih rendah pada stadia glass eel merupakan permasalahan utama yang masih perlu diatasi untuk meningkatkan performa produksi budidaya ikan sidat. Metode penanganan glass eel mulai dari pascapenangkapan, distribusi hingga pendederan melibatkan berbagai pihak dengan klasifikasi pelaku sektor perikanan yang beragam. Metode penanganan glass eel pascapenangkapan yang diterapkan selama ini masih bervariasi sehingga kualitas glass eel yang dihasilkan juga beragam. Oleh sebab itu perlu dirumuskan sistem penanganan, distribusi dan pendederan glass eel melalui manajemen sistem produksi budidaya yang terintegrasi pada bagian hulu. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait kualitas glass eel pascapenangkapan, yang terdiri dari 3 tahap yaitu 1) optimasi kondisi fisiologis glass eel pascapenangkapan melalui aklimatisasi salinitas dan suhu media, 2) optimasi performa glass eel dengan berbagai densitas saat transportasi, dan 3) peningkatan performa produksi budidaya glass eel dengan pemberian Artemia sp. yang diperkaya dengan asam lemak esensial selama awal masa pendederan. Penelitian tahap pertama bertujuan mengoptimalkan kondisi fisiologis glass eel A. bicolor bicolor pascapenangkapan melalui aklimatisasi salinitas dan suhu media sebelum ditransportasikan. Disain penelitian berupa rancangan acak lengkap dengan dua tahap penelitian yaitu 1) aklimasi glass eel di media bersalinitas 0, 3, 6, 9, 12, dan 15 g L-1, dan 2) aklimasi glass eel di suhu media 16, 18, 20, 22, 24 dan 26 °C. Aklimatisasi salinitas dan suhu media dilakukan secara gradual dan kontinu selama 24 jam. Hewan uji yang digunakan berupa glass eel hasil tangkapan nelayan dari Sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu dengan panjang 52.65±0.35 mm dan bobot 0.11±0.02 g. Hasil penelitian menunjukkan teknik aklimatisasi secara bertahap selama 24 jam di media bersalinitas 6 g L-1 dengan suhu 20 °C menghasilkan kondisi fisiologis glass eel terbaik dengan tetap menunjang tingkat kelangsungan hidup yang maksimal (P>0.05), memperkecil gradien osmotik, kadar glukosa, dan tingkat konsumsi oksigen secara signifikan (P<0.05). Status fisiologis tersebut menyebabkan kondisi glass eel yang lebih prima untuk proses transportasi. Peningkatan salinitas media aklimasi juga meningkatkan kandungan natrium, klorida dan kadar air tubuh glass eel di akhir masa aklimasi (P<0.05). Nilai fisika kimia media aklimatisasi masih dalam kisaran yang menunjang kelangsungan hidup glass eel selama masa aklimatisasi 24 jam. Penelitian tahap kedua bertujuan mengevaluasi metode transportasi glass eel sistem tertutup dengan berbagai densitas terhadap kondisi fisiologis glass eel hingga masa pemulihan. Disain penelitian berupa rancangan acak lengkap, dengan perlakuan berupa transportasi sistem tertutup glass eel selama 24 jam pada berbagai densitas di kemasan uji yaitu 71, 77, 83, dan 91 g L-1. Rasio bagian air dan oksigen di kantong plastik sebesar 1:3. Pascatransportasi glass eel ditempatkan di media recovery selama 3 hari. Glass eel yang digunakan dengan spesifikasi panjang ratarata 52.70±0.82 mm dan bobot 0.10±0.02 g, yang telah diaklimatisasi dengan metode terbaik berdasarkan penelitian tahap 1. Hasil pengujian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang dihasilkan dalam kisaran yang tinggi hingga masa pemulihan (P<0.05), namun menyebabkan kondisi fisiologis yang signifikan berbeda sehingga dapat mempengaruhi performa produksi di tahap budidaya. Densitas glass eel sebesar 77 g L-1 secara umum sudah dapat menekan tingkat stres dan mengefisienkan energi metabolisme, sehingga dapat menunjang fungsi fisiologis untuk mempertahankan kondisi homeostatis selama proses transportasi, pascatransportasi dan pemulihan 3 hari. Tidak terjadi penurunan nilai fisika kimia air secara drastis di kemasan transportasi sehingga dapat menekan tingkat mortalitas. Penelitian tahap ketiga bertujuan mengevaluasi performa produksi pendederan glass eel melalui metode pemberian pakan alami Artemia sp. yang diperkaya dengan asam lemak esensial selama 10 hari awal masa pendederan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan berupa pendederan glass eel melalui pemberian pakan Artemia sp. yang diperkaya dengan berbagai dosis asam lemak esensial (A1 DHA Selco), yaitu 0.00, 0.25, 0.50, 0.75, dan 1.00 mL L-1 media pengaya selama 6 jam. Glass eel pascapenangkapan (panjang rata-rata 51.60±0.58 mm dan bobot rata-rata 0.13±0.01 g) selanjutnya diaklimatisasi dan ditransportasikan berdasar hasil terbaik penelitian tahap pertama dan kedua. Glass eel pascatransportasi ditempatkan di media pendederan bersalinitas 6 g L-1 dengan padat tebar 2 g L-1. Sistem pendederan dilanjutkan hingga 60 hari dengan rezim pakan berupa cacing sutera (Tubifex sp.) pada H11-H20, cacing darah beku (Chironomus sp.) pada H21-H30, dan pelet komersial dalam bentuk pasta pada H31-H60. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pakan Artemia sp. yang diperkaya asam lemak esensial dengan dosis 0.75 mL L-1 selama 10 hari memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan performa produksi budidaya glass eel hingga akhir masa pendederan. Simpulan dari penelitian ini adalah glass eel A. bicolor bicolor pascapenangkapan yang telah diaklimatisasi di media bersalinitas 6 g L-1 dan suhu 20 °C secara gradual dan kontinu selama 24 jam, kemudian ditransportasikan dengan densitas glass eel 77 g L-1 selama 24 jam dan diberi pakan Artemia sp. yang diperkaya asam lemak esensial dengan dosis 0.75 mL L-1 selama 10 hari menunjukkan performa produksi budidaya terbaik selama masa pendederan 60 hari. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan glass eel yang lebih tinggi selama masa pendederan berkorelasi dengan kualitas awal glass eel yang lebih prima, mulai dari penanganan pascapenangkapan, transportasi dan pascatransportasi. Keyword:aklimatisasi, glass eel, pendederan, produksi, transportasi
Judul: Pengelolaan Berkelanjutan Glass eel Ikan Sidat (Anguilla spp.) di Muara Sungai Cimandiri Palabuhanratu Jawa Barat Abstrak:Glass eel ikan sidat (Anguilla spp.) merupakan sumberdaya perikanan yang bernilai ekonomis dan dimanfaatkan sebagai sumber benih untuk kegiatan budidaya pembesaran sidat. Muara Sungai Cimandiri merupakan salah satu sentra penangkapan glass eel di Selatan Pulau Jawa. Kegiatan penangkapan glass eel telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan berkelanjutan sumberdaya glass eel di muara Sungai Cimandiri. Penelitian yang dilakukan mencakup penelitian aspek bioekologi, penelitian potensi stok dan potensi lestari, bioekonomi, membangun model dinamik pengelolaan sumberdaya glass eel. dan menilai keberlanjutan penangkapan glass eel Penelitian dilakukan pada Desember 2017-November 2018. Pengumpulan data glass eel dilakukan dengan melakukan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap sirib. Penangkapan dilakukan pada malam hari pada pukul 19.00-22.00. Hasil tangkapan glass eel dihitung dan diukur panjang dan beratnya. Sebagian hasil tangkapan glass eel diawet dengan alkohol 95% untuk keperluan pengukuran morfometrik dan identifikasi. Pengukuran kualitas air dilakukan untuk mendapatkan data ekologi perairan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika (suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, TSS, TDS dan konduktivitas), parameter kimia (N-NH4, TOM, TN dan TP), dan parameter biologi (klorofil-a). Data produksi penangkapan glass eel dikumpulkan dari data hasil tangkapan nelayan mulai tahun 2014-2018. Hasil penelitian aspek biologi menunjukkan glass eel di muara Sungai Cimandiri terdiri atas 3 jenis yaitu Anguilla bicolor bicolor, Anguilla marmorata dan Anguilla nebulosa nebulosa, dengan dominasi jenis A. bicolor bicolor. Sifat pertumbuhan glass eel adalah alometrik negatif dengan nilai faktor kondisi yang menunjukkan kondisi perairan masih mendukung untuk kehidupan glass eel. Kondisi kesuburan perairan muara Sungai Cimandiri tergolong pada tingkat kesuburan yang rendah-sedang (oligotrofik-mesotrofik) dengan kondisi ini kualitas perairan tergolong baik-sangat baik. Faktor kualitas perairan yang berkorelasi postif terhadap glass eel adalah TOM, debit sungai, pasang air laut, kecepatan arus, TSS dan curah hujan. Kualitas air yang berkorelasi negatif adalah suhu, konduktivitas, salinitas, TDS dan kecerahan. Struktur populasi glass eel yang masuk ke muara sungai Cimandiri setiap bulannya terdiri dari satu kelompok ukuran dan didominasi pada ukuran panjang total rata-rata 52.4 mm. Pola rekrutmen glass eel memiliki 2 modus dalam satu tahun, yaitu pada Bulan April (17.10%) dan Agustus (13.17%). Kelimpahan glass eel tertinggi secara aktual terjadi pada bulan Januari, April-Mei dan November. Laju mortalitas glass eel di muara Sungai Cimandiri lebih besar dipengaruhi oleh mortalitas penangkapan dibandingkan dengan mortalitas alaminya. Hasil penelitian sidat di rawa pesisir muara Sungai Cimandiri terdiri atas dua jenis yaitu A. bicolor bicolor dan A. marmorata, dan didominasi oleh A. bicolor bicolor. Populasi sidat yang terdapat di rawa pesisir memiliki hubungan dengan glass eel yang masuk ke perairan muara Sungai Cimandiri. Preferensi keberadaan sidat di rawa pesisir dicirikan oleh parameter kedalaman, kecerahan, salinitas, dan kecepatan arus, dan terdapatnya tumbuhan air. Rawa pesisir memiliki peran yang signifikan terhadap sidat karena menjadi habitat bagi sidat-sidat muda. Luas genangan rawa pesisir sejak periode 2005-2018 telah mengalami penurunan yang signifikan (51%) sehingga diperlukan upaya untuk menjaga keberadaan rawa pesisir sebagai habitat sidat dan biota air lainnya. Upaya tersebut dapat berupa penetapan sebagai wilayah suaka perikanan. Potensi stok glass eel diperkirakan mencapai 4.6 ton. Hasil tangkapan lestari (MSY) diduga sebesar 868 kg.tahun-1 dengan upaya tangkap lestari sebesar 919 trip.tahun-1. Hasil tangkapan ekonomik (MEY) diduga sebesar 830 kg.tahun-1 dengan upaya tangkap ekonomik sebesar 725 trip.tahun-1. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan perhitungan JTB adalah sebesar 695 kg.tahun-1. Keuntungan pada kondisi bioekonomi mencapai Rp1.199 milyar.tahun-1. Hasil analisis model dinamik memperlihatkan skenario optimis dengan melakukan pengelolaan upaya tangkap ekonomik (EMEY), dapat meningkatkan kelolosan glass eel sebesar 30% sehingga dapat meningkatkan populasi sidat dewasa di Sungai Cimandiri. Adanya upaya pengelolaan melalui restocking turut berkontribusi dalam peningkatan populasi sidat dewasa. Skenario optimis tersebut merupakan skenario pengelolaan yang terbaik yang diharapkan dapat menjaga keberlanjutan sumberdaya glass eel dan sumberdaya sidat secara keseluruhan di Sungai Cimandiri. Keberlanjutan kegiatan penangkapan glass eel di muara Sungai Cimandiri dinilai dari lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Status keberlanjutan yang dihasilkan adalah cukup berlanjut. Dimensi teknologi berada pada kondisi sangat berlanjut, dimensi ekologi, sosial dan kelembagaan cukup berlanjut dan dimensi ekonomi kurang berlanjut. Rumusan kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan penangkapan glass eel meliputi: 1) menjaga lingkungan perairan muara dan rawa pesisir; 2) menetapkan wilayah suaka perikanan; 3) mengatur penangkapan glass eel; 4) meningkatkan kesejahteraan nelayan glass eel. Keyword:Anguilla bicolor bicolor, dinamika populasi, migrasi, rawa pesisir, rekrutmen
Judul: Jejaring Sosial Dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku) Abstrak:Konflik Maluku adalah konflik yang diawali oleh pertikaian antara dua individu berbeda etnis di Kota Ambon. Pertikaian tersebut kemudian melebar menjadi konflik antar pendatang dan penduduk asli. Akhirnya konflik bergeser menjadi konflik bernuansa agama, yaitu antara mereka yang beragama Islam (Salam) dengan Protestan dan Katolik (Sarani). Konflik yang terjadi menyebar sampai ke wilayah lain di luar Pulau Ambon meliputi Pulau-pulau Seram, Buru, Saparua, Haruku bahkan kemudian sampai ke seluruh wilayah Maluku termasuk Maluku Utara. Kejadian konflik berfluktuatif selama hampir enam tahun, sejak tahun 1999 sampai pertengahan tahun 2004. Hasil-hasil penelitian terdahulu menjelaskan penyebab konflik Maluku adalah persaingan penduduk asli dengan pendatang, pertarungan elit lokal Salam dan Sarani dalam memperebutkan posisi di bidang pemerintahan, serta penetrasi Undang-Undang Pemerintahan Desa yang meminggirkan budaya lokal yang hidup dalam masyarakat. Namun hasil-hasil penelitian tersebut, belum menjelaskan penyebab konflik di pedesaan Maluku. Keyword:Saparua conflict, Ambon conflict, local costumery elites
Judul: Dinamika Organisasi Koperasi Kajian tentang Pengaruh Faktor-faktor Dinamika Organisasi terhadap Keberhasilan Koperasi : Koperasi Unit Desa (KUD) dan Credit (CU) di Kabupaten Karo, Sumatera Utara Abstrak:Koperasi di Idonesia telah mendapat sokongan dari pemerintah dan dalam penerapan Undang-undang Republik Indonesia No.12 tahun 1967 (UU R1 No.1211967) sokongan dari pemerintah telah menjadi "campur tangan" yang dibuktikan dengan banyaknya Instruksi Presiden (Inpres) mengenai Koperasi. Dalam periode "Campur tangan pemerintah" pengalaman empiris selaku Pembina Koperasi Kabupaten Karo, menunjukkan gejala bahwa tahun 1987-1990 laju perkembangan Koperasi Unit Desa (KUD) ketinggalan dibandingkan laju perkembangan Credit Union (CU) dan ternyata gejala tersebut berlaku juga secara nasional berdasarkan Statistik Kaperasi Indonesia : 1973-1992. Timbul pertanyaan yang menggugah : Apa sebab perkembangan dari CU (yang tidak dibina oleh pemerintah) lebih laju perkembangannya dari KUD (yang dibina secara langsung oleh pemerintah)? Keyword:
Judul: Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha Koperasi Unit Desa di Jawa Barat : Suatu Kajian Cross-Section Abstrak:Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui keragaman dan perkembangan kelembagaan usaha KUD, (2) mengetahui perilaku usaha pada setiap tingkat perkembangan kelembagaab KUD, dengan menganalisis keterkaitan hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja usaha; (3) mengetahui arah perkembangan serta implikasi strategi pengembangan kelembagaan dan usaha KUD. Digunakan tiga pemikiran teoritik dalam studi ini. pertama, teori ekonomi koperasi; kedua, teori tentang perkembangan kelembagaan koperasi yang diajukan oleh Cook (1995); ketiga, kerangka pemikiran ekonomi kelembagaan. Penelitian dilakukan dengan tahapan analisa sebagai berikut. pertama, dilakukan pengelompokkan 314 KUD dari 9 kabupaten di Jawa barat dengan menggunakan analisa kelompok (cluster analysis) dengan faktor pembeda kelompok tingkat produktivitas (anggota, aset, modal dan usaha) dan besarnya nilai SHU yang diterima per anggota. Kedua, setiap kelompok diidentifikasi kondisi, struktur, perilaku dan kinerja usahanya secara statistik-deskriptif. Ketiga, dikembangkan pendugaan model persamaan untuk melihat hubungan struktur, perilaku dan kinerja setiap kelompok. Hasil yang diperoleh sebagai berikut. Kondisi kelembagaan KUD di Jawa barat menunjukkan adanya keragaman perkembangan yang dapat diidentifikasi sebagai enam kelompok koperasi yaitu: (1) Kelompok KUD Pra Perusahaan, 19.4 persen; (2) KUD Transisi, 27.1 persen; (3) KUD Perusahaan, 14.9 persen; (4) KUD Koalisi, 12.5 persen; (5) KUD Program, 15.6 persen dan (6) Kelompok KUD yang menurun, 12.7 persen. Perilaku usaha masing-masing kelompok berbeda satu dengan lainnya yang memberikan pengaruh yang berbeda pula pada kinerja usaha. Kegiatan pelayanan, baik pelayanan produksi dan konsumsi merupakan kegiatan yang banyak dilakukan. Dapat disimpulkan bahwa tingkat perkembangan koperasi sangat ditentukan oleh orienstasi usaha, pengembangan usaha utama yang berbasis agribisnis pada sub-sitem produksi dan pemasaran. Keyword:The Village Unit Cooperative (KUD); Cross-section;
Judul: First Domestication Efforts of Nomorhampus sp. Endemic to Lake Lindu, Sulawesi Abstrak:Sulawesi merupakan pusat biodiversitas spesies akuatik endemik dari genus Nomorhamphus (Zenarcophteridae) atau halfbeak, diantaranya berada di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Spesies Nomorhamphus di kawasan ini merupakan ikan yang baru ditemukan dan belum dideskripsikan setelah penemuan oleh tim Ekspedisi Riset Akuatika (ERA) pada 2017. Ikan ini memiliki warna yang indah dan bentuk tubuh yang unik serta bernilai history karena endemisitasnya sebagai komoditas ikan hias lokal yang keberadaannya mulai langka. Pelestarian spesies endemik dapat dilakukan melalui budidaya di luar habitatnya yang sekaligus dapat bermanfaat secara ekonomi, mengurangi ketergantungan penangkapan di alam, serta berguna untuk restocking. Oleh karena itu kajian upaya domestikasi Nomorhamphus sp. penting untuk diteliti sebagai dasar kegiatan budidaya ikan hias. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dasar untuk domestikasi ikan Nomorhamphus sebagai ikan hias dan pelestarian plasma nutfah. Penelitian dilakukan di Laboratorium Budidaya Perairan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan sistem resirkulasi. Wadah penelitian menggunakan akuarium berukuran 100 cm × 50 cm × 40 cm dengan volume 150 L sebagai wadah aklimatisasi ikan dari alam. Wadah plastik berukuran 35 cm × 25 cm × 15,5 cm dengan volume air 9 L sebagai wadah pemeliharaan ikan untuk uji adaptasi, tingkah laku pemijahan induk bunting dari alam, dan ontogeni larva-juvenil. Induk diberikan pakan alami yaitu Daphnia sp., Tubifex sp., jentik nyamuk, dan cacing darah. Larva diberikan pakan nauplii artemia. Penelitian pertama bertujuan menganalisis karakter genetik, biometrik, dan habitat Nomorhamphus sp. Lindu. Karakter genetik diamati menggunakan gen Cytochrome b (Cyt b). Karakter biometik yang dianalisis yaitu morfometrik dan meristik. Karakteristik habitat yang dimati adalah fisik dan kimia air di habitat alami. Nomorhamphus sp. dikoleksi dari Danau Lindu dibandingkan dengan Nomorhamphus versicolor yang berasal dari hulu sistem Sungai Palu dan N. celebensis dari Danau Poso, Sulawesi Tengah. Hasil analisis genetik Nomorhamphus sp. Lindu jantan dan betina memiliki panjang rata-rata urutan nukleotida 853bp. Halbeak Lindu dan N. versicolor memiliki jarak genetik yang dekat (0,4-0,6%). Karakter biometrik (meristik) yang diperoleh yaitu jumlah jari jari sirip anal berkisar 14-15, jari-jari sirip punggung: 11, jari-jari sirip dada: 13, dan jari-jari sirip perut: 6. Karakteristik habitat berada pada ketinggian >1.000 mdpl, kedalaman sungai maksimal 50 cm dengan air jernih mengalir perlahan, suhu 18,9-22,7°C, oksigen terlarut 7,5-7,6 mg L-1 , pH 7,73-8,50, serta substrat dasar berupa pasir dan kerikil dengan serasah daun. Penelitian kedua bertujuan untuk mengevaluasi aspek reproduksi Nomorhamphus sp. Lindu. Parameter pengamatan meliputi seksual dimorfisme, karakteristik organ reproduksi, status gonad, karakteristik spermatozoa, potensi jumlah larva, dan tingkah laku melahirkan larva. Ikan uji yang digunakan ii sebanyak 30 ekor jantan dan betina dengan ukuran 4-9 cm. Karakterisasi tingkat kebuntingan menggunakan ikan betina pada kisaran panjang total 4-8 cm. Nomorhamphus sp. Lindu jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan adanya organ andropodium pada individu jantan. Nomorhamphus sp. yang dapat digunakan sebagai induk jantan berukuran 4,3-5,7 cm dan betina berukuran 5,7- 8,5 cm. Sperma Nomorhamphus sp. Lindu memiliki karakteristik panjang total 41,89 µm dengan panjang kepala 2,94 µm, lebar kepala 2,00 µm, panjang leher 1,06 µm, dan panjang ekor 37,89 µm. Betina bunting memiliki indeks kebuntingan 0,40-0,42 pada kisaran panjang total 6,5-7,5 cm. Potensi satu ekor ikan betina berukuran panjang total 6,5-8,5 cm mampu melahirkan larva sebanyak 4-22 ekor sekali lahir. Betina mampu minimal dua kali melahirkan untuk satu kali kopulasi dengan antara kelahiran 4-53 hari. Satu ekor larva membutuhkan waktu 54 detik untuk dilahirkan, selang waktu lahir untuk tiap larva adalah selama 7 detik dengan posisi ekor lebih dulu. Pada tahap ketiga bertujuan untuk mengevaluasi performa adaptasi dan ontogeni awal hidup Nomorhamphus sp. Lindu. Parameter pengamatan meliputi performa adaptasi pascaangkut, perfoma adaptasi pada manipulasi media pemeliharaan, dan perkembagan ontogeni larva. Pemindahan ikan dari habitat ke tempat budidaya menggunakan sistem tertutup dengan tambahan oksigen murni. Jumlah total ikan dewasa yang digunakan adalah 60 ekor dengan ukuran panjang total 4-9 cm. Larva yang digunakan sebanyak 40 ekor hasil kelahiran dari induk betina alam bunting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengangkutan ikan efektif dilakukan dalam wadah sistem tertutup dengan kepadatan 6 ekor L-1 selama 12 jam dan pemeliharaan dalam wadah terkontrol pada suhu 22-28°C tanpa substrat dengan pakan alami hidup dan segar sebagai pakan awal. Larva Nomorhamphus sp. Lindu memiliki panjang total 1,6-18 cm dan dapat mulai berenang pada umur 20 menit pascalahir serta mampu makan naupli artemia. Warna larva saat lahir adalah krem cemerlang, pada bagian ujung rahang berwarna kuning dan bagian perut berwarna perak namun masih transparan. Stadia awal juvenil yaitu umur 25 hari pascalahir dengan ukuran panjang total 2,0- 2,2 cm. Pada umur 25 hari dengan karakter warna dan morfologinya sudah menyerupai ikan dewasa yaitu tubuh berwarna krem dan perak serta ciri kelamin sekunder berupa andropodium pada jantan dan dikromatisme berupa pola bergaris pada sirip kaudal berwarna jingga yang lebih cerah dibandingkan betina. Secara umum dapat disimpulkan bahwa upaya domestikasi Nomorhamphus sp. Lindu yaitu mengupayakan ikan hidup telah berhasil dilakukan di wadah budidaya. Validasi spesies menunjukkan bahwa halfbeak Lindu merupakan spesies N. versicolor. Kegiatan pemijahan ikan dapat menggunakan jantan berukuran 4,3-5,7 cm dan betina berukuran 5,7-8,5 cm. Pemeliharaan Nomorhamphus sp. Lindu di dalam wadah terkontrol bisa dilakukan menggunakan dan tanpa menggunakan substrat dasar pasir dengan suhu 22-28°C. Stadia juvenil Nomorhamphus sp. terjadi pada umur 25 hari pascalahir dengan ukuran panjang total 2,0-2,2 cm. Tahap domestikasi selanjutnya yaitu mengupayakan ikan Nomorhamphus sp. dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di wadah budidaya sehingga ikan dapat terdomestikasi secara sempurna., Sulawesi is the centre of biodiversity of endemic aquatic species of the Nomorhamphus (Zenarcophteridae) or halfbeak, some of which are in the Lore Lindu National Park area, Central Sulawesi. The Nomorhamphus species in this area is a new fish that has not been described after being discovered by the Ekspedisi Riset Akuatika (ERA) team in 2017. This fish has a beautiful colour and unique body shape and has historical value because of its endemicity as a local ornamental fish commodity whose existence is becoming scarce. Preservation of endemic species can be carried out through cultivation outside their habitat, which can also be economically beneficial, reduce dependency on fishing in nature, and be useful for restocking. Therefore, it is crucial to study the domestication efforts of Nomorhamphus sp. as a basis for ornamental fish farming activities. In general, this study aims to obtain primary data for the domestication of the Nomorhamphus fish as an ornamental fish and the preservation of germplasm. The research was conducted at the Aquaculture Laboratory, University of Sultan Ageng Tirtayasa, with a recirculation system. The research vessel used an aquarium measuring 100 cm × 50 cm × 40 cm with a volume of 150 L as a container for fish acclimatization from nature. A plastic container measuring 35 cm × 25 cm × 15.5 cm with a volume of 9 L of water is used for rearing fish for adaptation tests, spawning behaviour of pregnant female from nature, and larval-juvenile ontogeny. The adult fish were given natural food, namely Daphnia sp., Tubifex sp., mosquito larvae and blood worms. The larvae were fed Artemia nauplii. The first study aims to analyze the genetic, biometric, and habitat characteristics of Nomorhamphus sp. Lindu. Genetic characters were observed using the Cytochrome b (Cyt b) gene. The biometric characters analyzed were morphometric and meristic. Habitat characteristics measured are physical and chemical water in natural habitats. The Nomorhamphus sp. collected from Lake Lindu was compared with N. versicolor upstream of the Palu River system and N. celebensis from Lake Poso, Central Sulawesi. The results of genetic analysis of Nomorhamphus sp. Lindu Male and female have an average nucleotide sequence length of 853bp. Halbeak Lindu and N. versicolor have a close genetic distance (0.4- 0.6%). The biometric (meristic) characters obtained were the number of anal fin rays ranging from 14-15, dorsal fin rays: 11, pectoral fin rays: 13, and pelvic fin rays: 6. Habitat characteristics are at an altitude > 1,000 meters above sea level, maximum river depth of 50 cm with clear water flowing slowly, temperature 18.9-22.7°C, dissolved oxygen 7.5-7.6 mg L-1, pH 7.73-8.50, and substrate bottom is sand and gravel with leaf litter. The second study aims to evaluate the reproductive aspects of Nomorhamphus sp. Lindu. Parameters observed included sexual dimorphism, characteristics of reproductive organs, gonad status, characteristics of spermatozoa, the potential number of larvae, and behaviour of giving birth to larvae. The test fish were 30 males and females with a 4-9 cm total length. The characterization of the level of pregnancy using female fish in the range of 4-8 cm total length. The Nomorhamphus sp. male and female can be distinguished based on the presence of the andropodium organ in the male individual. The Nomorhamphus sp., which can be used as a male iv broodstock, is 4.3-5.7 cm, and the female is 5.7-8.5 cm. The sperm of Nomorhamphus sp. Lindu has a total length of 41.89 µm with a head length of 2.94 µm, a head width of 2.00 µm, a neck length of 1.06 µm, and a tail length of 37.89 µm. Pregnant females have a pregnancy index of 0.40-0.42 in the range of 6.5-7.5 cm in total length. The potential for one female fish with a total length of 6.5-8.5 cm can give birth to 4-22 larvae at a time. Females can give birth at least twice for one copulation, with births between 4-53 days. One larva takes 54 seconds to be born. The birth interval is 7 seconds for each larva with the tail position first. The third stage aims to evaluate the adaptation performance and early life ontogeny of Nomorhamphus sp. Lindu. Parameters observed included post-transport adaptation performance, adaptation performance in rearing media manipulation, and larval ontogeny development. Transfer of fish from habitat to the laboratory of cultivation using a closed system with the addition of pure oxygen. The total number of adult fish used was 60 individuals with a total length of 4-9 cm. The larvae used were 40 tails born from natural pregnant females. The results showed that the effective fish transport was carried out in closed system containers at a density of 6 fish L-1 for 12 hours and maintained in controlled containers at a temperature of 22- 28°C without substrate with fresh and live natural food as initial feed. Nomorhamphus sp. Lindu larvae have a total length of 1.6-18 cm and can start swimming 20 minutes after birth and can eat Artemia nauplii. The colour of the larvae at birth is a brilliant cream, the tips of the jaws are yellow, and the abdomen is silver but still transparent. The initial juvenile stage is 25 days after birth, with a total length of 2.0-2.2 cm. At 25 days, the colour and morphological characters already resemble adult fish. Namely, the body is cream and silver in colour, and the secondary sex characteristics are andropodium in males and dichromatism in the form of a striped pattern on the caudal fin, which is brighter orange than in females. In general, the domestication efforts of Nomorhamphus sp. Lindu, namely cultivating live fish, have been successfully carried out in aquaculture containers. Species validation showed that the Lindu halfbeak was like the N. versicolor species. Broodstock can use males measuring 4.3-5.7 cm and females measuring 5.7-8.5 cm. Nomorhamphus sp. Lindu rearing in controlled containers can be carried out using and without a sand-based substrate with a temperature of 22-28°C. Juvenile stage Nomorhamphus sp. occurs 25 days after birth with a total length of 2.0-2.2 cm. The next stage of domestication is trying for the Nomorhamphus sp. fish to grow and develop properly in the cultivation container so that the fish can be perfectly domesticated. Keyword:Cytochorome-b, domestication, morphomeristic, Nomorhamphus, pregnancy
Judul: Reproductive ecobiology of Telmatherina Antoniae (Kottelat, 1991) as the base of the endemic fish conservation In Lake Matano, South Sulawesi Abstrak:Penelitian kajian ekobiologi ikan opudi Telmatherina antoniae sebagai dasar pengelolaan ikan endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengkaji karakter habitat, pola distribusi, pertumbuhan dan reproduksi ikan endemik T. antoniae di daerah litoral Danau Matano untuk dijadikan dasar dalam pengelolaan ikan endemik di Danau Matano. Penelitian dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan setiap bulan selama 12 bulan yaitu mulai bulan September 2010 sampai dengan Agustus 2011. Sampling dilakukan pada sembilan stasiun penelitian. Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda survei post facto. Stasiun penelitian ditetapkan berdasarkan pertimbangan: (1) merupakan habitat dari ikan T. antoniae, (2) kondisi stasiun penelitian memungkinkan untuk operasional pelaksanaan sampling, dan (3) stasiun penelitian dapat mewakili keragaman habitat dari ikan T. antoniae. Berdasarkan pertimbangan ini ditetapkan sembilan stasiun penelitian yang dibagi dalam tiga zona yang secara spasial mewakili tiga bagian danau utama yaitu: (1) Zona yang mewakili wilayah danau bagian hulu, (2) zona yang mewakili wilayah danau bagian tengah, dan (3) zona yang mewakili wilayah danau bagian hilir. Keyword:
Judul: Ekobiologi sebagai dasar pengelolaan ikan endemik opudi (Telmatherina prognatha Kottelat, 1991) di Danau Matano, Sulawesi Selatan Abstrak:Ikan Telmatherina di D. Matano dikenal oleh masyarakat dengan sebutan ikan opudi. Terdapat sembilan jenis ikan dari famili Telmatherinidae yang penyebarannya cukup luas namun jumlahnya sedikit. Ikan opudi (Telmatherina prognatha) tergolong dalam spesies yang rawan punah (vulnerable spesies) yang keberadaanya rentan dan patut untuk dijaga kelestariannya. Oleh karena itu diperlukan langkah nyata untuk melestarikan biota tersebut. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menentukan karakteristik habitat ikan opudi, memvalidasi jenis ikan opudi (T. prognatha), mengidentifikasi makanan ikan opudi (T. prognatha), dan menganalisis pertumbuhan dan reproduksi ikan opudi (T. prognatha) di Danau Matano. Penelitian dilakukan di Danau Matano, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan sekali setiap bulan selama satu tahun yaitu mulai bulan Maret 2018 sampai dengan Februari 2019. Fluktuasi parameter fisik kimia perairan tidak begitu besar selama periode penelitian. Kondisi perairan di setiap stasiun penelitian tidak berbeda secara signifikan. Pada umumnya kondisi fisik perairan ini masih dalam kondisi yang baik dan mendukung kehidupan ikan di Danau Matano. Karakteristik habitat di stasiun 1 ditandai dengan tingginya nilai kekeruhan perairan. Karakter yang sama pada stasiun 2, 3, 4 dan 6 dengan penciri DO, suhu, dan pH yang berkorelasi positif dan kuat. Pada stasiun 5 yang merupakan outlet dari Danau Matano dicirikan dengan tingginya nilai TDS. Hasil analisis 21 karakter morfometrik ikan T. prognatha jantan dan betina menunjukkan bahwa populasi ikan T. prognatha di D. Matano merupakan satu kelompok populasi dengan karakter yang paling berpengaruh pada ikan jantan diantaranya adalah PT, PB, PDSP2, PSP2, PDSA, PSA, PSD, PS, TK, DM dan untuk ikan betina adalah PT, PB, PBE, PDSP 1, PSP 1, PDSP 1, PDSP 2, PSP 2, PSD, PS, TK, PK, DM PMSD. Persentase kemiripan masing-masing pada ikan jantan dan betina yaitu ³97.56% dan ³85.33%. Ikan opudi dari tiga lokasi penelitian di Danau Matano berdasarkan marka gen CO1 memiliki hubungan kekerabatan yang sangat tinggi dengan jarak genetik 0.003-0.005 sehingga tiga lokasi tersebut merupakan satu unit populasi. Jenis makanan alami ikan opudi (T. prognatha) di Danau Matano terdiri atas potongan insekta, serasah dan plankton (Nitzschia, Navicula dan Eunotia). Ikan opudi (T. prognatha) aktif makan pada dua stasiun yaitu stasiun P. Salonsa dan Utuno. Pada ikan jantan persentase makanan tertinggi yaitu potongan insekta sebesar 58% diikuti oleh serasah sebesar 13% dan plankton jenis Nitzschia sebesar dan Eunotia sebesar 11% sedangkan pada ikan betina persentase tertinggi yaitu, potongan insekta sebesar 33%, Navicula dan serasah sebesar 17% serta Nitzschia sebesar 13%. Ikan opudi (T. prognatha) merupakan jenis ikan omnivora cenderung insektivora. ii Model hubungan panjang bobot ikan opudi (T. prognatha) untuk jantan dan betina masing-masing W= 0.000020L2.7844 dan W=0.000078L2.4455 dengan pola pertumbuhan alometrik negatif dengan rata-rata faktor kondisi relatif masingmasing 1.0069±0.12 dan 1.0074±0.13. Sedangkan bentuk persamaan pertumbuhan untuk ikan jantan Lt=76.50[1-e-0.46(t+0.47)] dan ikan betina Lt=74.05[1-e-0.51(t+0.52)]. Penelitian ini menunjukkan bahwa nisbah kelamin ikan opudi (T. prognatha) tidak seimbang yaitu 1.4:1. Ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan jantan dan betina masing-masing 57.31 mm dan 45.16 mm, dengan jumlah telur berkisar 77-299 butir dan memijah secara bertahap. Puncak pemijahan terjadi pada bulan Februari-April dengan daerah pemijahan yaitu di sekitar area P. Salonsa dan Utuno. Keyword:karakteristik habitat, morfometrik, makanan, pertumbuhan, reproduksi
Judul: Process engineering of mono-diglyceride production from palm fatty acid distillate and its application as an emulsifier in the manufacture of margarine made from red palm oil Abstrak:Kebutuhan dunia industri terhadap produk emulsifier pada tahun 2017 cukup tinggi yaitu sebesar 2,7 juta ton, dimana 70% emulsifier yang digunakan, terlebih pada industri pangan adalah mono-digliserida (MDG). MDG merupakan ester dari alkohol trihidroksi (gliserol) dengan satu atau dua gugus hidroksil diesterifikasi dengan asam lemak rantai panjang. MDG merupakan surfaktan non-ionik, memiliki gugus hidrofobik asil panjang dan gugus hidrofilik. MDG berstatus Generally Recognized as Safe (GRAS) dan termasuk kedalam jenis pengemulsi pada bahan tambahan pangan (BTP). MDG dapat diproduksi dari palm fatty acid distillate (PFAD) dan gliserol melalui reaksi esterifikasi yang bersifat reversible. Berbagai upaya untuk memperoleh MDG dengan kemurnian dan rendemen tinggi perlu dilakukan, seperti mempelajari kondisi reaksi, pengaruh waktu reaksi, dan proses pemurnian produk hasil esterifikasi. Selain itu, peningkatan skala produksi perlu dilakukan melalui penggunaan reaktor kontiniu, serta aplikasi MDG pada produk hilir berbasis pangan perlu untuk dikaji lebih lanjut. Aplikasi MDG dari PFAD pada produk hilir yang sangat berpotensi untuk dikembangkan adalah margarin. Margarin adalah produk pangan berbentuk plastis yang merupakan emulsi air dalam minyak (water in oil (w/o)) dengan penambahan emulsifier. Selain itu, warna kuning margarin dapat diperoleh dari kandungan karoten pada minyak sawit merah (MSM). MSM mengandung karoten (pro-vitamin A), tokoferol dan tokotrienol (vitamin E) tinggi. Sehingga, dalam pembuatan margarin berbahan MSM dapat meminimalisasi biaya produksi karena tidak memerlukan penambahan pewarna (dari karoten) dan vitamin E (dari tokoferol dan tokotrienol). Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk melakukan review terhadap sintesis MDG dengan bahan baku PFAD, mereview tentang minyak sawit dan minyak sawit merah, serta melakukan rekayasa proses produksi MDG dari PFAD pada reaktor batch berpengaduk dan reaktor kontiniu static mixer serta sirkulasi campuran bahan baku pada design reaktor kontiniu dan aplikasi MDG sebagai emulsifier dalam pembuatan margarin berbahan minyak sawit merah, yang kemudian diaplikasikan pada pembuatan bolu kukus. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, sintesis MDG dari PFAD dan gliserol dilakukan menggunakan reaktor berpengaduk kapasitas 20 kg/batch pada rasio mol substrat 1:6 katalis para-toluena sulfonic acid (PTSA) sebanyak 1,5% dari berat PFAD, suhu 150 °C, kecepatan pengadukan 400 rpm, serta lama reaksi 15, 30, 45, 60, dan 75 menit. Produk esterifikasi pada lama reaksi terbaik dimurnikan menggunakan metode ekstraksi pelarut heksana dan etanol. Residu fraksi heksana (dari proses pemurnian heksana) di analisis komposisi MG, DG, TG, dan ALB, kemudian dimanfaatkan kembali melalui pemurnian sebagai upaya peningkatan rendemen, dan di esterifikasi menggunakan gliserol sisa esterifikasi PFAD untuk melihat kemampuannya digunakan secara langsung di dalam reaksi tanpa proses pemurnian terlebih dahulu, sebagai dasar untuk sintesis MDG secara kontiniu. Pada tahap kedua, sintesis MDG dilakukan menggunakan reaktor kontiniu static mixer pada kondisi lama reaksi terbaik pada proses batch dengan variasi residence time (60, 75, dan 120 menit), dan sintesis MDG menggunakan design pada reaktor kontiniu melalui sirkulasi campuran bahan baku pada lama reaksi (60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, dan 300 menit). Pada tahap ketiga, MDG dari PFAD digunakan sebagai emulsifier dalam pembuatan margarin berbahan minyak sawit dan minyak sawit merah (MSM), yang kemudian diaplikasikan pada pembuatan bolu kukus. Margarin diformulasi dengan mencampurkan lemak 81,8%, MDG 0,1-0,9% (sebagai kontrol digunakan lesitin 0,35%), antioksidan 0,01%, garam 2%, flavor 0,05%, dan air. Margarin dibuat dengan dua jenis campuran fraksi lemak yaitu formula 1 (refined bleached deodorized palm oil (RBDP Oil): MSM pada rasio berat 96,5:3,5) dan formula 2 (RBDP Stearin: MSM pada rasio berat 2,5:97,5). Margarin dengan formula terbaik diaplikasikan dalam pembuatan bolu kukus. Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan bahwa lama reaksi terbaik untuk menghasilkan produk MDG kasar dengan rendemen dan kadar tertinggi sebesar 95,45 dan 49,98% diperoleh pada 75 menit reaksi. Pemurnian produk MDG kasar menggunakan ekstraksi pelarut heksana dan etanol menghasilkan rendemen dengan kadar berturut-turut sebesar 20,16% terhadap PFAD dan 94,08%. Residu fraksi heksana (dari proses pemurnian) mengandung MG (15,69%), DG (29,24%), ALB (17,75%), dan TG (37,31%). Dengan demikian, peningkatan rendemen MDG melalui pemanfaatan residu fraksi heksana tersebut dapat dilakukan melalui pemurnian dan esterifikasi kembali menggunakan gliserol murni dan gliserol sisa dari esterifikasi PFAD. Pemurnian kembali residu dari fraksi heksana menghasilkan MDG dengan kemurnian 96,98% dan meningkatkan rendemen MDG sebesar 8,43% (dari 20,16% menjadi 28,59% terhadap PFAD). Sedangkan, esterifikasi kembali residu dari fraksi heksana menghasilkan MDG dengan kemurnian 90,85% (dari gliserol murni) dan 90,90% (dari gliserol sisa) mengalami peningkatan rendemen MDG masing-masing sebesar 2,71% dan 2,31% (dari 20,16% menjadi 22,87% dan 22,47% terhadap PFAD), yang tidak berbeda signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa gliserol sisa esterifikasi PFAD dapat digunakan langsung di dalam reaksi tanpa harus dimurnikan terlebih dahulu. MDG yang dihasilkan memiliki kadar air < 2%, kadar ALB < 6%, kadar gliserol bebas < 7%, pH 5, slip melting point (SMP) 48,75-56,25 °C, dan stabilitas emulsi > 80%. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa reaktor kontiniu static mixer belum dapat digunakan untuk mengkonversi PFAD menjadi MDG, yang ditunjukkan oleh rendahnya kadar MDG yang terbentuk (< 10%) dengan kadar ALB yang masih tinggi (> 80%) pada produk esterifikasi. Sementara itu, pada sintesis MDG menggunakan komponen pada reaktor kontiniu dengan sistem sirkulasi diperoleh MDG kasar dengan rendemen dan kadar berturut-turut pada range 46,34-51,75% dan 41,09-46,85%. Pemurnian MDG kasar menghasilkan rendemen dan kadar pada range 9,40-11,21% terhadap PFAD dan 95,07-97,73%. MDG hasil pemurnian memiliki kadar air < 2%, kadar ALB < 6%, kadar gliserol bebas < 7%, pH 5,25, SMP 56,63-61,75 °C, dan stabilitas emulsi > 85%. Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa sifat fisikokimia margarin formula 1 dan 2 menyerupai margarin komersial, namun warna margarin formula 2 lebih merah dibandingkan margarin formula 1 dan margarin komersial. Penambahan MDG 0,1-0,9% tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar ALB, kadar karoten, dan SMP fraksi lemak serta kadar air margarin, sedangkan kadar asam oleat menurun, kadar asam palmitat meningkat, dengan nilai solid fat content (SFC) tidak berbeda signifikan. Margarin dengan penambahan MDG 0,1-0,9% memiliki stabilitas yang baik dibandingkan tanpa MDG, dan stabilitasnya menyerupai margarin kontrol dan margarin komersial. Margarin formula 1 dan 2 disukai panelis dari segi warna dan tekstur, dan nilainya menyerupai margarin kontrol dan margarin komersial, dengan nilai kesukaan terbaik diperoleh pada penambahan MDG 0,5%. Aplikasi margarin formula 1 dan 2 dalam pembuatan bolu kukus disukai panelis dari segi warna, tekstur, aroma, dan rasa. Bolu kukus berbahan margarin formula 2 lebih disukai dibandingkan bolu kukus berbahan margarin komersial., The industrial world's demand for emulsifier products in 2017 was 2.7 million tons, of which 70% of the emulsifier used was mono-diglyceride (MDG). MDG is an ester of trihydroxy alcohol (glycerol) with one or two hydroxyl groups esterified with long-chain fatty acids. MDG is a non-ionic surfactant, has an extended hydrophobic acyl group and a hydrophilic group. MDG status as Generally Recognized as Safe (GRAS) and is included in the type of emulsifier in food additives. MDG can be produced from palm fatty acid distillate (PFAD) and glycerol through a reversible esterification reaction. Various efforts to obtain MDG with high purity and yield need to be carried out, such as studying the reaction conditions, the effect of reaction time, and the purification process of esterified products. In addition, it is necessary to increase the scale of production through continuous reactors, and the application of MDGs to food-based downstream products needs to be studied further. PFAD-based MDG applications in downstream products that have the potential to be developed are margarine. Margarine is a plastic food product that is a water in oil (w/o) emulsion with an emulsifier. In addition, the carotene content in red palm oil (RPO) can obtain the yellow colour of margarine. RPO is high in carotenoids (pro-vitamin A), tocopherols and tocotrienols (vitamin E). Thus, the manufacture of margarine made from RPO can minimize production costs because it does not require the addition of dyes (from carotene) and vitamin E (from tocopherols and tocotrienols). This study was conducted to review the synthesis of MDG with PFAD as raw materials, reviewing palm oil and red palm oil, as well as engineering the production process of MDG from PFAD in a stirred batch reactor, continuous reactor with static mixer and the utilization of components in the continuous reactor design and application of MDG as an emulsifier in the manufacture of margarine made from red palm oil, which is then applied to the manufacture of steamed cakes. Three stages conducted this research. In the first stage, the synthesis of MDG from PFAD and glycerol was carried out using a stirred reactor with a capacity of 20 kg/batch at a substrate mole ratio of 1:6 with a 1.5% para-toluene sulfonic acid (PTSA) catalyst by weight of PFAD, a temperature of 150 °C, a speed of 1.5% by weight of PFAD. Stirring at 400 rpm, and reaction time of 15, 30, 45, 60, and 75 minutes. In the best reaction time, the esterification product was purified using hexane and ethanol solvent extraction methods. The residue of the hexane fraction (from the hexane purification process) was analyzed for the composition of MG, DG, TG, and ALB, then reused through purification as an effort to increase yield, and esterified using glycerol remaining from PFAD esterification to see its ability to be used directly in the reaction without a process purification as the basis for continuous MDG synthesis. In the second stage, the synthesis of MDG was carried out using a continuous reactor with a static mixer at the best reaction time conditions in the batch process with the addition of variations in residence time (60, 75, and 120 minutes), and the synthesis of MDG using components in a continuous reactor design through a circulation system for a long time reactions (60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, and 300 minutes). In the third stage, MDG from PFAD is used as an emulsifier in the manufacture of margarine made from palm oil and red palm oil (RPO), which is then applied to the manufacture of steamed cakes. Margarine was formulated by mixing 81.8% fat, 0.1-0.9% MDG (as a control used lecithin 0.35%), 0.01% antioxidant, 2% salt, 0.05% flavor, and water. Margarine is made with two types of fat fraction mixture, namely formula 1 (refined, bleached deodorized palm oil (RBDP Oil): RPO at a weight ratio of 96.5:3.5) and formula 2 (RBDP Stearin: RPO at a weight ratio of 2.5:97,5). With the best formulation, margarine is applied in the manufacture of steamed sponges. The first stage results showed that 75 minutes reaction obtained the best reaction time to produce crude MDG product with the highest yield and concentration of 95.45 and 49.98%. Purification of crude MDG products using hexane and ethanol solvent extraction resulted in yields of 20.16% against PFAD and 94.08%, respectively. The hexane fraction residue (from the purification process) contains MG (15.69%), DG (29.24%), FFA (17.75%), and TG (37.31%). Thus, the increase in MDG yield through the utilization of the residual hexane fraction can be carried out through purification and re-esterification using pure glycerol and residual glycerol from PFAD esterification. Purification of residue from the hexane fraction produced MDG with a purity of 96.98% and increased the yield of MDG by 8.43% (from 20.16% to 28.59% against PFAD). Meanwhile, re-esterification of the residue from the hexane fraction resulted in MDG with a purity of 90.85% (from pure glycerol) and 90.90% (from residual glycerol), which increased the yield of MDG by 2.71% and 2.31%, respectively (from 20.16% to 22.87% and 22.47% to PFAD), which are not significantly different. Re-esterification of residue shows that the residual glycerol of PFAD esterification can be used directly in the reaction without being purified first. The resulting MDG has a water content < 2%, FFA content < 6%, free glycerol content < 7%, pH 5, slip melting point (SMP) 48.75-56.25 °C, and emulsion stability > 80%. The results of the second stage of the study showed that a continuous reactor with a static mixer could not be used to convert PFAD into MDG, which was indicated by the low levels of MDG formed (< 10%) with high FFA levels (> 80%) in the esterification product. Meanwhile, in the synthesis of MDG using components in a continuous reactor with a circulation system, crude MDG was obtained with yields and levels in the range of 46.34-51.75% and 41.09-46.85%, respectively. Purification of crude MDG produces yields and levels in the range of 9.40-11.21% for PFAD and 95.07-97.73%. The purified MDG had water content < 2%, FFA content < 6%, free glycerol content < 7%, pH 5.25, SMP 56.63-61.75°C, and emulsion stability > 85%. The third stage results showed that the physicochemical properties of margarine formulas 1 and 2 resembled commercial margarine. Still, margarine formula 2 was redder than margarine formula one and commercial margarine. The addition of 0.1-0.9% MDG had no significant effect on FFA levels, carotene levels, SMP fat fraction and water content of margarine. In contrast, oleic acid levels decreased, palmitic acid levels increased, with no different solid fat content (SFC) values significant. With the addition of 0.1-0.9% MDG, Margarine has good stability compared to without MDG, and its stability is similar to that of control margarine and commercial margarine. Margarine formulas 1 and 2 were favoured by panellists in terms of colour and texture. Their values resembled control margarine and commercial margarine, with the best preference value obtained at the addition of 0.5% MDG. The application of margarine formulas 1 and 2 in the steamed cake favoured panellists in terms of colour, texture, aroma, and taste. Steamed sponge cake made from margarine formula 2 is preferable to steamed cake made from commercial margarine. Keyword:emulsifier, esterification, margarine, mono-diglyceride, palm fatty acid distillate
Judul: Community based protection forest management program in kesatuan pemangkuan hutan perhutani bandung selatan : analysis of economic household behaviors Abstrak:The Island of Java is inhabited by more than 60 % of Indonesian population. Imbalanced redistribution of population and land control has caused pressure to the environment, particularly the natural resources. A breakthrough to overcome the degradation of environment resulted from the population desperate need for land is a Community Based Forest Management Program (CBFMP) which provides the community with opportunity to develop agroforestry activities in the forest. The objectives of this research consist of : (1) to analyze the factors that influence the economic decision by households in time allocation for work, production, income, and expenditure, (2) to make a simulation of the effect of changes in the external and internal factors on households’ economic behaviors, and (4) to analyze the institutional aspects related to partnership contract in CBFMP. The analysis consisted of two household economic models, namely, CBFMP for Coffee and CBFMP for Grass & Cattle. Alternative policies were simulated in econometric models in the form of simultaneous equations consisting of 13 structural equations and 15 identity equations for the model of Coffee CBFMP, and 14 structural equations and 20 identity equations for the model of Grass and Cattle CBFMP. The method of Two-stage Least Squares (2 SLS) was used to estimate the parameters of structural equations. The research analyzed 12 simulation scenarios consisting of 12 external factors change (policy factors) impact. In general, Scenario 9 (the combined scenarios of the decreased debt rate with the increased price of input and labor wages) and Scenario 5 (the combined scenarios of the increased price of output with the increased price of input and labor wages) can be recommended as the best policy to empower the community around the forest (CBFMP for Coffee and CBFMP for Grass & Cattle) for the reason that it can accommodate the interests of various parties, namely: (1) the interest of community by increasing income and welfare, (2) government’s interest by improving agricultural productivity and securing vital projects in the upstream downstream of watershed area, (3) the interest of Perum Perhutani by preserving its protection forest, and (4) the importance of environment by the reduction of natural resource degradation. In addition, from the results of institutional analysis, it is recommended that the institution of CBFMP require improvement at the micro level, i.e. building a more mutually beneficial partnership contract between farmers taking part in CBFMP and Perum Perhutani. Keyword:
Judul: A Modeling approach to Collaborative Forest Management Abstrak:A successful sustainable development strategy requires that forest management be carried out in a participatory way. This includes the involvement of local communities. The importance of communities’ participation has been written into Indonesian Law No. 41 on Forestry (1999). However, how this law can be implemented in areas already allocated to a concession holder is still unclear. The state-owned company, Inhutani II Sub Unit Malinau, has managed a forest area in Malinau District, East Kalimantan for over 10 years. Forestdependent communities located in the managed area were Long Seturan, Long Loreh and Langap villages. The company managed the area based on plans approved by the local and central] governments. They established permanent sample plots for measuring the stand growth and yield data in their area, and were asked to improve the well-being of local communities. However, the schemes did not give the company sufficient space to manage the area creatively, or provide a systematic way to involve the communities in the management of the forest. This research was aimed at seeking scenarios of sustainable forest management (SFM) that addressed the above limitations. To reach this aim, two research hypotheses were proposed: 1. Local forest stakeholders can define their own SFM Criteria and Indicators (C&I) for specific sites where they live, or that concern them; 2. Collaborative management of forests by all relevant stakeholders will achieve better forest management outcomes. An artificial society of primary forest actors was built using a multi-agent system approach, used for developing scenarios to increase the sustainability of forest management. Indicators of forest cover and standing stock, communities’ incomes, company revenue and taxes paid to local and central governments measured the sustainability. The research results showed that local communities that lived in the area of Inhutani II were able to define C&I of SFM. The local C&I are not different from the generic or scientific C&I of SFM. However, these C&I are formulated with different structures and argumentations. The developed knowledge-based system found a way to harmonize this knowledge. Collaboration between concessionaires and the communities appeared to be the most suitable alternative for SFM - particularly for improving communities’ incomes without decreasing the quality of the forest. An appropriate decentralization policy is a condition for implementing collaborative forest management. Keyword:
Judul: Karakterisasi Genom Mitokondria Labi-Labi, Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) Abstrak:Runutan nukleotida lengkap genom mitokondria (mtDNA) labi-labi, Dogania subplana, telah dilakukan. Ukuran mtDNA labi-labi adalah 17289 bp. Organisasi, orientasi dan ukuran setiap gen dari 13 gen penyandi protein mtDNA, 22 gen penyandi tRNA dan dua gen penyandi rRNA serta daerah kontrol adalah serupa dengan yang telah ditemukan pada vertebrata lainnya. Panjang daerah kontrol adalah 1820 bp, yang di dalamnya bisa ditemukan tiga motif runutan DNA berulang. Motif pertama dan kedua berturut-turut adalah 15 bp dan 37 bp, yang keduanya berulang secara tandem sampai 728 bp. Motif ketiga adalah ruas TA berulang, yaitu (TA)n dan (ATAlT)n. Motif ketiga ini disebut mitokondria. Analisis terhadap daerah kontrol menemukan adanya domain tengah yang stabil untuk semua anggota Testudines, dan adanya tiga macarn Conserve Sequence Blocks yang homolog dengan daerah kontrol mtDNA vertebrata. Keyword:
Judul: The Role of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) and Petrophilic Bacteria for Remediation of Petroleum Contaminated Soil Abstrak:Ragam kondisi hutan primer dan hutan bekas tebangan menunjukkan adanya perbedaaan struktur, komposisi jenis, nilai potensi, tingkat mortalitas, alih tumbuh (ingrowth) dan pertumbuhan tegakan. Perkembangan pemodelan dinamika hutan dalam berbagai studi kuantitatif sering mengalami hambatan heterogenitas dan kompleksitas terhadap hutan itu sendiri (keragaman karakteristik tegakan dan variasi kondisi) dan keterbatasan atau ketiadaan data yang bersifat jangka panjang. Penelitian ini mencakup dimensi kuantitatif tegakan yang meliputi dimensi statis (nilai kuantitatif pada suatu waktu), dimensi dinamis (nilai kuantitatif yang mendeskripsikan fungsi waktu) dan dimesnsi spasial (nilai kuantitatif sebaran tutupan hutan) pada variasi kondisi tegakan di areal hutan alam produksi berdasarkan runtun waktu. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode untuk mengukur tingkat keterpulihan hutan Dipterocarpacea campuran setelahpenebangan menuju bentuk hutan alam primer yang tumbuh di tempat itu. Penelitian dilaksanakan si stasiun penelitian hutan Labanan yang terletak di Kabupaten Berau Propinsi Kalimantan Timur pada bukan Oktober 2012- April 2013. Desain plot penelitian berupa plot permanen yang dibangun pada tahun 1990, dengan ukuran plot 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam 4 subplot dengan ukuran 100 m x 100 m (1 ha). Masing-masing subplot dibuat sub-plot berukuran 20 m x 72 m sebanyak 25 buah dengan 7 variasi kondisi hutan alam dengan total luas 72 ha. Pengukuran dimensi tegakan dan validasi data dilaksanakan secara periodik setiap dua tahun. Risalah perlakuan berupa variasi teknik penebangan (penebangan ramah lingkungan dengan limit diameter 50 cm/RIL 50, RIL 60 dan penebangan konvensional) dan variasi teknik pembebasan (sistematis dan berbasis pohon binaan), Activities of petroleum production such as drilling, production, and am.sportation of petroleum products have caused negative impacts, ie land and wa er pollution either directly or indirectly. Petroleum hydrocarbon compounds · ave toxic, carcinogenic, mutagenic characteristics, and have potential to ccumulate in the food chain and human fat tissue which can lead to eurotoxicity. The environmental stresses caused by the oil spill make the soil to ndergo physical, chemical, and biological changes. Oil seeping into the soil may ause oxygen supply stop, water supply required by plants was inhibited, impaired ·lant growth, and death of soil microorganisms. There are three methods that can e conducted as remediation of contaminated soil, which are physical, chemical, an biological approach. Physical and chemical methods are ways of handling petroleum contamination that take a relatively short time, but these methods are exgensive and can cause environmental damage. Biological handling is one of the alternatives in efforts to degrade the oil content in the environment. The biological way to restore the environment of contaminated environment using plants is known as phytoremediation. One of the successes of a plant species in the remediation of contaminated soil is due to the interaction among plants, soils and microbial rhizosphere. The mi(!:robial rhizosphere that interact in soil are arbuscular mycorrhizal fungi (A¥f) and petrophilic bacteria. AMF supplements their life cycle with host plants and obtain carbon supplies from the plants, while petrophilic bacteria use carbon from petroleum hydrocarbons as their food sources. Compost was usually added to i e soil to improve physical and chemical properties of the soil. The general objective of this study was to obtain a phytorcmediation technique as a remediation of soil contaminated with crude oil. Stages of research that have been accomplished were: (1) Site characterization at illegal oil exgloitation and development of indigenous microbes; (2) The effect of nutrients, compost, and local bacteria in bioremediation of petroleum contaminated soil; (3) Adaptation selection of plants for utilization in phytoremediation of soil contaminated by crude oil; and (4) Phytoremediation of soil contaminated by crucle oil using arbuscular mycorrhizal fungi and compost. The study of 'site characterization at illegal oil exploitation and development of indigenous microbes' (Chapter 3) was conducted in three stages: 1) Site characterization at illegal oil exploitation, 2) Total petroleum hydrocarbon (TRH) measurement, and 3) Enrichment and multiplying bacteria. The total petroluem hydrocarbon (TPH) value diversed in the location, frorr.. a TPH mimimum of 0.02% to maximum of 14.73%. There were 5 locations with TPH > o, such as collector site-I (6.03%), well-2 (8.23%), well-3 (1.33%), and g lector site-2 (2% and 14.73%). Besides exploring bacterial consortium, ching, and multipying indigenous bacteria, collecting of plants that survive ound oil wells were also carried out. There were IO plants collected and entified from 5 families, namely Poaceae (Axonopus compressus, Chrysopogon aciculatus, Eragrostis nutans, and lmperata cylindrica), Cyperaceae (Fimbristylis acuminata, Pycreus polystachyos, and Pycreus polystachyos), Gleicheniaceae Dicranopteris linearis), Lycopodiaceae (Lycopodiella cernua), and Melastomaceae (Melastoma malabathricum). In the study 'the effects of nutrients, compost, and local bacteria on the lfloremediation of petroleum contaminated soils' (Chapter 4), three levels of total R - tr©leum hydrocarbons (TPH) have been carried out (TPH-5, TPH-8, and TPH­ m petroleum contaminated soil as well as biostimulation with the addition of n trients, compost, and bioaugmentation by microbes for 19 weeks. TPH adation depended on initial TPH, nutrition, and compost. The largest P. centage of TPH degradation was obtained from N3 treatment (nutrition and - H-11) of 52.1%. Bioaugmentation using local microbes did not affect TPH egr;adation. Therefore, bioaugmentation was not required if compost has been a-tled. In the study of 'adaptation selection of plants for utilization in p oremediation of soil contaminated by crude oil' (Chapter 5), four plant species were used, Helianthus annuus, Paspalum conjugatum, Sorghum bicolor, and Tag tes erecta on three concentrations of oil-contaminated soil (TPH-0, TPH-3, and TPH-6) by evaluating the morphological and anatomical responses. The high;est growth percentage was achieved by P. conjugatum (100%). The better percentage of growth after P. con;ugatum was S. bicolor (80%), H. annuus (71%), and lastly T erecta (66%). Increased µetroleum resulted in decreasing plant heigtit, number of leaves, root length, root dry weight (OW), shoot OW, total plant OW, and stomata} density. Conversely, the higher the concentration of petr©leum, the higher the ratio of root and shoot. The decrease of TPH significantly occurred in all four types of plants for 9 weeks (79.3 - 91.1%). The high;est percentage TPH reduction was achieved by P. conjugatum of 91% in TPH-3 and 90% in TPH-6. It can be concluded that the four types of plants studied were effectively used as phytoremediators of petroleum contaminated soil. P. conjugatum and S. bicolor were recommended as phytoremediators for further research. The study of 'phytoremediation of soil contaminated by crude oil using mycorrhiza and compost' (Chapter 6) used two types of plants, namely P. conjl"gatum and S. bicolor. Three concentrations of oil-contaminated soil (TPH-0, TPH-3, and TPH-6), 2 levels of mycorrhiza (without and with mycorrhiza), and 2 levels of compost (without and with compost) were applied by evaluating the mo hological, physiological, anatomical responses, and expression of antioxidant enz){IlleS. Increased petroleum resulted in decreasing plant growth, but enhanced physiological responses and antioxidant enzymes. The apllication of growing media was postulated inhibiting positive roles of AMF in soil. Keyword:Arbuscular mycorrhizal fungi, bioremediation, petrophilic bacteria, paspalum, site characterization, sorghum
Judul: Nutrient Efficiency Through Providing Ameliorants and Actinobacteria in Cropping Rotations of Shallots and Soybeans in Water Saturated Cultivation on Tidal Lands. Abstrak:Tanaman bawang merah dan kedelai merupakan komoditi hortikultura dan tanaman pangan yang jumlah produksinya masih belum dapat memenuhi kebutuhan nasional, salah satu faktor penyebabnya adalah semakin berkurangnya areal penanaman bawang merah dan kedelai. Optimalisasi lahan pada tanaman bawang merah dengan pola rotasi tanam dengan kedelai merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk pemanfaatan lahan secara optimal. Lahan suboptimal seperti lahan pasang surut memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian dikarenakan memiliki lahan yang luas, namun permasalahan lahan pasang surut adalah tingginya kadar pirit dan cekaman Al, sehingga pH menjadi lebih rendah dan dapat meracuni tanaman. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan kombinasi amelioran pupuk kandang, aktinobakteri dan dolomit, serta mengatur tata air mikro seperti penerapan sistem budidaya jenuh air (BJA) dan pemanfaatan mikroorganisme seperti aktinobakteri. Penelitian ini terbagi dalam empat rangkaian percobaan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menentukan varietas bawang merah yang adaptif pada sistem BJA di lahan rawa pasang surut yang berkelanjutan. Percobaan pertama bertujuan untuk menganalisis pengaruh kedalaman muka air, respon pertumbuhan dan hasil varietas bawang merah pada system BJA di lahan rawa pasang surut. Percobaan disusun dengan menggunakan rancangan split plot. Hasil percobaan menunjukkan bahwa budidaya bawang merah dengan teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut tipe B terbukti bisa dilakukan. Interaksi antara kedalaman muka air dan varietas bawang merah tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman bawang merah yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, bobot umbi, kadar hara, dan serapan hara N, P, K. Sedangkan interaksi antara kedalaman muka air dan varietas bawang merah berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi perumpun, bobot segar perumpun, bobot kering umbi perumpun dan produktivitas. Secara faktor tunggal perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot umbi, kadar hara dan serapan hara N, P dan K. Pertumbuhan dan hasil bawang merah varietas Bima Brebes dengan kedalaman muka air 30 cm DPT merupakan perlakuan yang terbaik dengan menghasilkan produktivitas 7,3 ton ha-1. Akan tetapi secara ekonomis untuk kedalaman 20 cm DPT lebih efektif dan lebih mudah diterapkan dilapangan dengan alat ditcher dan traktor dalam pembuatan saluran di lahan pasang surut. Percobaan kedua dan ketiga bertujuan untuk mengkaji peran aktinobakteri dalam menurunkan kadar Fe dan Al dalam system BJA di lahan rawa pasang surut dan menganalisis respon varietas bawang merah terhadap pemberian amelioran dan aktinobakteri untuk pertumbuhan dan produksi bawang merah dengan BJA. Percobaan kedua dilaksanakan di rumah plastik dengan menggunakan polybag di di daerah pasang surut dengan menggunakan rancangan RAL faktorial dan percobaan ketiga dilaksanakan di lapangan pada lahan pasang surut tipe B dengan menggunakan rancangan split plot. Hasil percobaan menunjukkan bahwa interaksi pemberian kombinasi amelioran pupuk kandang, aktinobakteri dan dolomit dengan varietas Bima Brebes pada tanaman bawang merah mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman bawang merah yang terlihat pada peningkatan produktivitas 16,46% pada perlakuan varietas Bima Brebes yang diberikan perlakuan amelioran + aktinobakteri + dolomit jika dibandingkan dengan perlakuan varietas Bima Brebes yang diberikan perlakuan aktinobakteri + pupuk kandang saja. Interaksi antara pemberian aktinobakteri, pupuk kandang, dan dolomit dengan varietas bawang merah pada peubah nutrient use efficiency N, P, K, kadar hara P dan produktivitas bawang merah berpengaruh nyata. Secara faktor tunggal varietas bawang merah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, total klorofil, jumlah stomata kerapatan stomata, kadar hara Fe dan Al. Kombinasi aktinobakteri dan pupuk kandang mampu mengkhelat Fe dan Al di lahan pasang surut tipe B. Pertumbuhan dan hasil bawang merah varietas Bima Brebes dengan kedalaman muka air 20 cm DPT mampu meningkatkan produktivitas 8,4 ton ha-1. Perlakuan kombinasi aktinobakteri dengan pupuk kandang dan dolomit menunjukkan adanya interaksi yang signifikan terhadap efisiensi penggunaan hara N, P, dan K, serta kadar hara P dan produktivitas bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi aktinobakteri dan amelioran yang diberikan pada tanaman menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman semakin baik. Aktinobakteri ketika mendapatkan nutrisi dari pupuk kandang mampu menurunkan Al-dd menjadi 0,05 ppm dan kombinasi amelioran aktinobakteri + pupuk kandang dan dolomit Al-dd menjadi tidak terukur. Percobaan keempat bertujuan untuk mengevaluasi efek residual pemberian amelioran dan aktinobakteri untuk pertumbuhan dan produksi kedelai dengan BJA melalui rotasi tanam yang merupakan penelitian lanjutan dari penelitian tahap ketiga dengan memanfaatkan efek residual ameliorant pada tanaman kedelai. Hasil percobaan menujukkan bahwa efisiensi hara melalui pemanfaatan efek residual amelioran terjadi peningkatan nutrient use efficiency N, P dan K dari perlakuan aktinobakteri dan pupuk kandang saja secara berturut-turut sebesar 180,19%, 180,72% dan 180,15% dibandingkan tanpa pemberian amelioran pada tanaman kedelai. Sedangkan peningkatan nutrient use efficiency N, P dan K dari perlakuan aktinobakteri + pupuk kandang dan dolomit secara berturut-turut sebesar 211,09%, 194,57% dan 194,13%, jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian amelioran. Efek residual tidak terlihat nyata pada perlakuan secara tunggal pada perlakuan tanpa pemberian amelioran dan pemberian aktinobakteri. Akan tetapi terjadi peningkatan yang nyata pada kombinasi pemberian aktinobakteri + pupuk kandang dan dolomit. Sehingga terjadi peningkatan peningkatan produksi dari perlakuan aktinobakteri dan pupuk kandang saja sebesar 181,8% dibandingkan tanpa pemberian amelioran. Sedangkan peningkatan produktivitas dari perlakuan aktinobakteri + pupuk kandang dan dolomit sebesar 195,4% jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian amelioran., Shallots and soybeans are horticultural and food crop commodities whose production levels still fail to meet national demands. One of the contributing factors is the decreasing cultivation area for these crops. Optimizing shallot cultivation through crop rotation with soybeans is a viable approach to maximize land utilization. Suboptimal lands, such as tidal swamps, possess great potential for agricultural development due to their vast areas. However, tidal swamps face challenges like high pyrite content and aluminum stress, resulting in lower pH levels that can be toxic to plants. To address these issues, a combination of strategies can be employed, including the application of manure, actinobacteria, and dolomite as soil amendments, as well as implementing micro water management techniques such as water-saturated cultivation systems. Additionally, the use of microorganisms like actinobacteria can be beneficial in improving soil conditions. This research comprises four series of experiments. The overall objective is to determine shallot varieties that are adaptive to the saturated soil culture (SSC) in sustainable tidal swamp areas. The first experiment aims to analyze the effects of water table depth on the growth response and yield of shallot varieties saturated soil culture (SSC) in tidal swamp land. The experiment was designed using a splitplot arrangement. Results demonstrate that shallot cultivation using SSC technology in type B tidal swamps is feasible. The interaction between water table depth and shallot varieties did not significantly affect shallot plant growth parameters such as plant height, leaf number, bulb weight, nutrient content, and N, P, K nutrient uptake. However, the interaction between water table depth and shallot varieties significantly influenced the number of bulbs per cluster, fresh weight per cluster, dry bulb weight per cluster, and overall productivity. As a single factor, variety treatment significantly affected plant height, leaf number, bulb weight, nutrient content, and N, P, K nutrient uptake. The growth and yield of the Bima Brebes shallot variety at a water table depth of 30 cm water depth level proved to be the best treatment, resulting in a productivity of 7,3 tons ha?¹. However, from an economic and practical standpoint, a water depth level of 20 cm is more effective and easier to implement in the field using ditchers and tractors for channel construction in tidal swamp areas. The second and third experiments aim to examine the role of actinobacteria in reducing Fe and Al levels in the saturated soil culture system (SSC) in tidal swamp areas, and to analyze the response of shallot varieties to the application of ameliorants and actinobacteria for growth and production of shallots under SSC. The second experiment was conducted in a plastic house using polybags in a tidal area, employing a factorial completely randomized design (CRD). The third experiment was carried out in the field on type B tidal swamp land using a splitplot design. Results show that the interaction between the combination of ameliorants (manure, actinobacteria, and dolomite) and the Bima Brebes variety significantly enhanced shallot plant growth. This was evident in the 16,46% increase in productivity for the Bima Brebes variety treated with ameliorant + actinobacteria + dolomite compared to the treatment with actinobacteria + manure alone. The interaction between the application of actinobacteria, manure, and dolomite with shallot varieties significantly affected nutrient use efficiency for N, P, K, P nutrient content, and shallot productivity. As a single factor, shallot variety significantly influenced plant height, leaf number, tiller number, total chlorophyll, stomata number, stomatal density, and Fe and Al nutrient content. The combination of actinobacteria and manure effectively chelated Fe and Al in type B tidal swamp land. Growth and yield of the Bima Brebes shallot variety with a water table depth of 20 cm water depth level increased productivity to 8,4 tons ha-1. The combined treatment of actinobacteria with manure and dolomite demonstrated significant interactions regarding nutrient use efficiency for N, P, and K, as well as P nutrient content and shallot productivity. Research findings indicate that the combination of actinobacteria and ameliorants applied to the plants resulted in improved vegetative growth. When provided with nutrients from manure, actinobacteria were able to reduce exchangeable aluminum (Al-exc) levels to 0,05 ppm. Furthermore, the combination of ameliorants (actinobacteria + manure) and dolomite reduced Al-exc to undetectable levels. The fourth experiment evaluates the residual effects of administering ameliorant and actinobacterial for the growth and production of soybeans with SSC through crop rotation. This is follow-up research to the third stage of research by utilizing the residual effects of ameliorant on soybean plants. The experimental results showed that nutrient efficiency through the use of the residual effect of ameliorant increased the nutrient use efficiency of N, P, and K from the treatment of actinobacteria and manure alone, respectively, by 180,19%, 180,72%, and 180,15% compared to without giving ameliorant to soybean plants. Meanwhile, the increase in nutrient use efficiency of N, P, and K from the actinobacterial + manure and dolomite treatment amounted to 211,09%, 194,57%, and 194,13%, compared to the treatment without ameliorant. The residual effect was not significantly evident in single treatments without ameliorants or with actinobacteria application alone. However, a significant increase was observed in the combined application of actinobacteria + manure and dolomite. This resulted in a substantial productivity enhancement. The treatment with actinobacteria and manure alone showed a 181,8% increase in crop yield compared to the control without ameliorants. Meanwhile, the combination of actinobacteria + manure and dolomite led to an even more remarkable 195,4% increase in productivity when compared to the unamended control treatment. Keyword:pyrite
Judul: Ketahanan Industri Bordir Di Tasikmalaya: Studi Etika Moral Ekonomi Islami Pada Komunitas Tatar Sunda Abstrak:Terbentuknya ekonomi lokal dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya ditandai oleh kemunculan golongan sosial pengusaha bordir yang keberadaannya dapat dirunut berikut ini. Pertama, berdasarkan asal-usul sosialnya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha bordir dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya berasal dari kelompok non elit/ kelas bawah/ masyarakat ekonomi marginal, terutama dari kalangan orang kebanyakan (cacah/somah) dalam struktur feodal Sunda. Kedua, terkait dengan mekanisme kemunculannya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha bordir dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya, merupakan hasil dari adanya keterlekatan etika moral agama (Islam) dan etika moral budaya (Sunda) dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir dan terbukanya kesempatan yang sama bagi siapa saja yang dapat meraihnya (stratifikasi sosial terbuka). Kelangsungan sosial golongan pengusaha lokal mencakup dua dimensi sekaligus. Pertama, berdasarkan dimensi status/ peranan sosial golongan pengusaha lokal di Tasikmalaya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha lokal tersebut hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai pendukung ekonomi lokal, dengan ciri-ciri formasi sosial pengusaha lokal yang khas (hybrid). Penelitian ini menunjukkan bahwa para pengusaha lokal mampu bangkit dan berkembang (survive) dengan campur-tangan negara, mereka bahkan tumbuh secara progresif, melakukan pengembangan atas usahanya dengan cara mengikuti persaingan global melalui ekspansi penjualan skala nasional/internasional dan mengeksport ke luar negeri dan ikut menopang kertepurukan ekonomi bangsa ketika tertimpa krisis ekonomi 1997/ 1998 serta krisis 2008. Mereka tidak hanya menyumbang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi lokal, namun juga menjadi penggerak transformasi sosial-ekonomi masyarakat Sunda Tasikmalaya dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Bertahan dan berkembangnya ekonomi industri bordir tersebut tidak lepas dari dinamika yang terjadi pada para pengusaha bordir di Tasikmalaya tersebut dengan muncul dan tenggelamnya berbagai tipe pengusaha. Keterlekatan etika Islam dan Sunda pada tindakan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya menghasilkan tiga tipe pengusaha. Pertama, Pengusaha Islami-Sundanis yaitu pengusaha terlekat kuat dengan etika agama (Islam). Kedua, Pengusaha Sunda-Islami yaitu pengusaha yang terlekat kuat dengan etika budaya Sunda. Ketiga, Pengusaha Sunda Kapitalis yaitu yang terlekat kuat pada etika kapitalis. Pengusaha Sunda-islami merupakan tipe pengusaha yang stagnan disebabkan terlalu kuat terlekat dengan tradisi atau kebiasaan yang diwariskan oleh orang tua atau nenek moyangnya, sehingga lambat dalam mengadopsi inovasi baru dlam industri bordir. Pengusaha Islami-sundanis adalah tipe pengusaha yang mengalami kemajuan atau peningkatan dalam usahanya. Pada tipe ini selain terlekat kuat dengan nilai-nilai agama juga nilai budaya serta terbuka pada nilai-nilai modern yang meunjang kemajuan dan tidak bertentangan dengan nilai lokal. Sedangkan tipe yang pengusaha yang rentan hancur adalah pengusaha kapitalis yang tidak siap dengan kebangkrutan (collpas) dan terlalu lemah dalam ikatan nilai-nilai agama dan budaya. Etika Religiusitas Islam pengusaha bordir di Tasikmalaya menolong pengusaha untuk dapat bertahan dalam bisnis bordir, tetapi sejarah bisnis keluarga tidak bisa ditinggalkan. Kelas menak dalam industri bordir, memiliki kecenderungan lebih bertahan dibanding kelas cacah /somah disebabkan pada kelas menak usaha mereka sudah turun temurun dan memiliki pengalaman serta latar pendidikan yang relatif tinggi. Sebenarnya kelas cacah pun memiliki kesempatan yang sama untuk dapat maju, tetapi memiliki kecenderungan rentan hancur. Jadi pengusaha yang cenderung bertahan dan mengalami kemajuan adalah kelas pengusaha menak religius, sedang yang rentan hancur/bangkut adalah pengusaha cacah modern Keyword:islamic moral ethics, sundanese moral ethics, islamic-sundanese entrepreneurs, sundanese-islamic entrepreneurs, capitalist entrepreneurs
Judul: Pengembangan Sistem Penanganan Ikan Cakalang pada Perikanan Pole and Linedi Galala Sirimau Ambon Abstrak:Ikan cakalang merupakan salah satu hasil tangkapan perikanan andalan dari perairan Maluku yang potensial dan bernilai ekonomis penting dengan kandungan gizi yang sangat tinggi. Bahkan jenis ikan ini menjadi primadona, karena selain menjadi ikan konsumsi yang digemari masyarakat, juga merupakan komoditas ekspor sehingga banyak dimanfaatkan oleh nelayan Galala Kecamatan Sirimau, Ambon. Pada Tahun 2014 produksi ikan di Kota Ambon sebesar 41.168,49 ton (BPS 2015).Peningkatan produksi perikanan pada kenyataannya tidak serta merta diikuti oleh peningkatan ketersediaan ikan segar baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku bagi industri pengolahan ikan. Selain itu penanganan ikan setelah penangkapan belum dilakukan dengan baik dan hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya tingkat kerusakan ikan pascapanen atau tingkat susut panen (postharvestlosses) yaitu diperkirakan sekitar 27% (Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan 2007). Umumnya penanganan ikan segar di Kota Ambon, terutama yang dilakukan oleh para nelayan belum sesuai prosedur. Penanganan yang kurang hati-hati serta kurang diterapkannya sistem rantai dingin sejak ikan ditangkap sampai ke tangan konsumen menyebabkan hasil tangkapan mengalami kemunduran mutu. Pengujian mutu kesegaran ikan penting untuk meningkatkan tingkat konsumsi ikan (konsumsi protein) masyarakat. Penanganan ikan yang baik dapat mempertahankan mutu ikan tetap segar sehingga protein serta kandungan omega- 3 tidak rusak akibat aktivitas mikroorganisme. Jika penanganannya kurang tepat, protein yang terkandung dalam ikan akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak dan menjadikan kualitas ikan menurun. Untuk menghindari masalah ini diperlukan adanya penerapan teknologi penanganan yang baik atau Good Handling Practices (GHP) sejak ikan di atas kapal sampai setelah didaratkan. Kerusakan pada ikan cakalang berakibat pada penurunan mutu secara organoleptik sehingga perlu adanya solusi dalam mengatasi masalah mutu ikan cakalang. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis sistem perikanan pole and line di Galala Kota Ambon; 2) Menganalisis sistem penanganan dan penyimpanan ikan cakalang pada perikanan pole and line; dan 3) Menganalisis tingkat kesegaran ikan cakalang dengan perbaikan sistem penanganan. Pole and line adalah alat tangkap ikan yang sangat sederhana, bagianbagiannya terdiri dari tangkai atau joran (pole) berukuran panjang 2.5-3 m, tali pancing (line) dan mata pancing (hook) ukuran 26 mm, 28 mm, 30 mm dan 32 mm. Kapal pole and line yang digunakan oleh nelayan Galala dalam kegiatan penangkapan ikan cakalang berukuran 30 GT dan kapasitas mesin utama 255 HP, dengan jumlah tenaga kerja 25 orang. Penangkapan ikan sangat ditunjang oleh ketersediaan umpan hidup yang diperoleh bagan rambo. Di lokasi penelitian ditemukan beberapa jenis umpan hidup yaitu ikan teri (Stolephorus sp), ikan sardine (Sardinella lemuru) dan ikan kembung (Rastrelliger spp.)dengan persentase ikan teri lebih banyak dibandingkan ikan sarden tembangdan ikan kembung. Operasi penangkapan pole and linedilakukan dengan sistem one day fishing dan ukuran panjang ikan cakalang terbesar berkisar antara 29.5 – 32.8 cm dengan proporsi 47%. Penanganan ikan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri perikanan. Penerapan teknologi penanganan yang baik sejak ikan di atas kapal sampai setelah didaratkan perlu diterapkan dengan baik. Penanganan ikan segar dengan pendinginan es dapat menghambat aktivitas mikroba pembusuk. Proses perbaikan pada penanganan ikan cakalang di atas kapal maupun di pusat pendaratan ikan diperlukan untuk memperbaiki proses existing yang dilakukan oleh nelayan. Kondisi ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas ikan dan mencegah terjadi proses kemunduran mutu ikan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode tanpa pendinginan, pendinginan es dan ikan 1:2 maupun 1:1 selama 12 jam berpengaruh nyata terhadap pH dan nilai organoleptik, dengan nilai pH masing-masing sebesar 7.83, 6.70 dan 6.30, sedangkan rerata nilai organoleptik 4.43, 8.68 dan 8.79. Suhu awal ikan 25oC dan pada akhir pengamatan 12 jam masing-masing perlakuan memiliki suhu tanpa pendinginan 29.5oC, pendinginan 1:2 sebesar 11oC dan pendinginan 1:1 sebesar 7oC. Hasil analisa regresi linear menunjukkan bahwa pH dengan nilai organoleptik memiliki korelasi yang sangat kuat (R>0.90) sebesar 0.921. Cara penanganan ikan yang terbaik adalah pendinginan 1:1 dengan nilai pH antara 6.00-6.30 dan organoleptik antara 8.79-9.00. Keyword:ikan cakalang, metode pendinginan, pole and line, proses penanganan, teknologi perikanan
Judul: Model Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan Industri Cakalang Indonesia Abstrak:Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu komoditas utama perdagangan komoditas perikanan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengkaji model pengelolaan sumberdaya ikan Cakalang dan daya saing Cakalang dalam perdagangan internasional; (2) Membangun model ekonomi perikanan Cakalang bekelanjutan; (3) Merumuskan kebijakan pengembangan ekonomi Cakalang guna meningkatkan kinerja ekonomi perikanan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis bioekonomi, analisis daya saing, analisis keseimbangan umum dan analisis dinamis. Pengelolaan sumberdaya Cakalang dalam periode penelitian di 22 pelabuhan perikanan menunjukkan adanya tingkat tangkapan Cakalang yang berlebih. Model pengelolaan Cakalang yang dapat memberikan rente ekonomi maksimal adalah keseimbangan MEY. Produk Cakalang yang memiliki daya saing tinggi adalah Fillet dan olahan. Kedua produk tersebut perlu mendapatkan prioritas bagi para pelaku perdagangan Cakalang, sehingga dapat memberikan nilai ekspor signifikan bagi ekonomi nasional. Hasil simulasi model CGE Cakalang menunjukkan bahwa kebijakan kuota penangkapan ikan Cakalang (MSY dan MEY) berpengaruh signifikan pada aktivitas industri pengolahan Cakalang. Hal ini terkait ketersediaan bahan baku Cakalang bagi industri pengolahan. Pemerintah perlu menetapkan kebijakan kuota penangkapan ikan Cakalang untuk menjamin ketersediaan bahan baku ikan Cakalang bagi keberlangsungan industri pengolahan ikan. Kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan ekonomi Cakalang secara berkelanjutan adalah (1) Menetapkan kuota tangkapan Cakalang yang diperbolehkan sesuai pada keseimbangan MEY; (2) Mengatur pembatasan kapasitas penangkapan ikan/jumlah armada penangkapan ikan Cakalang; (3) Mendorong para pelalu usaha untuk mengembangkan diversifikasi produk Cakalang Indonesia; (4) Menjamin ketersediaan bahan baku Cakalang bagi industri pengolahan ikan nasional, yaitu melalui pengetatan ekspor Cakalang beku (Raw Material); (5) Meningkatkan ketaaatan pelaku usaha dalam memenuhi kriteria-kriteria produk Cakalang di pasar internasional, khususnya terkait ketelusuran asal bahan baku Cakalang (traceability), legalitas kapal penangkap ikan Cakalang (legality), perlindungan terhadap tenaga kerja di industri perikanan, dan dukungan atau komitmen pelaku usaha dalam menjaga keberlanjutan penangkapan ikan Cakalang; (6) Meningkatkan peran aktif ditingkat internasional dalam kerjasama pengelolaan sumberdaya ikan Cakalang di WPPNRI dan Laut Lepas; dan (7) Melakukan perhitungan estimasi sumberdaya Cakalang secara berkala guna mengetahui perkembangan status sumberdaya Cakalang. Keyword:Cakalang, Overfishing, MEY, Daya Saing, CGE, Model Dinamis, Ekonomi Berkelanjutan
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Kajian produktivitas dan sifat-kimia daging sapi brahman cross pada ransum yang berbeda Abstrak:Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh tiga jenis ransum berbeda terhadap produksi potongan komersial karkas, produksi komponen non karkas, pertumbuhan allometrik potongan komersil karkas terhadap bobot total daging dan bobot karkas, pengaruh bobot hidup terhadap produksi · potongan komersial karkas dan produksi komponen non karkas, pertumbuhan allometrik komponen non karkas terhadap bobot total non karkas dan bobot hidup, sifat fisik dan kimia daging, kualitas daging serta harga jual produksi ternak. Dalam penelitian ini digunakan 149 ekor sapi Brahman Cross jantan kebiri (steer) dari PT. Great Giant Livestock Co. (GGLC) Lampung 50 ekor, PT. Kariyana Gita Utama (KGU) Cicurug Sukabumi 50 ekor dan PT. Suntoryfood Corporation Lampung 49 ekor. Penggemukan sapi di PT. GGLC memakai ransum dengan komposisi:konsentrat 11-15% dan hijauan kulit nenas 85-89%, di PT.KGU 50.8% konsentrat dan 49.2% rumput raja dan PT.Suntory konsentrat 93% dan silase daun jagung 7%. Ketiga ransum tersebut masing-masing disebut sebagai Ransum A, B dan C dengan kandungan protein dan energi yang hampir sama, yaitu protein kasar 12.30-..dst Keyword:sapi brahman; karkas; non karkas; kimia daging
Judul: Study on the growth and distribution of meat and estimation of productivity of beef carcass from feedlot fattening Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pertumbuhan dan distribusi daging pada komponen karkas dan potongan komersial karkas, produktivitas karkas sapi dan estimasi produktivitas karkas sapi Australlan Commercial Cross (ACC) dan Brahman Cross (BX) berdasarkan kategori jenis kelamin cow, heifer dan steer (sex class) dengan jonfirmasi butt shape yang berbeda. Jumlah sapi yang digunakan sebanyak 165 ekor dengan kisaran bobot potong 330-500 kg. Linear dari Regresi Berganda serta Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2 x 3, dan 3 x 3. Keyword:
Judul: Mangrove ecosystem based mitigation strategy of the spatial utilization of the east coast of Weh Island Abstrak:Secara geologi Pulau Weh merupakan daerah yang rawan akan bencana gempabumi yang dapat diikuti tsunami. Hal ini disebabkan Pulau Weh berada pada zona yang rentan akan gempabumi. Seperti bencana gempabumi yang terjadi pada tanggal 24 desember 2004 dengan kekuatan 9,0 MW atau 9,3 diikuti dengan tsunami. Tsunami dengan tinggi gelombang datang (run up) setinggi antara 2-5 m yang terjadi berulang kali sebanyak 4 kali mengakibatkan sebaran genangan/ inundasi seluas 50 m dari garis pantai, sehingga menimbulkan kerusakan. Kerusakan yang terjadi antara lain ekosistem mangrove, bangunan seperti rumah penduduk, sekolah, kantor, kedai, tempat penginapan dan infrastruktur. Lokasi kerusakan terdapat di sisi timur Pulau Weh yang berhadapan langsung dengan Teluk Lho Pria Laot. Jenis kerusakan pada ekosistem mangrove seperti batang pohon patah, tercabut dari akarnya, bahkan ada yang tersapu oleh tsunami. Lokasi kerusakan ekosistem mangrove terdapat di pantai TWA Alur Paneh, Lhok Weng 2/ Teupin layeu 1, Lhok Weng 2b/ Teupin Layeu 1b, Lhok Weng 3/Lam Nibong, Pantai Lhut 1, Pantai Lhut 2 dan Lhok Weng 1/Lam Nibong. Keyword:
Judul: Analisis pengembangan kawasan pelabuhan perikanan kamal muara dan dadap dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir terpadu Abstrak:Dua buah pusat aktivitas pendaratan ikan yang berdekatan dan terletak di dua wilayah administrasi yang berbeda dapat menimbulkan pengaruh yang tidak sama terhadap program pembangunan di daerah masing-masing. Tangerang mempunyai PPI/TPI Dadap di wilayah paling timur yang letaknya hanya sekitar 700 m dengan PPI/TPI Kamal Muara di kawasan paling barat dari Pemkot Jakarta Utara. Era otonomi daerah juga berpengaruh terhadap kebijakan program pembangunan masing-masing pemerintah daerah. Untuk melihat pengaruh yang terjadi akibat keberadaan kedua PPI/TPI tersebut, maka digunakan analisis ketergantungan perikanan, analisis shift share, LQ, skalogram, serta stella dan visual basic. Kesimpulan penelitian penunjukkan bahwa PPI/TPI Dadap sudah tidak bergantung lagi pada sumberdaya perikanan, sementara PPI/TPI Kamal Muara ketergantungannya semakin meningkat; serta program pembangunan yang dilakukan di kawasan Dadap-Kamal Muara sejauh ini belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Direkomendasikan bahwa TPI Dadap difungsikan sebagai pelabuhan yang mendukung kegiatan wisata pantai dan wisata bahari. Keyword:ICZM, Self autonomy, Fisheries dependent regions, Land rent, Social rent, Environmental rent
Judul: Pengembangan perikanan berbasis karakteristik spesifik dari potensi daerah Abstrak:Pengembangan kegiatan perikanan hendaknya dilakukan berdasarkan karakteristik potensi yang dimiliki suatu wilayah. Perairan Selatan Jawa mewakili kondisi karakteristik sumberdaya perikanan yang memerlukan pengelolaan secara spesifik. Potensi sumberdaya ikan yang dimiliki sangat besar, namun kegiatan perikanan baru berkembang di beberapa tempat saja yaitu di Palabuhanratu, Cilacap dan Prigi. Penelitian ini bertujuan: 1) menentukan implikasi karakteristik aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap kinerja perikanan, 2) membangun model pengembangan perikanan sesuai karakteristik wilayah, dan 3) merumuskan kebijakan strategis pengembangan perikanan berbasis kewilayahan. Metode pendekatan sistem digunakan untuk menganalisis permasalahan dan membangun model. Rekayasa sistem disusun dalam suatu model, dengan tiga submodel yaitu 1) usaha perikanan (submodel USAHA), 2) kebutuhan pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas (submodel PELABUHAN) serta 3) kebijakan dan kelembagaan (submodel LEMBAGA). Model diawali dengan penentuan sumberdaya ikan unggulan. Perumusan kebijakan strategis menggunakan analisis SWOT dan balanced scorecard. Strategi implementasi model menggunakan teknik interpretative structural modelling (ISM). Keyword:SWOT analysis, balanced scorecard analysis, structural modelling (ISM) technique, tuna fisheries development model, coastal fisheries development model, West Java
Judul: Expression of pathogen responsive genes toward Corynespora cassiicola in rubber plant (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Abstrak:Leaf fall disease caused by Corynespora cassiicola fungus is an important disease in rubber plantation. This research aims to identify and isolates genes or part of genes involved in plant defense response in rubber clones Keyword:
Judul: Studi Karakter Seleksi Kakao Mulia (Theobroma cacao L) Penghasil Produk Java Fine Flavor Cocoa di Indonesia Abstrak:Dalam perdagangan internasional dikenal kakao mulia sebagai produk spesialti dan kakao lindak yang merupakan kakao pada umumnya. Indonesia memiliki kakao mulia Java fine flavor cocoa berbiji putih yang terkenal selama hampir satu abad. Karakter agronomis kakao ini cenderung lemah sehingga perlu dilakukan pemuliaan untuk menghasilkan kakao mulia Java fine flavor cocoa berkualitas tinggi dengan karakter agronomis lebih baik. Sebagai tanaman tahunan, pencapaian target pemuliaan kakao mulia Java fine flavor cocoa memerlukan waktu lama yaitu sekitar 15-20 tahun sehinggaperlu dilakukan pengembangan program pemuliaan yang mampu meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam proses seleksi. Saat ini kriteria seleksi kakao mulia Java fine flavor cocoa adalah persentase biji putih/buah ≥ 80%, tetapi kriteria ini baru dapat dicapai pada fase reproduktif sehingga perlu dicari marka seleksi dini pada fase pembibitan yang mampu menggambarkan karakter tersebut. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakter morfologi, biokimia dan genomik pembeda kakao mulia Java fine flavor cocoa dan lindak Indonesia serta mengembangkan metode seleksi spesifik kakao mulia Java fine flavor cocoa dalam upaya meningkatkan efisiensi dan akurasi pemuliaan kakao mulia penghasil Java fine flavor cocoa sebagai produk kakao spesialti bercita rasa khas kebanggaan bangsa. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik sensori spesifik yang dapat membedakan produk kakao mulia Java fine flavor cocoa dan produk kakao lindak, (2) mengidentifikasi profil biokimia penciri kakao mulia Java fine flavor cocoa, (3) mengidentifikasi keragaman genetik, karakteristik, dan pengembangan marka fenotipik penciri kakao mulia Java fine flavor cocoa dan (4) mengembangkan marka molekuler penciri kakao mulia Java fine flavor cocoa berbasis gen MYB. Materi genetik koleksi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) yang digunakan adalah 8 klon kakao mulia Java fine flavor cocoa (DR2, DRC16, DR38, PNT16, PNT17, PNT33B, ICCRI 01 dan ICCRI 02) dan 11 klon kakao lindak (MCC01, MCC02, Sulawesi 01, KW733, KW617, PA191, ICCRI 03, ICCRI 04, KW516, KEE2 dan Scavina 6). Dari 19 klon kakao tersebut yang digunakan pada kajian sensori, biokimia dan morfologi adalah 4 klon kakao mulia (DR2, DRC16, PNT16, PNT17) dan 5 klon kakao lindak (KW516, KW617, MCC02, Sulawesi 01, PA191). Pada kajian sensori digunakan juga referensi klon kakao lindak Ghana. Hasil kajian sensori menunjukkan kakao mulia cenderung kuat pada atribut floral, sedangkan kakao lindak pada atribut cocoa. Kakao mulia DR2 dan DRC16 memiliki ciri khas floral dan spicy, sedangkan kakao mulia PNT16 memiliki ciri khas browned fruit (fruity). Kakao mulia PNT17 memiliki kemiripan cita rasa dengan kakao lindak namun memiliki nilai atribut floral lebih tinggi daripada seluruh kakao lindak yang diujikan. Terdapat kakao lindak dengan cita rasa khas yaitu KW617. Kajian biokimia untargeted metabolomics menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometry telah mengidentifikasi 23 metabolit putatif. Principal component analysis mampu menerangkan 82.5% keragaman yang ada antara kedua tipe kakao. Kakao lindak memiliki kadar asam lemak tinggi (asam palmitat, asam stearat, asam oleat) dan kakao mulia memiliki kadar kafein tinggi. Kajian biokimia metabolit primer menunjukkan hanya peubah kadar lemak total yang mampu membedakan kedua tipe kakao tersebut. Berdasarkan kajian sensori dan biokimia dapat disimpulkan bahwa kakao mulia cenderung memiliki cita rasa khas disebabkan oleh kandungan senyawa metabolit sekunder penyusun aroma dan rasa yang lebih tinggi daripada kakao lindak. Kajian morfologi menunjukkan pemisahan pengelompokan klon kakao mulia Java fine flavor cocoa dan lindak berdasarkan deskriptor kakao Puslitkoka. Kriteria seleksi persentase biji putih/buah sebagai marka morfologi kakao mulia Java fine flavor cocoa dapat diduga melalui warna flush dan kadar antosianin flush pada fase bibit. Warna flush kakao mulia Java fine flavor cocoa cenderung pucat, berwarna kekuningan sedangkan kakao lindak cenderung cerah, berwarna kemerahan. Kadar antosianin flush kakao mulia Java fine flavor cocoa lebih rendah daripada kakao lindak dan dipengaruhi oleh musim. Pada musim kemarau seleksi dilakukan untuk kadar antosianin flush kurang dari 155 ppm sedangkan pada musim hujan untuk kadar kurang dari 117 ppm. Pendugaan cepat (rapid detection) terhadap kadar antosianin pada musim kemarau dapat dilakukan melalui nilai b* (warna kuning) di atas 16. Marka molekuler mampu mempertajam marka morfologi dan sifatnya tidak dipengaruhi lingkungan sehingga dilakukan pengembangan marka menggunakan transcription factor TcMYB113 yang mampu membedakan kakao berdasarkan warna kulit buah. Hasil pengkajian molekuler menunjukkan kakao mulia Java fine flavor cocoa dan kakao lindak dapat dibedakan berdasarkan 21 situs insertions/deletions dan 1 situs single nucleotide polymorphism dengan marka P7MT yang didesain dari primer yang mengamplifikasi segmen pada transcription factor TcMYB113. Marka kakao mulia Java fine flavor cocoa memiliki panjang fragmen 170 bp. Berdasarkan kajian marka morfologi dan molekuler telah disusun metode seleksi kakao mulia Java fine flavor cocoa pada fase pembibitan yang meliputi seleksi terhadap karakter warna flush menggunakan color chart pada 4 Bulan Setelah Semai (BSS) dilanjutkan dengan pengukuran kadar antosianin flush pada 5 BSS dan seleksi dengan marka molekuler menggunakan primer P7MT pada 6 BSS. Seleksi yang dilakukan pada fase pembibitan ini akan mampu: (1) memperpendek periode seleksi, (2) mengurangi kebutuhan luasan area seleksi jika dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan pada saat tanaman sudah memasuki fase dewasa, (3) mengurangi dampak penyebaran organisme pengganggu tanaman (OPT) secara luas jika dibandingkan dengan uji ketahanan terhadap OPT di lapangan, (4) meningkatkan akurasi karena digunakannya marka molekuler berbasis DNA dan (5) mampu mengurangi biaya dalam proses pemuliaan. Keyword:antosianin, flush, Java fine flavor cocoa, marka seleksi, seleksi dini
Judul: Pengembangan Metode Regenerasi Kakao Melalui Embriogenesis Somatik Dan Identifikasi Varian Yang Resisten Terhadap Infeksi Phytophthora Palmivora Butl. Abstrak:Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan komoditas utama sub sektor perkebunan sebagai sumber devisa negara dan lapangan kerja di Indonesia. Pengembangan kakao di Indonesia masih dihadapkan pada kendala masih rendahnya produktivitas disebabkan oleh serangan hama dan penyakit, umur tanaman yang sudah tua dan tidak digunakannya klon unggul. Pemuliaan kakao secara konvensional berjalan lambat karena memiliki siklus hidup yang panjang dan latar belakang genetik yang sempit. Bioteknologi, dalam hal ini kultur jaringan, diharapkan mampu memberikan pendekatan baru di dalam pemuliaan kakao. Serangkaian studi yang bertujuan untuk: 1) mengembangkan metode regenerasi kakao melalui embriogenesis somatik primer dan sekunder, 2) mengevaluasi keragaan tanaman asal embrio somatik (ES) yang telah ada di lapangan, 3) mengevalusi keragaman somaklonal menggunakan marka simple sequences repeats (SSR), serta 4) mengidentifikasi varian yang terindikasi resisten terhadap infeksi Phytophthora palmivora Butl. berdasarkan pengujian menggunakan cakram daun telah dilaksanakan. Studi diawali dengan pengembangan metode regenerasi kakao melalui embriogenesis somatik primer. Kalus diinduksi dari eksplan mahkota bunga dan staminoid pada media induksi kalus primer (CI) yang terdiri dari media dasar Driver dan Kuniyuki (DKW) dengan penambahan 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) 9 μM dan kinetin (kin) 0.58, 1.16 atau 2.32 μM, atau nisbah kin:2,4-D sebesar 1:15.5, 1:7.8 atau 1:3.9. Setelah 14 hari eksplan dipindahkan ke dalam media pertumbuhan kalus sekunder (SCG) yang terdiri dari media dasar woody plant media (WPM) dengan penambahan 2,4-D 9 uM dan kin 1.16 atau 2.32 μM atau nisbah kin:2,4-D sebesar 1:7.8 atau 1:3.9. Rataan persentase pembentukan embrio somatik primer (ESP) tertinggi diperoleh dari kin 2.32 uM atau nisbah kin:2,4-D 1:3.9 pada media CI dan kin 1.16 uM atau nisbah kin:2,4-D 1:7.8 pada media SCG. Pembentukan dan pendewasaan embrio dilakukan pada media DKW tanpa penambahan asam amino, sedangkan perkecambahan embrio dilakukan pada media DKW dengan penambahan asam amino. Sembilan genotipe kakao (Sca 6, PA 300, UIT 1, ICS 13, GC 7, DR 2, ICCRI 2, Cimanggu 1 dan Cimanggu 2) dan dua jenis eksplan (mahkota bunga, staminoid) menunjukkan respon pembentukan ESP yang berbeda. Respon genotipe sangat ditentukan oleh jenis eksplan yang digunakan. Analisis histologi pada kalus umur 5 minggu menunjukkan ESP berasal dari banyak sel yang terbentuk melalui proses budding. Frekuensi keragaman somaklonal pada planlet yang diregenerasikan dari ESP berdasarkan 19 marka SSR sebesar 16%. Pada tahap selanjutnya dilakukan studi pengembangan metode regenerasi kakao melalui embriogenesis somatik sekunder. Potongan kotiledon ESP dikulturkan pada media WPM yang mengandung beberapa jenis dan konsentrasi sitokinin (kin 1.16 uM, BA 0.22 uM, BA 1.11 uM atau adenin 1.85 uM) dikombinasikan dengan 2,4-D 9 uM untuk menginduksi pembentukan embrio somatik sekunder (ESS). Adenin 1.85 uM menghasilkan rataan persentase iv pembentukan (40%) dan jumlah ESS (2.5) yang lebih tinggi dibandingkan jenis dan konsentrasi sitokinin lainnya. Penambahan asam amino ke dalam media yang mengandung 2,4-D dan adenin meningkatkan jumlah ESS 3.5 kali dibandingkan tanpa asam amino. Tiga klon kakao yang diuji (Sca 6, ICS 13 dan DR 2) menunjukan respon pembentukan ESS yang berbeda, Sca 6 dan ICS 13 menghasilkan persentase pembentukan ESS lebih tinggi 2.9 dan 2.8 kali dibandingkan DR 2. Penggunaan media cair untuk pembentukan dan pendewasaan embrio meningkatkan bobot segar biomassa 4.6 kali dibandingkan media padat. Analisis histologis pada potongan kotiledon ESP 3 minggu setelah dikulturkan pada media induksi ESS menunjukkan ESS berasal dari sel tunggal. Frekuensi keragaman somaklonal yang dihasilkan dari embriogenesis somatik sekunder lebih rendah dibandingkan dari embriogenesis somatik primer yaitu 6%. Hasil studi ini memberikan alternatif metode embriogenesis somatik primer kakao dengan menggunakan kinetin berdasarkan protokol berbasis media DKW. Metode embriogenesis somatik sekunder yang dikembangkan dapat meningkatkan faktor multiplikasi dari ESP sebesar 8 sampai 39 kali, bergantung genotipe. Regenerasi kakao melalui embriogenesis somatik sekunder lebih direkomendasikan baik untuk tujuan pemuliaan maupun perbanyakan karena berasal dari satu sel. Pada tahap selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap tanaman kakao asal embrio somatik (ES) yang telah ada di lapangan untuk mengetahui keragaan tanaman kakao asal ES. Hasil pengamatan menunjukkan tanaman kakao asal ES memiliki arsitektur tanaman seperti tanaman yang berasal dari biji yaitu memiliki pertumbuhan dimorfik, ke atas membentuk tunas ortotrop dan ke samping membentuk cabang plagiotrop, serta membentuk jorget. Mayoritas tanaman umur 1.5 sampai 4 tahun memiliki tinggi jorget 100 sampai 150 cm, hampir sama dengan tinggi jorget pada tanaman kakao asal biji. Tanaman kakao asal ES membentuk bunga dan buah dengan rataan persentase pembentukan bunga dan buah pada tanaman umur 2.5 berturut-turut 34 sampai 100% dan 16 sampai 100%. Tingkat serangan penggerek buah di 3 lokasi pengamatan mencapai 82, 34.8 dan 49.6%, sedangkan busuk buah 2, 4.3 dan 18%. Terdapat keragaman di antara tanaman kakao asal ES dan perbedaan dengan klon referensi pada karakteristik morfologi buah dan pola pita SSR. Kajian yang lebih komprehensif diperlukan untuk memastikan bahwa tanaman kakao asal embrio somatik mempunyai karakteristik tanaman dan hasil yang tidak berbeda dengan tanaman kakao asal benih tradisional yang telah biasa digunakan petani. Keragaman somaklonal pada ES kakao yang telah terindikasi pada studi ini dimanfaatkan untuk mengidentifikasi varian yang resisten terhadap infeksi P. palmivora Butl. Seratus enam puluh dua benih kakao asal ES yang diuji menggunakan metode cakram daun menunjukkan respon yang bervariasi terhadap infeksi P. palmivora. Terdapat 4 benih yang terindikasi resisten, 1 agak resisten dan tidak ada yang terindikasi sangat resisten. Sembilan benih terindikasi memiliki tingkat ketahanan yang lebih baik dibandingkan klon Sca 6. Varian benih yang resisten atau memiliki ketahanan yang lebih baik dari Sca 6 diharapkan dapat menjadi sumber plasma nutfah baru di dalam program pemuliaan kakao. Keyword:embrio somatik primer, embrio somatik sekunder, keragaan tanaman di lapangan, keragaman somaklonal, Theobroma cacao L
Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing. Keyword:
Judul: Model pemberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat) Abstrak:In Indonesia, rice is one of basic needs. The sustainability of rice production will determine food security guarantee, and the efforts to integrated food security and farmer empowerment have become an important issue today. Accordingly, the objective of this study was to analyze the level of participation of farmers in their group and the empowerment of farmers in the management of rice farming and the factors associated with it, and analyze the impact of farmer empowerment to sustainability efforts. Fieldwork was conducted from May to June 2012 in two districts in West Java, namely Karawang and Cianjur Districts by taking the 239 members of the farmer who had attended the farmer field school. The quantitative data were analyzed statistically based the descriptive technique and Structural Equations Modeling (SEM). Qualitative data were collected through in-depth interview and observation to support the quantitative data. The results showed that: (1) the level of the farmer participation in the farmer group and the farmer empowerment were classified as low. The variables that significantly affect the levels of the farmer participation in the farmer group are: intensity of empowerment and personality traits. The variables that significantly affect the levels of the farmer empowerment are: the farmer participation in the farmer group, intensity of empowerment, physical and socioeconomic environment, personality traits, and the available of agricultural information; (2) The prospects for sustainability efforts were classified as low. The level of the farmer empowerment significantly affect to the sustainability of farming; and (3) The increasing level of the farmer empowerment can be obtained by better management of empowerment process, with the increasing the farmer participation in the farmer’s group, strengthen the availability of the agricultural information, and the physical and socio economic environment.The model of the farmer empowerment in managing rice farming are enhanching the farmer participation in the farmer group’s with strengthen the availability of the agricultural information, the physic and socio economic environment, and the farmer personality. Keyword:
Judul: Kemandirian Petani dalam Pen ambilan Keputusan Adopsi lnovasi (Kasus Petani Sayuran di Provinsi Jawa Barat) Abstrak:The research was carried out in West Java Province, and it has been designed to 􀀁n,􀀂i"!r several problems, namely: the farmers autonomy on decision-making of the on of innovation and factors influencing the decision, and empowerment strategy to Jl􀁓J'a.se the farmers autonomy on decision making of the adoption of innovation. The bjective of this research are: (1) to study the level of the farmers autonomy on si n-making of the adoption of innovation and to determine factors related to the armers autonomy, and (2) to formulate effective strategic approach and empowerment ode to increase the farmers autonomy on decision-making of the adoption of innovation The number of sample are 270 people, consist of two strata, stratum I: 60 rogr ssive farmers, stratum II: 210 developing farmers. Those respondents were selected y S atified Random Sampling Method. The data were collected by interview and bse ation. The quantitative data had been analyzed using statistical Spearman orre ation and Structural Equation Model (SEM). The result of the research showed that: (1·) in general, there are cultural changes of egetable farmers from cultivated orientation to the market driven; (2) the level of the arm rs autonomy are in the middle scale, but the level of the farmers autonomy on ecis on-making of the adoption ;0f innovation at progressive farmers are heighter than deve oping farmers; (3) the farmers self-needs-awarness has positive correlation to the fann rs autonomy on decision-making of the adoption of innovation in all of farmers t􀂲l gy, therefore, the future empowerment led to the improvement of the farmer self­need -awarness; and (4) Empowerment with general approach was not effective because of di ferent conditions, problems, and real needs of each farmers tipology, therefore, it need the improvement of strategy and tipology empowerment model oriented to the local ty and client type. Keyword:Adoption; Decision making; Vegetables farmer;
Judul: Karakterisasi Genom Mitokondria Labi-Labi, Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) Abstrak:Runutan nukleotida lengkap genom mitokondria (mtDNA) labi-labi, Dogania subplana, telah dilakukan. Ukuran mtDNA labi-labi adalah 17289 bp. Organisasi, orientasi dan ukuran setiap gen dari 13 gen penyandi protein mtDNA, 22 gen penyandi tRNA dan dua gen penyandi rRNA serta daerah kontrol adalah serupa dengan yang telah ditemukan pada vertebrata lainnya. Panjang daerah kontrol adalah 1820 bp, yang di dalamnya bisa ditemukan tiga motif runutan DNA berulang. Motif pertama dan kedua berturut-turut adalah 15 bp dan 37 bp, yang keduanya berulang secara tandem sampai 728 bp. Motif ketiga adalah ruas TA berulang, yaitu (TA)n dan (ATAlT)n. Motif ketiga ini disebut mitokondria. Analisis terhadap daerah kontrol menemukan adanya domain tengah yang stabil untuk semua anggota Testudines, dan adanya tiga macarn Conserve Sequence Blocks yang homolog dengan daerah kontrol mtDNA vertebrata. Keyword:
Judul: Exploration of Palembang Traditional Food and the Development as Staple Food Enriched with Calcium Snakehead Fish Bones Abstrak:Budaya konsumsi pangan sebagian besar masyarakat masih pada pemenuhan kebutuhan energi untuk melakukan aktivitas secara fisik. Pengertian makanan seringkali “terbatas” pada makanan pokok sumber karbohidrat dan dikenal dengan nasi, padahal masih banyak makanan pokok tradisional lokal, sumber karbohidrat yang dapat menggantikan nasi sebagai sumber energi (Hanafie 2010). Palembang memiliki berbagai makanan pokok tradisional yang terbuat dari sumber karbohidrat lain. Salah satu makanan pokok asli Palembang adalah pempek yang terbuat dari tepung tapioka dan ikan. Produksi pempek cukup tinggi, dan banyak menggunakan daging ikan sehingga menyisakan banyak tulang yang bisa mengganggu kenyamanan lingkungan. Melalui beberapa proses ternyata tulang ikan dapat meningkat nilai gizinya karena mengandung mineral yang cukup tinggi terutama kalsium. Komponen tulang masih mengandung zat gizi yang dapat diolah menjadi pangan tepung tulang sebagai sumber protein, lemak dan mineral. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menganalisis produk pempek bersuplemen tepung tulang ikan gabus yang berpotensi sebagai makanan berkalsium tinggi. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap satu mengeksplorasi semua makanan tradisional Palembang yang masih diminati dan dikonsumsi oleh masyarakat. Tahap kedua adalah pembuatan tepung tulang ikan gabus menjadi fortifikan tinggi kalsium dengan melalui proses kalsinasi. Tahap ketiga adalah pengembangan produk dilakukan melalui tiga tahapan utama, yaitu formulasi, evaluasi sensori, dan penilaian zat gizi. Karakteristik sensori dievaluasi dengan uji penerimaan melibatkan 30 panelis semi terlatih pada atribut warna, aroma, rasa, tekstur, mouthfeel, aftertaste, dan overall menggunakan skala hedonik 1-9. Penilaian kandungan zat gizi dilakukan dengan uji proksimat dan uji bioavailabilitas kalsium dengan uji in-vitro. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara yang bertujuan untuk menggali informasi mengenai makanan tradisional Palembang dan preferensi makanan tradisional Palembang. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil penelitian tahap satu menginventaris 60 jenis makanan tradisional Palembang. Karakteristik dari makanan ini sebagian besar terbuat dari beras, singkong, tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka, dan ikan. Dari 60 jenis ini terpilih 9 makanan berdasar pilihan produsen dan konsumen, yaitu tekwan, laksan, celimpungan, pempek lenjer, pempek adaan, pempek pistel, burgo, lakso, dan model, yang sebagian besar bersumber dari makanan lokal terbuat dari singkong dan turunannya. Sembilan jenis makanan ini kemudian di pilih kembali oleh 48 responden berdasarkan tingkat kesukaan terhadap makanan tradisional, penampilan, tekstur, aroma khas, cita rasa, karena makanan tradisional menyehatkan, dan kemudahan memperoleh makanan tradisional dan yang paling disukai. Pempek lenjer (75,0%) merupakan makanan yang sangat disukai oleh responden. Pempek lenjer merupakan makanan yang paling sering dikonsumsi yaitu 1x per hari sebanyak 16,70%, kemudian pempek lenjer juga di konsumsi 3-6 kali per minggu sebanyak 47,9%. Berdasarkan hal ini maka pempek lenjer dipilih sebagai makanan tradisional Palembang yang difortifikasi. Hasil penelitian tahap dua dilakukan proses kalsinasi untuk mencari hasil fortifikan terbaik dari segi warna, morfologi dan ukuran partikel tepung tulang ikan gabus (Chana striata) dengan menggunakan suhu 500, 600, dan 700oC. Tepung yang terpilih untuk tahap selanjutnya adalah tepung tulang ikan gabus pada proses kalsinasi 700oC karena menghasilkan tepung tulang ikan gabus dengan warna yang lebih baik dan ukuran partikel yang lebih kecil yaitu 1,104-2,101 μm serta kadar kalsium sebesar 34,93%. Penelitian tahap tiga membuat 4 formulasi produk dengan penambahan 0% (F0), 3% (F1), 6% (F2), dan 9% (F3) tepung tulang ikan gabus. Hasilnya pempek lenjer yang paling disukai panelis adalah formula F1 dengan nilai gizi energi 155,15±1,74 kkal, protein 5,08±0,12 g, lemak 1,87±0.04 g, karbohidrat 29,51±0,22 g, kadar abu 2,25±0,01 g, kadar air 61,31±0,39 g, dan kalsium 771,45±3,62 mg per 100 gram. Bioavaibilitas kalsium dalam penelitian ini adalah sebesar 4,24±0,40% dan dengan penambahan cuko bioavaibilitas kalsium meningkat menjadi 5,75±0,42%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah formula terpilih adalah formula dengan penambahan 3% tepung tulang ikan. Penambahan tepung tulang ikan gabus memberikan peningkatan manfaat dari segi kandungan kalsium tanpa perubahan yang berarti pada kenampakan, tekstur, dan aroma pempek. Bumbu asam cuko meningkatkan total bioavailabilitas kalsium. Keyword:calcination, calcium, pempek, snakehead fish bone fluor, traditional food
Judul: Bionanokomposit Edible Coating/Film dari Pati Ubi Kayu, Nanopartikel ZnO dan Ekstrak Bawang Putih dengan Kapasitas Antibakteri Abstrak:Edible coating/film merupakan salah satu teknik pengawetan pangan yang relatif baru. Materi polimer untuk edible coating/film yang potensial adalah yang berbasis pati-patian. Edible film berbasis pati mempunyai kelemahan antara lain film mudah retak, resistensi terhadap air rendah, sifat penghalang terhadap uap air rendah. Penambahan nanopartikel zinc oksida (NP-ZnO) dan ekstrak bawang putih ke dalam film diharapkan dapat meningkatkan sifat mekanis dan fisik serta memiliki aktivitas antibakteri. Pempek merupakan salah satu makanan khas Sumatera Selatan berbahan dasar tapioka dan ikan. Penurunan kualitas pempek akibat aktivitas mikroba terjadi pada penyimpanan lebih dari 16 jam pada suhu ruang. Bakteri dominan yang mengkontaminasi pempek adalah Staphylococcus aureus. Maka dari pada itu, untuk mempertahankan mutu produk pangan salah satunya dengan menggunakan pengemasan edible. Pada saat ini belum ada penelitian yang menggabungkan bahan pengisi berukuran nano dan bahan alami untuk produk makanan seperti pempek. Penelitian ini menggabungkan bahan pengisi yang berukuran nano yakni NP-ZnO dan ekstrak bawang putih sebagai bahan antibakteri yang diinkorporasikan pada bahan film berbasis pati ubi kayu untuk menghasilkan film bionanokomposit yang memiliki kemampuan antibakteri, meningkatkan sifat fisik film dan dapat diaplikasikan ke produk pangan salah satunya pempek. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan aktivitas antibakteri bionanokomposit edible coating dari pati ubi kayu dan NP-ZnO dengan penambahan ekstrak bawang putih, mengetahui karakteristik sifat fisikokimia bionanokomposit edible film dan mengetahui pengaruh aplikasi bionanokomposit edible coating terhadap kualitas dan umur simpan pempek. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dari penelitian ini adalah pembuatan edible coating/film menggunakan bahan pati ubi kayu dengan penambahan nanopartikel ZnO, ekstrak bawang putih dan gliserol. Penambahan NP-ZnO dengan konsentrasi 0, 1 dan 3% (b/b pati), ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 0, 10, 20 dan 30% (v/v larutan), kombinasi antara NP-ZnO dan ekstrak bawang putih dan gliserol dengan konsentrasi 20% dari berat pati. Analisis aktivitas antimikroba edible coating dan karakteristik fisikokimia bionanokomposit edible film dilakukan untuk mendapatkan formula terbaik yang dipakai untuk aplikasi pada produk pangan pempek. Tahap kedua adalah aplikasi larutan edible coating terpilih pada pempek. Pelapisan pempek dilakukan dengan mencelupkan pempek ke dalam larutan coating selama 30 detik dan dikeringanginkan. Kemudian dilakukan pengamatan kerusakan pempek mulai dari jam ke-0, 6, 24 dan 48 pada penyimpanan suhu ruang dan penyimpanan suhu dingin mulai dari jam ke-0, 24 dan 48 terhadap parameter kadar air, pH, total mikroba, total Staphylococcus aureus, total Escherichia coli, total volatil nitrogen, tekstur pempek dan uji organoleptik. Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada setiap perlakuan antara faktor konsentrasi NP-ZnO dan ekstrak bawang putih pada parameter aktivitas antibakteri, ketebalan, perbedaan warna, water absoption, persen pemanjangan dan WVTR serta tidak ada pengaruh nyata pada kuat tarik. Hasil analisis menunjukkan bahwa larutan bionanokomposit edible coating dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan diameter zona hambat terbesar didapat dari larutan edible coating dengan konsentrasi NPZnO 3% dan ekstrak bawang putih 30%. Inkorporasi NP-ZnO dan ekstrak bawang putih ke dalam film pati ubi kayu secara signifikan meningkatkan ketebalan film dan perbedaan warna serta menurunkan nilai water absorption, persen pemanjangan dan WVTR. Analisis morfologi film menunjukkan NP-ZnO dan ekstrak bawang putih tersebar merata pada permukaan film. Tingginya konsentrasi NP-ZnO menyebabkan perubahan struktur pada edible film dan menurunkan derajat kristalinitas. Penggunaan formula bionanokomposit edible coating/film terbaik pada produk pempek yakni larutan bionanokomposit dengan penambahan NP-ZnO 3% dengan ekstrak bawang putih 20% dan larutan bionanokomposit dengan penambahan NP-ZnO 3% dengan ekstrak bawang putih 30%. Adanya penambahan NP-ZnO dan ekstrak bawang putih pada larutan bionanokomposit edible coating yang diaplikasikan pada produk pempek yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin dapat mempengaruhi kadar air, pH, jumlah total mikroba, jumlah koloni S.aureus dan E.coli, TVN, tekstur pempek sehingga efektif digunakan sebagai bahan pengemas. Pempek dengan masa simpan 24 jam masih layak dikonsumsi dengan jumlah mikroba masih di bawah batas maksimum yang disarankan oleh BPOM. Berdasarkan uji organoleptik, penerimaan umum (overall) yang disukai panelis yakni pempek yang dicoating dengan formula larutan NP-ZnO 3% dan ekstrak bawang putih 30%. Dengan demikian, bionanokomposit edible coating/film dari pati ubi kayu, NP-ZnO dan ekstrak bawang putih berpotensi untuk dikembangkan di dalam negeri dan dapat memberi nilai tambah pada masyarakat dan industri. Keyword:bionanokomposit, edible coating/film, ekstrak bawang putih, nanopartikel ZnO, pati ubi kayu
Judul: Steering automation on 4 wheels tractor using LabVIEW and RTK-DGPS (case study: 4 wheels mini tractors) Abstrak:Automation has an important embedded function provided in almost all devices and recently becomes a revolutionary function to agricultural machinery. This research deals with the development of 4 wheels tractor’s steering automation prototype. Identification of principal parameters on tractor steering has been done, i.e. torque inflection, left and right maximum inflection angle of front wheel and steering rotation angle to front wheel inflection ratio. Proximity sensor to sense straight-line trajectory and potentiometer to sense inflection angle of front wheel were used, which are objected as feedback for steering control position. All hardware data acquisition were done through Ni-DAQ hardware interface. Data were processed with labVIEW to instruct the motor driver related to change of direction and speed of steering wheel. The result of the experiments showed that steering control based on proximity sensor gave unsatisfied performance. Maximum deviation on the asphalt straight-line trajectory reached the largest deviation of 6.8 cm outer and 6.1 cm inner. Turn right test at the trajectories, resulted the largest deviation at 4.5 cm outer and 7.0 cm inner, whereas turn left test resulted the largest deviation of 6.2 cm outer and 7.2 cm inner. Steering automation performance of RTK-DGPS testing results Steering automation performance of RTK-DGPS testing results on the asphalt path the deviation occurs, the right path of 223 cm, while the left path as far as 89 cm. The results of the land right deviation of 171 cm, while the left side as far as 415 cm while testing using plow implement. deviations occur for the right and left by 75 cm by 11 cm. While in the second test occurred deviation of 123 cm on the right, while on the left by 56 cm. Keyword:
Judul: Keragaman Morfologi dan Molekuler sebagai Dasar Pelestarian dan Penetapan Rumpun Kerbau Lokal Sulawesi Tenggara Abstrak:Informasi keragaman genetik dan hubungan genetik antar populasi dibutuhkan dalam program pelestarian dan perbaikan genetik kerbau lokal. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis keragaman morfologi, jarak genetik dan hubungan filogenetik antar populasi kerbau lokal Sulawesi Tenggara (Sultra) berdasarkan pendekatan morfologi (2), mengidentifikasi penanda spesifik yang dapat membedakan populasi kerbau lokal Sultra dan populasi kerbau lokal Indonesia lainnya berdasarkan penanda DNA mikrosatelit, dan gen Cyt b DNA mitokondria, (3) mengestimasi jarak genetik dan hubungan filogenetik antar populasi kerbau lokal Sultra dan populasi kerbau lokal Indonesia lainnya berdasarkan keragaman DNA mikrosatelit dan sekeuns gen Cyt b. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) keragaman morfologi dan indeks morfometrik, (2) keragaman genetik DNA mikrosatelit, dan (3) keragaman runutan gen Cyt b DNA mitokondria. Sebanyak 271 ekor kerbau lokal Sultra yang berasal dari populasi Bombana kepulauan (BK), Bombana daratan (BD), Kolaka (KL), dan Konawe (KN) serta sebanyak 798 data morfologi kerbau lokal dari tujuh provinsi lain digunakan dalam penelitian tahap I, meliputi Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Nusa Nusa Nusa Tenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), Kal Tenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), Kal Tenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), Kal Tenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), Kal Tenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), Kal Tenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), KalTenggara Barat (NTB), Kalimantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), imantan Selatan (Kalsel), Jawa Tengah Jateng), BantenBantenBanten BantenBanten (BTN) (BTN)(BTN)(BTN), Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), , Sumatera Utara (Sumut), dan dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau lokal Sultra sebagian besar memiliki bentuk tanduk memanjang ke samping lalu melengkung ke atas. Warna kulit didominasi hitam dan abu-abu gelap, dan kaus kaki berwarna abu-abu gelap dan abu-abu terang, garis punggung datar, dan garis kalung putih ganda lebih dominan daripada garis kalung tunggal, sedangkan unyeng-unyeng tersebar di bagian kepala, punggung, dan pinggang. Bobot badan kerbau jantan berkisar 419.82±35.46 - 373.75±71.23 kg, dan betina berkisar 465.22±103.25 - 355.95±78.49 kg. Keragaman morfometrik tertinggi adalah panjang pinggang (20.44%) untuk jantan dan lebar pinggang untuk betina (12.71%) Hasil analisis indeks morfometrik mengindikasikan bahwa kerbau lokal Sultra tergolong sebagai tipe pedaging dengan ciri tubuh gemuk, lebar dan panjang, kaki pendek, dan memiliki garis punggung yang relatif datar. Jarak genetik antar populasi kerbau lokal Sultra berkisar 0.86616 - 3.48035 yang dikelompokkan menjadi tiga cluster, yaitu cluster KN dan KL, cluster BD, dan cluster BK. Populasi BK, BD, dan KN memiliki peubah penciri ukuran tubuh yang sama dengan populasi kerbau Sulsel, NTB, Jateng, BTN, dan Sumut (lingkar dada). Peubah penciri ukuran tubuh populasi KL adalah panjang badan yang berbeda dengan populasi Kalsel (tinggi pinggul) dan NAD (dalam dada). Sementara peubah penciri bentuk tubuh kerbau BK, KL, dan KN sama dengan Kalsel, Sumut dan NAD (lingkar dada), sedangkan kerbau BD sama dengan Sulsel dan Jateng (panjang badan), tetapi berbeda dengan BTN (lebar pinggul). Sebanyak 72 sampel darah kerbau lokal dari tujuh populasi meliputi populasi BK, BD, KL, KN, Toraja Utara (TR), NTB, dan BTN digunakan dalam penelitian tahap dua. Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode fenol-chloroform dan DNA diamplifikasi dengan teknik PCR. Ukuran alel ditentukan berdasarkan metode the labelled fragment fluorescently dengan menggunakan tiga lokus mikrosatelit (CSSM047, ILSTS011, BM1706), sementara genotyping dilakukan berdasarkan fragment analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau lokal Sultra memiliki alel-alel spesifik yaitu alel B/141 bp dan E/147 bp pada lokus CSSM047 untuk populasi BK, alel G/153 bp pada lokus CSSM047, dan alel M/283 bp pada lokus BM1706 untuk populasi BD, serta alel A/132 bp pada lokus CSSM047 untuk populasi KN. Keragaman DNA mikrosatelit kerbau lokal Sultra relatif tinggi dengan nilai heterozigositas harapan berkisar 0.6089 - 0.7263. Lokus mikrosatelit yang berpotensi digunakan sebagai penanda genetik kerbau adalah lokus CSSM047 untuk populasi BK dan BD, lokus ILSTS011 untuk populasi KL, serta lokus BM1706 untuk populasi KN, TR, NTB dan BTN. Jarak genetik antar tujuh populasi kerbau lokal berkisar 0.1251 - 0.8487. Tujuh populasi kerbau lokal tersebut dikelompokkan menjadi tiga cluster utama, yaitu cluster BTN, cluster NTB, TR, KN, dan KL, serta cluster BD dan BK. Sebanyak 78 runutan gen Cyt b kerbau lokal dari populasi BK, BD, KL, KN, TR, NTB, BTN, dan NAD digunakan dalam penelitian tahap tiga. Analisis runutan gen Cyt b dilakukan dengan teknik multiple sequence alignment analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak genetik antar delapan populasi kerbau lokal berkisar 0.0000 - 0.0022 dan dikelompokkan menjadi dua cluster utama. Cluster pertama meliputi populasi NAD, TR, NTB, BTN, KL, dan KN, sedangkan cluster kedua meliputi populasi KL, KN, BK, dan BD. Ditemukan adanya dua haplotipe utama, yaitu haplotipe 5 yang merepresetasikan kerbau lokal Indonesia yang tersebar di NAD, Jawa, NTB, Toraja Utara dan sebagian Sultra (Kolaka dan Konawe), serta haplotipe 2 yang merepresetasikan kerbau lokal Sultra. Haplotipe BD dan BK bersifat spesifik karena hanya ditemukan pada cluster kedua dan memiliki situs nukleotida spesifik lokasi (g.57C>T). Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa kerbau lokal Sultra khususnya populasi BK dan BD memiliki karakter spesifik lokasi berdasarkan penanda morfologi, DNA mikrosatelit, dan penanda gen Cyt b DNA mitokondria yang dapat dibedakan dengan populasi kerbau lokal Indonesia lainnya. Kerbau BK dan BD layak dikelompokan sebagai rumpun yang berbeda dengan kerbau yang lain dan berpotensi ditetapkan sebagai rumpun baru kerbau lokal Indonesia. Keyword:Keragaman, morfologi, DNA mikrosatelit, gen sitokrom b, kerbau lokal, Sulawesi Tenggara
Judul: Kajian Keragaman Gen MSTN, ADIPOQ, FTO dan EDG1 sebagai Marka Genetik Kualitas Daging pada Sapi Pedaging Indonesia Abstrak:Indonesia memiliki Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) yang melimpah, dimana terdapat empat bangsa sapi yaitu: sapi Bali (Bos javanicus), Zebu (Bos indicus), Taurine (Bos taurus), dan sapi silangan. Bangsa sapi tersebut dibudidayakan sebagai penghasil daging, susu, kulit, dan sebagai ternak kerja. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang telah didomestikasi dari banteng liar (Bibos banteng) di Jawa dan Bali selama ratusan tahun. Zebu diperkenalkan oleh orang India pada awal abad pertama. Beberapa sapi Bos taurus diimpor pada awal abad ke-18 untuk digunakan sebagai sapi perah. Indonesia telah menetapkan 9 bangsa sapi pedaging antara lain: sapi Bali, Madura, Aceh, Sumbawa, Pesisir, Peranakan Ongole (PO), Jabres, dan Sumba Ongole (SO), dan Brahman. Kekayaan SDGT ini perlu dilestarikan, dikembangkan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan demi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak serta memperkuat ketahanan pangan nasional. Kebijakan pengelolaan SDGT yang berkelanjutan merujuk kepada tiga pendekatan, yaitu: Pemurnian dan konservasi ternak, persilangan ternak dan pengembangan bangsa baru. Sapi pedaging Indonesia berpotensi untuk dikembangkan menjadi sapi pedaging unggul melalui proses seleksi dan persilangan. Dewasa ini telah berkembang seleksi berdasarkan marka genetik atau disebut marker assisted selection (MAS) yang hasilnya lebih akurat, efektif dan efisien. Proses seleksi dapat dilakukan pada kandidat gen-gen yang berasosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging. Beberapa gen yang potensial untuk diseleksi antara lain: gen myostatin (MSTN), gen adiponectin (ADIPOQ), gen fat mass and obesity associated (FTO), dan gen endothelial differentiation sphingolipid G-proteincoupled receptor 1 (EDG1) yang telah banyak dilaporkan pada bangsa sapi Bos taurus maupun Bos indicus. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi keragaman SNP gen MSTN, ADIPOQ, FTO dan EDG1 pada sapi pedaging Indonesia. 2) Memvalidasi keragaman SNP baru yang ditemukan pada sapi pedaging Indonesia. 3) Mengasosiasikan keragaman SNP baru yang polimorfik dengan peubah pertumbuhan dan kualitas daging pada sapi pedaging Indonesia. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yaitu mengidentifikasi keragaman gen MSTN, ADIPOQ, FTO dan EDG1 pada bangsa sapi pedaging Indonesia. Penelitian tahap pertama dilakukan dengan metode polymerase chain reaction-resticted fragment length polymorphism (PCR-RFLP) dan direct sequencing. Tahap kedua yaitu memvalidasi dan mengasosiasikan gen-gen yang polimorfik dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging pada sapi Bali. Data sifat pertumbuhan diperoleh dari hasil recording dan pengukuran langsung. Data kualitas daging diperoleh dengan metode estimasi menggunakan alat ultrasonografi. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa keragaman SNP g.- 371T>A gen MSTN di bagian promotor bersifat polimorfik pada sapi Katingan, sapi Sumba Ongole (SO) dan sapi Simmental dengan ditemukan tiga genotipe (TT, TA, AA) dan dua alel T dan A. Sedangkan pada sapi Pasundan, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Brahman, sapi Limousin dan sapi Bali bersifat monomorfik hanya bergenotipe TT dan alel T. Keragaman SNP indel g.81 966 364D>I gen ADIPOQ di bagian promotor bersifat monomorfik pada semua bangsa sapi pedaging Indonesia, hanya ditemukan satu genotipe DD dan satu alel D. Keragaman SNP g.125 550A>T di ekson 3 gen FTO bersifat polimorfik pada sapi Madura, Pesisir, Katingan, PO, Pasundan, SO, Brahman, Simmental dan Limousin dengan ditemukan tiga genotipe (AA, AT, TT) dan dua alel (A dan T). Sedangkan pada sapi Bali bersifat monomorfik bergenotipe AA dan alel A. Keragaman SNP c.-312A>G gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Madura, sapi Pasundan, sapi Pesisir, sapi Limousin, sapi Brahman dengan ditemukan dua genotipe (AA dan AG) dan dua alel A dan G. Sementara pada sapi Simmental, sapi PO, sapi Katingan, sapi SO dan sapi Bali bersifat monomorfik bergenotipe AA dan alel A. Hasil direct sequencing sapi Bali ditemukan 3 kandidat SNP baru (novel SNP) yaitu: c.-399C>T, c.-326C>G dan c.-273C>G gen EDG1 di bagian 5’UTR. Ketiga SNP tersebut diidentifikasi keragamannya dan dilanjutkan ke tahap asosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging jika bersifat polimorfik. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa keragaman SNP c.- 399C>T gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Bali dengan ditemukan dua genotipe CC dan CT dan dua alel C dan T. Sedangkan pada sapi PO, sapi Brahman dan sapi Limousin bersifat monomorfik bergenotipe TT dan beralel T. keragaman SNP c.-326C>G gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Bali dengan ditemukan dua genotipe CC dan CG dan dua alel C dan G. Sedangkan pada sapi PO, sapi Brahman dan sapi Limousin bersifat monomorfik bergenotipe CC dan beralel C. keragaman SNP c.-273C>G gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Bali dengan ditemukan tiga genotipe (CC, CG dan GG), dua alel C dan G. Sedangkan pada sapi PO, sapi Brahman dan sapi Limousin bersifat monomorfik bergenotipe GG dan beralel G. Hasil analisis asosiasi SNP c.-399C>T dan c.-326C>G tidak berasosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging sapi Bali. Sedangkan SNP c.-273C>G memiliki asosiasi yang signifikan (P<0.05) dengan tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskular sapi Bali. Sapi yang bergenotipe GG memiliki tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskuler yang lebih tinggi dibanding yang bergenotipe CC dan CG. Kesimpulan penelitian ini yaitu SNP g.-371T>A gen MSTN di bagian promotor bersifat polimorfik pada sapi Katingan, sapi SO dan sapi Simmental. SNP indel g.81 966 364D>I Gen ADIPOQ di bagian promotor bersifat monomorfik pada sapi potong Indonesia. SNP c.-312A>G gen EDG1 di bagian 5’UTR bersifat polimorfik pada sapi Madura, sapi Pasundan, sapi Pesisir, sapi Limousin, sapi Brahman. SNP g.125 550A>T di ekson 3 gen FTO bersifat polimorfik pada sapi Sapi Madura, Pesisir, Katingan, PO, Pasundan, SO, Brahman, Simmental dan Limousin. Pada sapi Bali ditemukan 3 kandidat SNP baru di posisi c.-399C>T, c.- 326C>G dan c.-273C>G gen EDG1 di bagian 5’UTR yang bersifat polimorfik. SNP c.-273C>G berpengaruh signifikan terhadap tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskular sapi Bali. Sapi Bali yang bergenotipe GG memiliki tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskular yang lebih tinggi dibanding yang bergenotipe CC dan CG. SNP c.-273C>G gen EDG1 bagian 5’UTR berpotensi sebagai kandidat penciri genetik sifat tebal lemak punggung dan persentase lemak intramuskular pada sapi Bali. Keyword:Sapi Bali, kualitas daging, lemak intramuskular, SNP c.-273C>G gen EDG1
Judul: The impact of oil fuel price subsidy policy on fiscal and national income performance Abstrak:The objectives of this study was to analyze the impact of oil fuel price subsidy policy on fiscal and national income performance. A simultaneous equestions econometric model of oil fuel price subsidy was estimated using Two – Stage Least Squares (2SLS) method and SYSLIN procedure for the data set period of 1987-2005. The validation model of the oil fuel price subsidy policy used NEWTON method and SIMNLIN procedure. The government policy to increase oil fuel price subsidy showed that surplus of balance of trade was decreased, and the economic growth was decreased. However, the number of poor people was decreased because the inflation rate was decreased. The government policy to decrease oil fuel price subsidy showed that surplus of balance of trade was increased, fiscal deficit was decreased, and the economic growth was increased. However, the number of poor of people was decreased because inflation rate was decreased and income was increased. As the conclusion, the government policy to decrease oil fuel price subsidy was need to increase the surplus of balance of trade, decrease the deficit fiscal, increase the economic growth, and decrease the number of poor people. Keyword:
Judul: Formation of Amyloid Fibrils from Bogor Nut [Vigna subterranea (L.) Verdc.] Protein Isolates, 7S Globulin, and 11S Globulin Abstrak:One of the alternatives to enhance the benefits of Bogor nut which had examined in this dissertation is modifying nut protein to be functioned as a food ingredient. The globular structure of nut protein is modified into fibrillar structure by fibrillation. The fibrillation process of nut protein is carried out by giving special treatment in vitro. These treatments include giving temperature above denaturation temperature, low pH, and low ionic strength. This condition causes the peptide fragments resulting from protein hydrolysis will aggregate into length and forming semi flexible fibrils, hereinafter is referred to as amyloid fibrils. The changes of proteins conformation from globular to fibrillar will cause physical and chemical properties changes on the fibrils surface, thus providing different functions than its globular proteins. These structural changes resulted in an increase of the fibril solution viscosity, changes of flow behavior (rheology), and also surface properties of the fibrils. Thus, fibrillation can increase the protein functional characteristics to be developed as food ingredient according to the needs for processed food. The first stage of the research was preparing the beans and flour of Bogor nut. After 120 days of planting, fresh Bogor nut pods are harvested and then to be processed into Bogor nut flour. From 100 kg of fresh pods, it was obtained about 18.65 kg of Bogor nut flour, or from 100 kg of dry beans, 91.7 kg of Bogor nut flour was obtained. The protein content of nut flour is 21.66% (w/w) and the fat content is around 8.76%. The low-fat content is very beneficial to the fat extraction process, making it more economical. Thus, Bogor bean flour becomes a potential protein source to be isolated and fractionated. The second stage, through gradual pH adjustment starting from pH 6.4 to precipitate the 11S globulin, then followed by pH adjustment on the supernatant to pH 4.8 to precipitate the 7S globulin, this research succeeded in obtaining the protein isolate of Bogor nut, as well as the globulin fraction 11S and 7S which are purer as an ingredient for the formation of amyloid fibrils. In relation to the characteristics of protein sedimentation (the term S = Svedberg Unit), this research also studied the effect of globulin deposition at different centrifuge speeds, on 10,000 ×g and 19,000 ×g. The results showed that 10,000 ×g centrifuge speed was more economical and capable of harvesting isolates and globulin (PI-10, 7SG-10, 11SG-10) with higher protein yield and protein content compared to 19,000 ×g centrifuge speed (PI-19, 7SG -19, 11SG-19). The third stage, the six types of isolates and globulins that were extracted from the protein of Bogor Nut (PI-10, 7SG-10, 11SG-10, PI-19, 7SG-19, 11SG-19) has succeeded in forming amyloid fibril. Through various treatments such as the temperature of 65, 75, 85 oC, and heating duration of 6, 12, 18, 24, 30 hours, has obtained process conditions that produce a significant number of fibrils, which are on temperature 85 oC, 24 hours of heating duration for 1% concentration, 21 hours heating duration for 2% concentration, medium with pH 2, and medium agitation of 150 stokes per minute. The forming of amyloid fibril is monitored and identified integrately through the viscosity-increasing of the fibril solution with rheometer, morphology analysis of the fibril with TEM (Transmission Electron Microscopy), presence of beta-sheet on the fibril structure with FTIR (Fourier Transform Infrared spectroscopy) test, and the ability of the fibrils to bind specific dye of congo red with spectroscopy assay. Integrated identification has proven that fibrils from globulin 7S and 11S of Bogor Nut are a kind of fibril that has amyloid fibril characteristics. From the research result datas, it is proposed a formation mechanism of amyloid fibril globulin 11S from Bogor Nut through the way: 1) globular structures opening by heat; 2) hydrolysis process by low pH, so the polypeptide is cut into peptide fragments; 3) peptide aggregation process by low ionic strength medium, so among the peptide fragments aggregate to form an aggregate/fibril; 4) adequacy of the initial protein concentration or adequacy of the heating duration, the fibrillation process continues into amyloid fibrils. The fourth stage is directed to isolate 11SG-10 fibrils through filtration method using microfilter with 3kDa molecular weight cut-off, centrifugation on 3500 ×g speed for 15 minutes at 4 oC temperature, fractionation of fibrils using gel filtration chromatography of Sephadex G-100-120 and spectroscopy at 214 nm and 280 nm wavelengths. The obtained fibril fractions were characterized by analysis of the hydrolysis profile with SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Poly-Acrylamide Gel Electrophoresis) and identification of the presence of ß-sheets with FTIR. The results of the amyloid fibrils isolation-fractionation from the 11S globulin produced four fibril fractions. Through FTIR spectra analysis and SDS PAGE analysis, it is predicted that the formation of amyloid fibrils of 11S globulin will occur gradually, beginning with the formation of ß -sheets from the F4 fraction with a 9 kDa polypeptide molecular weight. Then followed by ß-sheets from the F3 fraction with ß-strands of 9, 13, and 18 kDa molecular weight. This is followed by the formation of ß-sheets from the F2 fraction and from the F1 fraction, which each of them is composed of ß-strands with a molecular weight of about 9 kDa. Some novelties of this dissertation research include: 1) Bogor nut as local wisdom, has never been used as a source of 7S and 11S globulin for further modification and development; 2) proving the formation of amyloid fibrils globulin Bogor nut was carried out by integrating several analytical methods (analysis of the fibril solution viscosity, analysis of the fibril morphology, analysis of the hydrolysis profile, identification of the ß-sheet presence on the fibril structure, and identification of the amyloid fibrils properties); 3) the formation mechanism of amyloid fibrils globulin Bogor nut; 4) the method of amyloid fibrils formation in vitro from protein isolates, 7S globulin and 11S globulin of Bogor nut; 5) the modification approach of the proteins functional characteristics that have been carried out using chemistry conventionally such as cross-linking, is replaced by a new approach that is amyloid fibrils formation (fibrillation). Therefore, this research provides new prospects in an effort to modify protein components that have characteristics in accordance with the processed food needs. Keyword:amyloid fibrils, Bogor nut, isolation of 7S and 11S globulin, rheometerSDS PAGE-TEM-FTIR-CR spectroscopy assay, Gel filtration chromatography
Judul: Isolasi dan identifikasi mikroorganisme indigenus dan aplikasinya pada fermentasi jagung serta karakterisasi sifat fisikokimia tepung yang dihasilkan Abstrak:Corn is an important carbohydrate source in Indonesia. Local white corn is currently being developed including Anoman 1 (high amylose) and Pulut Harapan (low amylose) varieties. However, the utilization of corn flours and/or starches in native form have a less desirable physicochemical properties, especially with regards to retrogradation, syneresis, and low stability of pasta at high temperature and low pH properties. Consequently, there is a need to modify flour properties to increase the utilization. Traditionally, corn flour is made by soaking corn kernels in water. The spontaneous fermentation occurred during soaking and affected the physicochemical properties, but it’s difficult to achieve a consistent product. The purpose of this study to identify microorganisms that play a role in the fermentation process of corn, as well as the process of fermentation with the addition of a starter culture and studied the physicochemical properties of corn flour produced. The research was conducted in : (1) to isolate and identify microorganims which the role play during spontaneous fermentation of white local corn of Anoman 1 variety; (2) to design a starter culture of the microorganisms isolated to use for a controlled fermentation; (3) do the fermentation by adding a starter culture and characterize physicochemical properties of corn flour produced. Treatments consisted of: Spontaneous fermentation, i.e. water soaking of corn grits (as a control, SF); and fermentation with added starter culture containing microbes previously isolated without toxigenic microbe (CC); and (AC) fermentation of (CC) with additional amylolytic microbes after 16 hours of fermentation. The number of each microorganisms that added were 106 CFU / mL; (4) to study the physicochemical properties of corn flours of Anoman1 and Pulut Harapan varieties produced. Observations were done at 0, 36, 48, and 72 hours fermentation. The results showed that there were 16 microorganisms were identified included 8 species of molds (Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum), 3 species of yeasts (Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua), and 5 species of lactic acid bacteria, LAB (Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, L. brevis1, L. plantarum1b, and L. paracasei ssp paracasei3). Four molds and one yeast were amylolytic while none of the lactid acid bacteria (LAB). One from 8 species of molds identified was producing aflatoxin i.e. Aspergillus flavus. While all of yeasts and LAB species identified was non-toxigenic. So, the Aspergillus flavus was not used as a starter culture. All of non-toxigenic microbes identified, there were three (3) species of mold (Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum) and one (1) species of yeast (Candida famata) that were amylolytic, while all of LAB identified were non-amylolytic. The amylase activity changed during spontaneous fermentation (SF), where the activity was a maximum at 12 hours of fermentation. After that activity tended to decrease up to 72 hours of fermentation. To study the influenced of amylase activity to the flour during fermentation, was made the amylolytic culture that added after 16 hours fermentation to increase the activity . In general it can be concluded that the fermentation process caused the changes in the physicochemical properties of corn flour. Fermentation with the addition of a starter culture, either (1) a complete culture, i.e. microorgaisms cultures consisting of all types of microbes were identified, except Aspergillus flavus (CC) and (2) CC fermentation with the addition of amylolytic culture (culture consisting of molds and yeast amylolytic ) after 16 hours fermentation (AC), increased the number of molds and yeasts in the beginning process of fermentation up on 72 hours of fermentation, compared to the number of molds and yeasts in spontaneous fermentation (SF), but the addition of a starter culture is only increasing the number of LAB at the beginning of fermentation and did not after 36 hours until the end of fermentation. Concluded that spontaneously, LAB growth is already high enough so that the addition of LAB starter cultures had no effect on the number of LAB during fermentation. The number of BAL correlated with the pH value of water and the pH of corn flours produced, thus affecting some physicochemical properties The fermentation process caused to reduce protein, fat, ash and crude fiber contain from white corn of flour Anoman 1 and Pulut Harapan varieties. Enzyme activity during the fermentation decreased in amylose content of Anoman 1 four, but the 36CC fermentation and 48CC tended to increase the amylose content of Pulut Harapan flour. The 72 hours fermentation process affected the pasting properties of white corn flour of Anoman 1 dan Pulut Harapan varieties resulted, i.e. increased the peak, breakdown, final, and setback viscosities. AC resulted in corn flour of Anoman I (high amylose) with lower values of peak (PV), breakdown (BV), final (FV), and setback viscosities (SV) than U, SF and CC. While for corn flour of Pulut Harapan variety (high amylopectin), AC fermentation resulted in flour with higher value of PV, BV, FV, and SV than U, SF and CC. AC treatment could improve the stability of pastes of flour that contain high amylose (Anoman 1) during cooling, but instead lowers the stability of pastes of flour that contain high amylopectin (Pulut Harapan) when cooled, except the flour of Pulut Harapan that treated 72AC. Pulut Harapan flour that has been treated 72AC resulted the final viscosity and setback viscosity lower than 72SF and 72CC. The 72AC treatment seemed to increase the stability of the pastes containing high amylose starch during heating and cooling, but instead lowers the stability of pastes containing high amylopectin during heating and cooling for up to 48 hours. At 72 hours of fermentation treatments flour paste 72AC improve stability during cooling. The fermentation process affected the physical properties of flour produced, where the addition of a starter culture tended to increase the gel strength of Anoman 1 flour during fermentation where the effect of the gel treatment AC higher than CC that higher than SF. The gel strength of the Anoman 1 flour tended to be higher than Pulut Harapan. It is associated with a high amylose content in starch Anoman 1. Fermentation time tended to increase the stickiness of the gel, but the addition of a starter culture (CC and AC) tended to decrease the stickiness of the gel from Pulut Harapan flour, where the addition of AC treatment resulted a higher reduction than CC. Fermentation time tended to increase the whiteness degree of the two varieties of white flour with the decreased in protein content. Water absorption capacity seemed to increase during fermentation especially Anoman 1 flour and oil absorption capacity tended to decrease during fermentation. Keyword:isolation, identification, microorganisms, physicochemical properties
Judul: Pedagangan Perantara dan Peningkatan Peran Perempuan Dalam Sistem Perekonomian Pesisir Kasus Desa Cemera Labat, Kecamatan Kapuas Kuala, Kabupaten Kapuas, Propinsi Kalimantan Tengah Abstrak:Pedagang perantara dan perempuan adalah orang-orang yang mempunyai perah yang strategis dalam sistem perekonomian pesisir. Pedagang perantara merupakan penghubung bagi pedagang lain untuk mengakses tangkapan nelayan dan berjasa mengembangkan sektor informasi bagi istri nelayan dan anggota rumah tangga lainnya. perempuan telah memberikan kontibusi yang besar bagi perekonomian keluarga khususnya dan perekonomian pesisir umumnya dengan ketertiban mereka dalam berbagai kegiatan ekonomi. Keyword:
Judul: Strategic HR Role in Facing the Industry Environment Turbulence: Case Study at Petrochemical Industry Abstrak:Perubahan akan selalu terjadi dan hal ini membentuk turbulensi (turbulence) bagi lingkungan bisnis dan kondisi ini menjadikan pelaku bisnis harus meningkatkan kemampuannya untuk tetap dapat bersaing dan bertahan di dalam kompetisi yang tinggi. Begitu juga, kinerja organisasi akan optimal jika ada kesesuaian antara organisasi dengan lingkungan serta jika kesenjangan strategik (strategic gap) itu nol (Ansoff dan McDonnell, 1990). Jika organisasi melakukan perencanaan strategik dengan baik, maka salah satu faktor yang harus dianalisis adalah lingkungan luar (Wheelen dan Hunger, 2006), yang tujuannya untuk mengukur dan memahami kondisi lingkungan luar yang turbulen dan pengaruhnya pada organisasi (ancaman dan peluang). Setiap organisasi bisnis memiliki karakteristiknya sendiri berdasarkan jenis industri dimana ia berada dan oleh karenanya tingkat pengaruh lingkungan terhadap organisasi bisnis juga berbeda-beda. Ada lima tingkat karakter turbulensi dari industri sebagai berikut (Ansoff dan McDonnell, 1990): Berulang, Berkembang, Berubah, Terputus dan Mengejutkan. Dengan mengukur dan mengantisipasi tingkatan turbulensi tersebut organisasi bisnis dapat menyesuaikan dan menyusun perencanaan strategi bisnisnya. Salah satu strategi fungsional yang penting dalam mendukung strategi perusahaan adalah strategi manajemen sumberdaya manusia (MSDM). Saat ini masih banyak perusahaan yang menerapkan MSDM yang hanya berfokus pada administrasi kepersonaliaan saja. Biaya menjadi fokus utama yang harus ditekan sekecil-kecilnya sehingga tidak ada ruang untuk melakukan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM). Faktor lainnya adalah kurangnya pemahaman manajer SDM mengenai kegiatan bisnis perusahaan dan strateginya sehingga tidak ada keterkaitan yang erat antara strategi SDM dengan strategi perusahaan. Perencanaan strategi SDM tidak dilakukan dengan proses yang baik menjadikan fungsi SDM tidak strategik sehingga fungsi SDM tidak dapat memberikan banyak nilai tambah bagi organisasi. Dalam penelitian ini, model peran MSDM yang digunakan adalah (Dave Ulrich, 1997) : peran MSDM sebagai strategic partner, change agent, employee champion, dan administrative expert. Proses pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan, kuesioner, wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus. Data-data yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis untuk merancang peran MSDM strategik dalam menghadapi turbulensi lingkungan perusahaan. Analisis dilakukan sebagai berikut : 1. Melakukan analisis terhadap tingkat turbulensi lingkungan tujuh perusahaan industri petrokimia. 2. Melakukan analisis terhadap peran MSDM strategik. 3. Merancang peran MSDM strategik yang sesuai dengan tingkat turbulensi lingkungan perusahaan. Manajemen seluruh perusahaan melakukan proses penyusunan rencana bisnis strategik, sehingga peran MSDM strategik pada seluruh perusahaan responden dipengaruhi oleh rencana bisnis perusahaan dan rencana bisnis perusahaan dipengaruhi oleh tingkat turbulensi lingkungan industri petrokimia. Analisis tingkat turbulensi tujuh perusahaan petrokimia menunjukkan bahwa tingkat turbulensi ketujuh perusahan petrokimia konsisten berada pada dua karakter tingkat turbulensi, yakni: 1) Berkembang, tingkat dimana karakter turbulensi lingkungan berkembang sehingga terdapat dampak kecil perubahan lingkungan yang mempengaruhi strategi perusahaan walaupun tidak terlalu secara nyata; serta 2) Berubah, tingkat dimana kondisi turbulensi lingkungan berada pada posisi mulai banyak perubahan, sehingga pengaruhnya pada strategi perusahaan mulai masuk pada tahap menengah. Namun demikian, karakter turbulensi Berkembang lebih dominan. Analisis Peran MSDM Strategik menunjukkan bahwa peran administrative expert merupakan peran yang lebih dominan karena apabila tidak menjadi pilihan dengan nilai tertinggi maka administrative expert menjadi pilihan kedua. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi kelompok terfokus, diketahui bahwa peran MSDM yang utama pada tujuh perusahaan petrokimia adalah administrative expert karena penerapan sistem dan prosedur administrasi SDM merupakan standar minimum yang sudah menjadi komitmen semua perusahaan responden dalam penerapan manajemen mutu. Jika analisis dilakukan dengan menggunakan data persentase total perusahaan untuk peran MSDM dan total rata-rata seluruh perusahaan untuk tingkat turbulensi, maka nilai tertinggi peran MSDM sebesar 27,2 ada pada peran administrative expert. Sedangkan tingkat turbulensi yang dominan adalah Berkembang. Peran MSDM strategik yang sesuai dengan tingkat turbulensi Berkembang adalah komposisi keempat peran yang tidak berbeda banyak perannya yang dimulai dari urutan yang lebih tinggi hingga urutan yang lebih rendah sebagai berikut: administrative expert, employee champion, change agent dan strategic partner. Hasil penelitian ini memberikan implikasi manajerial sebagai berikut : 1. Implikasi dari tingkat turbulensi yang memiliki karakter Berkembang adalah bahwa perusahaan agar dapat memanfaatkan situasi lingkungan yang cenderung stabil ini untuk fokus pada hal-hal yang cukup besar pengaruhnya terhadap perusahaan, yakni strategi dalam hal menghadapi ketersediaan dan pengadaan bahan baku utama, memaksimumkan penggunaan kapasitas produksi, peningkatan kualitas produk dan sistem distribusinya serta mengamati perilaku konsumen dan mengelola permintaannya. 2. Hasil analisis peran MSDM strategik pada perusahaan responden memeperlihatkan peran yang tidak berbeda banyak dimana dominasi berada pada peran administrative expert. Peran ini memberikan implikasi kepada perusahaan dan fungsi SDM untuk lebih meningkatkan kualitas mutu administrasi, sistem dan prosedur yang menyangkut seluruh proses MSDM strategik. 3. Analisis telah menghasilkan peran MSDM strategik (administrative expert) yang sesuai dengan tingkat turbulensi perusahaan petrokimia (Berkembang). Implikasinya adalah agar perusahaan dan fungsi SDM dapat lebih fokus dalam menyusun rencana bisnisnya sesuai dengan karakter turbulensi lingkungan perusahaan dan peran MSDM strategik serta mempertahankan konsistensi penerapan strategi saat ini dan meningkatkan kualitas proses analisis tingkat turbulensi serta analisis peran MSDM strategik, sehingga proses penyusunan rencana bisnis perusahaan dan proses penyusunan rencana bisnis SDM dapat menghasilkan strategi yang lebih baik. Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Tingkat turbulensi tujuh perusahaan petrokimia apabila dilihat satu persatu berada pada dua tingkatan, yakni Berkembang dan Berubah, dimana tingkat turbulensi lingkungan yang lebih dominan adalah Berkembang. Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus juga memberikan informasi bahwa pada dasarnya tingkat turbulensi yang dominan adalah Berkembang. Namun dikarenakan adanya kondisi dan situasi khusus pada tiga perusahaan (Popyprima, Polypet dan Tripolyta) maka tingkat turbulensinya berada pada karakter Berubah. Penelitian ini menemukan bahwa tidak semua perusahaan yang telah beradaptasi dengan lingkungannya dapat bertahan seperti Polyprima. Penyebab utamanya adalah kesulitan masalah keuangan. Penelitian ini juga menemukan bahwa ternyata masih ada beberapa variabel turbulensi yang mempengaruhi tingkat turbulensi perusahaan industri petrokimia, yakni (1) besarnya posisi tawar pemasok bahan baku utama, dan (2) pengaruh perusahaan induk terhadap strategi dan operasional beberapa perusahaan yang memiliki perusahaan induk. 2. Peran MSDM strategik lebih dominan pada peran administrative expert namun demikian setiap perusahaan memperlihatkan komposisi persentase keempat peran tersebut tidak banyak berbeda, yakni: administrative expert (27,2 %), employee champion (25,2 %), change agent (23,9 %) dan strategic partner (23,7 %) 3. Peran MSDM strategik yang sesuai dengan tingkat turbulensi lingkungan tujuh perusahaan industri petrokimia disimpulkan dari hasil analisis tingkat turbulensi lingkungan dan hasil analisis peran MSDM strategik, yakni bahwa tingkat turbulensi lingkungan memiliki karakter yang dominan pada karakter Berkembang, dan peran MSDM strategik yang sesuai dengan tingkat turbulensi tersebut adalah peran yang dominan pada administrative expert, namun tidak berbeda banyak dengan peran lainnya dimana urutan pertama tertinggi dan terakhir adalah: administrative expert, employee champion, change agent dan strategic partner. Penelitian ini juga menemukan bahwa ada beberapa variabel lain yang juga mempengaruhi tingkat turbulensi industri petrokimia, serta adanya situasi dan kondisi tertentu yang juga mempengaruhi strategi dan peran MSDM. Saran untuk penelitian lebih lanjut sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan penelitian pada kelompok industri yang berbeda, seperti pada industri yang memproduksi barang konsumsi, industri jasa, industri keuangan dan organisasi nir-laba, baik dilakukan dalam satu kelompok industri maupun dilakukan antar kelompok industri yang berbeda. 2. Melakukan penelitian dengan menambahkan variabel-variabel turbulensi yang sesuai dengan industri yang diteliti, sehingga hasil analisis dapat menampilkan sudut pandang yang beragam. 3. Diperlukan penelitian yang sama menurut beragam model peran MSDM yang dapat dijadikan acuan sebagai bahan analisis, sehingga dapat lebih memperkaya proses analisis dan hasil penelitiannya., The performance of an organization would be optimal when there is a harmony between the business organization with its surrounding environment, aligned with no strategic gap. Hence in formulating a good strategic planning, one of the crucial factors to be analyzed is the external factors outside an organization, whereby the purpose is to measure and understand the behaviors and effects of those turbulence external environments towards the organization. There are five level of environment turbulence: Repetitive, Expanding, Changing, Discontinuous and Surprising (Ansoff dan McDonnell, 1990). By evaluating and anticipating these 5 levels of environment turbulences, the business organization would be able to design its business strategic planning effectively. One of the important functional strategies supporting the core business functionality is the Strategic Human Resources Management. When the strategic planning process in Strategic HR Management is not done accordingly, this unit would not function in the most effective way, which resulted in less or no added-value contributed to the organization. In this research, the role models of the Strategic HR Management are described and categorized as the following (Dave Ulrich, 1997): strategic partner, change agent, employee champion, and administrative expert. This research is using a qualitative-based analysis, in which the information or data used is gathered through field/participant observation, questionnaires, in depth interviews, and focus group discussion. From this research, it can be concluded that the level of environment turbulence in seven petrochemical industry companies are Expanding and Changing, but the most dominant level of environment turbulence in seven petrochemical industry companies is Expanding. Also, it shows that not all companies that has adapted with its surrounding environment are able to survive and in actuality, there are additional variables affecting the turbulence level of petrochemical industry companies. On the other hand, the role of Strategic HR Management, which matches the turbulence level of Expanding, are administrative expert and employee champion, but the dominant is on the role as administrative expert, although the other roles are as important with level of suitability from highest to lowest is: administrative expert, employee champion, change agent, and strategic partner. This research has shown that there are several other variables which affect the level of environment turbulence in a petrochemical industry company, along with certain situations and conditions which are affecting the strategic planning process and role of Strategic HR Management. Keyword:strategic management, environment turbulence, strategic HR management, HR Role, MSDM, manajemen sumberdaya manusia
Judul: Rancang Bangun Model Manajemen Perubahan pada Era Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity (VUCA) Abstrak:Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity (VUCA) adalah gambaran situasi dunia saat ini. VUCA berkaitan dengan cara organisasi melihat kondisi ketika membuat keputusan, merencanakan, mengelola risiko, mendorong perubahan dan memecahkan masalah (Rachmawati, 2018). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk (1) menguji dan menganalisis pengaruh antar variabel yaitu koordinasi dan perencanaan strategik terhadap kinerja organisasi; (2) menguji dan menganalisis pengaruh manajemen perubahan dalam memediasi koordinasi dan perencanaan strategik terhadap kinerja organisasi; (3) merumuskan rancang bangun model manajemen perubahan pada era VUCA serta (4) menyusun dan menentukan strategi pada era VUCA. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah (1) kuantitatif deskriptif dengan alat analisis Structural Equation Modelling (SEM) dan (2) kualitatif deskriptif dengan alat analisis Scenario Planning (SP). Untuk analisis Structural Equation Modelling (SEM), data penelitian diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh 207 responden dengan metodenya yaitu purposive sampling. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah variabel koordinasi, perencanaan strategik, manajemen perubahan dan kinerja organisasi. Untuk analisis Scenario Planning (SP), data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam (in depth interview), analisis aspek lingkungan internal dan analisis aspek lingkungan eksternal. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2021 sampai dengan bulan Juli 2022. Hasil penelitian menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan bahwa variabel koordinasi dan perencanaan strategik tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi. Variabel manajemen perubahan sebagai variabel mediasi ternyata berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi. Untuk hasil penelitian menggunakan Scenario Planning (SP) menunjukkan bahwa rancang bangun model manajemen perubahan pada era VUCA yaitu (1) pembentukan satuan tugas sub gugus tugas Covid-19; (2) pembentukan Pusat Intelijen Medik; (3) pembangunan Medical Intelligence; (4) pengembangan program studi dan jurusan di Smart Campus STIN dan (5) pengembangan laboratorium di Smart Campus STIN. Untuk menyusun dan menentukan strategi jangka panjang pada era VUCA diperoleh hasil sebagai berikut: (1) merancang transformasi perubahan desain struktur organisasi; (2) merancang penyediaan SDM intelijen melalui penambahan jenjang pendidikan tinggi dan pengembangan program studi dan jurusan di Smart Campus STIN; (3) merancang penyediaan laboratorium di Smart Campus STIN; (4) merancang penyediaan fasilitas kesehatan; (5) merancang peta jalan pengembangan infrastruktur dan teknologi serta (6) merancang peta jalan kegiatan intelijen. Keyword:Kinerja Organisasi, Koordinasi, Manajemen Perubahan, Perencanaan Strategik, Scenario Planning dan Structural Equation Modelling
Judul: Penanaman jamur merang [Volvariella volvacea (Bull. Ex. Fr.) Sing.] di sekitar Bogor - Jakarta, khususnya mengenai aspek lima hari pertama setelah penyusunan bedengan Abstrak:Volvariella volvacea (Bull. Ex Fr.) Sing. dibudidayakan di Indonesia pada merang sedang di luar negeri biasanya pada jerami. Penanaman pada merang dilakukan dalam sebuah bangal, terbuat dari bambu, bilik dan kirai atau di luar di pekarangan tanpa atau dengan penutup. Lapisan merang dan lapisan abu-arang tersusun silih-berganti menjadi bedengan. Keyword:
Judul: Karakter Morfologi, Produktivitas dan Senyawa Bioaktif Tanaman Rempah pada Intensitas Cahaya Rendah di Bawah Tegakan Kelapa Sawit Abstrak:Tanaman obat atau dikenal dengan nama biofarmaka adalah tumbuhan atau tanaman yang dibudidayakan dan digunakan untuk keperluan pengobatan secara langsung dan tidak langsung, karena kandungan bahan aktif yang dimiliki. Tanaman obat memiliki sifat pencegahan (preventif) dan promotif melalui kandungan metabolit sekunder seperti gingiro pada jahe dan xanthorizhol pada temulawak sedangkan biji kapulaga menghasilkan minyak atsiri dan senyawa 1,8-cineole yang mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan menunjukkan sejumlah aktivitas biologis yaitu antikanker, anti-oksidan, antimikroba, anti-inflamasi dan anti-alergi hingga berbagai aktivitas sistem saraf pusat. Kapulaga, jahe dan temulawak merupakan tanaman obat yang mempunyai banyak manfaat dan konsumsinya terus meningkat, hal ini ditunjukkan oleh peningkatan ekspor. Beberapa tanaman obat yang ditanam sebagai tanaman sela menunjukkan hasil senyawa aktif yang tidak berbeda dengan sistem monokultur. Pengukuran kurkuminoid dan xanthorrizhol pada temulawak tidak berbeda antara tanaman tumpangsari dengan tanaman monokultur, sehingga dapat menjadi rujukan untuk meningkatkan pendapatan petani. Produksi jahe dapat ditingkatkan dengan menambah lahan untuk budidaya, tetapi lahan pertanian yang ada semakin menyempit sehingga dibutuhkan lahan alternatif yang dapat digunakan untuk budidaya tanaman jahe. Salah satu adalah dengan pemanfaatan lahan sela di areal lahan perkebunan misalnya kelapa sawit. Permintaan ekspor meningkat setiap tahun, dan ketentuan ekspor jahe sangat ketat sehingga ekspor jahe berdampak signifikan terhadap daya saing jahe Indonesia di pasar internasional. Kualitas jahe yang kurang bermutu sangat menentukan tinggi rendahnya permintaan jahe di pasar internasional. Jahe yang bermutu baik diperoleh dengan melakukan perbaikan budidaya, salah satunya melalui pemupukan. Penggunaan pupuk salah satu usaha untuk meningkatkan produksi tanaman sudah dilakukan petani. Penelitian pertama adalah karakter morfologi, fisiologi, dan kandungan bahan aktif tanaman jahe, kapulaga dan temulawak pada beberapa intensitas naungan. Penelitian bertujuan mengkaji pengaruh naungan terhadap karakter morfologi, fisiologi, dan kandungan bahan aktif tanaman, tanaman yang digunakan adalah jahe merah varietas jahira 2, temulawak varietas cursina 2, dan kapulaga varietas sabrang merah, dengan tingkat kerapatan naungan 25%, 50% dan 75%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat naungan yang sesuai untuk tanaman jahe berkisar antara 28,57-46,55% dengan produksi jumlah anakan 10,16 dan kandungan gingerol 12,48 mg g-1 bobot kering, dan tingkat naungan yang sesuai untuk tanaman temulawak adalah 35,5% dengan kandungan xanthorizhol 3,56 mg g-1 bobot kering, sedangkan tingkat naungan yang sesuai untuk tanaman kapulaga berkisar antara 36,16-50,13% dengan jumlah stomata 17,72 dan jumlah anakan 16,76. Penelitian kedua adalah aplikasi pemupukan untuk meningkatkan produksi dan kandungan senyawa bioaktif pada tanaman jahe yang ditanam di bawah tegakan kelapa sawit. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan dosis pemupukan yang terbaik untuk meningkatkan produksi dan kandungan senyawa bioaktif pada tanaman jahe yang ditanam di bawah tegakan kelapa sawit pada posisi yang berbeda dalam blok berdasarkan arah datangnya cahaya matahari. Tanaman yang digunakan adalah jahe. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial, faktor pertama posisi letak plot dalam blok atau areal percobaan yang menggambarkan beda taraf intensitas cahaya (baris depan blok, tengah blok dan belakang blok) dan faktor kedua adalah komposisi pupuk organini dan pupuk anorganik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan arah datangnya cahaya matahari, tanaman jahe dapat ditanam pada seluruh areal blok tanam kelapa sawit yang berumur 10 tahun. Dosis pupuk tanaman jahe yang tepat adalah pemberian pupuk kandang 20 ton ha-1 dengan produksi rimpang 17,83 g per tanaman., Medicinal plants, also known as biopharmaceuticals, are plants or medicinal plants that are cultivated and used for medicinal purposes directly and indirectly, because of the active ingredients contain. Medicinal plants have preventive and promotive properties through the content of secondary metabolites such as gingiro in ginger and xanthorizhol in java turmeric. Cardamom seeds contain essential oils and 1,8-cineole compounds which can improve the immune system and show several biological activities, namely anticancer, anti-oxidant, antimicrobial, anti-inflammatory, and anti-allergic to various central nervous system activities. Cardamom, ginger, and ginger are medicinal plants that have many benefits and their consumption continues to increase, this is shown by the increase in exports. Several medicinal plants planted as intercrops show results active compound that are no different from the monoculture system. Measurements of curcuminoids and xanthorrhizhol in ginger do not differ between intercropping and monoculture crops, so they can be used as a reference for increasing farmers' income. Ginger production can be increased by increasing land for cultivation, but existing agricultural land is increasingly narrowing so alternative land is needed that can be used for cultivating ginger plants. One way is by utilizing intervening land in plantation areas. The plantation land that can be optimized for use is oil palm plantation land. Export demand increases every year, and the volume of ginger exports has a significant influence on the competitive advantage of Indonesian ginger in the international market. This is because the terms and conditions for ginger for export are quite strict, the low quality of national ginger determines the high or low demand for ginger in the international market. Good quality ginger is obtained by improving cultivation, one of which is through fertilization. The use of fertilizer is one of the efforts to increase crop production that has been carried out by farmers. The first study was the morphological, physiological, and active ingredient characters of ginger, cardamom, and java turmeric plants at several shade intensities. The study aimed to examine the effect of shade on the morphological, physiological, and active ingredient characters of plants, the plants used were red ginger variety jahira 2, curcuma variety cursina 2, and cardamom variety sabrang, with shade density levels of 25%, 50%, and 75%. The results of the study showed that the appropriate shade level for ginger plants ranged from 28,57-46,55% with the production of 10,16 shoots and gingerol content of 12,48 mg g-1 dry weight, and the appropriate shade level for java turmeric was 35,5% with xanthorizol content of 3,56 mg g-1 dry weight, while the appropriate shade level for cardamom plants ranged from 36,16-50,13% with the number of stomata of 17,72 and the number of shoots of 16,76. The second study was the application of fertilizer to increase production and content of bioactive compounds in ginger plants planted under oil palm stands. The purpose of this study was to obtain the best fertilizer dose to increase production and content of bioactive compounds in ginger plants planted under oil palm stands at different positions in blocks based on the direction of sunlight. The plant used was ginger. The experimental design used was a factorial randomized block design, the first factor was the position of the plot in the block or experimental area which described the different levels of light intensity (front row of the block, middle of the block and back of the block) and the second factor was the composition of organic fertilizers and inorganic fertilizers. The results showed that based on the direction of sunlight, ginger plants can be planted in all areas of oil palm planting blocks that are 10 years old. The right dose of ginger plant fertilizer is the application of 20 tons of manure ha-1 with a rhizome production of 17.83 g per plant. Keyword:xanthorhizol, intercropping
Judul: Planting Material Development of Large White Ginger through True Seed, Single Rhizome, and Small Size Single Rhizome of High Quality Abstrak:Jahe putih besar (JPB) mempunyai peranan lebih tinggi dibandingkan jahe merah dan jahe putih kecil karena diversifikasi produk yang dihasilkan. Perbanyakan tanaman jahe biasanya dilakukan dengan rimpang. Ukuran benih JPB yang voluminous sekitar 40-60 g dengan 2-3 tunas menyebabkan kebutuhan benih sangat tinggi yaitu 2-3 ton ha-1 • Selama ini belum ada pemisahan budidaya rimpang konsumsi dan rimpang untuk benih. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan benih sebelum sortasi jauh lebih besar lagi. Dalam satu lot benih rimpang, paling tinggi hanya 70% yang dapat digunakan untuk benih. Sortasi ketat diperlukan untuk mendapatkan benih rimpang yang bermutu tinggi. Teknologi produksi yang tersedia menghasilkan rimpang dengan tingkat kemasakan fisiologis yang tidak sama, sehingga dalam satu rumpun rimpang tidak semua anak rimpang dapat digunakan sebagai benih. Efisiensi bahan tanam JPB dapat dilakukan dengan mengurangi kuantitas penggunaan benih, yaitu melalui penggunaan biji botani (true seed), benih rimpang yang hanya terdiri atas satu propagul, dan penggunaan rimpang yang diperkecil ukurannya merupakan alternatif yang dapat dikembangkan untuk menekan kebutuhan bahan tanam. Pengembangan teknologi perbanyakan untuk mendapatkan bahan tanam JPB secara generatif (biji) maupun vegetatif (rimpang) telah dilakukan yang terdiri atas beberapa tahapan yaitu (1) Persyaratan pembentukan biji: kelengkapan organ produksi, ploidy dan peningkatan viabilitas serbuk sari (2) Pemanfaatan rimpang tunggal sebagai benih bermutu tinggi serta potensi produksinya (3) Penurunan ukuran benih rirnpang, penentuan waktu panen dan viabilitas benih rimpang kecil (4) Peningkatan mutu benih rimpang kecil melalui pemupukan Kalium dan pembuangan tunas., Large white ginger have more functions than small white ginger and red ginger. Ginger plants are currently propagated using rhizomes. Weight of large size rhizome seed are 40-60 g, which have 2-3 buds, this causes rhizome seed needs as high as 2-3 ton ha- 1 • At present, there has been no separation of cultivation between rhizomes seeds and rhizome consumption. It caused high rhizmome seeds. The highest is 70% that can be used for seed in a lot of rhizome seeds. Sorting have to be done to obtain high quality rhizome seeds. The production technology produces rhizomes with different physiological maturity level, not all rhizomes can be used as seed. Efficiency JPB of plant material by reduce the quantity of seeds. Using true seed, single rhizome seeds,and small size rhizome seeds/unvoluminous are alternative that can be developed to minimize of seeds. Development of propagation technology to get planting materials JPB generative (seeds) and vegetative (rhizomes) has been carried out which consists of several stages: (I) Requirements seed formation: completeness organ production, ploidy and increased viability of pollen (2) Utilization of rhizome single as high quality seed and potential production (3) Reducing the size of rhizome seeds without decreasing its quality would be beneficial, determine appropriate harvesting time for small rhizomes seeds ( 4) improve viability and storability of small size rhizome seeds through the appropriate potassium application and shoot pinchings. The aim of the experiments were: (I) to inform completeness of reproductive organs, and ploidy JPB, as well as improve viability of pollen to increase viability with boron and zinc application and its potential for pollination, (2) to evaluate viability, storability, examine growth and potential production of single rhizome, (3) to observe the planting medium and the watering intensity to produces small rhizome seed with high viability and determine appropriate harvesting time for small rhizomes seeds, (4) to improve the viability of small rhizome seeds through the appropriate potassium application and shoot pinching to improve its storability. Keyword:Boron, long storage ability, planting media, shoot pinching, potassium, pollen, watering intensity, zinc, Ginger plants, Rhizome seeds, True ginger seed, Medicinal crops, Rhizome borne disease
Judul: Socioeconomic and psychological variables influencing household debt Abstrak:The overall objective of this study was to examine factors influencing total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. The study examined the impacts of both psychological (credit attitudes and perception of future income) and socioe- conomic variables on total debt, total debt payment and patterns of debt payments. A conceptual model for this study was developed by incorporating the theory of borrower risk, the economic and psychological economic theory of borrowing, and the results of previous studies. This model identifies socioeconomic and psycholog- ical variables that influence total debt, total debt payment, and patterns of debt payments. Socioeconomic variables included in the model are gender, race, mari- tal status, employment status, household size, age, education, and household assets. Psychological variables are credit attitudes toward the use of credit, and perception of future income. This study used data from the 1989 Survey of Consumer Finances. The survey was sponsored by the Federal Reserve in cooperation with some other federal agencies. Data for the survey were collected by the Survey Research Center at the University of Michigan between August 1989 and March 1990. dst ... Keyword:Gender
Judul: Strategi Pemulihan Hutan di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur Abstrak:KHDTK Samboja adalah ekosistem hutan dataran rendah campuran Dipterokarpa yang masih tersisa di Kalimantan Timur. Kawasan hutan ini dikenal sebagai habitat spesies-spesies pohon endemik Kalimantan seperti spesies dari keluarga Dipterokarpa dan ulin (Eusideroxylon zwageri). Keragaman tipe tutupan lahan di KHDTK Samboja sebagai akibat langsung kebakaran hutan (30% dari luas kawasan), aktivitas manusia dalam menggarap lahan (64% dari luas kawasan) dan hutan primer sisa di Rintis Wartono Kadri (6% dari luas kawasan) menarik untuk diteliti. Rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan sejak tahun 1988 menunjukkan tidak berhasil. Konflik penguasaan lahan oleh masyarakat karena perluasan hutan penelitian dan tidak adanya organisasi yang bertanggung jawab terhadap program kemungkinan menjadi faktor penyebab ketidak-berhasilan. Strategi pemulihan hutan perlu dikembangkan berdasarkan kondisi biofisik, sosial dan kelembagaan di KHDTK Samboja saat ini. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengkaji komposisi spesies pohon pada petak contoh permanen 1.8 ha pasca kebakaran berulang, (2) mengkaji konflik penguasaan lahan dan pengorganisasian program rehabilitasi dan (3) membangun strategi pemulihan hutan KHDTK Samboja berdasarkan hasil kajian komposisi spesies, keberadaan masyarakat penggarap lahan, pengorganisasian dan potensi pendanaan. Analisis pada petak contoh 1.8 ha menunjukkan bahwa pemulihan biomasa hutan di KHDTK Samboja diperkirakan memerlukan waktu 50 – 60 tahun. Namun pemulihan komposisi spesies kecil kemungkinannya untuk bisa dicapai karena adanya kelangkaan spesies asli. Dari 273 spesies pada luasan 1.8 ha sebelum kebakaran, hanya 90 spesies asli yang berkembang kembali, 183 spesies lainnya tidak ditemukan setelah kebakaran berulang, tetapi ditemukan 101 spesies yang sebelum kebakaran tidak ditemukan. Penanaman spesies asli untuk mengembalikan komposisi spesies memungkinkan dilakukan pada hutan sekunder bekas terbakar dan belukar yang tidak digarap oleh masyarakat dengan memilih spesies prioritas. Konflik penguasaan lahan oleh masyarakat masih belum ada solusi dan organisasi pemulihan hutan juga belum terbentuk. Analisis para pihak yang memungkinkan dilibatkan dalam pemulihan hutan di KHDTK Samboja menemukan lima lembaga sebagai pelaku kunci yaitu BPTKSDA, UPTD Tahura Bukit Soeharto, Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, BLI Lingkungan dan Kehutanan serta Universitas Mulawarman. Berdasarakan kajian komposisi spesies, konflik penguasaan lahan dan pengorganisasian program pemuliahan hukan, maka ditemukan empat strategi yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam pemulihan hutan di KHDTK Samboja, yaitu: 1. Teknologi pemulihan hutan dikembangkan dengan mempertimbangkan tutupan lahan dan keberadaan masyarakat penggarap lahan dengan target capaian yang berbeda. Restorasi ekosistem dilakukan untuk memulihkan komposisi spesies pada hutan sekunder bekas terbakar yang beregenerasi alami dan belukar, rehabilitasi dengan agroforestri untuk memperoleh produk tanaman pada lahan garapan masyarakat dan reklamasi untuk mengembalikan produktivitas lahan pada lahan alang-alang. 2. Pemilihan spesies prioritas restorasi dilakukan dengan mempertimbangkan lima kriteria yaitu jumlah individu spesies dalam petak contoh 1.8 ha, kerentanan spesies terhadap perubahan lingkungan, karakter reproduksi spesies, potensi regenerasi spesies. Teridentifikasi 51 spesies sebagai prioritas pertama, 123 spesies prioritas kedua dan 54 spesies prioritas ketiga dalam restorasi di KHDTK Samboja 3. Pengoragisasian program pemulihan hutan dilakukan oleh para pihak yang teridentifikasi sebagai pemain kunci yaitu BPTKSDA, UPTD Tahura Bukit Soeharto, Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, BLI Lingkungan dan Kehutanan serta Universitas Mulawarman. Kelima lembaga tersebut memungkinkan bekerja dalam suatu konsorsium dan membentuk organisasi pemulihan hutan di KHDTK Samboja. Selanjutnya, masing-masing lembaga berkerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 4. Pendanaan dalam pemulihan hutan di KHDTK Samboja memungkinkan berasal dari sumber-sumber dana potensial seperti donor internasional, pemerintah daerah dan pusat serta sektor swasta. Keyword:KHDTK Samboja, pemilihan spesies prioritas, pengorganisasian, strategi pemulihan hutan, teknologi pemulihan hutan
Judul: Analisis performansi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan Pegunungan Bulusarung Sulawesi Selatan Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk menemukan performansi hutan kemiri rakyat berdasarkan status pemilikan laban, menemukan faktor - faktor strategis dan nilai pengaruhnya terhadap sistern pengelolaan hutan kemiri rakyat, dan merumuskan strategi pengembangan hutan kemiri rakyat. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. wawancara, diskusi terfokus dan studi dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan jenis data dan tujuan penelitian. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis vegetasi, analisis tanah, analisis kelayakan. analisis regresi, analisis SWOT (strenghl, weakness, opportunity, threat) dan AHP (analytical hierarchy process). Hasil penelitian menunjukkan bahwa status penguasaan lahan mempengaruhi performansi hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelol menunjukkan semakin intensif sistem pengelolaannya, semakin besar nilai ekonominya dan menjamin kelestarian nilai-nilai susila budaya Namun sebaliknya semakin kuat status lahan cenderung menurunkan nilai ekologinya. Pengakuan hak kelola masyarakat merupakan bentuk penguatan status laban yang dapat menjamin keseimbangan aspek ekologi, ekonomi, sosial dan menghindari teljadinya fragmentasi lahan. Hasil analisis dengan menggunakan SWOT, AHP dan skala Likert membuktikan bahwa ketidakpastian status penguasaan lahan merupakan kelemahan sekaligus menjadi ancaman utama dalam pengelolaan hutan kemiri di kawasan Pegunungan Bulusaraung. Posisi usahatani kemiri rakyat yang berada pada sel 2 (support a diversification strategy) menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan kemiri mempunyai kekuatan tetapi menghadapi ancaman yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu strategi yang harus diterapkan .dalah strategi ST (strengths-threats) dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Strategi ST yang harus eliterapkan adalah: (1) menjarnin kepastian penguasaan lahan dengan mengakui hak kelola masyarakat, (2) mengembangkan pola agroforestri untuk meningkatkan produktifitas lahan dan diversifikasi produk, dan (3) memperkuat kelembagaan dan kapasitas petani dalam sistem pemasaran. Keyword:
Judul: Respons hormonal dan imunologis wanita premenopause terhadap minuman fungsional berbahan dasar susu skim yang disuplementasi dengan isoflavon kedelai dan Zn Abstrak:The decrease of ovarian estrogen level in women causes various menopaused systems of premenopausal women. Along with the decrease of estrogen production, immune system also declines causing degenerative diseases to occur. Keyword:
Judul: Multistage Fuzzy Hybrid-Stochastic Model of Reverse Supply Chain of Herbal Agroindustry Based on Adaptive Contract Abstrak:Indonesia memiliki berjuta ragam tanaman obat yang berpotensi dikembangkan untuk menambah nilai industri obat berbahan herbal (Jamu, Obat Herbal Terstandar/OHT, dan Fitofarmaka) yang jauh lebih besar dibanding negara lain. Sebagai negara yang memiliki tidak kurang dari 30.000 spesies tumbuhan maupun sumber daya laut menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor produk obat herbal terbesar di dunia. Namun faktanya, sekitar 9.600 spesies tanaman dan hewan yang diketahui memiliki khasiat obat belum dimanfaatkan secara optimal sebagai obat herbal. Agroindustri herbal didefinisikan sebagai kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian berupa tanaman atau tumbuhan yang mempunyai kegunaan atau nilai lebih dalam pengobatan sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Herbal merupakan salah satu komoditas yang memiliki peluang strategis dan daya saing. Agroindustri herbal telah menjadi wujud nyata ekonomi kerakyatan yang terbukti tahan uji dalam krisis ekonomi global. Pertumbuhan kinerja produk herbal di Indonesia tumbuh subur sejak Tahun 2011 dan terus menunjukkan tren kenaikan yaitu sebesar rata-rata 13%-15% per tahun sebagai respon permintaan konsumen akan produk yang hadir dari alam. Dari segi pangsa pasar, obat herbal terus berkembang. Jika pada tahun 2003 mencapai 10% selanjutnya tumbuh menjadi 16% pada tahun 2010, pada tahun 2017 pangsa pasar herbal mencapai 25% dari keseluruhan performa industri farmasi. Disamping menyehatkan rakyat, tanaman herbal di Indonesia juga mampu mengurangi ketergantungan bahan baku industri farmasi yang 95% masih impor. Meskipun ketersediaan bahan alam yang melimpah serta minat masyarakat terhadap produk herbal makin meningkat, hal ini tidak serta merta diikuti dengan laju penjualan produk herbal yang signifikan. Hal tersebut disebabkan karena daya saing produk herbal di pasaran masih kalah dibandingkan dengan produk substitusi yaitu produk non herbal di pasaran yang dipatok dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik, seperti produk-produk kimia yang diimpor dari luar negeri. Disamping permasalahan harga, faktor lain sebagai penghambat laju pertumbuhan agroindustri herbal adalah berbagai faktor ketidakpastian baik dalam pasokan bahan baku, produksi, maupun distribusi yang dipengaruhi oleh faktor cuaca dan maraknya produk-produk kimia sebagai produk substitusi produk herbal akibat dari pesatnya perkembangan teknologi pengolahan dalam industri kimia menyebabkan terjadinya gap antara jumlah pasokan dengan jumlah penjualan produk herbal. Ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan produk menjadikan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas menjadikan kinerja rantai pasok herbal menjadi kurang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab berbagai tantangan rantai pasok herbal yang meliputi permasalahan efisiensi untuk peningkatan daya saing, efektivitas dalam penyesuaian antara pasokan dan permintaan yang dipengaruhi berbagai faktor ketidakpastian, yaitu dengan membangun 1) model proses bisnis rantai pasok balik multitahap agroindustri herbal, 2) model formulasi stokastik hybrid fuzzy rantai pasok balik multitahap agroindustri herbal, serta melengkapinya dengan 3) model kontrak adaptif rantai pasok balik multitahap agroindustri herbal. Adapun alat yang digunakan meliputi BPMN 2.0 (Business Process Model and Notation) untuk perancangan model proses bisnis, perangkat lunak NetBeans IDE (Integrated Development Environment) dengan bahasa pemrograman Java untuk model optimasi rantai pasok, dan aplikasi excel untuk model kontrak adaptif. Model proses bisnis multitahap agroindustri herbal yang dihasilkan meliputi proses bisnis aliran produk berupa material dari pemasok (tahap pertama) dialirkan ke pabrik (tahap kedua) di mana di dalam pabrik terjadi proses produksi yaitu forward logistics dilengkapi dengan reverse logistics. Forward logistics meliputi produksi utama dengan bahan baku utama dari pemasok sedangkan reverse logistics meliputi produksi sekunder dengan bahan baku dari sisa produksi utama serta produksi tersier dengan bahan baku dari pengembalian produk dari konsumen. Proses distribusi (tahap ketiga) meliputi proses forward logistics yaitu aliran produk jadi dari pabrik ke konsumen serta proses reverse logistics yaitu aliran produk pengembalian dari konsumen ke pabrik. Faktor ketidakpastian yang tejadi meliputi ketidakpastian baik yang besifat stokastik maupun fuzzy seperti ongkos bahan baku, preferensi pemilihan pemasok bahan baku, yang terjadi pada tahap kesatu. Ketidpastian pada tahap kedua meiputi proses produksi dalam hal rendemen, susut, kualitas limbah dan produk reverse. Ketidakpastian lainnya juga terjadi pada tahap ketiga yaitu ongkos transportasi/distribusi, serta permintaan pasar terhadap produk hebal. Model formulasi optimasi rantai pasok balik multitahap agroindustri herbal dibangun dengan mempertimbangkan multiparameter ketidakpastian yaitu ketidakpastian stokastik/peluang kejadian, ketidakpastian fuzzy serta perubahan dinamis periode markov, di mana keputusan pada setiap tahap dipengaruhi oleh tahap lainnya dalam suatu fungsi recursive dari periode ke periode waktu operasi, sehingga model ini dinamakan model stokastik hybrid fuzzy rantai pasok multitahap agroindustri herbal. Hasil model formulasi ini terbagi ke dalam tiga tahap. Tahap kesatu yaitu jumlah/kuatitas dan kualitas optimal bahan baku yang digunakan dari pemasok dengan memperhitungkan hasil recursive defuzzifikasi kualitas limbah dan produk reverse dari tahap dua, serta total ongkos pengadaan bahan baku yaitu sebesar Rp. 38.210.687,- beserta rinciannya untuk setiap periode. Pada tahap kedua dihasilkan perkiraan jumlah bahan baku dari sisa produksi utama (limbah), jumlah bahan baku dari pengembalian produk (reverse), jumlah produk utama, jumlah produk sekunder, jumlah produk tersier, yang didasarkan pada pengembangan model permintaan produk dari hasil fungsi recursive yang diperoleh dari tahap ketiga serta total ongkos produksi (total ongkos tahap kedua) yaitu sebesar Rp. 998.842.655,- beserta rinciannya untuk setiap periode. Tahap ketiga dihasilkan jumlah produk yang didistribusikan ke konsumen beserta ongkos total transportasi/distribusi meliputi ongkos transportasi produk ke distributor, transportasi produk ke konsumen dan transportasi reverse ke pabrik (total ongkos tahap ketiga) yaitu sebesar Rp.31.231.902,- beserta rinciannya. Dengan model stokastik hibrid fuzzy multitahap (SHFM) yang mengakomodir berbagai faktor ketidakpastian, penentuan perkiraan jumlah permintaan dan jumlah pasokan dapat diidentifikasi dengan lebih efektif dan efisien. Model kontrak adaptif multitahap agroindustri herbal dibangun sebagai tindak lanjut dari perolehan hasil optimasi model formulasi stokastik hibrid fuzzy multitahap agroindustri herbal. Hasil optimasi digunakan untuk menetapkan variabel awal kontrak. Melalui kesepakatan yang tertuang dalam kontrak didasarkan pada kesamaan informasi antara pelaku kontrak serta model kontrak yang bersifat adaptif yaitu variabel kontrak bersifat adaptif mengikuti perkembangan bisnis yang terjadi di pasar secara aktual. Dengan demikian diharapkan kesepakatan tetap berjalan sehingga dapat meningkatkan kinerja rantai pasok., Indonesia has millions of varieties of medicinal plants that have the potential to be developed to add value to the herbal medicine industry (Jamu, Standardized Herbal Medicines/OHT, and Phytopharmaceuticals) which is much greater than other countries. As a country that has no less than 30,000 species of plants and marine resources, Indonesia is the largest exporter of herbal medicinal products in the world. But in fact, about 9,600 species of plants and animals that are known to have medicinal properties have not been used optimally as herbal medicines. Herbal agroindustry is defined as an activity that utilizes agricultural products in the form of plants or plants that have usefulness or added value in medicine as raw materials, designs and provides equipment and services for these activities. Herbs are one of the commodities that have strategic opportunities and competitiveness. The herbal agro-industry has become a real manifestation of the people's economy which has proven to be resistant to the global economic crisis. The performance growth of herbal products in Indonesia has thrived since 2011 and continues to show an upward trend of 13%-15% per year on average as a response to consumer demand for products that come from nature. In terms of market share, herbal medicine continues to grow. If in 2003 it reached 10% then it grew to 16% in 2010, in 2017 the herbal market share reached 25% of the overall performance of the pharmaceutical industry. Besides making people healthy, herbal plants in Indonesia are also able to reduce dependence on raw materials for the pharmaceutical industry, 95% of which are still imported. Although the availability of natural ingredients is abundant and public interest in herbal products is increasing, this is not necessarily followed by a significant rate of sales of herbal products. This is because the competitiveness of herbal products in the market is still inferior to substitute products, namely non-herbal products on the market which are pegged at lower prices and better quality, such as chemical products imported from abroad. In addition to price problems, other factors that inhibit the growth rate of herbal agroindustry are various uncertainty factors in the supply of raw materials, production, and distribution which are influenced by weather factors and the proliferation of chemical products as substitute products for herbal products due to the rapid development of processing technology in the industry. Chemicals cause a gap between the amount of supply and the amount of sales of herbal products. The mismatch between supply and demand for products both in terms of quantity and quality make the performance of the herbal supply chain less than optimal. This study aims to answer various herbal supply chain challenges which include efficiency issues to increase competitiveness, effectiveness in adjusting between supply and demand which is influenced by various uncertainty factors, namely by building a model of 1) a multi-stage reverse supply chain business process for herbal agroindustry, 2) building a hybrid fuzzy stochastic formulation model for herbal agroindustry multi-stage reverse supply chain, and complement it with 3) an adaptive contract model for herbal agroindustry multi-stage reverse supply chain. The tools used include BPMN 2.0 (Business Process Model and Notation) for business process model design, NetBeans IDE (Integrated Development Environment) software application with Java programming language for supply chain optimization model, and excel application for adaptive contract model. The multi-stage business process model of herbal agroindustry that is produced includes the business process of product flow in the form of materials from suppliers (first stage) to the factory (second stage) where in the factory there is a production process, namely forward logistics equipped with reverse logistics. Forward logistics includes primary production with main raw materials from suppliers, while reverse logistics includes secondary production with raw materials from the rest of the main production and tertiary production with raw materials from product returns from consumers. The distribution process (third stage) includes the forward logistics process, namely the flow of finished products from the factory to the consumer and the reverse logistics process, namely the return product flow from the consumer to the factory. The uncertainty factors that occur include both stochastic and fuzzy uncertainties such as the cost of materials, preferences for choosing raw materials, which occur in the first stage. Uncertainty in the second stage includes the production process in terms of yield, shrinkage, waste quality and reverse product. Other uncertainties also occur in the third stage, namely transportation/distribution costs, as well as market demand for herbal products. The herbal agroindustry multi-stage reverse supply chain optimization formulation model was built by considering the multiparameter uncertainty, namely stochastic uncertainty/event probability, fuzzy uncertainty and dynamic changes in the Markov period, where decisions at each stage are influenced by other stages in a recursive function from period to period of operation time, so that This model is called the hybrid fuzzy stochastic model of the herbal agro-industry multi-stage supply chain. The results of this formulation model include three stages. The first stage is the quantity/quantity and optimal quality of raw materials used from suppliers by taking into account the results of recursive defuzzification of waste and reverse product quality from stage two, as well as the total cost of procuring raw materials with details for each period. Total cost of procuring raw materials is Rp. 38,210,687,-. In the second stage, an estimate of the amount of raw materials from the rest of the main production (waste), the amount of raw material from product returns (reverse), the number of main products, the number of secondary products, the number of tertiary products is generated, which is based on the development of a product demand model from the results of the recursive function that obtained from the third stage and the total cost of production (total cost of the second stage) with details for each period. The total cost of production (total cost of the second stage) is Rp. 998,842,655,-. The third stage resulted in the number of products distributed to consumers, the total transportation/distribution costs including product transportation cost to distributor, product transportation cost to consumers and reverse transportation cost to factories (the total cost of the third stage) with details for each period. The total cost of the third stage is Rp.31,231,902,-. Fuzzy hybrid stochastic model (SHFM) accommodates various uncertainty factors, so determining the estimated number of demand and supply quantities can be identified more effectively and efficiently. The herbal agroindustry multi-stage adaptive contract model was built as a follow-up to the optimization results of the multistage fuzzy hybrid stochastic model. The optimization results are used to determine the initial contract variables. Through the agreement contained in the contract based on symmetric information between actors as well as an adaptive contract model, which is the contract variable is adaptive to follow the actual business dynamics that occur in the market, it is hoped that the agreement will continue to improve supply chain performance. Keyword:Herbal agro-industry, Adaptive contract, Multistage, Reverse supply chain, Hybrid fuzzy-stochastic
Judul: Strategic Alliance of High-Value Vegetable Agroindustry Abstrak:Kerjasama vertikal antar usaha yang bergerak pada rantai pasokan sayuran ejak dari petani, pengolah sampai dengan eksportir dan rantai swalayan diteliti untuk rekayasa model aliansi strategis agroindustri sayuran bernilai ekonomi tinggi, engan batasan kajian pada aspek kelembagaannya. Analisis faktor-faktor yang emungkinkan terjadinya interaksi antar anggota kerjasama dilakukan secara saling telikait kepada 15 perusahaan dan 5 kelompok tani dalam satu rantai pasokan terpilih di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Data diolah menggunakan teknik-teknik analytical hierarchy process, independent preference evaluation dan interpretative structural modeling. Model disusun menggunakan teknik heuristik dan diverifikasi menggunakan data sayuran edamame dan paprika. Kerjasama vertikal antar usaha yang bergerak dalam bidang produksi, pe golahan sampai dengan distribusi sayuran saat ini belum berbentuk aliansi stmtegis. Kelayakan kerjasama berkisar antara potensial sampai dengan baik, dengan masalah utama pembagian risiko yang terlalu besar terbebankan pada petani. Ketergantungan antar mitra relatif seimbang, memungkinkan dikembangkannya aliansi strategis agroindustri sayuran berkwalitas tinggi untuk pasokan ke pasar-pasar spesial. Kelembagaan yang mempunyai kekuatan penggerak dan ketergantungan tinggi pada sistem aliansi vertikal adalah eksportir, rantai swalayan dan pengolah, sedangkan petani merupakan kelembagaan dengan kekuatan penggerak kecil dan ke ergantungan tinggi kepada sistem. Model aliansi strategis agroindustri sayuran menempatkan eksportir, rantai swalayan dan pengolah sebagai perusahaan inti yang beraliansi. Petani ditempatkan sebagai mitra utama aliansi yang memperoleh manfaat langsung melalui alokasi margin keuntungan sebesar 30% dalam model analisis finansial. Model pengukuran ki erja aliansi strategis didasarkan pada pengukuran kinerja pelaksanaan rencana bisnis bersama menggunakan perangkat ukuran seimbang (balanced scorecard) di m sing-masing anggota aliansi, yang diagregasikan menggunakan teknik independent preference evaluation. Untuk melakukan analisis finansial aliansi strategis dibuat perangkat lunak komputer FAStraVA (Financial Analysis for Strategic Alliance of Agroindustry) kasus edamame dan parika, dan untuk membantu mengagregasikan telok ukur kinerja dikembangkan perangkat lunak PEStraVA (Performance aluation for Strategic Alliance of Vegetable Agroindustry)., Vertical cooperation among business entities of high value vegetable supply chain has been studied to design a strategic alliance model of vegetable agroindustry. The study focuses on inter-organizational coordination among farmer, processor and customer of high value vegetable to be sold at premium market, i.e. export and supermarket chain. Decision-making computational models used were Analytical Hierarchy Process (AHP), Independent Preference Evaluation (IPE), and Interpretative Structural Modeling (ISM). Vertical cooperation in existing high value vegetable supply chain was still traditionally coordinated on a short-term basis. The partnership quality ranged between potential to good, with potential conflict caused by unequally distributed risk. The supplier-customer interdependencies were about equal, which gives opportunities to establish a strategic alliance of vegetable agroindustry. Institutions identified as having high driver power in the establishment of strategic alliance were exporter, supermarket chain and processor. The main milestone in the establishment . will be the variation of objectives among members as a result of their education levels, experiences and knowledge. Optimum profit as the "true objective11 of strategic alliance's member is agreed to achieve only if cooperation and operational performance has been achieved. The designed model of strategic alliance of vegetable agro-industry composed by three main institutions, i.e. processor, exporter and supermarket chain. Farmer is positioned as the main partner of the agro-industry who gets a direct benefit from the cooperation. Performance of strategic alliance was evaluated based on the implementation progress of the business plan in each member organization by using a balanced scorecard. Aggregation to get the final score of the performance was done by using the independent preference evaluation technique. To assist the financial analysis of the strategic alliance model and to do the aggregation of the performance scores, computer software (Financial Analysis for Strategic Alliance of Vegetable Agroindustry/F AStra VA and Performance Evaluation for Strategic Alliance of Vegetable Agroindustry/ PEStra VA) were developed. Application of the model in the case of edamame and paprika by using data and information collected in 2001 proved that the model is implementable. Strategic alliance of edamame agroindustry increases the profit margin of the supply chain of edamame from 8% to 17% and the performance of the whole chain by 345%. Operational cost of edamame for export is equivalent with the rate of Rp.8.980/US$, and edamame farmers increase their profit from 7% to 22%. In the case of paprika, strategic alliance model distributes the margin and the marketing risk as expected by the member and increases the performance of the supply chain by 233%. Operational cost of paprika for export is equivalent with the exchange rate ofRp.8.300/US$. Implementation of the model should be supported by a deep study on integration of small farmers to form an economically feasible farm unit for vegetable production. Government support to facilitate the establishment of the broker and its institution is needed to assist the establishment of strategic alliance of vegetable agroindustry, especially on its first stage. Keyword:Agroindustry, High-value vegetable, Vertical cooperation
Judul: Karakterisasi Genom Mitokondria Labi-Labi, Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) Abstrak:Runutan nukleotida lengkap genom mitokondria (mtDNA) labi-labi, Dogania subplana, telah dilakukan. Ukuran mtDNA labi-labi adalah 17289 bp. Organisasi, orientasi dan ukuran setiap gen dari 13 gen penyandi protein mtDNA, 22 gen penyandi tRNA dan dua gen penyandi rRNA serta daerah kontrol adalah serupa dengan yang telah ditemukan pada vertebrata lainnya. Panjang daerah kontrol adalah 1820 bp, yang di dalamnya bisa ditemukan tiga motif runutan DNA berulang. Motif pertama dan kedua berturut-turut adalah 15 bp dan 37 bp, yang keduanya berulang secara tandem sampai 728 bp. Motif ketiga adalah ruas TA berulang, yaitu (TA)n dan (ATAlT)n. Motif ketiga ini disebut mitokondria. Analisis terhadap daerah kontrol menemukan adanya domain tengah yang stabil untuk semua anggota Testudines, dan adanya tiga macarn Conserve Sequence Blocks yang homolog dengan daerah kontrol mtDNA vertebrata. Keyword: